Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah Infeksi saluran
pernafasan yang berlangsung sampai empat belas hari yang dapat ditularkan
melalui air ludah, darah, bersin maupun udara pernafasan yang mengandung
kuman yang terhirup oleh orang sehat (Depkes RI, 2012). ISPA dibedakan
menjadi dua yaitu saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis, fharingitis,
dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis, bronchitis,
bronchiolitis dan pneumonia (WHO, 2009).
Menurut Kepmenkes (2012), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Insidens menurut
kelompok umur balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara
berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Ini
menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana
151 juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus terbanyak
terjadi di India (43 juta), Cina (21 juta) dan Pakistan (10juta) dan Bangladesh,
Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode. Dari semua kasus yang
terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah
sakit. Episode batuk-pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per
tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008). ISPA merupakan salah satu penyebab
utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%30%).

ISPA terjadi di seluruh provinsi dan kota di Indonesia, salah satunya di


Provinsi Jawa Barat. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013 Period prevalence ISPA di Provinsi Jawa Barat yaitu mencapai 25,0%.
ISPA termasuk kedalam urutan 10 besar dari 30 besar penyakit yang paling
sering diderita masyarakat. Dari data bidang P2M (Penanggulangan Penyakit
Menular) Pukesmas Cibalong Kabupaten Tasikmalaya satu tahun terakhir
ISPA merupakan jumlah kasus paling terbanyak, terutama pada balita yakni
mencapai 2884 dan 53 kasus pneumonia dari 3.874 balita (Tabel 1.2).
(Tabel 1.2)
Data ISPA berdasarkan tingkat usia pada balita tahun 2015
Puskesmas Cibalong Kabupaten Tasikmalaya
Pneumonia
Batuk bukan
NO
Usia
Pneumonia
Berat
Pneumonia
1
< 1 tahun
28
4
125
2
1 4 tahun
25
2
398
3
5 tahun
Jumlah
53
6
523
Sumber Puskesmas Cibalong Kabupaten Tasikmalaya

ISPA
620
978
1286
2884

Berdasarkan hasil laporan Riskesdas pada tahun 2013, karakteristik


penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun
(25,8%). Menurut jenis kelamin, tidak berbeda antara laki-laki dan
perempuan. Penyakit ini lebih banyak dialami dengan kuintil indeks
kepemilikan terbawah dan menengah ke bawah.
Puskesmas Cibalong memiliki lima wilayah kerja yaitu Desa
Eureunpalay, Setiawaras, Cisempur, Parung dan Singajaya. Pada hasil rekap
laporan kasus kesakitan tahun 2015 desa dengan angka insidensi ISPA
tertinggi adalah Desa Cibalong dan insidensi paling rendah adalah Desa
Eureunpalay (Tabel 1.3).

N
O
1
2
3
4
5
6

NAMA
DESA
Eureunpalay
Setiawaras
Cisempur
Parung
Cibalong
Singajaya
JUMLAH
TOTAL

(Tabel 1.3)
Data penderita ISPA 3 bulan terakhir
Puskesmas Cibalong Kabupaten Tasikmalaya
NOVEMBER
DESEMBER
JANUARI
L
P
L
P
L
P
8
11
5
11
6
12
15
12
11
5
20
20
8
11
14
7
10
8
18
25
8
15
16
12
38
42
30
32
31
35
22
24
7
16
14
18
109
125
75
86
97
105
234
161
202
Sumber: Puskesmas Cibalong Kabupaten Tasikmalaya

JUMLAH
L
P
19
34
46
37
32
26
42
52
99
109
43
58
281
316
597

Tingginya angka kejadian ISPA pada balita di Desa Cibalong bila dilihat
dari aktivitas balita yang lebih sering melakukan kegiatan di dalam rumah
bersama orang tua/anggota keluarga, ISPA yang terjadi pada balita bisa
disebabkan oleh lingkungan dalam rumah balita yang tidak memenuhi syarat
(Lindawaty,

2010).

Faktor-faktor

lingkungan

rumah

yang

dapat

mempengaruhi ISPA yaitu faktor lingkungan fisik rumah, faktor perilaku,


faktor individu, faktor sosial-ekonomi (Fillacano, 2013).
Menurut H.L. Bloom, dikutip dalam Notoadmodjo (2007), derajat
kesehatan dipengaruhi 4 (empat) macam faktor yaitu lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan, dan keturunan. Faktor lingkungan dan perilaku
merupakan faktor terbesar yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya
derajat kesehatan. Faktor lingkungan penyebab ISPA diantaranya pencemaran
udara di luar rumah yang berasal dari polusi kendaraan bermotor, industri,
atau pembakaran lainnya, dan pencemaran udara di dalam rumah seperti

kondisi fisik rumah yaitu kepadatan hunian, jenis lantai, ventilasi,


pencahayaan, kelembaban, suhu, jenis dinding, jenis lantai dan jenis atap
Menteri perumahan rakyat (Menpera) RI mengungkapkan bahwa aturan
rumah yang sehat untuk memenuhi kebutuhan minimal 9m2 per jiwa atau per
orang, sehingga jika dalam satu rumah berisi 4 orang maka luas rumah yang
ideal berkisar 36m2. Untuk perumahan sederhana, minimum 8 m/orang.
Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan
anak di bawah dua tahun. (profil kesehatan Indonesia, 2014). Kepadatan
tempat tinggal atau keadaan rumah yang sempit dengan jumlah penghuni
rumah yang banyak akan berdampak kurangnya oksigen di dalam rumah
(Namira, 2013).
Faktor lingkungan fisik rumah yang lainnya yaitu ventilasi rumah.
Berdasarkan peraturan No. 1077/MENKES/PER/V/2011, setiap rumah wajib
memiliki ventilasi minimum 10% dari luas rumah untuk memenuhi
persyaratan rumah sehat. Pada penelitian Lindawaty (2010) ventilasi rumah
yang tidak memenuhi syarat akan menyebabkan ISPA pada balita dengan
resiko 3,07 kali lebih besar dibanding dengan ventilasi rumah yang memenuhi
syarat.
Sedangkan, pada penelitian Rusdawati (2012) menyatakan kelembaban
dan suhu rumah memeiliki resiko paling besar untuk terjadinya ISPA, hasil
penelitian menunjukan bahwa rumah yang dengan kelembaban dan suhu tidak
memenuhi syarat beresiko 3,19 kali lebih besar bagi balita terkena ISPA
dibandingkan rumah balita yang memenuhi syarat.

Faktor resiko dan sumber penularan jenis penyakit ISPA lainnya yang
berkaitan dengan kondisi hygiene bangunan perumahan ialah bahan bangunan
dan kondisi rumah serta lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan,
(Pedoman Teknis penilaian rumah sehat, Depkes RI, 2007). Lantai merupakan
salah satu media yang sangat baik bagi perkembangan bakteri. Jenis lantai
yang tidak memenuhi syarat beresiko 2,15 kali lebih besar bagi balita terkena
ISPA, rumah yang jenis dindingnya masih terbuat dari bahan yang tidak
permanen seperti triplek, bambu, kayu beresiko 1,51 kali lebih besar bagi
balita terkena ISPA. (Lindawaty, 2010). Penggunaan bahan atau jenis atap
rumah yang berbeda akan mempengaruhi suhu udara dengan sendirinya ikut
mempengaruhi kualitas udara.
Hasil studi pendahulan pada 10 anak balita (usia 5 tahun) di Kampung
Cibalong, 7 di antaranya mengalami ISPA dengan gejala batuk dan pilek, hasil
temuan ini menunjukkan lebih banyak balita terkena ISPA daripada yang tidak
ISPA. Pada observasi studi pendahuluan ditemukan 5 balita tinggal di rumah
dengan padat penghuni yaitu < 8m2/orang, 9 rumah balita menunjukkan suhu
ruangan yang tinggi yaitu rata-rata 30o C, suhu ruangan bisa dipengaruhi oleh
kondisi saat survei yang sedang musim hujan atau luas ventilasi, dimana
ditemukan 6 rumah balita tersebut memiliki ventilasi yang tidak memenuhi
syarat. Selain itu, bahan/stuktur bangunan juga bisa berpengaruh ISPA seperti
jenis atap tidak diberi langit-langit atau plafon ditemukan 2 rumah, jenis
dinding terbuat dari bahan yang tidak permanen (triplek,bambu) ditemukan 3
rumah dan 1 di antaranya memiliki jenis lantai tidak memenuhi syarat (tidak

diplester).
Berdasarkan uraian di atas harus diperhatikan apakah ada penyebab dari
lingkungan dalam rumah yang meliputi faktor lingkungan fisik rumah dalam
lingkup kecil yang paling dekat dengan balita setiap hari yang berpotensi
menyebabkan balita terkena ISPA. Hal ini peran perawat dalam tindakan
preventif yang ingin dilakukan diawali dari lingkup kecil menuju pencegahan
yang bersifat lebih luas terhadap penyebab munculnya ISPA. Oleh karena itu,
dalam studi ini peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara kondisi
rumah dengan kejadian ISPA pada balita.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut: Apakah ada hubungan antara kondisi rumah
dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Cibalong Kecamatan Cibalong
Kabupaten Tasikmalaya.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara kondisi rumah dengan kejadian
ISPA di Desa Cibalong Kecamatan Cibalong Kabupaten Tasikmalaya.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA
pada balita di Desa Cibalong Kecamatan Cibalong Kabupaten
Tasikmalaya.
b. Mengetahui hubungan antara luas ventilasi udara dengan kejadian ISPA
pada balita di Desa Cibalong Kecamatan Cibalong Kabupaten

Tasikmalaya.
c. Mengetahui hubungan antara kelembaban udara dengan kejadian ISPA
pada balita di Desa Cibalong Kecamatan Cibalong Kabupaten
Tasikmalaya.
d. Mengetahui hubungan antara suhu dalam ruangan dengan kejadian
ISPA pada balita di Desa Cibalong Kecamatan Cibalong Kabupaten
Tasikmalaya.
e. Mengetahui hubungan antara jenis atap rumah dengan kejadian ISPA
pada balita di Desa Cibalong Kecamatan Cibalong Kabupaten
Tasikmalaya.
f. Mengetahui hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA
pada balita di Desa Cibalong Kecamatan Cibalong Kabupaten
Tasikmalaya.
g. Mengetahui hubungan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA pada
balita di Desa Cibalong Kecamatan Cibalong Kabupaten Tasikmalaya.
D. Manfaat Penelitian
1.

Manfaat Teoritik
Sebagai bahan untuk menambah wawasan keilmuan dalam bidang
pelayanan kesehatan khususnya tentang keperawatan komunitas dan
pendidikan keehatan dalam pencegahan ISPA pada balita.

2.

Manfaat Praktik
a. Untuk Puskesmas Cibalong
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada
Puskesmas Cibalong khususnya di bidang tatalaksana Penanggulangan

penyakit ISPA dan bidang pengelola program kesehatan lingkungan


tentang data hasil penelitian yang meliputi kepadatan hunian, ventilasi
udara, kelembaban udara kamar, suhu dalam ruangan, letak dapur, jenis
lantai dan jenis dinding rumah balita yang menderita ISPA.
b. Untuk Masyarakat Kecamatan Cibalong
Manfaat hasil penelitian ini adalah dapat memperoleh informasi
mengenai hubungan antara luas ventilasi kamar, pencahayaan alami
kamar, kelembaban udara kamar, kepadatan hunian kamar, dan
kebiasaan merokok anggota keluarga pada balita yang dengan kejadian
ISPA.
c. Institusi Pendidikan
Masukan positif bagi kepustakaan sebagai literatur atau bahan
bacaan bagi mahasiswa terutama tentang keperawatan komunitas dan
pendidikan kesehatan tentang keperawatan komunitas dan pendidikan
kesehatan dalam pencegahan ISPA.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Studi ini termasuk dalam ruang lingkup kesehatan masyarakat
peminatan kesehatan lingkungan. Penelitian dilakukan di Desa Cibalong
Kecamatan Cibalong Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2016 bulan Februari
sampai April yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi
rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Cibalong Kabupaten
Tasikmalaya. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
menggunakan pendekatan cross sectional. Dalam penelitian ini variable

dependennya yaitu ISPA pada balita dan variabel independennya yaitu faktor
lingkungan yaitu kondisi rumah yang meliputi kepadatan hunian, ventilasi
Data yang digunakan yaitu dengan mengumpulkan data primer melalui
wawancara dengan kuisioner serta pengukuran. Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan program komputer.

Anda mungkin juga menyukai