Anda di halaman 1dari 5

Teguh Santoso, 2010. Linguistik Forensik. Diunduh pada tanggal 28 April 2015 pukul 03.

54
WITA https://www.academia.edu/8446951/Linguistik_Forensik_Sebuah_Catatan_Kecil_
LINGUISTIK FORENSIK
Oleh
Teguh Santoso, S.S., M.Hum.
Peneliti Muda Bidang Bahasa pada Balai Bahasa Banda Aceh
Dalam buku Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik yang
disunting oleh Kushartanti dkk. terdapat satu bahasan yang tergolong baru
di Indonesia berkaitan dengan bidang ilmu interdisipliner. Ilmu
interdispliner tersebut dinamakan linguistik forensik (forensic linguistics).
Linguistik forensik adalah salah satu cabang linguistik (ilmu bahasa) yang
bersifat terapan (aplikatif) yang berkaitan dengan ranah hukum. Di
Indonesia, cabang ilmu bahasa ini berkembang pada tahun 1980-an dan
mencapai titik kemapanan sekitar tahun 1990-an. Sayangnya, pakar bidang ini di Indonesia
masih relatif sedikit.
Perkembangan berbagai kasus hukum, baik di ranah pidana maupun perdata dirasa
perlu untuk menerima sumbangsih atau kehadiran pakar bahasa sebagai tenaga ahli dalam
mengungkap berbagai kasus hukum, seperti pencemaran nama baik hingga persoalanpersoalan korupsi. Apabila selama ini investigasi atas sebuah kasus hukum lebih banyak
ditumpukan pada hasil penyidikan maupun penyelidikan pada aspek tertentu, barangkali
sudah saatnya kehadiran linguistik forensik dapat menjadi salah satu aspek penunjang yang
sangat berarti. Kehadiran pakar linguistik, khususnya linguistik forensik akan sangat
membantu dalam memberikan pembuktian sebuah perkara di pengadilan.
Linguistik forensik juga berurusan dengan masalah identifikasi penutur berdasarkan
dialek, gaya bicara, atau aksennya, bahkan kadang kala menganalisis tulisan tangan tersangka
untuk mendapatkan profilnya, mencocokkan rekaman suara tertuduh dengan sejumlah
tersangka, menganalisis ciri-ciri sidik suara seseorang, memastikan bahwa rekaman suara
yang ada adalah asli dan bukan merupakan rekayasa, serta menyaring dan memilah berbagai
kebisingan yang ikut terekam untuk mengetahui latar di mana rekaman itu dibuat. Semua
analisis ahli linguistik forensik itu menjadi bahan pertimbangan di pengadilan. Ahli linguistik
forensik sering kali dimintai pendapat sebagai saksi ahli.
Tataran Linguistik Forensik

Linguistik forensik memiliki beberapa tataran atau pembagian ke dalam beberapa subdomain
yang memiliki pertalian dengan pembuktian sebuah perkara hukum (Kushartanti, 2005: 56).
Tataran tersebut yaitu fonetik akustik, analisis wacana, dan semantik.
Fonetik akustik merupakan bidang kajian yang menggabungkan antara ilmu bunyi
bahasa dengan warna suara manusia (timbre). Salah satu substansi di dalam fonetik akustik
ini meliputi gaya tuturan seseorang sebagai pembuktian atas sebuah kasus hukum. Akhirakhir ini dengan semakin canggihnya teknologi, beberapa kasus hukum memanfaatkan
kehadiran perangkat teknologi tersebut. Salah satunya yaitu teknologi komunikasi, seperti
telepon seluler. Sebagai alat komunikasi, telepon seluler seringkali menjadi sarana
perhubungan yang efektif bagi pelaku-pelaku tindak kejahatan/ kriminal. Pembuktian akan
seseorang atas hasil investigasi berupa rekaman percakapan dapat dilakukan melalui analisis
terhadap warna suara orang tersebut yang disandingkan dengan suara aslinya. Apabila tingkat
akurasi atas investigasi ini tinggi, otomatis orang tersebut tidak akan mengelak atau
menyangkal. Pada satu sisi, seseorang tersebut tidak dapat lagi melakukan kebohongan atas
perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya.
Analisis wacana merupakan saah satu tataran linguistik forensik. Analisis wacana
adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Analisis ini lebih tinggi tatarannya
tidak hanya terbatas pada persoalan kalimat semata. Akan tetapi, analisis wacana ini memiliki
korelasi menyeluruh atas isi sebuah dokumen. Biasanya, analisis wacana ini digunakan untuk
membuktikan keabsahan dokumen pada sebuah perkara hukum. Seringkali dokumen sebagai
alat bukti sebuah perkara hukum dibedakan atas dua golongan besar berdasarkan sifatnya,
yakni dokumen yang informal dan dokumen formal. Analisis wacana memungkinkan para
ahli hukum untuk melihat bagaimana pesan-pesan diorganisasikan, digunakan, dan dipahami
oleh mereka-mereka yang terlibat dalam pelanggaran hukum. Di samping itu, analisis wacana
dapat pula digunakan dan dimungkinkan untuk melacak variasi cara yang digunakan oleh
seseorang (komunikator) dalam upaya mencapai tujuan atau maksud-maksud tertentu melalui
pesan-pesan yang terdapat di dalam sebuah wacana. Termasuk di dalam analisis wacana ini
yaitu pesan-pesan yang bersifat simbolik.
Semantik secara umum bermakna ilmu tentang makna bahasa. Semantik menjadi
ranah yang menarik dalam kasus-kasus hukum di Indonesia karena keunikan dari pengertian
yang tercakup di dalamnya. Sebuah makna bahasa, terkadang akan tersamar atau lugas dalam
pemakaiannya. Oleh karena itu, kita mengenal apa yang dinamakan makna leksikal dan
makna gramatikal. Bagi sebuah pembuktian sebuah kasus atau perkara hukum, para ahli
hukum tidak dapat hanya bertumpu pada satu pengertian makna saja. Justru makna

gramatikal-lah yang paling banyak ditemukan pada kasus-kasus hukum di Indonesia. Sebut
saja ketika kasus Proyek Hambalang menghadirkan bukti-bukti percakapan melalui BBM
(blackberry massenger). Masih segar dalam ingatan kita muncul istilah seperti apel malang,
durian monthong, dll. Kita tidak dapat begitu saja menelan apa yang terkandung di dalam
terminologi atau istilah tersebut. Harus disadari bahwa terminologi tersebut pastilah mengacu
pada makna atau pengertian lain. Untuk itu, pemahaman akan makna bahasa harus dilakukan
secara komprehensif dengan melibatkan juga konteks, bukan saja tekstual semata.
Perkembangan ilmu bahasa saat ini bahkan telah melampaui apa yang terkandung
dalam semantik. Sekarang semantik bahkan telah ditunjang oleh ilmu bahasa lain yang lebih
rinci melibatkan banyak indikator, seperti ilmu pragmatik. Pragmatik relatif lebih maju
karena di dalamnya terkandung maksim-maksim yang dapat digunakan dalam pembuktian
sebuah perkara terutama dari aspek bahasanya.
Bahasa dalam Ranah Hukum
Fungsi hakiki bahasa sejatinya adalah sebagai alat komunikasi. Aktivitas apapun dari sebuah
organisme manusia sebagai mahkluk sosial pasti membutuhkan komunikasi. Bahasa lah yang
menjembatani atau menjadi medium komunikasi tersebut. Dikaitkan dengan persoalan
hukum, bahasa tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Secara intrinsik, kita mengenal
ragam-ragam bahasa yang ada, seperti ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa jurnalistik, ragam
bahasa hukum, dsb. Setiap ragam bahasa tersebut memiliki karakteristik yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Ragaam bahasa hukum pun demikian. Setiap penulisan,
penyebutan, dan penggunaan istilah-istilah di dalamnya memiliki ciri khas. Akan tetapi, di
dalam ragam hukum yang harus diperhatikan, baik oleh para pembuat peraturan di bidang
hukum itu sendiri maupun para pelaksana atas pertauran hukum tersebut, yaitu persoalan
ambiguitas.
Ambiguitas dapat didefinisikan secara sederhana sebagai kegandaan makna (KBBI,
2008: 45). Persoalan makna bahasa inilah yang lagi-lagi menjadi topik yang selalu menghiasi
setiap perkara hukum di Indonesia. Hal ini terjadi karena tingkat pemahaman setiap orang
atas sebuah makna kata dapat berbeda-beda. Efeknya, pemahaman tersebut berimbas pada
penilaian yang berbeda. Hal ini akan menjadi sesuatu yang sangat riskan apabila terjadi di
dalam ranah bahasa. Sebagai ilustrasi kecil yaitu bagaimana seorang terduga dalam kasus
korupsi misalnya memaknai terminologi gratifikasi. Linguistik dapat memberikan batasanbatasan yang disertai dengan parameter tentang definisi gratifikasi. Hal itu dilakukan oleh
ilmu bahasa melalui analisis atau kajian yang dinamakan analisis komponen makna

(componential analysis of meaning). Apabila hal tersebut dapat dilakukan, sebuah istilah atau
terminologi tidak akan lagi menimbulkan perdebatan yang memakan waktu cukup lama.
Tampaknya, persoalan terminologi yang berada dalam ranah hukum perlu dibuat garis yang
tegas. Hal itu mengacu pada perkembangan penutur bahasa yang semakin kompleks. Saat ini
sah-sah saja seseorang atau sekelompok orang menggunakan terminologi yang mereka buat
masing-masing yang tentu saja untuk kepentingan yang cenderung tidak baik alias melanggar
hukum.
Aplikasi Linguistik Forensik di Indonesia
Sekilas telah dipaparkan bahwa kontribusi linguistik, khususnya linguistik forensik sangat
besar bagi upaya pengungkapan kasus-kasus hukum, mulai korupsi, terorisme dan perkaraperkara hukum lain. Namun, sangat disayangkan, perkembangan linguistik forensik di
Indonesia masih belum optimal. Dalam catatan penulis yang pernah penulis peroleh tentang
aplikasi linguistik forensik seperti yang dikemukakan oleh Aminudin Aziz, Guru Besar Ilmu
Linguistik di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Menurut Aminudin linguistik
forensik berkembang pesat dalam penanganan kasus-kasus hukum di Australia dan Amerika.
Menurut beberapa sumber di Amerika, bahasa sudah mulai diterapkan menjadi salah satu
bukti kuat dalam pengungkapan kasus kejahatan di pengadilan melalui kajian forensik
linguistik. Di Indonesia, bidang ilmu ini menurutnya pernah diaplikasikan pada kasus Prita
Mulyasari yang berseteru dengan sebuah rumah sakit swasta di Jakarta.
Secara ilmiah, linguistik forensik dapat mendeteksi kebohongan seseorang di dalam
Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Artinya, penerapan ilmu ini sebenarnya tidak hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang notabene berlatar belakang ilmu bahasa. Para penegak hukum
pun, terutama polisi, dapat mempelajari bahkan mengaplikasikan ilmu linguistik forensik.
Tentu saja setelah mereka dibekali dengan seluk beluk ilmu lingyistik forensik kaitannya
dengan pengungkapan sebuah perkara hukum.
Selama ini peran bahasa di dalam ranah hukum masih belum mencakup secara
keseluruhan. Hal ini penulis rasakan ketika harus membantu pihak kepolisian mengungkap
kasus pencemaran nama baik. Penulis sekedar dihadirkan sebagai saksi ahli bidang bahasa
dengan teknik analisis bahasa yang relatif sederhana. Teknik dalam bahasa yang berkaitan
dengan pengungkapan kasus (secara spesifik mengungkapkan kebohongan) sebenarnya juga
ada. Hanya saja peran serta seperti ini belum dimanfaatkan oleh para penegak hukum.
Persoalan di sisi lain mengenai aplikasi linguistik forensik di Indonesia juga perlu
mendapat perhatian. Secara khusus persoalan tersebut berkaitan dengan sumber daya

manusia. Saat ini tidak banyak perguruan tinggi di Indonesia yang membuka program studi
dengan konsentrasi utama linguistik forensik. Setidaknya, kalaupun hal itu memang terjadi,
ada baiknya muatan linguistik forensik dapat menjadi menu wajib mereka yang menuntut
ilmu di Fakultas Hukum. Hal itu sebagai bentuk sinergitas keilmuan bahwasanya
interdisipliner sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan global yang semakin global.
Di dalam teori linguistik disebutkan bahwa bahasa ibarat organisme. Ia bukanlah
organisme, tetapi bahasa mengalami proses hidup dan mati. Hidup matinya sebuah bahasa
inilah yang bergantung pada penuturnya. Semakin penutur sebuah bahasa kreatif, semakin
luas celah bahasa tersebut masuk ke dalam segala lini kehidupan. Hal ini perlu kita antisipasi
supaya tidak terjadi manipulasi bahasa, penyelewengan bahasa, dan distorsi bahasa sebagai
alat oleh pihak-pihak tertentu memperoleh keuntungan, menindas yang lemah, dan mengebiri
hukum di Indonesia. Semoga linguistik secara umum dan linguistik forensik secara khusus
dapat terus memberikan kontribusi khususnya bagi penegakan hukum di Indonesia. Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Eugene, Nida. 1979.Componential Analysis of Meaning: An Introduction to Semantic


Structures. Mouton De Gruyter
Kushartanti, Untung Yuwono dkk. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami
Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Sugono (editor). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (edisi IV). Jakarta:
Gramedia
Wijana, I Dewa Putu dan Muhamad Rohmadi. 2010. Analisis Wacana Pragmatik.
Yogyakarta: Yuma Pustaka

Anda mungkin juga menyukai