Anda di halaman 1dari 24

Purpura Trombositopeni Idiopatik

Alfrida Ade Bunapa/102011137


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat
bunapa_ade@yahoo.co.id

PENDAHULUAN
Pendarahan, trombosis intravascular dan emboli adalah manifestasi klinis yang umum
ditemukan pada banyak penyakit. Sistem hemostatik yang normal membatasi kehilangan
darah melalui interaksi yang diatur secara tepat yaitu komponen dinding darah, trombosit
yang bersirkulasi, dan protein plasma. Sistem hemostatik terdiri daripada dua yaitu
hemostatik primer dan sekunder.
Hemostatik primer adalah pada proses pembentukan sumbat trombosit pada tempat
jejas. Proses ini terjadi dalam beberapa detik setelah terjadinya jejas dan sangat penting
dalam menghentikan kehilangan darah dari kepiler, arteriol kecil dan venul.
Hemostatis sekunder menggambarkan reaksi sistem koagulasi plasma yang
menyebabkan pembentukan fibrin. Proses ini membutuhkan beberapa menit sampai menit
sampai selesai. Pita fibrin yang terhasil akan menguatkan sumbat hemostatik primer. Reaksi
ini terutama penting pada pembuluh darah besar dan mencegah pendarahan menjadi kambuh
dalam waktu berjam-jam atau berhari-hari setelah jejas awal. Hemostatis sekunder dan primer
sangat terkait rapat oleh karena aktivasi trombosit akan mempercepat koagulasi plasma dan
produk reaksi plasma seperti trombosit dan merangsang aggregasi trombosit
Informasi tertentu dari riwayat pasien misalnya tercatat obat-obat yang diminum
membantu menegakkan diagnosis yang benar. Pemeriksaan fisik dapat mengenali pendarahan
di dalam kulit atau deformitas pada sendi karena adanya hamartosis. Tes skrining umum pada
mulanya berguna dalam mencatat kelainan sistemik dan selanjutnya tes tersebut dilengkapi
dengan tes spesifik untuk koagulasi protein atau fungsi trombosit sehingga dapat dicapai
diagnosis yang akurat.1

Anamnesis
Identitas pasien:
Keluhan utama: Datang dengan keluhan pada daerah lengan serta kaki mudah memar.
Riwayat penyakit sekarang:Mimisan dan gusi sedang mengkonsumsi obat-obatan
Adapun beberap hal yang bisa kita tanyanya:

Sejak kapan mengalami memar?


Apakah hanya pada lengan dan kaki atau terdapat dibagian tubuh lain?
Munculnya saat kapan ?
Apakah sakit dan nyeri pada tempat memar?
Pernah mengalami trauma?
Pernah menjalani pengobatan?
Apakah mengkonsumsi obat obat yang mencetuskan perdarahan?
Bagaimana siklus menstruasinya?
Ada tanda Perdarahan lain?
Adanya riwayap penyakit Autoimun lain(SLE), Artritis ?

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien dengan perdarahan tanpa trauma meliputi:
-

Observasi umum terhadap pasien yang baru datang meliputi keadaan umum, dan
tanda-tanda vital. Biasanya tanda vital ini dalam parameter yang normal, keadaan
umum dapat bervariasi sesuai dengan kapan pasien datang, dalam kasus yang kita

dapat os datang dengan keadaan umum tampak sakit ringan, dan compos mentis. 3
Pemeriksaan klinik mengenai adanya perdarahan pada kulit atau mukosa, hal ini
memang sudah didapat di dalam anamnesa, namun kita tentu dapat memeriksanya
dengan inspeksi untuk melihat kemungkinan-kemungkinan perdarahan (petechie,
echymosis). Untuk menguji faal trombosit dengan uji bending atau Rumpel & Leede)
selain itu melalui percobaan ini terdapat factor kerapuhan pembuluh darah. Cara uji
bending ialah memasangkan manset tensimeter dan memompa sampai 100 mmHg
sampai 10 menit. Lalu hitung jumlah petechiae. Tes ini positif jika jumlah petechiae
lebih dari 10.3
Purpura sering dijumpai pada kasus dermatologi dan hematologi, dan sering pula
berhubungan atau menyertai penyakit lain. Purpura adalah ekstravasasi sel darah
merah (eritrosit) ke kulit lendir (mukosa), dengan manifestasi berupa macula
kemerahan yang tidak hilang pada penekanan. Kadang-kadang purpura dapat diraba
(palpable purpura). Purpura secara perlahan mengalami perubahan warna, mula-mula
2

merah menjadi kebiruan, disusul warna coklat kekuningan dan akhirnya memudar dan
hilang. Menurut ukuran besarnya dibedakan atas: 3,4
1. Ptekie, purpura superficial berukuran miliar atau dengan diameter kira-kira
berukuran 3mm, mula bewarna merah kemudian menjadi coklat seperti karat besi.
2. Ekismosis, ukurannya lebih besar dan letaknya lebih dalam dari ptekie, bewarna
biru kehitaman.
3. Sugulasio, bila ukuran purpura nummular.
4. Hematoma, bila darah berkumpul di jaringan membentuk tumor dengan konsistensi
-

yang padat.
Kemungkinan perdarahan yang kita periksa diatas merupakan gejala utama, namun
awitan penyakit mempengaruhi perdarahan, biasanya pada anak akan terjadi penyakit
akut, perdarahannya ringan serta dapat remisi. Namun ternyata pada dewasa
cenderung penyakit bersifat kronik. Seperti telah dijelaskan perdarahan berupa

ekimosis, petekie, dan purpura dan hal ini berkaitan dengan jumlah trombosit.
Pemeriksaan terhadap organ hati dan limpa dapat diperiksa, pada sekitar10% dari
kasus ITP didapatkan splenomegali. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan

kompensasi yang dilakukan akibat trombosit yang berkurang.3


Kasus yang lebih berat dapat terjadi perdarahan mukosa. Pada kasus yang paling
berat, dapat terjadi perdarahan CNS. Perdarahan biasanya tidak terjadi sampai jumlah
hitung trombosit turun hingga dibawah 10x109/L. pasien dengan jumlah hitung
trombosit sekitar 40x109/L (dan belum menggunakan medikasi) tidak memiliki
manifestasi perdarahan dan dapat asimtomatik. Bila pasien dengan AT>50.000/mL
maka

biasanya

pasien

asimtomatik,

AT

30.000-50.000/mL

terdapat

luka

memar/hematom, AT 10.000-30.000/mL terdapat perdarahan spontan, menoragi dan


perdarahan memanjang bila ada luka, AT<10.000/mL terjadi perdarahan mukosa dan
-

resiko perdarahan system saraf pusat. 3


Keluhan perdarahan pada berbagai penyakit hemostasis termasuk ITP, maka kita juga
memeriksa kemungkinan anemia dengan memeriksa konjungtiva, sclera. Yang

semuanya dalam kasus seperti ini dalam batas normal.


Kecurigaan penyakit dari hidung karena epistaksis harus diperiksa, maka pada
pemeriksaan hidung dalam batas normal, selain itu kelenjar getah bening dan
pemeriksaan fisik torak serta abdomen juga diperiksa untuk menyingkirkan penyakitpenyakit lain misalnya infeksi, namun pada kasus hematologi ini infeksi lebih rentan
terjadi terutama yang akut pada anak. 3

Pemeriksaan Penunjang

Tes Darah Lengkap

Pemeriksaan Darah Lengkap (Complete Blood Count / CBC) yaitu suatu jenis pemeriksaaan
penyaring untuk menunjang diagnosa suatu penyakit dan atau untuk melihat bagaimana
respon tubuh terhadap suatu penyakit. Disamping itu juga pemeriksaan ini sering dilakukan
untuk melihat kemajuan atau respon terapi pada pasien yang menderita suatu penyakit . 5
a. Kadar Hemoglobin (Hb)
Hb merupakan zat protein yang ditemukan di eritrosit yang memberi warna merah pada
darah. Kadar hemoglobin biasanya menurun pada anemia. Namun seseorang pasien itu
dikatakan

tidak

anemik

sampai

kadar

hemoglobin

<

10.5

dapat menyebabkan rendahnya kadar Hb darah jika tidak segera diganti

g/dl.
namun

Perdarahan
kadarnya

tidak menurun dengan cepat dan akan tetap normal selama beberapa jam, bahkan beberapa
hari. Peningkatan hemoglobin akan terjadi sekiranya terdapat dehidrasi.
Setelah klien diberikan penggantian pencairan, kadar hemoglobin harus kembali kerentang
normal. 5
Tabel 1. Nilai Rujukan Hb
DEWASA
Pria : 13 17 g/dL
Wanita : 12 15 g/dL

ANAK
BBL : 14 24 g/dL
Bayi : 10 17 g/dL
Anak : 11 -16 g/dL

b. Hitung leukosit, trombosit, eritrosit


Hitung sel darah adalah suatu pemeriksaan untuk menentukan jumlah seldalam setiap
mikroliter darah. Ketetapan dan ketelitian hasil pemeriksaan inisangat tergantung dari
ketetapan dan ketelitian pengenceran volume darah yang diperiksa dan kecermatan ketika
menghitung sel tersebut dengan menggunakan mikroskopik. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cara manual atau automatik. Cara manual dilakukan dengan melakukan pengenceran
darah dalam suatu larutan tertentu. Selanjutnya sel darah dalam volume pengenceran akan
dihitung dengan menggunakan kamar hitung. Kamar hitung yang lazimdigunakan

adalah

kamar hitung Improved Neubauer. Dengan cara automatik, penghitungan sel menjadi lebih
mudah, lebih cepat dan teliti. Kelemahannya adalah biayanya yang lebih mahal dan
memerlukan perawatan yang cermat. 5
Tabel 2. Nilai rujukan
Eritrosit
Pria: 4.5 5.9 106/L atau

Leukosit
4.5 11 103/L atau

Trombosit
150 350 103/L atau

4.5 5.9 109 L


Wanita: 4 4.2 106/L atau 4

4.5 11 109 L

150- 350 109 L

5.2 109 L

d. Hitung retikulosit
Berdasarkan hasil pemeriksaan hitung retikulosit dapat dinilai aktivitaseritropoiesis. Bila akti
vitas eritropoiesis

meningkat maka jumlah

retikulositmeningkat.Peningkatan

aktivitas

eritropoiesis dapat dijumpai pada pasca pendarahan,anemia hemolitik, dan pengobatan


anemia yang berhasil.
Tabel 4. Nilai rujukan hitung retikulosit

Sediaan hapus darah tepi untuk menilai morfologi trombosit

Pemeriksaan sediaan hapus darah tepi termasuklah pemeriksaan laboratorium rutin yang
bertujuan mengevaluasi morfologi sel darah tepi. Pada pemeriksaan ini yang dilihat adalah
keadaan eritrosit, leukosit, trombosit. Dalam kasus terfokuskan untuk melihat morfologi
trombosit. Dengan pemeriksaan sediaan hapus darah tepi dapat diperkirakan jumlah
trombosit. Dalam keadaan normal terdapat 4-8 trombosit/100 eritrosit. Selain itu perlu
diperhatikan pual ada tidaknya kelainan morfologi trombosit seperti giant thrombocyte atau
atypical thrombocyte. 5

Nilai eritrosit rata-rata

a. Volume Eritrosit Rata-rata (VER)


VER = Ht (%) / E (juta/dl) x 10 (fL)
*Nilai rujukan : 82 92 Fl
b. Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (HER)
HER = Hb (g/dl) / E (juta/uL) x 10 (pg)
*Nilai rujukan : 27 31 pg
c. Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER)
KHER = Hb (g/dl) / Ht (%) x 100 %
* Nilai rujukan : 32 37 %

Tes Hemostasis

Perlu dilakukan pada keadaan symptom perdarahan, riwayat perdarahan dalam keluarga,
sebelum pembedahan. Terbagi menjadi: 5
5

1. Tes Penyaring
a.
b.
c.
d.

Masa perdarahan (bleeding time)


Percobaan pembendungan (Rumple & Leede)
Hitung trombosit (platelet count)
Masa protrombin (prothrombin time), menguji pembekuan darah jalan ekstrinsik dan
jalan bersama. Nilai normal: 11.1 - 13.1 detik. Pelaporan dalam International

Normalised Ratio (INR) Normal: INR = 1.


e. Masa tromboplatin parsial teraktivasi ( activated partial thromboplastin time= aPPT),
menguji pembekuan darah jalan intrinsic dan jalan bersama. Normal aPTT: <34 detik.
f. Masa thrombin (thrombin time), menguji perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
Normal 16-24 detik.
g. Tes skrining untuk faktor XIII, tidak dapat ditetapkan dengan pemeriksaan masa
protrombin, aPTT atau masa thrombin.
2. Tes khusus

Platelet aggregation (dengan Adenosis Diphosphate = ADP, epinephrin,ristocetin)


Fibrin degration product (FDP), D dimer
Thrombotest
Antithrombin III
Protein C
Protein S
Assai F. VIII, F. IX
Von Willerbrands factor
Thromboplastin Generation Test (TGT)
Protrombin Consumption Test (PCT)
Thrombin antithrombin complex
Prothrombin fragment 1.1
Fibrinopeptida A
Fibrin monomer complex
Tes sumsum tulang
Tes yang dapat membantu mengidentifikasi penyebab trombosit yang rendah adalah

sebuah ujian sumsum tulang. Trombosit diproduksi di sumsum tulang yaitu bagian yang
lunak dan mempunyai jaringan spons di pusat tulang besar. Dalam beberapa kasus, sample
sumsum tulang padat dibuang disebuah prosedur yang disbeut biopsy sumsum tulang.
Selain itu bisa juga dilakukan aspirasi sum-sum tulang yang mehilangkan bagian cairan pada
tulang. Pada kebanyakan kasus, kedua-dua sampel sumsum tulang pada dan cair diambil di
tempat yang sama di bagian belakang salah satu tulang pinggul.Jarum dimasukkan ke dalam
tulang melalui satu insisi. Hasil yang didapatkan ialah peningkatan jumlah megakariosit serta
ada gambaran multinuclearity serta lobulasi. Hal ini disebabkan karena kompensasi oleh
sumsum tulang terhadap keadaan trombositopenia. 5,6

Diagnosis Banding
a. Demam Berdarah Bengue (DBD)

Demam dengue adalah demam virus akut yang disertai sakit kepala, nyeri otot, sendi dan
tulang, penurunan jumlah sel darah putih dan ruam-ruam. Demam berdarah dengue/dengue
hemorrhagic fever (DHF) adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan
manifestasi perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan
pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut
dengue shock syndrome (DSS).7
PENYEBAB
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh salah satu dari 4 serotipe virus yang berbeda
antigen. Virus ini adalah kelompok Flavivirus dan serotipenya adalah DEN-1, DEN-2,
DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan
seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga
seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kali
seumur

hidupnya.

Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk
ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari. Faktor resiko penting pada DHF
adalah serotipe virus, dan faktor penderita seperti umur, status imunitas, dan predisposisi
genetis. 7
GEJALA
Infeksi oleh virus dengue menimbulkan variasi gejala mulai sindroma virus nonspesifik
sampai perdarahan yang fatal. Gejala demam dengue tergantung pada umur penderita. Pada
bayi dan anak-anak kecil biasanya berupa demam disertai ruam-ruam makulopapular. Pada
anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan demam ringan atau demam
tinggi (>39 derajat c) yang tiba-tiba dan berlangsung selama 2 - 7 hari, disertai sakit kepala
hebat, nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan otot, mual-muntah dan ruam-ruam. Bintikbintik perdarahan di kulit sering terjadi, kadang kadang disertai bintik-bintik perdarahan di
farings dan konjungtiva. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu
hati, nyeri di tulang rusuk kanan dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai
40-41OC dan terjadi kejang demam pada bayi. DHF adalah komplikasi serius dengue yang
dapat mengancam jiwa penderitanya, ditandai oleh : 7

demam tinggi yang terjadi tiba-tiba


manifestasi perdarahan
7

hepatomegali/pembesaran hati
kadang-kadang terjadi syok manifestasi perdarahan pada dhf dimulai dari tes
torniquet positif dan bintik-bintik perdarahan di kulit (ptechiae). Ptechiae ini bisa
terlihat di seluruh anggota gerak, ketiak, wajah dan gusi. juga bisa terjadi
perdarahan hidung, perdarahan gusi, perdarahan dari saluran cerna dan perdarahan
dalam urin.

Berdasarkan gejalanya DHF dikelompokkan menjadi 4 tingkatan : 7


Derajat I : demam diikuti gejala tidak spesifik. satu-satunya manifestasi perdarahan adalah
tes torniquet yang positif atau mudah memar.
Derajat II : gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan.
perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah,
hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit lembab dan penderita gelisah.
Derajat IV : syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diperiksa.

fase

kritis

pada

penyakit

ini

terjadi

pada

akhir

masa

demam.

Setelah demam selama 2 - 7 hari, penurunan suhu biasanya disertai dengan tanda-tanda
gangguan sirkulasi darah. penderita berkeringat, gelisah, tangan dan kakinya dingin, dan
mengalami perubahan tekanan darah dan denyut nadi. Pada kasus yang tidak terlalu berat
gejala-gejala ini hampir tidak terlihat, menandakan kebocoran plasma yang ringan. Bila
kehilangan plasma hebat, akan terjadi syok, syok berat dan kematian bila tidak segera
ditangani. Kondisi yang buruk bisa segera ditangani dengan diagnosa dini dan pemberian
cairan pengganti. Trombositopeni dan hemokonsentrasi sudah dapat dideteksi sebelum
demam turun dan terjadi syok. Pada penderita dengan DSS kondisinya dengan segera
memburuk. Ditandai dengan nadi cepat dan lemah, tekanan darah menyempit sampai
kurang dari 20 mmhg atau terjadi hipotensi. Kulit dingin, lembab dan penderita mula-mula
terlihat mengantuk kemudian gelisah. Bila tidak segera ditangani penderita akan meninggal
dalam 12 - 24 jam. Dengan pemberian cairan pengganti, kondisi penderita akan segera
membaik. Pada syok yang berat sekalipun, penderita akan membaik dalam 2 -3 hari.
Tanda-tanda adanya perbaikan adalah jumlah urine yang cukup dan kembalinya nafsu
makan. Syok yang tidak dapat diatasi biasanya berhubungan dengan keadaan yang lain
seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat di saluran cerna atau organ lain. Perdarahan
yang terjadi di otak akan menyebabkan penderita kejang dan jatuh dalam keadaan koma.
DIAGNOSA
8

Pada awal mulainya demam, dhf sulit dibedakan dari infeksi lain yang disebabkan oleh
berbagai jenis virus, bakteri dan parasit. Setelah hari ketiga atau keempat baru
pemeriksaan darah dapat membantu diagnosa. Diagnosa ditegakkan dari gejala klinis dan
hasil pemeriksaan darah : 7

Trombositopeni, jumlah trombosit kurang dari 100.000 sel/mm3


Hemokonsentrasi, jumlah hematokrit meningkat paling sedikit 20% di atas rata-

rata.
Hasil laboratorium seperti ini biasanya ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-7.

Kadang-kadang dari x-ray dada ditemukan efusi pleura atau hipoalbuminemia yang
menunjukkan adanya kebocoran plasma. Kalau penderita jatuh dalam keadaan syok, maka
kasusnya disebut sebagai Dengue Shock Syndrome (DSS). 7
b. Drug induced immune thrombocytopenia
Beberapa jenis obat seperti quinine, sedormid, heparin serta garam emas dapat
menyebabkan timbulnya trombositopenia. Mekanisme ini dapat terjadi akibat pengaruh
sistem imun. Oleh karena itu penting bagi kita untuk menanyakan riwayat pemakaian obat
saat melakukan anamnesis pasien. Quinine merupakan suatu obat malaria bagi
Plasmodium falciparum. Penggunaan obat ini dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan kegagalan hemostasis yang bermanifestasi klinik sebagai purpura maupun
ekimosis, serta perdarahan pada sistem saraf pusat. Mekanismenya dicurigai karena
kompleks imun yang tertarik oleh glikoprotein 1b pada keping darah yang kemudian
dihancurkan oleh sistem retikulo endotelial.8
Garam emas yang digunakan sebagai pengobatan rheumatoid arthritis dapat menyebabkan
trombositopenia dengan onset yang cepat. Hal ini dicurigai karena adanya peranan HLA
DR3. Pada pasien yang mengalami rheumatoid arthritis, penggunaan NSAID dapat
menyebabkan depresi sumsum tulang dan hipersplenisme yang juga dapat menyebabkan
trombositopenia. 8
Heparin merupakan suatu obat antikoagulasi yang bekerja dengan cara berikatan pada
antitrombin-3 yang kemudian meningkatkan aktivitasnya sehingga menghambat terjadinya
koagulasi darah. Trombosititopenia yang terjadi akibat penggunaan heparin biasanya
ringan. Trombositopenia dengan derajat yang lebih berat dapat terlihat jika heparin
digunakan dalam jangka waktu 7-14 hari. Peningkatan IgG dan C3 pada platelet dicurigai
dapat menyebabkan terbentuknya kompleks heparin-platelet. Hal ini akan mempersulit saat
dilakukan pengobatan karena dapat muncul trombosis karena adanya kompleks ini.
9

Sedangkan heparin merupakan obat yang digunakan dalam kondisi ini. Oleh karena ini
harus digunakan antikoagulan lain seperti warfarin dan streptokinase untuk mengatasi
trombosis tersebut. 8
c. Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID)
KID atau disseminated intravascular coagulation (DIC) adalah suatu
kesatuan klinis dan patologis yang di akibatkan oleh aktivasi tidak terkendali system
koagulasi dan system fibrinolitik, sehingga pada saat yang sama dapat menimbulkan
thrombosis dan perdarahan. Sindrom ini dapat dijumpai pada hampir semua disiplin klinis,
khususnya pada bidang gawat darurat. DIC bukanlah suatu kesatuan penyakit, tetapi
merupakan akibat sekunder dari berbagai penyakit dasar tertentu.9
Dilihat dari segi pathogenesis:
1. DIC dapat dipicu oleh pelepasan bahan prokoagulan (faktor jaringan =
tissue factor) ke dalam sirkulasi
2. DIC dapat juga dipicu oleh kerusakan endotel yang luas seperti pada sepsis
atau infeksi virus
3. Agregasi trombosit yang luas juga dapat memicu timbulnya DIC
Ketiga hal diatas akan menyebabkan aktivasi kaskade koagulasi, baik jalur intrinsic
maupun ekstrinsik sehingga menghasilkan fibrin yang menyebabkan terjadinya thrombosis.
Pembentukan fibrin yang meluas ini akan merangsang fibrinolisis sekunder yang
menghasilkan FDP (fibrin/fibrinogen degradation product). FDP bekerja sebagai
antikoagulan yang menghambat kerja thrombin. Pembentukan fibrin yang berlebihan akan
menyebabkan konsumsi berlebihan trombosit dan fakto pembekuan sehingga terjadi
trombositopenia dan defisiensi faktor pembekuan. Ketiga hak diatas akan menimbulkan
perdarahan-perdarahan. Sedangkan thrombosis akan menimbulkan kerusakan organ
terutama hati, ginjal dan SSP sehingga terjadi multiple organ failure. 9
Diagnosis DIC dibuat jika terdapat: a) gejala perdarahan, b) gagal organ multiple, c)
trombositopenia, d) aPTT dan waktu thrombin memanjang, titer/kadar fibrinogen menurun,
e) FDP meningkat, f) apusan darah tepi menunjukkan adanya anemia hemolitik
mikroangiopatik dengan adanya fragmentosit, g) pada setting penyakit dasar yang sesuai.
Pemeriksaan D-dimer yang merupakann petanda pemecahan fibrin ikat silang sekarang
dianggap lebih spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan FDP. 9
Gambaran klinis:
Manifestasi klinisnya KID bisa berkaitan dengan etilogi KID itu sendiri ataupun keduanya.
10

Perdarahan pada kulit seperti petekie, ekimosis dari bekas suntik atau infuse atau pada
mukosa, sering terjadi pada pristiwa akut. Pendarahan tersebut dapat masif dan
membahayakan misalkan pendarahan pada trakturs gastrointestinal, paru, susunan saraf
pusat atau mata. Pasien dengan KID kronik umumnya hanya disertai sedikit perdarahan
pada kulit dan mukosa. 9
Thrombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pada kulit dapat
berupa bula hemoragik, nekrosis akral dan gangrene. Thrombosis vena dan arteri besar
dapat terjadi tetapi jarang. Disfungsi organ akibat mikrotrombosis yang luas ini dapat
berupa iskemia korteks ginjal, hipoksemia hingga perdarahan dan acute respiratory distress
syndrome (ARDS) pada paru serta penurunan kesadaran. Disfungsi hati dengan ikterus
dilaporkan terdapat pada 22-57% pasien KID. Bisa juga terdapat pembentukan sitokin dan
kinin: takikardi, hipotensi dan edema.
Dari hasil labolatorium didapatkan: 9

Bukti adanya aktivasi koagulasi:


Peningkatan protrombin, D-dimer, fibrinopeptide A dan B

Bukti adanya akitnasi fibrinolisis


Peningkatan PAP (plasmin-antiplasmin), D-Dimer, FDP (fibrinogen degradation
products)

Bukti adanya konsumsi inhibitor


Penurunan aktivitas antitrombin (AT), protein C dan protein S

Bukti di fungsi organ


Peningkatan ureum, kreatinin, LDH

Apus darah tepi


Burr cell, fragmentosit, trombostitopeni.

d. Hemofilia
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang paling
sering di jumpai, bermanifestasi sebagai episode perdarahan intermiten. Hemofilia
disebabkan oleh mutasi gen faktor VIII (F VIII) atau faktor IX (F IX), di kelompokan
sebagai hemifilia A dan hemofilia B. Kedua gen tersebut terletak pada kromosom x,
sehingga termasuk penyakit resesif terkait-X. Oleh karena itu, semua anak perempuan dari
laki-laki yang menderita hemofilia adalah karier penyakit, dan anak laki-laki tidak terkena.
Anak laki-laki dari perempuan yang karier kemungkinan 50% untuk menserita penyakit
11

hemofilia. Dapat terjadi wanita homozigot dengan hemofilia (ayah hemofilia, ibu karier),
tetapi keadaan ini sangat jarang terjadi. Kira-kira 33% pasien tidak memiliki riwayat
keluarga dan mungkin akaibat mutasi spontan.10
Dua jenis utama hemofilia yang secara klinis identik adalah: (1) hemofilia
klasik atau hemofilia A, yang ditemukan adanya defisiensi atau tidak adanya aktivitas
faktor antihemofilia VIII, dan (2) penyakit Christmas, atau hemofilia B, yang di temukan
adanya defisiensi atau tidak adanya aktivitas faktor IX. Hemofilia diklasifikasikan sebagai
(1) berat, dengan kadar aktivitas faktor kurang dari 1% (2) sedang, dengan kadar aktivitas
di anatara 1% dan 5% serta (3) ringan, jika 5% atau lebih. Perdarahan spontan dapat terjadi
jika kadar aktivitas faktor kurang dari 1%. Akan tetapi, pada kadar 5% atau lebih,
perdarahan umumnya terjadi berkaitan dengan trauma atau prosedur pembedahan.
Manifestasi klinis meliputi perdarahan jariangan lunak, otot, dan sendi, terutama sendisendi yang menopang berat badan, disebut hemartrosis (perdarahan sendi). Perdarahan
berulang ke dalam sendi menyebabkan degenerasi kartilago artikularis disertai gejalagejala artritis. Perdarahan retroperitonial dan intrakranial merupakan keadaan yang
mengancam jiwa. Derajat perdarahan berkaitan dengan banyaknya aktifitas faktor dan
beratnya cedera. Perdarahan dapat terjadi segera atau berjam-jam setelah cedera.
Perdarahan karena pembedahan sering terjadi pada semua pasien hemofilia, dan sgala
prosedur pembedahan yang diantisipasi memerlukan penggantian faktor secara agresif
sewaktu praoperasi dan pascaoperasi sebanyak lebih dari 50% tingkat aktivitas. 10
Diagnosis laboratorium meliputi pengukuran kadar faktor yang sesui: faktor VIII
untuk hemofilia A atau faktor IX untuk hemofilia B. Karena faktor-faktor VIII dan IX
merupakan bagian jalur intrinsik koagulasi, maka PPT memanjang, sedangkan PT, yang
tidak melalui jalur intrinsik tetap normal. Waktu perdarahan, pemeriksaan fungsi trombosit
biasanya normal, tetapi dapat terjadi perdarahan yang terlambat karena stabilisasi fibrin
yang tidak adekuat. Jumlah trombosit normal. 10
Diagnosis Kerja
Purpura trombositopenik idiopatik atau idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)
secara klinis dibagi menjadi 2 golongan yaitu ITP akut dan ITP kronik. ITP kronik lebih
banyak pada wanita dewasa dan berjalan menahun. Sebagian besar ITP kronik timbul karena
proses autoimun, timbulnya autoantibody terhadapt antigen trombosit sendiri, sehingga
terjadi destruksi trombosit dalam darah tepi.

12

Gambaran klinis berupa perdarahan kulit yaitu purpura, dapat dalam bentuk ptekhie
atau ekismosis, perdarahan mukosa dan pada wanita terutama dalam bentuk menorrhagia.
Diagnosis ditegakkan jika terdapat trombositopenia pada darah tepi dengan sumsum tulang
menunjukkan megakariosit normal atau meningkat. Diagnosis ditunjang dengan adanya
antibody antitrombosit, serta ekslusi terhdapat penyebab trombositopenia sekunder. ITP pada
orang dewasa biasanya berjalan pelan-pelan. Kegawatan dapat timbul jika terjadi
trombositopenia berat yang menimbulkan perdarahan. Penderita dengan trombosit
<20.000/mm3 akan disertai perdarahan kulit (ekismosis & ptekhie), bruishing dan perdarahan
mukosa. Jika trombosit < 10.000/mm3 dapat menimbulkan bahaya perdarahan otak atau
perdarahan GIT dengan angka kematian 40%.9
Etiologi
Penyakit ini sering timbul terkait dengan sensitisasi oleh infeksi virus; pada kirakira70% kasus ada penyakit yang mendahului seperti rubella, rubeola, atau infeksi saluran
nafas virus. Jarak waktu antara infeksi dan awitan purpura rata-rata 2 minggu.
Seperti pada bentuk dewasa, tampaknya mekanisme imun merupakan dasar pada,trombositop
enia. Antibody trombosit dapat ditemukan pada beberapa kasus akut. Kenaikan jumlah
IgG telah ditemukan

terikat pada trombosit

dan menunjukkan

kompleks

imun

yang

terabsorpsi pada permukaan trombosit. Tidak ada uji masa kini yang konsisten dapat
diandalkan untuk diagnosis serologic ITP. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi
dikemukakan berbagai kemungkinan diantaranya ialah hipersplenisme, infeksi virus (demam
berdarah, morbili, varisela dan sebagainya), intoksikasi makanan atau obat (asetosal, PAS,
fenilbutazon, diamox,kina, sedormid) atau bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi, panas),
kekurangan factor pematangan (misalnya malnutrisi), DIC (misalnya pada DSS, leukemia,
respiratory distress syndrome pada neonatus) dan terakhir dikemukakan bahwa ITP ini
terutama yang menahun merupakan penyakit autoimun. Hal ini diketahui dengan
ditemukannya zat anti terhadap trombosit dalam darah penderita. Pada neonatus kadangkadang ditemukan trombositopenia neonatal yang disebabkan inkompabilitas golongan darah
trombosit antara ibu dan bayi (isoimunisasi). Prinsip patogenesisnya sama dengan
inkompabilitas

rhesus

atau

ABO.

Jenis

antibody

trombosit

yang

sering

ditemukan pada kasus yang mempunyai dasar imunologis ialah anti P1E1 dan anti P1E2.
Mencari kemungkinan penyebab ITP ini penting untuk menentukan pengobatan, penilaian
pengobatan dan prognosis.10
Epidemiologi
13

Insiden ITP pada anak antara 4,0-5,3/100.000, ITP akut umumnya terjadi pada anakanak usia antara 2-6 tahun. 7-28% anak-anak dengan ITP akut berkembang menjadi kronik
15-20%. ITP pada anak berkembang menjadi bentuk ITP kronik pada beberapa kasus
menyerupai ITP dewasa yang khas. Insiden ITP yang kronis pada anak diperkirakan
0,46/100.000 anak pertahun. Insiden ITP kronik dewasa adalah 58-66 kasus baru per satu juta
populasi per tahun (5,8-6,6 per 100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris.
ITP kronik pada umumnya terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata usia 40-45
tahun. Rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 1:1 pada penderita ITP akut sedangkan
pada ITP kronik adalah 2-3:1. Penderita ITP refrakter ditemukan kira-kira 25-30% dari
jumlah penderita ITP. Kelompok ini mempunyai respon jelek terhadap pemberian terapi
dengan morbiditas yang cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16%.6
Faktor Resiko
Pada kasus ini pasien menderita idiopathic trombositopenic purpura (ITP), dengan
jenis kelamin sebagai faktor resiko, yaitu wanita dimana wanita beresiko 2x lipat lebih sering
terkena ITP daripada pria, untuk penyebab pastinya tidak diketahui.5

Patofisiologi
Sindroma PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yang berikatan dengan
trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit
mononuklear melalui reseptor Fc makrofag.
Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama mengidentifikasi membran trombosit glikoprotein
IIb/IIIa (CD41) sebagai antigen yang dominan dengan mendemonstrasikan bahwa
autoantibodi eluate dari trombosit pasien PTI berikatan dengan trombosit normal.
Diperkirakan bahwa PTI diperantarai oleh suatu autoantibodi, mengingat kejadian transient
trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita PTI,dan perkiraan ini
didukung oleh kejadian transienttrombositopeni pada orang sehat yang menerima tranfusi
plasma kaya igG,dari seorang penderita PTI. Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi
igG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan
reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar penderita,akan
14

terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Pada sebagian kecil
yang lain,produksi trombosit tetap terganggu,sebagian akibat destruksi trombosit yang
diselimuti oleh autoantibodi oleh makrofag di dalam sumsum tulang (intramedullary), atau
karena hambatan pembentukan megakariosit (megakaryocytopoiesis), kadar trombopoetin
tidak meningkat,menunjukkan adanya masa megakariosit normal.
Untuk sebagian kasus PTI yang ringan,hanya trombosit yang diserang,dan
megakariosit mampu untuk mengkompensasi parsial dengan meningkatkan

produksi

trombosit. Penderita PTI dengan tipe ini dapat dikatakan menderita PTI kronik tetapi stabil
dengan jumlah trombosit yang rendah pada tingkat yang aman. Pada kasus yang berat,auto
antibodi dapat langsung menyerang antigen yang terdapat dalam trombosit dan juga pada
megakariosit. Pada tipe ini produksi trombosit terhenti dan penderita harus menjalani
pengobatan untuk menghindari risiko perdarahan internal/organ-organ dalam.
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi PTI
untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik kekurangan kompleks glikoprotein
Iib/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein Ib/IX,
Ia/Iia, IV dan V dan determinan trombosit yang lain. Juga dijumpai antibodi yang bereaksi
terhadap berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang
diperkirakan dipicu oleh antobodi, akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen,yang
berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopeni.
Secara alamiah,antibodi terhadap kompleks glikoprotein Iib/IIIa memperlihatkan
restriksi penggunaan rantai ringan,sedangkan antobodi yang berasal dari displai
phagemenunjukkan penggunaan gen VH. Pelacakan pada daerah yang berikatan dengan
antigen dari antibodi-antibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel
B yang mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik.
Penderita PTI dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLA-DR + T
cells,peningkatan jumlah reseptor interleukin 2 dan peningkatan profil sitokin yang
menunjukkan aktivasi prekursor sel T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini,
sel T akan merangsang sintesis antibodi setelah terpapar fragmen glikoprotein Iib/IIIa tetapi
bukan karena terpapar oleh protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan
alasan aktivasi sel T yang bertahan lama tidak diketahui dengan pasti.

15

Gambar 1. Patogenesis penyebaran epitop pada purpura trombositopenia idiopatik (PTI)

Dari gambar 1 dapat memperjelas bahwa,faktor yang memicu produksi autoantibodi tidak
diketahui. Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap glikoprotein pada permukaan
trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein Iib/IIIa
dikenali oleh autoantibodi,sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum
terbentuk pada tahap ini (1). Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan
sel penyaji antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami
proses internalisasi dan degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein
Iib/IIIa,tetapi juga memproduksi epitop kriptik dan glikoprotein trombosit yang lain (3). Sel
penyaji antigen yang teraktivasi (4) mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel
dengan bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan
sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cell clone (T-cell
clone-1) dan spesifitas tambahan (T-cell clone 2) (5). Reseptor sel imunoglobin sel B yang
mengenali antigen trombosit (B-cell clone 2) dengan demikian akan menginduksi proliferasi
dan sintesis antiglikoprotein 1b/IX antibodi dan juga meningkatkan produksi antiglikoprotein
IIb/IIIa antibodi oleh B-cell clone 1.
Manifestasi Klinis
PTI Akut
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa, awitan penyakit
biasanya mendadak, riwayat infeksi sering mengawali terjadinya perdarahan berulang, sering
dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan penyakit saluran napas yang
disebabkan oleh virus merupakan 90% dari kasus pediatrik trombositopenia imunologik.

16

Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah varisella zooster dan Ebstein barr. Manifestasi
perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranial terjadi kurang dari
1% pasien. Pada PTI dewasa, bentuk akut jarang terjadi, namun umumnya terjadi bentuk
yang kronis.. PTI akut pada anak biasanya self limiting, remisi spontan teijadi pada 90%
pasien, 60% sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan. 6
PTI Kronik
Awitan PTI kronik biasanya tidak menentu, riwayat perdarahan sering dari ringan
sampai sedang, infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi, serta memiliki perjalanan klinis
yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu, mungkin intermitten atau bahkan terus menerus. Remisi spontan jarang terjadi dan
tampaknya remisi tidak lengkap.6
Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, petekie, purpura, pada umumnya berat
dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum hubungan
antara jumlah trombosit dan gejala antara lain bila pasien dengan AT >50.000/L maka
biasanya asimptomatik, AT 30.000-50.000 /L terdapat luka memar/hematom, AT 10.00030.000/L terdapat perdarahan spontan, menoragia dan perdarahan memanjang bila ada luka,
AT <10.000/mL terjadi perdarahan mukosa (epistaksis, perarahan gastrointestinal dan
gastrourinaria) dan resiko perdarahan system pusat.
Pasien secara sistemik baik dan biasanya tidak demam. Gejala yang dikeluhkan
berupa perdarahan pada mukosa atau kulit. Jenis-jenis perdarahan seperti hidung berdarah,
mulut perdarahan, menoragia, purpura, dan petechiae. Perdarahan gusi dan epistaksis sering
terjadi, ini dapat berasal dari lesi petekie pada mukosa nasal, juga dapat ditemukan pada
tenggorokan dan mulut. Traktus genitourinaria merupakan tempat perdarahan yang paling
sering, menoragia dapat merupakan gejala satu-satunya dari PTI dan mungkin tampak
pertama kali pada pubertas. Hematuria juga merupakan gejala yang sering. Perdarahan
gastrointestinal bisanya bermanifestasi melena dan lebih jarang lagi dengan hematemesis.
Perdarahan intracranial dapat terjadi, hal ini dapat mengenai 1% pasien dengan
trombositopenia berat.6
Penatalaksaan
Pada prinsipnya pengobatan PTI adalah untuk menurunkan kadar PA IgG, meskipun
dahulu splenektomi merupakan terapi yang paling baik tetapi sejak 1950 terapi utama yang
dianjurkan sebelum splenektomi adalah steroid. Peranan stroid adalah untuk menekan
aktivitas fagosit makrofag di limpa, menekan sintesis autoantibodi, meningkatkan efektifitas
17

sintesis trombosit serta memperbaiki resistensi vaskuler. Pada penderita yang responsive
terhadap terapi steroid maka akan terjadi penurunan kadar autoantibody dan peningkatan
trombosit. Efek steroid pada umumnya terlihat setelah terapi 24-48 hari. Steroid yang biasa
digunakan adalah prednisone dan dosisnya 1 mg/kg, pada kasus yang berat diperlukan dosis
yang lebih tinggi, bila diperlukan steroid parenteral dianjurkan memakai metilprednisolon
sodium suksinat selama 3 hari dengan dosis 1 g/hari. Evaluasi pemberian steroid biasanya
dilakukan setelah pengobatan 2-4 minggu, bila responsive dengan steroid dosis hendaknya
diturunkan secara pelan-pelan sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan sekitar
50.000/mm3. Adapun hasil terapi dengan steroid dibagi dalam empat kelompok yaitu:6-10
1. Respon lengkap: terdapat perbaikan klinis dan kenaikan trombosit mencapai
100.000/mm3 atau lebih serta tidak terjadi trombositopeni berulang bila dosis steroid
diturunkan.
2. Respon parsial: ada pernaikan klinis dan peningkatan trombosit mencapai
50.000/mm3 tetatpi<100.000/mm3 serta memerlukan terapi steroid dosis rendah
untuk mencegah perdarahan dengan jangka waktu lebih 6 bulan.
3. Respon minimal: ada perbaikan klinis tetapi peningkatan trombosit tidak dapat
mencapai 50.000/mm3 atau masi ada perdarahan tetapi ada kenaikan trombosit dapat
mencapai diatas 50.000/mm3 dan memerlukan terapi steroid dosis rendah dengan
jangka waktu lebih dari 6 bulan.
4. Tidak respon: tidak ada perbaikan klinis dan kenaikan trombosit tidak bisa mencapai
50.000/mm3 setelah terapi steroid dosis maksimal.
Bila terapi steroid dianggap gagal, maka segera dianjurkan dilakukan splenektomi. Angka
keberhasilan splenektomi bertujuan untuk mencegah terjadinya destruksi trombosit yang
telah terliputi dengan antibody serta menurunkan sintesa antibody platelet. Penderita yang
refrakter terhadap terapi steroid dan splenektomi memerlukan terapi yang serius, mereka
memerlukan terapi imunosupresif lain. Obat-obatan imunosupresif lain yang dilaporkan
bermanfaat antara lain azatioprin, vinka alkaloid, danazol. Hasil terapi dari masing-masing
regimen ini masi bervariasi dan sampai saat ini belum ada regimen mana yang dianggap
paling baik. Demikian juga dengan pemakaian immunoglobulin hasilnya juga masi perlu
penelitian lebih lanjut. Waktu sejak tahun 1981 dilaporkan bermanfaat untuk pendertia ITP.6
Terapi Awal PTI (Standar)
Prednison
Prednison, terapi awal ITP dengan prednisolon atau prednison dosis 1,0 - 1,5
mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada
umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik kortikosteroid dilanjutkan sampai 1
18

bulan , kemudian tapering. Kriteria respon awal adalah peningkatan AT 30.000/L,


>50.000/L setelah 10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespons bila
peningkatan AT <30.000/>50.000/L setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simtomatik
persisten dan trombositopenia berat (AT <10.000/L) setelah mendapat terapi prednisone
perlu dipertimbangkan untuk splenektomi.6
Imunoglobulin Intravena
Imunoglobulin intravena (IglV) dosis 1 g/kg/ hari selama 2-3 hari berturut-turut
digunakan bila terjadi perdarahan intemal, saat AT <5.000/L meskipun telah mendapat terapi
kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya purpura yang progresif.
Mekanisme kerja IglV pada ITP masih belum banyak diketahui namun meliputi
blockade fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan
autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.
Splenektomi
Splenektomi pada ITP dewasa dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua yang gagal
berespon dengan terapi kortikosteroid atau yang perlu terapi trombosit terus menerus. Efek
splenektomi adalah menghilangkan tempat antibody yang tertempel trombosit yang bersifat
merusak dan menghilangkan produksi antibody anti thrombin. Indikasinnya:
a. Bila AT < 50.000/L setelah 4 minggu
b. Angka tombosit tidak menjadi normal selama 6-8 minggu
c. Angka tombosit normal tetapi menurun bila dosis diturunkan
Penanganan Relaps Pertama
Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak
berespons dengan kortikostroid, imunoglobulin iv dan Imunoglobulin anti-D.
Banyak spesialis menggunakan AT <30.000>30.000 /L, Tidak ada konsensus yang
menetapkan lama terapi kortikosteroid. Penggunaan imunoglobulin anti-D sebagai terapi
awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk pasien Rh-positif. Apakah penggunaan
IglV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal tergantung pada beratnya
trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan apakah terapi
pasien yang mempunyai AT 30.000 /L sampai 50.000/L bergantung pada ada tidaknya
faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya risiko tinggi untuk trauma. Pada AT
>50.000/L perlu diberi IglV sebelum pembedahan atau setelah trauma pada beberapa pasien.
Pada pasien PTI kronik dan AT <30.000/L IgIV atau metilprednisolon dapat membantu
meingkatkan AT dengan segera sebelum splenektomi. 6
Terapi PTI Kronik Refrakter
19

Pasien refrakter (+ 25%-30% pada PTI) didefinisikan sebagai kegagalan terapi


kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena
AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini memiliki respons terapi yang
rendah, mempunyai morbiditas yang bermakna terhadap penyakit ini dan terapinya serta
memiliki mortalitas sekitar 16%. PTI refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria
sebagai berikut: a). PTI menetap lebih dari 3 bulan; b). Pasien gagal berespon dengan
splenektomi; c). AT <30.000/L.6
Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua
Untuk pasien yang dengan terapi standar kortikosterpid tidak membaik, ada beberapa
pilihan terapi lain. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini kedua menggambarkan relatif
kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual.6
Steroid Dosis Tinggi
Terapi pasien PTI refrakter selain prednisolon dapat digunakan deksametason oral
dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama 4 hari, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus.
Dari 10 pasien dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang baik (dengan AT
>100.000/L) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan. Pasien yang tidak berespon
dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya.
Metilprednisolon
Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua dan
ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI anak dan
dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dari penelitian Weil pada
pasien PTI berat menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mg/kg iv kemudian dosis
diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/kg sekali sehari dibandingkan dengan pasien PTI klinis
ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis konvensional. Pasien yang mendapat
terapi metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan
mempunyai angka respons (80% vs 53%). Respons steroid intravena bersifat sementara pada
semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekuat.
IglV Dosis Tinggi
Imunoglobulin intravena dosis tinggi 1 mg/kg/hari selama 2 hari berturut-turut, sering
dikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat. Efek samping,
terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan secara intermiten atau
disubtitusi dengan anti-D intravena.
Anti-D Intravena

20

Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada orang dewasa.


Dosis anti-D 50-75 mg/kg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel darah
merah rhesus D-positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi
bersaing dengan autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade.
Alkaloid Vinka
Semua terapi golongan alkaloid vinka jarang digunakan, meskipun mungkin bernilai
ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan cepat, misalnya
vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin 5-10 ing, setiap minggu selama 4-6 minggu.
Danazol
Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon sering
lambat. Fungsi hati harus diperiksa setiap bulan. Bila respons terjadi, dosis diteruskan sampai
dosis maksimal sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mg/hari setiap 4
bulan.
Immunosupresif dan Kemoterapi Kombinasi
Immunosupresif diperlukan pada pasien yang gagal berespons dengan terapi lainnya.
Terapi dengan azatioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau siklofosfamid sebagai obat
tunggal dapat dipertimbangkan dan responnya bertahan sampai 25%. Pada pasien yang berat,
simptomatik, PTI kronik refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya. Pemakaian
siklofosfaraid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektif digunakan seperti
pada limfoma. Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mg/iv/bulan selama 3 bulan. Azatioprin
50-100 mg p.o, bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respons sampai 3 bulan
turunkan sampai dosis terkecil.
Dapsone
Dapson dosis 75 mg p.o. per hari, respons terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien harus
diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisis
yang serius.
Pendekatan Pasien yang Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua
Sekitar 25% PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini pertama atau
kedua dan memberi masalah besar. Beberapa di antaranya mengalami perdarahan aktif namun
lebih banyak yang berpotensi untuk perdaraihan serta masalah penanganannya. Pada
umumnya PTI refrakter kronis bisa mentoleransi trombositopenia dengan baik dan bisa
mempunyai kualitas hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan
terapi lini pertama dan kedua hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a,
(ii) anti-CD20, (iii) Campath-1H,(iv) mikofonelat mofetil,(vi)terapi lainnya.6
21

Rekomendasi Terapi PTI Yang Gagal Terapi Lini Pertama dan Kedua
Susunan terapi lini ketiga tersedia untuk pasien dengan kemunduran splenektomi dan
bagi mereka yang tidak dapat atau harus menunda operasi. Rituximab, suatu antibodi
monoklonal terhadap CD20 + B sel, memiliki tingkat respons keseluruhan 25 - 50%, dan
memiliki respon yang tahan lama, dengan efek samping yang relatif sedikit.
Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien tidak
berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya. perdarahan
aktif). Mikofenolat mofetil tampak efektif pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi
lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan keamanannya. Dalam hal
pertimbangan resiko: rasio manfaat, terapi dengan interferon-a, protein A columns,
plasmafaresis dan liposomal doksorubisin tidaklah direkemoendasikan.
Kesulitan utama dengan obat lini ketiga ialah tingkat respons yang sederhana dan,
seringnya, mempunyai onset yang lambat sehingga efek dapat tidak jelas selama beberapa
bulan. Selain itu, supresi sumsum tulang dan peningkatan risiko infeksi menyulitkan
pengobatan dengan menggunakan obat yang imunosupresif.
Obat trombopoietik mewakili strategi terapi baru yang menjanjikan untuk ITP yang
refrakter untuk terapi lini kedua dan ketiga. Obat ini mungkin juga dapat sebagai alternatif
bagi pasien yang tidak dapat mentolerir terapi imunosupresif atau pada calon yang tidak
dapat menggunakan untuk itu. Tempat agen ini pada armamentarium dari terapi ITP,
bagaimanapun, tetap ditentukan. Penggunaannya akan dipandu oleh uji klinis lebih lanjut
dengan durasi yang lebih lama dan pemahaman yang lebih baik dari kontribusi relatif
penghancuran platelet dan gangguan produksi trombosit pada masing-masing pasien dengan
ITP. 10
Komplikasi
Yang menjadi komplikasi dari penyakit ITP ini antara lain:7

Perdarahan intrakranial. Ini penyebab utama kematian penderita ITP.


Kehilangan darah yang luar biasa, sehingga menyebabkan anemia.
Efek samping dari kortikosteriod karena penggunaan jangka panjang seperti

menigkatnya resiko infeksi, osteoporosis, katarak.


Infeksi Pneumococcal. Infeksi ini biasanya didapat setelah pasien mendapat terapi
splenektomi. Si penderita juga umumnya akan mengalami demam sekitar 38.80C.

Pencegahan
Karena penyebab langsung ITP masih belum dapat dipastikan maka pencegahan
terhadap ITP pun masih belum jelas. Tetapi setidaknya ada cara atau gaya hidup yang bisa
22

dilakukan oleh penderita ITP agar dapat hidup sebagaimana orang normal lainnya. Salah
satunya menghindari kegiatan-kegiatan keras yang berisiko menyebabkan luka perdarahan.
Supaya tidak memperburuk kondisi pasien ITP.
Menghindari obat-obatan seperti aspirin atau ibuprofen yang dapat mempengaruhi platelet
dan meningkatkan risiko pendarahan. 10
Prognosis
Ada beberapa faktor prognosis yang mempengaruhi prognosis yaitu antara lain usia
penderita, jumlah trombosit, kadar antibody platelet dan lama timbulnya keluhan. Prognosis
PTI akut, umumnya lebih baik, dapat sembuh spontan. Sedangkan PTI kronik, prognosis
kurang baik terutama bila stadium preleukimia. Jumlah trombosit selain digunakan sebagai
parameter kemajuan terapi, juga merupakan faktor prediktif untuk menentukan faktor resiko
perdarahan intrakranial, penderita dengan jumlah trombosit <20.000/mm3 maka resiko
perdarahan intrakranial makin meningkat, resiko ini akan meningkat pada usia lanjut. Respon
terapi dapat mencapai 50-70% dengan kortikosteroid. 10
Kesimpulan
Purpura trombositopenia idiopatik (immune thrombocytopenic purpura (ITP); morbus
Wirlhof; purpura hemorrhagica) yang merupakan sindrom klinis berupa manifestasi
perdarahan (purpura, petekie, perdarahan retina, atau perdarahan nyata lain) disertai
trombositopenia (penurunan jumlah trombosit). Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi
dikemukakan berbagai kemungkinan diantaranya ialah hipersplenisme, infeksi virus (demam
berdarah, morbili, variseladan sebagainya), intoksikasi makanan atau obat (asetosal, PAS,
fenilbutazon, diamox,kina, sedormid) atau bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi, pana),
kekurangan factor pematangan (misalnya malnutrisi), DIC (misalnya pada DSS, leukemia,
respiratory distress syndrome pada neonatus) dan terakhir dikemukakan bahwa ITP ini
terutama yang menahun merupakan penyakit autoimun. Prinsipnya pengobatan PTI adalah
untuk menurunkan kadar PA IgG dengan kortikosteroid atau splenektomi apabila sudah
intolerant terhadapt medikamentosa. Pencegahan yang dilakukan adalah melakukan kegiatan
yang dapat menimbulkan perdarahan. Untuk itu, diperlukan kesadaran dari pasien agar dapat
hidup normal.
Daftar pustaka
1. Hematologi. Diunduh dari repository.usu.ac.id, 23 April 2016
2. Purpura trombositopenia idiopatik. Diunduh dari www.klikdokter.com, 23 April 2016.

23

3. Waterbury, Larry. Buku saku hematologi; alih bahasa, Sugi Suhandi; editor edisi
bahasa Indonesia, W. Susiani Wijaya, Alexander H. Santoso. Ed.3. Jakarta:EGC,
2006. h. 108-12.
4. Harijanto PN, Setiawan B, Zulkarnain I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Dalam
Purpura Trombositopeni Idiopatik oleh Ibnu Purwanto. Sudoyo WA, Setiyohadi B,
Alwi I, penyunting. Edisi 5 (II). Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 1165-73.
5. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Ed.3. Jakarta:FK UKRIDA, 2009. h. 173-9.
6. Sabiston, David C. Buku ajar bedah; alih bahasa, Petrus Andrianto; editor, Devi H.
Ronardy. Jakarta: EGC, 2006. h. 713
7. Demam Berdarah Dangue. Diunduh dari medicastore.com, 15 April 2012.
8. Trombositopenia terinduksi obat. Diunduh dari medicineworld.org, 23 April 2016
9. Hemofilia. Diunduh dari referensikedokteran.com, 23 April 2016
10. Idiopatik trombositepenia purpura. Diunduh dari medical-knowledge.com, 23 April
2016

24

Anda mungkin juga menyukai