Anda di halaman 1dari 21

REVIEW JOURNAL

Sustainable Islamic Development : Recognizing The Primacy of Trust and Institutions


Oleh: N. Zaman

Disusun oleh:
Amany Ageng Wijayanti

041311433107

Selvia Rustyani

041411431139

Dewi Rionita

041411433038

EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017

REVIEW JURNAL :
SUSTAINABLE ISLAMIC DEVELOPMENT : RECOGNIZING THE PRIMACY OF TRUST,
IMAN, AND INSTITUTIONS
N. Zaman
SUMMARY

Jurnal ini menjelaskan bahwa adanya korelasi dan hubungan yang kuat antara tingkat
kepercayaan iman dapat mempengaruhi Pembangunan dalam islam. Makalah ini akan
mengidentifikasi beberapa asumsi dasar modernitas yang mencegah pemahaman yang lebih baik
kepercayaan sebagai entitas manusia, memberikan pemahaman yang lebih besar dari peran
kepercayaan dalam masyarakat melalui konsep Iman. Menganalisis secara kualitatif, melalui
studi kepustakaan dan studi kontekstual Ontologi dan epistemologis Islami, konsep dan fungsi
sosial dari esensi Iman, dan kaitannya dengan paradigma pembangunan manusia Islam, serta
model fase ganda metodologi pengembangan Islam. Model ini berusaha untuk menguraikan
beberapa fungsi Iman di tingkat individu, masyarakat dan kelembagaan dan kemudian
membandingkannya dengan orang-orang dari kepercayaan dan modal sosial dalam pemikiran
modern. Oleh karena sifat dinamis dan saling tergantung dari metodologi pengembangan Islam
akan disorot dan fungsi kepercayaan akan berlokasi dalam paradigma Islam-Iman dan Ihsan.
Pendekatan sekuensial ini menunjukkan keutamaan Iman baik sebagai dasar dan inti terus semua
perkembangan Islam di mana kerangka kerja dan lembaga-lembaga yang akan dibangun. Sebagai
iman tersebut terbukti memberikan ikatan, yang kemudian dapat memunculkan institusi Islam
dan meningkatkan tingkat iman dalam masyarakat. Oleh karena itu menggunakan model ini,
dapat menemukan alasan kegagalan pembangunan Islam yang dapat ditemukan baik di tingkat
dasar maupun di tingkat kelembagaan dalam kegagalan beriman.

ANALYSIS

Halaman 101, Paragraf 1.

3. Trust and social Capital


The work of sociologist Luhmann (1979) gives insight into trust as a social phenomenon. Like
Williamson, he argues that calculativeness is antithetical to trust, however he reaches the opposite
conclusion and suggests that trust is not a prediction, the correctness of which could be measured when
the predicted event occurs and after some experience reduced to a probability value. He further states
that these types of techniques, which are significant within the framework of decision- making models,
are functional equivalents of trust but not acts of trust in the true sense. As far as they extend, trust is
unnecessary (Luhmann, 1979).

Argumentasi :
Didalam jurnal ini, penulis menggunakan teori Luhmann, yang sependapat dengan Williamson,
Woolock dan juga Field, yang mengatakan jika tingkat kepercayaan akan berhubungan dengan modal
social jika dihitung dengan fungsi-fungsi dan model tertentu dan jika diteliti lebih jauh lagi, maka tingkat
kepercayaan tidak akan berhubungan dengan modal sosial. Field (2003) berpendapat bahwa Kepercayaan
tidak dapat dijadikan sebuah variabel dalam modal sosial, karena banyak sekali hubungan yang dapat
bekerja dengan adanya tingkat kepercayaan yang minim. Menurut Field, kepercayaan lebih cocok
dijadikan sebuah faktor yang independen, dibandingkan menjadi komponen integral sebuah modal sosial.
Hal ini jauh berbeda serta bertolak belakang dengan beberapa Peneliti lainnya, mereka
menganggap bahwa modal sosial bergantung kepada kepercayaan. Tanpa adaanya tingkat kepercayaan,
maka modal sosial tidak akan berkembang. White Bourdieu (1986) tidak secara spesifik menyebutkan
bahwa tingkat kepercayaan menjadi salah salah satu aspek dalam pengembangan modal sosial, namun
secara implisit beliau mengatakan pada argumennya
the reproduction of social capital presupposes an unceasing effort of sociability, a continuous series of
exchanges in which recognition is endlessly affirmed and reaffirmed (p. 250) yang dapat memiliki arti,
seseorang harus mendasarkan komitmennya kepada kepercayaan agar dapat memperluas koneksi.

Coleman & Puttman mendasarkan bahwa modal sosial berdasarkan pada satu kunci, yaitu tingkat
kepercayaan. Hal ini juga menjadi dasar dari konsep Fukuyama yaitu social capital is a capability that
arises from the prevalence of trust in a society or in certain parts of it (Fukuyama 1995: 26).
dalammodelyangdikembangkanolehPutnam,sebuahhubunganyangdidasarkanoleh
kepercayaandiantaraparapelakuekonomiakanberkembangdaribudayadankemudianmenjaditertanam

danmelekatpadaekonomilokal.Cohen&Fields(1999)berpendapatbahwakepercayaanadalahsesuatu
yangdianggapbentuksuperiordandapatdiperluasmulaidariorangdengantempatyangberbedadan
denganbudayayangberbeda,hinggaorangyangmemilikipemikirandenganideideyangberbeda.

4.TRUSTANDSOCIALORDER
Halaman102Paragraf1
a)Trustatanindividuallevelenablesdecisionsandchoicestobemadeefficientlyandultimately
emanatesfromknowledgeheldaboutnumerousmaterialandmoralrealities.Individualtrusting
behaviorisaprerequisitetoanysocialcooperationandsotosocialorder
b)Trustatasociallevelmustbetheveryfabricofthesocietyandgiverisetoinstitutionsthroughactions
ofallmembersbaseduponcommonlyheldbeliefsandaimingatcommongoalsandends
c)Trustmustbe,bydefinition,theintendedconsequenceofsocialorder.Thepurposeofsocialorderis
theestablishingoftrustanditachievesthisthroughthefeedbackeffectofinstitutionsonsociety
Analisis
Menurutpengertian,Socialorderadalahmenggambarkan kondisi kehidupan masyarakat yang aman,
dinamis, dan teratur, sebagai hasil hubungan yang selaras antara tindakan, nilai, dan norma dalam
interaksi sosial. Dalam hal ini, masyarakat bertindak sesuai dengan status dan perannya masing masing.

Dijelaskan oleh Hechter & horne pada dua teori Social order order results from a large number
of independent decisions to transfer individual rights and liberties to a coercive state in return for
its guarantee of security for persons and their property, as well as its establishment of
mechanisms to resolve disputes dan teori selanjutnya adalah he ultimate source of social order
as residing not in external controls but in a concordance of specific values and norms that
individuals somehow have managed to internalize. Dari kedua argumen tersebut dikatakan
bahwa bagaimana tatanan sosial dicapai sangat berbeda. Pendapat yang pertama menyatakan
bahwa social order dapat dicapai melalui pengaruh dan kontrol luar, dan pendapat lain

menyatakan bahwa social order hanya dapat dicapai ketika individu rela mengikuti norma-norma
dan nilai-nilai yang telah tertanam.
5. VIRTUES, MORALITY AND MODERNITY (Kebajiakan, Moralitas, dan Modernitas)
Halaman 103 paragraf 1
Any moral philosophy fundamentally presupposes sociology as, by necessity, every moral
philosophy offers, either explicitly or implicitly, a conceptual analysis of the relationship of a
person to his or her reasons, motives, intentions and actions and in doing so it generally
presupposes that these concepts are embodied in the real social world. Thus it follows that we
cannot fully understand the claims of any moral philosophy until we have outlined what its
social embodiment would be. This was the view of moral philosophy held by Socrates and
Aristotle and indeed also Hume and Adam Smith; but since Moores Principia Ethica, and
probably earlier, a narrow conception of moral philosophy has dominated and enabled moral
philosophers to ignore this task. This narrow conception finds its roots in the theory of
emotivism.
Analisa halaman 103 paragraf 1
Dua metode analisis filsafat moral menurut George Edward Moore (1873-1958)
digunakan dalam filsafat etikanya,termasuk mencari arti kata baik. Dalam pandangan Moore
dalam bukunya yang berjudul Principia Ethica, arti kata baik merupakan konsep paling
sederhana (simple) yang bersifat abstrak, ia kata sifat, dan secara intuitif semua manusia
menyadarinya bersama. Oleh karena itu baik tidak dapat didefinisikan dengan dua alasan yang
ia istilahkan dengan the naturalistic fallacy danthe open question argument karena tidak
mungkin diasalkan kepada suatu konsep yang lebih jelas lagi. Pendapat Moore yang mengatakan
bahwa baik adalah nama sesuatu yang non empirik, kualitas kebaikan sesuatu tidak dapat
dijelaskan. Tetapi kebaikan mungkin saja secara faktual diletakkan pada suatu tindakan atau
suatu obyek, walaupun bersifat intuitif dan tidak dapat diverifikasi. Anggapan inti Moore
sangat sederhana. Kata baik tidak dapat didefinisikan. Menurut

Moore mirip kata

baikdengan kuning. Ada ribuan macam benda yang berwarna kuning, tetapi kalaupun
kita menganalisa benda kuning yang ada, kita tetap tidak mengetahui apa itu kuning,
kecuali kita sudah mengetahuinya sebelumnya.
Dalam Qs Al- Baqarah ayat 177

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, Tetapi kebajikan itu
ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab
dan nabi-nabi, danMemberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang
miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta dan untuk memerdekakan
hamba sahaya, Yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, Orang-orang yang menepati
janji apabila berjanji dan orang-orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang
bertaqwa.
Dalam Al-Quran dan Tafsirnya dari Universitas Islam Indonesia (1991) dijelaskan, ayat ini
bukan saja ditujukan kepada umat Yahudi dan Nasrani, tetapi mencakup semua umat yang
menganut agama samawi (agama yang turun dari langit) termasuk umat Islam.
Rasulullah Saw sebuah haditnya menegaskan: Kebaikan adalah akhlak yang baik,
sedangkan dosa adalah apa saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka
memperlihatkannya pada orang lain. (HR. Muslim)

Halaman 103 paragraf 2

Emotivism is the belief that all moral judgments are purely expressions of attitudes,
preferences or feelings. These are sharply contrasted with factual judgments which can be either
true or false. Hence, it is claimed, as moral judgments cannot be shown to be true or false, no
agreement can be reached in the moral sphere by any rational method. Moral argument,
according to emotivists, is only used to forward our own feelings and attitudes and by doing so,
produce the same in others. Without going into deeper philosophical discussions it is,
nonetheless, important in this study to understand the social impact of emotivism.
Analisa halaman 103 paragraf 2
Asal mula emotivisme yaitu dengan adanya G. E. Moore mengajarkan tentang
kebahagian yang tidak dapat dijelaskan tetapi kebaikan secara factual diletakkan pada suatu
tindakan atau objek. Dalam bukunya Language, Truth And Logic yang dikenal dengan nama
logikal positivisme oleh A.J. Ayer salah seorang yang terkenal dalam pemikiran emotivisme
mengungkapkan, bahwa emotivisme merupakan suatu aliran yang berpendapat bahwa
penilaian moral pada hakikatnya hanya merupakan masalah perasaan (emosi) belaka, dan
karena perasaan selalu bersifat subjektif, maka penilaian moral juga tidak mungkin
ditentukan benar-salahnya secara objektif. Alfred Jules Ayer, dia adalah Filsuf Inggris yang
merupakan seorang dosen bidang filsafat pada salah satu fakultas di Universitas Oxford. Ia juga
membimbing satu kelompok diskusi Filsafat, yang hasilnya kemudian ia masukkan ke dalam
bukunya yang berjudul The Problems of Knowledge tahun 1956 M.
Moral dalam Islam identik dengan akhlak. Di mana kata akhlak berasal dari bahasa Arab,
bentuk jama dari kata khulk, khulk di dalam kamus al-Munjid berarti budi pekerti atau
perangai.
Di dalam kitab Ihya Ulumaldin, karya Imam al Ghozali diungkapkan bahwa:

Al-khulk ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan
dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan perimbangan (Al-Ghazali,
Ihya Ulumaldin, Vol, III:56)
Jadi pada hakekatnya akhlak (budi pekerti) ialah suatu kondisi atau sifat yang telah
meresap dalam jiwa dan telah menjadi kepribadian, hingga dari situ timbul berbagai macam
perbuatan dengan cara mudah dan spontan tanpa dibuat dan tanpa memerlukan pemikiran.
Apabila dari kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan terpuji menurut pandangan syariat dan

akal pikiran, maka ia dinamakan budi pekerti yang mulia dan sebaliknya apabila yang lahir
kelakuan yang buruk, maka disebutlah budi pekerti yang tercela.
Halaman 104 paragraf 2
However, at some point in the move towards modern development the concept of a
holistic life, which has purpose and aims towards some end and which uses the criteria of that
end as judgment aids in rationally assessing the success or otherwise of efforts made, has been
lost or abandoned. This has been seen not as a loss but has been hailed as the achievement of
freedom from restrictions of social systems and the supposed superstitions of tradition. Thus the
emotivist self has lost its traditional locus and social identity. This is far from development in
any social sense.
Analisa halaman 104 paragraf 2
Holistic Development atau Pembangunan yang utuh adalah suatu model pembangunan
yang lebih bersifat trasformatif yang menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat baik
secara jasmani dan rohani, di mana masyarakat tampil sebagai subjek dan objek dari
pembangunan yang ditandai oleh partisipasi secara nyata dalam pembangunan. Tata nilai dan
sikap yang berubah dari masyarakat dalam era modern di antaranya adalah pola pikir masyarakat
yang makin logis dan rasional, pengambilan keputusan mulai menggunakan akal sehat, mulai
meninggalkan perilaku yang berbau mistik dan takhayul.
Menurut Ibnu Khaldun, pembangunan bangsa tidak hanya diprioritaskan pada fisik,
berupa bangunan-bangunan infrastruktur dan gedung pencakar langit, akan tetapi pembangunan
manusia adalah hal yang paling pokok. Sebab kualitas pembangungan fisik sangat tergantung
dengan sumber daya manusia yang ada. Rusaknya fasilitas umum, sebagaimana yang terjadi di
Indonesia sangat terkait dengan ulah manusia-manusia yang tidak berilmu dan minus beradab.
Oleh karena cara pandang sangat mempengaruhi hasil akhir dari suatu sistem yang
diterapkan maka Islam harus memiliki pandangan-dunia yang holistik mencangkup unsur
kemanusian dan ketuhanan. Menurut Chapra prinsip utama dalam ekonomi pembangunan
Islam adalah tauhid, khilafah, dan adalah. Sementara menurut Khurshid Ahmad prinsip
utama atau landasan filosofi ekonomi pembangunan Islam ada empat (4) yaitu; tauhid,
rububiyyah, khilafah, dan tazkiyah. Sedangkan Aidit Ghazali (1990) dalam bukunya

Development: An Islamic Perspectivemembagi filosofi dasar menjadi lima (5) yaitu; tauhid
uluhiyah, tauhid rububiyyah, khilafah, tazkiyyah an-nas, dan al-falah.
Halaman 104 paragraf 3
The Enlightenment project that gave birth to emotivism, amongst other attempts to find a
basis for morality using that rationality which by definition is silent on matters of morality, is
where morality was detached from any sense of telos. Pascal, Hume, Kant, Diderot, Smith and
Kierkegaard all rejected any teleological view of human nature, any view of man as having an
essence which defines his true end.
Analisa halaman 104 paragraf 3
Era pencerahan dianggap sebagai sebuah masa di mana manusia Eropa (para intelektual
dan filsuf) berusaha mewujudkan sebuah sistem pengetahuan, etika, dan estetika yang
sepenuhnya dibangun berdasarkan rasionalitas yang tercerahkan. Kaum ensiklopedis seperti
Diderot dan Voltaire meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan pendidikan adalah cara terbaik
untuk mengatasi keyakinan-keyakinan akan mitos, takhayul, dan kebodohan. Para aktivis
Pencerahan kerap memandang diri mereka sebagai intelektual bebas yang mendorong dunia
ke arah kemajuan dan perubahan yang lebih baik.
Dalam bidang etika, proyek Pencerahan berarti menolak dua pengandaian pokok yang
mendasari teori etika pra-modern dari jaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan, yakni
bahwa: (1) hidup manusia memiliki tujuan terakhir (telos) sebagaimana diyakini dalam
etika

eudaimonistik-teleologis

Aristoteles; dan

(2)

kodrat

manusia

bersifat normatif

sebagaimana ditekankan oleh Thomas Aquinas dalam etika hukum kodratnya. Menurut teori
etika hukum kodrat, manusia wajib bertindak moral sesuai dengan kodrat kemanusiaannya
karena hal

itu

sesuai dengan

apa yang

diperintahkan Tuhan Sang Pencipta

Dalam sebuah artikelnya berjudul Was ist Aufklrung? Kant menganggap pencerahan
bukan semata-mata kondisi intelektual di mana seseorang merasa terbebaskan untuk berpikir dan
bertindak, tapi yang terpenting adalah bahwa pencerahan itu berarti kematangan berpikir dan
sanggup untuk melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Ibn Rushd adalah model bagi independensi akal-pikiran dan sekaligus model bagi
keberanian berpikir, khususnya dalam melawan pemikiran-pemikiran yang telah terlembaga
dalam institusi agama. Keberaniannya mengkritisi kemapanan otoritas agama menginspirasikan

orang-orang Eropa pada abad ke-13 dan ke-14 untuk melakukan hal yang sama kepada kuasa
Gereja yang saat itu mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan mereka.
6. IMAN, IHSAN, AND AMAL - AN AUTHENTIC ISLAMIC FRAMEWORK OF
VIRTUE, TRUST AND ITS ACTUALIZATION ( Iman, Ihsan, dan Amal sebuah
Kerangka Islam Otentik dari Kebajikan, Kepercayaan, dan Aktualisasinya)
6.1 THE FIRST DIMENSION ISLAM (Dimensi Pertama - Islam)
Halaman 106 paragraf 1
Considering the first dimension we see that in the Quran, the word Islam, meaning
submission, can be understood to have at least four senses, all of which are concerned with the
relationship between Allah and His creatures.
Analisa halaman 106 paragraf 1
Islam dari Kata aslama ( )yang berarti menyerah. Hal ini memperlihatkan bahwa
seorang yang beragama Islam adalah seseorang yang secara ikhlas menyerahkan jiwa
serta raganya hanya kepada penciptaNya. Penyerahan diri ini ditandai dengan melaksanakan
segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.
Allah SWT berfirman Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti
agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya. (QS. 4 :
125)
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS. 6 : 162)

Halaman 107 paragraf 2 & 3


In the fourth and narrowest sense, Islam refers to the outward works of the religion as
distinguished from an inner something that makes the religion genuine and sincere. One verse is
especially significant, since it differentiates between Islam and mn submission and faith.

The Bedouins say, We have faith. Say [O Muhammad!]: You do not have faith; rather,
say, We have submitted; for faith has not yet entered your hearts (Q49:14).
Analisa halaman 107 paragraf 2 & 3
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum
beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu;
dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala
amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Qs Al Hujarat: 14)
Beriman adalah meyakini secara penuh terhadap semua perkara yang wajib diimani.
Karena letaknya di dalam hati, maka orang lain hanya mengetahui dari pernyataan yang
disampaikan pelakunya. Namun tidak ada yang tersembunyi bagi Allah SWT, apakah pernyataan
tersebut benar atau dusta. Maka Dia berhak menerima pengakuan keimanan seseorang atau tidak.
Ayat ini adalah di antara yang memberitakan penolakan Allah atas pengakuan iman seseorang
atau suatu kaum.
Secara bahasa, kata al-islm berarti al-istislm wa al-inqiyd (penyerahan diri dan
ketundukan). Sehingga kata aslamn berarti istalamn (kami tunduk atau menyerah).
Sedangkan secara syari, kata al-Islm menunjuk kepada agama yang diturunkan Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW, seperti disebutkan dalam QS Ali Imran [3]: 19. Dengan
demikian al-islm dalam pengertian ini bersifat umum, mencakup iman dan amal; akidah dan
syariah.
Halaman 107 paragraf 5
The Hadith of Jibreel differentiates even more clearly than this Quranic verse between
Islam in this fourth sense and mn. It is true that some Quranic verses and Hadiths use the
two terms as synonyms, but this does not prevent the texts from drawing distinctions in other
contexts. According to this Hadith, Islam consists of the five pillars or foundations: saying the
double Shahdah (bearing witness that there is no ilh (God) but Allah and that Muhammad is
His messenger), performing the ritual prayer, fasting during the month of Ramadan, paying
zakh (the alms-tax), and performing the ajj if one has the means to do so.
Analisa halaman 107 paragraf 5

Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata :


Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tibatiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya
amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara
kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada
lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : Hai,
Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada
yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad
adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan
engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya, lelaki itu
berkata,Engkau benar, maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
6.2 THE SECOND DIMENSION IMAN (Dimensi ke Dua - IMAN)
Halaman 108 paragraf 3
In the adith of Jibreel, a formulaic expression is given to these objects by defining mn
as having Iman in Allah, His angels, His scriptures, His messengers, the Last Day, and the
measuring out of good and evil. Worthy of notice is the fact that the prophet repeats the word
Iman in the definition itself, which indicates that here, as opposed to certain other Hadist, the
meaning of Iman is not at issue, but rather the objects of Iman. All the objects mentioned in the
hadith are studied to various degrees in the Islamic sciences of Kalm, Fiqh and Taawwuf.
Analisa halaman 108 paragraf 3
Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata :
Kemudian ia bertanya lagi: Beritahukan kepadaku tentang Iman.
Nabi menjawab,Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para
RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk, ia berkata,
Engkau benar.
Halaman 108 paragraf 4
Abu Hanifa defined mn as confessing with the tongue, recognizing the truth (tadq)
with the mind, and knowing with the heart (Al-Qari, 1997). Al-Ghazali (2004) expresses the

Ashari theologians view, when he defines mn as recognizing the truth [of something] in the
heart, voicing [that truth] with the tongue, and acting [on its basis] with the limbs. Notice that
Al-Ghazalis definition like the just cited hadith, includes activity and works (that is, Islam) as
part of mn. However the difference between the two definitions is merely one of perception
and not reality. A simple analysis of the Quranic verses dealing with mn and/or Islm will
reveal that the two are sometimes used synonymously. This has led to scholars holding the view
that they are two sides of the same coin. Abu Hanifa is describing one side whereas Al-Ghazali is
describing the whole coin.
Analisa halaman 108 paragraf 4
Sebagaimana menurut Imam al-Ghazali beliau menguraikan makna iman: "Pengakuan
dengan lidah (lisan) membenarkan pengakuan itu dengan hati dan mengamalk
Iman dan Islam adalah dua sejoli yg tidak boleh dipisahkan. Kedua-duanya ibarat dua
sisi uang logam. Tidak ada Iman tanpa Islam dan tidak ada Islam tanpa Iman. Tetapi dengan
demikian bukan berarti Islam itu adalah Iman dan Iman adalah Islam. Iman apabila disebutkan
bersama-sama dgn Islam maka menunjukkan kepada hal-hal batiniah; seperti Iman kepada Allah
SWT iman kepada Malaikat iman kepada hari akhir dan seterusnya. Dan Islam apabila
disebutkan bersama-sama dgn Iman maka menunjukkan kepada hal-hal lahiriah; seperti Syahadat
shalat puasa dan seterusnya. Dasarnya Al-Hujurat 14; Hadits Jibril riwayat Al-Bukhari dan
Muslim. Namun Iman apabila disebutkan tersendiri tanpa dgn Islam maka mencakup pengertian
Islam dan tidak terlepas darinya; krn iman menurut definisinya adalah Keyakinan ucapan dan
perbuatan. Demikian pula Islam apabila disebutkan tersendiri tanpa dgn Iman maka mencakup
pengertian Iman dan tidak boleh dipisahkan darinya. Karena Islam pada hakekatnya yaitu
Berserah diri lahir dan batin kepada Allah SWT dgn mengikuti segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya. Dasarnya Al-Anfal 2 - 3 Al-Muminun 1 - 9 dan Al-Imran 19 85.
Secara teologis ulama berbeda pandangan dalam memaknai Islam. Penulis Syarh Aqdah
al-Thahwiyyah, mencatat tiga pengertian Islam menurut pandangan beberapa mutakallim yang
berbeda: (1) Kelompok yang menganggap Islam sebagai sebuah sebutan; (2) Aliran yang
menggambarkan Islam sebagaimana keterangan hadits, ketika Nabi Saw. ditanya tentang makna
Iman dan Islam, beliau menafsiri Islam dengan lima perbuatan lahir yang merupakan pilar ajaran
Islam; (3) Golongan yang menyamakan antara iman dan Islam. Pendapat ketiga ini juga merujuk

pada hadits yang menerangkan bahwa Islam adalah persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah
Swt.,mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan menunaikan ibadah
haji bagi yang mampu melaksanakannya.
Masing-masing kelompok mendasarkan pandangan mereka pada hadits-hadits Nabi Saw.
Beberapa hadits yang nampak bertentangan, kemudian ditafsiri secara berlainan oleh beberapa
kelompok berbeda, sehingga melahirkan definisi yang berbeda pula. Namun setelah diteliti lebih
dalam, ternyata tidak ada perbedaan mendasar dari masing-masing pendapat. Penulis Syarh
Aqdah al-Thahwiyyah berkesimpulan bahwa ketiga definisi di atas memiliki titik temu, yakni
bila dua kata, iman dan Islam, terkumpul (disebut bersamaan) keduanya memiliki pengertian
yang berbeda; sebuah perbedaan yang terjadi hanya dalam tingkat pengertian (definisi), bukan
merupakan perbedaan substantif; makna keduanya justru saling melengkapi. Namun bila
keduanya disebutkan secara terpisah, masing-masing justru menunjuk pada pengertian yang
sama (murdif). Makna lain dari Islam adalah bahwa ia nama agama (al-din) yang diridlai Allah
Swt. sebagaimana dalam al-Quran. Dalam hal ini, nampak perbedaan pengertian dan makna
antara iman dan Islam.
6. THE THIRD DIMENSION IHSAN
Halaman 109-110
One of the most oft repeated phrases in the Quran is the following: those who have iman and
do good acts. This indicates, according to the linguistic inference, the precedence of iman over
amal. Keeping in mind the earlier definition of iman, as being inclusive of amal, what is implied
then is that the cognitive aspect of iman is a prerequisite for good actions and hence is the first
which needs to be established. In other words, the Quranic view of success is to first recognize
the ultimate perfection, Allah, and then act in such a way as to move towards that perfection.
Obviously any act cannot be deemed virtuous until one first is sure of what virtue is.
Analisis :
Disebutkan bahwa penyebutan ketiga dimensi agama yaitu islam, iman, ihsan menunjukkan
urutan yang harus didahulukan. Seperti dalam al-quran yang menyebutkan those who have

iman and do good act. Hal ini menunjukkan, secara linguistik, didahulukan dari iman daripada
amal baik (ihsan).

Ayat ke 97

(97)

Artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan. (16: 97)

Keimanan saja tidak cukup untuk menentukan kesempurnaan dan derajat yang tinggi,
namun diperlukan juga amal saleh. Iman dan amal saleh adalah tolok ukur kesempurnaan
seseorang. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Amal saleh tidak terbatas pada tindakan tertentu,
namun setiap perbuatan yang pada dasarnya memiliki kebaikan dan pelakunya meniatkan
kebaikan saat mengerjakannya juga dapat disebut amal saleh, meski perbuatan tersebut sangat
remeh dan kecil.

Halaman 110

Hence iman has a component which realizes the knowledge of the ultimate virtue and secondly
another component which actualizes this knowledge through actions so as to progress towards
that ultimate virtue.
Analisis :
Disebutkan bahwa iman memiliki komponen yang menyadari pengetahuan tentang kebajikan
utama dan kedua komponen lain yang mengaktualisasikan pengetahuan ini melalui tindakan
untuk menuju kebajikan utama. Kami berpendapat bahwa komponen iman saja tidaklah cukup
untuk menuju kebajikan utama tanpa ilmu pengetahuan. Terdapat perbedaan pendapat mengenai
manakah yang harus didahulukan antara iman atau ilmu?
Iman dulu baru Ilmu
Argumentasi yang disampaikan yang memilih Iman yang lebih dulu baru Ilmu adalah tanpa Iman
mustahil orang bisa mendapatkan Ilmu. Misalnya ada sebuah kotak. Tentu kita tidak akan
mengetahui apa isi kotak tersebut. Nah, kita harus terlebih dahulu percaya bahwa didalam kotak
tersebut ada isinya sebelum kita mengetahui apa isi yang sebenarnya. Tanpa kita percaya terlebih
dahulu maka tidak akan mungkin muncul dorongan dalam diri kita untuk membuktikan
kenyataan yang ada sehingga akibat yang kita dapatkan ialah mendapatkan Ilmu.
Ilmu dulu baru Iman
Argumentasi yang disampaikan yang memilih Ilmu terlebih dahulu baru Iman adalah tidak akan
mungkin kita mempercayai sesuatu yang belum kita ketahui. Anggap saja sebuah buku, kita tidak
akan mungkin percaya kalau buku itu bagus sebelum kita membacanya (mencari tau) atau ada
orang yang mengatakan kepada kita kalau buku itu bagus dalam arti ada yang memberikan
informasi sehingga kita mengetahui dan dari apa yang diketahui itulah yang mengakibatkan
munculnya kepercayaan.
Hubungan Iman dan Ilmu
Beriman berarti meyakini kebenaran ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW. Serta
dengan penuh ketaatan menjalankan ajaran tersebut. Untuk dapat menjalankan perintah Allah
SWT dan Rasul kita harus memahaminya terlebih dahulu sehingga tidak menyimpang dari yang

dikehendaki Allah dan Rasulnya. Cara memahaminya adalah dengan selalu mempelajari agama
(Islam).
Iman dan Ilmu merupakan dua hal yang saling berkaitan dan mutlak adanya. Dengan
ilmu keimanan kita akan lebih mantap. Sebaliknya dengan iman orang yang berilmu dapat
terkontrol dari sifat sombong dan menggunakan ilmunya untuk kepentingan pribadi bahkan
untuk membuat kerusakan. Orang yang beriman ada dua macam:
1. Beriman dengan dasar Taqlid, ikut-ikutan atau turun-temurun. Dan kemungkinan besar
ini yang dimaksud oleh penanya
2. Beriman dengan dasar ilmu dan Hujjah yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah
Orang yang beriman dan berilmu lebih utama dari orang yang hanya beriman. Karena
orang yang beriman berdasarkan ilmu akan lebih tahan terhadap syubhat-syubhat dan melahirkan
banyak kebaikan. Adapun yang beriman karena Taqlid akan mudah terkena syubhat dan
pemikiran-pemikiran yang menyesatkan. Lih Taisir Al-Karim Ar-Rahman oleh syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sadi Hal. 890

7. A DEVELOPMENT MODEL UTILIZING INTEGRATION OF HORIZONTAL AND


VERTICAL ASPECT OF IMAN

Halaman 111
It is suggested here that vertical elements of iman enable individuals to actualize horizontal
elements in society insofar as when there is an increase in individuals sharing cognitive
realization or belief so there is an increase in mutual trust amongst those individuals.
Analisis :
Perbedaan iman dan kepercayaan (trust) :
Kata percaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu mengakui atau yakin bahwa
sesuatu memang benar atau nyata dan bisa juga berarti menganggap yakin bahwa sesuatu itu

benar-benar ada. Sedangkan kata iman murut KBBI yaitu kepercayaan (yang berkenaan dengan
agama) atau ketetapan hati dan kesungguhan batin. Dalam pengertian lain menurut bahasa Arab
iman artinya percaya atau membenarkan dalam hati yaitu dari aamana, yuminu , iimanan.
Sedangkan arti iman menurt istilah diambil dari pengertian Imam Al-jurzani yaitu itiqad
(keyakinan) di dalam hati dan ikrar dengan lisan. Dengan hal ini dapat dikatakan jika seseorang
beriman dengan syahadat (lisan) dan dengan perbuatan (amal), tetapi tidak berkeyakinan dalam
hati maka ia adalah orang yang munafik.
Yang menjadi perbedaan percaya dan iman yaitu sifat percaya adalah bagian tersendiri dari iman,
karena iman mencakup kepada percaya dan mengamalkan, baik lisan maupun perbuatan.
Menurut Imam Ahmad dari anaknya Abdullah bin Ahmad, bahwa Imam Ahmad pernah berkata
Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Dan apabila orang itu
berzina atau mencuri maka imannya berkurang ( As-Sunnah, 1:307). Menurut para ulama
kontemporer menyatakan bahwa iman itu adalah keyakinan dari hati, ikrar dalam lisan dan amal
dengan anggota badan.

Halaman 112
This feedback effect is the third stage of trust outlined earlier, whereby trust is an outcome, or
product, of the institutions that it helped spawn initially.
Analisis :
Diuraikan mengenai model pada gambar 1. dan disebutkan bahwa feedback menghasilkan
kepercayaan berupa hasil, atau produk dari lembaga yang membantu menelurkan awalnya.
Kepercayaan (trust) menjadi topik bahasan banyak pakar. Salah satu pakar yang
mengangkat topik ini sebagai bahan diskusi yang hangat adalah Francis Fukuyama, seorang guru
besar filsafat dari James Mason University, USA. Dalam buku yang berjudul Trust: The social
Virtues and the Creation of Prosperity (Fukuyama, 1995) penulis mendefinisikan trust sebagai
berikut: the expectation that arises within a community of regular, honest, and cooperative
behavior, based on commonly shared norms, on the part of other members of that community
(Fukuyama, 1995, hal 26). Kepercayaan menjadi modal sosial (lihat Ancok, 1999; 2000) sebagai

pengikat antar anggota masyarakat yang bekerja sama membangun sebuah masyarakat unggul.
Dalam bahasa Fukuyama : kepercayaan memungkinkan orang untuk menggorganisasikan diri
mereka ke dalam sebuah institusi yang inovatif. Trust dianggap Fukuyama sebagai sebuah
mediator untuk terbentuknya institusi yang efektif.
Kepercayaan (trust) menjadi pengikat masyarakat. Pada masyarakat yang lowtrust ikatan kelembagaan / institusi diikat oleh keanggotaan dalam keluarga. Karena dalam
ikatan keluarga trust tidak perlu dipermasalahkan. Anggota keluarga adalah bagian dari diri
sendiri. Fukuyama berpendapat bahwa trust berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam
bukunya Fukuyama menulis seperti berikut: A nations well being, as well as its ability to
compete, is conditioned by a single, pervasive cultural characteristics: the level of trust inherent
in the society Selanjutnya ia menulis bahwa social capital represented by trust will be as
important physical capital(Fukuyama, 1995, hal 26). Sejalan dengan pendapat Fukuyama,
Robert D. Putnam menemukan dalam penelitiannya bahwa pertumbuhan ekonomi di berbagai
kawasan di wilayah utara Italia berkorelasi dengan kehadiran trust di kalangan komponen
masyarakat ( lihat Ciancutti dan Steding, 2001, hal xiii). Selain pendapat yang disebut di atas ada
pakar lain yang beranggapan bahwa kepercayaan (trust) berkorelasi dengan pertumbuhan kinerja
ekonomi sebuah institusi. Renolds (1997) berpendapat bahwa trust adalah modal yang harus
dimiliki sebuah organisasi agar berkinerja baik, yang pada akhirnya akan memberikan manfaat
untuk semua pihak.
SARAN
Dalam jurnal ini

Daftar Pustaka

http://ancok.staff.ugm.ac.id/main/membangun-kepercayaan-menuju-indonesia-madanidemokratis-dan-damai/

http://indonesian.irib.ir/islam/al-quran/item/85836-tafsir-al-quran,-surat-an-nahl-ayat-97-100

http://agama.galihpamungkas.com/2016/03/15/perbedaan-iman-dan-percaya/

http://hamri-efendi.blogspot.co.id/2014/06/mana-yang-duluan-iman-atau-ilmu.html
http://asbarsalim009.blogspot.co.id/2015/03/hubungan-antara-iman-ilmu-dan-amal.html
http://www.salamdakwah.com/baca-pertanyaan/antara-ilmu-dan-iman.html
Stephenson,Mark.&Ebrahim,AlnoorChair.2004.Trust,SocialCapital,andOrganizational
Effectiveness.Blacksburg.QianhongFu

Anda mungkin juga menyukai