Anda di halaman 1dari 4

A.

Testis Maldesensus
1. Pendahuluan
Pada masa janin testis berada di rongga abdomen dan beberapa saat
sebelum bayi dilahirkan, testis mengalami desensus testikulorum turun ke
dalam kantung skrotum. Diduga ada beberapa faktor yang mempengaruhi
penurunan testis ke dalam skrotum, antara lain: (1) adanya tarikan dari
gabernakulum testis dan refleks dari otot kremaster, (2) perbedaan
pertumbuhan gabernakulum dengan pertumbuhan badan, (3) dorongan dari
tekanan intraabdominal.
Oleh karena sesuatu hal, proses desensus testikulorum tidak berjalan
dengan baik sehingaa testis tidak berada di dalam kantong skrotum
(maldesensus). Dalam hal ini mungkin testis tidak mampu mencapai skrotum
tetapi masih berada pada jalurnya yang normal, keadaan ini disebut
kriptorkismus, atau pada proses desensus, testis tersesat dari jalur
normalnya, keadaan ini disebut testis ektopik.
Testis yang belum turun ke kantong skrotum dan masih berada
dijalurnya mungkin terletak di kanalis inguinalis atau di rongga abdomen
yaitu terletak di antara fossa renalis dan annulus inguinalis internus. Testis
ektopik mungkin berada di perineal, di luar kanalis inguinalis yaitu diantara
aponeurosis obligus eksternus dan jaringan subkutan, suprapubik, atau
diregio femoral.
2. Angka Kejadian
Angka kejadian kriptorkismus pada bayi premature kurang lebih 30%
yaitu 10 kali lebih banyak daripada bayi cukup bulan (3%). Dengan
bertambahnya usia, testis mengalami desensus secaa spontan, sehingga
pada saat usia 1 tahun, angka kejadian kriptorkismus tinggal 0.70.9%.
Setelah usia 1 tahun, testis yang letaknya abnormal jarang dapat mengalami
desensus testis secara spontan.
3. Etiologi
Testis maldesensus dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1)
gubernaculum testis, (2) kelainan intrinsic testis, (3) defisinsi hormone
gonadotropin yang memacu proses desensus testis.
4. Patofisiologi dan Patogenesis
Suhu dalam rongga abdomen 1C lebih tinggi daripada suhu di dalam
skrotum, sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih
tinggi daripada testis normal; hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel epitel
germinal testis. Pada usia 2 tahum, sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel
germinal testis telah mengalami kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun
hanya 1/3 sel-sel germinal yang masih normal. Kerusakan ini makin lama
makin progresif dan akhirnya testis menjadi mengecil.
Karena sel-sel leydig sebagai penghasil hormone androgen tidak ikut
rusak, maka potensi seksual tidak mengalami gangguan.
Akibat lain yang ditimbulkan dari letak tetis yang tidak berada di
skrotum adalah mudah terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih
mudah mengalami degenerasi maligna.

5. Gambaran Klinis
Pasien biasanya dibawa berobat ke dokter karena orang tuanya tidak
menjumpai testis di kantong skrotum, sedangkan pasien dewasa mengeluh
karena infertilitas yaitu belum mempunyai anak setelah kawin beberapa
tahun. Kadang-kadang merasa ada benjolan di perut bagian bawah yang
disebabkan testis maldesensus mengalami trauma, mengalami torsio, atau
berubah menjadi tumor testis.
Inspeksi pada regio skrotum terlihat hypoplasia kulit skrotum karena
tidak pernah ditempati oleh testis. Pada palpasi, testis tidak teraba di
kantung skrotum melainkan berada di inguinal atau di tempat lain. pada saat
melakukan palpasi untuk mencari keberadaan testis, jari tangan pemeriksa
harus dalam keadaan hangat.
Jika kedua buah testis tidak diketahui tempatnya, harus dibedakan
dengan anorkismus bilateral (tidak mempunyai testis). Untuk itu perlu
dilakukan pemeriksaan hormonal antara lain hormone testosteron, kemudian
dilakukan uji dengan pemberian hormone hCG (human chorionic
gonadotropin).
Periksa kadar testosterone awal
Injeksi hCG 2000U/hari
Selama 4 hari

Hari ke-5: Kadar meningkat 10 kali lebih


tinggi daripada kadar semula

Testis memang ada


Keberadaan testis sering kali sulit untuk ditentukan, apalagi testis yang
letaknya intraabdominal dan pada pasien yang gemuk. Untuk itu diperlukan
bantuan beberapa sarana penunjang, diantaranya adalah flebografi selektif
atau diagnostic laparoskopi.
Pemakaian ultrasonografi untuk mencari letak testis sering kali tidak
banyak manfaatnya sehingga jarang dikerjakan. Pemeriksaan flebografi
selektif adalah usaha untuk mencari keberadaan testis secara tidak
langsung, yaitu dengan mencari keberadaan pleksus Pampiniformis. Jika
tidak didapatkan pleksus pampiniformis kemungkinan testis memang tidak
pernah ada.
Melalui laparoskopi dicari keberadaan testis mulai dari fossa renalis
hingga annulus inguinalis internus, dan tentunya laparoskopi ini lebih
dianjurkan daripada melakukan eksplorasi melalui pembedahan terbuka.
6. Diagnosis Banding
Seringkali dijumpai testis yang biasanya berada di kantung skrotum
tiba-tiba berada di daerah inguinal dan pada keadaan lain kembali ke tempat
semula. Keadaaan ini terjadi karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat
akibat cuaca dingin, atau setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut
sebagai testis retraktil atau kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak
perlu diobati.

Selain itu maldesensus testis perlu dibedakan dengan anorkismus yaitu


testis memang tidak ada. Hal ini bisa terjadi secara kongenital memang tidak
terbentuk testis atau testis yang mengalami atrofi akibat torsio in utero atau
torsio pada saat neonates.
7. Tatalaksana
Pada prinsipnya testis yang tidak terletak di skrotum harus diturunkan
ke tempatnya, baik secara medikamentosa maupun pembedahan.
a) Medikamentosa
Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak memberikan hasil
terutama pada kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan
unilateral hasilnya masih belum memuaskan. Obat yang sering
dipergunakan adalah hormone hCG yang disemprotkan intranasal.
b) Pembedahan
Tujuan operasi pada kriptorkismus adalah: (1) mempertahankan
fertilitas, (2) mencegah timbulnya degenerasi malIgna, (3)
mencegah kemungkinan terjadinya TORSIO TESTIS, (4) melakukan
koreksi hernia, dan (5) secara psikologis mencegah terjadinya rasa
rendah diri karena tidak mempunyai testis. Operasi yang dikerjakan
adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam skrotum
dengan melakukan fiksasi pada kantong sub dartos.
B. Hipospadias
1. Pendahuluan
Hipospadias adalah kelaian kongenital berupa muara uretra yang
terletak di sebelah ventral penis dan sebelah proksimal ujung penis. Letak
meatus uretra bisa terletak pada glandular hingga perineal. Angka kejadian
hipospadia adalah 3,2 dari 1000 kelahiran hidup.
Pada hipospadia tidak didapatkan prepusium ventral sehingga
prepusium dorsal menjadi berlebihan (dorsal hood) dan sering disertai
dengan korde (penis angulasi ke ventral). Kadang-kadang didapatkan
stenosis meatus uretra, dan anomaly bawaan berupa testis maldesensus
atau hernia inguinalis. Kejadian seluruh hipospadia yang bersamaan dengan
kriporkismus adlah 9%, tetapi pada hipospadia posterior sebesar 32%.
2. Klasifikasi
Berdasarkan letak muara uretra setelah dilakukan koreksi korde,
Browne (1936) membagi hipospadia dalam tiga bagian besar, yaitu (1)
hipospadia anterior terdiri atas tipe granular, subkoronal, dan penis distal,
(2) hipospadi medius terdiri atas: midshaft, dan penis proksimal, dan (3)
hipospadi posterior terdiri atas: penoskrotal, scrotal, dan perineal
3. Tatalaksana
Tujuan operasi hipospadia adalah: (1) kosmetik penis sehingga fungsi
miksi dan fungsi seksual normal (ereksi lurus dan pancaran ejakulasi kuat)
dan (2) penis dapat tumbuh dengan normal. Tahapan rekonstruksi adalah:
koreksi korde (ortoplasti), membuat neouretra dari kulit penis (uretroplasti),
dan membuat glans. Berbagai metode rekonstruksi telah diperkenankan

mulai dari metode satu tahap hingga dua tahap. Pilihan metode tergantung
dari pengalaman operator.
Reparasi hipospadi dianjurkan pada usia pra-sekolah agar tidak
mengganggu kegiatan belajar pada saat operasi. Perlu diingatkan bahwa
seringkali rekonstruksi hipospadia membutuhkan lebih dari sekali operasi,
koreksi ulangan jika terjadi komplikasi. Pada hipospadia posterior dengan
disertai testis maldesensus dianjurkan utuk melakukan uretroskopi
praoperatif guna melihat kemungkinan adanya pembesaran utrikulus
prostatikus yang mungkin terdapat keraguan jenis kelamin (sexual
ambiquity). Penyulit yang dapat terjadi setelah operasi hipospadi adalah:
fistula uretrokutan, stenosis meatus uretra, striktur uretra, korde yang belum
sepenuhnya terkoreksi, dan timbulnya divertikel uretra.

Anda mungkin juga menyukai