Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang terutama
disebabkan karena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme
atau kombinasi keduanya. Hal ini sering ditandai dengan keluhan nyeri dada. Penyakit
jantung koroner (PJK) menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, apalagi dengan
adanya fasilitas diagnostik dan unit-unit perawatan penyakit jantung koroner intensif
yang semakin tersebar merata. Di negara yang sedang berkembang, penyakit jantung
koroner merupakan penyebab utama kematian dan menjadi masalah kesehatan utama di
dunia (Setyani, 2009).
American Heart Association pada tahun 2004 memperkirakan prevalensi penyakit
jantung koroner di Amerika Serikat sekitar 13.200.000. Angka kematian karena PJK di
seluruh dunia tiap tahun didapatkan 50 juta, sedangkan di negara berkembang terdapat
39 juta (Tanuwidjojo, 2003). WHO pada tahun 2002 memperkirakan di seluruh dunia
setiap tahunnya 3,8 juta pria dan 3,4 juta wanita meninggal karena PJK (World Health
Organization, 2006).
Berdasarkan Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI
pada tahun 1986, PJK menduduki peringkat ketiga sebagai penyebab kematian pada usia
di atas 45 tahun, pada tahun 1992 naik menjadi peringkat kedua dan sejak tahun 1993
menjadi peringkat pertama. Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan PJK menempati
peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi (Tanuwidjojo, 2003).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI PENYAKIT JANTUNG KORONER

2
Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah penyakit
jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria. Penyempitan tersebut
dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis arteritis, emboli koronaria, dan
spasme. Oleh karena aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak (99%) maka
pembahasan tentang PJK pada umumnya terbatas penyebab tersebut (Majid, 2007).
Arterosklerosis pada dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas
pembentukan fibrolipid dalam bentuk plak-plak yang menonjol atau penebalan yang
disebut ateroma yang terdapat didalam tunika intima dan pada bagian dalam tunika
media. Proses ini dapat terjadi pada seluruh arteri, tetapi yang paling sering adalah pada
left anterior descendent arteri coronaria, proximal arteri renalis dan bifurcatio carotis.
B. PATOGENESIS PEMBENTUKAN ATEROSKLEROSIS (Coughlin, 2006)
1.

Pembentukan Aterosklerosis
Ada beberapa hopotesis yang menerangkan tentang proses terbentuknya
aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan response to
injure hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah mengenai empat
stage respon to injure hypothesis sebagai berikut:
a. Stage A: Endothelial injure
Endotelial yang intake dan licin berfungsi sebagai barrier yang menjamin aliran
darah koroner lancar. Faktor resiko yang dimiliki pasien akan memudahkan
masuknya lipoprotein densitas rendah yang teroksidasi maupun makrofag ke
dalam dinding arteri. Interaksi antara endotelial injure dengan platelet, monosit
dan jaringan ikat (collagen), menyebabkan terjadinya penempelan platelet
(platelet adherence) dan agregasi trombosit (trombosit agregation).

b. Stage B: Fatty Streak Formation

Gambar 1. Pembentukan formasi lapisan lemak dalam ruang subendotel

c. Stage C: Fibrosis Plaque Formation


Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central cholesterol dan tutup jaringan
ikat (cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran tipe yaitu:
1)

Stable fibrous plaque dan

2)

Unstable fibrous plaque

Gambar 2. Formasi plak fibrous yang terdiri atas tutup dan inti

d. Stage D: Unstable Plaque Formation


Formasi ini akan membentuk plak yang mudah ruptur (vulnarable plaque),
sehingga menyebabkan terbentuknya trombus dan oklusi pada arteri.

Gambar 3.Timeline dari Aterosklerosis


2.

Patofisiologi Terjadinya Infark Miokard

Gambar 4. Aterosklerosis Pada Arteri Koronaria dan Anatomi Vasa Koronaria


C. MANIFESTASI KLINIS PENYAKIT JANTUNG KORONER
Diatas telah dijelaskan bahwa aterosklerosis yang terbentuk dalam lumen arteri
dapat bersifat sebagai plak yang vulnarable maupun plak stabil. Oleh karena itu penyakit
jantung koroner memberikan dua manifestasi klinis penting yaitu akut koroner sindrom
dan angina pektoris stabil (ACC/AHA, 2007).

6
1. Plak Vulnarable (Plak yang memiliki dinding tipis dengan lemak yang besar, mudah
ruptur jika ada faktor pencetus akibat aktivasi enzim protease yang dihasilkan
makrofag) Akut koroner sindrom
a. ST elevasi miokard infark (STEACS); oklusi total oleh trombus
1) STEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung
2) Angina variant (prinzmetal), jarang terjadi; akibat spasme koroner
b. Non-ST elevasi acute coronary syndrom (NSTEACS); oklusi parsial
1) NSTEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung
2) Unstable angina; kresendo angina, tanpa peningkatan enzim jantung
2. Plak Stabil (Plak yang memiliki dinding tebal dengan lemak yang sedikit) angina
pektoris stabil; dekresendo angina, tanpa peningkatan enzim jantung

Gambar 5. Klasifikasi Sindrom Koroner Akut


D. FAKTOR RESIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER (Setyani, 2009; Bahri,
2005)
1.
Lipid
Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat
dimodifikasi untuk perkembangan dan perubahan secara progresif atas terjadinya
PJK. Kolesterol ditranspor dalam darah dalambentuk lipoprotein, 75 %
merupakan lipoprotein densitas rendah (low density liproprotein/LDL) dan 20 %
merupakan lipoprotein densitas tinggi (high density liproprotein/HDL). Kadar
kolesterol HDL-lah yang rendah memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat
hubungan terbalik antara kadar HDL dan insiden PJK.
Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun) dengan tingkat serum
kolesterol yang tinggi (kolesterol : > 240 mg/dL dan LDL kolesterol : > 160
mg/dL) risiko terjadinya PJK akan meningkat. Pemberian terapi dengan
pravastatin dapat menurunkan rata-rata kadar LDL kolesterol sebesar 32 %,

7
pasien yang mendapatkan pengobatan dengan pravastatin terhindar dari kejadian
PJK sebesar 24 % dibandingkan dengan kelompok placebo.
Selain itu juga studi yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa asam
lemak omega-3 dapat menurunkan kolesterol LDL, mengurangi kadar trigliserid
dan meningkatkan kolesterol HDL. Beberapa vitamin diduga mempunyai efek
protektif terhadap aterosklerosis, salah satunya adalah vitamin C dan E sebagai
anti oksidan guna mencegah oksidasi lipid pada plak.
Tabel 1. Total Kolesterol dan LDL Kolesterol

2.

Merokok
Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya penyakit
jantung, termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga memiliki hubungan kuat
untuk terjadinya PJK sehingga dengan berhenti merokok akan mengurangi risiko
terjadinya serangan jantung. Merokok sigaret menaikkan risiko serangan jantung
sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar 24 % kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11
% pada perempuan disebabkan kebiasaan merokok. Meskipun terdapat penurunan
yang progresif proporsi pada populasi yang merokok sejak tahun 1970-an, pada
tahun 1996 sebesar 29 % laki-laki dan 28 % perempuan masih merokok. Salah
satu hal yang menjadi perhatian adalah prevalensi kebiasaan merokok yang
meningkat pada remaja, terutama pada remaja perempuan. Orang yang tidak
merokok dan tinggal bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan
risiko sebesar 20 30 % dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan bukan
perokok. Risiko terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis dimana
orang yang merokok 20 batang rokok atau lebihdalam sehari memiliki resiko

8
sebesar dua hingga tiga kali lebih tinggi daripada populasi umum untuk
mengalami kejadian PJK.
Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks,
diantaranya :
a. Timbulnya aterosklerosis.
b. Peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi (termasuk spasme arteri
koroner)
c. Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.
d. Provokasi aritmia jantung.
e. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard.
f. Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen.
g. Risiko terjadinya PJK akibat merokok turun menjadi 50 % setelah satu tahun
berhenti merokok dan menjadi normal setelah 4 tahun berhenti. Rokok juga
merupakan faktor risiko utama dalam terjadinya : penyakit saluran nafas,
saluran pencernaan, cirrhosis hepatis, kanker kandung kencing dan penurunan
kesegaran jasmani.
Manfaat penghentian kebiasaan merokok lebih sedikit kontroversinya
dibandingkan dengan diit dan olah raga. Tiga penelitian secara acak tentang
kebiasaan merokok telah dilakukan pada program prevensi primer dan
membuktikan adanya penurunan kejadian vaskuler sebanyak 7-47% pada
golongan yang mampu menghentikan kebiasaan merokoknya dibandingkan
dengan yang tidak. Oleh karena itu saran penghentian kebiasaan merokok
merupakan komponen utama pada program rehabilitasi jantung koroner.

3.

Obesitas

9
Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan
PJK, hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan beban penting pada
kesehatan jantung dan pembuluh darah. Data dari Framingham menunjukkan
bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi
penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident
(CVA) sebanyak 3,5 %.
Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,
memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan
dislipidemia.
Hal tersebut ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori dan
menambah aktifitas fisik. Disamping pemberian daftar komposisi makanan ,
pasien juga diharapkan untuk berkonsultasi dengan pakar gizi secara teratur.

Tabel 2. Klasifikasi Berat Badan Menurut Index Masa Tubuh

4.

Diabetes Mellitus
Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif, lebih
kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok control dengan usia yang
sesuai.

10
Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-pathologi pada
system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial dan
gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya
coronary artery diseases (CAD). Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya
mikroangiopati, fibrosis otot jantung, dan ketidaknormalan metabolisme otot
jantung.
Risiko terjadinya PJK pada psien dengan NIDDM adalah dua hingga
empat kali lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya tidak terkait
dengan derajat keparahan atau durasi diabetes, mungkin karena adanya resistensi
insulin dapat mendahului onset gejala klinis 15 25 tahun sebelumnya. Sumber
lain mengatakan bahwa, pasien dengan diabetes mellitus berisiko lebih besar
(200%) untuk terjadinya cardiovasculair diseases dari pada individu yang tidak
diabet.

Other
non
ischemic

11
Gambar 6.

Potential mechanisms linking diabetes mellitus to heart failure


Sumber : Cardiovascular Diabetology by : Christophe Bauters,
Januari 2003.

Diabetes, meskipun merupakan faktor risiko independent untuk PJK,


juga berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas,
hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi
platelet dan peningkatan kadar fibrinogen). Hasil coronary artery bypass grafting
(CABG) jangka panjang tidak terlalu baik pada penderita diabetes, dan pasien
diabetic memiliki peningkatan mortalitas dini serta risiko stenosis berulang pasca
angioplasty koroner.

5.

Riwayat Keluarga
Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam
patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam
diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK. Penyakit jantung koroner
kadang-kadang bisa merupakan manifestasi kelainan gen tunggal spesifik yang
berhubungan dengan mekanisme terjadinya aterosklerotik.
Riwayat keluarga PJK pada keluarga yang langsung berhubungan darah
yang berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko independent untuk
terjadinya PJK, dengan rasio odd dua hingga empat kali lebih besar dari pada
populasi control. Agregasi PJK keluarga menandakan adanya predisposisi genetik
pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat keluarga yang positif
dapat mempengaruhi usia onset PJK pada keluarga dekat.
The Reykjavik Cohort Study menemukan bahwa pria dengan riwayat
keluarga menderita PJK mempunyai risiko 1,75 kali lebih besar untuk menderita

12
PJK (RR=1,75; 95% CI 1,59-1,92) dan wanita dengan riwayat keluarga menderita
PJK mempunyai risiko 1,83 kali lebih besar untuk menderita PJK (RR=1,83; 95%
CI 1,60-2,11) dibandingkan dengan yang tidakmempunyai riwayat PJK.

6.

Hipertensi Sistemik
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kalalembang dan Alfrienti dengan
judul Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit jantung koroner
di RSU Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan menyimpulkan bahwa 4 (empat)
faktor risiko yang mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) adalah tekanan
darah (hipertensi), umur, riwayat PJK pada orang tua dan olah raga.
Risiko PJK secara langsung berhubungan dengan tekanan darah, untuk
setiap penurunan tekanan darah disatolik sebesar 5 mmHg risiko PJK berkurang
sekitar 16 %. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi
terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya terjadi
hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan oksigen
oleh miokardium akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal ini mengakibat
peningkatan beban kerja jantung yang pada akhirnya menyebabkan angina dan
infark miokardium.
Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan
darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan
oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi. Penelitian
Framingham menunjukkan LVH akan meninggikan PJK 4 5 kali pada penderita
usia lanjut.

13

Gambar 7. Pengaruh Hipertensi Pada Jantung

7.

Hiperhomosistein
Peningkatan kadar homosistein dalam darah akhir-akhir ini telah
ditegakkan sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya trombosis dan
penyakit vaskuler. Hiperhomosisteinemia ini akan lebih meningkatkan lagi
kejadian aterotrombosis vaskuler pada individu dengan faktor risiko yang lain
seperti kebiasaan merokok dan hipertensi.
Lebih dari 31 penelitian kasus kontrol dan potong lintang yang
melibatkan sekitar 7000 penderita didapatkan hiperhomosisteinemia pada 30 %
sampai 90 % penderita aterosklerosis dan berhubungan dengan peningkatan risiko
penyakit jantung koroner.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bambang Irawan dkk, tentang
Hiperhomosisteinemia sebagai faktor risiko PJK yang dilakukan di RS Sardjito
Yogyakarta dengan desain penelitian kasus kontrol, pada n case 50 orang dan n
control 50 orang, didapatkan 74% penderita PJK dari kelompok kasus dan 36%
penderita PJK dari kelompok kontrol. Hiperhomosisteinemia merupakan faktor

14
risiko yang signifikan terhadap terjadinya PJK (OR 5,06; 95% CI: 2,15-11,91;
p<0,01)

Tabel 3. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner

Homosistein Sebagai Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. (2001). Majalah


Kedokteran Andalas Vol.25. No. 1.
E. DIAGNOSIS PENYAKIT JANTUNG KORONER
Langkah pertama dalam pengelolaan PJK ialah penetapan diagnosis pasti.
Diagnosis yang tepat amat penting, karena bila diagnosis PJK telah dibuat di dalamnya
terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan akan dapat
mengalami infark atau kematian mendadak. Diagnosis yang salah selalu mempunyai
konsekuensi buruk terhadap kualitas hidup penderita. Pada orang-orang muda,
pembatasan kegiatan jasmani yang tidak pada tempatnya mungkin akan dinasihatkan.
Selain itu kesempatan mereka untuk mendapat pekerjaan mungkin akan berkurang. Bila
hal ini terjadi pada orang-orang tua, maka mereka mungkin harus mengalami pensiun
yang terlalu dini, harus berulang kali di rawat di rumah sakit atau harus makan obatobatan yang potensial toksin untuk jangka waktu lama (Gray, dkk., 2005).
Tabel 4 memperlihatkan cara-cara diagnostik PJK yang terpenting, baik yang
saat ini ada atau yang di masa yang akan datang potensial akan mempunyai peranan
besar. Dokter harus memilih pemeriksaan apa saja yang perlu dilakukan terhadap
penderita untuk mencapai ketepatan diagnostik yang maksimal dengan resiko dan biaya
yang seminimal mungkin.

15
Tabel 4. Cara-cara Diagnostik Penyakit Jantung Koroner
No
1

Diagnostik Penyakit Jantung Koroner


Anamnesis: Nyeri dada iskemik, identifikasi faktor pencetus dan atau faktor
resiko. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut:
a. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial.
b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c. Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula, dan
dapat juga ke lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.
e. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan
f. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin.
g. Hati-hati pada pasien diabetes mellitus, kerap pasien tidak mengeluh nyeri
dada akibat neuropati diabetik.
Berikut perbedaan nyeri dada jantung dan non-jantung

Pada UAP Crescendo angina, Angina Pektoris Stabil Decrescendo


Angina pada wanita dan pria:
a. Wanita: Paling sering angina (terkadang pasien hanya bilang sesak padahal

maksudnya nyeri dada)


b. Pria: Paling sering langsung miocard infark banyak yang sudden death
Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus
dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari PJK. Hipertensi tak terkontrol,
takikardi, anemis, tirotoksikosis, stenosis aorta berat (bising sistolik), dan
kondisi lain, seperti penyakit paru. Dapat juga ditemukan retinopati

16
hipertensi/diabetik.
Keadaan disfungsi ventrikel kiri/tanda-tanda gagal jantung (hipotensi, murmur
dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau
penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan
3

juga penderita penyakit jantung koroner (PJK).


Laboratorium: leukositosis/normal, anemia,

gula

darah

tinggi/normal,

dislipidemia, SGOT meningkat, jika cek enzim jantung maka meningkat


Enzim Jantung Penanda Infark Miokardium (Gambar 8)

4
5

Enzim
Meningkat
Puncak
CK-MB
6 jam
24 jam
GOT
6-8 jam
36-48 jam
LDH
24 jam
48-72 jam
Troponin T
3 jam
12-24 jam
Troponin I
3 jam
12-24 jam
Foto Dada: Kardiomegali, aortosklerosis, edema paru
Pemeriksaan Jantung Non-invasif
a. EKG
Akut Koroner Sindrom:
- STEMI ST elevasi > 2mm minimal pada 2 sandapan

Normal
36-48 jam
48-96 jam
7-10 hari
7-10 hari
7-14 hari

prekordial yang

berdampingan atau > 1mm pada 2 sandapan ekstremitas, LBBB baru


-

atau diduga baru; ada evolusi EKG


NSTEMI Normal, ST depresi > 0,05mV, T inverted simetris; ada

evolusi EKG
- UAP Normal atau transient
Angina Pektoris Stabil iskemia, dapat kembali normal waktu nyeri hilang.

ST depresi
Iskemia
T inverted simetris

ST elevasiInjury

Q patologis Infark
AMI
OMI

b. Uji Latihan Jasmani (Treadmill)


c. Uji Latihan Jasmani Kombinasi Pencitraan:
- Uji Latih Jasmani Ekokardiografi (Stress Eko)
- Uji Latih Jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard
- Uji Latih Jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging
d. Ekokardiografi Istirahat
e. Monitoring EKG Ambulatoar
f. Teknik Non-invasif Penentuan Klasifikasi Koroner dan Anatomi Koroner:
- Computed Tomografi

17
- Magnetic Resonance Arteriography
6
Pemeriksaan Invasif Menentukan Anatomi Koroner
- Arteriografi Koroner
- Ultrasound Intra Vaskular (IVUS)
Sumber: Madjid, Abdul (2007) yang telah dimodifikasi

Gambar 8. Peningkatan Enzim Jantung (Cardiac Marker) pada Infark Miokard


Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti, penentuan
faktor resiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan gejala angina pektoris
ringan cukup dilakukan pemeriksaan non-invasif. Bila pasien dengan keluhan yang berat
dan kemungkinan diperlukan tindakan revaskularisasi, maka tindakan angiografi sudah
merupakan indikasi.
Pada keadaan yang meragukan apat dilakukan treadmill test. Treadmill test lebih
sensitif dan spesifik dibandingkan dengan EKG istirahat dan merupakan test pilihan
untuk mendeteksi pasien dengan kemungkinan angina pektoris dan pemeriksaannya yang
mudah dan biayanya terjangkau. Pada pasien PJK, iskemia miokard direfleksikan dengan
depresi segmen ST, yang sering terlihat pada lead dengan gelombang R tertinggi
(biasanya V5).
Pemeriksaan alternatif lain yang dapat dilakukan adalah ekokardiografi dan
teknik non-invasif penentuan kalsifikasi koroner dan anatomi koroner, Computed
Tomography, Magnetic Resonance Arteriography, dengan sensitifitas dan spesifitas yang
lebih tinggi. Di samping itu tes ini juga cocok untuk pasien yang tidak dapat melakukan

18
exercise, di mana dapat dilakukan uji latih dengan menggunakan obat dipyridamole atau
dobutamine (Gray, dkk., 2005).
F. GAMBARAN EKG PADA PENYAKIT JANTUNG KORONER
Satu dari tiga komponen penting dalam diagnosis penyakit jantung koroner
utamanya sindrom koroner akut adalah EKG. Kombinasi riwayat penyakit yang khas dan
peningkatan kadar enzim jantung lebih dapat diandalkan daripada EKG dalam diagnosis
infark miokard. EKG memiliki tingkat akurasi prediktif positif sekitar 80%.
1. Segmen ST dan Gelombang T pada Iskemia Miokard
Iskemia miokard akan memperlambat proses repolarisasi, sehingga pada EKG
dijumpai perubahan segmen ST (depresi) dan gelombang T (inversi) tergantung
beratnya iskemia serta waktu pengambilan EKG. Spesifitas perubahan segmen ST
pada iskemia tergantung morfologinya. Diduga iskemia jika depresi segmen ST lebih
dari 0,5mm (setengah kotak kecil) dibawah garis besline (garis isoelektris) dan 0,04
detik dari j point. Pada treadmill test, positif iskemia jika terdapat depresi segmen ST
sebesar 1mm.

Gambar 9. Variasi segmen ST (depresi) paa iskemi


2. Perubahan/Evolusi EKG pada Injure Miokard
Sel miokard yang mengalami injuri tidak akan berdepolarisasi sempurna, secara
elektrik lebih bermuatan positif dibanding daerah yang tidak mengalami injuri dan
pada EKG terdapat gambaran elevasi segmen ST pada sandapan yang berhadapan
dengan lokasi injuri. Elevasi segmen ST bermakna jika elevasi > 1mm pada sandapan
ekstremitas dan > 2mm pada sandapan prekordial di dua atau lebih sandapan yang
menghadap daerah anatomi jantung yang sama. Perubahan segmen ST, gelombang T
dan kompleks QRS pada injuri dan infark mempunyai karakteristik tertentu sesuai

19
waktu dan kejadian selama infark. Aneurisma ventrikel harus dipikirkan jika elevasi
segmen ST menetap beberapa bulan setelah infark miokard.

10

Gambar 10. Pola perubahan EKG pada IMA dengan ST elevasi (Emerg Med Clin N
Am 2006; 24:53-89
3. Perubahan EKG pada Infark Miokard Lama (OMI)
Infark miokard terjadi jika aliran arah ke otot jantung terhenti atau tiba-tiba
menurun sehingga sel otot jantung mati. Sel infark yang tidak berfungsi tersebut tidak
mempunyai respon stimulus listrik sehingga arah arus yang menuju daerah infark
akan meninggalkan daerah yang nekrosis tersebut dan pada EKG memberikan
gambaran defleksi negatif berupa gelombang Q patologis dengan syarat durasi
gelombang Q lebih dari 0,04 detik dan dalamnya harus minimal sepertiga tinggi
gelombang R pada kompleks QRS yang sama.

Gambar 11. (A) EKG sandapan II normal dengan progresi normal vektor listrik
(tanda panah) dan kompleks QRS dimulai dengan gelombang Q
septal yang kecil. (B) Perubahan EKG sandapan II pada infark lama:
arah

arus

meninggalkan

daerah

infark

(tanda

panah)

dan

20
memperlihatkan gambaran defleksi negatif berupa gelombang Q
patologis pada EKG
4. Konsep Resiprokal
Pada sandapan dengan arah berlawanan dari daerah injuri menunjukkan
gambaran depresi segmen ST dan disebut perubahan resiprokal (mirror image).
Perubahan ini dijumpai pada dinding jantung berlawanan dengan lokasi infark (75%
dijumpai pada infark inferior dan 30% pada infark anterior). Perubahan ini terjadi
hanya sebentar diawal infark dan jika ada berarti dugaan kuat suatu infark akut.

Gambar 12. Konsep Resiprokal


5. Lokalisasi Infark Berdasarkan Lokasi Letak Perubahan EKG
Lokasi
Anterior
Anteroseptal
Anterior Ekstensif
Posterior
Lateral
Inferior
Ventrikel kanan

Lead / Sandapan
V1-V4
V1-V3
V1-V6
V1-V2
I, avL, V5-V6
II, III, avF
V4R-V5R

Perubahan EKG
ST elevasi, Gelombang Q
ST elevasi, Gelombang Q
ST elevasi, Gelombang Q
ST depresi, Gelombang R tinggi
ST elevasi, Gelombang Q
ST elevasi, Gelombang Q
ST elevasi, Gelombang Q

G. PENATALAKSANAAN PENYAKIT JANTUNG KORONER


1. Akut Koroner Sindrom
Diagnosis; 2 dari 3 dibawah ini
a. Angina (Sensitifitas 70%, Spesifitas 20%)
b. Perubahan EKG (Sensitifitas 50%, Spesifitas 100%)
c. Peningkatan Enzim Jantung (Sensitifitas dan Spesifitas mendekati 100%)

21
Berdasarkan triase dari pasien dengan kemungkinan SKA, langkah yang diambil pada
prinsipnya sebagai berikut :
a. Jika riwayat dan anamnesa curiga adanya SKA
1) Berikan asetil salisilat (ASA) 300 mg dikunyah, berikan nitrat sublingual
2) Rekam EKG 12 sadapan atau kirim ke fasilitas yang memungkinkan
3) Jika mungkin periksa petanda biokimia
b. Jika EKG dan petanda biokimia curiga adanya SKA: Kirim pasien ke fasilitas
kesehatan terdekat dimana terapi defenitif dapat diberikan
c. Jika EKG dan petanda biokimia tidak pasti akan SKA
1) Pasien risiko rendah ; dapat dirujuk ke fasilitas rawat jalan
2) Pasien risiko tinggi : pasien harus dirawat
Penanganan di Instalasi Gawat Darurat
Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena kita berpacu dengan
waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan lebih baik.
Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun membatasi luasnya
infark dan mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang dilakukan adalah
sebagai berikut :
a. Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah:
1) Pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,
2) Periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,
3) Berikan segera: 02, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%,
4) Pasang monitoring EKG secara kontiniu,
5) Pemberian obat:
- Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi
bila TD sistolik < 90 mmHg, bradikardia (< 50 kpm)

22
- Aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan dipiridamol,
tiklopidin atau klopidogrel, dan
- Mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5
menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau
tramadol 25-50 mg intravena.
Prinsip Management:
STEMI

: MONACO + Reperfusi

NSTEMI

: MONACO + Heparin

b. Hasil penilaian EKG, bila:


1) Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada 2 atau lebih sadapan ekstremitas
berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial
berdampingan atau blok berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai adanya IMA
maka sikap yang diambil adalah dilakukan reperfusi dengan :
Terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia <
75 tahun dan tidak ada kontraindikasi.
o Streptokinase: BP > 90 mmHg
o tPA: BP < 70mmHg
o Kontraindikasi: Riwayat stroke hemoragik, active internal bleeding,
diseksi aorta.
o Jika bukan kandidate reperfusi maka perlakukan sama dengan
NSTEMI/UAP.
Angioplasti koroner (PTCA) primer bila fasilitas alat dan tenaga
memungkinkan. PTCA primer sebagai terapi alternatif trombolitik atau bila
syok kardiogenik atau bila ada kontraindikasi terapi trombolitik

23
2) Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST, insersi T), diberi terapi
anti-iskemia, maka segera dirawat di ICCU; dan
3) EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan di UGD.
Perhatikan monitoring EKG dan ulang secara serial dalam pemantauan 12 jam
pemeriksaan enzim jantung dari mulai nyeri dada dan bila pada evaluasi selama
12 jam, bila:
EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan untuk evaluasi
stress test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan
EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien di
rawat di ICCU.

Gambar 14. Tatalaksana Akut Koroner Sindrom dengan ST elevasi

24

Gambar 15. Tatalaksana Akut Koroner Sindrom Non-ST elevasi/UAP

2. Angina Pektoris Stabil (Kronis Koroner Sindrom)


Tujuan utama pengobatan adalah mencegah kematian dan terjadinya serangan
jantung (infark). Sedangkan yang lainnya adalah mengontrol serangan angina
sehingga memperbaiki kualitas hidup.
Pengobatan terdiri dari farmakologis dan non-farmakologis untuk mengontrol
angina dan memperbaiki kualitas hidup. Tindakan lain adalah terapi reperfusi
miokardium dengan cara intervensi koroner dengan balon dan pemakaian stent sampai
operasi CABG (bypass).
Berikut 5 elemen penting untuk penatalaksanaan angina stabil:
A
Aspirin dan anti angina
B
Beta bloker dan pengontrol tekanan darah
C

Cholesterol kontrol dan berhenti merokok

Diet dan atasi diabetes

Edukasi dan olah raga

Peran Antitrombotik pada Penyakit Jantung Kronik

25
Konsep patofisiologi trombosis arteri perlu selalu mempertimbangkan tiga faktor
yaitu abnormalitas dinding vaskular termasuk endotel, masalah hemoreologi, dan masalah
aliran yang melambat (Trias Virchow) selain faktor faktor lain yang belum diketahui pasti.
Pada penyakit jantung koroner (PJK) patogenesis didahului oleh terbentuknya plak
atherosklerosis. Plak yang semakin berkembang dan tumbuh menyebabkan diameter lumen
arteri koronaria menyempit (lesi stenotik). Adanya suatu trauma (faktor pencetus)
mengakibatkan plak mengalami erosi atau ruptur dan menjadi tak stabil dan kemudian diikuti
oleh respon koagulasi melalui aktivitas ekstrinsik dan aktivitas trombosit sehingga terbentuk
trombus sebagai hasil akhir. Proses tersebut merupakan dasar dari patofisiologi sindrom
koroner akut (SKA). Bentuk klinis SKA adalah serangan angina tak stabil, IMA gelombang
non-Q, dan IMA gelombang Q. Terbentuknya trombus ini menyebabkan iskemia dan
hipoksemia kardiak dengan segala konsekuensinya. Tugas antitrombotik trombolitik adalah
sebagai aktivator plasminogen untuk menjadi plasmin yang akan melisiskan fibrin menjadi
fibrin degranulation product (Gumiwang, 2009).
Terapi antitrombotik sangat penting dalam memperbaiki hasil dan dan menurunkan
risiko kematian, IMA atau IMA berulang. Terapi ini penting untuk memodifikasi proses dan
progresifitas dari penyakit. Antitrombotik diberikan untuk mengurangi kerusakan miokard
dan mencegah iskemia lebih lanjut (Depkes, 2006).
Dari hampir 20.000 pasien dengan infark miokard menunjukkan penurunan relatif laju
mortalitas sebesar 27%, dari 14,2% pada kelompok kontrol dibandingkan 10,4% pada pasien
yang mendapat antiplatelet. Pata penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas
vaskular sebesar 23% dan infark nonfatal sebesar 49% (Alwi, 2009).
Antikoagulan mempunyai peran mencegah koagulasi misalnya heparin membentuk
kompleks dengan antitrombin III yang menghambat aktivasi faktor IIa, Xa, dan IXa.

26
Antiplatelet mempunya peran aktivasi trombosit dengan berbagai cara, misalnya aspirin dosis
rendah bekerja menghambat aktivitas siklooksigenase (COX-1) dalam siklus prostaglandin
sehingga terbentuknya prostasiklin lebih tinggi yang bersifat menghambat agregasi dan juga
bersifat vasodilator (Gumiwang, 2009).
TIKLODIPIN
Tiklopidin menghambat agregasi trombosit yang diinduksi oleh ADP. Obat ini
merupakan turunan thienopyridine yang memperoleh efek antitrombositnya dengan cara
memblokade reseptor ADP pada trombosit. Inhibisi maksimal agregasi trombosit baru terlihat
setalah 8-11 hari terapi. Berbeda dari aspirin, tiklopidin tidak mempengaruhi metabolisme
prostaglandin.
Tiklopidin memblok ADP yang di release oleh platelet yang teraktivasi, kemudian
menghambat rekruitment dan aktivasi platelet lebih lanjut. Platelet tidak teraktivasi dan tidak
terjadi perubahan konformasi reseptor GPIIb/IIIa, sehingga menghambat ikatan fibrinogen
dengan reseptor GPIIb/IIIa

Tiklopidin juga mempengaruhi ikatan vwF yang direlease

kollagen pembuluh darah terhadap reseptor GP1b sehingga menghambat adhesi dan agregasi
platelet. Ikatan ini bersifat irreversible.
Dari uji klinik secara acak, dilaporkan adanya manfaat tiklopidin untuk pencegahan
kejadian vaskular pada pasien TIA, stroke, angina pectoris tidak stabil.

27

Efek samping yang paling sering adalah mual, muntah, dan diare. Yang terjadi sampai
20% pasien. Selain itu dapat terjadi perdarahan (5%) dan yang paling berbahaya (1%).
Leukopenia dideteksi dengan pemantauan hitung leukosit selama 3 bulan pertama pengbatan.
Trombositopenia juga dilaporkan sehingga perlu dipantu hasil hitung trombosit pasien.
Dosis tiklopidin 250 mg 2 kali sehari. Agar mula kerja lebih cepat, ada yang
menggunakan dosis muat 500 mg. Tiklopidin terutama bermanfaat untuk pasien yang tidak
dapat mentoleransi aspirin. Karena tiklopidin mempunyai mekanisme kerja yang berbeda dari
aspirin, maka kombinasi kedua obat dapa memberikan efek aditif atau sinergik.
Clopidogrel
Clopidogrel dan ticlopidine mengurangi agregasi trombosit dengan cara menghambat
alur ADP trombosit. Obat ini adalah turunan thienopyridine yang memperoleh efek
antitrombositnya dengan cara memblokade reseptor ADP pada trombosit. Clopidogrel,
antagonis reseptor ADP, adalah sebuah obat yang membutuhkan oksidasi oleh hepatic
cytochrome P450 (CYP450) untuk menjadi metabolit aktif. ADP berikatan dengan trombosit
melalui reseptor P2Y1, P2Y12, dan P2X1. Reseptor P2X1 tidak memainkan peranan yang
penting dalam aktivasi trombosit. Hanya sebagian kecil clopidogrel yang mengalami proses
oksidasi oleh CYP450, sebagian besar terhidrolasi oleh esterase menjadi turunan asam

28
karboksilat yang tidak aktif. CYP3A4 dan CYP3A5 adalah enzim-enzim yang bertanggung
jawab terhadap oksidasi cincin thiopene clopidogrel menjadi 2-oxoclopidogrel yang
selanjutnya menjadi karboksil dan grup thiol. Bentuk yang terakhir ini membentuk jembatan
disulfida dengan residu sistein ekstraseluler yang berlokasi di reseptor ADP P2Y12 yang
berada di permukaan trombosit dan menyebabkan blokade ireversibel ADP.

Gambar 1. Mekanisme Kerja Clopidogrel


Tidak seperti aspirin, obat ini tidak mempunyai efek terhadap metabolisme
prostaglandin. Uji klinis acak dengan obat ini melaporkan efektivitas pada pencegahan
kejadian vaskular diantara pasien yang mengalami serangan iskemik sementara, stroke yang
lengkap, dan angina pektoris yang tidak stabil. Penggunaan clopidogrel dan ticlopidine untuk
mencegah trombosis sekarang dianggap sebagai praktik standar pada pasien yang menjalani
pemasangan sten koroner.
Clopidogrel adalah obat penghambat antiagregasi trombosit yang memiliki efek yang
baik dan sering dipakai pada pasien dengan TIA untuk mencegah terjadinya stroke. Efek dari
clopidogrel ini terlihat dari hari pertama pemakaian sampai 1 tahun pemakaiannya dalam
menurunkan angka kejadian serebrovaskular. Selain memiliki efikasi yang baik, clopidogrel
juga memiliki efek samping seperti perdarahan, ketidaknyamanan saluran cerna, diare, ruam,
Trombotic Thrombbocytopenic Purpura (TTP).
Clopidogrel mempunyai efek samping lebih sedikit daripada ticlopidine dan jarang
menyebabkan neutropenia. Karena riwayat efek samping yang lebih baik dan kebutuhan

29
dosisnya, clopidogrel lebih disukai daripada ticlopidine. Efek antitrombotik clopidogrel
tergantung pada dosisnya; dalam 5 jam setelah dosis awal oral sebesar 300 mg, 80% aktivitas
trombosit akan dihambat. Dosis rumatan clopidogrel adalah 75 mg/hari yang menghasilkan
penghambatan trombosit maksimal. Durasi efek antitrombosit adalah selama 7-10 hari.
Clopidogrel ternyata memiliki efek antiagregasi trombosit yang berbeda pada setiap
pasien. Pada 4-30% pasien ditemukan resistensi clopidogrel yang mempengaruhi efek anti
agregasi dari clopidogrel. Insiden resistensi terhadap obat yang dilaporkan ini sangat
bervariasi, mulai kurang dari 5% sampai 75%. Variasi insidens yang sangat besar ini
menggambarkan definisi resistensi (trombosis berulang selama terapi antitrombosit vs
percobaan in vitro), metode yang mengukur respon obat, dan kepatuhan pasien. Beberapa
metode untuk menguji resistensi aspirin dan clopidogrel secara in vitro sekarang disetujui
oleh FDA; namun, penggunaannya diluar uji klinis masih kontroversial.

a. Farmakokinetik
Clopidogrel dengan waktu paruh obat selama 8 jam dan biasanya dieliminasi melalui feses
atau ginjal. Durasi efek antitrombosit adalah selama 7-10 hari.
b. Farmakodinamik
Memblokade reseptor ADP (adenosine diphospate) secara kompetitif dan ireversibel
c. Dosis
- Anak : 0,2 mg/kgBB
- Dewasa : 75 mg/hari
- Dosis loading saat terjadi serangan infark : 300 mg diberikan segera pada pasien

d.

e.
f.
g.

dengan serangan infark, dilanjutkan 75 mg/hari


- Diberikan tanpa makanan, 30 menit sebelum makan
Efek samping
- Perdarahan
- Ketidaknyamanan saluran cerna
- Diare
- Ruam
- Trombotic Thrombbocytopenic Purpura (TTP)
Indikasi
- Pencegahan transient ischemic attack, stroke dan unstable angina
- Pasien yang menjalani pemasangan stent jantung
Kontraindikasi
- Kecenderungan perdarahan
- Gangguan hati berat
Sediaan & harga
- Sediaan : tab 75 mg
- Harga non-generik : Rp 110.000,- / 30 tab
-

ASPIRIN

30
-

Aspirin menghambat sintesis tromboxan A2 (TXA2) di dalam trombosit dan


protasiklin (PGI2) di pembuluh darah dengan menghambat secara ireversibel enzim
siklooksigenase (akan tetapi sikoloogsigenase dapat di bentuk kembali oleh sel
endotel). Penghambatan enzim siklooksigenase terjadi karena aspirin mengasetilasi
enzim tersebut. Kejadian ini menghambat agregasi trombosit melalui jalur tersebut.
Sebagian dari keuntungan dapat terjadi karena kemampuan anti inflamasinya dapat
mengurangi ruptur plak. Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan pembentukan
tromboxan A2, sebagai akibatnya terjadi pengurangan agregasi trombosit. (Anonim,
2006).

Sebagai antitrombotik dosis efektif aspirin 80-320 mg per hari. Dosis lebih tinggi
selain meningkatkan toksisitas (terutama pendarahan), juga menjadi kurang efrektif
karena selain menghambat tromboxan A2 juga menghambat pembentukan protasiklin
(Dewoto, 2007).

Pada infark miokard akut aspirin bermanfaat untuk mencegah kambuhnya miokard
infark yang fatal maupun nonfatal.

Indikasi pada pasien SKA Pada penderita angina pektoris tak stabil, banyak sekali
studi yang membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian jantung dan
mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51% sampai 72% pada pasien angina
tak stabil. Oleh karena itu aspirin di anjurkan untuk di berikan seumur hidup, dengan
dosis awal 160 mg/hari dan dosis selanjutnya 80 sampai325 mg /hari (Trisnohadi,
2006).

Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang di curigai STEMI dan efektif pada
spektrum sindrome koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang di
lanjutkan reduksi kadar tromboxan A2 di capai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan
dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin di berikan oral dengan dosis
75-162 mg (Alwi, 2006). Aspirin di rekomendasikan pada semua pasien NSTEMI
tanpa kontraindikasi dengan dosis awal 160-325mg (non-enteric) dan dengan dosis
pemeliharaan 75-100 mg jangka panjang (Alwi, 2006).

Dosis awal : 162-325 mg peroral sebagai dosis tunggal (dapat dikunyah pada pasien
yang belum mendapat aspirin untuk kadar darah aspirin cepat)

Dosis harian : 75-160 mg peroral 1x sehari

31
-

Farmakokinetik :

Mula kerja : 20 menit -2 jam.

Kadar puncak dalam plasma: kadar salisilat dalarn plasma tidak berbanding lurus
dengan besamya dosis.

Waktu paruh : asam asetil salisilat 15-20 rnenit ; asarn salisilat 2-20 jam tergantung
besar dosis yang diberikan.

Bioavailabilitas : tergantung pada dosis, bentuk, waktu pengosongan lambung, pH


lambung, obat antasida dan ukuran partikelnya.

Metabolisrne : sebagian dihidrolisa rnenjadi asarn salisilat selarna absorbsi dan


didistribusikan ke seluruh jaringan dan cairan tubuh dengan kadar tertinggi pada
plasma, hati, korteks ginjal , jantung dan paru-paru.

Ekskresi : dieliminasi oleh ginjal dalam bentuk asam salisilat dan oksidasi serta
konjugasi metabolitnya.

Farmakodinamik :

Menghambat enzim COX-1 perubahan AA menjadi PGH2 menurun produksi


TXA2 menurun dan PGI2 menurun

Relatif selektif terhadap COX-1 dibandingkan COX-2 pada dosis kecil cenderung
bekerja pada COX-2

Adanya makanan dalam lambung memperlambat absorbsinya ; pemberian bersama


antasida dapat mengurangi iritasi lambung tetapi meningkatkan kelarutan dan
absorbsinya. Sekitar 70-90 % asam salisilat bentuk aktif terikat pada protein plasma.

lndikasi : Menurunkan resiko TIA atau stroke berulang pada penderita yang pernah
menderita iskemi otak yang diakibatkan embolus. Menurunkan resiko menderita stroke
pada penderita resiko tinggi seperti pada penderita tibrilasi atrium non valvular yang
tidak bisa diberikan anti koagulan.

Kontra indikasi . hipersensitif terhadap salisilat, asma bronkial, high fever, polip
hidung, anemi berat, riwayat gangguan pembekuan darah

32
-

lnteraksi obat: obat anti koagulan, heparin, insulin, natrium bikarbonat, alkohol dan,
angiotensin -converting enzymes.

Efek samping: nyeri epigastrium, mual, muntah , perdarahan lambung.

Hati -hati Tidak dianjurkan dipakai untuk pengobatan stroke pada anak di bawah usia
12 tahun karena resiko terjadinya sindrom Reye. Obat ini tidak dianjurkan pada
trimester terakhir kehamilan karena dapat menyebabkan gangguan pada janin atau
menimbulkan komplikasi pada saat partus. Tidak dianjurkan pula pada wanita
menyusui karena disekresi melalui air susu.

Cost :

Aspirin 500mg kemasan : dus 120tab (Rp. 40.000)

Astika : tab 100mgx10 (Rp.38.500)


-

DIPIRIDAMOL

Dipiridamol adalah vasodilator coroner yang oten, kerjanya lebih kuat pada pembuluh
darah coroner dibandingkan pembuluh darah perifer. Karena itu, pada dosis yang biasa
diberikan, yakni dosis yang menurunkan resistensi coroner dan meningkatkan aliran
darah coroner, dipiridamol hanya sedikit mempengaruhi tekanan darah sistemik dan
aliran darah perifer. Dipiridamol bekerja terutama pada arteriol coroner, sehingga
memperlihatkan steal phenomenon. Oleh karena itu obat ini tidak berguna, baik untuk
angina of effort maupun untuk angina varian. Berbagai uji klinik telah menunjukkan
bahwa dipiridamol tidak menurunkan frekuensi maupun keparahan serangan angina
dan tidak meningkatkan kemampuan penderita melakukan kerja fisik. Dengan
demikian, obat ini tidak lagi mempunyai tempat untuk terapi angina. Di Negara-negara
seperti Amerika dan Inggris, penggunaan obat ini sebagai anti angina telah lama
ditinggalkan.

Sebagai antiplatelet/antitrombolitik, dipiridamol sendiri tidak mempunyai efek klinik.


Dalam kombinasi dengan aspirin, obat ini memperpanjang umur trombosit pada
penderita dengan penyakit trombotik, tetapi ternyata tidak efektif untuk mencegah
kambuhnya infarkmiokard. Satu-satunya indikasi dipiridamol yang dianjurkan pada
saat ini adalah untuk pencegahan primer tromboemboli pada penderita dengan katup
jantung buatan, dalam kombinasi dengan walfarin.

33
-

Mekanisme dipiridamol menghambat ambilan dan metabolisme adenosine oleh


eritrosit dan sel endotel pembuluh darah, dengan demikian meningkatkan kadarnya
dalam plasma. Adenosine menghambat fungsi trombosit dengan merangsanga denilat
siklase dan merupakan vasodilator. Dipiriamol juga memperbesar efek anti
agregrasiprosiklin. Karena dengan dosis yang diperlukan untuk menghambat agregasi
trombosit kira-kira 10% pasien mengalami flushing dan sakit kepala, maka sering
diberikan dosis dipiridamol yang lebih kecil bersama aspirin atau anti koagulan oral.
Dipiridamol sering digunakan bersama heparin pada penderita dengan katup jantung
buatan. Obat ini juga banyak digunakan bersama aspirin pada pasien infarkmiokard
akut untuk prevensi sekunder dan pada pasien TIA untuk mencegah stroke. Belum
diketahui secara pasti apakah kombinasi dipiridamol dengan aspirin lebih efektif dari
aspirin saja.

Efek samping yang paling sering yaitu sakit kepala biasanya jarang menimbulkan
masalah dengan dosis yang digunakan sebagai antitrombosit. Bila digunakan untuk
pasien angina pectoris dipiridamol kadang-kadang memperberat gejala karena
terjadinya fenomena coronary steal. Efek samping lain ialah pusing, sinkop, dan
gangguan saluran cerna.

Bioavaibilitas obat inisangat bervariasi. Lebihdari 90% dipiridamol terikat protein dan
mengalami sirkulasie nterohepatik. Masaparuh eliminasi bervariasi 1-12 jam. Dosis
untuk profilaksis jangka panjang pada passion katup jatung buatan 400mg/hr bersama
dengan walfarin. Untuk mencegah aktivasi trombosit selama operasi by-pass dosisnya
400 mg dimulai 2 hari sebelum operasi.

H. KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG KORONER


Komplikasi tertinggi akut infark adalah aritmia, aritmia yang sering memberikan
komplikasi adalah ventrikel vibrilasi. Ventrikel vibrilasi 95% meninggal sebelum sampai
rumah sakit. Komplikasi lain meliputi disfungsi ventrikel kiri/gagal jantung dan
hipotensi/syok kardiogenik.
I.

PROGNOSIS PENYAKIT JANTUNG KORONER


Prognosis pada penyakit jantung koroner tergantung dari beberapa hal yaitu:
1. Wilayah yang terkena oklusi
2. Sirkulasi kolateral

34
3. Durasi atau waktu oklusi
4. Oklusi total atau parsial
5. Kebutuhan oksigen miokard
Berikut prognosis pada penyakit jantung koroner:
1. 25% meninggal sebelum sampai ke rumah sakit
2. Total mortalitas 15-30%
3. Mortalitas pada usia < 50 tahun 10-20%
4. Mortalitas usia > 50 tahun sekitar 20%
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang terutama disebabkan
karena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi
keduanya. Faktor resiko meliputi dislipidemia, diabetes, merokok, hipertensi, keturunan,
hemosistein.
Aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak (99%) PJK. Arterosklerosis pada
dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas pembentukan fibrolipid dalam bentuk
plak-plak yang menonjol atau penebalan yang disebut ateroma yang terdapat didalam tunika
intima dan pada bagian dalam tunika media.
Aterosklerosis yang terbentuk dalam lumen arteri dapat bersifat sebagai plak yang
vulnarable maupun plak stabil. Oleh karena itu penyakit jantung koroner memberikan dua
manifestasi klinis penting yaitu akut koroner sindrom dan angina pektoris stabil. Akut
Koroner Sindrom dapat sebagai STEMI maupun NSTEMI/UAP.
Penyakit jantung koroner memberikan gejala berupa angina. Angina merupakan nyeri
dada iskemik yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokard
dengan penyediannya (UAP; crecendo angina, angina stabil; decrecendo angina). Akut
Koroner Sindrom dapat didiagnosis, 2 dari 3 hal berikut yaitu nyeri dada angina, perubahan
EKG dan peningkatan enzim jantung.
Tatalaksana STEMI meliputi MONACO + Reperfusi, pada NSTEMI/UAP dapat
diberikan MONACO + Heparin sedangkan terapi pada angina pektoris stabil pengobatan

35
terdiri dari farmakologis dan non-farmakologis untuk mengontrol angina dan memperbaiki
kualitas hidup. Tindakan lain pada angina pektoris stabil adalah terapi reperfusi miokardium
dengan cara intervensi koroner dengan balon dan pemakaian stent sampai operasi CABG
(bypass).

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

ACC/AHA 2007 Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina/ NonSTElevation Myocardial Infarction-Executive Summary. J Am Coll Cardiol, 2007;
50:652-726
Acute Coronary Sindromes. (2010). Journal of the American Medical Association, Vol. 303,
No.1
Alim, Ahmad. (2008). Pocket ECG How to Learn ECG from Zero. Pengantar DR. H. Budi
Yuli Setianto., Sp.PD (K), Sp.JP (K), FIHA. Penerbit Intan Cendikia

36
Alwi Idrus, 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW, Setiohadi
Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006. Ilmu penyakit dalam:
Edisi ke 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 1615-1625.

Anonim (2006 ). Japanense Pharmacopoeia, Fifteen Edition. Electronic Version. hal. 267,
268, 744.
Bahri, Anwar. (2005). Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara [Versi elektronik]. e-USU Repository.
Buckley., Freeman., Rogers., et. Al. (2009). Using non traditional Risk Factors to Estimate
Risk for Coronary Heart Disease. American College of Physician
Coughlin, DeBeasi. (2006). Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit (6th ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Departemen Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakitb Jantung Koroner:
Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Departemen Kesehatan

Dewoto, H.R., 2007, Pengembangan Obat Tradisional Indonesia menjadi Fitofarmaka,


Majalah kedokteran indonesia, 57(7): 205-211.
FK UI. 2009. Farmakologi dan Terapi Ed 5. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
Gumiwang I dkk. 2009. Antitrombotik dan Trombolitik pada Penyakit Jantung Koroner.
dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. halaman: 1767-1770
Guyton, AC dan Hall, JE. (2006). Texbook of Medical Physiology (11th ed.). Philadelphia:
Elsevier Saunders Inc.
Gray, Huon., Dawkins., Morgan, John dan Simpson. (2005). Penyakit Jantung Koroner.
Lecture Notes Kardiologi (4th ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Harun, S. (2006). Infark Miokard Akut Tanpa ST Elevasi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

37

Homosistein Sebagai Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. (2001). Majalah Kedokteran
Andalas Vol.25. No. 1.
Informatorium Obat Nasional Indonesia. (2008). Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia. KOPERKOM: Sagung Seto.
Kalim, Harmani. (2009). Penanganan Mutakhir Penyakit Jantung Koroner: Sindroma
Koroner Akut. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Khalilullah, Said Alfin. 2011. Penggunaan Antiplatelet (Aspirin) Pada Akut Stroke Iskemik.
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Katzung, Betram G. 2007. Farmakologi Dasar & Klinik Ed 10. Hal 567 568. ECG : Jakarta.
Majid, Abdul. (2007). Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan dan Pengobatan
Terkini. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera

Utara

[Versi

elektronik].

Diakses

13

Desember

2010

dari

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/705/1/08E00124.pdf
Nawawi, dkk., (2006). Nilai Troponin T Penderita Sindrom Koroner Akut. Bagian Patologi
Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Indonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli 2006:
123-126
Rahman, Muin. (2006). Angina Pektoris Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV
Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Santoso, M dan Setiawan, T. (2005). Penyakit Jantung Koroner. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam UKRIDA Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 147
Setianto, Budi Yuli dkk., (2003). Hubungan Angka Leukosit Pada Infark Miokard Akut
dengan Kejadian Cardiac Event Selama Dirawat di Rumah Sakit. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Berkala Ilmu Kedokteran. Vol. 35., No. 1

38
Setyani, Rani. (2009). Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Jantung
Koroner Pada Usia Produktif (< 55 tahun) [Versi elektronik]. Airlangga
University Digital Library.
Susmadi. (2008). Tes Toleransi Latihan Pada Gangguan Kardiovaskuler. Tesis Magister
Keperawatan Bedah. Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia.
Tanuwidjojo S, Rifqi S. (2003). Atherosklerosis from theory to clinical practice, Naskah
lengkap cardiology-update. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Tarigan, Elias. (2003). Hubungan Kadar Troponin T dengan Gambaran Klinis Sindrom
Koroner Akut [Versi Elektronik]. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Digitized by USU Digital Library
Tristohadi, Hanafi. (2006). Angina Pektoris Tak Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
World Health Organization. (2006). Deaths from coronary heart disease. Diakses 13
Desember 2010 dari www.who.int/cardiovascular_diseases/cvd_14_deathHD.pdf
Zehnder, James L, MD. 2011. Obat yang Digunakan pada Gangguan Koagulasi dalam
Farmakologi Dasar & Klinik Edisi 10. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai