Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 3
Tn. O usia 35 tahun dirawat di RS post operasi laparascopy apendiktomi.
Dua hari kemudian pasien ada keluhan nyeri dengan skala 3 di bagian
abdomen dan perut terasa kembung post operasi laparascopy apendiktomi
3 hari yang lalu tanggal 7 mei 2015. Pada pemeriksaan tampak distensi
pada abdomen dan bising usus tidak ada. Dari hasil USG tampak udara
bebas yang terjebak pada daerah subdiafragma kanan. pasien
direncanakan dilakukan tindakan laparatomi eksplorasi cyto dengan
general anastesi pada tanggal 10 mei 2015. Pukul 17.00 wita. Pukul 08.00
wita. Klien mulai puasa. Pada pukul 17.30 wita pasien dilakukan
pemasangan ETT. Selama operasi didapatkan status hemodinamik pasien
TD 130/80 mmHg, Nadi 90x/mnt, RR 16x/mnt dan Temp 36,7oC. Pasien
selama operasi berada dalam posisi supinasi dan terpasang infuse RL 30
tts/mnt.
TUGAS MAHASISWA
Membuat sebanyak mungkin pertanyaan yang timbul setelah menganalisis
LBM tersebut di atas.
CARA BELAJAR
1. Menerapkan metode SEVEN JUMP.
2. Diskusi kelompok tanpa tutor untuk mengidentifikasi pertanyaan
teori,sumber belajar dan pertanyaan praktik.
3. Diskusi kelompok dengan tutor untuk mengkonfirmasikan sumbersumber belajar alternative jawaban.
4. Konsultasi untuk memperdalam pemahaman
5. Lecture dan atau han

BAB II
PEMBAHASAN

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

2.1 JUMP 1 ( Klarifikasi atau identifikasi istilah)


1. Distensi abdomen
Istilah medis yang menggambarkan kejadian yang terjadi ketika ada
zat ( gas atau cairan ) menumpuk di dalam perut yang menyebabkan
perut atau pinggang mengembung melebihi ukurang normal.
2. laparatomi eksplorasi cyto
Operasi yang dilakukan untuk membuka abdomen ( bagian perut )
3. Anastesi
Anastesi atau pembiusan adalah pengurangan atau penghilangan
sensasi untuk sementara, sehingga operasi atau prosedur lain yang
menyakitkan dapat dilakukan
4. Pemasangan ETT
Memasukkan pipa jalan nafas buatan kedalam trachea melalui mulut
5. Hemodinamik
Gangguan pada tubuh baik pada aliran darah maupun keseimbangan
cairan tubuh/ elektrolit
6. Supinasi
Gerakan anatomis dimana telapak tangan ditengadahkan ke atas
2.2 JUMP 2 ( Daftar Masalah )
1. Mengapa Tn.O dipasang ETT ?
2. Apa penyebab nyeri pada klien ?
3. Bagaimana klasifikasi nyeri ?
4. Perawatan apa yang dapat dilakukan sesudah pembedahan ?
5. Kenapa dilakukan general anastesi pada tindakan ini ?
6. Kenapa pada kasus ini diposisikan supinasi?
7. Sebutkan kontra indikasi untuk pembedahan laparaskopi ?
8. Bagaimana komplikasi dari post Laparotomi ?
9. Apa saja aktivitas yang boleh dilakukan post operasi ?
10. Diet apa yang dapat diberikan pada kasus ini ?
11. Resiko apa saja yang bisa terjadi saat operasi ?
12. Apa saja komplikasi setelah pembedahan ?
13. Instrumen apa saja yang diperlukan saat pembedahan ?
14. Apa indikasi dan tujuan dari pemasangan ETT ?
15. Mengapa sebelum operasi dilakukan puasa ?
16. Komplikasi dari pemasangan ETT ?
17. Apa yang dilakukan perawat sirkulasi pada saat pembedahan ?
18. Apa saja komplikasi setelah pembedahan ?
19. Ada berapa saja pembedahan laparatomi ?
20. Bagaimana pemilihan teknik anestesi pada klien ?
21. Bagaimana Manajemen Anestesi Pre-operatif?
22. Anatomi Fisiologi Appendiksitis ?
23. Definisi Appendiksitis ?
24. Klasifikasi Appendiksitis ?
25. Etiologi Appendiksitis ?
26. Patofisiologi Appendiksitis ?
27. Pathway Appendiksitis ?

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

28. Manifestasi Klinis Appendiksitis ?


29. Komplikasi Appendiksitis ?
30. Pemeriksaan Penunjang Appendiksitis ?
31. Penatalaksanaan Appendiksitis ?
32. Asuhan Keperawatan ?

2.3 JUMP 3 ( Analisis Masalah )


1. Mengapa Tn.O dipasang ETT ?
Jawab :
Pada pasien tidak sadar atau dalam keadaan anestesi posisi
terlentang, tonus otot jalan napas atas dan otot genioglosus
menghilang, sehingga lidah akan menyumbat hipofaring dan
menyebabkan obstruksi jalan napas baik total atau parsial. Keadaan ini
sering terjadi dan harus cepat dikoreksi dengan beberapa cara,
misalnya maneuver triple jalan napas (triple airway maneuver),
pemasangan alat jalan napas faring (faringeal airway), pemasangan
alat jalan napas sungkup laring (laryngeal mask airway), dan
pemasangan pipa trakea (endotrakeal tube).
2. Apa penyebab nyeri pada klien ?
Jawab :
Nyeri setelah post op merupakan efek klinis Yang biasa di jumpai pada
pasien yang menjalani operasi. Menurut the international association
for the study of pain adalah pengalaman sensori yang disertai oleh
kerusakan jaringan potensial dan aktual.
Pada kasus diatas pasien sebelumnya sudah menjalani operasi
dengan luka diabdomen dengan skala 3 (ringan)

3. Bagaimana klasifikasi nyeri ?


Jawab :
Berdasarkan sumbernya klasifikasi nyeri terbagi jadi 3, yaitu
Cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit/ jaringan
subkutan. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar).. Ex :
terkena ujung pisau atau gunting.

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

Deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari ligament,
pembuluh darah, tendondan syaraf, nyeri menyebar dan lebih

lama dari pada cutaneus. Ex : sprain sendi.


Visceral (pada organ dalam), stimulasi reseptor nyeri dalam
rongga abdomen, cranium dan thorax. Biasanya terjadi karena
spasme otot, iskemia, regangan jaringan.

4. Perawatan apa yang dapat dilakukan sesudah pembedahan ?


Jawab :
a. Aktivitas dan posisi
Penderita harus diperintahkan untuk berbaring ditempat tidur
sehingga keadaannya stabil. Posisi mula-mula biasanya
terlentang, tetapi penderita harus dibalikkan kesisi kiri/kanan
setiap 30 menit sementara ia tidak disadarkan diri dan setiap jam
sebelumnya. Posisi harus ditentukan misalnya. Terlentang, kaki
tempat tidur di ganjal, duduk dsb.
b. Makanan
Tidak diperkenankan menelan apa-apa sesudah pembedahan,
dalam kasus yang lain makanan khusus yang diberikan dengan
segera. Pada penderita yang mula-mula NPO, cairan boleh
diberikan, bilamana fungsi pencernaan sudah mulai berfungsi dan
makanan boleh diberikan bilamana kita sudah mengetahui bila
cairan yang diberikan dapat ditoleransi.
c. Perawatan pernapasan
Penderita yang dapat bernapas secara spontan harus dianjurkan
untuk batuk dan hiperventilasi setiap jam atau setiap dua jam
untuk mencegah terjadinya atelektasis.
d. Cairan intravena
Pesan-pesan dituliskan untuk jenis cairan dan kecepatan infuse.
e. Sistem air kemih
Derajat perbandingan pengeluaran air kemih pada penderita yang
memakai kateter domonitor setiap jam seperti halnya tanda-tanda
vital lainnya. Bilamana tidak dipasang kateter, ahli bedah harus
diberitahu bila penderita tidak buang air kecil pada waktu tertentu,
f.

yang paling baik adalah 6 jam sesudah pembedahan.


Intake dan output
Cairan dari semua sumber harus pada suatu waktu tertentu,
biasanya setiap 8 jam dan berat badan ditimbang setiap hari
sesudah pembedahan besar.

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

5. Kenapa dilakukan general anastesi pada tindakan ini ?


Jawab :
Karena Anestesi general adalah jenis anestesi (obat yang
menyebabkan hilangnya sensasi). Hal ini digunakan untuk
menghilangkan rasa sakit selama prosedur pembedahan. Anestesi
umum benar-benar membuat kehilangan kesadaran sehingga operasi
dapat dilakukan tanpa menyebabkan rasa sakit atau tertekan
6. Kenapa pada kasus ini diposisikan supinasi?
Jawab :
Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan
keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam hal ini adalah:
a. Usia pasien
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi.
Pada pasien dewasa untuk tindakan singkat dan hanya
dipemukaan dapat dilakukan teknik anestesi lokal atau umum.
b. Status fisik pasien
a) Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk
mengetahui apakah pasien pernah menjalani suatu
pembedahan dan anestesi. Apakah ada komplikasi anestesi
dan paska pembedahan yang dialami saat itu. Pertanyaa
mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada
tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok,
meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus menajadi suatu
perhatian saat pasien memakai obat pelumpuh otot
nondepolarisasi bila didapati atau dicurigai adanya penyakit
neuromuskular, antaralain poliomielitis dan miastenia gravis.
Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah untuk pasien
dengan neuropati diabetes karena mungkin dapat
memperburuk gejala yang telah ada.
b) Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin
hindari penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan
dengan anestesi lokal atau regional.

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

c) Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan


gangguan jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
d) Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau
sering timbul gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya
dipilih teknik anestesi regional, spinal, atau anestesi umum
endotrakeal.
c. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan
anestesi umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama
pembedahan. Demikian juga dengan pembedahan yang
berlangsung lama.
d. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan
keterampilan dan kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik
hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada
laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah plastik, dna lain-lain.
e. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi
sangat menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya
tidak melakukan teknik anestesi tertentu bila belum ada
f.

pengalaman dan keterampilan.


Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan
dan dipertimbangkan bila keadaan pasien memang

memungkinkan dan tidak membahayakan keberhasilan operasi.


g. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif
adalah pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat
elektrokauter.
h. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat
berjalan lama karena sering terjadi percakapan instruktor dengan
residen, mahasiswa, atau perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya
pilihan adalah anestesi umum atau bila dengan anestesi spinal
atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup.

7. Sebutkan kontra indikasi untuk pembedahan laparaskopi ?

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

Jawab :
Kontraindikasi absolut
Kondisi pasien yang tidak memungkinkan dilakukannya anestesi
Diatese hemoragik sehingga mengganggu funsi pembekuan darah
Peritonitis akut terutama yang mengenai abdomen bagian atas ,
disertai dengan distensi dinding perut ,sebab kelainan ini
merupakan kontraindikasi untuk melakukan pneumoperitonium.
Kontraindikasi relatif

Tumor abdomen yang sangat besar,sehingga sulit untuk


memasukkan trokar kedalam rongga pelvis oleh karena trokar

dapat melukai tumor tersebut


Hernia abdominalis, dikawatirkan dapat melukai usus pada saat
memasukkan trokar ke dalam rongga pelvis, atau memperberat
hernia pada saat dilakukan pneumoperitonium.kini kekhawatiran
ini dapat di hilangkan dengan modifikasi alat pneumoperitonium

otomatic
Kelainan atau insufisiensi paru paru, jantung,hepar,atau kelainan
pembuluh darah vena porta,goiter atau kelainan metabolisme lain
yang sulit menyerap gas CO2.

8. Bagaimana komplikasi dari post Laparotomi ?


Jawab :
a. Tromboplebitis
Tromboplebitis post opersi biasanya timbul 7-14 hari setelah
operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut
lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah
sebagai emboli ke paru-paru, hati dan otak. Pencegahan
tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini dan
kaos kaki TED yang dipakai klien sebelum mencoba ambulatif.
b. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah
stapilokokus aureus, organisme ;gram positif. Stapilokokus
mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang
pali penting adalah perawatan luka dengan mempertahankan
aseptik dan antiseptik.
c. Dehisensi Luka atau Eviserasi

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi


luka adalah keluarnya organ organ dalam melalui insisi. Faktor
penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan
menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada
dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah.
d. Proses Penyembuhan Luka
1. Fase pertama (Inflamasi)
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang
rusak/rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi
penyembuh dimana serabut-serabut bening digunakan
sebagai kerangka.
2. Fase kedua (Proliferatif)
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen,
seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu.
Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
3. Fase ketiga (Maturasi)
Sekitar 2 sampai 10 minggu kolagen terus menerus ditimbun,
timbul jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan
kembali.
4. Fase keempat (fase terakhir)
Pada fase penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
9. Apa saja aktivitas yang boleh dilakukan post operasi ?
Jawab :
Tindakan post operatif, satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk
duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit, hari berikutnya
makanan lunak dan berdiri tegak di luar kamar, hari ketujuh luka
jahitan diangkat, klien pulang.
Sumber : Baratajaya. 1990. Medikal Bedah. Jakarta: EGCM.
A. Henderson. 1989. Ilmu Bedah Untuk Perawat, Jakarta: Penerbit
Yayasan essentia media
10. Diet apa yang dapat diberikan pada kasus ini ?
Jawab :
Diet pasca bedah adalah makanan yang diberikan kepada pasien
setelah menjalani pembedahan. Pengaturan makanan sesudah
pembedahan tergantung pada macam pembedahan dan jenis penyakit
penyerta (Almatsier, 2005)
Menurut Dudrick, Operasi bedah digestif menimbulkan berbagai tingkat
stres yang tergantung dari berbagai faktor, termasuk jenis penyakit

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

yang diderita, lamanya, status gizi sebelum operasi dan penyakitpenyakit penyertanya; stres akan meningkatkan katabolisme tubuh
dengan cara glikogenolisis dan glukoneogenesis, sedangkan lipolisis
ditekan, sehingga sebagian besar menggunakan sumber protein tubuh
untuk energi. Pemberian protein secara dini pada tindakan bedah akan
mengurangi katabolisme protein tubuh yang dapat dipantau secara
sederhana melalui berkurangnya penurunan berat badan,
berkurangnya ekskresi urea dalam urin, dan cepat tercapainya
keseimbangan nitrogen positif. Pada stres hebat seperti pada luka
bakar telah dilaporkan keberhasilan pemberian dini makanan yang
mengandung tinggi protein, sehingga mengurangi morbiditas dan
mortalitas (Djalinz, 1992).
Pemberian dini zat gizi yang cukup kalori dan tinggi protein sesuai
dengan toleransi penerimaan pasien akan mencegah penghancuran
protein tubuh yang berlebihan akibat stres luka bakar sendiri,
mengurangi penurunan berat badan yang berlebihan dan merupakan
manajemen yang rasional sebelum pasien jatuh dalam sepsis, yang
sampai saat ini tingkat kematiannya sangat tinggi (Djalinz, 1992).
Tujuan Diet
Tujuan diet pasca bedah adalah untuk mengupayakan agar status gizi
pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses
penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan
cara sebagai berikut :
1. memberikan kebutuhan dasar (cairan, energi, protein)
2. mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi lain
3. memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan
Jenis diet dan indikasi pemberian
a. Makanan pasca bedah I (MPBI)
Diet ini diberian kepada semua pasien pasca bedah.
Pasca bedah kecil : setelah sadar atau rasa mual hilang
Pasca bedah besar : setelah rasa sadar atau mual hilang
serta ada tanda-tanda usus mulai bekerja.
Selama 6 jam sesudah pembedahan, makanan yang
diberikan berupa air putih, teh manis, air kacang, hijau, sirup,
air jeruk manis dan air kaldu jernih. Makanan ini diberikan
dalam waktu yang sesingkat mungkin, karena kurang dari

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

semua zat gizi. Makanan diberikan secara bertahap sesuai


kemampuan dan kondisi pasien, mulai dari 30 ml/jam.
b. Makanan pasca bedah II (MPB II)
Diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau
sebagai perpindahan dari diet pasca bedah I. Makanan diberikan
dalam bentuk cair kental, berupa sari buah, sup, susu, dan puding
rata-rata 8-10 kali sehari selama pasien tidak tidur. Jumlah cairan
yang diberikan tergantung keadaan dan kondisi pasien. Diet ini
diberikan untuk waktu sesingkat mungkin karena zat gizinya
kurang.
c. Makanan pasca bedah III (MPB III)
Diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau
sebagai perpindahan dari diet pasca bedah II. Makanan yang
diberikan berupa makanan saring ditambah susu dan biskuit.
Cairan hendaknya tidak melebihi 2.000 ml sehari.
d. Makanan pasca bedah IV (MPB IV)
Diberikan pada :
Pasien pasca bedah kecil, setelah diet pasc abedah I
Pasien pasca bedah besar, setelah diet pasca bedah II
Makanana diberikan berupa makanan lunak yang dibagi
dalam 3 kali makanan lengkap dan 1 kali makanan selingan.
11. Resiko apa saja yang bisa terjadi saat operasi ?
Jawab :
Resiko pembedahan dipengaruhi oleh usia, status nutrisi,
keseimbangan cairan dan elektrolit, kesehatan umum, obat-obatan dan
status mental pasien. Kesembuhan pada pasien post operasi
diobservasi seperti kondisi kelelahan pasien, mood dan tidur
dievaluasi berturut-turut dengan menggunakan skala kelelahan analog
visual, profil dari status mood dan indeks kualitas tidur Pittsburg
(Anonim 2011)
Keadaan umum pada kegawatan laparotomi seperti hipovolaemia,
dehidrasi, sepsis dan kejang septik (kardiovaskuler), hipoksia, takipneu
dan atelektasis (respirasi), anemia, jika sepsis potensial koagulopati
(sirkulasi), oligoria selama gagal ginjal akut (prarenal), penurunan
kesadaran, bingung, cemas dan nyeri (persarafan), perasaan perut
penuh, distensi abdomen dan perforasi bowel atau obstruksi
(pencernaan), pireksia, asidosis, gangguan keseimbangan elektrolit
dan hipoglikemia (pencernaan) (Anonim, 2011).

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

12. Apa saja komplikasi setelah pembedahan ?


Jawab :
1) Tromboplebitis
Tromboplebitis post opersi biasanya timbul 7-14 hari setelah
operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut
lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah
sebagai emboli ke paru-paru, hati dan otak. Pencegahan
tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini dan
kaos kaki TED yang dipakai klien sebelum mencoba ambulatif.
2) Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah
stapilokokus aureus, organisme ;gram positif. Stapilokokus
mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang
pali penting adalah perawatan luka dengan mempertahankan
aseptik dan antiseptik.
3) Dehisensi Luka atau Eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi
luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor
penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan
menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada
dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah.
13. Instrumen apa saja yang diperlukan saat pembedahan ?
Jawab :
RacheostomyAdapun yang termasuk di dalam kelompok alat bedah
minor berdasarkan Bachsinar 1992adalah:
Nald vooder/Needle Holder/Nald Heacting
Gunanya adalah untuk memegang jarum jahit (nald heacting) dan

sebagai penyimpul benang.


Gunting Diseksi (disecting scissor)
Gunting ini ada dua jenis yaitu, lurus dan bengkok. Ujungnya
biasanga runcing. Terdapat duatipe yabg sering digunakan yaitu

tipe Moyo dan tipe Metzenbaum


Gunting Benang
Ada dua macam gunting benang yaitu bengkok dan lurus,

kegunaannya adalah memotong benang operasi, merapikan luka


Gunting Pembalut/Perban
Kegunaannya adalah untuk menggunting plester dan pembalut.

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

Pisau Bedah
Pisau bedah terdiri dari dua bagian yaitu gagang dan mata pisau
(mess/bistouri/blade).Kegunaanya adalah untuk menyayat
berbagai organ atau bagian tubuh manusia. Mata

pisaudisesuaikan dengan bagian tubuh yang akan disayat.


Klem Arteri Pean
Ada dua jenis yang lurus dan bengkok. Kegunaanya adalah untuk

hemostatis untuk jaringan tipisdan lunak.


Klem Kocher
Ada dua jenis bengkok dan lurus. Sifatnya mempunyai gigi pada
ujungnya seperti pinset sirugis.Kegunaannya adalah untuk

menjepit jaringan.
Klem Allis
Penggunaan klem ini adalah untuk menjepit jaringan yang halus
dan menjepit tumor.
Klem Babcock
Penggunaanya adalah menjepit dock atau kain operasi.
Retraktor (Wound Hook)
Retraktor langenbeck, US Army Double Ended Retraktor dan
Retraktor Volkman penggunaannya adalah untuk menguakan luka
Pinset Sirugis
Penggunaannya adalah untuk menjepit jaringan pada waktu
diseksi dan penjahitan luka, memberitanda pada kulit sebelum
memulai insisi.

14. Apa indikasi dan tujuan dari pemasangan ETT ?


Jawab :
Intubasi Endotracheal adalah tindakan untuk memasukkan pipa
endostracheal ke dalam trachea.
Tujuan
a. Pembebasan jalan napas
b. Pemeberian napas buatan dengan bag and mask
c. Pemberian napas buatan secara mekanik (respirator)
d. Memungkinkan penghisapan sekret secara adekuat
e. Mencegah aspirasi asam lambung (dengan adanya balon yang
dikembangkan)
f. Mencegah distensi lambung.
g. Pemberian oksigen dosis tinggi.
Indikasi
a. Ada obstruksi jalan napas bagian atas
b. Pasien memerlukan bantuan napas dengan respirator.

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

c. Menjaga jalan napas tetap bebas


d. Pemberian anestesi seperti pada operasi kepala, leher, mulut,
hidung, tenggorokan, operasi abdominal dengan relaksasi penuh
dan operasi thoracotomy
e. Terdapat banyak sputum (pasien tidak mengeluarkan sendiri)
Indikasi intubasi non surgical
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Aspiksia neonatorum berat


Resusitasi penderita
Obstruksi laring berat
Penderita tidak sadar lebih dari 24 jam
Penderita dengan atelektasis paru
Post operasi respiratory insufisiensi

15. Mengapa sebelum operasi dilakukan puasa ?


Jawab :
Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Intervensi
keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah pasien
dipuasakan dan dilakukan tindakan pengosongan lambung dan kolon
dengan tindakan enema/lavement Lamanya puasa berkisar antara 7
sampai 8 jam (biasanya puasa dilakukan mulai pukul 24.00 WIB).
Tujuan dari pengosongan lambung dan kolon adalah untuk
menghindari aspirasi (masuknya cairan lambung keparu-paru) dan
menghindari kontaminasi feses ke area pembedahan sehingga
menghindarkan terjadinya infeksi pasca pembedahan. Khusus pada
pasien yang membutuhkan operasi CITO (segera), seperti pada pasien
kecelakaan lalu lintas, maka pengosongan lambung dapat dilakukan
dengan cara pemasangan NGT (naso gastric tube)
16. Komplikasi dari pemasangan ETT ?
Jawab :
a. Memar, laserasi, dan abrasi
b. Perdarahn hidung (dengan intubasi nasotrakeal)
c. Obstruksi jalan napas (herniasi manset, tube kaku)
d. Sinusitis (dengan nasotrakeal tube)
e. Ruptur trakea
f. Fistula trakeoesofageal.
g. Muntah dengan aspir

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

MANCINI, Mary E. Pedoman praktis prosedur keperawatan darurat =


Pocket manual of emergency nursing procedures / Mary E. Mancini
R. N.

17. Apa yang dilakukan perawat sirkulasi pada saat pembedahan ?


Jawab :
Selain sebagai kepala advokat pasien dalam kamar operasi yang
menjamin kelancaran jalannya operasi dan menjamin keselamatan
pasien selama tindakan pembedahan. Secara umum fungsi perawat di
dalam kamar operasi seringkali dijelaskan dalam hubungan aktivitasaktivitas sirkulasi dan scrub (instrumentator).
Perawat sirkulasi berperan mengatur ruang operasi dan melindungi
keselamatan dan kebutuhan pasien dengan memantau aktivitas
anggota tim bedah dan memeriksa kondisi di dalam ruang operasi.
Tanggung jawab utamanya meliputi memastikan kebersihan, suhu
yang sesuai, kelembapan, pencahayaan, menjaga peralatan tetap
berfungsi dan ketersediaan berbagai material yang dibutuhkan
sebelum, selama dan sesudah operasi.
Sumber : Admin ROBBY BEE , 2009,
(https://robbybee.wordpress.com/2009/02/25/keperawatan-intraoperatif/) , (online), diaskes 17 april 2015.
18. Apa saja komplikasi setelah pembedahan ?
Jawab :
a) Tromboplebitis
Tromboplebitis post opersi biasanya timbul 7-14 hari setelah
operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut
lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah
sebagai emboli ke paru-paru, hati dan otak. Pencegahan
tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini dan
kaos kaki TED yang dipakai klien sebelum mencoba ambulatif.
b) Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah
stapilokokus aureus, organisme ;gram positif. Stapilokokus
mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

pali penting adalah perawatan luka dengan mempertahankan


aseptik dan antiseptik.
c) Dehisensi Luka atau Eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi
luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor
penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan
menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada
dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah.
19. Ada berapa saja pembedahan laparatomi ?
Jawab :
Post Operasi Laparatomy
Laparatomi adalah pembedahan perut, membuka selaput perut
dengan operasi. Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada
daerah abdomen, bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang
dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah
digestif dan kandungan. Pembedahan perut sampai membuka selaput
perut. Ada 4 cara pembedahan laparatomi yaitu:
1) Midline incision
2) Paramedian, yaitu sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm),
panjang (12,5 cm).
3) Transverse upper abdomen incision, yaitu insisi di bagian
atas,misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
4) Transverse lower abdomen incision, yaitu insisi melintang di
bagian bawah 4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya pada
operasi appendictomy. Latihan-latihan fisik seperti latihan napas
dalam, latihan batuk,menggerakan otot-otot kaki, menggerakkan
otot-otot bokong, Latihan alih bari

20. Bagaimana pemilihan teknik anestesi pada klien ?


Jawab :
Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan
keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam hal ini adalah:
a. Usia pasien
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi.
Pada pasien dewasa untuk tindakan singkat dan hanya
dipemukaan dapat dilakukan teknik anestesi lokal atau umum.

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

b. Status fisik pasien

Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk


mengetahui apakah pasien pernah menjalani suatu
pembedahan dan anestesi. Apakah ada komplikasi anestesi
dan paska pembedahan yang dialami saat itu. Pertanyaa
mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada
tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok,
meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus menajadi suatu
perhatian saat pasien memakai obat pelumpuh otot
nondepolarisasi bila didapati atau dicurigai adanya penyakit
neuromuskular, antaralain poliomielitis dan miastenia gravis.
Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah untuk pasien
dengan neuropati diabetes karena mungkin dapat
memperburuk gejala yang telah ada.

Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin


hindari penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan
dengan anestesi lokal atau regional.

Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan


gangguan jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.

Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau


sering timbul gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih
teknik anestesi regional, spinal, atau anestesi umum
ndotrakeal.

c. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan
anestesi umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama
pembedahan. Demikian juga dengan pembedahan yang
berlangsung lama.
d. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan
keterampilan dan kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik
hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada
laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah plastik, dna lain-lain.
e. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi


sangat menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya
tidak melakukan teknik anestesi tertentu bila belum ada
f.

pengalaman dan keterampilan.


Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan
dan dipertimbangkan bila keadaan pasien memang

memungkinkan dan tidak membahayakan keberhasilan operasi.


g. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif
adalah pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat
elektrokauter.
h. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat
berjalan lama karena sering terjadi percakapan instruktor dengan
residen, mahasiswa, atau perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya
pilihan adalah anestesi umum atau bila dengan anestesi spinal
atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup.

21. Bagaimana Manajemen Anestesi Pre-operatif?


Jawab :
a. Penilaian Preoperatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk
dilakukan persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan
terhadap pasien sebelum pasien dibedah sehingga dapat
diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang akan dioperasi.
Tujuannya adalah:
1) Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien
2) Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti
adanya riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta
manifestasinya baik berupa dyspneu maupun urtikaria).
3) Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
4) Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan
perbaikan status praoperasi (pemeriksaan tambahan dan
atau/terapi diperlukan)
5) Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi
(informed consent) kepada pasien.

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

6) Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat


mengurangi dosis obat induksi.
Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang
berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio cordis. Selain itu
dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter
anestesi bisa menentukan cara anestesi dan plihan obat yang
tepat pada pasien. Kunjungan preoperasi pada pasien juga
bisa menghindarkan kejadian salah identitas dan salah
operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium, EKG, USG, foto thorax, dll. Selanjutnya dokter
anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada
pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal
ini tercermin dalam inform consent.

22. Anatomi Fisiologi Appendiksitis ?


Jawab :
1. Anatomi
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan
panjang kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks
pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke
delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat
antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih
akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju
katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan
menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya
insidens Apendisitis pada usia tersebut. Appendiks memiliki lumen
sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada
appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan
sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala
klinik Apendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks
adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul)
31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%,
seperti terlihat pada gambar dibawah ini.

2. Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara
normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke
sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya
berperan pada patogenesis Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar
yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT)
yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks
ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi


bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin
dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan
sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna
dan seluruh tubuh.
23. Definisi Appendiksitis ?
Jawab :
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10
cm (94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal.
Appendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke
dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya
kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap
infeksi. (Brunner dan Sudarth, 2002).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini
dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi
lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun
(Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen
oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus.
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi
membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti
Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis
(Ovedolf, 2006).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur
yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk
berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010)
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa
penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat
terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

24. Klasifikasi Appendiksitis ?


Jawab :
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks.
Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang
selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
a. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b. Fekalit
c. Benda asing
d. Tumor.
e. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang
diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin
meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan
tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.Tekanan yang tinggi
akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus
f.

/ nanah pada dinding apendiks.


Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar

secara hematogen ke apendiks.


2. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks
dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia
dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus
besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat


dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia,
dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai
dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri
lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak
aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada
seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
3. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi
semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua
minggu, radang kronik apendiks secara makroskopikdan
mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan
infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5
persen.
4. Apendisitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan
nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan
apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan
ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali sembuh
spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya
karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya
serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens
biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi
karena sering penderita datang dalam serangan akut.
5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi
musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang
biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan
tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat
disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi
ganas.

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak


enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di
regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda
apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
6. Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis
ke limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan
memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya
apendektomi.
7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang
didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis
prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan
kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme
bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus
tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang
menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa
memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan
opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan
karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang
reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan

25. Etiologi Appendiksitis ?


Jawab :
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada
factor prediposisi yaitu:
1. Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya
obstruksi ini terjadi karena:
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab
terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks
c. Adanya benda asing seperti biji-bijian
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
Streptococcus

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

3. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 1530 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena
peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk apendiks:
a. Appendik yang terlalu panjang
b. Massa appendiks yang pendek
c. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
d. Kelainan katup di pangkal appendiks
(Nuzulul, 2009)
26. Patofisiologi Appendiksitis ?
Jawab :
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan
terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu
massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks
tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak,
karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.


Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007).

27. Pathway Appendiksitis ?

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

28. Manifestasi Klinis Appendiksitis ?


Jawab :

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam


2.
3.
4.
5.
6.
7.

ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.


Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
Nyeri tekan lepas dijumpai.
Terdapat konstipasi atau diare.
Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih

8.

atau ureter.
Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung

9.

pelvis.
Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah

yang secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.


10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai
abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi.
Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur
appendiks.
Nama

Tanda dan gejala

pemeriksaan
Rovsings

Positif jika dilakukan palpasi

sign

dengan tekanan pada kuadran


kiri bawah dan timbul nyeri

Psoas sign

pada sisi kanan.


Pasien dibaringkan pada sisi

atau

kiri, kemudian dilakukan

Obraztsovas

ekstensi dari panggul kanan.

sign

Positif jika timbul nyeri pada

Obturator

kanan bawah.
Pada pasien dilakukan fleksi

sign

panggul dan dilakukan rotasi


internal pada panggul. Positif
jika timbul nyeri pada

Dunphys

hipogastrium atau vagina.


Pertambahan nyeri pada tertis

sign
Ten Horn sign

kanan bawah dengan batuk


Nyeri yang timbul saat
dilakukan traksi lembut pada
korda spermatic kanan

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

Kocher

Nyeri pada awalnya pada

(Kosher)s

daerah epigastrium atau sekitar

sign

pusat, kemudian berpindah ke

Sitkovskiy

kuadran kanan bawah.


Nyeri yang semakin bertambah

(Rosenstein)

pada perut kuadran kanan

s sign

bawah saat pasien dibaringkan

Aure-

pada sisi kiri


Bertambahnya nyeri dengan

Rozanovas

jari pada petit triangle kanan

sign

(akan positif Shchetkin-

Blumberg

Bloombergs sign)
Disebut juga dengan nyeri

sign

lepas. Palpasi pada kuadran


kanan bawah kemudian
dilepaskan tiba-tiba

29. Komplikasi Appendiksitis ?


Jawab :
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis.
Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis.
Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga
medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat
merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan.
Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan
mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada
anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di
bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 1015% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki
dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum
berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan
pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis
komplikasi diantaranya:
1. Abses

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba


massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa
ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga
yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga
bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam
12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah
24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus
dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit,
panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut,
dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi,
baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat
menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.
Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan
hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit
perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan
leukositosis.
30. Pemeriksaan Penunjang Appendiksitis ?
Jawab :
1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein
(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah
leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil
diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang
meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut
yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi,
dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka
sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2. Radiologi

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed


Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG
ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi
pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan
dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas
dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan
mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan
kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut
bawah.
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu
mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk
memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.
6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum.
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan
pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan
Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
31. Penatalaksanaan Appendiksitis ?
Jawab :
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis
meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita
yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa
pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk
mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum
operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta
pemberian antibiotik sistemik
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka
tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

(appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian


antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses
appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen.
Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium.
Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan
garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan
perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi
disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
32. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Identitas Pasien
Identitas klien : Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat,
dan nomor register.
2. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Kesehatan saat ini: keluhan nyeri pada luka post
operasi apendektomi, mual muntah, peningkatan suhu tubuh,
peningkatan leukosit.
b. Riwayat Kesehatan masa lalu
3. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem kardiovaskuler : Untuk mengetahui tanda-tanda vital,
ada tidaknya distensi vena jugularis, pucat, edema, dan
kelainan bunyi jantung.
b. Sistem

hematologi:

Untuk

mengetahui

ada

tidaknya

peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan


pendarahan, mimisan splenomegali.
c. Sistem urogenital: Ada tidaknya ketegangan kandung kemih
dan keluhan sakit pinggang.
d. Sistem muskuloskeletal: Untuk mengetahui ada tidaknya
kesulitan dalam pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan
terdapat fraktur atau tidak.

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

e. Sistem kekebalan tubuh: Untuk mengetahui ada tidaknya


pembesaran kelenjar getah bening.
f.

Eliminasi: Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.

g. Distensi

abdomen,

nyeri

tekan/nyeri

lepas,

kekakuan,

penurunan atau tidak ada bising usus.


4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan

darah

rutin:

untuk

mengetahui

adanya

peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi.


b. Pemeriksaan foto abdomen: untuk mengetahui adanya
komplikasi pasca pembedahan.
Diagnosa Keperawatan Post Operasi
1. Nyeri akut b.d. agen injuri fisik yaitu terputusnya kontinuitas
jaringan.
NOC: Pain Level, Pain Control & Comfort level
Kriteria Hasil :
-

Mampu mengontrol nyeri


Melaporkan nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen

nyeri
Mampu mengenali nyeri
Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

NIC:
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitas
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
4) Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
5) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
6) Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang
ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
7) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
dukungan
8) Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat
pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara:
masase, perubahan posisi, berikan perawatan yang tidak terburuburu

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

9) Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon


pasien terhadap ketidaknyamanan
10) Anjurkan pasien untuk istirahat
11) Kolaborasi medis dalam pemberian analgesik.
2. Resiko infeksi b.d. prosedur invasif
NOC: Immune Status, Knowledge : Infection control & Risk control
Kriteria Hasil

Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi


Mendeskripsikan proses penularan penyakit, bourgeois yang

mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya,


Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
Jumlah leukosit dalam batas normal
Menunjukkan perilaku hidup sehat
NIC:
Infection Control (Kontrol infeksi)

1) Batasi pengunjung bila perlu


2) Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat
berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
3) Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
4) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
5) Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
6) Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan
petunjuk umum
7) Tingkatkan intake nutrisi
8) Berikan terapi antibiotik bila perlu
Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
1) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
2) Monitor hitung granulosit, WBC
3) Monitor kerentanan terhadap infeksi
4) Batasi pengunjung
5) Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
6) Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
7) Dorong masukkan nutrisi yang cukup
8) Dorong masukan cairan

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

9) Dorong istirahat
10) Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
11) Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
12) Ajarkan cara menghindari infeksi
13) Laporkan kecurigaan infeksi
3. Hambatan mobilitas fisik b.d. nyeri pasca operasi, penurunan
kekuatan dan ketahanan sekunder akibat efek susunan saraf
pusat dari anestesi.
NOC: Joint Movement: active, Mobility level, Self care:ADLs, &
Transfer performance
Kriteria Hasil:

Klien meningkat dalam aktivitas fisik


Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
Memverbalisasi perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah.
NIC:

1) Monitor vital sign sebelum/setelah latihan dan lihat respon pasien


saat latihan
2) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai
dengan kebutuhan
3) Ajarkan klien atau tenaga kesehatan lain tentang ambulasi
4) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
5) Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
6) Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs
7) Berikan alat bantu jika pasien memerlukan

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

8) Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan


jika diperlukan

2.4 JUMP 4 ( Sasaran Belajar/Tujuan Belajar )


Secara umum tujuan yang diharapkan adalah mahasiswa mampu
menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan LAPARATOMY
EKPLORASI CYTO a.i UDARA BEBAS DAERAH SUBDIAFRAGMA
DEXTRA POST OP LAPARASCOPY APPENDIKTOMI . sedangkan tujuan
khusus yang diharapkan adalah mahasiswa mampu :
1. Mengindentifikasikan pengertian penyakit atau gangguan kesehatan
pada sistem Perioperatif
2. Menjelaskan Clinical pathway dari manifestasi klinis yang ada pada
gangguan sistem Perioperatif
3. Mengidentifikasi proses timbulnya komplikasi yang dapat terjadi pada
gangguan sistem Perioperatif
4. Menjelaskan berbagai pemeriksaan fisik dan penunjang yang
diperlukan.
5. Menjelaskan pengkajian keperawatan yang spesifik dan diperlukan
pada klien .
6. Menyebutkan diagnosis keperawatan yang mungkin dialami pasien.

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

7. Menjelaskan perencanaan keperawatan untuk mengatasi masalah


klien.
8. Menjelaskan tindakan keperawatan yang harus dilakukan.
9. Menjelaskan terapi yang diberikan untuk mengatasi gangguan sistem
Perioperatif dan implikasi keperawatanya
10. Merumuskan berbagai pendidikan kesehatan klien dalam kerangka
persiapan klien pulang.

2.5 JUMP 5 ( Pohon Masalah )

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

2.6 JUMP 6 ( Mandiri )


2.7 JUMP 7 ( Diskusi )

BAB III
PENUTUP

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

3.1 Kesimpulan
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
3.2 Saran
1. Bagi Mahasiswa
Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa
dalam memberikan pelayanan keperawatan dan dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi petugas Kesehatan
Diharapkan dengan makalah ini dapat meningkatkan pelayanan
kesehatan khususnya dalam bidang keperawatan sehingga dapat
memaksimalkan kita untuk memberikan health education
3. kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini

DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

Price, SA. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.


Edisi 6. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C, (2001), Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah,
Volume 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Brunner & Suddarth.(2005), Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
Nurarif, Amin Huda. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan
NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction
Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC
Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan
Praktik.Jakarta: Salemba Medika
Potter & Perry.2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep Proses
dan Praktik. Jakarta: EGC
Prasetyo, Nian Sigit.2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Jakarta:
Graha Ilmu
Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC

STIKES SARIMULIA BANJARMASIN ANGKATAN IV B KELOMPOK III ( LBM 3 )

Anda mungkin juga menyukai