Anda di halaman 1dari 63

Sumber : http://www.geocities.

com/klinikikm/

Pendahuluan
Sejarah Kesehatan Masyarakat
Perkembangan Kesehatan Masyarakat
Perkembangan Kesehatan Masyarakat di Indonesia
Defenisi Kesehatan Masyarakat
Ruang Lingkup Kesehatan Masyarakat
Statistik Kesehatan
Pengertian, Tujuan & Fungsi Statistik
Statistik Kesehatan
Pengolahan & Analisis Data
Penyajian Data
Ukuran-Ukuran Statistik Kesehatan
Pendidikan & Perilaku Kesehatan
Prinsip-Prinsip Pendidikan Kesehatan
Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan
Sub Bidang Keilmuan Pendidikan Kesehatan
Metode Pendidikan Kesehatan
Alat Bantu dan Media Pendidikan Kesehatan
Perilaku Kesehatan
Domain Perilaku Kesehatan
Perubahan-Perubahan Perilaku
Perubahan Perilaku dan Proses Belajar
Bentuk-Bentuk Perubahan Perilaku
Kesehatan Kerja
Batasan
Diterminan Kesehatan Kerja
Faktor Fisik dalam Kesehatan Kerja
Faktor Manusia dalam Kerja
Kecelakaan Kerja

(Mon, 080908-Klinik Kesmas)

Epidemiologi
Pengertian & Peranan Epidemiologi
Metode-Metode Epidemiologi
Pengukuran Epidemiologi
Epidemiologi Penyakit-Penyakit Menular
Imunisasi
Manajemen Kesehatan Masyarakat
Pengertian Manajemen Kesehatan
Perencanaan Kesehatan
Pengorganisasian
Pengawasan dan Pengarahan
Sistem Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Sistem Rujukan
Evaluasi Program Kesehatan
Kesehatan Lingkungan
Pengertian & Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan
Perumahan
Penyediaan Air Bersih
Pembuangan Kotoran Manusia
Sampah dan Pengelolaannya
Air Limbah dan Pengelolaannya

Gizi Masyarakat
Gizi & Fungsinya
Gizi Klinik dan Gizi Masyarakat
Penyakit-Penyakit Gizi
Kelompok Rentan Gizi
Pengukuran Status Gizi Masyarakat

KESEHATAN MASYARAKAT (KESMAS)


By Sasri Adijaya, SKM, M.Si
SEJARAH KESMAS
Membicarakan kesehatan masyarakat tidak terlepas dari 2 tokoh metologi

Yunani, yakni Asclepius dan Higeia. Berdasarkan cerita mitos Yunani tersebut
Asclepius disebutkan sebagai seorang dokter pertama yang tampan dan pandai
meskipun tidak disebutkan sekolah atau pendidikan apa yang telah ditempuhnya
tetapi diceritakan bahwa ia telah dapat mengobati penyakit dan bahkan
melakukan bedah berdasarkan prosedur-prosedur tertentu (surgical procedure)
dengan baik.
Higeia, seorang asistennya, yang kemudian diceritakan sebagai isterinya juga
telah melakukan upaya-upaya kesehatan. Beda antara Asclepius dengan Higeia
dalam pendekatan / penanganan masalah kesehatan adalah, Asclepius
melakukan pendekatan (pengobatan penyakit), setelah penyakit tersebut terjadi
pada seseorang.
Sedangkan Higeia mengajarkan kepada pengikutnya dalam pendekatan
masalah kesehatan melalui "hidup seimbang", menghindari makanan / minuman
beracun, makan makanan yang bergizi (baik), cukup istirahat dan melakukan
olahraga.
Apabila orang yang sudah jatuh sakit Higeia lebih menganjurkan melakukan
upaya-upaya secara alamiah untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut, antara
lain lebih baik dengan memperkuat tubuhnya dengan makanan yang baik
daripada dengan pengobatan / pembedahan.
Dari cerita mitos Yunani, Asclepius dan Higeia tersebut, akhirnya muncul 2 aliran
atau pendekatan dalam menangani masalah-masalah kesehatan. Kelompok atau
aliran pertama cenderung menunggu terjadinya penyakit (setelah sakit), yang
selanjutnya disebut pendekatan kuratif (pengobatan). Kelompok ini pada
umumnya terdiri dari dokter, dokter gigi, psikiater dan praktisi-praktisi lain yang
melakukan pengobatan penyakit baik fisik, psikis, mental maupun sosial.
Sedangkan kelompok kedua, seperti halnya pendekatan Higeia, cenderung
melakukan upaya-upaya pencegahan penyakit dan meningkatkan kesehatan
(promosi) sebelum terjadinya penyakit. Kedalam kelompok ini termasuk para
petugas kesehatan masyarakat lulusan-lulusan sekolah atau institusi kesehatan
masyarakat dari berbagai jenjang.
Dalam perkembangan selanjutnya maka seolah-olah timbul garis pemisah antara
kedua kelompok profesi, yakni pelayanan kesehatan kuratif (curative health care)
dan pelayanan pencegahan atau preventif (preventive health care).
Kedua kelompok ini dapat dilihat perbedaan pendekatan yang dilakukan antara
lain sebagai berikut :
Pertama, pendekatan kuratif pada umumnya dilakukan terhadap sasaran
secara individual, kontak terhadap sasaran (pasien) pada umumnya hanya sekali
saja. Jarak antara petugas kesehatan (dokter, drg, dan sebagainya) dengan
pasien atau sasaran cenderung jauh.

Sedangkan pendekatan preventif, sasaran atau pasien adalah masyarakat


(bukan perorangan) masalah-masalah yang ditangani pada umumnya juga
masalah-masalah yang menjadi masalah masyarakat, bukan masalah individu.
Hubungan antara petugas kesehatan dengan masyarakat (sasaran) lebih bersifat
kemitraan tidak seperti antara dokter-pasien.
Kedua, pendekatan kuratif cenderung bersifat reaktif, artinya kelompok ini pada
umumnya hanya menunggu masalah datang. Seperti misalnya dokter yang
menunggu pasien datang di Puskesmas atau tempat praktek. Kalau tidak ada
pasien datang, berarti tidak ada masalah, maka selesailah tugas mereka, bahwa
masalah kesehatan adalah adanya penyakit.
Sedangkan kelompok preventif lebih mengutamakan pendekatan proaktif,
artinya tidak menunggu adanya masalah tetapi mencari masalah. Petugas
kesehatan masyarakat tidak hanya menunggu pasien datang di kantor atau di
tempat praktek mereka, tetapi harus turun ke masyarakat mencari dan
mengidentifikasi masalah yang ada di masyarakat, dan melakukan tindakan.
Ketiga, pendekatan kuratif cenderung melihat dan menangani klien atau pasien
lebih kepada sistem biologis manusia atau pasien hanya dilihat secara parsial,
padahal manusia terdiri dari kesehatan bio-psikologis dan sosial, yang terlihat
antara aspek satu dengan yang lainnya.
Sedangkan pendekatan preventif melihat klien sebagai makhluk yang utuh,
dengan pendekatan yang holistik. Terjadinya penyakit tidak semata-mata
karena terganggunya sistem biologi individual tetapi dalam konteks yang luas,
aspek biologis, psikologis dan sosial. Dengan demikian pendekatannya pun tidak
individual dan parsial tetapi harus secara menyeluruh atau holistik.

Update : 31 Mei 2006


Sumber :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.
PERKEMBANGAN KESMAS
Sejarah panjang perkembangan masyarakat, tidak hanya dimulai pada
munculnya ilmu pengetahuan saja melainkan sudah dimulai sebelum
berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Oleh sebab itu, akan sedikit

diuraikan perkembangan kesehatan masyarakat sebelum perkembangan ilmu


pengetahuan (pre-scientific period) dan sesudah ilmu pengetahuan itu
berkembang (scientific period).
Periode Sebelum Ilmu Pengetahuan
Dari kebudayaan yang paling luas yakni Babylonia, Mesir, Yunani dan Roma
telah tercatat bahwa manusia telah melakukan usaha untuk menanggulangi
masalah-masalah kesehatan masyarakat dan penyakit. Telah ditemukan pula
bahwa pada zaman tersebut tercatat dokumen-dokumen tertulis, bahkan
peraturan-peraturan tertulis yang mengatur tentang pembuangan air limbah atau
drainase pemukiman pembangunan kota, pengaturan air minum, dan
sebagainya.
Pada zaman ini juga diperoleh catatan bahwa telah dibangun tempat
pembuangan kotoran (latrin) umum, meskipun alasan dibuatnya latrine tersebut
bukan karena kesehatan. Dibangunnya latri umum pada saat itu bukan karena
tinja atau kotoran manusia dapat menularkan penyakit tetapi tinja menimbulkan
bau tak enak dan pandangan yang tidak menyedapkan.
Demikian juga masyarakat membuat sumur pada waktu itu dengan alasan
bahwa minum air kali yang mengalir sudah kotor itu terasa tidak enak, bukan
karena minum air kali dapat menyebabkan penyakit (Greene, 1984).
Dari dokumen lain tercatat bahwa pada zaman Romawi kuno telah dikeluarkan
suatu peraturan yang mengharuskan masyarakat mencatatkan pembangunan
rumah, melaporkan adanya binatang-binatang yang berbahaya, dan binatangbinatang piaraan yang menimbulkan bau, dan sebagainya.
Bahkan pada waktu itu telah ada keharusan pemerintah kerajaan untuk
melakukan supervisi atau peninjauan kepada tempat-tempat minuman (public
bar), warung makan, tempat-tempat prostitusi dan sebagainya (Hanlon, 1974).
Kemudian pada permulaan abad pertama sampai kira-kira abad ke-7 kesehatan
masyarakat makin dirasakan kepentingannya karena berbagai macam penyakit
menular mulai menyerang sebagian besar penduduk dan telah menjadi epidemi
bahkan di beberapa tempat telah menjadi endemi.
Penyakit kolera telah tercatat sejak abad ke-7 menyebar dari Asia khususnya
Timur Tengah dan Asia Selatan ke Afrika. India disebutkan sejak abad ke-7
tersebut telah menjadi pusat endemi kolera. Disamping itu lepra juga telah
menyebar mulai dari Mesir ke Asia Kecil dan Eropa melalui para emigran.
Upaya-upaya untuk mengatasi epidemi dan endemi penyakit-penyakit tersebut,
orang telah mulai memperhatikan masalah lingkungan, terutama hygiene dan
sanitasi lingkungan. Pembuangan kotoran manusia (latrin), pengusahaan air

minum yang bersih, pembuangan sampah, ventilasi rumah telah tercatat menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat pada waktu itu.
Pada abad ke-14 mulai terjadi wabah pes yang paling dahsyat, di China dan
India. Pada tahun 1340 tercatat 13.000.000 orang meninggal karena wabah pes,
dan di India, Mesir dan Gaza dilaporkan bahwa 13.000 orang meninggal tiap hari
karena pes.
Menurut catatan, jumlah meninggal karena wabah pes di seluruh dunia waktu itu
mencapai lebih dari 60.000.000 orang. Oleh sebab itu waktu itu disebut "the
Black Death". Keadaan atau wabah penyakit-penyakit menular ini berlangsung
sampai menjelang abad ke-18. Disamping wabah pes, wabah kolera dan tipus
masih berlangsung.
Telah tercatat bahwa pada tahun 1603 lebih dari 1 diantara 6 orang meninggal,
dan pada tahun 1663 sekitar 1 diantara 5 orang meninggal karena penyakit
menular. Pada tahun 1759, 70.000 orang penduduk kepulauan Cyprus
meninggal karena penyakit menular. Penyakit-penyakit lain yang menjadi wabah
pada waktu itu antara lain difteri, tipus, disentri dan sebagainya.
Dari catatan-catatan tersebut di atas dapat dilihat bahwa masalah kesehatan
masyarakat khususnya penyebaran-penyebaran penyakit menular sudah begitu
meluas dan dahsyat, namun upaya pemecahan masalah kesehatan masyarakat
secara menyeluruh belum dilakukan oleh orang pada zamannya.
Periode Ilmu Pengetahuan
Bangkitnya ilmu pengetahuan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19
mempunyai dampak yang luas terhadap segala aspek kehidupan manusia,
termasuk kesehatan. Kalau pada abad-abad sebelumnya masalah kesehatan
khususnya penyakit hanya dilihat sebagai fenomena biologis dan pendekatan
yang dilakukan hanya secara biologis yang sempit, maka mulai abad ke-19
masalah kesehatan adalah masalah yang kompleks. Oleh sebab itu pendekatan
masalah kesehatan harus dilakukan secara komprehensif, multisektoral.
Disamping itu pada abad ilmu pengetahuan ini juga mulai ditemukan berbagai
macam penyebab penyakit dan vaksin sebagai pencegah penyakit. Louis
Pasteur telah berhasil menemukan vaksin untuk mencegah penyakit cacar,
Joseph Lister menemukan asam carbol (carbolic acid) untuk sterilisasi ruang
operasi dan William Marton menemukan ether sebagai anestesi pada waktu
operasi.
Penyelidikan dan upaya-upaya kesehatan masyarakat secara ilmiah mulai
dilakukan pada tahun 1832 di Inggris. Pada waktu itu sebagian besar rakyat
Inggris terserang epidemi (wabah) kolera, terutama terjadi pada masyarakat
yang tinggal di perkotaan yang miskin. Kemudian parlemen Inggris membentuk

komisi untuk penyelidikan dan penanganan masalah wabah kolera ini.


Edwin Chadwich seorang pakar sosial (social scientist) sebagai ketua komisi ini
akhirnya melaporkan hasil penyelidikannya sebagai berikut : Masyarakat hidup di
suatu kondisi sanitasi yang jelek, sumur penduduk berdekatan dengan aliran air
kotor dan pembuangan kotoran manusia. Air limbah yang mengalir terbuka tidak
teratur, makanan yang dijual di pasar banyak dirubung lalat dan kecoa.
Disamping itu ditemukan sebagian besar masyarakat miskin, bekerja rata-rata 14
jam per hari, dengan gaji yang dibawah kebutuhan hidup. Sehingga sebagian
masyarakat tidak mampu membeli makanan yang bergizi.
Laporan Chadwich ini dilengkapi dengan analisis data statistik yang bagus dan
sahih. Berdasarkan laporan hasil penyelidikan Chadwich ini, akhirnya parlemen
mengeluarkan undang-undang yang isinya mengatur upaya-upaya peningkatan
kesehatan penduduk, termasuk sanitasi lingkungan, sanitasi tempat-tempat
kerja, pabrik dan sebagainya. Pada tahun 1848, John Simon diangkat oleh
pemerintah Inggris untuk menangani masalah kesehatan penduduk
(masyarakat).
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 mulai dikembangkan pendidikan
untuk tenaga kesehatan yang profesional. Pada tahun 1893 John Hopkins,
seorang pedagang wiski dari Baltimore Amerika mempelopori berdirinya
universitas dan didalamnya terdapat sekolah (Fakultas) Kedokteran.
Mulai tahun 1908 sekolah kedokteran mulai menyebar ke Eropa, Canada dan
sebagainya. Dari kurikulum sekolah-sekolah kedokteran tersebut terlihat bahwa
kesehatan masyarakat sudah diperhatikan. Mulai tahun kedua para mahasiswa
sudah mulai melakukan kegiatan penerapan ilmu di masyarakat.
Pengembangan kurikulum sekolah kedokteran sudah didasarkan kepada suatu
asumsi bahwa penyakit dan kesehatan itu merupakan hasil interaksi yang
dinamis antara faktor genetik, lingkungan fisik, lingkungan sosial (termasuk
kondisi kerja), kebiasaan perorangan dan pelayanan kedokteran / kesehatan.
Dari segi pelayanan kesehatan masyarakat, pada tahun 1855 pemerintah
Amerika telah membentuk Departemen Kesehatan yang pertama kali. Fungsi
departemen ini adalah menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi penduduk
(public), termasuk perbaikan dan pengawasan sanitasi lingkungan.
Departemen kesehatan ini sebenarnya merupakan peningkatan departemen
kesehatan kota yang telah dibentuk di masing-masing kota, seperti Baltimor telah
terbentuk pada tahun 1798, South Carolina tahun 1813, Philadelphia tahun 1818,
dan sebagainya.
Pada tahun 1872 telah diadakan pertemuan orang-orang yang mempunyai
perhatian kesehatan masyarakat baik dari universitas maupun dari pemerintah di

kota New York. Pertemuan tersebut menghasilkan Asosiasi Kesehatan


Masyarakat Amerika (American Public Health Association).

Update : 7 Juni 2006


Sumber :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

PERKEMBANGAN KESMAS DI INDONESIA

Sejarah perkembangan kesehatan masyarakat di Indonesia dimulai sejak


pemerintahan Belanda pada abad ke-16. Kesehatan masyarakat di Indonesia
pada waktu itu dimulai dengan adanya upaya pemberantasan cacar dan kolera
yang sangat ditakuti masyarakat pada waktu itu.

Kolera masuk di Indonesia tahun 1927 dan tahun 1937 terjadi wabah kolera eltor
di Indonesia kemudian pada tahun 1948 cacar masuk ke Indonesia melalui
Singapura dan mulai berkembang di Indonesia. Sehingga berawal dari wabah
kolera tersebut maka pemerintah Belanda pada waktu itu melakukan upayaupaya kesehatan masyarakat.
Namun demikian di bidang kesehatan masyarakat yang lain pada tahun 1807
pada waktu pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, telah dilakukan
pelatihan dukun bayi dalam praktek persalinan. Upaya ini dilakukan dalam
rangka penurunan angka kematian bayi yang tinggi pada waktu itu.
Akan tetapi upaya ini tidak berlangsung lama karena langkanya tenaga pelatih
kebidanan kemudian pada tahun 1930 dimulai lagi dengan didaftarnya para
dukun bayi sebagai penolong dan perawatan persalinan. Selanjutnya baru pada
tahun 1952 pada zaman kemerdekaan pelatihan secara cermat dukun bayi
tersebut dilaksanakan lagi.
Pada tahun 1851 sekolah dokter Jawa didirikan oleh dr. Bosch, kepala
pelayanan kesehatan sipil dan militer dan dr. Bleeker di Indonesia. Kemudian
sekolah ini terkenal dengan nama STOVIA (School Tot Oplelding Van Indiche
Arsten) atau sekolah untuk pendidikan dokter pribumi. Setelah itu pada tahun
1913 didirikan sekolah dokter yang kedua di Surabaya dengan nama NIAS
(Nederland Indische Arsten School).
Pada tahun 1927, STOVIA berubah menjadi sekolah kedokteran dan akhirnya
sejak berdirinya Universitas Indonesia tahun 1947 berubah menjadi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Kedua sekolah tersebut mempunyai andil
yang sangat besar dalam menghasilkan tenaga-tenaga (dokter-dokter) yang
mengembangkan kesehatan masyarakat Indonesia.
Tidak kalah pentingnya dalam mengembangkan kesehatan masyarakat di
Indonesia adalah berdirinya Pusat Laboratorium Kedokteran di Bandung pada
tahun 1888. Kemudian pada tahun 1938, pusat laboratorium ini berubah menjadi
Lembaga Eykman dan selanjutnya disusul didirikan laboratorium lain di Medan,
Semarang, Makassar, Surabaya dan Yogyakarta.
Laboratorium-laboratorium ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam
rangka menunjang pemberantasan penyakit seperti malaria, lepra, cacar dan
sebagainya bahkan untuk bidang kesehatan masyarakat yang lain seperti gizi
dan sanitasi.
Pada tahun 1922 pes masuk Indonesia dan pada tahun 1933, 1934 dan 1935
terjadi epidemi di beberapa tempat, terutama di pulau Jawa. Kemudian mulai
tahun 1935 dilakukan program pemberantasan pes ini dengan melakukan
penyemprotan DDT terhadap rumah-rumah penduduk dan juga vaksinasi

massal. Tercatat pada tahun 1941, 15.000.000 orang telah memperoleh suntikan
vaksinasi.
Pada tahun 1925, Hydrich, seorang petugas kesehatan pemerintah Belanda
melakukan pengamatan terhadap masalah tingginya angka kematian dan
kesakitan di Banyumas-Purwokerto pada waktu itu. Dari hasil pengamatan dan
analisisnya tersebut ini menyimpulkan bahwa penyebab tingginya angka
kematian dan kesakitan ini adalah karena jeleknya kondisi sanitasi lingkungan.
Masyarakat pada waktu itu membuang kotorannya di sembarang tempat, di
kebun, selokan, kali bahkan di pinggir jalan padahal mereka mengambil air
minum juga dari kali. Selanjutnya ia berkesimpulan bahwa kondisi sanitasi
lingkungan ini disebabkan karena perilaku penduduk.
Oleh sebab itu, untuk memulai upaya kesehatan masyarakat, Hydrich
mengembangkan daerah percontohan dengan melakukan propaganda
(pendidikan) penyuluhan kesehatan. Sampai sekarang usaha Hydrich ini
dianggap sebagai awal kesehatan masyarakat di Indonesia.
Memasuki zaman kemerdekaan, salah satu tonggak penting perkembangan
kesehatan masyarakat di Indonesia adalah diperkenalkannya Konsep Bandung
(Bandung Plan) pada tahun 1951 oleh dr. Y. Leimena dan dr. Patah, yang
selanjutnya dikenal dengan Patah-Leimena.
Dalam konsep ini mulai diperkenalkan bahwa dalam pelayanan kesehatan
masyarakat, aspek kuratif dan preventif tidak dapat dipisahkan. Hal ini berarti
dalam mengembangkan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia kedua aspek
ini tidak boleh dipisahkan, baik di rumah sakit maupun di puskesmas.
Selanjutnya pada tahun 1956 dimulai kegiatan pengembangan kesehatan
sebagai bagian dari upaya pengembangan kesehatan masyarakat. Pada tahun
1956 ini oleh dr. Y. Sulianti didirikan Proyek Bekasi (tepatnya Lemah Abang)
sebagai proyek percontohan atau model pelayanan bagi pengembangan
kesehatan masyarakat pedesaan di Indonesia dan sebagai pusat pelatihan
tenaga kesehatan.
Proyek ini disamping sebagai model atau konsep keterpaduan antara pelayanan
kesehatan pedesaan dan pelayanan medis, juga menekankan pada pendekatan
tim dalam pengelolaan program kesehatan.
Untuk melancarkan penerapan konsep pelayanan terpadu ini terpilih 8 desa
wilayah pengembangan masyarakat yaitu Inderapura (Sumatera Utara),
Lampung, Bojong Loa (Jawa Barat), Sleman (Jawa Tengah), Godean
(Yogyakarta), Mojosari (Jawa Timur), Kesiman (Bali) dan Barabai (Kalimantan
Selatan). Kedelapan wilayah tersebut merupakan cikal bakal sistem puskesmas
sekarang ini.

Pada bulan November 1967, dilakukan seminar yang membahas dan


merumuskan program kesehatan masyarakat terpadu sesuai dengan kondisi dan
kemampuan rakyat Indonesia. Pada waktu itu dibahas konsep puskesmas yang
dibawakan oleh dr. Achmad Dipodilogo yang mengacu kepada konsep Bandung
dan Proyek Bekasi. Kesimpulan seminar ini adalah disepakatinya sistem
puskesmas yang terdiri dari tipe A, B, dan C.
Dengan menggunakan hasil-hasil seminar tersebut, Departemen Kesehatan
menyiapkan rencana induk pelayanan kesehatan terpadu di Indonesia. Akhirnya
pada tahun 1968 dalam rapat kerja kesehatan nasional, dicetuskan bahwa
puskesmas adalah merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu yang
kemudian dikembangkan oleh pemerintah (Departemen Kesehatan) menjadi
Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
Puskesmas disepakati sebagai suatu unit pelayanan kesehatan yang
memberikan pelayanan kuratif dan preventif secara terpadu, menyeluruh dan
mudah dijangkau dalam wilayah kerja kecamatan atau sebagian kecamatan, di
kotamadya atau kabupaten.
Kegiatan pokok puskesmas mencakup :
1. Kesehatan ibu dan anak
2. Keluarga berencana
3. Gizi
4. Kesehatan lingkungan
5. Pencegahan penyakit menular
6. Penyuluhan kesehatan masyarakat
7. Pengobatan
8. Perawatan kesehatan masyarakat
9. Usaha kesehatan gizi
10 Usaha kesehatan sekolah
11 Usaha kesehatan jiwa
12 Laboratorium
13 Pencatatan dan pelaporan
Pada tahun 1969, sistem puskesmas hanya disepakati 2 saja, yakni tipe A dan B
dimana tipe A dikelola oleh dokter sedangkan tipe B hanya dikelola oleh
paramedis. Dengan adanya perkembangan tenaga medis maka akhirnya pada
tahun 1979 tidak diadakan perbedaan puskesmas tipe A atau tipe B, hanya ada
satu tipe puskesmas yang dikepalai oleh seorang dokter.
Pada tahun 1979 juga dikembangkan 1 piranti manajerial guna penilaian
puskesmas yakni stratifikasi puskesmas sehingga dibedakan adanya :
1. Strata 1 : puskesmas dengan prestasi sangat baik
2. Strata 2 : puskesmas dengan prestasi rata-rata atau standar
3. Strata 3 : puskesmas dengan prestasi dibawah rata-rata

Selanjutnya puskesmas juga dilengkapi dengan 2 piranti manajerial yang lain,


yakni micro planning untuk perencanaan dan lokakarya mini (Lokmin) untuk
pengorganisasian kegiatan dan pengembangan kerjasama tim. Akhirnya pada
tahun 1984 tanggung jawab puskesmas ditingkatkan lagi dengan
berkembangnya program paket terpadu kesehatan dan keluarga berencana
(Posyandu).
Program ini mencakup :
1. Kesehatan ibu dan anak
2. Keluarga berencana
3. Gizi
4. Penanggulangan penyakit diare
5. Imunisasi
Puskesmas mempunyai tanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan
Posyandu di wilayah kerjanya masing-masing.
Update : 29 Juni 2006
Sumber :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

DEFINISI KESMAS
Sudah banyak para ahli kesehatan membuat batasan kesehatan masyarakat ini.
Secara kronologis batasan-batasan kesehatan masyarakat mulai dengan
batasan yang sangat sempit sampai batasan yang luas seperti yang kita anut
saat ini dapat diringkas sebagai berikut.
Batasan yang paling tua, dikatakan bahwa kesehatan masyarakat adalah upayaupaya untuk mengatasi masalah-masalah sanitasi yang mengganggu kesehatan.
Dengan kata lain kesehatan masyarakat adalah sama dengan sanitasi. Upaya

untuk memperbaiki dan meningkatkan sanitasi lingkungan adalah merupakan


kegiatan kesehatan masyarakat.
Kemudian pada akhir abad ke-18 dengan diketemukan bakter-bakteri penyebab
penyakit dan beberapa jenis imunisasi, kegiatan kesehatan masyarakat adalah
pencegahan penyakit yang terjadi dalam masyarakat melalui perbaikan sanitasi
lingkungan dan pencegahan penyakit melalui imunisasi.
Pada awal abad ke-19, kesehatan masyarakat sudah berkembang dengan baik,
kesehatan masyarakat diartikan suatu upaya integrasi antara ilmu sanitasi
dengan ilmu kedokteran. Sedangkan ilmu kedokteran itu sendiri merupakan
integrasi antara ilmu biologi dan ilmu sosial. Dalam perkembangan selanjutnya,
kesehatan masyarakat diartikan sebagai aplikasi dan kegiatan terpadu antara
sanitasi dan pengobatan (kedokteran) dalam mencegah penyakit yang melanda
penduduk atau masyarakat.
Oleh karena masyarakat sebagai objek penerapan ilmu kedokteran dan sanitasi
mempunyai aspek sosial ekonomi dan budaya yang sangat kompleks. Akhirnya
kesehatan masyarakat diartikan sebagai aplikasi keterpaduan antara ilmu
kedokteran, sanitasi, dan ilmu sosial dalam mencegah penyakit yang terjadi di
masyarakat.
Dari pengalaman-pengalaman praktek kesehatan masyarakat yang telah
berjalan sampai pada awal abad ke-20, Winslow (1920) akhirnya membuat
batasan kesehatan masyarakat yang sampai sekarang masih relevan sebagai
berikut : kesehatan masyarakat (public health) adalah ilmu dan seni mencegah
penyakit, memperpanjang hidup dan meningkatkan kesehatan melalui usahausaha pengorganisasian masyarakat untuk :
a. Perbaikan sanitasi lingkungan
b. Pemberantasan penyakit-penyakit menular
c. Pendidikan untuk kebersihan perorangan
d. Pengorganisasian pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk
diagnosis dini dan pengobatan
e. Pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi
kebutuhan hidup yang layak dalam memelihara kesehatannya.
Dari batasan tersebut tersirat bahwa kesehatan masyarakat adalah kombinasi
antara teori (ilmu) dan praktek (seni) yang bertujuan untuk mencegah
penyakit, memperpanjang hidup dan meningkatkan kesehatan penduduk
(masyarakat). Ketiga tujuan tersebut sudah barang tentu saling berkaitan dan
mempunyai pengertian yang luas. Untuk mencapai ketiga tujuan pokok tersebut,
Winslow mengusulkan cara atau pendekatan yang dianggap paling efektif adalah
melalui upaya-upaya pengorganisasian masyarakat.
Pengorganisasian

masyarakat

dalam

rangka

pencapaian

tujuan-tujuan

kesehatan masyarakat pada hakekatnya adalah menghimpun potensi


masyarakat atau sumber daya (resources) yang ada didalam masyarakat itu
sendiri untuk upaya-upaya preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif kesehatan
mereka sendiri.
Pengorganisasian masyarakat dalam bentuk penghimpunan dan pengembangan
potensi dan sumber-sumber daya masyarakat dalam konteks ini pada
hakekatnya adalah menumbuhkan, membina dan mengembangkan partisipasi
masyarakat di bidang pembangunan kesehatan.
Menumbuhkan partisipasi masyarakat tidaklah mudah, memerlukan pengertian,
kesadaran, dan penghayatan oleh masyarakat terhadap masalah-masalah
kesehatan mereka sendiri, serta upaya-upaya pemecahannya. Untuk itu
diperlukan pendidikan kesehatan masyarakat melalui pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat. Jadi pendekatan utama yang diajukan oleh Winslow
dalam rangka mencapai tujuan-tujuan kesehatan masyarakat sebenarnya adalah
salah satu strategi atau pendekatan pendidikan kesehatan.
Selanjutnya Winslow secara implisit mengatakan bahwa kegiatan kesehatan
masyarakat itu mencakup a) sanitasi lingkungan b) pemberantasan penyakit c)
pendidikan kesehatan (higiene) d) manajemen (pengorganisasian) pelayanan
kesehatan dan e) pengembangan rekayasa sosial dalam rangka pemeliharaan
kesehatan masyarakat.
Dari 5 bidang kegiatan kesehatan masyarakat tersebut, 2 kegiatan diantaranya
yakni kegiatan pendidikan higiene dan rekayasa sosial adalah menyangkut
kegiatan pendidikan kesehatan. Sedangkan kegiatan bidang sanitasi,
pemberantasan penyakit dan pelayanan kesehatan sesungguhnya tidak sekedar
penyediaan sarana fisik, fasilitas kesehatan dan pengobatan saja tetapi perlu
upaya pemberian pengertian dan kesadaran kepada masyarakat tentang
manfaat serta pentingnya upaya-upaya atau fasilitas fisik tersebut dalam rangka
pemeliharaan, peningkatan dan pemulihan kesehatan mereka. Apabila tidak
disertai dengan upaya-upaya ini maka sarana-sarana atau fasilitas pelayanan
tersebut tidak atau kurang berhasil serta optimal.
Batasan lain disampaikan oleh Ikatan Dokter Amerika (1948). Kesehatan
masyarakat adalah ilmu dan seni memelihara, melindungi dan meningkatkan
kesehatan masyarakat melalui usaha-usaha pengorganisasian masyarakat.
Batasan ini mencakup pula usaha-usaha masyarakat dalam pengadaan
pelayanan kesehatan, pencegahan dan pemberantasan penyakit.
Dari perkembangan batasan kesehatan masyarakat seperti tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa kesehatan masyarakat itu meluas dari hanya berurusan
sanitasi, teknik sanitasi, ilmu kedokteran kuratif, ilmu kedokteran pencegahan
sampai dengan ilmu sosial dan itulah cakupan ilmu kesehatan masyarakat.

Update : 12 Juli 2006


Sumber :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu
Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

Kesehatan

PENGERTIAN DAN PERANAN EPIDEMIOLOGI


Pada mulanya epidemiologi diartikan sebagai studi tentang epidemi. Hal ini
berarti bahwa epidemiologi hanya mempelajari penyakit-penyakit menular saja
tetapi dalam perkembangan selanjutnya epidemiologi juga mempelajari penyakitpenyakit non infeksi, sehingga dewasa ini epidemiologi dapat diartikan sebagai
studi tentang penyebaran penyakit pada manusia di dalam konteks
lingkungannya.
Mencakup juga studi tentang pola-pola penyakit serta pencarian determinandeterminan penyakit tersebut. Dapat disimpulkan bahwa Epidemiologi adalah
ilmu yang mepelajari tentang penyebaran penyakit serta determinan-

determinan yang mempengaruhi penyakit tersebut.


Di dalam batasan epidemiologi ini sekurang-kurangnya mencakup 3 elemen,
yakni :
a. Mencakup semua penyakit
Epidemiologi mempelajari semua penyakit, baik penyakit infeksi maupun
penyakit non infeksi, seperti kanker, penyakit kekurangan gizi (malnutrisi),
kecelakaan lalu lintas maupun kecelakaan kerja, sakit jiwa dan sebagainya.
Bahkan di negara-negara maju, epidemiologi ini mencakup juga kegiatan
pelayanan kesehatan.
b. Populasi
Apabila kedokteran klinik berorientasi pada gambaran-gambaran dari
penyakit-penyakit individu maka epidemiologi ini memusatkan perhatiannya
pada distribusi penyakit pada populasi (masyarakat) atau kelompok.
c. Pendekatan ekologi
Frekuensi dan distribusi penyakit dikaji dari latar belakang pada keseluruhan
lingkungan manusia baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Hal inilah
yang dimaksud pendekatan ekologis. Terjadinya penyakit pada seseorang
dikaji dari manusia dan total lingkungannya.
1. Penyebaran Penyakit
Di dalam epidemiologi biasanya timbul pertanyaan yang perlu direnungkan
yakni :
1. Siapa (who), siapakah yang menjadi sasaran penyebaran penyakit itu atau
orang yang terkena penyakit.
2. Di mana (where), di mana penyebaran atau terjadinya penyakit.
3. Kapan (when), kapan penyebaran atau terjadinya penyakit tersebut.
Jawaban-jawaban atau pertanyaan-pertanyaan ini adalah merupakan faktorfaktor yang menentukan terjadinya suatu penyakit. Dengan perkataan lain
terjadinya atau penyebaran suatu penyakit ditentukan oleh 3 faktor utama
yakni orang, tempat dan waktu.
2. Kegunaan
Peranan epidemiologi, khususnya dalam konteks program Kesehatan dan
Keluarga Berencana adalah sebagai tool (alat) dan sebagai metode atau
pendekatan. Epidemiologi sebagai alat diartikan bahwa dalam melihat suatu
masalah KB-Kes selalu mempertanyakan siapa yang terkena masalah, di

mana dan bagaimana penyebaran masalah, serta kapan penyebaran


masalah tersebut terjadi.
Demikian pula pendekatan pemecahan masalah tersebut selalu dikaitkan
dengan masalah, di mana atau dalam lingkungan bagaimana penyebaran
masalah serta bilaman masalah tersebut terjadi. Kegunaan lain dari
epidemiologi khususnya dalam program kesehatan adalah ukuran-ukuran
epidemiologi seperti prevalensi, point of prevalence dan sebagainya dapat
digunakan dalam perhitungan-perhitungan : prevalensi, kasus baru, case
fatality rate dan sebagainya.
Update : 1 Juni 2006
Sumber :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu
Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

Kesehatan

PENGERTIAN, TUJUAN DAN FUNGSI STATISTIK KESEHATAN


Secara umum arti statistik dibedakan menjadi 2 bagian besar, yaitu :
1. Arti sempit
Adalah data ringkasan berbentuk angka, misalnya jumlah karyawan BKKBN,
jumlah akseptor KB, jumlah peserta KB aktif di desa / kelurahan, jumlah balita
yang ditimbang pada bulan tertentu, jumlah PPKBD/Sub PPKBD dan lain
sebagainya.

2. Arti luas
Merupakan ilmu yang mempelajari cara pengumpulan, pengolahan, penyajian
dan analisis data termasuk cara pengambilan kesimpulan dengan
memperhitungkan unsur ketidakpastian berdasarkan konsep propabilitas.
A. Tujuan Statistik
Merupakan suatu pendekatan modern untuk menyajikan mengenai konsepkonsep dasar dan metode statistik secara lebih jelas dan langsung dapat
membantu seseorang didalam pengembangan daya kritik dalam suatu kegiatan
pengambilan keputusan dengan menggunakan cara-cara kuantitatif.
Beberapa jenis pertanyaan sehari-hari yang membutuhkan suatu keputusan
adalah sebagai berikut :
1. Pertanyaan pribadi
Misalnya :
- Kepada siapa saya akan kawin ?
- Bidang pekerjaan apakah yang saya pilih dan sesuai dengan diri saya ?
- Sub sistem pencatatan dan pelaporan manakah yang harus dibenahi ?
2. Pertanyaan yang berhubungan dengan masalah bisnis.
Misalnya :
- Apakah gedung ini akan kita beli atau sewa ?
- Apakah produk barang baru ini akan dilempar ke pasaran atau tidak ?
- Apakah kita menginvestasikan uang pada saat ini atau menunggu 1 tahun
lagi ?
3. Pertanyaan yang berhubungan dengan pemerintahan sifatnya nasional.
Misalnya :
- Apakah sistem pencatatan dan pelaporan UPGK akan dihapuskan ?
- Apakah kegiatan TKBK akan dikurangi ?
- Apakah kegiatan Posyandu harus lebih ditingkatkan pada saat ini ?
Semua pertanyaan tersebut membutuhkan suatu keputusan yang baik yang
sudah memikirkan untung dan ruginya. Di dalam sebagian besar kasus-kasus
pekerjaan yang kita alami sehari-hari, benefit dan cost adalah faktor utama yang
paling diasosiasikan dengan pengambilan suatu keputusan. Akan tetapi
kenyataan yang kita alami adalah bahwa suatu keputusan harus dibuat
walaupun dasar didalam mengambil keputusan tersebut adalah sangat lemah,
karena data-data yang diperlukan juga tidak lengkap.
Oleh karena itu, penggunaan statistik adalah penting sifatnya didalam rangka
membantu memberi bobot didalam mengambil keputusan. Dengan demikian
apakah yang dibutuhkan statistik didalam usaha untuk membantu mengambil
keputusan ?

Yang dibutuhkan adalah :


Data statistik atau bilangan yang mewakili suatu perhitungan atau pengukuran
suatu objek. Dengan demikian, melalui teori serta metodologi dari statistik kita
dapat membantu dan menentukan mengenai data yang harus dikompilasikan,
bagaimana data tersebut dikumpulkan, diolah, disajikan dan dianalisis, serta
kemudian ditarik kesimpulan.
Statistik menurut defenisi dibagi menjadi 2 bagian atau sub kategori :
1. Descriptive Statistic
Adalah penggunaan statistik untuk tujuan menggambarkan sesuatu yang spesifik
saja dan tidak memikirkan mengenai implikasi atau kesimpulan yang mewakili
sesuatu yang besar dan umum.
Contoh :
Setelah menjumlah semua balita yang ada dalam kelompok penimbangan dan
membandingkannya dengan jumlah anak yang pada bulan ini berat badannya
tetap / turun atau berat badannya bertambah, pengelola program KB / Kes
selanjutnya dapat menghitung mengenai angka berat badan rata-rata baik yang
tetap / turun atau yang bertambah untuk menyimpulkan keadaan yang terjadi
pada kelompok balita tersebut. Pengelola program KB / Kes dalam hal ini hanya
tertarik pada penggambaran keadaan balita pada suatu situasi tertentu dan tidak
untuk tujuan generalisasi.
2. Inferencial Statistic
Adalah suatu cara penggambaran suatu kesimpulan dari suatu set data yang
sedang diteliti dan hasilnya dapat dibuat suatu generalisasi.

Contoh :
BKKBN menarik sampel yang besarnya 5.000 orang yang terdiri dari akseptor
KB dari suatu kabupaten tertentu dan berdasar pada data yang ada
mengklasifikasikannya mengenai jenis alat kontrasepsi yang dipakai. Dari hasil
perhitungan secara statistik terlihat bahwa 60% peserta menggunakan IUD.
Angka 60% yang kemudian digunakan untuk menyimpulkan mengenai keadaan
akseptor secara keseluruhan di kabupaten itulah yang disebut sebagai statistical
inference.
B. Manfaat Statistik

Manfaat statistik adalah membantu para pengelola dan pelaksana program KBKes khususnya dalam mengambil keputusan yang selanjutnya dipakai dasar
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi berbagai kegiatan yang dilakukan.
Statistik Sebagai Bahan Perencanaan
Statistik seperti telah dijelaskan pada butir terdahulu adalah pengetahuan yang
berhubungan dengan pengumpulan data, pengolahan, penganalisaan, penyajian
dan penarikan kesimpulan serta pembuatan keputusan berdasarkan data dan
kegiatan analisis yang dilakukan.
Dengan kata lain setiap data yang dibutuhkan adalah data yang dapat dipercaya
dan tepat waktu. Melalui data yang dapat dipercaya dan tepat waktu diharapkan
seluruh kegiatan pengolahan data akan menghasilkan informasi untuk
mengambil suatu keputusan yang tepat. Kemungkinan-kemungkinan
penyimpangan yang telah dicoba untuk dieliminasi sekecil mungkin melalui
berbagai metode yang dikembangkan dalam statistik, akan sangat membantu
didalam setiap kegiatan perencanaan program.
Statistik Sebagai Bahan Monitoring
Seperti telah tersebut dalam arti sempit bahwa statistik adalah merupakan data
ringkasan berbentuk angka maka hal ini sangat membantu didalam suatu
kegiatan monitoring. Oleh karena secara umum yang dilakukan dalam kegiatan
monitoring adalah memonitor seluruh kekuatan dan kelemahan program yang
menyangkut berbagai variabel yang berbentuk data ringkasan (misalnya : jumlah
bayi yang ditimbang, jumlah penduduk, jumlah peserta KB, jumlah balita yang
diimunisasi dan lain sebagainya).

Statistik Sebagai Bahan Evaluasi


Dengan mengetahui berbagai data yang dapat dipercaya maka selanjutnya kita
dapat menganalisis dan memutuskan yang baik dan yang buruk. Selain itu
melalui berbagai data yang ada kita dapat membandingkan dan selanjutnya
membuat suatu generalisasi dari sampel yang kecil kepada populasi.

Update : 1 Juni 2006


Sumber :

Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu


Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

Kesehatan

STATISTIK KESEHATAN

Penilaian atau "assessment" terhadap kesehatan individu didasarkan pada


pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan-pemeriksaan lain
terhadap kesehatan orang tersebut. Sedangkan penilaian terhadap kesehatan
masyarakat didasarkan kepada kejadian-kejadian penting yang menimpa
penduduk atau masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai indikator
kesehatan masyarakat, seperti angka kesakitan, angka kematian, angka
kelahiran, dan sebagainya. Semua kegiatan yang berkaitan dengan pencatatan
dalam penilaian kesehatan, baik individu maupun masyarakat ini disebut statistik
kesehatan.

Secara lebih terinci statistik kesehatan adalah suatu cabang dari statistik
yang berurusan dengan cara-cara pengumpulan, kompilasi, pengolahan
dan interpretasi fakta-fakta numerik sehubungan dengan sehat dan sakit,
kelahiran, kematian, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan itu pada
populasi manusia. Apabila kegiatan pencatatan ini ditujukan khusus pada
kejadian-kejadian kehidupan manusia tertentu, yakni kelahiran, kematian,
perkawinan dan perceraian, disebut statistik vital (vital statistic), atau sering juga
disebut statistik kehidupan (bio statistic).
Statistik kesehatan mencakup juga statistik kehidupan dan data lain yang
berkaitan dengan kehidupan itu. Statistik kesehatan ini diperoleh dari berbagai
sumber antara lain :
1. Institusi-institusi kesehatan : pencatatan-pencatatan dari rumah sakit,
puskesmas, apotik, poliklinik, rumah bersalin dan sebagainya.
2. Program-program khusus : pelayanan kesehatan sekolah, pemberantasan
penyakit-penyakit menular, dan sebagainya.
3. Survei epidemiologi : informasi yang diperoleh dari lapangan (masyarakat).
4. Survei kesehatan rumah tangga (household survey) yang diadakan pada
periode waktu tertentu, misalnya tiap 3 tahun, 4 tahun, atau 5 tahun.
5. Institusi-institusi yang mengumpulkan data dengan tujuan-tujuan khusus,
seperti perusahaan-perusahaan asuransi, tempat-tempat pencatatan
kelahiran dan kematian di kelurahan, Kantor Urusan Agama untuk pencatatan
perkawinan dan perceraian, tempat karantina penyakit-penyakit menular, dan
sebagainya.
Update : 16 Juni 2006
Sumber :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu
Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

Kesehatan

MANAJEMEN KESEHATAN

Dalam kegiatan apa saja, agar kegiatan tersebut dapat mencapai tujuannya
secara efektif diperlukan pengaturan yang baik. Demikian juga kegiatan dan atau
pelayanan kesehatan masyarakat memerlukan pengaturan yang baik, agar
tujuan tiap kegiatan atau program itu tercapai dengan baik.
Proses pengaturan kegiatan ilmiah ini disebut manajemen, sedangkan proses
untuk mengatur kegiatan-kegiatan atau pelayanan kesehatan masyarakat
disebut "manajemen pelayanan kesehatan masyarakat".

Sebagian orang menyatakan bahwa proses pengaturan kegiatan untuk


mencapai tujuan ini disebut "administrasi" sehingga proses pengaturan kegiatan
dan atau pelayanan kesehatan masyarakat disebut "administrasi kesehatan
masyarakat". Disini timbul kerancuan karena proses kegiatan sama namun istilah
berbeda "manajemen" dan "administrasi".
Dalam hal ini tidak perlu diperdebatkan mana yang benar "manajemen" atau
"administrasi" menurut pendapat penulis melihat dari proses atau kegiatannya
sama maka kedua hal tersebut sama. Sedangkan pemakaiannya, apakah
menggunakan "manajemen" atau "administrasi" terserah kepada kita masingmasing yang memakainya (tergantung selera).
Dalam uraian ini penulis lebih cenderung menggunakan "manajemen" daripada
"administrasi". Banyak ahli yang telah membuat batasan tentang manajemen ini
antara lain :
a. The accomplishing of a predetermined objectives through the effort other
people atau manajemen adalah pencapaian tujuan-tujuan yang telah
ditentukan dengan menggunakan orang lain. (Robert D. Terry)
b. Manajemen adalah "the process, by which the excution of given purpose is
put in to operation and supervised atau manajemen adalah proses dimana
pelaksanaan dari suatu tujuan diselenggarakan dan diawasi. (Encyclopedia of
social sciences)
c. Manajemen adalah membuat tujuan tercapai melalui kegiatan-kegiatan orang
lain dan fungsi-fungsinya dapat dipecah sekurang-kurangnya 2 tanggung
jawab utama, yakni perencanaan dan pengawasan.
d. Management is the process under taken by one or more persons to coordinate
the activities of other persons to achieve results not attainable by any one
person acting alone atau manajemen adalah suatu proses yang dilakukan
oleh satu orang atau lebih untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan orang
lain guna mencapai hasil (tujuan) yang tidak dapat dicapai oleh hanya 1
orang saja. (Evancovich, 1989)
Dari batasan-batasan tersebut di atas dapat diambil suatu kesimpulan umum
bahwa manajemen adalah suatu kegiatan untuk mengatur orang lain guna
mencapai suatu tujuan atau menyelesaikan pekerjaan. Seorang manajer
dalam mencapai tujuan adalah secara bersama-sama dengan orang lain atau
bawahannya.
Apabila batasan ini diterapkan dalam bidang kesehatan masyarakat dapat
dikatakan sebagai berikut "Manajemen kesehatan adalah suatu kegiatan atau
suatu seni untuk mengatur para petugas kesehatan dan non petugas
kesehatan guna meningkatkan kesehatan masyarakat melalui program
kesehatan."
Dengan kata lain manajemen kesehatan masyarakat adalah penerapan
manajemen umum dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat

sehingga yang menjadi objek atau sasaran manajemen adalah sistem


pelayanan kesehatan masyarakat. Sistem adalah suatu kesatuan yang utuh,
terpadu yang terdiri dari berbagai elemen (sub sistem) yang saling berhubungan
didalam suatu proses atau struktur dalam upaya menghasilkan sesuatu atau
mencapai suatu tujuan tertentu.
Oleh sebab itu kalau berbicara sistem pelayanan kesehatan masyarakat adalah
struktur atau gabungan dari sub sistem didalam suatu unit atau didalam suatu
proses untuk mengupayakan pelayanan kesehatan masyarakat baik preventif,
kuratif, promotif maupun rehabilitatif.
Sehingga sistem pelayanan kesehatan ini dapat berbentuk Puskesmas, Rumah
sakit, Balkesmas dan unit-unit atau organisasi-organisasi lain yang
mengupayakan peningkatan kesehatan. Dengan demikian maka manajemen
kesehatan masyarakat adalah proses manajemen di tiap-tiap sub sistem
pelayanan.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa manajemen itu suatu seni mengatur
orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi atau unit pelayanan maka
manajemen tersebut mempunyai fungsi-fungsi. Dan berbagai pendapat para ahli
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa fungsi-fungsi manajemen itu pada
garisnya terdiri dari :
a. Perencanaan (planning)
b. Pengorganisasian (organizing)
c. Penyusunan personalia (staffing)
d. Pengkoordinasian (coordinating)
e. Penyusunan anggaran (budgeting)
Sumber : Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo
SISTEM PELAYANAN KESMAS
Seperti telah diuraikan sepintas dalam bagian terdahulu bahwa sistem adalah
gabungan dari elemen-elemen (sub sistem) didalam suatu proses atau
struktur dan berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi. Didalam suatu
sistem terdapat elemen-elemen atau bagian-bagian dimana didalamnya juga
membentuk suatu proses didalam suatu kesatuan maka disebut sub sistem
(bagian dari sistem).
Selanjutnya sub sistem tersebut juga terjadi suatu proses berfungsi sebagai
suatu kesatuan sendiri sebagai bagian dari sub sistem tersebut. Demikian
seterusnya dari sistem yang besarnya ini, misalnya pelayanan kesehatan
sebagai suatu sistem terdiri dari sub sistem pelayanan medik, pelayanan
keperawatan, pelayanan rawat inap, rawat jalan dan sebagainya, dan masing-

masing sub sistem terdiri sub-sub sistem lagi.


Sistem terbentuk dari elemen atau bagian yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi. Apabila salah satu bagian atau sub sistem tidak berjalan dengan
baik maka akan mempengaruhi bagian yang lain. Secara garis besar, elemenelemen dalam sistem itu adalah sebagai berikut :
1. Masukan (Input) adalah sub-sub elemen yang diperlukan sebagai masukan
untuk berfungsinya sistem.
2. Proses ialah suatu kegiatan yang berfungsi untuk mengubah masukan
sehingga menghasilkan sesuatu (keluaran) yang direncanakan.
3. Keluaran (out put) ialah hal yang dihasilkan oleh proses.
4. Dampak (impact) adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran setelah
beberapa waktu lamanya.
5. Umpan balik (feed back) ialah juga merupakan hasil dari proses yang
sekaligus sebagai masukan untuk sistem tersebut.
6. Lingkungan (environment) ialah dunia di luar sistem yang mempengaruhi
sistem tersebut.
Unsur-unsur tersebut dapat dilestarikan (lihat Bagan Elemen Suatu Sistem
dibawah !)
Contoh :
Didalam pelayanan puskesmas yang menjadi input adalah dokter, perawat, obatobatan, fasilitas lain, dan sebagainya. Prosesnya adalah kegiatan pelayanan
puskesmas tersebut. Outputnya adalah pasien sembuh / tak sembuh, jumlah ibu
hamil yang dilayani dan sebagainya.
Dampaknya adalah meningkatnya status kesehatan masyarakat. Sedangkan
umpan balik pelayanan puskesmas antara lain keluhan-keluhan pasien terhadap
pelayanan sedangkan lingkungan adalah masyarakat dan instansi-instansi diluar
puskesmas tersebut.
Sistem pelayanan kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical
services) dan pelayanan kesehatan masyarakat (public health services). Dalam
artikel ini, hanya akan dibahas sistem pelayanan kesehatan masyarakat saja.
Secara umum pelayanan kesehatan masyarakat merupakan sub sistem
pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif
(pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran
masyarakat. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pelayanan kesehatan
masyarakat tidak melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan
rehabilitatif (pemulihan).
Oleh karena ruang lingkup pelayanan kesehatan masyarakat menyangkut

kepentingan rakyat banyak maka peranan pemerintah dalam pelayanan


kesehatan masyarakat mempunyai porsi yang besar. Namun demikian karena
keterbatasan sumber daya pemerintah maka potensi masyarakat perlu digali
atau diikutsertakan dalam upaya pelayanan kesehatan masyarakat tersebut.
Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan mempunyai kewajiban dan
tanggung jawab dalam menggali dan membina potensi masyarakat dalam upaya
pelayanan kesehatan masyarakat ini. Menggalang potensi masyarakat disini
mencakup 3 dimensi, yakni :
a. Potensi masyarakat dalam arti komunitas (misalnya masyarakat RT, RW,
kelurahan, dan sebagainya). Misalnya dengan adanya dana sehat, iuran
untuk pengadaan PMT (Pembinaan Makanan Tambahan) untuk anak balita,
kader kesehatan, dan sebagainya adalah bentuk-bentuk partisipasi dan
penggalian potensi masyarakat dalam pelayanan kesehatan masyarakat.
b. Menggalang potensi masyarakat melalui organisasi-organisasi masyarakat
atau sering disebut Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Penyelenggaraan pelayanan-pelayanan kesehatan masyarakat oleh LSMLSM pada hakekatnya juga merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam
sistem pelayanan kesehatan masyarakat.
c. Menggalang potensi masyarakat melalui perusahaan-perusahaan swasta yang
ikut membantu meringankan beban penyelenggara pelayanan kesehatan
masyarakat (puskesmas, balkesmas, dan sebagainya), juga merupakan
bentuk partisipasi masyarakat dalam sistem pelayanan kesehatan
masyarakat.
Pelayanan kesehatan masyarakat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun swasta perlu memperhatikan beberapa ketentuan, antara lain :
1. Penanggung Jawab
Suatu sistem pelayanan kesehatan masyarakat harus ada penanggung jawab
oleh pemerintah maupun oleh swasta. Namun demikian di Indonesia, pemerintah
(dalam hal ini Departemen Kesehatan) merupakan tanggung jawab yang paling
tinggi. Artinya pengawasan, standar pelayanan dan sebagainya bagi pelayanan
kesehatan masyarakat baik pemerintah (puskesmas) maupun swasta
(balkesmas) adalah dibawah koordinasi Departemen Kesehatan.
2. Standar Pelayanan
Sistem pelayanan kesehatan masyarakat, baik pemerintah maupun swasta
harus berdasarkan pada suatu standar tertentu. Di Indonesia, standar ini telah

ditetapkan oleh Departemen Kesehatan dengan adanya buku Pedoman


Puskesmas.
3. Hubungan Kerja
Sistem pelayanan kesehatan masyarakat harus mempunyai pembagian kerja
yang jelas antara bagian satu dengan yang lain. Artinya fasilitas kesehatan
tersebut harus mempunyai struktur organisasi yang jelas dan menggambarkan
hubungan kerja, baik horizontal maupun vertikal.
4. Pengorganisasian Potensi Masyarakat
Ciri khas dari sistem pelayanan kesehatan masyarakat adalah keikutsertaan
masyarakat atau pengorganisasian masyarakat. Upaya ini penting (terutama di
Indonesia) karena adanya keterbatasan sumber-sumber daya dari
penyelenggara pelayanan kesehatan masyarakat, perlu keikutsertaan
masyarakat ini.

Sumber : Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo.


PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN KESEHATAN
Semua petugas kesehatan telah mengakui bahwa pendidikan kesehatan itu
penting untuk menunjang program-program kesehatan yang lain. Akan tetapi
pada kenyataannya pengakuan ini tidak didukung oleh kenyataan.
Artinya dalam program-program pelayanan kesehatan kurang melibatkan
pendidikan kesehatan. Meskipun program itu mungkin telah melibatkan
pendidikan kesehatan tetapi kurang memberikan bobot. Argumentasi mereka
adalah karena pendidikan kesehatan itu tidak segera dan jelas memperlihatkan
hasil.
Dengan perkataan lain pendidikan kesehatan itu tidak segera membawa manfaat
bagi masyarakat dan yang mudah dilihat atau diukur. Hal ini memang benar

karena pendidikan adalah merupakan 'behavioral investment' jangka panjang.


Hasil investment pendidikan kesehatan baru dapat dilihat beberapa tahun
kemudian.
Dalam waktu yang pendek (immediate impact) pendidikan kesehatan hanya
menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan masyarakat.
Sedangkan peningkatan pengetahuan saja belum akan berpengaruh langsung
terhadap indikator kesehatan.
Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka
menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Selanjutnya perilaku
kesehatan akan berpengaruh kepada meningkatnya indikator kesehatan
masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan.
Hal ini berbeda dengan program kesehatan yang lain, terutama program
pengobatan yang dapat langsung memberikan hasil (immediate impact) terhadap
penurunan kesakitan.
1. Peranan Pendidikan Kesehatan
Semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan
mengacu kepada H.L. Blum. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai
salah satu negara yang sudah maju, Blum menyimpulkan bahwa lingkungan
mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan.
Kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor 2,
pelayanan kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap
status kesehatan. Bagaimana proprorsi pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap
status kesehatan di negara-negara berkembang, terutama di Indonesia belum
ada penelitian.
Apabila dilakukan penelitian mungkin perilaku mempunyai kontribusi yang lebih
besar. Penelitian penulis di Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tentang status
gizi anak balita dengan menggunakan analisis stepwise, terbukti variabel
perilaku terseleksi sedangkan variabel pendapatan per kapita (ekonomi) tidak
terseleksi. Meskipun variabel ekonomi disini belum mewakili seluruh variabel
lingkungan tetapi paling tidak pengaruh perilaku lebih besar daripada variabelvariabel lain.
Selanjutnya Lewrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatarbelakangi
atau dipengaruhi oleh 3 faktor pokok yaitu faktor-faktor predisposisi
(predisposing factors), faktor-faktor yang mendukung (enabling factors) dan
faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors). Oleh sebab
itu pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus
diarahkan kepada ketiga faktor pokok tersebut. Lihat bagan hasil modifikasi
pendapat Blum dan Green di bawah !

Dari bagan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa peranan pendidikan
kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku sehingga perilaku
individu, kelompok atau masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Dengan
perkataan lain pendidikan kesehatan adalah suatu usaha untuk
menyediakan kondisi psikologis dari sasaran agar mereka berperilaku
sesuai dengan tuntutan nilai-nilai kesehatan.
2. Konsep Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan di bidang
kesehatan. Dilihat dari segi pendidikan, pendidikan kesehatan adalah suatu
pedagogik praktis atau praktek pendidikan. Oleh sebab itu konsep pendidikan
kesehatan adalah konsep pendidikan yang diaplikasikan pada bidang kesehatan.
Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti didalam
pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke
arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok
atau masyarakat.
Konsep ini berangkat dari suatu asumsi bahwa manusia sebagai makhluk sosial
dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-nilai hidup di dalam masyarakat selalu
memerlukan bantuan orang lain yang mempunyai kelebihan (lebih dewasa, lebih
pandai, lebih mampu, lebih tahu dan sebagainya). Dalam mencapai tujuan
tersebut, seorang individu, kelompok atau masyarakat tidak terlepas dari
kegiatan belajar.
Kegiatan atau proses belajar dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan oleh
siapa saja. Seseorang dapat dikatakan belajar apabila didalam dirinya terjadi
perubahan, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat mengerjakan menjadi
dapat mengerjakan sesuatu.
Namun demikian tidak semua perubahan itu terjadi karena belajar saja, misalnya
perkembangan anak dari tidak dapat berjalan menjadi dapat berjalan. Perubahan
ini terjadi bukan hasil proses belajar tetapi karena proses kematangan.
Dari uraian singkat ini dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar itu mempunyai
ciri-ciri : belajar adalah kegiatan yang menghasilkan perubahan pada diri
individu, kelompok, atau masyarakat yang sedang belajar, baik aktual maupun
potensial. Ciri kedua dari hasil belajar adalah bahwa perubahan tersebut
didapatkan karena kemampuan baru yang berlaku untuk waktu yang relatif lama.
Ciri ketiga adalah bahwa perubahan itu terjadi karena usaha dan disadari, bukan
karena kebetulan.
Bertitik tolak dari konsep pendidikan tersebut maka konsep pendidikan
kesehatan itu juga proses belajar pada individu, kelompok atau masyarakat dari

tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak mampu
mengatasi masalah-masalah kesehatannya sendiri menjadi mampu, dan lain
sebagainya.
Berangkat dari konsep pendidikan kesehatan dan bagan di bawah, pendidikan
kesehatan didefenisikan sebagai usaha atau kegiatan untuk membantu individu,
kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan (perilaku)nya /
mereka untuk mencapai kesehatannya / kesehatan mereka secara optimal.
Disamping konsep pendidikan kesehatan tersebut di atas, para ahli pendidikan
kesehatan juga telah mencoba membuat batasan tentang pendidikan kesehatan
yang berbeda-beda sesuai dengan konsep mereka masing-masing tentang
pendidikan. Batasan-batasan yang sering dijadikan acuan antara lain dari
Nyswander, Stuart, Green, tim ahli WHO dan lain sebagainya.
3. Proses Pendidikan Kesehatan
Seperti telah disebutkan di atas bahwa prinsip pokok pendidikan kesehatan
adalah proses belajar. Didalam kegiatan belajar terdapat 3 persoalan pokok,
yakni persoalan masukan (input), proses dan persoalan keluaran (output).
Persoalan masukan dalam pendidikan kesehatan adalah menyangkut sasaran
belajar (sasaran didik) yaitu individu, kelompok, atau masyarakat yang sedang
belajar itu sendiri dengan berbagai latar belakangnya.
Persoalan proses adalah mekanisme dan interaksi terjadinya perubahan
kemampuan (perilaku) pada diri subjek belajar tersebut. Didalam proses ini
terjadi perubahan timbal balik antara berbagai faktor, antara lain : subjek belajar,
pengajar (pendidik atau fasilitator), metode & teknik belajar, alat bantu belajar,
dan materi atau bahan yang dipelajari.
Sedangkan keluaran adalah merupakan hasil belajar itu sendiri yaitu berupa
kemampuan atau perubahan perilaku dari subjek belajar. Proses kegiatan belajar
tersebut dapat digambarkan pada bagan di bawah !
Beberapa ahli pendidikan mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi
proses belajar ke dalam 4 kelompok besar, yakni faktor materi (bahan belajar),
lingkungan, instrumental dan subjek belajar.
Faktor instrumental ini terdiri dari perangkat keras (hardware) seperti
perlengkapan belajar dan alat-alat peraga dan perangkat lunak (software) seperti
fasilitator belajar, metode belajar, organisasi dan sebagainya. Dalam pendidikan
kesehatan subjek belajar ini dapat berupa individu, kelompok atau masyarakat.

Update : 2 Juni 2006


Sumber :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

RULING PENDIDIKAN KESEHATAN


Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi, antara
lain dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau aplikasinya,
dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan.
Dari dimensi sasarannya, pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 3
yakni :
a. Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu.
b. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok.
c. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas.

Dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung di


berbagai tempat, dengan sendirinya sasarannya berbeda pula, misalnya :
a. Pendidikan kesehatan di sekolah, dilakukan di sekolah dengan sasaran murid.
b. Pendidikan kesehatan di rumah sakit, dilakukan di rumah-rumah sakit dengan
sasaran pasien atau keluarga pasien, di puskesmas, dan sebagainya.
c. Pendidikan kesehatan di tempat-tempat kerja dengan sasaran buruh atau
karyawan yang bersangkutan.
Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat dilakukan
berdasarkan 5 tingkat pencegahan (five levels of prevention) dari Leavel dan
Clark, sebagai berikut :
a. Promosi kesehatan (health promotion)
Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam
peningkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan, higiene
perorangan, dan sebagainya.
b. Perlindungan khusus (specific protection)
Dalam program imunisasi sebagai bentuk pelayanan perlindungan khusus ini
pendidikan kesehatan sangat diperlukan terutama di negara-negara
berkembang. Hal ini karena kesadaran masyarakat tentang pentingnya
imunisasi sebagai perlindungan terhadap penyakit pada dirinya maupun pada
anak-anaknya masih rendah.
c. Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt
treatment)
Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap
kesehatan dan penyakit maka sering sulit mendeteksi penyakit-penyakit yang
terjadi di masyarakat. Bahkan kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak mau
diperiksa dan diobati penyakitnya. Hal ini akan menyebabkan masyarakat
tidak
memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Oleh sebab itu
pendidikan kesehatan sangat diperlukan pada tahap ini.
d. Pembatasan cacat (disability limitation)
Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang
kesehatan dan penyakit maka sering masyarakat tidak melanjutkan
pengobatannya sampai tuntas. Dengan kata lain mereka tidak melakukan
pemeriksaan dan pengobatan yang komplit terhadap penyakitnya.
Pengobatan
yang tidak layak dan sempurna dapat mengakibatkan orang
yang bersangkutan
cacat atau ketidakmampuan. Oleh karena itu,
pendidikan kesehatan juga diperlukan pada tahap ini.
e. Rehabilitasi (rehabilitation)
Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang menjadi
cacat. Untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan

latihan- latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran


orang tersebut, ia tidak atau segan melakukan latihan-latihan yang
dianjurkan.
Disamping itu orang yang cacat setelah sembuh dari penyakit,
kadang-kadang
malu untuk kembali ke masyarakat. Sering terjadi pula
masyarakat tidak mau
menerima mereka sebagai anggota masyarakat
yang normal. Oleh sebab itu
jelas pendidikan kesehatan diperlukan bukan
saja untuk orang yang cacat
tersebut tetapi juga perlu pendidikan
kesehatan kepada masyarakat.
Update : 20 Juni 2006
Sumber :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu
Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

Kesehatan

PERILAKU KESEHATAN
1. Konsep Perilaku
Sebelum kita membicarakan tentang perilaku kesehatan, terlebih dahulu akan
dibuat batasan tentang perilaku itu sendiri. Perilaku dari pandangan biologis
adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan.
Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu
sendiri.
Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas,
mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, dan sebagainya. Bahkan
kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi juga

merupakan perilaku manusia. Untuk kepentingan kerangka analisis dapat


dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut,
baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung.
Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut
dipengaruhi baik oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum
dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan ini merupakan penentu
dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia.
Hereditas atau faktor keturunan adalah adalah konsepsi dasar atau modal untuk
perkembangan perilaku makhluk hidup itu untuk selanjutnya. Sedangkan
lingkungan adalah suatu kondisi atau merupakan lahan untuk perkembangan
perilaku tersebut. Suatu mekanisme pertemuan antara kedua faktor tersebut
dalam rangka terbentuknya perilaku disebut proses belajar (learning process).
Skinner (1938) seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku
merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan
(respon). Ia membedakan adanya 2 respons, yakni :
a. Respondent Respons atau Reflexive Respons
Adalah respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu.
Perangsangan-perangsangan semacam ini disebut eliciting stimuli karena
menimbulkan respons-respons yang relatif tetap, misalnya makanan lezat
menimbulkan keluarnya air liur, cahaya yang kuat akan menyebabkan mata
tertutup, dan sebagainya. Pada umumnya perangsangan-perangsangan yang
demikian itu mendahului respons yang ditimbulkan.
Respondent respons (respondent behaviour) ini mencakup juga emosi respons
atau emotional behaviour. Emotional respons ini timbul karena hal yang kurang
mengenakkan organisme yang bersangkutan, misalnya menangis karena sedih
atau sakit, muka merah (tekanan darah meningkat karena marah). Sebaliknya
hal-hal yang mengenakkan pun dapat menimbulkan perilaku emosional misalnya
tertawa, berjingkat-jingkat karena senang dan sebagainya.
b. Operant Respons atau Instrumental Respons
Adalah respons yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang
tertentu. Perangsang semacam ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer
karena perangsangan-perangsangan tersebut memperkuat respons yang telah
dilakukan oleh organisme.
Oleh sebab itu, perangsang yang demikian itu mengikuti atau memperkuat suatu
perilaku yang telah dilakukan. Apabila seorang anak belajar atau telah
melakukan suatu perbuatan kemudian memperoleh hadiah maka ia akan
menjadi lebih giat belajar atau akan lebih baik lagi melakukan perbuatan

tersebut. Dengan kata lain responnya akan lebih intensif atau lebih kuat lagi.
Didalam kehidupan sehari-hari, respons jenis pertama (responden respons atau
respondent behaviour) sangat terbatas keberadaannya pada manusia. Hal ini
disebabkan karena hubungan yang pasti antara stimulus dan respons,
kemungkinan untuk memodifikasinya adalah sangat kecil.
Sebaliknya operant respons atau instrumental behaviour merupakan bagian
terbesar dari perilaku manusia dan kemungkinan untuk memodifikasi sangat
besar bahkan dapat dikatakan tidak terbatas. Fokus teori Skinner ini adalah pada
respons atau jenis perilaku yang kedua ini.
1.1 Prosedur Pembentukan Perilaku
Seperti telah disebutkan diatas, sebagian besar perilaku manusia adalah operant
respons. Untuk itu untuk membentuk jenis respons atau perilaku ini perlu
diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning.
Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning ini menurut Skinner
adalah sebagai berikut :
a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau
reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan
dibentuk.
b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang
membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen
tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya
perilaku yang dimaksud.
c. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuantujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masingmasing komponen tersebut.
d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen
yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan maka
hadiahnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku
(tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau perilaku ini
sudah terbentuk kemudian dilakukan komponen (perilaku) yang kedua, diberi
hadiah (komponen pertama tidak memerlukan hadiah lagi), demikian
berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan
dengan komponen ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku
yang diharapkan terbentuk.
Sebagai ilustrasi, misalnya dikehendaki agar anak mempunyai kebiasaan
menggosok gigi sebelum tidur. Untuk berperilaku seperti ini maka anak tersebut
harus :
a. Pergi ke kamar mandi sebelum tidur.
b. Mengambil sikat dan odol.

c. Mengambil air dan berkumur.


d. Melaksanakan gosok gigi.
e. Menyimpan sikat gigi dan odol.
f. Pergi ke kamar tidur.
Kalau dapat diidentifikasi hadiah-hadiah (tidak berupa uang) bagi masing-masing
komponen perilaku tersebut (komponen a-e) maka akan dapat dilakukan
pembentukan kebiasaan tersebut. Contoh tersebut di atas adalah suatu
penyederhanaan prosedur pembentukan perilaku melalui operant conditioning.
Didalam kenyataannya prosedur ini banyak dan bervariasi sekali dan lebih
kompleks dari contoh tersebut diatas. Teori Skinner ini sangat besar
pengaruhnya terutama di Amerika Serikat. Konsep-konsep behaviour control,
behaviour theraphy dan behaviour modification yang dewasa ini berkembang
adalah bersumber pada teori ini.
1.2 Bentuk Perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau
seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respons ini
berbentuk 2 macam, yakni :
a. Bentuk pasif adalah respons internal yaitu yang terjadi didalam diri manusia
dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir,
tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan. Misalnya seorang ibu tahu bahwa
imunisasi itu dapat mencegah suatu penyakit tertentu meskipun ibu tersebut
tidak membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi. Contoh lain seorang
yang menganjurkan orang lain untuk mengikuti keluarga berencana meskipun ia
sendiri tidak ikut keluarga berencana.
Dari kedua contoh tersebut terlihat bahwa ibu telah tahu gunanya imunisasi dan
contoh kedua orang tersebut telah mempunyai sikap yang positif untuk
mendukung keluarga berencana meskipun mereka sendiri belum melakukan
secara konkret terhadap kedua hal tersebut. Oleh sebab itu perilaku mereka ini
masih terselubung (covert behaviour).
b. Bentuk aktif yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung.
Misalnya pada kedua contoh di atas, si ibu sudah membawa anaknya ke
puskesmas atau fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi dan orang pada kasus
kedua sudah ikut keluarga berencana dalam arti sudah menjadi akseptor KB.
Oleh karena perilaku mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata
maka disebut overt behaviour.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan sikap adalah
merupakan respons seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih
bersifat terselubung dan disebut covert behaviour. Sedangkan tindakan nyata

seseorang sebagai respons seseorang terhadap stimulus (practice) adalah


merupakan overt behaviour.
2. Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme)
terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan serta lingkungan.
Batasan ini mempunyai 2 unsur pokok, yakni respons dan stimulus atau
perangsangan.
Respons atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan
sikap) maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice). Sedangkan
stimulus atau rangsangan disini terdiri 4 unsur pokok, yakni sakit & penyakit,
sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan.
Dengan demikian secara lebih terinci perilaku kesehatan itu mencakup :
a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia
berespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan mempersepsi penyakit
atau rasa sakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya, maupun aktif (tindakan)
yang dilakukan sehubungan dengan penyakit atau sakit tersebut.
Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan
tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yakni :
- Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health
promotion behaviour). Misalnya makan makanan yang bergizi, olah raga, dan
sebagainya.
- Perilaku pencegahan penyakit (health preevention behaviour) adalah respons
untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya tidur memakai kelambu untuk
mencegah gigitan nyamuk malaria, imunisasi, dan sebagainya. Termasuk
perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain.
- Perilaku sehubungan dengan pencarian penngobatan (health seeking
behaviour), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan, misalnya
usaha-usaha mengobati sendiri penyakitnya atau mencari pengobatan ke
fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesmas, mantri, dokter praktek, dan
sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinshe, dan
sebagainya).
- Perilaku sehubungan dengan pemulihan kessehatan (health rehabilitation
behaviour) yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan
kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit. Misalnya melakukan diet,

mematuhi anjuran-anjuran dokter dalam rangka pemulihan kesehatannya).


b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respons seseorang
terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern
maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas
pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan dan obat-obatannya, yang
terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas
dan obat-obatan.
c. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour) yakni respons seseorang
terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi
pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek kita terhadap makanan serta unsurunsur yang terkandung didalamnya (zat gizi), pengelolaan makanan, dan
sebagainya sehubungan kebutuhan tubuh kita.
d. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (enviromental health behaviour)
adalah respons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan
manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan lingkungan itu sendiri.
Perilaku ini antara lain mencakup :
- Perilaku sehubungan dengan air bersih, ttermasuk didalamnya komponen,
manfaat, dan penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan.
- Perilaku sehubungan dengan pembuangan aiir kotor, yang menyangkut segi
segi higiene, pemeliharaan teknik, dan penggunaannya.
- Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair.
Termasuk didalamnya sistem pembuangan sampah dan air limbah yang sehat
serta dampak pembuangan limbah yang tidak baik.
- Perilaku sehubungan dengan rumah yang seehat, yang meliputi ventilasi,
pencahayaan, lantai, dan sebagainya.
- Perilaku sehubungan dengan pembersihan ssarang-sarang nyamuk (vektor)
dan sebagainya.
Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau reaksi
organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi
apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang
disebut rangsangan. Dengan demikian maka suatu rangsangan akan
menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.
Robert Kwick (1974) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau
perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari.
Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan
untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang
menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi
objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia.
Didalam suatu pembentukan dan atau perubahan, perilaku dipengaruhi oleh

beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktorfaktor tersebut antara lain susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, proses
belajar, lingkungan, dan sebagainya.
Susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku manusia
karena merupakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsangan yang masuk
menjadi perbuatan atau tindakan. Perpindahan ini dilakukan oleh susunan saraf
pusat dengan unit-unit dasarnya yang disebut neuron.
Neuron memindahkan energi-energi didalam impuls-impuls saraf. Impuls-impuls
saraf indera pendengaran, penglihatan, pembauan, pengecapan dan perabaan
disalurkan dari tempat terjadinya rangsangan melalui impuls-impuls saraf ke
susunan saraf pusat.
Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui
persepsi. Persepsi sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui panca indera.
Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda meskipun mengamati objek
yang sama. Motivasi yang diartikan sebagai suatu dorongan untuk bertindak
dalam rangka mencapai suatu tujuan, juga dapat terwujud dalam bentuk
perilaku.
Perilaku juga dapat timbul karena emosi. Aspek psikologis yang mempengaruhi
emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, yang pada hakekatnya
merupakan faktor keturunan (bawaan). Manusia dalam mencapai kedewasaan
semua aspek tersebut diatas akan berkembang sesuai dengan hukum
perkembangan.
Belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang dihasilkan dari
praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Belajar adalah suatu perubahan
perilaku yang didasari oleh perilaku terdahulu (sebelumnya). Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa perilaku itu dibentuk melalui suatu proses dan
berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi 2, yakni faktor intern
dan ekstern.
Faktor intern mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi
dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar.
Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik
seperti iklim, manusia, sosial ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa perilaku merupakan konsepsi yang tidak
sederhana, sesuatu yang kompleks, yakni suatu pengorganisasian prosesproses psikologis oleh seseorang yang memberikan predisposisi untuk
melakukan responsi menurut cara tertentu terhadap suatu objek.
Becker (1979) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan

kesehatan (health related behavior) sebagai berikut :


a. Perilaku kesehatan (health behavior) yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit,
kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan sebagainya.
b. Perilaku sakit (illness behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang
dilakukan seorang individu yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal
keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk disini kemampuan atau
pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit serta
usaha-usaha mencegah penyakit tersebut.
c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yakni segala tindakan atau
kegiatan yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh
kesembuhan. Perilaku ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan /
kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain terutama kepada
anak-anak yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab terhadap
kesehatannya.
Saparinah Sadli (1982) menggambarkan individu dengan lingkungan sosial yang
saling mempengaruhi didalam suatu diagram.
Keterangan :
a. Perilaku kesehatan individu; sikap dan kebiasaan individu yang erat kaitannya
dengan lingkungan.
b. Lingkungan keluarga; kebiasaan-kebiasaan tiap anggota keluarga mengenai
kesehatan.
c. Lingkungan terbatas; tradisi, adat-istiadat dan kepercayaan masyarakat
sehubungan dengan kesehatan.
d. Lingkungan umum; kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang kesehatan,
undang-undang kesehatan, program-program kesehatan, dan sebagainya.
Setiap individu sejak lahir terkait didalam suatu kelompok, terutama kelompok
keluarga. Dalam keterkaitannya dengan kelompok ini membuka kemungkinan
untuk dipengaruhi dan mempengaruhi anggota-anggota kelompok lain. Oleh
karena pada setiap kelompok senantiasa berlaku aturan-aturan atau normanorma sosial tertentu maka perilaku tiap individu anggota kelompok berlangsung
didalam suatu jaringan normatif. Demikian pula perilaku individu tersebut
terhadap masalah-masalah kesehatan.
Kosa dan Robertson mengatakan bahwa perilaku kesehatan individu cenderung
dipengaruhi oleh kepercayaan orang yang bersangkutan terhadap kondisi
kesehatan yang diinginkan dan kurang berdasarkan pada pengetahuan biologi.
Memang kenyataannya demikian, tiap individu mempunyai cara yang berbeda
dalam mengambil tindakan penyembuhan atau pencegahan yang berbeda

meskipun gangguan kesehatannya sama.


Pada umumnya tindakan yang diambil berdasarkan penilaian individu atau
mungkin dibantu oleh orang lain terhadap gangguan tersebut. Penilaian
semacam ini menunjukkan bahwa gangguan yang dirasakan individu
menstimulasikan dimulainya suatu proses sosial psikologis. Proses semacam ini
menggambarkan berbagai tindakan yang dilakukan si penderita mengenai
gangguan yang dialami dan merupakan bagian integral interaksi sosial pada
umumnya.
Proses ini mengikuti suatu keteraturan tertentu yang dapat diklasifikasikan dalam
4 bagian, yakni :
a. Adanya suatu penilaian dari orang yang bersangkutan terhadap suatu
gangguan atau ancaman kesehatan. Dalam hal ini persepsi individu yang
bersangkutan atau orang lain (anggota keluarga) terhadap gangguan tersebut
akan berperan. Selanjutnya gangguan dikomunikasikan kepada orang lain
(anggota keluarga) dan mereka yang diberi informasi tersebut menilai dengan
kriteria subjektif.
b. Timbulnya kecemasan karena adanya persepsi terhadap gangguan tersebut.
Disadari bahwa setiap gangguan kesehatan akan menimbulkan kecemasan baik
bagi yang bersangkutan maupun bagi anggota keluarga lainnya. Bahkan
gangguan tersebut dikaitkan dengan ancaman adanya kematian. Dari ancamanancaman ini akan menimbulkan bermacam-macam bentuk perilaku.
c. Penerapan pengatahuan orang yang bersangkutan mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan masalah kesehatan, khususnya mengenai gangguan yang
dialaminya. Oleh karena gangguan kesehatan terjadi secara teratur didalam
suatu kelompok tertentu maka setiap orang didalam kelompok tersebut dapat
menghimpun pengetahuan tentang berbagai macam gangguan kesehatan yang
mungkin terjadi.
Dari sini sekaligus orang menghimpun berbagai cara mengatasi gangguan
kesehatan itu, baik secara tradisional maupun modern. Berbagai cara penerapan
pengetahuan baik dalam menghimpun berbagai macam gangguan maupun caracara mengatasinya tersebut merupakan pencerminan dari berbagai bentuk
perilaku.
d. Dilakukannya tindakan manipulatif untuk meniadakan atau menghilangkan
kecemasan atau gangguan tersebut. Didalam hal ini baik orang awam maupun
tenaga kesehatan melakukan manipulasi tertentu dalam arti melakukan sesuatu
untuk mengaatasi gangguan kesehatan. Dari sini lahirlah pranata-pranata
kesehatan baik tradisional maupun modern.

Update : 25 Juli 2006


Sumber :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu
Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

Kesehatan

PERUBAHAN PERILAKU DAN PROSES BELAJAR

Terbentuknya perilaku dapat terjadi karena proses kematangan dan dari proses
interaksi dengan lingkungan. Cara yang kedua inilah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perilaku manusia.

Terbentuknya dan perubahan perilaku karena proses interaksi antara individu


dengan lingkungan ini melalui suatu proses yakni proses belajar. Oleh sebab itu,
perubahan perilaku dan proses belajar itu sangat erat kaitannya. Perubahan
perilaku merupakan hasil dari proses belajar.
Dibawah ini akan diuraikan beberapa teori proses belajar.
1. Teori Stimulus dan Transformasi
Perkembangan teori proses belajar yang ada dapat dikelompokkan kedalam 2
kelompok besar, yakni stimulus-respons yang kurang memperhitungkan faktor
internal dan teori transformasi yang telah memperhitungkan faktor internal.
Teori stimulus-respons yang berpangkal pada psikologi asosiasi dirintis oleh
John Locke dan Heart. Didalam teori ini apa yang terjadi pada diri subjek belajar
merupakan rahasia atau biasa dilihat sebagai kotak hitam (black box).
Belajar adalah mengambil tanggapan-tanggapan dan menghubungkan
tanggapan-tanggapan dengan mengulang-ulang. Tanggapan-tanggapan tersebut
diperoleh melalui pemberian stimulus atau rangsangan-rangsangan. Makin
banyak dan sering diberikan stimulus maka makin memperkaya tanggapan pada
subjek belajar. Teori ini tidak memperhitungkan faktor internal yang terjadi pada
subjek belajar.
Kelompok teori proses belajar yang kedua sudah memperhitungkan faktor
internal, antar lain :
a. Teori transformasi yang berlandaskan pada psikologi kognitif seperti yang
dirumuskan oleh Neiser, yang mengatakan bahwa proses belajar adalah
transformasi dari masukan (input) kemudian input tersebut direduksi, diuraikan,
disimpan, ditemukan kembali dan dimanfaatkan.
Transformasi dari input sensoris bersifat aktif melalui proses seleksi untuk
dimasukkan ke dalam ingatan (memory). Meskipun teori ini dikembangkan
berdasarkan psikologi kognitif tetapi tidak membatasi penelaahannya pada
domain pengetahuan (kognitif) saja tetapi juga meliputi domain yang lain (afektif
dan psikomotor).
Para ahli psikologi kognitif juga memperhitungkan faktor eksternal dan internal
dalam mengembangkan teorinya. Mereka berpendapat bahwa kegiatan belajar
merupakan proses yang bersifat internal dimana setiap proses tersebut
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, antara lain metode pengajaran. Proses
ini dapat digambarkan pada diagram (lihat gambar).
b. Teori Gestalt mendasarkan pada teori belajar pada psikologi Gestalt yang

beranggapan bahwa setiap fenomena terdiri dari suatu kesatuan esensial yang
melebihi jumlah unsur-unsurnya.
Bahwa keseluruhan itu lebih daripada bagian-bagiannya. Didalam peristiwa
belajar, keseluruhan situasi belajar itu amat penting karena belajar merupakan
interaksi antara subjek belajar dengan lingkungannya. Selanjutnya para ahli
psikologi Gestalt tersebut menyimpulkan, seseorang dikatakan belajar bila ia
memperoleh pemahaman (insight) dalam situasi problematis.
Pemahaman itu ditandai dengan adanya a) suatu perubahan yang tiba-tiba dari
keadaan yang tak berdaya menjadi keadaan yang mampu menguasai atau
memecahkan masalah (problem) b) adanya retensi c) adanya peristiwa transfer.
Pemahaman yang diperoleh dari situasi, dibawa dan dimanfaatkan atau
ditransfer ke dalam situasi lain yang mempunyai pola atau struktur yang sama
atau hampir sama secara keseluruhannya (bukan detailnya).
2. Teori-Teori Belajar Sosial (Social Learning)
Untuk melangsung kehidupan, manusia perlu belajar. Dalam hal ini ada 2 macam
belajar, yaitu belajar secara fisik, misalnya menari, olah raga, mengendarai
mobil, dan sebagainya, dan belajar psikis.
Dalam belajar psikis ini termasuk juga belajar sosial (social learning) dimana
seseorang mempelajari perannya dan peran-peran orang lain dalam konteks
sosial. Selanjutnya orang tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya dengan
peran orang lain atau peran sosial yang telah dipelajari.
Cara yang sangat penting dalam belajar sosial menurut teori stimulus-respons
adalah tingkah laku tiruan (imitation). Teori dengan tingkah laku tiruan yang
penting disajikan disini adalah teori dari Millers, NE dan Dollard, serta teori
Bandura A. dan Walter RH.
2.1 Teori Belajar Sosial dan Tiruan Dari Millers dan Dollard
Pandangan Millers dan Dollard bertitik tolak pada teori Hull yang kemudian
dikembangkan menjadi teori tersendiri. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku
manusia itu merupakan hasil belajar. Oleh karena itu untuk memahami tingkah
laku sosial dan proses belajar sosial, kita harus mengetahui prinsip-prinsip
psikologi belajar.
Prinsip belajar itu terdiri dari 4, yakni dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku
balas (respons), dan ganjaran (reward). Keempat prinsip ini saling mengait satu
sama lain, yaitu dorongan menjadi isyarat, isyarat menjadi respons, respons
menjadi ganjaran, dan seterusnya.
Dorongan adalah rangsangan yang sangat kuat terhadap organisme (manusia)

untuk bertingkah laku. Stimulus-stimulus yang cukup kuat pada umumnya


bersifat biologis seperti lapar, haus, seks, kejenuhan, dan sebagainya. Stimulusstimulus ini disebut dorongan primer yang menjadi dasar utama untuk motivasi.
Menurut Miller dan Dollard semua tingkah laku (termasuk tingkah laku tiruan)
didasari oleh dorongan-dorongan primer ini.
Isyarat adalah rangsangan yang menentukan bila dan dimana suatu respons
akan timbul dan terjadi. Isyarat ini dapat disamakan dengan rangsangan
diskriminatif. Didalam belajar sosial, isyarat yang terpenting adalah tingkah laku
orang lain, baik yang langsung ditujukan orang tertentu maupun yang tidak,
misalnya anggukan kepala merupakan isyarat untuk setuju, uluran tangan
merupakan isyarat untuk berjabat tangan.
Mengenai tingkah laku balas (respons), mereka berpendapat bahwa manusia
mempunyai hirarki bawaan tingkah laku. Pada saat manusia dihadapkan untuk
pertama kali kepada suatu rangsangan tertentu maka respons (tingkah laku
balas) yang timbul didasarkan pada hirarki bawaan tersebut. Setelah beberapa
kali terjadi ganjaran dan hukuman maka tingkah laku balas yang sesuai dengan
faktor-faktor penguat tersebut disusun menjadi hirarki resultan (resultant
hierarchy of respons).
Disinilah pentingnya belajar dengan coba-coba dan ralat (trial and error learning).
Dalam tingkah laku sosial, belajar coba-ralat dikurangi dengan belajar tiruan
dimana seseorang tinggal meniru tingkah laku orang lain untuk dapat
memberikan respons yang tepat. Sehingga ia tidak perlu membuang waktu untuk
belajar dengan coba-ralat.
Ganjaran adalah rangsang yang menetapkan apakah tingkah laku balas diulang
atau tidak dalam kesempatan yang lain. Menurut Miller dan Dollard ada 2 reward
atau ganjaran, yakni ganjaran primer yang memenuhi dorongan-dorongan primer
dan ganjaran sekunder yang memenuhi dorongan-dorongan sekunder.
Lebih lanjut mereka membedakan 3 macam mekanisme tingkah laku tiruan,
yakni :
a. Tingkah Laku Sama
Tingkah laku ini terjadi pada 2 orang yang bertingkah laku balas (respons) sama
terhadap rangsangan atau isyarat yang sama. Contoh 2 orang yang berbelanja
di toko yang sama dan dengan barang yang sama. Tingkah laku yang sama ini
tidak selalu hasil tiruan maka tidak dibahas lebih lanjut oleh pembuat teori.
b. Tingkah laku Tergantung (Matched Dependent Behavior)
Tingkah laku ini timbul dalam interaksi antara 2 pihak dimana salah satu pihak
mempunyai kelebihan (lebih pandai, lebih mampu, lebih tua, dan sebagainya)

dari pihak yang lain. Dalam hal ini, pihak yang lain atau pihak yang kurang
tersebut akan menyesuaikan tingkah laku (match) dan akan tergantung
(dependent) pada pihak yang lebih.
Misalnya kakak adik yang sedang bermain menunggu ibunya pulang dari pasar.
Biasanya ibu mereka membawa coklat. Terdengar ibunya pulang, kakak segera
menjemput ibunya kemudian diikuti oleh adiknya. Ternyata mereka mendapatkan
coklat (ganjaran). Adiknya yang semula hanya meniru tingkah laku kakaknya,
dilain waktu meskipun kakaknya tidak ada, ia akan lari menjemput ibunya yang
baru pulang dari pasar.
c. Tingkah Laku Salinan (Copying Behavior)
Seperti tingkah laku tergantung, pada tingkah laku salinan, peniru bertingkah
laku atas dasar isyarat yang berupa tingkah laku pula yang diberikan oleh model.
Demikian juga dalam tingkah laku salinan ini, pengaruh ganjaran dan hukuman
sangat besar terhadap kuat atau lemahnya tingkah laku tiruan.
Perbedaannya dengan tingkah laku tergantung adalah dalam tingkah laku
tergantung ini si peniru hanya bertingkah laku terhadap isyarat yang diberikan
oleh model pada saat itu saja. Sedangkan pada tingkah laku salinan, si peniru
memperhatikan juga tingkah laku model di masa yang lalu maupun yang akan
dilakukan di waktu mendatang.
Hal ini berarti perkiraan tentang tingkah laku model dalam kurun waktu yang
relatif panjang ini akan dijadikan patokan oleh di peniru untuk memperbaiki
tingkah lakunya sendiri dimasa yang akan datang sehingga lebih mendekati
tingkah laku model.
3. Teori Belajar Sosial dari Bandura dan Walter
Teori belajar sosial yang dikemukakan Bandura dan Walter ini disebut teori
proses pengganti. Teori ini menyatakan bahwa tingkah laku tiruan adalah suatu
bentuk asosiasi dari rangsang dengan rangsang lainnya. Penguat
(reinforcement) memang memperkuat tingkah laku balas (respons) tetapi dalam
proses belajar sosial, hal ini tidak terlalu penting.
Aplikasi teori ini adalah apabila seseorang melihat suatu rangsang dan ia melihat
model bereaksi secara tertentu terhadap rangsang itu maka dalam khayalan atau
imajinasi orang tersebut, terjadi rangkaian simbol-simbol yang menggambarkan
rangsang dari tingkah laku tersebut. Rangkaian simbol-simbol ini merupakan
pengganti dari hubungan rangsang balas yang nyata dan melalui asosiasi, si
peniru akan melakukan tingkah laku yang sama dengan tingkah laku model.
Terlepas dari ada atau tidak adanya rangsang, proses asosiasi tersembunyi ini
sangat dibantu oleh kemampuan verbal seseorang. Selain dari itu, dalam proses

ini tidak ada cara-coba dan ralat (trial and error) yang berupa tingkah laku nyata
karena semuanya berlangsung secara tersembunyi dalam diri individu.
Hal yang penting disini adalah pengaruh tingkah laku model pada tingkah laku
peniru. Menurut Bandura, pengaruh tingkah laku model terhadap tingkah laku
peniru ini dibedakan menjadi 3 macam, yakni :
a. Efek modeling (modelling effect), yaitu peniru melakukan tingkah-tingkah laku
baru melalui asosiasi sehingga sesuai dengan tingkah laku model.
b. Efek menghambat (inhibition) dan menghapus hambatan (disinhibition)
dimana tingkah-tingkah laku yang tidak sesuai dengan tingkah laku model
dihambat timbulnya sedangkan tingkah laku yang sesuai dengan tingkah laku
model dihapuskan hambatannya sehingga timbul tingkah laku yang dapat
menjadi nyata.
c. Efek kemudahan (facilitation effect), yaitu tingkah-tingkah laku yang sudah
pernah dipelajari oleh peniru lebih mudah muncul kembali dengan mengamati
tingkah laku model.
Akhirnya bandura dan Walter menyatakan bahwa teori proses pengganti ini
dapat pula menerangkan gejala timbulnya emosi pada peniru yang sama dengan
emosi yang ada pada model. Contohnya seseorang yag mendengar atau melihat
gambar tentang kecelakaan yang mengerikan maka ia berdesis, menyeringai
bahkan sampai menangis ikut merasakan penderitaan tersebut.
RULING KESMAS
Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling
berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Demikian
pula pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari segi
kesehatannya sendiri tetapi harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya
terhadap masalah "sehat-sakit" atau kesehatan tersebut.
Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun
kesehatan masyarakat, untuk hal ini Hendrik L. Blum menggambarkan secara
ringkas (lihat bagan Faktor yang Mempengaruhi Status Kesehatan di bawah !)
Keempat faktor tersebut (keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayan
kesehatan) disamping berpengaruh langsung kepada kesehatan, juga saling
berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal
bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi
yang optimal pula. Salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu
(tidak optimal) maka status kesehatan akan tergeser ke arah dibawah optimal.
Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan

lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya


status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan
tersebut antara lain mencakup perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja),
penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah),
rumah hewan ternak (kandang) dan sebagainya.
Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan lingkungan adalah suatu
usaha untuk memperbaiki atau mengoptimumkan lingkungan hidup manusia
agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan optimum bagi
manusia yang hidup di dalamnya.
Usaha memperbaiki atau meningkatkan kondisi lingkungan ini dari masa ke
masa dan dari masyarakat satu ke masyarakat yang lain bervariasi dan
bertingkat-tingkat, dari yang paling sederhana (primitif) sampai kepada yang
paling mutakhir (modern).
Dengan perkataan lain bahwa teknologi di bidang kesehatan lingkungan sangat
bervariasi, dari teknologi primitif, teknologi menengah (teknologi tepat guna)
sampai dengan teknologi mutakhir.
Mengingat bahwa masalah kesehatan lingkungan di negara-negara yang sedang
berkembang adalah berkisar pada sanitasi (jamban), penyediaan air minum,
perumahan (housing), pembuangan sampah, dan pembuangan air limbah (air
kotor) maka hanya akan dibahas kelima masalah tersebut.
KESEHATAN KERJA
Dalam uraian sebelumnya telah dinyatakan bahwa yang menjadi objek kajian
ilmu kesehatan masyarakat adalah masyarakat terutama dari aspek
kesehatannya, atau yang menjadi pasien kesehatan masyarakat adalah
masyarakat.
Kesehatan kerja adalah aplikasi kesehatan masyarakat didalam suatu tempat
kerja (perusahaan, pabrik, kantor dan sebagainya) dan yang menjadi pasien dari
kesehatan kerja ialah masyarakat pekerja dan masyarakat sekitar perusahaan
tersebut.
Apabila didalam kesehatan masyarakat ciri pokoknya adalah upaya preventif
(pencegahan penyakit) dan promotif (peningkatan kesehatan) maka dalam
kesehatan kerja maka kedua hal tersebut juga menjadi ciri pokok.
Oleh sebab itu, dalam kesehatan kerja pedomannya ialah : "Penyakit dan
kecelakaan akibat kerja dapat dicegah", maka upaya pokok kesehatan kerja
ialah pencegahan kecelakaan akibat kerja.
Disamping itu, dalam kaitannya dengan masyarakat di sekitar perusahaan,

kesehatan kerja juga mengupayakan agar perusahaan tersebut dapat mencegah


timbulnya penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh limbah atau produk
perusahaan tersebut. Sedangkan upaya promotif berpedoman, bahwa dengan
meningkatnya kesehatan kerja akan meningkatkan juga produktivitas kerja.
Oleh karena itu, upaya pokok kesehatan kerja yang kedua adalah promosi
(peningkatan) kesehatan masyarakat pekerja dalam rangka peningkatan
produktivitas kerja.
Seperti halnya pada kesehatan masyarakat, meskipun fokus kegiatannya pada
preventif dan promotif tetapi tidak berarti meninggalkan sama sekali upayaupaya kuratif. Dalam kesehatan kerja juga tidak meninggalkan sama sekali
upaya-upaya kuratif, dalam batas-batas pelayanan dasar (primary care).
Hal ini berarti kesehatan kerja didalam suatu perusahaan, meskipun upaya
pokoknya pencegahan penyakit dan kecelakaan akibat kerja serta promosi
kesehatan kerja, namun perlu dilengkapi dengan pelayanan pemeriksaan dan
pengobatan penyakit atau kecelakaan yang terjadi pada pekerja atau
keluarganya.
Keluarga pekerja memang bukan secara langsung menjadi anggota masyarakat
pekerja, namun peranan keluarga (isteri atau suami) sangat penting dalam
mencegah penyakit dan kecelakaan kerja serta peningkatan kesehatan pekerja.
Dari aspek ekonomi penyelenggaraan kesehatan kerja bagi suatu perusahaan
adalah sangat menguntungkan, karena tujuan akhir dari kesehatan kerja adalah
untuk meningkatkan produktivitas seoptimal mungkin. Dengan tidak terjadinya
penyakit dan kecelakaan akibat kerja maka berarti tidak adanya absentisme
pada pekerja.
Selain itu, dengan meningkatnya status kesehatan yang seoptimal mungkin bagi
setiap pekerja sudah barang tentu akan berpengaruh terhadap meningkatnya
produktivitas. Tidak adanya absentisme (atau rendahnya angka absentisme) dan
meningkatnya status kesehatan pekerja ini jelas akan meningkatkan efisiensi,
yang bermuara terhadap meningkatnya keuntungan perusahaan.
Dari uraian tersebut di atas dirumuskan, kesehatan kerja merupakan bagian dari
kesehatan masyarakat atau aplikasi kesehatan masyarakat didalam suatu
masyarakat pekerja dan masyarakat lingkungannya.
Kesehatan kerja bertujuan untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggitingginya, baik fisik, mental, dan sosial bagi masyarakat pekerja dan masyarakat
lingkungan perusahaan tersebut, melalui usaha-usaha preventif, promotif dan
kuratif terhadap penyakit-penyakit atau gangguan-gangguan kesehatan akibat
kerja atau lingkungan kerja.

Kesehatan kerja ini merupakan terjemahan dari "Occupational Health" yang


cenderung diartikan sebagai lapangan kesehatan yang mengurusi masalahmasalah kesehatan secara menyeluruh bagi masyarakat pekerja. Menyeluruh
dalam arti usaha-usaha preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif, higiene,
penyesuaian faktor manusia terhadap pekerjaannya, dan sebagainya.
Secara implisit rumusan atau batasan ini bahwa hakekat kesehatan kerja
mencakup 2 hal yakni pertama sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan
tenaga kerja yang setinggi-tingginya. Tenaga kerja disini mencakup antara lain
buruh atau karyawan, petani, nelayan, pekerja-pekerja sektor non formal,
pegawai negeri dan sebagainya. Kedua sebagai alat untuk meningkatkan
produksi, yang berlandaskan kepada meningkatnya efisiensi dan produktivitas.
(Sumakmur, 1991).
Apabila kedua prinsip tersebut dijabarkan kedalam bentuk operasional maka
tujuan utama kesehatan kerja adalah sebagai berikut :
a. Pencegahan dan pemberantasan penyakit-penyakit dan kecelakaan
kecelakaan akibat kerja.
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan dan gizi tenaga kerja.
c. Perawatan dan mempertinggi efisiensi dan produktivitas tenaga kerja.
d. Pemberantasan kelelahan kerja dan meningkatkan kegairahan serta
kenikmatan kerja.
e. Perlindungan bagi masyarakat sekitar perusahaan agar terhindar dari bahayabahaya pencemaran yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut.
f. Perlindungan masyarakat luas dari bahaya-bahaya yang mungkin ditimbulkan
oleh produk-produk perusahaan.
Tujuan akhir dari kesehatan kerja ini adalah untuk menciptakan tenaga kerja
yang sehat dan produktif. Tujuan ini dapat tercapai, apabila didukung oleh
lingkungan kerja yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
Lingkungan kerja yang mendukung terciptanya tenaga kerja yang sehat dan
produktif antara lain suhu ruangan yang nyaman, penerangan / pencahayaan
yang cukup, bebas dari debu, sikap badan yang baik, alat-alat kerja yang sesuai
dengan ukuran tubuh atau anggotanya (ergonomic), dan sebagainya.

Update : 2 Juni 2006


Sumber :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu
Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

Kesehatan

DETERMINASI KESKER
Seperti telah diuraikan terdahulu bahwa tujuan akhir dari kesehatan kerja adalah
untuk mencapai kesehatan masyarakat pekerja dan produktivitas kerja yang
setinggi-tingginya. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini diperlukan suatu pra kondisi
yang menguntungkan bagi masyarakat pekerja tersebut.
Pra kondisi inilah yang penulis sebut sebagai diterminan kesehatan kerja, yang
mencakup 3 faktor utama, yakni beban kerja, beban tambahan akibat dari
lingkungan kerja, dan kemampuan kerja.
1. Beban Kerja
Setiap pekerjaan apapun jenisnya apakah pekerjaan tersebut memerlukan
kekuatan otot atau pemikiran adalah merupakan beban bagi yang melakukan.
Dengan sendirinya beban ini dapat berupa beban fisik, beban mental ataupun
beban sosial sesuai dengan jenis pekerjaan si pelaku.
Seorang kuli angkat junjung di pelabuhan sudah barang tentu akan memikul
beban fisik lebih besar daripada beban mental atau sosial. Sebaliknya seorang
petugas bea dan cukai pelabuhan akan menanggung beban mental dan sosial

lebih banyak daripada beban fisiknya.


Masing-masing orang memiliki kemampuan yang berbeda dalam hubungannya
dengan beban kerja ini. Ada orang yang lebih cocok untuk menanggung beban
fisik tetapi orang lain akan lebih cocok melakukan pekerjaan yang lebih banyak
pada beban mental atau sosial. Namun demikian secara umum atau rata-rata
mereka ini sebenarnya dapat memikul beban dalam batas tertentu atau suatu
beban yang optimal bagi seseorang.
Oleh sebab itu, penempatan seorang pekerja atau karyawan seharusnya setepat
sesuai dengan beban optimum yang sanggup dilakukan. Tingkat ketepatan
penempatan seseorang pada suatu pekerjaan, disamping didasarkan pada
beban optimum, juga dipengaruhi oleh pengalaman, keterampilan, motivasi dan
sebagainya.
Kesehatan kerja berusaha mengurangi atau mengatur beban kerja para
karyawan atau pekerja dengan cara merencanakan atau mendesain suatu alat
yang dapat mengurangi beban kerja. Misalnya alat untuk mengangkat barang
yang berat diciptakan gerobak, untuk mempercepat pekerjaan tulis-menulis
diciptakan mesin ketik, untuk membantu mengurangi beban hitung-menghitung
diciptakan kalkulator atau komputer, dan sebagainya.

2. Beban Tambahan
Disamping beban kerja yang harus dipikul oleh pekerja atau karyawan, pekerja
sering atau kadang-kadang memikul beban tambahan yang berupa kondisi atau
lingkungan yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan pekerjaan. Disebut
beban tambahan karena lingkungan tersebut mengganggu pekerjaan dan harus
diatasi oleh pekerja atau karyawan yang bersangkutan.
Beban tambahan ini dapat dikelompokkan menjadi 5 faktor, yakni :
a. Faktor fisik, misalnya penerangan / pencahayaan yang tidak cukup, suhu
udara yang panas, kelembaban yang tinggi atau rendah, suara yang bising,
dan sebagainya.
b. Faktor kimia, yaitu bahan-bahan kimia yang menimbulkan gangguan kerja,
misalnya bau gas, uap atau asap, debu dan sebagainya.
c. Faktor biologi, yaitu binatang atau hewan dan tumbuh-tumbuhan yang
menyebabkan pandangan tidak enak mengganggu, misalnya nyamuk, lalat,
kecoa, lumut, taman yang tidak teratur, dan sebagainya.
d. Faktor fisiologis, yakni peralatan kerja yang tidak sesuai dengan ukuran tubuh
atau anggota badan (ergonomic), misalnya meja atau kursi yang terlalu tinggi
atau pendek.
e. Faktor sosial-psikologis, yaitu suasana kerja yang tidak harmonis, misalnya
adanya klik, gosip, cemburu dan sebagainya.

Agar faktor-faktor tersebut tidak menjadi beban tambahan kerja atau setidaktidaknya mengurangi beban tambahan tersebut maka lingkungan kerja harus
ditata secara sehat atau lingkungan kerja yang sehat.
Lingkungan kerja yang tidak sehat akan menjadi beban tambahan bagi kerja
atau karyawan, misalnya :
a. Penerangan atau pencahayaan ruangan kerja yang tidak cukup dapat
menyebabkan keletihan mata.
b. Kegaduhan dan bising dapat mengganggu konsentrasi, mengganggu daya
ingat dan menyebabkan kelelahan psikologis.
c. Gas, uap, asap dan debu yang terhisap lewat pernapasan dapat
mempengaruhi berfungsinya berbagai jaringan tubuh yang akhirnya
menurunkan daya kerja.
d. Binatang, khususnya serangga (nyamuk, kecoa, lalat, dan sebagainya)
disamping mengganggu konsentrasi kerja juga merupakan pemindahan
(vektor) dan penyebab penyakit.
e. Alat-alat bantu kerja yang tidak ergonomis (tidak sesuai dengan ukuran tubuh)
akan menyebabkan kelelahan kerja yang cepat.
f. Hubungan atau iklim kerja yang tidak harmonis dapat menimbulkan
kebosanan, tidak betah kerja dan sebagainya yang akhirnya menurunkan
produktivitas kerja.

Agar faktor-faktor tersebut tidak menjadi beban tambahan kerja, faktor


lingkungan tersebut dapat diatur sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan
gairah kerja, misalnya :
a. Penerangan / pencahayaan yang cukup, standar penerangan tempat kerja
setara dengan 100-200 kaki lilin. Penggunaan lampu neon (fluorecent)
dianjurkan
karena kesilauan rendah, tidak banyak bayangan, dan suhu
rendah.
b. Dekorasi warna di tempat kerja. Warna atau cat tembok mempunyai arti
penting dalam kesehatan kerja. Warna merah padam misalnya, dapat
merangsang seseorang bekerja lebih cepat daripada warna biru.
c. Ruangan yang diberi pendingin (AC) akan menimbulkan efisiensi kerja namun
suhu yang terlalu dingin juga akan mengurangi efisiensi.
d. Bebas serangga (lalat, nyamuk, kecoa) dan bebas dari bau-bauan yang tidak
sedap.
e. Penggunaan musik di tempat kerja, dan sebagainya.
3. Kemampuan Kerja
Kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan berbeda dengan seseorang

yang lain meskipun pendidikan dan pengalamannya sama dan bekerja pada
suatu pekerjaan atau tugas yang sama. Perbedaan ini disebabkan karena
kapasitas orang tersebut berbeda.
Kapasitas adalah kemampuan yang dibawa dari lahir oleh seseorang yang
terbatas. Artinya kemampuan tersebut dapat berkembang karena pendidikan
atau pengalaman tetapi sampai pada batas-batas tertentu saja. Jadi, dapat
diumpamakan kapasitas ini adalah suatu wadah kemampuan yang dipunyai oleh
masing-masing orang.
Kapasitas dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain gizi dan kesehatan ibu,
genetik dan lingkungan. Selanjutnya kapasitas ini mempengaruhi atau
menentukan kemampuan seseorang. Kemampuan seseorang dalam melakukan
pekerjaan disamping kapasitas juga dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman,
kesehatan, kebugaran, gizi, jenis kelamin dan ukuran-ukuran tubuh.
Kemampuan tenaga kerja pada umumnya diukur dari keterampilannya dalam
melaksanakan pekerjaan. Semakin tinggi keterampilan yang dimiliki oleh tenaga
kerja, semakin efisien badan (anggota badan), tenaga dan pemikiran
(mentalnya) dalam melaksanakan pekerjaan. Penggunaan tenaga dan mental
atau jiwa yang efisien, berarti beban kerjanya relatif rendah.
Dari laporan-laporan yang ada, para pekerja yang mempunyai keterampilan yang
tinggi, angka absenteisme karena sakit lebih rendah daripada mereka yang
keterampilannya rendah. Pekerja yang keterampilannya rendah akan menambah
beban kerja mereka, yang akhirnya berpengaruh terhadap kesehatan mereka.
Oleh karena kebugaran, pendidikan dan pengalaman mempengaruhi tingkat
keterampilan pekerja maka keterampilan atau kemampuan pekerja senantiasa
harus ditingkatkan melalui program-program pelatihan, kebugaran dan promosi
kesehatan.
Peningkatan kemampuan tenaga kerja ini akhirnya akan berdampak terhadap
peningkatan produktivitas kerja. Program perbaikan gizi melalui pemberian
makanan tambahan bagi tenaga kerja terutama bagi pekerja kasar misalnya
adalah merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan produktivitas
kerja.

Update : 22 Juni 2006


Sumber :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu
Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

Kesehatan

FAKTOR MANUSIA DALAM KERJA


Sejak zaman purbakala, manusia telah menggunakan alat dalam bekerja. Pada
zaman batu misalnya, manusia telah membuat alat-alat dari batu, antara lain
kapak, cangkul, palu dan sebagainya untuk membantu dalam melakukan
pekerjaan mereka.
Dengan perkembangan zaman, alat-alat tersebut berkembang ke arah yang
lebih sempurna seperti cangkul atau alat untuk bercocok tanam dibuat dari besi
baja. Bahkan sampai dewasa ini petani dari beberapa daerah telah
menggunakan traktor untuk bercocok tanam. Demikian pula di bidang lain
manusia secara berangsur-angsur telah mengganti peralatan kerja dari yang
paling sederhana sampai dengan yang paling canggih.
Peralatan-peralatan kerja tersebut dibuat dan digunakan karena manusia
menyadari bahwa dengan hanya menggunakan tenaga manusia saja kurang
efektif dalam menyelesaikan pekerjaannya. Bisa kita bayangkan bagaimana
seandainya pengolahan tanah pertanian hanya dengan tangan manusia saja,
tanpa menggunakan cangkul, bajak atau traktor.
Akhirnya disadari bahwa tenaga manusia merupakan alat produksi yang paling
tidak efisien ditinjau dari aspek tenaga dan keluaran atau hasilnya. Dari

penelitian para ahli kesehatan kerja, ternyata tenaga yang dapat dikeluarkan
oleh rata-rata pekerja pria normal berumur antara 25-40 tahun hanya sebesar
0,2 PK. Seorang pekerja tidak mampu dibebani lebih dari 30% dari tenaga
maksimumnya selama 8 jam sehari (Silalahi, 1985).
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai
konsekuensinya, tuntutan manusia semakin tinggi. Selanjutnya dalam memenuhi
tuntutan hidup ini, manusia semakin memerlukan peralatan dan perlengkapan
yang lebih canggih untuk mencapai hasil yang efisien. Akan tetapi semakin
canggih peralatan yang digunakan manusia, semakin besar pula bahaya yang
ditimbulkan.
Bahaya kecelakaan akibat menggunakan mesin tenun modern, jelas akan lebih
besar daripada bahaya kecelakaan akibat dari alat tenun tradisional meskipun
mesin tenun modern lebih efisien daripada alat tenun tradisional.
Namun bagaimanapun tidak efisiensinya tenaga manusia dalam kerja, tenaga
manusia tetap diperlukan dalam proses produksi. Peralatan kerja sebenarnya
hanya sebagai alat bantu manusia sebagai tenaga kerja tersebut. Masalahnya
sekarang adalah bagaimana tenaga kerja (manusia) tetap aman dan sehat atau
tercegah dari bahaya-bahaya akibat kerja tersebut.
Hal ini semua adalah sangat tergantung kepada tenaga kerja itu sendiri yang
memegang kendali alat dan lingkungan kerjanya. Dengan kata lain aspek
manusia adalah merupakan faktor penting dalam mencapai keselamatan dan
kesehatan kerja. Dua faktor penting dari aspek manusia dalam hubungannya
dengan hal ini adalah ergonomi dan psikologi kerja.
1. Ergonomi
Ergonomi berasal dari bahasa Yunani, ergon yang artinya kerja dan nomos
artinya peraturan atau hukum. Sehingga secara harfiah ergonomi diartikan
sebagai peraturan tentang bagaimana melakukan kerja, termasuk menggunakan
peralatan kerja. Selanjutnya seirama dengan perkembangan kesehatan kerja ini
maka hal-hal yang mengatur antara manusia sebagai tenaga kerja dan peralatan
kerja atau mesin juga berkembang menjadi cabang ilmu tersendiri.
Sehingga dewasa ini, batasan ergonomi adalah ilmu penyesuaian peralatan dan
perlengkapan kerja dengan kondisi dan kemampuan manusia sehingga
mencapai kesehatan tenaga kerja dan produktivitas kerja yang optimal. Dari
batasan ini terlihat bahwa ergonomi tersebut terdiri dari 2 sub sistem, yakni sub
sistem peralatan kerja dan sub sistem manusia. Sub sistem manusia ini terdiri
dari bagian-bagian yang lain diantaranya psikologi, latar belakang sosial, dan
sebagainya.
Oleh sebab itu, tujuan dari ergonomi ini adalah untuk menciptakan suatu

kombinasi yang paling serasi antara sub sistem peralatan kerja dengan manusia
sebagai tenaga kerja. Di berbagai negara tidak menggunakan istilah ergonomi,
misalnya di negara-negara Skandinavia menggunakan istilah bioteknologi.
Sedangkan di negara-negara lain seperti Amerika Utara menggunakan istilah
Human Factors Enginering.
Meskipun istilah ergonomi di berbagai negara berbeda-beda namun mempunyai
misi tujuan yang sama. Dua misi pokok ergonomi adalah :
a. Penyesuaian antara peralatan kerja dengan kondisi tenaga kerja yang
menggunakan. Kondisi tenaga kerja ini bukan saja aspek fisiknya (ukuran
anggota tubuh : tangan, kaki, tinggi badan) tetapi juga kemampuan intelektual
atau berpikirnya. Cara meletakkan dan penggunaan mesin otomatik dan
komputerisasi di suatu pabrik misalnya, harus disesuaikan dengan tenaga
kerja yang akan mengoperasikan mesin tersebut, baik dari segi tinggi badan
dan kemampuannya. Dalam hal ini yang ingin dicapai oleh ergonomi adalah
mencegah kelelahan tenaga kerja yang menggunakan alat-alat tersebut.
b. Apabila peralatan kerja dan manusia atau tenaga kerja tersebut sudah cocok
maka kelelahan dapat dicegah dan hasilnya lebih efisien. Hasil suatu proses
kerja yang efisien berarti memperoleh produktivitas kerja yang tinggi.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan utama ergonomi
adalah mencegah kecelakaan kerja dan mencegah ketidakefisienan kerja
(meningkatkan produktivitas kerja). Disamping itu, ergonomi juga dapat
mengurangi beban kerja karena apabila peralatan kerja tidak sesuai dengan
kondisi dan ukuran tubuh pekerja akan menjadi beban tambahan kerja.
Apabila dalam menyelesaikan pekerjaan orang tidak memerlukan peralatan
bukan berarti ergonomi tidak berlaku. Dalam hal ini ergonomi dapat berlaku,
yakni bagaimana mengatur cara atau metode kerja sehingga meskipun hanya
dengan menggunakan anggota tubuh saja pekerjaan itu dapat terselesaikan
dengan efisien tanpa menimbulkan kelelahan.
Misalnya bagaimana cara mengangkat beban berat secara ergonomis, dapat
dilakukan menurut prosedur sebagai berikut :
a. Beban yang akan diangkat harus dipegang tepat dengan semua jari-jari.
b. Punggung harus diluruskan, beban harus diambil otot tungkai keseluruhan.
c. Kaki diletakkan pada jarak yang enak, sebelah kaki di belakang beban sekitar
60 derajat ke sebelah dan kaki yang satunya diletakkan disamping beban
menuju ke arah beban yang akan diangkat.
d. Dagu ditarik ke belakang agar punggung dapat tegak lurus.
e. Berat badan digunakan untuk mengimbangi berat beban.
f. Lengan harus dekat dengan badan.
Ergonomi juga dapat digunakan dalam mengkaji dan menganalisis faktor
manusia dan peralatan kerja atau mesin dalam kaitannya dengan sistem

produksi. Dari kajian atau analisis tersebut akan dapat ditentukan tugas-tugas
apa yang diberikan kepada manusia dan yang mana diberikan kepada mesin.
Beberapa prinsip ergonomi dibawah ini antara lain dapat digunakan sebagai
pegangan dalam program kesehatan kerja :
a. Sikap tubuh dalam melakukan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk,
susunan, ukuran dan penempatan mesin-mesin, penempatan alat-alat
petunjuk, cara-cara harus melayani mesin (macam gerak, arah, kekuatan
dan sebagainya).
b. Untuk normalisasi ukuran mesin atau peralatan kerja harus diambil ukuran
terbesar sebagai dasar serta diatur dengan suatu cara sehingga ukuran
tersebut
dapat dikecilkan dan dapat dilayani oleh tenaga kerja yang lebih
kecil, misalnya tempat duduk yang dapat dinaikturunkan, dimajukan atau
diundurkan.
c. Ukuran-ukuran antropometri yang dapat dijadikan dasar untuk penempatan
alat- alat kerja adalah sebagai berikut :
- Berdiri : tinggi badan, tinggi bahu, tinggi siku, tinggi pinggul, depan, panjang
lengan.
- Duduk : tinggi duduk, panjang lengan atas, panjang lengan bawah & tangan,
jarak lekuk lutut.
d. Pada pekerjaan tangan yang dilakukan berdiri, tinggi kerja sebaiknya 5-10 cm
dibawah tinggi siku.
e. Dari segi otot, sikap duduk yang paling baik adalah sedikit membungkuk
sedang dari sudut tulang, dianjurkan duduk tegak, agar punggung tidak
bungkuk dan otot perut tidak lemas.
f. Tempat duduk yang baik adalah :
- Tinggi dataran duduk dapat diatur dengan papan kaki yang sesuai dengan
tinggi lutut, sedangkan paha dalam keadaan datar.
- Lebar papan duduk tidak kurang dari 35 centimeter.
- Papan tolak punggung tingginya dapat diatur dan menekan pada punggung.
g. Arah penglihatan untuk pekerjaan berdiri adalah 23-37 derajat ke bawah
sedangkan untuk pekerjaan duduk arah penglihatan 32-44 derajat ke bawah.
Arah penglihatan ini sesuai dengan sikap kepala yang istirahat.
h. Kemampuan beban fisik maksimal oleh ILO ditentukan sebesar 50 kilogram.
i. Kemampuan seseorang bekerja adalah 8-10 jam per hari. Lebih dari itu
efisiensi dan kualitas kerja menurun.
2. Psikologi Kerja
Pekerjaan akan menimbulkan reaksi psikologis bagi yang melakukan pekerjaan
itu. Reaksi ini dapat bersifat positif, misalnya senang, bergairah, dan merasa
sejahtera, atau reaksi yang bersifat negatif, misalnya bosan, acuh, tidak serius,
dan sebagainya. Reaksi positif tidak perlu dibahas disini, yang perlu dibahas
adalah reaksi yang negatif.

Seorang pekerja atau karyawan yang bersikap bosan, acuh, tak bergairah
melakukan pekerjaannya ini banyak faktor yang menyebabkannya, antara lain
tidak cocok dengan pekerjaan itu, tidak tahu bagaimana melakukan pekerjaan
yang baik, kurangnya insentif, lingkungan kerja yang tidak menyenangkan, dan
lain-lainnya. Salah satu faktor yang sering terjadi mengapa karyawan atau
pekerja ini melakukan pekerjaannya dengan sikap yang negatif adalah karena
tidak mengetahui bagaimana melakukan pekerjaannya secara baik dan efisien.
Melakukan pekerjaan secara efisien tidak hanya bergantung kepada
kemampuan atau keterampilan tetapi juga dipengaruhi oleh penguasaan
prosedur kerja, uraian kerja (job description) yang jelas. Peralatan kerja yang
tepat atau sesuai lingkungan kerja, dan sebagainya. Semuanya ini dicakup
dalam satu istilah yakni cara kerja yang ergonomis.
Cara ergonomis yang sesuai dengan teori psikologis antara lain sebagai berikut
(Silalahi, 1985) :
a. Memberikan pengarahan dan pelatihan tentang tugas kepada pekerja
sebelum melaksanakan tugas barunya.
b. Memberikan uraian tugas tertulis yang jelas kepada pekerja atau karyawan.
c. Melengkapi pekerja / karyawan dengan peralatan yang sesuai / cocok dengan
ukurannya.
d. Menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan aman.
Kurangnya perhatian terhadap cara kerja ini oleh pimpinan perusahaan dapat
menimbulkan kebosanan. Akibat kebosanan bagi pekerja, mereka akan mencari
variasi kerja lain yang tidak dikuasai (untuk menghindari monoton ini) dan ini
dapat berakibat kecelakaan kerja. Oleh sebab itu kebosanan dan kemonotonan
kerja erat kaitannya dengan kecelakaan kerja.
Aspek lain dari psikologi kerja ini yang sering menjadi masalah kesehatan kerja
adalah stres. Stres terjadi pada hampir semua pekerja, baik tingkat pimpinan
maupun pelaksana. Memang di tempat kerja, lebih-lebih tempat kerja yang
lingkungannya tidak baik, sangat potensial untuk menimbulkan stres bagi
karyawannya.
Stres di lingkungan kerja memang tidak dapat dihindarkan, yang dapat dilakukan
adalah bagaimana mengelola, mengatasi atau mencegah terjadinya stres
tersebut sehingga tidak mengganggu pekerjaan. Untuk dapat mengelola stres,
pertama sekali yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi sumber atau
penyebab stres atau stressor.
Faktor-faktor yang sering menjadi penyebab stres di lingkungan kerja dapat
dikelompokkan menjadi 2, yakni :
a. Faktor internal, yakni dari dalam diri pekerja itu sendiri, misalnya kurangnya
percaya diri dalam melakukan pekerjaan, kurangnya kemampuan atau
keterampilan dalam melakukan pekerjaan dan sebagainya.

b. Faktor eksternal, yakni faktor lingkungan kerja. Lingkungan kerja ini mencakup
lingkungan fisik dan lingkungan sosial (masyarakat kerja). Lingkungan fisik
yang
sering menimbulkan stres kerja antara lain tempat kerja yang tidak
higienis,
kebisingan yang tinggi, dan sebagainya. Sedangkan lingkungan
manusia (sosial)
yang sering menimbulkan stres adalah pimpinan yang
otoriter, persaingan kerja
yang tidak sehat, adanya klik-klik di lingkungan
kerja, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, untuk mencegah dan mengelola stres di lingkungan kerja
tersebut juga diarahkan kedua faktor tersebut. Untuk para pekerja dilakukan
pelatihan-pelatihan yang akhirnya juga dapat meningkatkan percaya diri dalam
melaksanakan pekerjaan mereka. Sedangkan intervensi stres akibat faktor
eksternal dengan meningkatkan higiene dan kondisi lingkungan kerja serta
meningkatkan hubungan antar manusia.

Sumber :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu
Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

Kesehatan

GIZI MASYARAKAT
GIZI DAN FUNGSINYA
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, orang tidak terlepas dari makanan,
karena makanan adalah salah satu persyaratan pokok untuk manusia, disamping
udara (oksigen). Empat fungsi pokok makanan bagi kehidupan manusia adalah
untuk :
a. Memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan / perkembangan serta
mengganti jaringan tubuh yang rusak.
b. Memperoleh energi guna melakukan kegiatan sehari-hari.
c. Mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral dan
cairan tubuh yang lain.
d. Berperan didalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit.
Agar makanan dapat berfungsi seperti itu maka makanan yang kita makan
sehari-hari tidak hanya sekedar makanan. Makanan harus mengandung zat-zat
tertentu sehingga memenuhi fungsi tersebut, dan zat-zat gizi ini disebut gizi.
Dengan perkataan lain makanan yang kita makan sehari-hari harus dapat
memelihara dan meningkatkan kesehatan.

Ilmu yang mempelajari atau mengkaji masalah makanan yang dikaitkan dengan
kesehatan ini disebut ilmu gizi. Batasan klasik mengatakan bahwa ilmu gizi ialah
ilmu yang mempelajari nasib makanan sejak ditelah sampai diubah menjadi
bagian tubuh dan energi serta diekskresikan sebagai sisa. (Achmad Djaeni,
1987).
Dalam perkembangan selanjutnya ilmu gizi mulai dari pengadaan, pemilihan,
pengolahan sampai dengan penyajian makanan tersebut. Dari batasan tersebut,
dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu gizi itu mencakup 2 komponen penting yaitu
makanan dan kesehatan.
Untuk mencapai kesehatan yang optimal diperlukan makanan bukan sekedar
makanan tetapi makanan yang mengandung gizi atau zat-zat gizi. Zat-zat
makanan yang diperlukan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan ini
dikelompokkan menjadi 5 macam, yakni protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan
mineral. Fungsi-fungsi zat makanan itu antara lain sebagai berikut :
a. Protein
Protein diperoleh dari makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (protein
nabati) dan makanan dari hewan (protein hewani). Fungsi protein bagi tubuh
antara lain :
- membangun sel-sel yang rusak.
- membentuk zat-zat pengatur seperti enziim dan hormon.
- membentuk zat inti energi (1 gram protein kira-kira menghasilkan 4,1 kalori).
b. Lemak
Lemak berasal dari minyak goreng, daging, margarin, dan sebagainya. Fungsi
pokok lemak bagi tubuh ialah :
- menghasilkan kalori terbesar dalam tubuuh manusia (1 gram lemak
menghasilkan 9,3 kalori).
- sebagai pelarut vitamin A,D,E,K.
- sebagai pelindung terhadap bagian-bagiaan tubuh tertentu dan pelindung
bagian tubuh pada temperatur rendah.
c. Karbohidrat
Karbohidrat berdasarkan gugus penyusun gulanya dapat dibedakan menjadi
monosakarida, disakarida, dan polisakarida. Fungsi karbohidrat adalah juga
salah satu pembentuk energi yang paling murah, karena pada umumnya sumber
karbohidrat ini berasal dari tumbuh-tumbuhan (beras, jagung, singkong, dan
sebagainya) yang merupakan makanan pokok.
d. Vitamin-vitamin

Vitamin dibedakan menjadi 2, yakni vitamin yang larut dalam air (vitamin A
dan B) dan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A,D,E,K).
Fungsi masing-masing vitamin ini antara lain :
1. Vitamin A berfungsi bagi pertumbuhan sel-sel epitel dan sebagai pengatur
kepekaan rangsang sinar pada saraf dan mata.
2. Vitamin B1 berfungsi untuk metabolisme karbohidrat, keseimbangan air
dalam
tubuh dan membantu penyerapan zat lemak oleh usus.
3. Vitamin B2 berfungsi dalam pemindahan rangsang sinar ke saraf mata dan
enzim dan berfungsi dalam proses oksidasi dalam sel-sel.
4. Vitamin B6 berfungsi dalam pembuatan sel-sel darah dan dalam proses
pertumbuhan dan dalam proses pertumbuhan serta pekerjaan urat saraf.
5. Vitamin C berfungsi sebagai aktivator macam-macam fermen perombak
protein dan lemak, dalam oksidasi dan dehidrasi dalam sel, penting
dalam
pembentukan trombosit.
6. Vitamin D berfungsi mengatur kadar kapur dan fosfor dalam bersamasama
kelenjar anak gondok, memperbesar penyerapan kapur dan fosfor dari
usus,dan mempengaruhi kerja kelenjar endokrin.
7. Vitamin E berfungsi mencegah perdarahan bagi wanita hamil serta
mencegah
keguguran dan diperlukan pada saat sel sedang membelah.
8. Vitamin K berfungsi dalam pembentukan protrombin, yang berarti penting
dalam proses pembekuan darah.
e. Mineral
Mineral terdiri dari zat kapur (Ca), zat besi (Fe), zat fluor (F), natrium (Na) dan
chlor (Cl), kalium (K) dan iodium (I). Secara umum fungsi mineral adalah sebagai
bagian dari zat yang aktif dalam metabolisme atau sebagai bagian penting dari
struktur sel dan jaringan.

Update : 2 Juni 2006


Sumber :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu
Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

Kesehatan

GIZI KLINIK DAN GIZI MASYARAKAT


Dilihat dari segi sifatnya, ilmu gizi dibedakan menjadi 2, yakni gizi yang berkaitan
dengan kesehatan perorangan yang disebut gizi kesehatan perorangan dan gizi
yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat yang disebut gizi kesehatan
masyarakat (public health nutrition).
Kedua sifat keilmuan ini akhirnya masing-masing berkembang menjadi cabang
ilmu sendiri, yakni cabang ilmu gizi kesehatan perorangan atau disebut gizi klinik
(clinical nutrition) dan cabang ilmu gizi kesehatan masyarakat atau gizi
masyarakat (community nutrition).
Kedua cabang ilmu gizi ini dibedakan berdasarkan hakekat masalahnya. Gizi
klinik berkaitan dengan masalah gizi pada individu yang sedang menderita
gangguan kesehatan akibat kekurangan atau kelebihan gizi. Oleh sebab itu, sifat
dari gizi klinik adalah lebih menitikberatkan pada kuratif daripada preventif dan
promotifnya. Sedangkan gizi masyarakat berkaitan dengan gangguan gizi pada
kelompok masyarakat. Oleh sebab itu sifat dari gizi masyarakat lebih ditekankan
pada pencegahan (prevensi) dan peningkatan (promosi).
Oleh karena sifat kedua keilmuan ini berbeda maka akan menyebabkan
perbedaan jenis profesi yang menangani kedua pokok masalah tersebut. Gizi
klinik berurusan dengan masalah klinis pada individu yang mengalami gangguan

gizi maka profesi kedokteranlah yang lebih tepat untuk menanganinya.


Sebaliknya gizi masyarakat yang berurusan gangguan gizi pada masyarakat
dimana masyarakat mempunyai aspek yang sangat luas maka penanganannya
harus secara multisektor dan multidisiplin. Profesi dokter saja belum cukup untuk
menangani masalah gizi masyarakat.
Penanganan gizi masyarakat tidak cukup dengan upaya terapi para penderita
saja karena apabila setelah mereka sembuh akan kembali ke masyarakat. Oleh
karena itu, terapi gangguan gizi masyarakat tidak saja ditujukan kepada
penderitanya saja tetapi seluruh masyarakat tersebut.
Masalah gizi masyarakat bukan menyangkut aspek kesehatan saja melainkan
aspek-aspek terkait yang lain, seperti ekonomi, sosial-budaya, pendidikan,
kependudukan, dan sebagainya. Oleh sebab itu penanganan atau perbaikan gizi
sebagai upaya terapi tidak hanya diarahkan kepada gangguan gizi atau
kesehatan saja melainkan juga ke arah bidang-bidang yang lain.
Misalnya penyakit gizi KKP (kekurangan kalori & protein) pada anak-anak balita,
tidak cukup dengan hanya pemberian makanan tambahan saja (PMT) tetapi juga
dilakukan perbaikan ekonomi keluarga, peningkatan pengetahuan, dan
sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai