Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

GASTROENTERITIS ACUTE
Disusun untuk Memenuhi Tugas Ilmu Kedokteran Klinik
di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Blambangan Banyuwangi

Oleh:
I Gede Mahendra

101611101027

Berty Nur K.I.P

111611101004

Hayyu Rizki

111611101034

Yurike Fitria Sari

111611101082

Pembimbing :
dr. Finda Ferdiana

ILMU KEDOKTERAN KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2016

BAB I. PENDAHULUAN
Gastroenteritis akut atau yang biasa dikenal dengan diare adalah buang air besar
(defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat) lebih dari 3 kali per
hari, kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Buang
air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah (Amin, 2005)
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 14
hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan
infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare
infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit (Simadibrata et al, 2006)
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di negara
berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB
(Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat ( Kolopaking,
2002)
Di negara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi masyarakat
tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah kesehatan. Di Inggris 1 dari 5
orang menderita diare infeksi setiap tahunnya dan 1 dari 6 orang pasien yang berobat ke praktek
umum menderita diare infeksi. Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh karena
foodborne infections dan waterborne infections yang disebabkan bakteri Salmonella spp,
Campylobacter jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan
Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC) (Hendarwanto,2004).Maka dari itu diperlukan
pengetahuan tentang cara penanganan gastroenteritis akut atau diare akut secara tepat dan efisien

BAB 2. DATA KASUS PASIEN


Identitas Pasien
Nama

: Ny. Jumi
2

Umur

: 62 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan


Alamat

: Jl. Karimun Jawa 4/4

No. RM

: 15466

Anamnesis (WIB)
Keluhan Utama

: Pasien diare berkali kali

Riwayat penyakit Sekarang

: Pasien diare 3x sehari dan


BAB nya cair sejak 4 hari yang lalu

Tanda Vital
Tensi
Respirasi
Nadi
Suhu

: 100/60
: 20x/menit
: 68x/menit
: 36,5C

Status Neurologis
Kesadaran kualitatif
Kesadaran kuantitatif : GCS (Glasgow Coma Scale)
Pada GCS ada skala penilaian
Respon buka mata (E)
Respon verbal terbaik (V)
Respon motorik terbaik (M)

: Composmentis
: 4-5-6
: 1-4
: 1-5
: 1-6

AIRWAY
Dinding Dada
Trachea
Suara nafas tambahan

: Lancar
: Simetris
: Di tengah
: Tidak ada

BREATHING
Gerak dada
Retraksi otot nafas
Krepitasi

:
: Simetris
: Tidak ada
: Tidak ada

CIRCULATION
Akral

:
: Hangat merah kuning

DISABILITY
GCS
Pupil

:
: 4-5-6
: ukuran OD 3mm

Pemeriksaan Fisik
Kepala/leher
Thoraks
Abdomen
Ekstremitas
Genetalia

: Mata: anemia (-), cyanosis (-), cowong (+)


: Ccr S1 S2 tgl reg m (-); Pulmo: Rh -/- Wh -/: Distended (+), BU (+) N, H/L tidak teraba,Turgor meningkat
: Normal
: Normal
3

BAB 3. KAJIAN TEORI


3.1 Definisi
Diare atau gastroenteritis (GE) adalah peningkatan frekuensi dan penurunan konsistensi
pengeluaran tinja dibandingkan individu dengan keadaan usus besar yang normal (Dipiro et.al.,
2005).Gastroenteritis Akut(GEA) diartikan sebagai buang air besar (defekasi) dengan tinja
berbentuk cairan/setengah cair (setengah padat) dengan demikian kandungan air pada tinja lebih
banyak dari biasanya berlangsung kurang dari 7 hari terjadi secara mendadak (Soebagyo, 2008).
3.2 Etiologi
Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu :
A. Faktor Infeksi
1. Infeksi enteral
Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan
penyebab utama diare pada anak. Infeksi parenteral ini meliputi:

(a) Infeksi

bakteri:

Vibrio,

E.coli,

Salmonella,

Shigella,

Campylobacter, Yersinia,

Coxsackie,

Poliomyelitis),Adenovirus,

Aeromonas dan sebagainya.


(b)

Infeksi

virus:

Enteroovirus (Virus

ECHO,

Rotavirus, Astrovirus dan lain-lain.


(c) Infestasi parasite : Cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides), protozoa
(Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis),
(d) Jamur (candida albicans) (Mandal et al., 2004).
2. Infeksi parenteral
Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat pencernaan, seperti
Otitis Media akut (OMA), Tonsilofaringitis, Bronkopneumonia, Ensefalitis dan sebagainya.
Keadaan ini terutama terdapat pada bayi atau anak dibawah tiga tahun. Makanan dan miniman
yangterkontaminasi melalui tangan yang kotor, lalat, dan alat-alatmakan yang terkontaminasi
juga dapat menyebabkan seseorangtertular penyakit diare tersebut (Azrul Azwar, 1989).
B. Faktor Malabsorbsi
1. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltose dan sukrosa),
monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang
terpenting dan tersering ialah intoleransi laktrosa.
2. Malabsorbsi lemak
3. Malabsorbsi protein
C. Faktor makanan: makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
D. Faktor psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang dapat menimbulkan diare
terutama pada anak yang lebih besar (Vila J et al., 2000)
3.3 Klasifikasi Diare
Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu, meliputi diare akut, persisten dan kronik.
a. Diare akut adalah diare yang berlangsung 14 hari
b. Diare persisten adalah diare yang berlangsung dan menetap sampai >14 hari
c. Diare kronik adalah diare yang berlangsung dan menetap >30 hari (Eppy, 2009).
3.4 Patofisiologi
1. Diare Akut
Patofisiologi dari diare akut terbagi menjadi 3 jenis, antara lain :
a. Peningkatan Sekresi
Peningkatan sekresi cairan dan elektrolit diduga disebabkan oleh efek dari enterotoxin yang
berasal dari mikroorganisme. Hal ini dimediasi oleh proses siklus AMP mauipun Siklus GMP

yang mengganggu pompa dari sodium sehingga bisa menyebabkan terjadinya


Peningkatan sekresi dari sel
Berkurangnya proses absorbsi air dan elektrolit oleh vili-vili
Peningkatan pasif dari flow dan eletrolit dari ECF menuju lumen kecil pada usus
b. Berkurangnya pencernaan dan absorbsi nutrisi
Berkurangnya proses pencernaan dan absorbsi khususnya karbohidrat

dapat

mengakibatkan terjadinya disorganisasi dari sel, seperti halnya atrophi pada vilus; serta
5

kerusakan pada permukaan absorbsi. Sitotoksin dapat megakibatkan kerusakan pada beberapa
epithel dan kegagalan absorbsi.
c.Motilitas dan waktu transit usus yang abnormal
Aktivitas myoelectrical dari usus yang tidak normal juga disebabkan karena organisme noninvasiv dan enterotoxinnya yang mengganggu proses transit.
Dari patofisiologi tersebut sehingga akan tampak gejala klinis yang muncul, antara lain :
a. Diare Sekretorik : banyaknya air dan elekrolit yang hilang akibat kegagalan dari pompa
sodium oleh karena toksin dari bakteri sehingga mudah terjadi dehidrasi dan
ketidakseimbangan dari elektrolit
b. Diare Invasiv (Disentri) : sel mukosa usus yang telah di invasi oleh mikroorganisme akan
mengalami proses inflamasi yang dapat menimbulkan adanya darah. Kondisi ini jika
berlangsung secara terus menerus dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi antara lain :
perforasi usus, toksik megacolon, prolaps rectal, septikemi, dan sinrom hemolitik uremik.
c. Diare Osmotik : kerusakan yang terjadi pada brush border dan epitel dapat mengakibatkan
malabsorpsi umum dan defek dalam absorpsi mukosa usus missal padadefisiensi
disakaridase, malabsorpsi glukosa/galaktosa
2. Diare Persisten
Kondisi patologis yang biasanya ditemukan pada diare persiten ialah malnutrisi
akibatnya rusaknya absorbsi pada pemukaan mukosa dari usus.
3. Diare Kronik
Diare kronis terjadi akibat diare persisten yang berkelanjutan sehingga kerusakan yang
terjadi pada proses absorbsi, pompa sodium dan malasorbsi akan semakin parah.
(Parthasaraty et al, 2004).
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi/patomekanisme dibawah ini:
1. Diare sekretorik
Diare tipe ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi air dan elektrolit dari usus,
menurunnya absorpsi. Yang khas pada diare ini yaitu secara klinis ditemukan diare
dengan volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe ini akan tetap berlangsung walaupun
dilakukan puasa makan/minum (Simadibrata, 2006).
2. Diare osmotik
Diare tipe ini disebabkan meningkatnya tekanan osmotik intralumen dari usus halus yang
disebabkan oleh obat-obat/zat kimia yang hiperosmotik (antara lain MgSO4,Mg(OH)2),
malabsorpsi umum dan defek dalam absorpsi mukosa usus missal padadefisiensi
disakaridase, malabsorpsi glukosa/galaktosa (Simadibrata, 2006).
3. Malabsorpsi asam empedu dan lemak
Diare tipe ini didapatkan pada gangguan pembentukan/produksi micelle empedu dan
penyakit-penyakit saluran bilier dan hati (Simadibrata, 2006).
4. Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit
6

Diare tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif NA+K+ATPasedi
enterosit dan absorpsi Na+dan air yang abnormal (Simadibrata, 2006).
5. Motilitas dan waktu transit usus yang abnormal
Diare tipe ini disebabkan hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus sehingga
menyebabkan absorpsi yang abnormal di usus halus. Penyebabnya antara lain: diabetes
mellitus, pasca vagotomi, hipertiroid (Simadibrata, 2006).
6. Gangguan permeabilitas usus
Diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus yang abnormal disebabkan adanya kelainan
morfologi membran epitel spesifik pada usus halus (Simadibrata, 2006).
7. Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa keadaan.
Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam
pembuluh darah dan limfatik menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein danseringkali
sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanyadiare akibat
inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotic dan diare
sekretorik (Juffrie, 2010).
8. Diare infeksi
Infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare. Dari sudut kelainan usus,
diare oleh bakteri dibagi atas non-invasif dan invasif (merusak mukosa). Bakteri noninvasif menyebabkan diare karena toksin yang disekresikan oleh bakteri tersebut
(Simadibrata, 2006)
3.5 Manifestasi Klinis
Mula-mula
bayi

dan

anak

menjadi

cengeng,

gelisah,

suhu

tubuh

biasanyameningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinjacair dan
mungkin disertai lendir dan atau darah. Warna tinja makin lama berubahmenjadi kehijauhijauan karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena
seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat makin banyaknya asam
laktat yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi usus selama diare. Gejala
muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung
yang turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Bila
penderita telahbanyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi makin
tampak (Mansjoer, 2009).
Berat badan menurun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun membesar
menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering. Berdasarkan
banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat,
sedangkan berdasarkan tonisitas plasma dapat dibagi menjadi dehidrasi hipotonik, isotonik, dan
hipertonik (Mansjoer, 2009).
Gejala diare akut dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu :
7

Fase prodromal (sindroma pra-diare) : pasien mengeluh penuh di abdomen, nausea,

vomitus, berkeringat dan sakit kepala.


Fase diare : pasien mengeluh diare dengan komplikasi (dehidrasi, asidosis, syok, dan

lain-lain), kolik abdomen, kejang dengan atau tanpa demam, sakit kepala.
Fase pemulihan : gejala diare dan kolik abdomen berkurang, disertai fatigue
(Kolopaking, 2002; Joan et al,. 1998).
Dalam praktek klinis sangat penting dalam membedakan gejala antara diare yang

bersifat inflamasi dan diare yang bersifat noninflamasi.

Diare

infeksi

adalah

bila

penyebabnya infeksi, sedangkan diare noninfektif bila tidak ditemukan infeksi sebagai
penyebab pada kasus tersebut (Setiawan, 2006).Berikut ini yang perbedaan diare inflamasi dan
diare non inflamasi
Tabel.Perbedaan manifestasi klinis diare inflamasi dan noninflamasi (Mandal et al.,2004)
Manifestasi
Karakter tinja

Diare Inflamasi
Diare noninflamasi
Volume sedikit, mengandung Volume banyak, cair, tanpa pus

Mekanisme

darah dan pus


atau darah
Inflamasi mukosa colon dan
Usus halus proksimal
ileum distal
Inflamasi
mukosa Diare sekretorik/osmotik yang

diare

mengganggu absorbsi cairan diinduksi

Patologi

yang
Kemungkinan
Pathogen

oleh

enterotoksin

kemungkinan

efek atau
mekanisme lainnya. Tidak
sekretorik dari inflamasi
ada inflamasi mukosa
Shigella,Salmonella,
Kolera,
ETEC,
EPEC,
Clampylobacter,

E.

Colli,

EIEC, Clostridium dificcile,


Yersinina enterocolitica.

keracunan

makanan

tipe

toksin, rotavirus,
Adenovirus,NLV,
cryptosporidia, Giardia lamblia

3.6 Diagnosis Diare


a. Anamnesis
1. Lama diare berlangsung, frekuensi diare sehari, warna dan konsentrasi tinja, lendir dan/
darah dalam tinja.
2. Muntah, rasa haus, badan lemah, kesadaran menurun, buang air kecil terakhir, demam,
sesak, kejang, kembung.
3. Jumlah cairan yang masuk selama diare.
4. Jenis makanan dan minuman yang diminum selama diare.
5. Penderita diare di sekitarnya dan sumber air minum.(Pudjiadi et al., 2009).
b. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital
8

2. Tanda utama; keadaan umum gelisah/ cengeng atau lemah/ letargi/ koma, rasa haus,
turgor kulit abdomen menurun.
3. Tanda tambahan: ubun-ubun besar, kelopak mata, air mata, mukosa bibir, mulut dan
lidah.
4. Berat badan.
5. Tanda gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit, seperti napas cepat dan dalam
(asidosis metabolik), kembung (hipokalemia), kejang (hipo atau hipernatremia).
6. Penilaian derajat dehidrasi
a. Tanpa dehidrasi (kehilangan cairan <5% berat badan)
1. Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan.
2. Keadaan umum baik, sadar.
3. Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada, mukosa mulut dan
bibir basah.
4. Turgor abdomen baik, bising usus normal, akral hangat.
b. Dehidrasi ringan sedang/ tidak berat (kehilangan cairan 5-10% berat badan)
1. Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih tanda tambahan.
2. Keadaan umum gelisah atau cengeng.
3.Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang, mukosa mulut,
bibir sedikit kering.
4. Turgor kurang, akral hangat.
c. Dehidrasi berat (kehilangan cairan >10% berat badan)
1. Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah dengan 2 atau lebih tanda tambahan.
2. Keadaan umum lemah, letargi atau koma.
3. Ubun-ubun sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak ada, mukosa mulut
dan bibir sangat kering.
4. Turgor sangat kurang, akral dingin (Pudjiadi et al., 2009).
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan tinja tidak rutin dilakukan pada diare akut, kecuali apabila ada tanda
intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis.
2. Hal yang dinilai pada pemeriksaan tinja:
a) Makroskopis: konsistensi, warna, lendir, darah, bau
b) Mikroskopis: leukosit, eritrosit, parasit, bakteri
c) Kimia: pH, clinitest, elektrolit (Na, K, HCO3)
d) Biakan dan uji sensitivitas tidak dilakukan pada diare akut
3. Analisis gas darah dan elektrolit bila secara klinis dicurigai adanya gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit (Pudjiadi et al., 2009).
a. Pemeriksaan Leukosit dan Darah Samar Feses
Sejumlah penelitian telah mengevaluasi akurasi pemeriksaan leukosit feses baik secara
sendiri maupun dikombinasikan dengan pemeriksaan darah samar. Kemampuan pemeriksaan
tersebut untuk memprediksi adanya diare inflamasi amat bervariasi, dengan sensitivitas dan
specificity berkisar 2090%.Variasi hasil penelitian tersebut kemungkinan akibat perbedaan
dalam pemrosesan spesimen dan pengalaman operator.Akan tetapi, hasil meta-analisis tentang
pemeriksaan ini menunjukkan sensitivitas dan specifitynya yang lemah, hanya sebesar 70% dan
9

50%.Leukosit feses juga bukan prediksi yang akurat bagi respon terapi terhadap antibiotik.
Karena berbagai keterbatasan tersebut, peran pemeriksaan leukosit feses masih dipertanyakan.
Akan tetapi, adanya darah samar dan leukosit pada feses mendukung diagnosis diare akibat
infeksi bakteri bersama-sama dengan riwayat penyakit dan pemeriksaan diagnostik lainnya.
Pemeriksaan leukosit feses kurang bermanfaat dibandingkan pemeriksaan terhadap C. difficile
untuk diare yang timbul selama perawatan di rumah sakit. Pada umumnya pemeriksaan sel
radang pada feses diperlukan pada pasien dengan penyakit berat, yang ditandai oleh satu atau
lebih hal berikut ini:
1. Watery diarrhea yang masif (profuse), disertai dehidrasi.
2. Terdapat banyak gumpalan feses berukuran kecil yang mengandung darah dan mukus.
3. Temperatur tubuh 38,5C (101,3F).
4. Keluarnya 6 kali feses tak berbentuk dalam 24 jam atau lamasakit >48 jam.
5. Nyeri abdomen hebat pada pasien berumur >50 tahun.
6. Diare pada pasien usia lanjut (70 tahun) atau immunocompromise (Eppy, 2009).
b.Pemeriksaan Laktoferin Feses
Keterbatasan pemeriksaan leukosit feses seperti yang dikemukakan di atas mendasari
pengembangan pemeriksaan lactoferrin latex agglutination assay (LFLA) feses. Laktoferin
merupakan penanda bagi adanya leukosit pada feses, akan tetapi pengukurannya lebih akurat dan
kurang rentan terhadap berbagai variasi dalam pemrosesan spesimen. Pada satu penelitian,
laktoferin feses dijumpai pada 93% dari28sampel yang diketahui positif terhadap
Salmonella, Shigella atau Campylobacter dan tidak dijumpai pada 83% dari 18 sampel dengan
rotavirus atau tanpa patogen yang dapat dideteksi. Kepustakaan lain menyebutkan sensitivitas
dan specifity pemeriksaan ini sebesar 92% dan 79%. Akan tetapi, pada berbagai penelitian lain
performa pemeriksaan ini kurang baik sehingga tidak digunakan secara luas (Eppy, 2009).
c. Endoskopi Saluran Cerna Bagian Bawah
Endoskopi umumnya tidak dibutuhkan dalam mendiagnosis diare akut. Akan tetapi,
pemeriksaan ini dapat digunakan untuk:
1. Membedakan inflammatory bowel disease dari diare akibat infeksi.
2. Mendiagnosis infeksi C. difficile dan menemukan pseudomembran pada pasien yang toksik
sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur jaringan. Namun, saat ini pemeriksaan enzyme
linked immunosorbent assays (ELISA) dari feses untuk toksin A telah mempersingkat waktu
untuk mendiagnosis infeksi C. difficile dan mengurangi kebutuhan pemeriksaan endoskopi
pada kasus-kasus tersebut.
3.Mendiagnosis adanya infeksi

oportunistik

immunocompromise.
10

(seperti,

cytomegalovirus)

pada

pasien

4. Mendiagnosis adanya iskemia pada pasien kolitis yang dicurigai namun diagnosisnya masih
belum jelas sesudah pemeriksaan klinis dan radiologis. (Eppy, 2009).
d. Pemeriksaan Kultur Feses
Belum ada konsensus yang secara jelas memasukkan kultur feses sebagai salah satu
strategi optimum dalam mendiagnosis diare akut. Walaupun, cukup sulit untuk memprediksi
etiologi diare akut akibat infeksi bakteri hanya berdasarkan gambaran klinisnya, akan tetapi
dokumentasi patogen penyebab tidak selalu diperlukan karena sebagian besar diare akut akibat
infeksi disebabkan oleh virus yang dapat sembuh sendiri (self-limited) dan akan membaik
hampir separuhnya dalam waktu <1 hari. Pada diare akut, mempertahankan volume
intravaskuler yang adekuat serta mengoreksi gangguan cairan dan elektrolit lebih prioritas
dibandingkan mencari patogen penyebab. Pemeriksaan kultur feses diindikasikan pada pasien
dengan diare inflamasi dengan darah/mukus pada fesesnya.
Penelitian di Amerika Serikat menyebutkan bahwa 53% dokter baru melakukan kultur darah bila
diare telah berlangsung >3 hari. Kultur feses kurang bernilai pada pasien yang mengalami diare
sesudah >72 jam perawatan di rumah sakit karena penyebabnya hampir selalu infeksi C. difficile
atau suatu penyebab noninfeksi.
4. Beberapa pekerjaan tertentu, seperti pengelola makanan, yang terkadang baru dapat kembali
bekerja sesudah hasil kultur fesesnya negatif.
Klinisi sebaiknya menyebutkan secara spesifik patogen yang dicurigai sewaktu
mengirimkan feses untuk memudahkan proses di laboratorium mikrobiologi; serta menentukan
media, metode, atau pewarnaan yang tepat untuk mengisolasi atau mengidentifikasi organisme
yang diinginkan. Spesimen sebaiknya dibiakkan sesegera mungkin pada media kultur yang
sesuai.
Kultur feses rutin sudah akan dapat mengidentifikasi Salmonella, Campylobacter, dan
Shigella. Bila terdapat kecurigaan adanya infeksi Aeromonas atau berbagai strain Yersinia maka
laboratorium perlu diberitahu karena berbagai patogen tersebut tumbuh pada kultur rutin akan
tetapi seringkali terlewat bila tidak dicari secara khusus.
Hasil kultur yang positif untuk salah satu dari organisme tersebut pada pasien dengan
gejala diare akut dapat diinterpretasikan sebagai positif yang sebenarnya, walaupun terapi
antibiotik tidak selalu diperlukan untuk semua organisme tersebut. Tidak seperti telur cacing dan
parasit yang seringkali ditemukan secara intermiten, berbagai pathogen ini umumnya
diekskresikan secara terus-menerus. Jadi, hasil kultur yang negatif biasanya bukan merupakan
hasil negatif palsu, dan pengulangan spesimen jarang diperlukan. Organisme lain yang perlu
diperhatikan pada keadaan tertentu adalah Enterohemorrhagic E. coli, virus, Vibrio, Giardia,
Cryptospori-dium, dan Cyclospora (Eppy, 2009)
11

3.7 Penatalaksanaan Diare


Penatalaksanaan diare dibedakan menjadi 2 macam, yaitu tanpa dehidrasi dan dehidrasi :
3.7.1 Penatalaksanaan diare tanpa dehidrasi
Prinsip penatalaksanaan diare menurut Kemenkes (2011), antara lain:
a) Penggantian cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan
keseimbangan elektrolit, untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dehidrasi adalah berkurangnya
cairan tubuh total dapat berupa hilangnya air lebih banyak dari natrium (dehidrasi hipertonik)
atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama (dehidrasi isotonik), atau hilangnya
natrium yang lebih daripada air (dehidrasi hipotonik). Terapi rehidrasi oral (oral rehydration
therapy/ORT) merupakan pemberian larutan rehidrasi oral(oral rehydration solution/ORS,) atau
larutan oralit yaitu cairan yang khusus dibuat untuk terapi rehidrasi oral melalui mulut untuk
mencegah atau mengoreksi dehidrasi akibat diare, dimana harus dilakukan pada semua pasien
kecuali yang tidak dapat minumatau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena
(Wells, 2003).
Cairan dan elektrolit dalam tubuh yang terbuang saat diare diberikan oralit sebagai
pengganti.walaupun air sangat penting untuk mencegah dehidrasi, air minum tidak mengandung
garam elektrolit yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit dalam tubuh
sehingga lebih diutamakan oralit.Campuran glukosa dan garam yang terkandung dalam oralit
dapat diserap dengan baik oleh usus penderita diare. Kandungan Oralit terdapat pada tabel , dan
kebutuhan oralit perkelompok umur (Amin, 2015)

Tabel.kandungan Oralit(WHO/UNICEF 2004)


Oralit Osmolaritas rendah

12

NaCl

2.6 g

Na Citrate

2.9 g

KCl

1.5 g

Glucose

13.5 g

Na+

75 mEq/l

K+

20 mEq/l

Citrate

10 mmol/l

Cl-

65 mEq/l

Glucose
75 mmol/l
Osmolaritas. 245 mmol/l

Tabel. Kebutuhan oralit perkelompok umur (Depkes RI, 2006)

3.7.2

Penatalaksaaan diare dengan dehidrasi

B. Antibiotik
13

Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi, karena
40%

kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian anti b i o t i k

Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi
seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi
lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan
pasien immunocompromised. Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2),
tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman.
Tabel 2. Antibiotik empiris untuk Diare infeksi Bakteri
Organisme

Pilihan pertama

Campylobacter,
Shigella atau
Salmonella spp

Ciprofloksasin 500mg oral


2x sehari, 3 5 hari

Vibrio Cholera

Tetrasiklin 500 mg
oral 4x sehari, 3 hari
Doksisiklin 300mg
Oral, dosis tunggal
Ciprofloksacin 500mg
Metronidazole 250-500 mg
4x sehari, 7-14 hari,
oral atau IV

Traveler
diarrhea
Clostridium

Salmonella/Shigella
Ceftriaxon 1gr IM/IV sehari
TMP-SMX DS oral 2x sehari, 3 hari
Campilobakter spp
Azithromycin, 500 mg oral 2x sehari
Eritromisin 500 mg oral 2x sehari, 5hr
Resisten Tetrasiklin
Ciprofloksacin 1gr oral 1x
Eritromisin 250 mg oral
4x sehari 3 hari
TMP-SMX DS oral 2x sehari, 3 hari
Vancomycin, 125 mg oral 4x sehari
7-14 hari

C. Obat anti diare


1.Kelompok antisekresi selektif
Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas
racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim enkephalinase sehingga
enkephalin dapat bekerja kembali secara normal. Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi
dari elektrolit sehingga keseimbangan cairan dapat dikembalikan secara normal. Di Indonesia
saat ini tersedia di bawah nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare
yang dapat pula digunakan lebih aman pada anak.
2.Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi
difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x sehari,
loperamid 2 4 mg/ 3 4x sehari dan lomotil 5mg 3 4 x sehari. Efek kelompok obat
tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat
memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara
yang benar obat ini cukup aman dan dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila
diare akut dengan gejala demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.
14

Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit diberikan
atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius atau toksin-toksin.
Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang
dapat merangsang sekresi elektrolit.
Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium, Karaya
(Strerculia),

Ispraghulla,

Coptidis

dan

Catechu

dapat

membentuk

kolloid

dengan

cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi tidak
dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x
sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.

Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan
memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor saluran cerna.
Syarat penggunaan dan keberhasilan mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam
jumlah yang adekuat
.
3.8 KOMPLIKASI
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama, terutama
pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan cairan secara
mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat. Kehilangan elektrolit melalui
feses potensial mengarah ke hipokalemia dan asidosis metabolic (Arif, 2009)
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga syok
hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul Tubular Nekrosis
Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini dapat juga terjadi
bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga tidak tecapai rehidrasi yang
optimal (Simadibrata, 2006)
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan terbanyak
oleh EHEC.

Pasien dengan HUS

menderita

gagal ginjal, anemia hemolisis,

rombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan meningkat setelah infeksi EHEC
dengan penggunaan obat anti diare, tetapi penggunaan antibiotic untuk terjadinya HUS
masih kontroversi (Mandal,2008)
15

DAFTAR PUSTAKA
1. Amin, Z. L., 2015. Tatalaksana Diare Akut. CDK-230. Vol. 42 (7).
2. Eppy. 2009. Diare Akut. Medicinus Scientific Journal of Pharmaceutical Development and
Medical Application. Vol. 22 (3).
3. Farthing M, Salam MA, Lindberg G, Dite P, Khalif I, Salazar-Lindo E, et al. Acute diarrhea in
adults and children: A global perspective. World Gastroenterology Organisation Global
Guidelines. J Clin Gastroenterol. 2013; 47(1): 12-20.
4. Farrar J, Hotez FJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White N. Acute diarrhea. Mansons
Tropical Diseases. Elsevier; 2013.
5. Juffrie, M., et al. 2010. Buku Ajar Gastroenterologi Hepatologi Jilid 1. Jakarta : Balai
Penerbit IDAL
6. Kemenkes RI. 2011. Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare Balita. Jakarta : Kemenkes RI
7. Pudjiadi, A. H., et al. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.Jakarta :
IDAI.
8. Mansjoer, arif., 2009. Kapita Selekta Kedokteran.

Jilid 2.Edisi ke 3. Jakarta : FK UI

press.pp78-88
9. Simadibrata , Marcellus., 2006. Diare Akut dalam Aru W. Sudoyo (Editor)Buku Ajar
Ilmu penyakit dalam. Jakarta:Balai penertbit FK UI pp. 94-95.
10. Mandal B.k, EGL Wilkins, EM Dunbar. Dan R.T Mayon-White. Lecture notes penyakit Infeksi.
Erlangga. 2008
11. Depkes RI, Direktorat Jendral PPM & PL th 2005, Keputusan Menkes RI no
1216/MENKES/SK/XI/2001 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare, edisi 4.
12. Joan R, Butterion Stephen B, Calder Wood. Acute Infectious Diarrheal Diseases and
Bacterial Poisoning In : Horisons Principle of Internal Medicine. 14. New York. Mc
Graw Hill Inc. 1998.
13. Vila J, Vargas M, Ruiz J, Corachan M, De Anta MTJ, Gascon J:

Quinolon Resisten in

Enterotoxigenic E.colli causing Diarrhea in Travelers to India in Comparison with


otherGeographycal Areas. Antimicrobial Agents and Chemotherapy June 2000.

14. Kolopaking MS. Penatalaksanaan muntah dan diare, akut. Dalam : Alwi 1, Bawazier LA,
Kolopaking

mS,

Syam

AF,

et

al

(ed). Penatalaksanaan

kedaruratan di Bidang

ilmu Penyakit Dalam II Jakarta. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2002
15. Hendarwanto. Diare akut Karena Infeksi,Dalam:Waspadji S, Rachman AM, Lesmana LA, dkk,
editor. Buku Ajar IlmuPenyakit

Dalam

Jilid

I. e-USU Repository 2004 Universitas

Sumatera Utara Edisi ketiga.Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbit BagianIlmuPenyakit Dalam
FKUI ;1996. 451-57.
16. Partahasarathy A, MKC Nair, PSN Menon, Raju C Shah, Hitin K Shah, HPS Sachdev, Naveen
Thacker, Bharat R Agarwal, Deepak Ugra, Panna Choundry, and A Balchman. 2007. IAP
Textbook of Pediatrics. Jiendar P Vij, Jaypee.
17. Wells BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, Hamilton CW. PharmacotherapyHandbook. 5th ed.
New York: McGraw-Hill, 2003. 371-79

Anda mungkin juga menyukai