diperlakukan seperti itu? Itu kan bangsa kita sendiri! Ini tindakan yang fasistik,
kejam, dan biadab. Mana hati nurani itu? Betul-betul saya sangat sedih. Apalagi
karena saya tahu sejarah." (T. Ibrahim Alfian)
Tragedi Simpang KKA (1998)
Sesungguhnya, pembantaian di Aceh bukanlah cerita baru, berbagai kisah
memilukan yang menimpa masyarakat di Aceh selama kurun gelap sejarah
perjalanan peradaban Aceh yang terjadi pada masa invasi Belanda, Jepang, juga
Orde Lama dan Orde Baru.
Wilayah Aceh yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, dengan minyak dan
gas bumi. Sampai dengan akhir dasawarsa 1980-an, Aceh telah menyumbang lebih
dari 30% total produksi ekspor migas Indonesia. Pada 1971 di Aceh Utara ditemukan
cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar.
Mobile Oil, perusahaan tambang AS, diberi hak untuk mengekploitasinya dan dalam
enam tahun kemudian kompleks penyulingan KNG sudah beroperasi di dalam areal
yang dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di tempat yang sama, berabad
lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pase berdiri, dan kini oleh Suharto
diserahkan kekayaan alam negeri ini yang sungguh besar kepada AS.
Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu 30 tahun sejak 1961, Asamera, suatu
perusahaan minyak Kanada, telah menggali tak kurang dari 450 sumur minyak.
Sumber gas alam yang ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih kaya dari
persediaan gas alam di Aceh Utara. Produksi Pabrik Pupuk ASEAN di Aceh hampir 90
persen diekspor, dan dari kompleks petrokimia diharapkan penjualan kimia
aromatik sebesar US$200 juta setahun.
Pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA) juga sudah mulai memproduksi kertas karung semen
sejak 1989. Dari penghematan impor pembungkus semen saja pemerintah sudah
memperoleh laba US$89 juta setahun, sedang ekspor kertas semen menghasilkan
US$43 juta. Pada 1983 Aceh menyumbang 11 persen dari seluruh ekspor Indonesia.
Suharto tahu betul jika kekayaan alam Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu, dengan
amat rakus rezim Orde Baru terus-menerus menguras kekayaan alam ini. Ironisnya,
nyaris semua keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam Aceh ini
dibawa kabur ke Jakarta.
Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan
dan kemelaratan. Pemerintah Jakarta bukannya mengembalikannya ke rakyat Aceh
sebagai pemilik yang sah, tapi justru mengirim ribuan tentara untuk memerangi
rakyat Aceh yang sudah tidak berdaya.
Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak cukup terhormat untuk
menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer dipindahkan ke Medan.
Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang notabene direstui Suharto mewajibkan
semua murid sekolah dasar Islam untuk mampu membaca Al-Quran. Peraturan ini
dikecam oleh para pejabat di Jakarta. Bahkan Depdikbud mengirim tim untuk
menyelidiki penyelewengan tersebut.
Beberapa bulan kemudian pejabat Dikbud kabupaten melonggarkan peraturan yang
melarang murid perempuan memakai jilbab ke sekolah. Kepada murid yang ingin
berjilbab diizinkan untuk menyimpang dari peraturan tersebut.
Pemerintah Jakarta bereaksi keras atas pelonggaran ini. Peraturan nasional harus
dipatuhi secara nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Suharto
di Aceh.
Ted Robert Gurr dalam "Why Men Rebel? (Mengapa Orang Berontak?)" juga menulis
bahwa orang akan berontak jika way of life-nya terancam oleh perkembangan baru.
Aceh telah kehilangan sumber alamnya, mata pencariannya, gaya hidupnya. Orang
Aceh kehilangan suaminya, anak-anaknya, kehilangan harapannya, kehilangan
segalanya.
Kendati tidak terbantahkan, hingga kini masih ada orang yang berpura buta
bertanya, Mengapa rakyat Aceh berontak? Aceh jelas telah menjadi tumbal rezim
Orde Baru, Setelah diperkosa habis-habisan Jakarta. Siapa pun yang punya hati
nurani jelas mendukung sikap rakyat Aceh yang menarik kembali kesediaannya
bergabung dengan Republik Indonesia.
Sebab itu H.M Amien Rais (1999) pernah menyatakan:
Kalau boleh berterus terang, Aceh ini sebagai salah satu daerah pemegang saham
terbesar di Republik Indonesia. Maka sebagai pemegang saham terbesar, jika Aceh
menarik sahamnya, tentu RI akan guncang seguncang-guncangnya. Apalagi kalau
pemegang saham yang kecil-kecil pun ikut menjadi makmum, tentu kita akan
mengucapkan: Innalillahi wa inna ilaihi rajiun buat Republik Indonesia.