Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan senior Ilmu Kesehatan Gigi dan
Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Pembimbing:
drg. Gunawan Wibisono, M.Si. Med
Disusun oleh:
Wizri Suhariani
22010115210090
Diajeng Rindang G A
22010115210139
Muhammad Ardi L S
22010115210087
22010115210006
LEMBAR PENGESAHAN
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
kemerahan dan halitosis. Timbulnya sakit merupakan salah satu variabel, tetapi
ketidak nyamanan yang dirasa
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Impaksi
2.2
Trauma Oklusi
2.2.1Definisi
Oklusi merupakan salah satu aspek penting yang berperan besar dalam
proses mengunyah, menelan, serta berbicara. Oklusi secara sederhana dapat
diartikan sebagai kontak antar gigi geligi bawah dengan gigi geligi atas. Kontak
ini akan menghasilkan suatu tekanan yang kemudian diteruskan ke jaringan
periodontal gigi. Jaringan periodontal terdiri dari gingiva, ligamen periodontal,
sementum, dan tulang alveolar. Jaringan ini merupakan jaringan yang mendukung
dan mengelilingi gigi dan berfungsi meredam tekanan oklusi yang diterima oleh
gigi. Jaringan periodontal mempunyai batas ambang menahan tekanan oklusi, bila
tekanan ini berlebih dapat mencederai jaringan periodontal disekitarnya.
Trauma pada jaringan periodontal yang menyebabkan kerusakan puncak
ligamen periodonsium (trauma oklusi) dan mengenai jaringan periodontal yang
sudah terinflamasi, dapat mengakibatkan migrasi epitel jungsional ke arah daerah
terjadinya kerusakan.
Definisi trauma oklusi adalah perubahan struktural dan fungsional jaringan
periodontal yang disebabkan kekuatan oklusal yang berlebih dari gigi
antagonisnya sehingga menyebabkan
injuri
ialah iritasi bakteri. Trauma karena oklusi merupakan salah satu rangsangan yang
datang menimpa jaringan periodontal yang berupa rangsang fisik dan mampu
merusak jaringan periodontal.
Efek dari tekanan oklusal pada jaringan periodontal dipengaruhi oleh
besar, arah, durasi dan frekuensi dari tekanan tersebut;
a. Besar tekanan
Apabila besar tekanan meningkat, maka:
(a) periodontal ligamen akan menebal
(b) ligamen periodontal akan bertambah lebar
(c) kepadatan tulang alveolar akan meningkat
b. Arah tekanan
Perubahan arah akan merubah arah tekanan dan terjadi peregangan
diantara jaringan periodontal ( tekanan lateral atau horizontal, tekanan
memutar lebih dapat menciderai jaringan periodontal.
c. Durasi
Durasi yang konstan terhadap tulang lebih berpotensi menimbulkan cidera
dibandingkan dengan tekanan intermitten
d. Frekuensi
Frekuensi yang sering dari tekanan intermitten, lebih berpotensi
menyebabkan injuri pada periodonsium.
2.2.2Klasifikasi
Trauma oklusal dibagi menjadi dua kategori yaitu:
A. Berdasarkan durasi:
1. Trauma bersifat akut : Hasil dari perubahan tiba-tiba pada gaya
oklusal, akibat faktor kekuatan eksternal, seperti gaya yang dihasilkan
saat mengunyah benda keras, restorasi atau alat prosthetic yang
mengganggu dengan atau mengubah arah dari gaya oklusal pada
gigi.Trauma akut menghasilkan rasa sakit pada gigi, sensitive pada
perkusi,dan peningkatan mobilitas. Jika gaya dihamburkan oleh
perubahan posisi darigigi atau dengan penggunaan yang rendah atau
perbaikan restorasi, peradangan menjadi sembuh dan gejala meringan.
periodonsium
disebabkan
hanya
karena
Perikoronitis
2.3.1Definisi
Perikoronitis adalah infeksi yang terjadi
mahkota gigi yang baru tumbuh sebagian (partial eruption). 1 Hal ini dapat
berkembang menjadi jaringan menonjol yang terasa sakit saat mengunyah,
membuka dan menutup mulut. Umumnya terjadi pada remaja dan dewasa
muda, dan dapat menyebabkan nyeri berat, bengkak, dan penyebaran infeksi
spontan. Pada kasus yan berat perikoronitis dapat menyebabkan nyeri yang
terus menerus, demam, peningkatan sel darah putih, dan kelelahan. Infeksi
ini dapat menyebar ke jaringan sekitar dan menjadi selulitis. Paling sering
terjadi pada daerah molar tiga, namun dapat terjadi pula di gigi manapun
yang belum tumbuh sempurna.2 Perikoronitis merupakan gejala paling sering
pada impaksi molar tiga dan merupakan indikasi untuk ekstraksi molar tiga.3
Umumnya tidak terjadi pada gigi yang tumbuh normal.4
2.3.2Etiologi
apabila ditambah dengan trauma oklusi dari molar tiga atas yang bererupsi
penuh, seperti sering ditemukan, dapat mengakibatkan perikoronitis. 5
Perikoronitis dipicu dengan adanya sisa makanan yang terkumpul di sekitar
operkulum dan trauma oklusal pada jaringan perikoronal oleh gigi
oposisinya.4 Hal ini disebabkan karena gigi molar ke tiga maksila erupsi
lebih awal daripada molar ke tiga mandibula, sehingga molar ketiga maksila
menggingit daerah gingiva yang akan ditempati molar ke tiga mandibula
pada saat beroklusi. Selanjutnya akan menyebabkan trauma pada jaringan
perikoronal dan akan menjadi jalan masuknya sisa makan dan bakteri yang
kemudian berkembang, akibatnya akan terjadi inflamasi.6
2.3.4Klasifikasi
Secara klinis perikoronitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik.
Perikoronitis akut dikarakteristikkan dengan nyeri yang berat, kadang
menyebar ke area sekitar, mengakibatkan sulit tidur, bengkak jaringan
perikoronal, discharge berupa pus, trismus, regional limfadenopati, kenaikan
suhu tubuh, dan pada beberapa kasus terjadi penyebaran infeksi ke area
jaringan yang berbatasan.4 Ketidaknyamanan saat menelan dan nafas bau
Limfadenitis
2.4.1Definisi
Limfadenitis adalah peradangan kelenjar getah bening (kelenjar limfe)
regional dari lesi primer akibat adanya infeksi dari bagian tubuh yang lain.
2.4.2Etiologi
Streptokokus dan bakteri stapilokokus adalah penyebab paling umum dari
limfadenitis, meskipun virus, protozoa, rickettsiae, jamur, dan basil Tuberkulosis
juga dapat menginfeksi kelenjar getah bening. Penyakit yang melibatkan kelenjar
getah bening di seluruh tubuh termasuk mononucleosis, infeksi sitomegalovirus,
toksoplasmosis, dan brucellosis.
saling melekat dan bergabung dan biasanya tidak nyeri tekan sering merupakan
akibat proses granulomatosis kronik [4].
Faktor dalam menilai kelenjar limfe yang bengkak adalah usia pasien, ciri
khas kelenjar limfe, lokasi kelenjar dan latar belakang klinis yang terkait dengan
limfadenopati. Ciri fisik kelenjar perifer penting, kelenjar linfoma cenderung
teraba kenyal, seperti karet, saling berhubungan dan tanpa nyeri. Kelenjar pada
karsinoma metastatik biasanya keras dan terfikasasi pada jaringan dibawahnya.
Pada infeksi akut, kelenjar limfe akan teraba lunak, membengkak secara asimetris
dan saling berhubungan serta kulit di atasnya eritematosus (kemerahan) [5].
Infeksi yang terjadi di rongga mulut sering mengakibatkan keradangan
limfonodi regional yang lazimnya disebut limfadenitis. Hal tersebut adalah
konsekuensi dari suatu sistem sirkulasi aliran limfe yang merupakan pertahanan
tubuh di dalam sistem limforetikuler tubuh manusia [6,7].
Salah satu tugas limfonodi adalah melakukan penyaringan terhadap
hadirnya antigen yang masuk ke dalam tubuh [6,7,8,9]. Antigen dapat berupa
protein asing atau mikroba penyebab infeksi misalnya bakteri, virus, fungi,
protozoa, dan molekul makro yang dihasilkan oleh mikroba [10].
Dalam proses penanggulangan infeksi, kadang-kadang terjadi terobosan
mikroorganisme yang masuk ke aliran limfe sampai ke limfonodi [10]. Bila sifat
bawaan mikroorganisme tersebut subvirulen dan dapat ditanggulangi oleh sistem
pertahanan tubuh, maka akan terjadi limfadenitis kronis. Akan tetapi bila sistem
pertahanan tubuh tidak dapat menganggulanginya, dan jasad renik termasuk jenis
piogenik maka akan timbul supurasi pada limfonodi [7].
Palpasi leher dan wajah harus dilakukan secara sistematik. kelenjar limfe
leher dan metastatik seringkali terletak pada segitiga leher depan. daerah ini perlu
diinspeksi dengan cermat, khususnya di bawah otot sternokleidomastoideus dan
sepanjang perjalanan selubung karotis [11].
Proses pembesaran kelenjar limfe oleh karena infeksi berbeda dengan
metastasis karsinoma (kanker). Pada pembesaran kelenjar limfe yang disebabkan
oleh infeksi dapat dijelaskan sebagai berikut. Infeksi yang dimulai dengan
masuknya kuman patogen ke dalam tubuh, direspons oleh sistem kekebalan yang
berlapis. Di lapis depan berjajar komponen normal tubuh seperti kulit, selaput
lendir, batuk, flora normal dan berbagai sel. Di pusat pertahanan, terdapat kelenjar
limfe yang menyimpan dua mesin perang yaitu limfosit T dan limfosit B. Kelenjar
limfe tersusun secara regional menjaga kawasan tertentu. Karena itu mereka
disebut juga sentinel node (sentinal adalah penjaga dan node adalah kelenjar
limfe). Sentinel node kepala dan muka, terdapat di leher; payudara dan tangan,
ketiak; kaki, lipat paha dan sebagainya [12].
Dalam peperangan itu salah satu tugas lapis pertama adalah membawa
sampel kuman ke limfosit untuk identifikasi dan pemrograman penghancurannya.
Kemudian limfe atau cairan getah bening akan membawa sel T dan sel B, ke
daerah konflik. Dalam usahanya kelenjar limfe regional akan meningkatkan
aktivitasnya hingga membesar. Ciri-ciri pembesaran kelenjar limfe dalam
mengatasi infeksi adalah sakit. Karena itu bila pembesaran kelenjar limfe regional
dengan nyeri dan disertai tanda-tanda infeksi di daerah itu, pencarian dan
pengobatan pusat infeksi menjadi prioritas [12].
Trismus
2.5.1Definisi
Trismus adalah tonik kontraksi dari otot pengunyah sehingga terjadi
pembatasan dalam membuka mulut
2.5.2Etiologi
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan trismus:
Infeksi
o Odontogenik
Berasal dari tiga sumber yaitu pulpa, periodontal, dan
perikoronal.
Adanya infeksi oral terutama yang berkaitan dengan erupsi
molar tiga mandibular, merupakan penyebab terbanyak.
Infeksi odontogen yang melibatkan otot mastikasi umumnya
disertai dengan trismus pada presentasi awal.
o Non odontogenik
Infeksi seperti tonsilitis, tetanus, meningitis, abses parotis,
dan abses otak dapat menyebabkan trismus
Trauma
Fraktur, terutama pada mandibula, dapat menyebabkan keterbatasan
membuka rahang. Tergantung pada jenis cedera dan arah traumatis,
fraktur mandibula dapat terjadi di lokasi yang berbeda dan
menghasilkan hipomotiliti mandibular.
Perawatan gigi
Tumor
Trismus dapat menjadi gejala tumor nasofaring atau infratemporal
ataupun fibrosis dari tendon temporalis, sehingga menghasilka
gerakan rahang yang terbatas.
Obat-obatan
Beberapa obat yang dapat memberi efek sekunder trismus adalah
succinylcholine,
phenothiazines
and
tricyclic
antidepressants.
Radioterapi
Radioterapi umumnya digunakan untuk mengobati karsinoma sel
skuamosa dari kepala, leher dan limfoma regional. Komplikasi yang
mungkin terjadi adalah osteoradionekrosis, sehingga menghasilkan
rasa sakit, trismus, supurasi dan kadang-kadang luka berbau busuk.
menyebabkan
trismus,
mengurangi
berbagai
gerakan.
Masalah bawaan seperti hipertrofi koronoid dan sindrom trismuspseudo-camptodactyly yaitu kombinasi dari ketidaknormalan tangan,
kaki, dan mulut disertai trismus.
2.5.3Tatalaksana
Fisioterapi
Pada fase akut pasien disarankan untuk berlatuh membuka dan
menutup rahang dan gerakan lateral temporomandibular joint selama
5 menit tiap 3-4 jam
Analgesik
Antiinflamasi
Diet lunak
Relaksan otot
Contoh : diazepam (2,5-5 mg tiga kali sehari)
Tindakan bedah
Pada kasus nyeri atau disfungsi berat, jika tidak ada perbaikan dalam
2-3 hari tanpa antibiotik atau 5-7 hari dengan antibiotik, atau jika
kemampuan membuka mulut menjadi sangat terbatas, pasien harus
dirujuk ke dokter bedah oral dan maksilofasial untuk evaluasi.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1
Identitas Pasien
3.2
Nama
: Tn. A
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 19 tahun
Pekerjaan
: Mahasiswa
Alamat
: Pati
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Tgl. Pemeriksaan
: 13 November 2015
No. CM
: 002817
Data Dasar
A. Subyektif
Autoanamnesis dengan pasien pada 13 November 2015 pukul 08.30 WIB
di Poli rawat jalan Gigi dan Mulut Rumah Sakit Nasional Diponegoro
Semarang
: compos mentis
: 80x/menit
RR
: 20x/menit
Suhu
: 37C
: 72 kg
BMI
Hidrasi
: Baik
Edema
: (-)
Pucat
: (-)
: (-)
b) Pemeriksaan fisik
o Pemeriksaan Ekstraoral
o Wajah
Inspeksi : asimetri (-), pembengkakan (-), warna kemerahan
(-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
o Leher
Inspeksi : pembesaran kelenjar limfe submandibula sinistra
(+), dextra (-)
Palpasi : nyeri (+)
o Pemeriksaan Intraoral
Mukosa pipi kiri
Mukosa palatum
Mukosa pharynx
Kelainan periodontal
: tidak ada
Ginggiva RA
Ginggiva RB
Karang gigi
: tidak ada
Oklusi
Palatum
:sedang
Supernumery teeth
:tidak ada
Diastema
:tidak ada
Gigi anomali
:tidak ada
c) Status Lokalis
o Pemeriksaan Ekstraoral
Inspeksi
Palbasi
Palpasi
d) Status Dental
Gigi 3.8
Inspeksi
indentasi
Sondasi
: (-)
Perkusi
: (-)
Palpasi
: nyeri (+)
Vitalitas
: vital
Mobilitas : (-)
e) Odontogram
PE
PE
UE
Keterangan :
1.8 partial ruption
3.8 erupsi difisilis
4.8 uneruption
3.3
Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen panoramik
Didapatkan hasil:
o Tampak gigi 3.8 tumbuh miring/impaksi
o Tampak gigi 4.8 tumbuh miring/impaksi
3.4
3.5
Initian plan
Dx
:S:O:-
Rx
:
Ekstraksi gigi 2.8
R/ Amoxicilin tab 500 mg no. XII
S 3 dd I habiskan
R/ Asam Mefenamat 500 mg no. X
S 3 dd I prn
Terapi untuk trismus :
Rehab medik fisik untuk melatih membuka mulut
Pemberian muscle relaxant jika rehab medik fisik tidak berkurang
Kontrol post ekstraksi : subjektif dan objektif
Mx
trismus
Ex
:
o Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang diderita
pasien
o Menjelaskan penatalaksanaan yang akan dilakukan kepada pasien
Memberi edukasi mengenai cara menjaga kebersihan oral
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien didiagnosis mengalami Limfademitis submandibula
sinistra ec perikoronitis ec traumatik oklusi 2.8 et 3.8 erupsi dificilis. Pasien
mengeluh terdapat nyeri di geraham kiri bawah disertai pembengkakan gusi dan
mudah berdarah, sulit membuka mulut dan nyeri kepala. Foto panoramik yang
telah dilakukan menampilkan hasil gigi impaksi pada 3.8 dan 4.8. Namun yang
memberikan keluhan pada pasien hanya gigi 3.8. Pada riwayat penyakit, pasien
menyangkal riwayat hipertensi, penyakit jantung dan diabetes melitus.
Tanda vital pasien dalam batas normal. Pada pemeriksaan ekstraoral,
kondisi wajah dalam batas normal, sedangkan pada leher didapat kan pembesaran
kelenjar submandibula sinistra dengan nyeri tekan. Pada pemeriksaan intraoral,
tampak edema dan hiperemis pada ginggiva rahang bawah kiri. Dalam
pemeriksaan status lokalis kelenjar mandibula sinistra teraba benjolan dengan
konsistensi kenyal, tidak terdapat fluktuasi, permukaan licin, tidak berbenjolbenjol, nyeri tekan positif, dan tidak didapatkan pingpong phenomen maupun
krepitasi. Pada lokasi sekitar gigi 3.8 yang mengalami impaksi, tampak gigi erupsi
sebagian dan terlihat adanya ginggiva bengkak, berdarah dan terdapat indentasi,
pemeriksaan sondasi negatif, perkusi negatif, palpasi terasa nyeri, gigi masih vital,
dan tiak ada mobilitas.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien mengalami
limfadenitis yang ditandai dengan adanya pembesaran kelenjar submandibula
dengan nyeri tekan. Limfadenitis ini dicurigai akibat adanya peradangan pada
jaringan perikoronal (perikoronitis). Perikoronitis pada pasien ini kemungkinan
akibat adanya trauma oklusi dari gigi 2.8 yang terus-menerus pada jaringan
perikoronal yang melingkupi gigi 3.8 yang mengalami impaksi. Adanya impaksi
gigi dan jaringan perikoronal di atasnya memberikan risiko terselipnya makanan
dan berkembangnya bakteri pada daerah tersebut sehingga memicu adanya
inflamasi dan infeksi bakteri. Ditambah dengan adanya trauma oklusi pada kasus
ini semakin memperparah perikoronitis yang ada bahkan menghasilkan adanya
perdarahan pada daerah tersebut.
Pada kasus ini terdapat dua masalah utama yaitu trauma oklusi dan
impaksi gigi. Namun pada fase akut yang terjadi pada pasien, dokter perlu
memberi perhatian utama terhadap trauma oklusi yang terjadi karena trauma
oklusi tersebut menyebabkan peradangan yang tidak kunjung berhenti selama gigi
2.8 masih memberikan trauma pada jaringan perikoronal tersebut. Oleh karena itu,
untuk penanganan awal perlu dilakukan ekstraksi gigi 2.8 untuk menghilangkan
gejala perikoronitis. Selain itu, gejala lain seperti nyeri perlu diberikan analgesik
misalnya asam mefenamat, trismus perlu dilakukan rehab medik untuk melatih
otot mastikasi jika tidak ada perbaikan maka dapat diberi obat relaktan otot seperti
diazepam. Untuk kecurigaan infeksi pada perikoronitis itu sendiri, perlu diberikan
antibiotik dengan spektrum luas sepeti amoxicilin selama 7 hari. Kemudian pasien
kembali kontrol sekitar 7 hari untuk melihat perkembangan dari proses
penyembuhan pasca ekstraksi gigi 2.8 dan tanda-tanda inflamasi maupun infeksi
pada jaringan perikoronal di sekitar gigi 3.8, serta evaluasi keluhan trismus. Jika
tidak ada keluhan lagi, selanjutnya adalah tatalaksana untuk masalah impaksi gigi
3.8 yaitu dengan dilakukannya ekstraksi gigi 3.8. Edukasi untuk pasien juga
penting mengenai kebersihan oral untuk mencegah infeksi odontogen.
BAB VII
KESIMPULAN
Pasien mengalami limfadenitis akibat perikoronitis yang disebabkan
adanya trama oklusi dan impaksi gigi 3.8. Keadaan ini disertai dengan adanya
trismus derajat 3.
Terapi yang perlu diberikan pada kasus ini adalah ekstraksi gigi 2.8 untuk
menghilangkan penyebab trauma oklusi. Di samping itu juga diberikan obat
antinyeri dan antibiotik untuk perikoronitis dan latihan otot mastikasi atau jika
perlu ditambah dengan relaktan otot untuk gangguan membuka mulut. Untuk
penanganan selanjutnya yaitu ekstraksi gigi 3.8 yang mengalami impaksi,
dilakukan setelah masalah perikoronitis teratasi.
BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA
Impaksi
Trauma oklusi
1. Rupprecht RD. Trauma from occlusion : a review. Naval Postgraduate
Dental School [serial online] 2004 Jan [cited 17 Desember 2012];
26(1):25-7.
Available
from
URL
http://www.bethesda.med.navy.mil/careers/postgraduatedentalschool/resea
rch/clinicalUpdates/2004/0401%20Trauma%20from%20occlusion.doc
2. Carranza FA & Camargo PM. Periodontal respone to external forces. In :
Carranza Clinical Perodontology. 9th ed. Newman MG, Takei HH,
Carranza FA editor. Philadelphia: WB Saunders; 2002. p.371-81
3. Consolaro A. Occlusal trauma cannot be compared to orthodontic
movement. Journal of orthodontic. [serial online] 2012 [cited 22 Oktober
2013]; 17(6): p.5-12
Perikoronitis
1. Koerner K. Manual of Minor Oral Surgery for the General Dentist. USA :
Blackwell Munksgaard. 2006
2. Petterson Dental Supply.
Pericorontis.
2004.
Available
from:
http://www.cfdonline.com/Caesy%20Articles/Pericoronitis.pdf
3. O, Akpata. Acute Pericocronitis and the Position of the Mandibular Third
Molar in Nigerians. Nigeria: CMS UNIBEN JMBR. 2007; 6: 41-46
4. Moloney, Justin and Leo FA Stassen. Pericoronitis : Treatment and Clinical
Dilemma. Dublin: Journal of the Irish Dental Assosiation. 2009;
55(5):190-192
5. Pedersen, Gordon W. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC. 1996
6. Green J.P dr. Pericoronitis. Peterson dental supply article. 2007
7. Lopez-Piriz R, Aguilar L, Gimenez M.J. Management of odontogenic
infection of pulpal and periodontal orign. Med Oral Patol Oral Cir Bucal:
2007; 155-6, E158
Limfadenitis
1. Thomas, KH. Goldman, HM. 1960. Oral Pathology. Firth edition.
Philadelphia: CV Mosby Company. 476, 737.
LAMPIRAN