Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

SEORANG PRIA 19 TAHUN DENGAN IMPAKSI MOLAR TIGA DAN


TRAUMA OKLUSI DISERTAI PERIKORONITIS, LIMFADENITIS, DAN
TRISMUS

Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan senior Ilmu Kesehatan Gigi dan
Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Pembimbing:
drg. Gunawan Wibisono, M.Si. Med
Disusun oleh:
Wizri Suhariani

22010115210090

Diajeng Rindang G A

22010115210139

Muhammad Ardi L S

22010115210087

Silva dwinta Junnisa

22010115210006

ILMU KESEHATAN GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus

Pembimbing

: Seorang Pria 19 Tahun dengan Impaksi Molar Tiga dan


Trauma Oklusi Disertai Perikoronitis, Limfadenitis, dan
Trismus
: drg. Gunawan Wibisono, M. Si. Med

Semarang, 23 November 2015


Pembimbing,

drg. Gunawan Wibisono, M.Si. Med

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit periodontal adalah penyakit gigi dan mulut yang merupakan


penyakit tertinggi ke enam yang dikeluhkan masyarakat Indonesia menurut Survei
Kesehatan Rumah Tangga Tahun 2001 dan menempati peringkat ke empat
penyakit termahal dalam pengobatan menurut The World Oral Health Report pada
tahun 2003. Ada dua penyakit gigi dan mulut yang mempunyai prevalensi cukup
tinggi di Indonesia yaitu karies dan penyakit periodontal. Penyakit periodontal
merupakan salah satu penyakit yang sangat meluas dalam kehidupan manusia,
sehingga kebanyakan masyarakat menerima keadaan ini sebagai sesuatu yang
tidak terhindari. Salah satu etiologi dari gangguan pada periodontal adalah TFO
(Trauma From Occlusion). TFO adalah kerusakan jaringan periodonsium akibat
tekanan oklusi yang melebihi kapasitas adaptasi jaringan periodonsium. Trauma
oklusi juga dapat didefinisikan sebagai kerusakan pada bagian dari system
mastikasi yang dihasilkan oleh kontak oklusal.
Pertumbuhan gigi Molar 3 sering menimbulkan masalah dan menimbulkan
keadaan infeksi pada jaringan lunak di sekitarnya dan mengganggu kenyamanan
mulut dan gigi gigi yang lain. Terutama jika molar 3 ini erupsi tidak sempurna,
contohnya antara lain akibat bentuk anatomi dari pada rahang yang sempit.
Kondisi patologis yang umumnya ditemukan pada molar ketiga yang impaksi baik
total maupun sebagian meliputi karies, resorpsi akar, terbentunya kista,
periodontitis, infeksi periapikal, tumor odontogen jinak maupun ganas, dan
perikoronitis. Perikoronitis merupakan suatu keradangan pada jaringan lunak
perikoronal (operkulum) yang bagian paling besar / utama dari jaringan lunak
tersebut berada di atas / menutupi mahkota gigi. Gigi yang paling sering
mengalami perikoronitis adalah pada gigi molar ketiga mandibula. Infeksi yang
terjadi disebabkan oleh adanya mikroorganisme dan debris yang terperangkap
diantara mahkota gigi dan jaringan lunak diatasnya. Perikoronitis terjadi dari
kontaminasi bakteri dibawah operculum, mengakibatkan pembengkakan gingiva,

kemerahan dan halitosis. Timbulnya sakit merupakan salah satu variabel, tetapi
ketidak nyamanan yang dirasa

biasanya mirip dengan gingivitis, abses

periodontal dan tonsilitis. Sering timbul gejala limphadenopati regional, malaise,


dan demam. Jika edema atau selulitis meluas mengenai otot masseter maka sering
disertai trismus. Perikoronitis sering kali diperparah oleh sakit yang ditimbulkan
oleh trauma dari gigi antagonisnya selama proses menutup mulut.
Limfadenitis adalah peradangan pada kelenjar getah bening yang terjadi
akibat terjadinya infeksi dari suatu bagian tubuh maka terjadi pula peradangan
pada kelenjar getah bening regioner dari lesi primer. Limfadenitis karena infeksi
odontogen dapat meluas dengan berbagai cara. Pertama, dengan cara
langsung, yaitu menyebar melalui jaringan sekitar yang bersebelahan secara
langsung dan kontinyu. Penyebaran infeksi odontogen juga dapat
melalui aliran darah. Cara penyebaran yang lain adalah dengan
melaluialiran limfe.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Impaksi

2.2

Trauma Oklusi

2.2.1Definisi
Oklusi merupakan salah satu aspek penting yang berperan besar dalam
proses mengunyah, menelan, serta berbicara. Oklusi secara sederhana dapat
diartikan sebagai kontak antar gigi geligi bawah dengan gigi geligi atas. Kontak
ini akan menghasilkan suatu tekanan yang kemudian diteruskan ke jaringan
periodontal gigi. Jaringan periodontal terdiri dari gingiva, ligamen periodontal,
sementum, dan tulang alveolar. Jaringan ini merupakan jaringan yang mendukung
dan mengelilingi gigi dan berfungsi meredam tekanan oklusi yang diterima oleh
gigi. Jaringan periodontal mempunyai batas ambang menahan tekanan oklusi, bila
tekanan ini berlebih dapat mencederai jaringan periodontal disekitarnya.
Trauma pada jaringan periodontal yang menyebabkan kerusakan puncak
ligamen periodonsium (trauma oklusi) dan mengenai jaringan periodontal yang
sudah terinflamasi, dapat mengakibatkan migrasi epitel jungsional ke arah daerah
terjadinya kerusakan.
Definisi trauma oklusi adalah perubahan struktural dan fungsional jaringan
periodontal yang disebabkan kekuatan oklusal yang berlebih dari gigi
antagonisnya sehingga menyebabkan

injuri

periodontal. Trauma dari oklusi

dikenal sebagai sebuah perubahan patologi yang terjadi dalam jaringan


periodontal, trauma oklusi sendiri dijelaskan sebagai sebuah kondisi terpisah dari
periodontitis.
Periodontitis merupakan penyakit pada jaringan periodontal yang
mengakibatkan kehilangan dan destruksi dari tulang alveolar ditandai dengan
terbentuknya poket periodontal. Penyebab utama terjadinya penyakit periodontal

ialah iritasi bakteri. Trauma karena oklusi merupakan salah satu rangsangan yang
datang menimpa jaringan periodontal yang berupa rangsang fisik dan mampu
merusak jaringan periodontal.
Efek dari tekanan oklusal pada jaringan periodontal dipengaruhi oleh
besar, arah, durasi dan frekuensi dari tekanan tersebut;
a. Besar tekanan
Apabila besar tekanan meningkat, maka:
(a) periodontal ligamen akan menebal
(b) ligamen periodontal akan bertambah lebar
(c) kepadatan tulang alveolar akan meningkat
b. Arah tekanan
Perubahan arah akan merubah arah tekanan dan terjadi peregangan
diantara jaringan periodontal ( tekanan lateral atau horizontal, tekanan
memutar lebih dapat menciderai jaringan periodontal.
c. Durasi
Durasi yang konstan terhadap tulang lebih berpotensi menimbulkan cidera
dibandingkan dengan tekanan intermitten
d. Frekuensi
Frekuensi yang sering dari tekanan intermitten, lebih berpotensi
menyebabkan injuri pada periodonsium.
2.2.2Klasifikasi
Trauma oklusal dibagi menjadi dua kategori yaitu:
A. Berdasarkan durasi:
1. Trauma bersifat akut : Hasil dari perubahan tiba-tiba pada gaya
oklusal, akibat faktor kekuatan eksternal, seperti gaya yang dihasilkan
saat mengunyah benda keras, restorasi atau alat prosthetic yang
mengganggu dengan atau mengubah arah dari gaya oklusal pada
gigi.Trauma akut menghasilkan rasa sakit pada gigi, sensitive pada
perkusi,dan peningkatan mobilitas. Jika gaya dihamburkan oleh
perubahan posisi darigigi atau dengan penggunaan yang rendah atau
perbaikan restorasi, peradangan menjadi sembuh dan gejala meringan.

Sebaliknya, peradangan periodontal dapat memburuk dan menjadi


nekrosis, bersamaan dengan pembentukan abses periodontal, atau
dapat tetap berlangsung sebagai gejala bebas, kondisi kronis.
2. Trauma bersifat kronis : Hasil dari kekuatan internal (kontak
premature, grinding). Berkembang sebagai hasil dari perubahan sedikit
demi sedikit pada oklusi, berkaitan dengan penggunaan gigi yang
berlebihan, perpindahan drifting, dantekanan pada gigi, kombinasi
dengan kebiasaan seperti bruxism dan clenching .
B. Berdasarkan faktor penyebab dibagi menjadi:
1. Trauma oklusal primer : Efek dari kekuatan abnormal pada jaringan
periodontal yang sehat/normal (tanpa inflamasi), disebabkan oleh
kekuatan nonfisiologis dan berlebih pada gigi.
Kekuatan yang diterima bisa satu arah (kekuatan ortodontis) atau
berlawanan arah jiggling). Trauma oklusi primer terjadi ketika
perubahan

periodonsium

disebabkan

hanya

karena

oklusi. Contohnya adalah pergerakan orthodontis gigi ke posisi yang


tidak diharapkan, atau restorasi yang tinggi.
2. Trauma oklusal sekunder :Efek kekuatan oklusal normal maupun
berlebih pada periodonsium yang sakit, terjadi ketika kapasitas adaptif
periodonsium berkurang karena telahada kelainan sistemis atau
kehilangan tulang.
Trauma sekunder mengurangi area perlekatan periodontal dan
mengubah pengaruh dari jaringan sisanya. Jaringan periodontium menj
adi lebih mudah terkena luka, dan ketahanan gaya oklusal yang baik
sebelumnya menjadi traumatik.

Trauma oklusal kombinasi : Efek akibat tekanan oklusal berlebihan pada


periodonsium yang abnormal. Dalam kasus ini, terjadi inflamasi gingiva,
pembentukan poket, dan tekanan oklusal berlebihan yang umumnya
disebabkan oleh tekanan parafungsional.
2.2.3Diagnosis Klinis
Secara klinis, untuk menentukan adanya trauma oklusal, dapat dilihat dari
meningkatnya mobilitas dan melebarnya ligamen periodontal dari radiograf,
Tanda diagnostik tambahan berupa fremitus, atau mobilitas fungsional, yaitu
defleksi gigi yang dapat dipalpasi baik pada gerakan menutup ataupun
selama gerakan excursive. Penegakan diagnosis trauma oklusal berdasarakan
tanda dan gejala klinis, antara lain : hipermobilitas gigi meningakat,
ketidaknyamanan dan tenderness yang persisiten, dan migrasi gigi. Pada
pemeriksaan radiograf terlihat resorpsi akar atau tulang dan pelebaran ruang
ligamen periodontal.
2.3

Perikoronitis

2.3.1Definisi
Perikoronitis adalah infeksi yang terjadi

pada jaringan lunak di sekitar

mahkota gigi yang baru tumbuh sebagian (partial eruption). 1 Hal ini dapat
berkembang menjadi jaringan menonjol yang terasa sakit saat mengunyah,
membuka dan menutup mulut. Umumnya terjadi pada remaja dan dewasa
muda, dan dapat menyebabkan nyeri berat, bengkak, dan penyebaran infeksi
spontan. Pada kasus yan berat perikoronitis dapat menyebabkan nyeri yang
terus menerus, demam, peningkatan sel darah putih, dan kelelahan. Infeksi
ini dapat menyebar ke jaringan sekitar dan menjadi selulitis. Paling sering
terjadi pada daerah molar tiga, namun dapat terjadi pula di gigi manapun
yang belum tumbuh sempurna.2 Perikoronitis merupakan gejala paling sering
pada impaksi molar tiga dan merupakan indikasi untuk ekstraksi molar tiga.3
Umumnya tidak terjadi pada gigi yang tumbuh normal.4
2.3.2Etiologi

Perikoronitis terjadi ketika terjadi akumulasi plak dan/atau karang


pada gigi atau sisa makanan yang terselip di gusi sekitar.2 Sekali folikel
gigi berhubungan dengan rongga mulut, akan menjadi tempat masuk
bakteri ke ruang folikular dan memicu terjadinya infeksi. Banyak
penelitian yang menyatakan bahwa mikroflora perikoronitis adalah bakteri
anaerob.4 Mikroorganisme patogen pada infeksi perikoronitis itu sendiri
yaitu Prevotella Intermedia, Fusobacterium Nucleatum, Streptococcus
Oralis.7
2.3.3Patofisiologi
Abnormalitas erupsi sering mengakibatkan pembentukan operkulum, suatu
flap gingival yang menutupi sebagian mahkota gigi yang erupsi. Poket di
bawah operkulum dari molar tiga bawah yang tidak erupsi sempurna sering
menjadi daerah yang menjebak sisa makanan dan tempat proliferasi
mikroorganisme. Radang dan

pembengkakan yang terjadi, khususnya

apabila ditambah dengan trauma oklusi dari molar tiga atas yang bererupsi
penuh, seperti sering ditemukan, dapat mengakibatkan perikoronitis. 5
Perikoronitis dipicu dengan adanya sisa makanan yang terkumpul di sekitar
operkulum dan trauma oklusal pada jaringan perikoronal oleh gigi
oposisinya.4 Hal ini disebabkan karena gigi molar ke tiga maksila erupsi
lebih awal daripada molar ke tiga mandibula, sehingga molar ketiga maksila
menggingit daerah gingiva yang akan ditempati molar ke tiga mandibula
pada saat beroklusi. Selanjutnya akan menyebabkan trauma pada jaringan
perikoronal dan akan menjadi jalan masuknya sisa makan dan bakteri yang
kemudian berkembang, akibatnya akan terjadi inflamasi.6
2.3.4Klasifikasi
Secara klinis perikoronitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik.
Perikoronitis akut dikarakteristikkan dengan nyeri yang berat, kadang
menyebar ke area sekitar, mengakibatkan sulit tidur, bengkak jaringan
perikoronal, discharge berupa pus, trismus, regional limfadenopati, kenaikan
suhu tubuh, dan pada beberapa kasus terjadi penyebaran infeksi ke area
jaringan yang berbatasan.4 Ketidaknyamanan saat menelan dan nafas bau

juga dapat terjadi saat perikoronitis akut.3 Sedangkan pada perikoronitis


kronik dapat ditemukan adanya nyeri tumpul atau ketidaknyamanan ringan
beberapa hari dengan remisi yang berulang.4
2.3.5Tatalaksana
Penanganan yang dilakukan pada perikoronitis yang pertama yaitu
membersihkan plak, karang, dan iritan lain dari gigi. Kemudian,
menghilangkan jaringan yang rusak atau mati secara hati-hati dan
membersihkan flap gingiva (operkulum).2,6 Untuk pasien denga nyeri lokal
dan disertai bengkak pada jaringan perikoronal, dan tidak disertai gejala
sistemik, direkomendasikan untuk tindakan lokal seperti debridemen plak
dan sisa makanan, drainase pus, irigasi dengan saline steril, chlorhexidine
atau hydrogen peroxida dan eliminasi trauma oklusal. Jika disertai gejala
dan tanda regional atau sistemik, direkomendasikan pemberian antibiotik.
Gejala sistemik yaitu berupa demam, takikardi, dan hipotensi.4
2.4

Limfadenitis

2.4.1Definisi
Limfadenitis adalah peradangan kelenjar getah bening (kelenjar limfe)
regional dari lesi primer akibat adanya infeksi dari bagian tubuh yang lain.
2.4.2Etiologi
Streptokokus dan bakteri stapilokokus adalah penyebab paling umum dari
limfadenitis, meskipun virus, protozoa, rickettsiae, jamur, dan basil Tuberkulosis
juga dapat menginfeksi kelenjar getah bening. Penyakit yang melibatkan kelenjar
getah bening di seluruh tubuh termasuk mononucleosis, infeksi sitomegalovirus,
toksoplasmosis, dan brucellosis.

Gejala awal limfadenitis adalah pembengkakan kelenjar yang disebabkan


oleh penumpukan cairan jaringan dan peningkatan jumlah sel darah putih
akibat respon tubuh terhadap infeksi. Kehilangan nafsu makan, sering
keringat, nadi cepat, dan kelemahan.
2.4.3Patofisiologi
Kelenjar getah bening (KGB) adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh
kita. Tubuh kita memiliki kurang lebih sekitar 800 kelenjar getah bening, namun
hanya di daerah sub mandibular, ketiak atau lipat paha yang teraba normal pada
orang sehat. Terbungkus kapsul fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pembentuk
pertahanan tubuh dan merupakan tempat penyaringan antigen (protein asing) dari
pembuluh-pembuluh getah bening yang melewatinya.
Infeksi odontogen dapat meluas dengan berbagai cara. Pertama, dengan
cara langsung, yaitu menyebar melalui jaringan sekitaryang bersbelahan secara
langsung dan kontinyu [1]. Shafer berpendapat [2], penyebaran infeksi odontogen
juga dapat melalui aliran darah. Cara penyebaran yang lain adalah dengan melalui
aliran limfe [1,2].
Dari 800 kelenjar limfe di seluruh tubuh hampir (30 %nya) 300 kelenjar
limfe berada di kepala dan leher dengan demikian seringkali baik metastasis
ataupun penjalaran infeksi muncul sebagai pembesarann kelejar limfe kepala leher
[3]. Perubahan patologis pada kelenjar limfe, baik yang merupakan infeksi
maupun neoplastik sering ditemukan dan sukar dibedakan dari tumor nonlimfatik,
proses radang atau degeneratif. Adanya pembesaran limfe pada bagian
anterolateral atas leher jika berlangsung singkat dan disertai dengan nyeri tekan
dan kemerahan, menunjukkan limfadenetis sekunder akibat infeksi. Pembesaran
kelenjar limfe multiple, yang kadang-kadang mengalami fluktuasi seringkali

saling melekat dan bergabung dan biasanya tidak nyeri tekan sering merupakan
akibat proses granulomatosis kronik [4].
Faktor dalam menilai kelenjar limfe yang bengkak adalah usia pasien, ciri
khas kelenjar limfe, lokasi kelenjar dan latar belakang klinis yang terkait dengan
limfadenopati. Ciri fisik kelenjar perifer penting, kelenjar linfoma cenderung
teraba kenyal, seperti karet, saling berhubungan dan tanpa nyeri. Kelenjar pada
karsinoma metastatik biasanya keras dan terfikasasi pada jaringan dibawahnya.
Pada infeksi akut, kelenjar limfe akan teraba lunak, membengkak secara asimetris
dan saling berhubungan serta kulit di atasnya eritematosus (kemerahan) [5].
Infeksi yang terjadi di rongga mulut sering mengakibatkan keradangan
limfonodi regional yang lazimnya disebut limfadenitis. Hal tersebut adalah
konsekuensi dari suatu sistem sirkulasi aliran limfe yang merupakan pertahanan
tubuh di dalam sistem limforetikuler tubuh manusia [6,7].
Salah satu tugas limfonodi adalah melakukan penyaringan terhadap
hadirnya antigen yang masuk ke dalam tubuh [6,7,8,9]. Antigen dapat berupa
protein asing atau mikroba penyebab infeksi misalnya bakteri, virus, fungi,
protozoa, dan molekul makro yang dihasilkan oleh mikroba [10].
Dalam proses penanggulangan infeksi, kadang-kadang terjadi terobosan
mikroorganisme yang masuk ke aliran limfe sampai ke limfonodi [10]. Bila sifat
bawaan mikroorganisme tersebut subvirulen dan dapat ditanggulangi oleh sistem
pertahanan tubuh, maka akan terjadi limfadenitis kronis. Akan tetapi bila sistem
pertahanan tubuh tidak dapat menganggulanginya, dan jasad renik termasuk jenis
piogenik maka akan timbul supurasi pada limfonodi [7].

Palpasi leher dan wajah harus dilakukan secara sistematik. kelenjar limfe
leher dan metastatik seringkali terletak pada segitiga leher depan. daerah ini perlu
diinspeksi dengan cermat, khususnya di bawah otot sternokleidomastoideus dan
sepanjang perjalanan selubung karotis [11].
Proses pembesaran kelenjar limfe oleh karena infeksi berbeda dengan
metastasis karsinoma (kanker). Pada pembesaran kelenjar limfe yang disebabkan
oleh infeksi dapat dijelaskan sebagai berikut. Infeksi yang dimulai dengan
masuknya kuman patogen ke dalam tubuh, direspons oleh sistem kekebalan yang
berlapis. Di lapis depan berjajar komponen normal tubuh seperti kulit, selaput
lendir, batuk, flora normal dan berbagai sel. Di pusat pertahanan, terdapat kelenjar
limfe yang menyimpan dua mesin perang yaitu limfosit T dan limfosit B. Kelenjar
limfe tersusun secara regional menjaga kawasan tertentu. Karena itu mereka
disebut juga sentinel node (sentinal adalah penjaga dan node adalah kelenjar
limfe). Sentinel node kepala dan muka, terdapat di leher; payudara dan tangan,
ketiak; kaki, lipat paha dan sebagainya [12].
Dalam peperangan itu salah satu tugas lapis pertama adalah membawa
sampel kuman ke limfosit untuk identifikasi dan pemrograman penghancurannya.
Kemudian limfe atau cairan getah bening akan membawa sel T dan sel B, ke
daerah konflik. Dalam usahanya kelenjar limfe regional akan meningkatkan
aktivitasnya hingga membesar. Ciri-ciri pembesaran kelenjar limfe dalam
mengatasi infeksi adalah sakit. Karena itu bila pembesaran kelenjar limfe regional
dengan nyeri dan disertai tanda-tanda infeksi di daerah itu, pencarian dan
pengobatan pusat infeksi menjadi prioritas [12].

Berbeda dengan infeksi, kelenjar limfe regional akan kewalahan menghadapi


kanker. Mereka melakukan penetrasi secara bertahap dalam waktu tahunan.
Lama-lama kelenjar limfe regional akan membesar tanpa rasa sakit. Karena
itu bila pembesaran kelenjar limfe regional tidak sakit, pencarian kanker
primer menjadi prioritas [12].
2.5

Trismus

2.5.1Definisi
Trismus adalah tonik kontraksi dari otot pengunyah sehingga terjadi
pembatasan dalam membuka mulut
2.5.2Etiologi
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan trismus:

Infeksi
o Odontogenik
Berasal dari tiga sumber yaitu pulpa, periodontal, dan
perikoronal.
Adanya infeksi oral terutama yang berkaitan dengan erupsi
molar tiga mandibular, merupakan penyebab terbanyak.
Infeksi odontogen yang melibatkan otot mastikasi umumnya
disertai dengan trismus pada presentasi awal.
o Non odontogenik
Infeksi seperti tonsilitis, tetanus, meningitis, abses parotis,
dan abses otak dapat menyebabkan trismus

Trauma
Fraktur, terutama pada mandibula, dapat menyebabkan keterbatasan
membuka rahang. Tergantung pada jenis cedera dan arah traumatis,
fraktur mandibula dapat terjadi di lokasi yang berbeda dan
menghasilkan hipomotiliti mandibular.

Perawatan gigi

Prosedur operasi oral dapat menghasilkan terbatasnya membuka


mulut. Ekstraksi gigi juga dapat menyebabkan trismus sebagai akibat
dari inflamasi yang melibatkan otot mastikasi atau trauma langsung
pada sendi temporomandibular. Penyebab umum lainnya dari trismus
pada praktik umum adalah pembukaan terbatas mulut yang terjadi 25 hari setelah blok mandibula. Hal ini dihubungkan dengan posisi
jarum ketika memberikan blok saraf.

Gangguan sendi temporomandibular


o Intrakapsular (termasuk perpindahan diskus, artritis, fibrosis)
Umumnya akibat trauma. Sering didapatkan nyeri saat
palpasi.
o Ekstrakapsular (terutama myofacial)

Tumor
Trismus dapat menjadi gejala tumor nasofaring atau infratemporal
ataupun fibrosis dari tendon temporalis, sehingga menghasilka
gerakan rahang yang terbatas.

Obat-obatan
Beberapa obat yang dapat memberi efek sekunder trismus adalah
succinylcholine,

phenothiazines

and

tricyclic

antidepressants.

Trismus juga dapat dilihat sebagai efek samping ekstrapiramidal dari


metaclopramide, phenothiazines.

Radioterapi
Radioterapi umumnya digunakan untuk mengobati karsinoma sel
skuamosa dari kepala, leher dan limfoma regional. Komplikasi yang
mungkin terjadi adalah osteoradionekrosis, sehingga menghasilkan
rasa sakit, trismus, supurasi dan kadang-kadang luka berbau busuk.

Ketika otot-otot pengunyahan terkena radiasi, dapat terjadi fibrosis


dan

menyebabkan

trismus,

mengurangi

berbagai

gerakan.

Rekomendasi untuk meminimalkan efek radiasi padaotot-otot wajah


dan pengunyahan yaitu penggunaan stent pelindung, latihan rahang
dan oksigen hiperbarik untuk meningkatkan neovaskularisasi.

Masalah bawaan seperti hipertrofi koronoid dan sindrom trismuspseudo-camptodactyly yaitu kombinasi dari ketidaknormalan tangan,
kaki, dan mulut disertai trismus.

2.5.3Tatalaksana

Heat therapy seperti kompres hangat

Fisioterapi
Pada fase akut pasien disarankan untuk berlatuh membuka dan
menutup rahang dan gerakan lateral temporomandibular joint selama
5 menit tiap 3-4 jam

Analgesik

Antiinflamasi

Diet lunak

Relaksan otot
Contoh : diazepam (2,5-5 mg tiga kali sehari)

Evaluasi perbaikan dalam 48 jam


Jika lebih dari 48 jam rasa sakit dan disfungsi masih berlanjut, perlu
dicurigai adanya infeksi. Pemberian antibiotik perlu ditambahkan ke
pengobatan.

Tindakan bedah
Pada kasus nyeri atau disfungsi berat, jika tidak ada perbaikan dalam
2-3 hari tanpa antibiotik atau 5-7 hari dengan antibiotik, atau jika
kemampuan membuka mulut menjadi sangat terbatas, pasien harus
dirujuk ke dokter bedah oral dan maksilofasial untuk evaluasi.

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1

Identitas Pasien

3.2

Nama

: Tn. A

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 19 tahun

Pekerjaan

: Mahasiswa

Alamat

: Pati

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Tgl. Pemeriksaan

: 13 November 2015

No. CM

: 002817

Data Dasar
A. Subyektif
Autoanamnesis dengan pasien pada 13 November 2015 pukul 08.30 WIB
di Poli rawat jalan Gigi dan Mulut Rumah Sakit Nasional Diponegoro
Semarang

Keluhan utama : Tidak bisa membuka mulut

Riwayat penyakit sekarang :


Tiga hari yang lalu pasien merasa sakit gigi geraham kiri bawah. Pasien
datang ke RSND kemudian diberi obat antinyeri dan foto panoramik. Hasil
foto panoramik menunjukkan impaksi gigi graham kiri bawah. Saat ini
pasien datang dengan keluhan gusi bengkak berdarah, sakit kepala, dan
sulit membuka mulut. Pasien ingin cabut gigi.

Riwayat penyakit dahulu :


o Riwayat trauma daerah wajah dan mulut (-)
o Riwayat menggunakan gigi palsu (-), gigi logam (-)
o Riwayat merokok (-)

o Riwayat mengonsumsi alkohol (-)


o Riwayat alergi obat (-)
o Riwayat diabetes mellitus (-)
o Riwayat hipertensi (-)
o Riwayat penyakit jantung (-)
o Riwayat menderita penyakit keganasan (-)
o Riwayat penyinaran daerah kepala sampai leher (-)

Riwayat penyakit Keluarga


o Riwayat hipertensi (-)
o Riwayat diabetes melitus (-)
o Riwayat menderita penyakit keganasan (-)
o Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan seperti ini (-)

Riwayat sosial ekonomi


o Pasien seorang mahasiswa
o Biaya pengobatan ditanggung pribadi
o Kesan sosial ekonomi cukup

Obat atau terapi yang sedang dijalani


o Asam Mefenamat
B. Obyektif
Dilakukan pada 13 November 2015 pukul 09.00 WIB di Poli rawat jalan
Gigi dan Mulut RSND Semarang
a) Status Generalis
o Keadaan umum
Kesadaran

: compos mentis

Keadaan gizi : baik


o Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi

: 80x/menit

RR

: 20x/menit

Suhu

: 37C

o Gambaran umum lainnya:


Tinggi badan : 170 cm
Berat badan

: 72 kg

BMI

: 24,9 (kesan : berat badan normal)

Hidrasi

: Baik

Edema

: (-)

Pucat

: (-)

Clubbing finger : (-)


Jaundice

: (-)

b) Pemeriksaan fisik
o Pemeriksaan Ekstraoral
o Wajah
Inspeksi : asimetri (-), pembengkakan (-), warna kemerahan
(-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
o Leher
Inspeksi : pembesaran kelenjar limfe submandibula sinistra
(+), dextra (-)
Palpasi : nyeri (+)
o Pemeriksaan Intraoral
Mukosa pipi kiri

: edema (-/-), hiperemis (-/-)

Mukosa pipi kanan

: edema (-/-), hiperemis (-/-)

Mukosa palatum

: edema (-/-), hiperemis (-/-)

Mukosa dasar mulut/ lidah

: edema (-/-), hiperemis (-/-)

Mukosa pharynx

: edema (-/-), hiperemis (-/-)

Kelainan periodontal

: tidak ada

Ginggiva RA

: edema (-/-), hiperemis (-/-)

Ginggiva RB

: edema (+/+), hiperemis (+/+)

Karang gigi

: tidak ada

Oklusi

: abnormal e.c trismus

Palatum

:sedang

Supernumery teeth

:tidak ada

Diastema

:tidak ada

Gigi anomali

:tidak ada

c) Status Lokalis
o Pemeriksaan Ekstraoral
Inspeksi

: Wajah simetris, benjolan di submandibula sinistra,


trismus derajat 3 ( dapat membuka mulut hanya 2-3
cm)

Palbasi

: teraba benjolan, konsistensi kenyal, fluktuasi (-),

permukaan licin, tidak berbenjol-benjol, nyeri tekan (+), pingpong


phenomen (-), krepitasi (-)
o Pemeriksaan Intraoral
Inspeksi

: tampak gigi 3.8 impaksi

Palpasi

:Nyeri tekan (+), ginggiva berdarah

d) Status Dental
Gigi 3.8
Inspeksi

: partial eruption, ginggiva bengkak, berdarah dan terdapat

indentasi
Sondasi

: (-)

Perkusi

: (-)

Palpasi

: nyeri (+)

Vitalitas

: vital

Mobilitas : (-)
e) Odontogram

PE

PE

UE

Keterangan :
1.8 partial ruption
3.8 erupsi difisilis
4.8 uneruption
3.3

Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen panoramik
Didapatkan hasil:
o Tampak gigi 3.8 tumbuh miring/impaksi
o Tampak gigi 4.8 tumbuh miring/impaksi

3.4

Diagnosis Keluhan Utama


Limfademitis submandibula sinistra ec perikoronitis ec traumatik oklusi
2.8 et 3.8 erupsi dificilis

3.5

Initian plan
Dx

:S:O:-

Rx

:
Ekstraksi gigi 2.8
R/ Amoxicilin tab 500 mg no. XII
S 3 dd I habiskan
R/ Asam Mefenamat 500 mg no. X
S 3 dd I prn
Terapi untuk trismus :
Rehab medik fisik untuk melatih membuka mulut
Pemberian muscle relaxant jika rehab medik fisik tidak berkurang
Kontrol post ekstraksi : subjektif dan objektif

Mx

: keadaan umum, tanda-tanda vital, tanda infeksi dan peradangan,

trismus
Ex

:
o Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang diderita
pasien
o Menjelaskan penatalaksanaan yang akan dilakukan kepada pasien
Memberi edukasi mengenai cara menjaga kebersihan oral

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien didiagnosis mengalami Limfademitis submandibula
sinistra ec perikoronitis ec traumatik oklusi 2.8 et 3.8 erupsi dificilis. Pasien
mengeluh terdapat nyeri di geraham kiri bawah disertai pembengkakan gusi dan
mudah berdarah, sulit membuka mulut dan nyeri kepala. Foto panoramik yang
telah dilakukan menampilkan hasil gigi impaksi pada 3.8 dan 4.8. Namun yang
memberikan keluhan pada pasien hanya gigi 3.8. Pada riwayat penyakit, pasien
menyangkal riwayat hipertensi, penyakit jantung dan diabetes melitus.
Tanda vital pasien dalam batas normal. Pada pemeriksaan ekstraoral,
kondisi wajah dalam batas normal, sedangkan pada leher didapat kan pembesaran
kelenjar submandibula sinistra dengan nyeri tekan. Pada pemeriksaan intraoral,
tampak edema dan hiperemis pada ginggiva rahang bawah kiri. Dalam
pemeriksaan status lokalis kelenjar mandibula sinistra teraba benjolan dengan
konsistensi kenyal, tidak terdapat fluktuasi, permukaan licin, tidak berbenjolbenjol, nyeri tekan positif, dan tidak didapatkan pingpong phenomen maupun
krepitasi. Pada lokasi sekitar gigi 3.8 yang mengalami impaksi, tampak gigi erupsi
sebagian dan terlihat adanya ginggiva bengkak, berdarah dan terdapat indentasi,
pemeriksaan sondasi negatif, perkusi negatif, palpasi terasa nyeri, gigi masih vital,
dan tiak ada mobilitas.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien mengalami
limfadenitis yang ditandai dengan adanya pembesaran kelenjar submandibula
dengan nyeri tekan. Limfadenitis ini dicurigai akibat adanya peradangan pada
jaringan perikoronal (perikoronitis). Perikoronitis pada pasien ini kemungkinan
akibat adanya trauma oklusi dari gigi 2.8 yang terus-menerus pada jaringan
perikoronal yang melingkupi gigi 3.8 yang mengalami impaksi. Adanya impaksi
gigi dan jaringan perikoronal di atasnya memberikan risiko terselipnya makanan
dan berkembangnya bakteri pada daerah tersebut sehingga memicu adanya
inflamasi dan infeksi bakteri. Ditambah dengan adanya trauma oklusi pada kasus
ini semakin memperparah perikoronitis yang ada bahkan menghasilkan adanya
perdarahan pada daerah tersebut.

Pada kasus ini terdapat dua masalah utama yaitu trauma oklusi dan
impaksi gigi. Namun pada fase akut yang terjadi pada pasien, dokter perlu
memberi perhatian utama terhadap trauma oklusi yang terjadi karena trauma
oklusi tersebut menyebabkan peradangan yang tidak kunjung berhenti selama gigi
2.8 masih memberikan trauma pada jaringan perikoronal tersebut. Oleh karena itu,
untuk penanganan awal perlu dilakukan ekstraksi gigi 2.8 untuk menghilangkan
gejala perikoronitis. Selain itu, gejala lain seperti nyeri perlu diberikan analgesik
misalnya asam mefenamat, trismus perlu dilakukan rehab medik untuk melatih
otot mastikasi jika tidak ada perbaikan maka dapat diberi obat relaktan otot seperti
diazepam. Untuk kecurigaan infeksi pada perikoronitis itu sendiri, perlu diberikan
antibiotik dengan spektrum luas sepeti amoxicilin selama 7 hari. Kemudian pasien
kembali kontrol sekitar 7 hari untuk melihat perkembangan dari proses
penyembuhan pasca ekstraksi gigi 2.8 dan tanda-tanda inflamasi maupun infeksi
pada jaringan perikoronal di sekitar gigi 3.8, serta evaluasi keluhan trismus. Jika
tidak ada keluhan lagi, selanjutnya adalah tatalaksana untuk masalah impaksi gigi
3.8 yaitu dengan dilakukannya ekstraksi gigi 3.8. Edukasi untuk pasien juga
penting mengenai kebersihan oral untuk mencegah infeksi odontogen.

BAB VII
KESIMPULAN
Pasien mengalami limfadenitis akibat perikoronitis yang disebabkan
adanya trama oklusi dan impaksi gigi 3.8. Keadaan ini disertai dengan adanya
trismus derajat 3.
Terapi yang perlu diberikan pada kasus ini adalah ekstraksi gigi 2.8 untuk
menghilangkan penyebab trauma oklusi. Di samping itu juga diberikan obat
antinyeri dan antibiotik untuk perikoronitis dan latihan otot mastikasi atau jika
perlu ditambah dengan relaktan otot untuk gangguan membuka mulut. Untuk
penanganan selanjutnya yaitu ekstraksi gigi 3.8 yang mengalami impaksi,
dilakukan setelah masalah perikoronitis teratasi.

BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA
Impaksi
Trauma oklusi
1. Rupprecht RD. Trauma from occlusion : a review. Naval Postgraduate
Dental School [serial online] 2004 Jan [cited 17 Desember 2012];
26(1):25-7.

Available

from

URL

http://www.bethesda.med.navy.mil/careers/postgraduatedentalschool/resea
rch/clinicalUpdates/2004/0401%20Trauma%20from%20occlusion.doc
2. Carranza FA & Camargo PM. Periodontal respone to external forces. In :
Carranza Clinical Perodontology. 9th ed. Newman MG, Takei HH,
Carranza FA editor. Philadelphia: WB Saunders; 2002. p.371-81
3. Consolaro A. Occlusal trauma cannot be compared to orthodontic
movement. Journal of orthodontic. [serial online] 2012 [cited 22 Oktober
2013]; 17(6): p.5-12
Perikoronitis
1. Koerner K. Manual of Minor Oral Surgery for the General Dentist. USA :
Blackwell Munksgaard. 2006
2. Petterson Dental Supply.

Pericorontis.

2004.

Available

from:

http://www.cfdonline.com/Caesy%20Articles/Pericoronitis.pdf
3. O, Akpata. Acute Pericocronitis and the Position of the Mandibular Third
Molar in Nigerians. Nigeria: CMS UNIBEN JMBR. 2007; 6: 41-46
4. Moloney, Justin and Leo FA Stassen. Pericoronitis : Treatment and Clinical
Dilemma. Dublin: Journal of the Irish Dental Assosiation. 2009;
55(5):190-192
5. Pedersen, Gordon W. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC. 1996
6. Green J.P dr. Pericoronitis. Peterson dental supply article. 2007
7. Lopez-Piriz R, Aguilar L, Gimenez M.J. Management of odontogenic
infection of pulpal and periodontal orign. Med Oral Patol Oral Cir Bucal:
2007; 155-6, E158
Limfadenitis
1. Thomas, KH. Goldman, HM. 1960. Oral Pathology. Firth edition.
Philadelphia: CV Mosby Company. 476, 737.

2. Schwetschenau, E. 2002. The Adult Neck Mass. Am Fam Physician.


66:831-8.
3. Shafer, WG. Hin, MK. Levy, BM. 1983. A textbook of Oral Pathology. 4th
edition. Philadelphia.: WB Saunders Company. 1117, 519.
4. Delp, MH. & manning, RT. 1999. Pemeriksaan kepala dan Leher dalam
Major Diagnosis Fisik. 9th Ed. Jakarta: EGC.
5. Isselbacher, KJ. Brauwald, E. Wilson, JD. martin, JD. Fauci, AS. Kasper,
DL. 1999. Pembengkakan Kelenjar Limfe dan Limpa dalam Harriosn
Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. 13 th Ed. Jakarta: EGC.
6. Bellanti, J. 1993. Imunologi III. Ed. Ind. Noehajati Soeripto. Bulaksumur
Jogjakarta Indonesia: Gajah Mada university Press. 18-34.
7. Slots, J. Taubman, MA. 1992. Contemporary Oral Microbiology and
Immunology. St Louis: Mosby ear Book. 112-3.
8. Topazian, RG. Goldberg, MH. 1987. Oral and Maxillofacial Infections.
2nd ed. Philadelphia: Saunders Company. 159-64.
9. Regezi, AR. Sciubba, JJ. 1989. Oral Pathology. Clinical Pathologic
Correlations. Philadelphia: WB Saunders Company. 284.
10. Roiit, IM. 1990. PokokPokok Ilmu Kekebalan. Jakarta: Gramedia. 1, 80.
11. Miller, CH. Palenik, CJ. 1994. Infection Control and Management of
Hazardous Material for the Dental Team. St Louis: Mosby. 41.

12. Azwar, B. 2008. Pembesaran Kelenjar Getah Bening. Available at


http://www.suaradokter.com/2008/12/pembesaran-kelenjar-getah-beningkgb/. [21 November 2015]
Trismus
1. Dhanrajani, PJ dan Jonaidel O. Trismus aetiology, differential diagnosis, and
treatment. 2002; 29: 88-94

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai