Anda di halaman 1dari 26

Case Report Session

EPILEPSI POST TRAUMA

Oleh:
Dieni Rahmatika A 1110312072
Zikra Alfa Sani 1110312125
Pembimbing:
dr. Amilus Ismail, Sp. S

BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF


RSUD ACHMAD MUCHTAR BUKITTINGGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Epilepsi merupakan lepasnya muatan listrik abnormal yang disebabkan
gangguan sel-sel saraf otak yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi, yang
bersifat kronik dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam seranganserangan berulang secara spontan. WHO memperkirakan rata-rata terdapat 8,2
orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka
insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka insidensi dan prevalensi meningkat di
negara berkembang.1
International League Against Epilepsi (ILAE), mendefinisikan epilepsi
sebagai kecenderungan untuk terjadinya kejang tipe apapun secara klinis. Setiap
individu yang mengalami epilepsi mempunyai risiko yang bermakna untuk
mengalami kekambuhan kejang. Kejang terjadi secara mendadak, tidak disertai
demam berulang dan tidak dapat diprediksi kapan terjadinya. Kejang yang
menahun dan berulang dapat berakibat fatal dan mengakibatkan kematian, oleh
karena itu tujuan terapi utamanya adalah pengendalian penuh atas kejang.2
1.2 Batasan Masalah
Penulisan case report ini dibatasi pada definisi, etiologi, patofisiologi,
gambaran klinis, diagnosa banding, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan,
pencegahan sekunder, dan prognosis epilepsi.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan case report ini antara lain sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di
bagian neurologi RSUD Achmad Muchtar Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang
2. Menambah pengetahuan mengenai epilepsi
1.4 Metode Penulisan
Penulisan case report ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang
merujuk pada berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epilepsi
2.1.1 Definisi
Epilepsi adalah suatu kelainan neurologis yang menyebabkan terjadinya
kecenderungan kejang yang tidak diprovokasi. Epilepsi merupakan lepasnya
muatan listrik abnormal yang disebabkan gangguan sel-sel saraf otak yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi, yang bersifat kronik.1 Kejang biasanya
muncul tiba tiba dan berlangsung dalam waktu singkat. Kadang diikuti disertai
dengan penurunan kesadaran dan ganggual fungsi kandung kemih dan saluran
pencernaan.4 Kejang dan epilepsi bukan hal yang sama. Kejang didefenisikan
sebagai suatu gejala sementara yang bersifat fokal atau general karena aktivitas
neuronal otak yang berlebihan atau tidak sinkorn.3
Epilepsi dapat dibedakan menjadi symptomatic epilepsi yaitu epilepsi
muncul karena adanya kelainan atau penyakit pada otak (seperti asfiksia, trauma
kepala, meningitis). Disebut asymptomatic epilepsy jika penyebab dari epilepsi
tidak diketahui .5
2.1.2 Epidemiologi
Epilepsi merupakan suatu keadaan kelainan pada otak yang sering terjadi.
Prevalensi epilepsi diseluruh dunia sekitar 50 juta orang. Kejadian epilepsi
dinegara maju sebanyak 100/100000 penduduk dan di negara berkembang lebih
sering yaitu sebanyak 50/100000.4
Di negara berkembang sekitar 80-90% kasus epilepsi tidak mendapatkan
penatalaksanaan apapun. Epilepsi berdasarkan jenis kelamin, lebih tinggi pada
pria dibandingkan wanita. Insiden tertinggi epilepsi terjadi pada anak yang
berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan pada orang tua di atas 65
tahun (81/100.000 kasus). 4

2.1.3. Etiologi
Secara Etiologi epilepsi dibedakan menjadi:6

a. Epilepsi idiopatik (asimtomatik): penyebabnya tidak diketahui,


meliputi 50% dari penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai
predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat alat diagnostik
yang canggih kelompok ini makin kecil
b. Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh adanya kelainan/lesi pada
susunan saraf pusat. Misalnya: setelah trauma kepala, infeksi susunan
saraf pusat (SSP), kelainan metabolik, kelainan kongenital pada otak,
asphyxia neonatorum, Space occupaying lession, stroke, toksik
(alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.

2.1.4. Pencetus Epilepsi Dengan Riwayat Epilepsi 1,7


Faktor pencetus bangkitan epilepsi dapat berupa :
a. Kurang tidur
b. Stres Emosional
c. Obat-obat tertentu
d. Alkohol
e.Perubahan hormonal
f. Terlalu lelah
g. Fotosensitif
h. Kontrol tidak teratur dan putus obat
2.1.5 Patofisiologi
Terjadinya trauma, stroke, atau infeksi dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan sistem saraf pusat yang berakibat perubahan jaringan saraf normal
sehingga menjadi lebih mudah tereksitasi. Perubahan ini disebut dengan
epileptogenesis. Hal ini menyebabkan penurunan terhadap ambang kejang
sehingga menginisiasi terjadinya bangkitan kejang.8 Kejang pada epilepsi terjadi
karena stimulasi sebagian besar neuron secara berlebihan dan abnormal secara
fokal atau umum.8,9
Perubahan fungsi membran neuron menyebabkan ion Ca dan Na dengan
mudah melewati ruangan ekstrasel dan intrasel. Influks Ca akan mencetuskan

terjadinya letupan depolarisasi membran dan lepasnya muatan listrik secara


berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepasnya muatan listrik oleh karena
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi.
Bentuk khas serangan epilepsi ialah setelah beberapa saat serangan akan berhenti
karena proses inhibisi. Ini terjadi karena pengaruh neuron disekitar sarang
epileptik. Neuron pra dan pasca sinaptik juga memegang peranan proses inhibisi
agar neuron tidak terus menerus terlepas. Terhentinya serangan epilepsi juga
diakibatkan karena kelelahan neuron karena habisnya zat zat untuk fungsi otak.10
2.1.6 Klasifikasi
International League Against Epilepsi (ILAE) mengklasifikasikan kejang
epilepsi menjadi 2 kelompok utama yaitu kejang fokal dan kejang umum. Kejang
fokal terjadi di daerah tertentu pada korteks serebral.11Kejang fokal terjadi karena
adanya gangguan yang terbatas pada salah satu hemisfer otak dan gejala yang
muncul sesuai dengan regio otak yang terkena.3 Kejang umum terjadi secara
bersamaan pada kedua hemisfer otak. Beberapa kejang yang sulit untuk
diklasifikasikan dimasukkan pada kejang unclassified.11 Gejala dan tanda yang
muncul dengan sesuai dengan keterlibatan kedua hemisfer.3
Kejang fokal dapat dibagi menjadi : 11

Kejang fokal sederhana


Kejang yang terjadi sesuai dengan bagian otak yang terkena tanpa

penurunan kesadaran. Jika yang terkena bagian tangan, maka hanya tangan yang
akan mengalami sensasi gerakan abnormal. 11

Kejang fokal kompleks


Pada kejang fokal kompleks terjadi perubahan atau penurunan kesadaran.

Untuk menentukan adanya penurunan kesadaran, pasien diminta untuk mengingat


kejadian yang sebelumnya.

Kejang tonik-klonik umum sekunder


Kejang tonik-klonik umum sekunder diawali dengan aura yang kemudian

berlanjut menjadi kejang fokal kompleks dan menjadi kejang umum tonik-klonik.

Kejang onset umum dibedakan menjadi :11

Kejang absence atau petit mal


Kejang petitmal merupakan suatu keadaan singkat gangguan kesadaran
tanpa disertai dengan adanya aura atau kebingungan. Kejang petit mal biasanya
disertai dengan otomatisasi ini bermanifestasi sebagai staring episodes dan
biasanya jarang disadari.11

Kejang mioklonik
Kejang mioklonik merupakan gerakan involunteer aritmik pada otot
atau pada sekelompok otot. berupa menyentak yang berlangsung selama 1 5
detik. Serangan biasanya terjadi berkelompok dalam beberapa menit.11

Kejang klonik
Serangan berupa gerakan motorik menyentak dan berirama, serangan
hampir sama dengan tipe mioklonik tapi durasi kejang lebih lama yaitu 2
menit. Kejang bisa disertai dengan penurunan kesadaran atau tanpa penurunan
kesadaran.11

Kejang tonik
Kejang tonik digambarkan seperti ekstensi dan fleksi kepala, badan atau
beraktifitas yang terjadi secara mendadak berlangsung selama beberapa detik.11

Kejang umum tonik-klonik primer atau Grand mal


Kejang diawali dengan ekstensi tonik secara umum dari ekstermitas
yang terjadi selama beberapa detik setelah itu diikuti gerakan klonik ritmik.
Setelah kejang terjadi kebingungan. Kejang umum primer dan sekunder secara
klinis hanya dibedakan dengan ada atau tidaknya aura. Pada kejang primer
tidak didahului oleh aura.11

Kejang atonik
Kejang atonik terjadi karena hilangnya tonus secara mendadak, kejang
atonik ini disebut juga "serangan drop." Pada kejang ini tiba tiba pasien akan
terjatuh. Hilangnya tonus biasanya berlangsung secara singkat.11

2.1.7 Diagnosis

Epilepsi

ditegakkan

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

pemeriksaan EEG dan radiologis.12


1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan secara rinci mengenai pola serangan,
lamanya serangan, gejala sebelum dan setelah serangan, frekuensi terjadinya
serangan, faktor pencetus serta usia saat terjadinya serangan pertama. Hal yang
penting ditanyakan adalah mengenai riwayat riwayat, seperti trauma kepala
yang disertai penurunan kesadaran, meningitis, gangguan metabolik, penggunaan
obat obat tertentu. Selain itu perlujuga ditanyakan mengenai riwayat kehamilan,
persalinan dan perkembangan, serta riwayat epilepsi dalam keluarga.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pada pemeriksaan fisik dilihat adanya tanda tanda yang berhubungan
dengan epilepsi seperti trauma kepala, infeksi pada telinga atau sinus, gangguan
kongenital, serta gangguan neurologis lain.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
EEG merupakan pemeriksaan penunjang gold standar untuk epilepsi.
Hasil EEG akan bermakna jika didukung dengan keadaan klinis. Normalnya
hasil EEG tidak menyingkirkan diagnosa epilepsi jika secara klinis terlihat
tanda tanda epilepsi.
b. Rekaman video EEG
Ketepatan diagnosis dapat dilihat melalui video dan rekaman EEG pada
seorang pasien yang sedang mengalami serangan. Rekaman pada saat serangan
dapat menentukan diagnosis dan lokasi asal serangan secara tepat.

c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan neuroimaging baik brain CT Scan atau MRI bertujuan untuk
menilai struktur otak serta melengkapi data EEG.
2.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan seluruh penderita epilepsi didasarkan atas hal-hal


sebagai berikut:

Diagnosis yang tepat disertai deskripsi jenis serangan


Identifikasi dan koreksi penyebab yang mendasarinya
Pemilihan OAE yang paling efektif untuk jenis serangan yang ada
OAE diberikan dengan dosis awal yang rendah dan bila perlu dinaikkan

sampai efektif atau sampai muncul efek samping,


Monoterapi sebagai prioritas utama.

Penatalaksanaan tahap akut


Pada saat serangan penderita harus berada pada tempat yang aman.
Pasien diposisikan lateral dekubitus untuk mencagah terjadi aspirasi. Pada saat
serangan jangan meninggalkan pasien sendiri dan setelah serangan jangan
langsung memberi makan atau minum sebelum pasien sadar penuh. 2
Macam-macam terapi epilepsi
Terapi

pada

epilepsi

dapat

berupa

terapi

farmakologi

dan

nonfarmakologi.1
A. Terapi Farmakologi
Prinsip terapi farmakologi1

OAE diberikan bila:


Diagnosis epilepsi

sudah didapatkan sesuai dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan EEG


Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang

tujuan pengobatan serta efek samping yang mungkin timbul akibat OAE.
Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari

(misalnya: alkohol, kurang tidur, stress, dll)


Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Dosis obat dimulai dari
dosis rendah kemudian dinaikkan secara bertahap sampai ditemukannya dosis

optimal dari obat tersebut.


Jika dengan terapi OAE lini pertama d e n g a n dosis maksimum tidak
bisa mengontrol bangkitan,

diganti OAE lini kedua. OAE lini kedua

diberikan dari dosis rendah kemudian ditingkatkan sampai dosis terapi,


setelah itu OAE lini kedua diturunkan dosisnya secara bertahap.

OAE lini kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan
OAE pertama.
Pasien dengan bangkitan tunggal, diberikan terapi OAE jika
1. Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
2. Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang
berkorelasi dengan bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma
otak, AVM, abses otak ensafalitis herpes
3. Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah
pada adanya kerusakan otak
4. Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang
tua)
5. Riwayat bangkitan simtomatis
6. Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi
seperti JME (Juvenile Myoclonic Epilepsy)
7. Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan
kesadaran, stroke, infeksi SSP
8. Bangkitan pertama berupa status epileptikus

Tabel 2.1 Dosis Obat1


OAE

Dosis awal
(mg/hari)

Dosis
rumatan
(mg/hari)

Jumlah dosis
per hari

Titrasi OAE

Carbamazepin

400-600

400-1600

2-3x
(untuk
yang CR 2x)

Mulai
100-200
mg/hari sampai target
dalam 1-4 minggu

Fenitoin

200-300

200-400

1-2X

Asam valproat

500-1000

500-2500

2-3X
untuk
yang CR 1-2X

Fenobarbital

50-100

50-200

Klobazam

10

10-30

1-2X

Mulai 100mg/hari
sampai target dalam
3-7 hari
Mulai 500mg/hari
bila perlu setelah 7
hari
Mulai
3050mg/malam hari
bila perlu setelah 1015 hari
Mulai 10mg/hari bila
perlu
sampai
20
mg/hari setelah 1-2
minggu

Waktu
tercapainya
steady state
(hari)
2-7

3-15
2-4
8-30

2-6

Levetirasetam

1000-2000

1000-3000

2X

Lamotrigine

50-100

50-200

1-2X

Mulai
500/1000
mg/hari bila perlu
setelah 2 minggu
Mulai
25mg/hari
selama 2 minggu
sampai 50 mg/hari
selama 2 minggu,
50mg/2 minggu

2
2-6

Obat obat OAE memiliki efek samping berupa :


Tabel 2.2 Efek samping obat1
No
1

Obat
Carbamazepine

Efek samping yang mengancam jiwa


Anemia
sindrom

aplastik,

hepatotoksisitas,

steven-johnson,

lupus

like

syndrome

Efek samping minor


Dizziness,

ataksia,

diplopia,

mual,

kelelahan, agranulositosis, leukopenia,


trombositopenia, hyponatremia, ruam,
gangguan perilaku, tiks, peningkatan
berat badan, disfungsi seksual, disfungsi

Phenytoin

Anemia aplastik, gangguan fungsi hati,

hormone tiroid, neuropati perifer


Hipertrofi gusi, hirsutisme, ataksia,

sindrom steven-johnson

nystagmus, diplopia, ruam, anoreksia,


mual, macroxytosis, neuropati perifer,

Phenobarbital

Asam Valproate

Hepatotoksik, gangguan jaringan ikat

penurunan absorpsi calcium pada usus


Mengantuk, ataksia, nystagmus, ruam

dan sumsum tulang, sindrom Steven-

kulit, depresi, hiperaktif( pada anak),

Johnson

gangguan belajar( pada anak), disfungsi

Hepatotoksisitas,

hiperamonemia,

lekopeni, trombositopeni, pankreatitis

seksual
Mual, muntah, rambut menipis, tremor,
amenorre,

peningkatan

berat

badan,

konstipasi, hirsutisme, alopesia pada


perempuan,
5

Levetiracetam

POS

mengantuk,

gangguan

agitasi,

ansietas,

perilaku,
Lamotrigine

Sindrom

Steven-Johnson,

gangguan

trombositopenia, leukopenia
Ruam, dizziness, tremor,

Oxcarbazepine

ataksia,

hepar akut, kegagalan multi organ,

diplopia, pandangan kabur, nyeri kepala,

teratogenik

mual,

muntah,

trombositopenia,
8

ovarii

syndrome)
Mual, nyeri kepala, dizziness, tremor,

Belum diketahui

kelemahan,

(polycystic

Ruam, teratogenik

insomnia,

nystagmus,

truncal

ataxia, tics
Dizziness, ataksia, nyeri kepala, mual,
kelelahan,

hyponatremia,

tremor, disfungsi visual

10

insomnia,

Topiramate

Batu ginjal, hipohidrosis, gangguan

Gangguan

kognitif,

kesulitan

fungsi hati, teratogenik

menemukan kata, dizziness, ataksia,


nyeri kepala, kelelahan, mual, penurunan
berat badan, paresthesia, glaukoma

2.2 Epilepsi Post Traumatik13


2.2.1 Definisi
Epilepsi post trauma (Post traumatic seizure (PTS)) adalah salah satu
bentuk dari epilepsi simptomatik berupa timbulnya gejala kejang berulang yang
merupakan akibat dari kerusakan otak akibat trauma. Hal ini diduga sebagai
sebuah mekanisme yang ditimbulkan karena cidera kepala yang menyebabkan
jaringan otak memicu sebuah proses kronik sehingga berkembang menjadi suatu
kejang. PTS dibagi menjadi:
1. Immediate post traumatic seizures (PTSs) yang terjadi dalam 24 jam
setelah cidera
2. Early seizure yang terjadi dalam 1 minggu setelah cidera
3. Late seizure yang terjadi lebih dari 1 minggu setelah cidera
Immediate dan early seizure termasuk pada kejang yang diprovokasi dan
belum dikatakan epilepsi karena tidak terdapat patogenesis yang mendasari
terjadinya suatu proses kronik yang bermanifestasi kepada kejang epilepsi.
Epilepsi post traumatik adalah terjadinya suatu late seizure (lebih dari 1 minggu
setelah cidera kepala) dan tidak diprovokasi,
2.2.2. Epidemiologi
Epilepsi post traumatik adalah penyebab paling banyak dari epilepsi pada
dewasa muda karena lebih berisiko untuk terjadinya cidera kepala. Prevalensi
terjadinya epilepsi karena trauma di Eropa berkisar antara 2-16%. Cidera kepala
yang berat berkorelasi dengan meningkatnya risiko untuk terjadinya early dan
late post traumatic seizure. Insiden terjadinya early PTSs adalah 2,6-16,9%,
sedangkan untuk late PTSs 1,9-30%.
2.2.3. Faktor Risiko
Karakteristik dari trauma dan lesi yang ditimbulkan dari suatu cidera
berpengaruh dalam perkembangan PTSs. Cidera kepala dengan fraktur tengkorak
berisiko 10,6% berkembang menjadi epilepsi. Cidera kepala yang berisiko untuk
11

terjadinya early PTSs adalah tipe perdarahan subdural akut dan perdarahan
intraparenkimal akut, sedangkan untuk late PTSs adalah hematom subdural akut,
perdarahan subdural akut dan kontusio serebri multipel. Beberapa penelitian
menemukan terjadinya early PTSs merupakan faktor risiko untuk terjadinya late
PTSs pada orang dewasa.
2.2.4. Manifestasi Klinis
Kebanyakan kasus dari epilepsi post traumatik merupakan epilepsi tipe
fokal atau epilepsi fokal dengan perluasan sekunder. Status epileptikus tidak
umum terjadi, namun hanya pada 10% pasien dengan epilepsi post traumatik.
Kebanyakan epilepsi post traumatik terjadi dalam waktu 2 tahun setelah trauma.
Ketika suatu epilepsi post traumaik didiagnosa, angka remisi dari kejang
bervariasi antara 25-40%. Pasien dengan insiden kejang dalam tahun pertama
setelah trauma memiliki angka probabilitas remisi yang rendah.
2.2.5. Diagnosis
Pada pasien dengan onset kejang yang cepat setelah suatu trauma, penting
untuk disingkirkan kemungkinan penyebab lain dari tipe kejang yang
terprovokasi. Pasien dengan trauma selalu diiringi dengan ketidakseimbangan
kondisi metabolik dan sirkulasi yang mencetuskan tingginya kemungkinan
terjadinya ketidakseimbangan biokimia seperti hiponatremi yang menurunkan
ambang kejang.
EEG
EEG berguna untuk mencari fokus lesi dan untuk mengukur luasnya
kerusakan, tapi ini tidak bisa digunakan untuk memprediksi suatu perkembangan
dari epilepsi. Lebih dari 20% pasien dengan epilepsi post trauma memiliki
gambaran EEG yang negatif dalam 3 bulan pertama setelah trauma.
Radiologi
Dalam keadaan emergensi, CT scan adalah pemeriksaan utama untuk
melakukan investigasi secara cepat. Pada CT scan dapat terlihat ada atau tidaknya
fokus perdarahan intra atau ekstraparenkim. Brain MRI merupakan pilihan pada
pasien dengan late seizure. Pada gambaran MRI T2 akan tampak deposit
hemosiderin yang berperan dalam epilepsitogenesis.
2.2.6 Penatalaksanaan
a. Profilaksis
12

Penggunaan antikonvulsi pada fase akut setelah trauma umum digunakan


dalam praktek sehari-hari. Pada fase immediate dan early seizure mungkin
terdapat peningkatan tekanan intraserebral dan intrakranial. Terapi profilaksis
terutama dapat menghentikan atau menunda mekanisme epileptogenesis,
b. Obat anti epilepsi
Penggunaan obat anti epilepsi pada fase early masih menjadi kontroversi.
Secara umum rekomendasi obat untuk epilepsi post traumatik fase early seizure
adalah fenitoin sebagai pilihan pertama. Leviracetam dan carbamazepin
merupakan pilihan kedua. Fenobarbital dan asam valproat tidak direkomendasikan
sebagai profilaksis PTSs.
2.3. Status Epileptikus
2.3.1. Definisi
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30
menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi
tidak terdapat pemulihan kesadaran.1
2.3.2. Etiologi8
-

Hipoglikemi

Hipoksemia

Trauma

Infeksi

Tumor

Toksisitas obat

Gangguan metabolik

Tidak diketahui (30%)

2.3.4.Klasifikasi
Dikenal dua tipe status epileptikus, yaitu ;

SE konvulsif (terdapat bangkitan motorik)

Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit,
atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara
bangkitan.

13

SE non-konvulsif (tidak terdapat bangkitan motorik).

Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat aktivitas


bangkitan elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala
klinis nonmotorik termasuk perubahan perilaku atau awareness.

2.3.5 Penanganan
1. Status epileptikus konvulsif
a.
Protokol penanganan status epileptikus konvulsif :
- Stadium 1 (0-10 menit) SE Dini
Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi
Berikan oksigen
Periksa fungsi kardiorespirasi
Pasang infus
-

Stadium 2 (0-30 menit)


Monitor pasien
Pertimbangkan kemungkinan kondisi non epileptik
Terapi antiepilepsi emergensi
Pemeriksaan emergensi (lihat di bawah)
Berikan glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250 mg i.v bila ada
kecurigaan penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi
Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat

Stadium 3 (0-60 menit) SE menetap


Pastikan etiologi
Siapkan untuk rujuk ke ICU
Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi
Vasopressor bila diperlukan

Stadium 4 (30-90 menit)


Pindah ke ICU
Perawatan intensif dan monitor EEG
Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan
Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang

14

b.

Obat anti epilepsi yang digunakan1

Stadium premonitor

Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat diulangi 15 menit

(sebelum ke rumah sakit)

kemudian bila kejang masih berlanjut, atau midazolam 10


mg diberikan intrabuccal( belum tersedia di Indonesia. Bila

SE dini

bangkitan berlanjut, terapi sebagai berikut.


Lorazepam (intravena) 0,1mg/kgBB (dapat diberikan
4mg bolus, diulang satu kali setelah10-20menit).
Berikan OAE yang biasa digunakan bila pasien sudah

SE menetap

pernah mendapat terapi OAE


Bila bangkitan masih berlanjut terapi sebagai berikut
dibawahini. Phenytoin i.v dosis of 15-18mg/kg dengan
kecepatan

pemberian

Phenobarbital
SE refrakter

50mg/menit

10-15mg/kg

i.v

dan/atau

dengan

bolus

kecepatan

pemberian 100mg/menit
Anestesi umum dengan salah satu obat dibawah
ini:
-

Propofol 1-2 mg/KgBB bolus, dilanjutkan 210

mg/kg/jam

dititrasi

naik

sampai

SEterkontrol
-

Midazolam0,1-0,2mg/kgbolus,dilanjutkan 0,050,5 mg/kg/jam dititrasi naik sampaiSEterkontrol

Thiopentalsodium3-5 mg/kg bolus, dilanjut 3-5


mg/kg/jamdititrasinaik sampaiterkontrol

2. Status epileptikus nonkonvulsif


- Dapat ditemukan pada 1/3 kasus SE
- Dapat dibagi menjadi status epileptikus lena, status epileptikus parsial
kompleks, nonkonvulsif pada penyandang dengan koma dan status
epileptikus pada penyandang dengan gangguan belajar.

15

Pemilihan terapi untuk status epileptikus nonkonvulsivus bermacammacam sesuai jenis bangkitannya.

Dosis OAE pada SE Non Konvulsif


SE lena biasanya bisa dihentikan dengan benzodiazepine intravena:
diazepam 0,2-0,3 mg/kg, atau clonazepam 1 mg (0,25-0,5 mg pada
anak-anak) atau lorazepam 0,07 mg/kg (0,1 mg/kg pada anak), dapat
diulangi bila diperlukan. Bila terapi ini tidak efektif, mungkin bisa
diberikan fenitoin atau valproat intravena.
SE parsial kompleks paling baik diterapi dengan benzodiazepine.
Terdapat kontroversi tentang perlunya pemberian intravena pada kasus
ini, tetapi pada kebanyakan kasus terapi oral member hasil yang cukup
baik(Kusumastuti, 2014).

2.3.6. Prognosis
Resiko kematian mendadak individu dengan pengobatan epilepsi 24 kali
lebih tinggi pada populasi pada umumnya. Penyebab kematian pada epilepsi yang
tidak dapat di jelaskan (SUDEP : sudden explained death in epilepsy). Hipothesa
termasuk didalamnya arrytmia, asphyxia, dan gagal nafas merupakan perkiraan
antara 2% dan 17% dari semua kematian pada individu dengan epilepsi
kemungkinan disebabkan karena SUDEP. Faktor resiko SUDEP termasuk

16

pengontrolan kejang yang buruk, onset awal dari kejang dan riwayat kejang tonikklonik.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama

: Ny.D

Jenis Kelamin : Perempuan


Umur

: 27 tahun

Alamat

: Lubuk Sikaping

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Agama

: Islam

No MR

: 453562

Seorang pasien perempuan umur 27 tahun dirawat di bangsal saraf RSUD


Achmad Muchtar Bukittinggi pada tanggal 19 September 2016 dengan :
Keluhan utama :
Kejang berulang
Riwayat Penyakit Sekarang :

Kejang berulang sejak 18 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang


umum seluruh tubuh, lama 15 menit, frekuensi kejang lebih dari 5 kali.
Jarak antar kejang lebih kurang 5 menit. Setelah kejang pasien tidak sadar dan
keluar busa dari mulut.

Penurunan kesadaran sejak kejang pertama

Riwayat sakit kepala berulang (+)

Riwayat pandangan ganda (+)

Mual tidak ada, muntah tidak ada

Demam tidak ada, sesak tidak ada

Riwayat terjatuh dikamar mandi lebih kurang 6 bulan yang lalu,


posisi kepala bagian belakang terbentur, pasien kejang dan tidak sadar setelah

17

terjatuh. Pasien dibawa ke RSUP DR M Djamil, dilakukan pemeriksaan CT


Scan dan EEG. Pasien dirawat selama 10 hari dengan diagnosa epilepsi post
traumatik

Pasien mendapat obat depaken selama 6 bulan namun pasien tidak


lagi meminum obat sejak 2 bulan yang lalu karena pasien merasakan dada
terasa berdebar-debar setelah meminum obat

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat dirawat 6 kali dengan keluhan kejang berulang disertai


penurunan kesadaran

Kejang terakhir 2 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan kejang dengan atau
tanpa penurunan kesadaran
Riwayat Pekerjaan dan Sosio Ekonomi

Pasien seorang ibu rumah tangga dengan aktivitas ringan-sedang

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: sedang
Kesadaran

: GCS 15 (E4 M6 V5)

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 84 x/menit

Napas

: 20x/menit

Suhu

: 36,7oC

Status gizi

: baik

Pemeriksaan Khusus
Kulit

: turgor baik

Kepala

: normochepal

Rambut

: hitam-putih, tidak mudah dicabut

Mata

: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik

18

Telinga

: tidak ditemukan kelainan

Hidung

: tidak ditemukan kelainan

Leher

: JVP 5-2 cmH2O

Status Internus
Kelenjar Getah Bening
Leher
Aksila
Inguinal

: tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening


: tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
: tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening

Thoraks
Paru

Jantung

Inspeksi

: normochest, gerakan paru simetris kiri = kanan

Palpasi

: fremitus sama kiri = kanan

Perkusi

: sonor

Auskultasi

: vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Inspeksi

: ictus Cordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus Cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi

: batas jantung tidak melebar

Auskultasi

: irama reguler, bising (-), gallop (-)

Inspeksi

: perut tidak tampak membuncit, distensi (-)

Palpasi

: supel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: timpani

Abdomen

Auskultasi : bising usus (+) normal


STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran Compos Mentis, GCS15 (E4 M6 V5)
1. Tanda Rangsangan Selaput Otak
Kaku Kuduk

: (-)

Brudzinski I

: (-)

Brudzinki II

: (-)

Tanda Kernig

: (-)

2. Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial (-)


Pupil

: isokor, bulat, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya +/+

19

3. Pemeriksaan Nervus Kranialis


N.I (Olfaktorius)
Penciuman
Subjektif
Objektif (dengan bahan)

Kanan
Kiri
baik
Baik
Tidak dilakukan pemeriksaan

N.II (Optikus)
Penglihatan
Tajam Penglihatan
Lapangan Pandang
Melihat warna
Funduskopi

Kanan
Kiri
6/6
6/6
Baik
Baik
Baik
Baik
Tidak dilakukan pemeriksaan

N.III (Okulomotorius)
Bola Mata
Ptosis
Gerakan Bulbus
Strabismus
Nistagmus
Ekso/Endopthalmus
Pupil
Bentuk
Refleks Cahaya
Refleks Akomodasi
Refleks Konvergensi

Kanan
Ortho
bebas kesegala arah
-

Kiri
Ortho
bebas kesegala arah
-

Bulat
(+)
(+)
(+)

Bulat
(+)
(+)
(+)

N. IV (Troklearis)
Gerakan mata ke bawah
Sikap bulbus
Diplopia

Kanan
+
Ortho
-

Kiri
+
Ortho
-

Kanan
+
Ortho
-

Kiri
+
Ortho
-

N. VI (Abdusens)
Gerakan mata ke lateral
Sikap bulbus
Diplopia

20

N. V (Trigeminus)
Motorik
Membuka mulut
Menggerakan rahang
Menggigit
Mengunyah
Sensorik
-Divisi Oftlamika
Refleks Kornea

Kanan

Kiri

+
+
+
+

+
+
+
+
Tidak dilakukan pemeriksaan

N. VII (Fasialis)
Kanan
Raut wajah
Sekresi air mata
Fisura palpebral
Menggerakan dahi
Menutup mata
Mencibir/bersiul
Memperlihatkan gigi
Sensasi lidah 2/3 belakang
Hiperakusis

Kiri
Simetris

+
+
+
simetris, kuat

+
+
+
simetris, kuat
Simetris
Simetris
Baik
-

N. VIII (Vestibularis)
Suara berbisik
Detik Arloji
Nistagmus

Kanan
baik
baik
-

Kiri
Baik
Baik
-

N.IX (Glossofaringeus)
Kanan
Sensasi Lidah 1/3 belakang
Refleks muntah (gag refleks)

Kiri
baik
Tidak dilakukan pemeriksaan

N.X (Vagus)
Arkus faring
Uvula
Menelan
Artikulasi
Suara

Kanan
Simetris
Di tengah
Baik
Jelas
Baik

Kiri

21

Nadi

Teratur, kuat angkat

N. XI (Asesorius)
Menoleh kekanan
Menoleh kekiri
Mengangkat bahu kanan
Mengangkat bahu kiri

+
+
+
+

N. XII (Hipoglosus)
Kedudukan lidah dalam
Kedudukan lidah dijulurkan
Tremor
Fasikulasi
Atropi

Kanan
Kiri
ditengah tidak ada deviasi
tidak ada deviasi
-

Pemeriksaan Koordinasi
Cara Berjalan
Romberg test
Ataksia
Rebound Phenomen
Tumit lutut

Sulit Dinilai

Pemeriksaan Fungsi Motorik


A. Badan
B. Berdiri dan
berjalan

Ekstermitas
Gerakan
Kekuatan
Trofi
Tonus

Respirasi
Duduk

Baik
Tidak bisa

Gerakan spontan
Tremor
Atetosis
Mioklonik
khorea
Superior
Kanan
Aktif
555
Eutrofi
Eutonus

Sulit Dinilai

Kiri
aktif
555
Eutrofi
Eutonus

Inferior
Kanan
aktif
333
Eutrofi
Eutonus

Kiri
aktif
333
Eutrofi
Eutonus

Pemeriksaan Fungsi Sensorik

22

Eksteroseptif`
Proprioseptif

: baik
: baik

Refleks fisiologis
Biseps
: ++ kiri dan ++ kanan
Triseps
: ++ kiri dan ++ kanan
KPR
: ++ kiri dan ++ kanan
APR
: ++ kiri dan ++ kanan
Refleks patologis
Hoffman-tromner : ( - ) kanan dan ( - ) kiri
Babinskys sign
: ( - ) kanan dan ( - ) kiri
Chaddocks sign
: ( - ) kanan dan ( - ) kiri
Gordons sign
: ( - ) kanan dan ( - ) kiri
Schaeffers sign
: ( - ) kanan dan ( - ) kiri
Oppenheims sign : ( - ) kanan dan ( - ) kiri
Fungsi Otonom
Miksi
: baik
Defekasi
: baik
Sekresi keringat
: baik
Fungsi Luhur
Kesadaran

Tanda Demensia

Reflek Bicara

Reflek Glabela

Reaksi intelek

Reflek Snout

Reaksi Emosi

Reflek Menghisap

Reflek Memegang

Reflek Palmomental

Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin

: Hb 11,3 gr/dl
Leukosit 10000/mm3
Trombosit 228.000/mm3
Ht 29,2 %

Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan

23

Kesan: tampak lesi hiperdens di lobus temporal dekstra


2. EEG
Kesan : Epilepsi
Diagnosis Klinis

: Status Epileptikus

Diagnosis Topik

: Lobus temporal dekstra

Diagnosis Etiologi

: Epilepsy post traumatik

Pemeriksaan Anjuran :
- Pemeriksaan darah lengkap dan kimia klinik
Terapi

Inj diazepam 5 mg (bila kejang)

Fenitoin oral 3 x 1 tab

BAB IV
DISKUSI

24

Telah dilaporkan kasus seorang pasien perempuan usia 27 tahun dirawat di


bangsal saraf RSUD Achmad Muchtar Bukittinggi sejak tanggal 19 September
2016 dengan diagnosa epilepsi post traumatik.
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dari anamnesis diketahui adanya kejang berulang disertai penurunan kesadaran.
Terdapat riwayat terjatuh di kamar mandi lebih kurang 6 bulan yang lalu dengan
posisi kepala bagian belakang terbentur, pasien kejang dan tidak sadar setelah
terjatuh. Trauma ini kemungkinan menjadi penyebab dari epilepsi pada pasien ini.
Selain itu, terdapat riwayat putus obat epilepsi sejak 2 bulan yang lalu sehingga
mencetuskan bangkitan kejang berulang. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
kesadaran baik, namun terdapat kelemahan pada kedua ekstremitas inferior.
Pemeriksaan neurologis lain dalam batas normal.
Telah dilakukan pemeriksaan CT Scan dan EEG di RSUP Dr. M. Djamil
pada saat serangan pertama 6 bulan yang lalu dan pasien dirawat dengan diagnosa
epilepsi post traumatik. Pemeriksaan EEG merupakan gold standard untuk
menegakkan diagnosa epilepsi.
Penatalaksanaan farmakologis yang diberikan pada pasien ini adalah injeksi
diazepam mg bila kejang dan fenitoin oral 3 x 1 tab. Prognosis pasien ini adalah
baik, walaupun serangan epilepsi mungkin bisa berulang sehingga perlu diberikan
edukasi kepada pasien untuk menghindari faktor pencetus seperti menghindari
aktivitas fisik yang berat dan dapat memicu kelelahan, stres, serta mengkonsumsi
obat secara rutin dan teratur.

DAFTAR PUSTAKA
1

Kusumastuti K, Basuki M. Definisi, klasifikasi, dan etiologi epilepsi dalam


pedoman tatalaksana epilepsi. Airlangga University Press. Surabaya 2014; 110.

25

2
3
4

6
7
8

9
10
11

12
13

Harsono. 2002. Epilepsi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


Wiebe, Samuel. Goldman-Cecil Medicine. 25th ed. Goldman, Lee. Newyork.
Elsavier. 2016. 2399-2409
World Health Organization. Atlas epilepsy care in the world. 2005. Diakses
darihttp://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
tanggal 22 September 2016
World Health Organization. Epilepsy: a manual for physicians. New Delhi,
SEARO,
2004.
Diakses
dari
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf
tanggal 22 September 2016.
Shorvon SD. Handbook of epilepsy treatment forms, causes and therapy in
children and adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005
Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Edisi
Ke 7. Yogyakarta.
Lowenstein, Daniel H., Seizures and Epilepsy dalam Hauser, Stephen L.,
Harrison;s Neurology in Clinical Medicine, 2006, McGraw-Hill, Departemen
of Neurology University of California, San Fransisco, California.
Lang, F. Neuromuscular and Sensosr System : Epilepsy. Dalam : Color Atlas
of Pathophysiology, 2008, New York : Thieme. 200 : 339.
Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill
Ko
DY.
Epilepsy
and
Seizures.
Diakses
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1184846-overview
tanggal
22
September 2016
PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
Cesnik E, Casetta I, Granieri E. Post traumatic epilepsy: review. Journal of
Neurology and Neurophysiology. 2013: 1-5.

26

Anda mungkin juga menyukai