Anda di halaman 1dari 13

HIPERHIDROSIS PEDIATRI PRIMER: ULASAN TERHADAP PILIHAN TERAPI

SAAT INI
Christina M. Gelbard, M.D., Hayley Epstein, and Adelaide Hebert, M.D.
Abstrak: Hiperhidrosis adalah gangguan berupa pengeluaran keringat yang melebihi kebutuhan
fisiologis untuk termoregulasi. Hiperhidrosis primer terlokalisir; hal ini dapat mengenai aksilla,
telapak tangan, telapak kaki, wajah dan bagian lain serta bersifat idiopatik. Prevalensi dari
hiperhidrosis di Amerika Serikat diperkirakan sebanyak 2.8% dari populasi, dengan hampir satu
setengah (1.4%) dari individu ini terjadi pada daerah aksilla. Hiperhidrosis terjadi baik pada
anak-anak dan dewasa, dengan usia onset rata-rata dari hiperhidrosis primer berkisar 14-25
tahun. Gangguan ini dapat mengurangi kemampuan sosial, professional, fisiologis dan fisik dari
seseorang. Deteksi dini dan penanganan dapat secara signifikan meningkatkan kualitas hidup
pasien, namun hiperhidrosis masih kurang didiagnosa dan kurang ditangani, terutama pada
pasien pediatri. Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengulas penanganan pada hiperhidrosis
pediatri, dan untuk meningkatkan kewaspadaan dan menginspirasi penelitian lanjutan terhadap
masalah medis yang penting dan seringkali terlewati ini.
Hiperhidrosis adalah gangguan berupa pengeluaran keringat yang melebihi kebutuhan
fisiologis untuk termoregulasi. Hiperhidrosis primer terlokalisir; hal ini dapat berefek pada
aksilla, telapak tangan, telapak kaki, wajah dan area lain serta bersifat idiopatik. Hiperhidrosis
sekunder dapat bersifat fokal atau generalisata dan biasanya sebagai akibat dari kondisi
mendasar, paling sering berupa infeksi, gangguan endokrin ataupun neurologi. Anamnesis dan
pemeriksaan fisis dibutuhkan sebelum mengeluarkan hiperhidrosis sekunder dari diagnosa.
Survei nasional oleh Strutton et al pada tahun 2004 memperkirakan prevalensi dari hiperhidrosis
pada populasi Amerika Serikat berkisar 2.8% dari populasi, dengan hampir satu setengah (1.4%)
dari individu ini memiliki bentuk aksilla.
Hiperhidrosis terjadi baik pada anak-anak maupun dewasa, dengan usia onset rata-rata
dari hiperhidrosis primer adalah 14-25 tahun. Pasien dengan onset penyakit sebelum usia 20
tahun cenderung memiliki paling tidak satu anggota keluarga yang juga terkena. Hiperhidrosis
palmoplantar terisolir lebih sering terjadi pada pasien dengan onset penyakit prepubertas.

Meskipun data yang mencatat perjalanan dari penyakit adalah langkah, beberapa penulis telah
mencatat beratnya gejala seringkali berkurang pada pasien dengan usia lebih dari 50 tahun.
Gangguan ini dapat mengurangi kemampuan sosial, professional, fisiologis dan fisik dari
pasien. Pada survei yang dilakukan Strutton, seperenam dari responden melaporkan keringat
yang baik masih dapat ditolerir dan seringkali menganggu atau tidak dapat ditolerir dan
senantiasa menganggu terhadap aktivitas sehari-harinya. Namun, banyak pasien tidak
mengetahui mereka memiliki kondisi medis yang dapat ditangani, dan berdasarkan survey, hanya
38% dari pasien telah mendiskusikan masalah keringat ini dengan petugas pelayanan medis.
Deteksi dini dan penanganan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien secara signifikan,
meskipun hiperhidrosis tetap kurang didiagnosa dan kurang ditangani, terkhusus pada pasien
pediatri. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menguulas penanganan dari hiperhidrosis pediatri,
dan meningkatkan kesadaran dan menginspirasi penelitian lanjutan terhadap masalah medis yang
penting dan seringkali terlupakan ini.
Terapi Topikal
Terapi dari hiperhidrosis seringkali dimulai dengan penggunaan agen topikal (tabel 1).
Garam aluminium merupakan bahan aktif pada anti perspirant saat ini.Aluminium klorida
merupakan bentuk yang ternetralisir sebagian yang digunakan pada antiperspiran yang umum
dijual, sementara aluminium klorida heksahidrat merupakan bahan yang lebih aktif yang
ditemukan pada persiapan peresepan. Mekanisme kerja dari aluminium klorida topikal adalah
melibatkan obstruksi mekanik dari pori-pori kelenjar keringat ekrin dan atrofi dari sel sekretori.
Beberapa penelitian mendukung penggunaan aluminium klorida heksahidrat dalam
larutan alkohol sebagai terapi lini pertama untuk hiperhidrosis aksilla. Pada tahun 1975, Shelley
dan Hurley menyimpulkan bahwa 25% dari aluminium klorida heksahidrat dalam etil alkohol
absoult, digunakan dengan penutup semalaman, merupakan agen antiperspirant topikal yang
paling efektif untuk hiperhidrosis aksilla. Beberapa tahun kemudian, Scholes et al menangani 65
pasien berusia 14-51 tahun dengan aluminium klorida heksahidrat 20% dalam alkohol, dimana
hampir semua kecuali satu melaporkan hasil yang sangat baik dalam mengontrol keringat. Pasien
yang menggunakan larutan setiap malam selama 1 minggu dan kemudian sesuai kebutuhan,
dengan kebanyakan pasien perlu mengaplikasikan ulang sekali setiap 7-21 hari untuk kontrol
yang adekuat. Mereka menemukan bahwa penggunaan oklusi sebetulnya tidak dibutuhkan,

sehingga membuat terapi kurang rumit dan lebih mudah diterima pasien. Iritasi aksilla
merupakan satu-satunya efek samping yang dilaporkan, dan kebanyakan pasien mengalami
perbaikan dengan penggunaan krim hidrokortison 1% yang diberikan pada pagi hari setelah
setiap terapi.
Hiperhidrosis telapak tangan lebih kurang responsir terhadap terapi aluminium klorida
namun masih memperlihatkan efek. Goh menemukan bahwa aluminium klorida 20% membantu
menurunkan hiperhidosis telapak tangan dalam 48 jam setelah pemberian; namun, efeknya
berkurang dalam 48 setelah penghentian terapi. Batasan utama dari terapi ini adalah rasa gatal
dan terbakar setelah pemberian dan iritasi kulit yang terjadi.
Pada penelitian yang lebih baru, asam salisilat 4% dalam gel hidroalkohol digunakan
sebagai vehikulum untuk aluminium klorida heksahidrat pada 238 pasien dengan hiperhidrosis
dari aksilla, tangan dan kaki. Asam salisilat dipilih karena diduga meningkatkan absorbs dari
aluminium klorida, bertindak sebagai adjuvan melalui sifat antiperspirannya sendiri, dan
membantu meminimalisir kekeringan kulit dan iritasi. Hasil memuaskan hingga baik dilaporkan
94% pada aksilla, 60% pada telapak tangan, dan 84% pada telapak kaki.. Pasien yang
sebelumnya gagal berespon terhadap aluminium klorida dalam alkohol absolut, atau tidak dapat
mentoleransi efek sampingnya, menunjukkan perbaikan nyata dengan formulasi baru ini.
Agen topikal astringen termasuk formaldehyde, glutaraldehide, dan asam tannic juga
telah menunjukkan efektivitasnya dalam menurunkan hiperhidrosis, namun jarang digunakan
karena seringkali mengakibatkan dermatitis kontak alergi dan pewarnaan kulit.
Meskipun hanya sedikit penelitian telah mengevaluasi efikasi dan keamanan dari
aluminium klorida topikal pada populasi pediatri, kebanyakan praktisi menggunakan terapi ini
sebagai terapi lini pertama untuk hiperhidrosis pada anak-anak. Keuntungan dari terapi
aluminium klorida topikal adalah profil keamanan dan sifat noninvasif dari terapi ini. Namun,
keuntungannya hanya bertahan sementara, dan efek samping seperti sensasi terbakar, tertusuktusuk, dan iritasi kulit dapat terjadi. Aplikasi dapat mengotori dan memakan waktu, dan juga
dapat mengakibatkan penurunan kepatuhan, terutama pada populasi pediatri. Sebagai tambahan
banyak kasus hiperhidrosis tetap refrakter terhadap terapi topikal.
Antikolinergik

Kemampuan dari medikasi antikolinergik untuk mengobati hiperhidrosis ditemukan


secara tidak sengaja ketika pasien yang mendapatkan larutan dari tumbuhan atrofin terjadi
penurunan keringat. Meskipun asetilkolin diketahui sebagai neurotransmitter parasimpatis,
kelenjar keringat diinervasi oleh saraf simpatis kolinergik. Obat-obat antikolinergik menghambat
sekresi keringat dengan bekerja sebagai antagonis kompetitif dari asetilkolin pada reseptor
muskarinik.
Antikolinergik topikal telah dianggap sebagai terapi dari hiperhidrosis, namun penelitian
dalam skala besar terandomisasi masih kurang, dan laporan kasus terbatas dalam populasi orang
dewasa. Terdapat beberapa laporan kasus dari pasien yang sukses ditangani dengan glikopirrolate
topikal untuk hiperhidrosis kraniofasial dengan efek samping minimal (mulut kering).
Glikopirrolat topikal juga telah digunakan dengan berhasil pada terapi keringat diabetes
pengecap. Penggunaan antikolinergik dalam terapi iontophoresis didiskusikan pada

seksi

selanjutnya. Glikopirolat dan propantheline bromide merupakan agen sistemik yang paling
banyak digunakan untuk mengobati hiperhidrosis. Sayangnya, dosis yang dibutuhkan untuk
menurunkan keringat seringkali mengakibatkan efek samping yang tidak menyenangkan, seperti
mulut kering, pandangan kabur, takikardia, retensi urin dan konstipasi. Analisis retrospektif dari
24 pasien yang ditangani dengan glikopirolat otal untuk hiperhidrosis tercatat berespon pada
79% pasien yang dievaluasi pada saat follow-up. Namun demikian, Penulis mencatat terapi
terbatas oleh efek samping. Penelitian ini hanya memasukkan subjek orang dewasa, dengan
rentang usia 19-62 tahun. Meskipun penggunaan antikolinergik oral pada anak-anak dengan
hiperhidrosis masih belum diteliti, obat ini telah digunakan dengan beberapa kesuksesan untuk
terapi pada anak dengan gangguan lain, seperti air liur berlebih, dan disfungsi berkemih.
Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menentukan keamanan dan keuntungan dari terapi ini
pada populasi anak-anak.
Sebuah laporan kasus dari terapi yang sukses dari hiperhidrosis dengan penggunaan obat
antikolinergik oksibutinin juga tersedia. Wanita dengan riwayat hiperhidrosis diberikan
oksibutinin untuk inkontinensia urgensi dan menyadari perbaikan untuk hiperhidrosisnya yang
terus berlangsung dalam periode follow-up 6 bulan.

Terapi

Jenis terapi

Lokasi

Efek Samping

Penelitian

penggunaan
Terapi topikal

anak-anak

Garam aluminium (Asam

yang umum
Axilla, telapak

Terbakar, gatal, eritema,

salisilat

tangan,

iritasi

4%)

Antikolinergik

topikal:

telapak

kaki

Scholes et al

Pewarnaan kulit dapat

Glikopirolate (topikal atau

ditemukan

dengan

aldehid dan asam tannik

Iontophoresis)

Lain-lain

termasuk

dengan

(jarang

digunakan) Asam tannik


Formaldehida,
Antikolinergik

Glutaraldehid
Glikopirolat

Axilla,

telapak

Mulut

oral

Propantheline bromide

tangan,

telapak

pandangan

Oksibutinin

kaki, wajah

kering,
kabur,

Tidak ada penelitian


yang

spesifik

takikardia, retensi urin,

menganalisis

konstipasi

pada

terapi

anak

dengan

hiperhidrosis.
Beberapa

penelitian

mengevaluasi
penggunaan

pada

anak dengan kondisi


lain
Terapi Sistemik

Calcium Channel blocker

Axilla,

telapak

lainnya

(diltiazem)

tangan,

telapak

Klonidin

kaki, wajah

Antagonis

yang
pada

anak

terapi
dengan

hiperhidrosis.

Benzodiazepine
Iontophoresis air, dengan

Telapak tangan,

Rasa tertusuk, terbakar,

Dolianitis et al

atau

telapak kaki

adanya

Karakoc et al

tanpa

obat

laporan

munculnya blister

Botolinum

(glikopirolate)
Botolinum
toksin

toksin

(Botox, Dysport)
Botolinum

al,

spesifik

menganalisis

Alpha-

antikolinergik

Pembedahan

et

Jongerius et al)
Tidak ada penelitian

Bergantung terapi

adrenoreseptor
Iontophoresis

(Ayan

toksin

A
B

Axilla,

telapak

Kelemahan otot

tangan,

telapak

Nyeri

pada

Farrugia et al
lokasi

Bhakta et al

kaki

penyuntikan

Vazquez-Lopez et al

(Myobloc)
Kuretase

Aksilla, telapak

Semua modalitas terapi:

Steiner et al

Liposuction

tangan

infeksi

Cohen et al

luka,

jaringan

Simpatektomi

Thorakalis

parut

(baik dengan pendekatan

Simpatektomi:

terbuka

hiperhidrosis

minimal)

atau

invasif

kompensatoar pada area


sekitar,

Hemotoraks,

pneumotoraks,atelektasi,
emfisema

subkutan,

sindrom Horner

Terapi Lainnya
Terdapat juga laporan kasus tunggal mengutip penggunaan agen sistemik lainnya seperti
Calcium-channel Blocker (contoh: diltiazem), antagonis alfa-adrenoreseptor, dan klonidin
sebagai terapi efektif untuk hiperhidrosis; namun, penelitian acak terkontrol dibutuhkan untuk
evaluasi lebih lanjut akan keamanan dan efikasi dari tujuan ini.
Benzodiazepin dapat bermanfaat pada pasien dengan kecemasan atau hiperhidrosis imbas
emosi; namun, penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan ketergantungan ataupun efek
samping seperti sedasi, yang dapat menimbulkan masalah pada populasi pediatri.
Psikoterapi juga telah disarankan sebagai terapi dari hiperhidrosis. Pada tahun 1980,
Duller dan Gentry mendemonstrasikan perbaikan klinis dalam keringat pada 11 dari 14 pasien
setelah pelatihan biofeedback. Penulis menyarankan relaksasi yang dihasilkan dari biofeedback
dapat mengakibatkan perbaikan gejala pada pasien dengan hiperhidrosis. Penelitian lebih lanjut
dibutuhkan untuk menentukan efikasi dari modalitas terapi ini.
Iontophoresis
Iontophoresis memperkenalkan ion ke dalam jaringan kulit dengan menggunakan arus
listrik. Teknik ini telah digunakan untuk terapi hiperhidrosis sejak 1930, dan alat iontophoresis
telah tersedia untuk penggunaan rumahan sejak 1984. Iontophoresis paling sering menggunakan
air, baik sendiri maupun dengan obat-obatan antikolinergik. Meskipun sejarah penggunaannya
cukup panjang dalam terapi hiperhidrosis, mekanisme kerja dari iontophoresis tetap belum jelas.
Awalnya, iontophoresis diperkirakan mengakibatkan hiperkeratinisasi dan penyumbatan dari
orifisium duktus ekrin. Lebih lanjut, perubahan dari gradient elektrokimia telah disarankan
sebagai dasar dari efek iontophoresis terhadap produksi keringat. Suatu teori alternatif

menyatakan bahwa arus listrik menganggu transmisi dari stimulus yang mengirimkan sinyal
sekresi keringat.
Meskipun iontophoresis telah diperilhatkan sebagai alternatif dalam terapi hiperhidrosis
telapak tangan dan kaki, dibutuhkan penggunaan jangka panjang untuk menjaga efeknya.
Kebanyakan pasien mengalami rekurensi dari gejala dalam beberapa minggu setelah penghentian
terapi. Sebagai tambahan, terapi yang sering dibutuhkan, dan anatomi dari aksilla membuat
iontophoresis tidak dapat diterapkan pada hiperhidrosis daerah aksilla. Efek samping cenderung
minimal, berupa rasa tertusuk, eritema, dan munculnya vesikel atau papul pada lokasi terapi.
Ketika antikolinergik ditambahkan, efek samping dapat termasuk efek sistemik ringan seperti
mulut kering dan pecah-pecah.
Dengan penelitian yang mengevaluasi iontophoresis menggunakan populasi pediatri yang
kecil dan tidak spesifik mengobati hiperhidrosis, mereka juga memasukkan anak-anak dalam
kohort mereka. Suatu penelitian single-blinded, perbandingan kanan-kiri dari 20 pasien antara
usia 12 dan 50 tahun dengan hiperhidrosis moderat hingga berat dibandingkan efikasinya dengan
penggunaan iontophoresis air dengan iontophoresis glikopirolate. Iontophoresis dengan
glikopirolat lebih efektif daripada iontophoresis air, dan glikopironat bilateral lebih efektif
dibandingkan iontophoresis glikopironat unilateral. Perbaikan waktu durasi pelega gejala dengan
glikopironat bilateral menyebabkan penulit menyimpulkan efektivitas dari iontophoresis
glkopironat terhadap hipehidrosis adalah akibat dari efek lokal dan efek sistemik. Pasien hanya
menunjukkan efek samping ringan, dengan delapan pasien melaporkan mata kering atau sakit
tenggorokan.
Penelitian lain mengevaluasi efektivitas dari delapan terapi dengan arus langsung pada
112 pasien berusia 8-32 tahun yang dengan hiperhidrosis. Penurunan signifikan pada intensitas
keringat diamati, dan 81.2% pasien puas dengan pengobatan ini. Efek samping termasuk eritem,
sensasi terbakar lokal, dan perubahan transportasi. Menariknya, meskipun hanya tangan diobati,
65 dari pasien juga mengalami perbaikan dalam keringat pada plantar setelah terapi. Penulis
menghipotesiskan bahwa mekanisme biofeedback dapat berperan terhadap mekanisme kerja dari
iontophoresis.

Botolinum Toxin

Botolinum toksin adalah neurotoksin yang dihasilkan oleh bakteri anaerob Cloostridium
botolinum. Injeksi intradermal dari botolinum toksin menurunkan produksi keringat dengan
menghambat pelepasan asetilkolin dari ujung saraf simpatis kolinergik yang menginervasi
kelenjar keringat. Penelitian pada hewan tahun 1950 pertama kali mendemonstrasikan
kemampuan botolinum toksin untuk menghambat nervus ini. Namun, laporan pertama dari efek
toksin anhidrat pada manusia tidak diketahui hingga 1994, ketika pasien yang ditangani dengan
spasme hemifasial mengalami penghentian keringat pada area terapi. Toksin botolinum A dan B
adalah dua dari tujuh serotipe toksin berbeda yang diproduksi oleh C. botolinum. Ketujuh tipe
tersebut memiliki efek terhadap taut neuromuskular dengan memotong protein reseptor spesifik
yang dibutuhkan untuk penyatuan dari vesikel asetilkolin dalam membran presinaps. Target dari
botolinum toksin A adalah SNAP-25, sementara target dari botolinum toksin B adalah
sinaptobrevin. Dengan memotong protein ini, kedua botolinum toksin A dan B menghambat
pelepasan dari asetilkolin dari ujung saraf. Penelitian telah menunjukkan bahwa botolinum toksin
A dan B memiliki efikasi setara dalam mengobati hiperhidrosis aksillar; namun, terlihat adanya
insidens nyeri yang lebih besar pada lokasi penyuntikan dan efek samping autonomic dengan
botolinum toksin B. Pada 2004, FDA menyetujui botolinum toksin A (Botox, Allergan, Infvine,
CA; Dysport: Ipsen Biopharm, Wrexham, UK) untuk penggunaan pada deasa dengan
hiperhidrosis aksilla primer. Toksin botolinum B (Myobloc; Solstice Neuroscience, Malvern, PA,
USA) merupakan satu-satunya yang disetujui FDA untuk pengobatan distonia servikal; nmun,
terdapat laporan penggunaan untuk hiperhidrosis.
Penyuntikan intradermal berulang dari botolinum toksin A ditunjukkan sebagai terapi
yang aman dan efektif untuk pasien dengan hiperhidrosis aksillar primer. Pada penelitian
randomisasi terkontrol placebo dalam 1 tahun dari 193 pasien berusia 18-75 tahun, dan lanjutan
selama 3 tahun untuk label terbuka dari 186 pasien, penyuntikan botolinum toksin A diberikan
untuk pengobatan hiperhidrosis aksillar. Waktu untuk penanganan kembali berdasarkan
Hyperhidrosis Disease Severity Score (HDSS) yang dilaporkan sendiri dan berdasarkan
pengukuran gravimetric keringat. Hanya satu hingga dua terapi dibutuhkan per tahunnya, dan
HDSS mengindikasikan ketidak mampuan yang disebabkan hiperhidrosis disingkirkan atau
berkurang pada paling tidak 80% dari pasien 4 minggu setelah penyuntikan. Penatalaksanaan
juga menghasilkan >75% penurunan dalam produksi keringat pada >78% pasien pada minggu ke

4, berdasarkan pengukuran gravimetri keringat. Tidak terdapat reaksi efek samping yang
dilaporkan.
Botolinum A sebelumnya telah digunakan digunakan untuk pengobatan berbagai kondisi
lain pada anak-anak termasuk spatik dan rigid serebral palsi, pergerakan involunter, distonia,
spasme otot, strabismus, tortikolis spasmodic blefarospasme, dan spasme hemifasial. Penelitian
juga dilakukan untuk mengevaluasi keamanan dari botolinum toksin A pada anak-anak dengan
spastisitas otot. Penelitian prospektif multisenter dilakukan pada 207 anak-anak dengan serebral
palsi untuk menentukan keamanan jangka panjang dan efikasi dari penyuntikan intramuskuler
berulang dari botolinum toksin A. Efek samping terjadi pada 1-11% dari subjek berupa
peningkatan kram kaki, kelemahan kaki, dan atrofi betis. Tidak ada efek samping terkait terapi
yang serius dilaporkan. Suatu studi retrospektif dari profil keamanan dan efikasi dari Dysport
(ipsen Biopharm) untuk spastisitas otot pada 758 anak-anak (usia rata-rata 7.2 tahun)
menunjukkan tingkat tertinggi dari efek samping dengan dosis melebihi 1000 U Dysport (Ipsen
Biopham) per sesi terapi.
Beberapa penelitian juga telah dipublikasikan mengenai penggunaan botolinum toksin
tipe A untuk terapi dari hiperhidrosis pada orang dewasa; namun hanya sedikit penelitian yang
berfokus pada penggunaan terhadap anak-anak untuk hiperhidrosis. Pada tahun 2002,
penggunaan efektif dari botolinum toksin tipe A dilaporkan pada anak perempuan 13 tahun
dengan hiperhidrosis telapak tangan refrakter. Keringat pada telapak tangan pasien memalukan
secara sosial dan mengganggu kemampuannya untuk melakukan pekerjaan sekolah. Pasien
kemudian diterapi dengan 20 U Dysport (Ipsen Biopharm), disuntikkan kedalam ujung jari dan
pada hipotenar dan thenar. Pasien kemudian dilaporkan mengalami penurunan produksi keringat
pada telapak tangan dalam 1 minggu, memungkinkannya melakukan pekerjaan sekolah; namun,
dia mengalami penurunan kekuatan genggam yang terjadi selama 3 minggu. Empat bulan
kemudian, pasien memerlukan penyuntikan ulangan, yang hanya diberikan ke ujung jari tanpa
efek samping terhadap kekuatan genggam. Dia mendapatkan total empat kali terapi selama 2
tahun dengan hasil yang memuaskan.
Penggunaan toksin Botolinum A pada pasien pediatri dengan hiperhidrosis aksillar yang
pertama dicatat adalah pada tahun 2005. Seorang anak perempuan berusia 14 tahun memiliki
riwayat 2 tahun mengalami produksi keringat berlebihan yang mencegahnya berpartisipasi dalam
olahraga dan mengakibatkannya berkembang dengan postur yang kurang bait untuk

menyembunyikan keringatnya. Terapi topikal dan sistemik sebelumnya tidak efektif. Pasien
kemudian ditangani dengan suntikan 250 U Dysport (Ipsen Biopharm) pada setiap aksilla.
Perbaikan signifikan tercatat pada 3 bulan follow up, memungkinkan anak untuk memperoleh
kepercayaan diri pada lingkungan sosial dan untuk mengembalikannya ke postur normal.
Penyuntikan botolinum toksin A digunakan untuk mengobati anak laki-laki 13 tahun
dengan hiperhidrosis telapak tangan yang telah gagal baik dengan aluminium klorida dan
iontophoresis air. Setelah dilakukan blok nervus medianus dan ulnaris pada pergelangan tangan,
2 U botolinum toksin tipe A liophilik (Botox, Allergan) disuntikkan pada jarak 15 mm; dengan
total suntikan 50 per telapak. Pasien mengetahui perbaikan pada 2 hari setelah injeksi dengan
penurunan produksi keringat 80%, dan juga perbaikan signifikan dalam kualitas hidup. Tidak
ditemukan adanya komplikasi dan terapi berulang tidak dibutuhkan selama 8 bulan.
Kerugian utama dari botolinum toksin A adalah nyeri pada saat suntikan. Krioterapi dan
aplikasi krim anestesi dianggap sedikit efektif ataupun tidak efektif. Anestesi regional intravena
(Biers Block) efektif namun membutuhkan pemantauan jantung, dan memilii risiko toksisitas
kardiovaskuler dan sistem saraf pusat. Blok nervus medianus dan ulnaris merupakan teknik yang
aman, namun dapat mengakibatkan palsi moderat pada otot tangan selama 1-2 jam setelah
penyuntikan, dan dapat menimbulkan parestesia ketika disuntikkan kedalam saraf daripada di
daerah sekitarnya. Spray pendingin dengan dichlorotetrafluoroethane juga telah digunakan
dengan sukse. Efek samping lain dari suntikan termasuk hematoma kecil, kulit kering dan
kelemahan sementara dari otot-otot kecil di tangan hingga 2 minggu karena difusi dari toksin.
Suntikan pada eminensia thenar dapat dicegah jika mengakibatkan penurunan kekuatan genggam
jari. Suntikan toksin se-superfisial mungkin juga dapat membantu menurunkan risiko kelemahan
otot.
Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan pada hiperhidrosis harus dipikirkan untuk kasus hiperhidrosis yang
tidak responsive terhadap berbagai terapi yang lain. Prosedur lokal seperti kuretase atau
liposuction dari jaringan adipose dapat digunakan untuk mengeluarkan kelenjar keringat dari
aksilla. Meskipun terapi ini memberikan efek perbaikan jangka panjang dari keringat berlebih
dan tidak menimbulkan kompensasi keringat yang sering ditemukan pada, namun dapat
menempatkan pasien dalam risiko komplikasi seperti infeksi luka, kontraktur dan skar.

Simpatektomi thorakalis melibatkan transeksi dari rantai simpatetik baik dengan


minimal invasive atau pendekatan terbuka, dengan tujuan mengeliminasi transmisi sinyal
saraf ke serabut kolinergik yang bertanggung jawab untuk sekresi keringat. Prosedur ini harus
disimpan untuk kasus hiperhidrosis yang tidak berespon terhadap terapi apapun. Komplikasi
seperti infeksi luka, skar, hiperhidrosis kompensatoris pada area sekitar, pneumotoraks,
hemotoraks, atelektasis, emfisema subkutan, dan sindrom Horner.
Hiperhidrosis fokal pertama kali ditangani dengan simpatektomi pada 1920 dan 1930 di
Negara Eropa. Pendekatan terbuka digunakan, membutuhkan insisi torakalis yang luas dan
pemisahan rusuk untuk memungkinkan identifikasi dari rantai simpatis. Teknik endoskopik
mulai menggantikan metode terbuka pada 1940. Saat ini, Simpatotektomi thorakoskopi dengan
bantuan video merupakan teknik yang paling sering digunakan, dan hanya membutuhkan dua
hingga tiga insisi kecl (5-10 mm) dibawah aksilla. Paru-paru pasien dideflasikan untuk
memungkinkan visualisasi dari rantai simpatis dan untuk memasukkan kamera teleskopik dan
instrument operasi. Gangglion simpatis spesifik kemudian dirusak dengan elektrokauter ataupun
laser. Hiperhidrosis telapak tangan diobati dengan merusak ganglion T2, dan seringkali T3.
Hiperhidrosis aksilla ditangani dengan merusak ganglion T2,T3 dan kadangkala T4.
Simpatotomi merupakan versi modifikasi dari simpatektomi dimana rantai simpatis diinterupsi
dibandingkan merusak ganglion. Tujuan dari operasi adalah untuk mencegah transmisi dari
sinyal saraf yang berasal dari ganglion simpatis menuju serabut saraf yang mempersarafi area
yang menghasilkan keringat berlebih.
Beberapa penelitian menunjukkan endoskopi simpatektomi thorakal (ETS) merupakan
terapi efektif untuk hiperhidrosis primer, dengan kebanyakan pasien melaporkan perbaikan
dalam kualitas hidup dan kepuasan umum setelah operasi. Endoskopi Simpatektomi torakal
paling sering digunakan untuk hiperhidrosis telapak tangan, dengan tingkat kesembuhan >98%.
Tingkat keberhasilan untuk hiperhidrosis aksillar dilaporkan >96%, dan beberapa pasien bahkan
melaporkan perbaikan dalam hiperhidrosis telapak kaki.
Bahkan dengan metode minimal invasive, komplikasi operasi termasuk infeksi luka, skar,
pneumotoraks, hemotoraks, atelektasis, emfisema subkutan, sindrom Horner, dan keringat
kompensatoar pada region lain. Keringat kompensatoar terlihat pada >70% dari pasien, dan
meskipun seringkali ringan, dilaporkan berat pada hampir 40% dari pasien yang ditangani
dengan ETS. Pasien yang ditangani dengan simpatotomi cenderung lebih kurang mengalami

hiperhidrosis kompensatoar berat dibandingkan mereka yang ditangani dengan simpatektomi.


Menariknya, penelitian terbaru menemukan bahwa anak (didefinisikan sebagai usia 14 tahun)
lebih baik dalam toleransi keringat kompensatoar dibandingkan pemuda dan dewasa sehingga
memiliki tingkat kepuasan pasca operasi yang lebih tinggi.
Laporan oleh Cohen et al pada Jurnal Bedah Pediatri dari tahun 1995 mendeskripsikan 23
simpatektomi thorakoskopik minimal invasif yang dilakukan pada anak-anak berusia 9-17 tahun
dengan hiperhidrosis primer pada telapak tangan. Tujuh belas dari pasien (90%) dari pasien
tersebut juga mengeluhkan adanya keringat berlebih pada telapak kaki dan 11 (56%)
mengeluhkan hiperhidrosis aksillaris. Waktu intraoperatif berkisar 12-25 menit, dan tidak terjadi
komplikasi intraoperatif. Delapan belas pasien memiliki perjalanan pasca operasi yang lancar
dan dipulangkan pada hari berikutnya. Satu pasien mengalami pneumotoraks dan membutuhkan
drainase interkostal dan dipulangkan pada hari ketiga pasca operasi; Namun, semua pasien
kembali ke sekolah dan melakukan aktivitas sehari-hari dalam 3-5 hari setelah operasi. Pada
follow-up (1-13 bulan pasca operasi), 17 dari pasien (90%) puas dengan hasil yang didapatkan.
Satu pasien tidak puas, dan menyatakan hanya terjadi sedikit perbaikan, dan satu sedikit puas dan
mengeluhkan kekeringan pada telapak tangan. Dua anak-anak mengeluhkan adanya keringat
kompensatoar moderat. Tiga pasien melaporkan adanya perbaikan dalam keringat pada telapak
kaki setelah operasi.
Setelah penelitian awalnyam Cohen et al mengumpulkan serial kasus yang lebih besar
terdiri dari 179 simpatektomi thorakoskopik yang dilakukan dari 1992 hnigga 1995 pada anakanak dan remaja berusia 5.5-18 tahun dengan hiperhidrosis primer telapak tangan yang berat.
Sembilan puluh empat (98%) mengalami perbaikan keluhan segera dan permanen dari keringat
pada telapak tangan. Meskipun kebanyakan pasien mengalami perjalanan pasca operasi yang
lancar, dua dari antaranya mendapatkan pneumotoraks residual yang membutuhkan drainase
interkostal. Dibandingkan dengan pendekatan yang lebih lama berupa pendekatan terbuka
transaksiller, pendekatan torakoskopik minimal invasif memberikan hasil kurang nyeri,
pemulangan yang lebih cepat, kembalinya aktivitas sehari-hari yang lebih cepat, dan
pembentukan jaringan parut yang lebih kecil dan tidak menyolok. Penulis dari penelitian di atas
menonjolkan keuntungan dari operasi dini untuk anak dengan hiperhidrosis telapak tangan berat
untuk mencegah penderitaan psikologis, sosial, dan fisik pada saat remaja; namun, pembedahan
bukanlah tanpa risiko dan komplikasi, sehingga masih sangat direkomendasikan pasien mencoba

terapi yang lebih konservatif terlebih dahulu dan diberikan penjelasan selengkapnya tentang
risiko sebelum menjalani prosedur operasi.
Kesimpulan
Hiperhidrosis primer merupakan kondisi yang dapat menghambat aktivitas sehari-hari
dan seringkali mengganggu secara sosial dan psikologis. Prevalensi dari penyakit ini
diperkirakan 2.8% dari seluruh populasi, dan onset seringkali pada saat masa kanak-kanak
ataupun remaja. Meskipun sering terjadi, kondisi ini seringkali kurang didiagnosa dan kurang
mendapatkan terapi yang tepat, terutama pada anak-anak. Dengan berfokus pada populasi
pediatri, kami mengulas pilihan terapi yang ada saat ini untuk hiperhidrosis, termasuk terapi
topikal ataupun sistemik, iontophoresis, suntikan botolinum toksin, dan intervensi bedah.
Meskipun banyak pilihan terapi yang tersedia, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan intervensi yang paling menguntungkan untuk pasien pediatri dengan hiperhidrosis.

Anda mungkin juga menyukai