Dismenore
Amerika Serikat dan dinyatakan prevalensi sebanyak 29-44%, paling banyak pada
usia 18-45 tahun (Karim,2013). Sebuah studi di Swedia ditemukan prevalensi
dismenore adalah 90% pada wanita usia 19 tahun dan 67% pada wanita usia 24 tahun.
Sepuluh persen dari 67% wanita usia 24 tahun itu bahkan mengalami nyeri berat
hingga mengganggu aktivitas mereka (French,2005). Pada suatu penelitian juga
ditemukan 51% wanita absen di sekolah atau pekerjaan paling tidak sekali dalam
sebulan dan 8% wanita absen selama mengalami menstruasi setiap bulan. Lebih
lanjut, wanita yang mengalami dismenore memperoleh nilai rendah di sekolah dan
sulit beradaptasi di sekolah dibanding wanita yang tidak dismenore (Abbaspour,
2005).
Klein dan Litt melaporkan prevalensi dismenore mencapai 59,7%. Dari pasien
yang mengalami keluhan, 12% mendeskripsikan nyeri yang severe, 37% mengalami
nyeri moderate dan 49% mengalami nyeri mild. Dismenore menyebabkan 14%
remaja putri ketinggalan pelajaran sekolah. Selain itu, dikatakan bahwa dismenore
lebih sering terjadi pada remaja ras kulit hitam dibanding ras kulit putih (Karim,
2013).
2.1.3. Klasifikasi Dismenore
Karim (2013) menyebutkan bahwa dismenore dapat diklasifikasikan menjadi
dua yaitu primer dan sekunder.
1. Dismenore Primer
Dismenore primer disebut juga primary dysmenorrhea, merupakan suatu
rasa nyeri siklik menstrual tanpa kelainan patologis
pada panggul,
dismenore
primer biasa sering terjadi beberapa tahun pertama setelah menarche, memiliki
karakteristik nyeri yang khas (J.O.Schorge,2008).
Menurut Sarwono (2011), dismenore primer adalah nyeri haid tanpa
ditemukan keadaan patologi pada panggul. Dismenore primer berhubungan dengan
siklus ovulasi dan disebabkan oleh kontraksi miometrium sehingga
dengan
dismenore
hari pascaovulasi, bila tidak terjadi pembuahan akan diikuti dengan haid. Sedangkan
siklus anovulasi adalah siklus haid tanpa ovulasi sebelumnya.
Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) yang disekresi hipotalamus
mengontrol siklus baik pada ovarium dan uterus. GnRH merangsang dilepaskannya
follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) oleh pituitari
anterior. FSH berperan dalam pertumbuhan folikel, sedangkan LH berperan dalam
perkembangan dari folikel tersebut. FSH dan LH menstimulasi folikel-folikel untuk
mensekresikan estrogen. Selain itu, LH juga berperan untuk merangsang theca cells
dari suatu folikel yang sedang berkembang untuk mensekresi androgen. Androgen
yang dihasilkan ini nantinya akan dikonversi menjadi estrogen karena adanya
pengaruh dari FSH. LH akan memicu terjadinya ovulasi dan pembentukan corpus
luteum, corpus luteum akan menghasilkan estrogen, progesterone, relaxin dan inhibin.
Estrogen yang disekresi oleh folikel memiliki beberapa fungsi yang penting :
1. Perkembangan dari struktur reproduksi wanita dan karakteristik seks
sekunder.
2. Meningkatkan anabolisme protein, termasuk pertumbuhan tulang (bekerja
bersama dengan Growth Hormone).
3. Menurunkan level kolesterol darah.
4. Inhibisi pelepasan GnRH oleh hipotalamus dan sekresi LH serta FSH oleh
pituitari anterior.
Progesteron, disekresi oleh sel yang terdapat pada corpus luteum, bersama
dengan estrogen untuk mempertahankan endometrium agar dapat terjadi implantasi
jika terjadi pembuahan dan mempersiapkan kelenjar mamae untuk sekresi air susu.
Relaksin diproduksi untuk menginhibisi kontraksi uterus yang berlebihan.
Sedangkan, Inhibin disekresi oleh sel granulosa dan juga oleh corpus luteum
setelah
ovulasi, fungsinya untuk mencegah sekresi FSH dan mengurangi kadar LH (G.J.
Tortora & B.Derrickson,2011).
Siklus haid pada wanita umumnya antara 24-36 hari. Fase-fasenya terbagi
empat antara lain :
Fase menstrual yang terjadi 5 hari pertama dari suatu siklus. Pada ovarium,
fase ini adalah fase ketika terjadi perkembangan folikel primordial menjadi folikel
sekunder sedangkan di uterus terjadi peluruhan 50-150 ml yang berupa darah,
jaringan serta mukus. Peluruhan ini terjadi karena penurunan kadar progesteron dan
estrogen yang memicu sekresi prostaglandin sehingga menyebabkan arteriol uterus
menjadi vasokonstriksi.
Fase pre-ovulatori merupakan waktu antara hari terakhir menstruasi dengan
ovulasi. Fase ini terjadi pada hari ke-6 hingga hari ke-13. Di ovarium, folikel
sekunder mulai mensekresikan estrogen dan inhibin. Pada hari ke-6, folikel
sekunder akan menyebabkan folikel lainnya menjadi folikel dominan. Sedangkan
pada uterus, estrogen yang dibebaskan ke dalam darah oleh folikel ovarium
menstimulasi regenerasi dari endometrium sehingga ketebalan endometrium menjadi
lebih kurang 4 - 10 mm. Fase preovulatori juga disebut juga fase proliferatif karena
endometrium sedang berproliferasi.
Fase ovulasi merupakan fase rupturnya folikel matur (Graafian) dan
dilepaskannya oosit sekunder ke rongga pelvik, pada umumnya terjadi pada hari ke14.
Fase post-ovulatori terjadi antara ovulasi dengan onset dari menstruasi
berikutnya. Fase ini terjadi pada hari ke-15 sampai hari ke-28. Di ovarium, folikel
matur mengalami degenerasi menjadi corpus Hemorrhagicum. Sel Theca internal
dengan sel granulosa akan ditransformasi menjadi corpus luteum karena pengaruh
LH. Fase ini disebut juga dengan fase luteal. Pada uterus, progesteron dan esterogen
sering
adalah
Chlamydia
trachomatis
dan
Neisserria
gonorrhoea.
Diagnosanya meliputi tiga kriteria mayor yaitu sakit perut, nyeri adneksa dan keras
pada daerah serviks, serta harus meliputi 1 kriteria minor seperti demam, vaginal
discharge, leukositosis, gram-negative stain dan sel darah putih pada vaginal smear.
3. Abses tubo-ovarian merupakan infeksi dan sekuele dari PID
4. Ruptur kista ovarium dan hemorargik
5. Endometriosis
Merupakan adanya jaringan mirip endometrium yang ditemukan di luar
uterus, paling sering pada ovarium. Gejala yang timbul adalah dispareuni, nyeri
panggul dan nyeri punggung.
6. Adenomiosis
Merupakan suatu kelainan dimana ditemukan kelenjar adrenal pada
miometrium, diagnosa sangat sulit untuk ditegakkan.
Usia menarke.
2.
3.
4.
5.
6.
2.
3.
4.
5.
Onset pada usia 20-30 tahun tanpa adanya keluhan di awal menarke.
2.
3.
4.
Infertilitas
5.
Dispareuni.
6.
Vaginal discharge.
2.
3.
4.
Pemeriksaan palpasi bimanual, apakah ada nyeri tekan atau adanya massa
pada pelvik.
2.1.10. Penatalaksanaan
2.1.10.1. Farmakologi
Obat antiinflamasi nonsteroid / NSAID
NSAID adalah terapi awal yang sering digunakan untuk dismenore. NSAID
mempunyai efek analgetika yang secara langsung menghambat sintesis
prostaglandin dan menekan jumlah darah haid yang keluar. Seperti diketahui
sintesis prostaglandin diatur oleh dua isoform siklooksigenase (COX) yang
berbeda, yaitu COX-1 dan COX-2. Sebagian besar NSAID bekerja
menghambat COX-2 (Sarwono, 2011).
Pil Kontrasepsi Kombinasi
Bekerja dengan cara mencegah ovulasi
sangat efektif untuk mengatasi dismenore dan sekaligus akan membuat siklus
haid teratur. Progestin dapat juga dipakai untuk pengobatan dismenore, misal
nya medroksi progesterone asetat (MPA) 5 mg atau didrogestron 2x10 mg
mulai haid hari ke-5 sampai 25. Bila penggunaan obat tersebut gagal
mengatasi nyeri haid sebaiknya dipertimbangkan untuk mencari penyebab
dismenore sekunder (Sarwono, 2011).
Gonadotropin-Releasing Hormone Agonists dan Androgen
Efek penurunan estrogen yang dimilik obat ini menyebabkan atrofi dari
endometrium dan penurunan kadar prostaglandin (J.O.Schorge, 2008).
2.1.10.2. Non-Farmakologi
Pembedahan
Histerektomi sangat efektif dalam mengobati dismenore, tetapi dapat
menyebabkan gangguan pada fertilitas seseorang di masa yang akan datang
(J.O.Schorge, 2008).
Pengobatan alternatif
1. Peningkatan masukan makanan seperti serat, kalsium, sayur-sayuran,buahbuahan.
2. Mengurangi konsumsi seperti kafein, garam dan gula yang berlebihan.
3. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol.
4.Mengkonsumsi suplemen tambahan seperti multi-vitamin yang banyak
mengandung magnesium, vitamin E dan vitamin B6 serta tingkatkan
konsumsi fish-oil. Magnesium dikatakan memiliki efek vasodilatasi dan
menghambat sintesis dari prostaglandin sehingga dapat mengurangi keluhan
nyeri pasien dismenore (J.O.Schorge, 2008).
2.1.11. Prognosis
Menurut Karim (2013), dengan penggunaan NSAID, prognosis dismenore
sangat baik. Akan tetapi, prognosis dari dismenore sekunder bervariasi tergantung
etiologi dari dismenore itu sendiri. Apabila diagnosa dari etiologi dismenore
sekunder tidak tepat, maka dapat menyebabkan peningkatan morbiditas pasien.
Walaupun dismenore tidak mengancam nyawa, dismenore dapat mengganggu
aktivitas dan produktivitas seseorang. Pemahaman remaja yang terbatas tentang
menstruasi
dan
dismenore,
mengakibatkan
kebanyakan
remaja
perempuan
Olahraga
Olahraga diperkirakan memiliki peranan penting dalam penatalaksanaan dari
untuk
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
2.3.
mengurangi prevalensi dismenore. Hal ini dikarenakan mungkin efek hormonal yang
berhubungan dengan olahraga pada permukaan uterus, atau peningkatan kadar
endorfin yang bersirkulasi, endorfin merupakan suatu substansi yang diproduksi oleh
otak yang diakibatkan dicapainya ambang nyeri seseorang.
Menurut Tjokronegoro (2004) dan Rager (1999), seseorang yang rutin
berolahraga, maka ia dapat menyediakan oksigen hampir dua kali lipat per menit
sehingga oksigen tersampaikan ke pembuluh darah yang vasokonstriksi di uterus.
Jantung yang memompa darah semakin banyak juga turut berperan serta dalam
menyediakan oksigen yang menurunkan rasa nyeri pasien dismenore. Lebih lanjut,
olahraga penting untuk remaja putri yang menderita dismenore karena latihan yang
rutin dan teratur dapat meningkatkan pelepasan endorfin (penghilang nyeri alami) ke
dalam sirkulasi darah yang kemudian menurunkan rasa nyeri.
Teori lain yang meneliti mengenai hubungan olahraga dengan psikososial
seseorang juga menghasilkan beberapa temuan. Olahraga yang rutin diteliti dapat
mempengaruhi mood, stress dan respon seseorang terhadap stress yang dihadapi, selfesteem serta juga dikaitkan dengan gangguan menstruasi yang cenderung lebih
berkurang. Menurut Wells (2014), olahraga dapat mengurangi lemak tubuh seseorang
yang nantinya berpengaruh dalam berkurangnya produksi estrogen dari body fat.
Akan tetapi, hal tersebut tidak terlalu menjelaskan nyeri yang dialami pasien
dismenore. Wells juga berpendapat bahwa peningkatan kadar endorfin yang sangat
tinggi pada pasien yang rutin berolahraga terjadi bahkan sebelum menstruasi, itulah
yang menjadi faktor mengapa orang yang olahraga lebih jarang mengalami
dismenore dan mereka yang berolahraga rutin juga memiliki kadar endorphin yang
lebih stabil. Menurut Maruf et.al (2013), penelitiannya tidak menunjukkan pengaruh
yang signifikan antara olahraga dengan dismenore. Teori yang ditemukan adalah
olahraga yang rutin dapat mengubah proses biokimiawi pada sistem imun tubuh
yang juga belum diketahui dengan jelas prosesnya. Berkurangnya tingkat stres juga
berperan dalam berkurangnya rasa nyeri pada dismenore primer yang dialami pasien.
Mekanisme yang lain menurut Maruf adalah meningkatnya metabolisme tubuh
karena meningkatnya aliran darah yang lancer ke daerah pelvik yang berperan dalam
mengurangi rasa kurang nyaman yang dialami pasien dismenore.