Anda di halaman 1dari 7

A.

Latar Belakang
Filariasis merupakan penyakit menular di lingkungan tropis yang
disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit filarias di
Indonesia disebabkan oleh 3 (tiga) spesies cacing filaria yaitu; Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori.1 Cacing filaria dewasa pada manusia
hidup di saluran dan kelenjar getah bening yang dapat menyebabkan gejala klinis
akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening. Peradangan dapat
berkembang menjadi limfedema dan hidrokel yang menetap dan sukar
disembuhkan dan dapat menyebabkan cacat permanen.2
Filariasis menduduki urutan kedua terbesar penyakit menular vektor setelah
malaria dan telah menginfeksi lebih dari 120 juta manusia di 73 negara tropis
maupun sub-tropis di Asia, Afrika, Pasifik Barat, dan sebagian kepulauan
Carabbia serta Amerika Selatan.3 Kurang lebih 65% kasus filariasis saat ini berada
di Asia Tenggara dan 30% di Afrika. Sebanyak 40 juta penderita mengalami
gangguan kepercayaan diri dan cacat sebagai dampak filariasis, 25 juta penderita
laki-laki mengalami pembesaran pada bagian genitalia dan lebih 15 juta kasus
dengan lymphodema atau pembengkakan pada kaki atau yang disebut dengan kaki
gajah.1 Penyakit kaki gajah merupakan penyebab utama kecacatan, stigma sosial,
hambatan psikososial yang menetap dan menurunkan produktifitas kerja individu,
keluarga dan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.4
Saat ini penyakit kaki gajah telah menjadi salah satu penyakit yang diprioritaskan
untuk dieliminasi. Keputusan Word Health Organization (WHO) dengan
mendeklarasikan The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a
Public Health Problem by the Year 2020. Indonesia sepakat untuk memberantas
filariasis sebagai bagian dari eliminasi filariasis global karena Indonesia
merupakan Negara dengan endemisitas Brugia sp terbesar di dunia.5
Filariasis dilaporkan di Indonesia sejak ditemukan scrotal elephantiasis
pada tahun 1889, dan sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat, terutama di daerah pedesaan.6 Data yang dikeluarkan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES RI) Tahun 2014, jumlah kasus
filariasis sebanyak 14 ribu orang penderita kasus klinis penyakit kaki gajah

(Filariasis) yang tersebar di semua provinsi. Secara epidemiologi, lebih dari 120
juta penduduk Indonesia berada di daerah yang berisiko tinggi tertular filariasis.7
Kasus filariasis pada tahun 2014 di Indonesia tertinggi di Propinsi Nusa
Tenggara Timur (3.175 kasus), Propinsi Nangroe Aceh Darusalam(2.375 kasus),
dan Propinsi Papua Barat (1.765 kasus), sedangkan untuk wilayah Kalimantan,
jumlah penderita terbanyak berada di Propinsi Kalimantan Timur (524 kasus),
Propinsi Kalimantan Selatan (365 kasus), Propinsi Kalimantan Barat (253 kasus)
dan Propinsi Kalimantan Tengah (227 kasus).7
Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi yang terdapat kasus filariasis
dengan jumlah kasus dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dalam kurun waktu
lima tahun terakhir, sejak tahun 2008 sampai tahun 2014 kasus filariasis di Jawa
Tengah telah ditemukan sebanyak 590 kasus dan secara kumulatif mengalami
pertambahan jumlah kasus filariasis kronis. Terjadinya peningkatan kasus
filariasis kronis diikuti juga dengan bertambahnya Kabupaten/Kota yang
sebelumnya tidak pernah melaporkan adanya penderita filariasis kronis. Sampai
dengan 2014 sudah 34 Kab/Kota yang melaporkan ditemukan penderita filariasis
kronis.
Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes jumlah
penderita filariasis kronis pada tahun 2012 sebesar 23 penderita dan semakin
meningkat pada tahun 2016 menjadi 34 penderita.
Banyak faktor risiko yang mampu memicu timbulnya kejadian filariasis,
beberapa diantaranya adalah lingkungan. Faktor lingkungan merupakan salah satu
yang mempengaruhi kepadatan nyamuk sehingga berpotensi membawa vektor
filariasis. Lingkungan ideal bagi nyamuk dapat dijadikan tempat potensial untuk
perkembangbiakan dan peristirahatan nyamuk, sehingga kepadatan nyamuk akan
meningkat. Lingkungan biologi meliputi keberadaan tanaman air, keberadaan ikan
predator, keberadaan semak-semak dan keberadaan kandang ternak. Lingkungan
fisik meliputi keberadaan sawah, keberadaan rawa-rawa, keberadaan parit,
keberadaan kolam dan keberadaan genangan air. Lingkungan fisik maupun biologi
yang sesuai dengan vektor tertentu akan meningkatkan kepadatan vektor filariasis.
Filariasis merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk (vektor borne
disease), oleh karena itu kepadatan nyamuk vektor filariasis merupakan faktor

risiko tingginya penular filariasis. Penguasaan bionomik vektor sangat diperlukan


dalam pengendalian vektor, usaha pengendalian vektor akan memberikan hasil
maksimal apabila ada kecocokan antara vektor yang menjadi sasaran dengan
metode pengendalian yang diterapkan.8,9
B. Visi Misi
1. Visi

: Kabupaten Brebes Bebas Filariasis Tahun 2020

2. Misi

:
-

Manajemen pengendalian vektor secara terpadu

Melakukan surveilans kesehatan dalam upaya


pengendalian filariasis

Meningkatkan penata laksanaan kasus

Meningkatkan kerja sama lintas sektoral dalam upaya


pemberantasan dan pencegahan filariasis

Meningkatkan kualitas pelayanan promotif, preventif ,


kuratif, dan rehalibilitatif

Meningkatkan derajat kesehatan melalui pemberdayaan


masyarakat .

Meningkatkan cakupan pengobatan filariasis

C. Program
Total Coverage Elimination Lymphatic Filariasis di Kabupaten Brebes
D. Tujuan
Menjadikan Kabupaten Brebes bebas filariasis
E. Strategi
1. Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis
Pemberian

Obat

Pencegahan

Massal

(POPM)

Filariasis

dilaksanakan di daerah endemis dengan Mf >1% dengan menggunakan


obat kombinasi Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) 6 mg/kgbb dan
Albendazole 400 mg. Sebaiknya obat diminum sesudah makan dan di
depan petugas. Oleh karena cacing mikrofilaria keluar pada malam hari

dan kadar obat maksimal dalah 4 jam maka obat sebaiknya diminum
menjelang malam hari.
Sasaran Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis
dilaksanakan secara serentak selama satu bulan pada bulan Oktober ,
terhadap seluruh penduduk Kabupaten Brebes yang berusia 2-70 tahun
dengan pengecualian sebagai berikut :
1. Anak berusia < 2th
2. Ibu hamil
3. Orang yang sedang sakit berat
4. Penderita kasus kronis filariasis yang sedang dalam serangan akut
5. Anak berusi <5tahun dengan marasmus atau kwashiorkor.
Untuk orang-orang dengan kriteria tersebut diatas, ditunda dalam
pemberian obat pencegahan filariasis.
2. Survei Darah Jari
Survei darah jari adalah identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi
pada suatu populasi yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah
tersebut dan intensitas infeksinya. Survei darah jari dilakukan di desa yang
mempunyai kasus kronis terbanyak. Populasi survei adalah penduduk
berusia >13 tahun. Jumlah sampel yang diambil di setiap desa lokasi
survei adalah 500 orang. Apabila jumlah sampel tidak mencukupi maka
sampel diambil dari desa yang bersebelahan. Cara pengambilan sampel
adalah mengumpulkan penduduk sasaran survei yang tinggal di sekitar
kasus kronis yang ada di desa lokasi survei. Pengambilan darah dilakukan
pada pukul 20.00 malam.
3. Pengendalian Vektor
Kegiatan pengendalian vektor adalah pemberantasan tempat
perkembangbiakan nyamuk melalui pembersihan got atau saluran air,
memberantas jentik-jentik nyamuk dengan cara bak air dirumah,
pengaliran air tergenang, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan
genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk, membersihkan
pekarangan dan lingkungan disekitar rumah anda dan penebaran bibit ikan
pemakan jentik. Kegiatan lainnya adalah menghindari gigitan nyamuk

dengan memasang kelambu, menggunakan obat nyamuk oles, memasang


kasa pada ventilasi udara dan menggunakan obat nyamuk bakar atau obat
nyamuk semprot.
4. Penemuan dan Penatalaksanaan Kasus
Survei kasus kronis merupakan cara menemukan kasus kronis.
Apabila pada desa ditemukan kasus kronis terbanyak akan dilaksanakan
survei darah jari. Cara menemukan kasus kronis adalah dari laporan
masyarakat, kartu status di puskesmas dan rumah sakit, dan penemuan
kasus oleh petugas kesehatan. Dari data kasus kronis dapat ditentukan
Angka Kesakitan Kronis. Penatalaksanaan kasus klinis dilakukan pada
semua kasus yang ditemukan untuk mencegah dan membatasi kecacatan.
Penatalaksaan dilakukan dengan pemberian obat dan perawatan.
5. Memetakan Wilayah Endemis
6. Keterlibatan Lintas Sektor
Mekanisme pengorganisasian kegiatan POPM Filariasis dimulai
dari tingkat Pusat hingga ke tingkat pelaksanan di lapangan dalam hal ini
adalah Puskesmas.
Peran Pusat dalam hal ini Dirjen PPM&L subdirektorat Filariasis
dan Propinsi dalam hal ini Dinas Kesehatan Propinsi jawa barat berperan
dalam pengadaan dan distribusi obat DEC dan Albendazol, melakukan
bimbingan teknis dan memonitor serta mengevaluasi kegiatan cakupan
pengobatan massal.
Kabupaten Brebes dengan jumlah penduduk sebanyak 1.800.000
jiwa (proyeksi hasil SP2010 BPS Kabupaten Brebes) dan jumlah sasaran
pengobatan sebanyak 1.620.000 jiwa, memerlukan suatu kerjasama dan
sinergitas yang baik antara sektor Kesehatan dan lintas sector yang lain
untuk tercapainya cakupan pengobatan. Dukungan lintas Sektor akan
menentukan keberhasilan program ini.
Peran BAPPEDA bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten
adalah mengalokasikan anggaran operasional. Upaya sosialisasi dan
mobilisasi massa tidak terlepas dari peran serta SKPD lain yaitu : BPPKB,
BPMPD, Dinas Pendidikan dan Diskominfo. Dinas Kesehatan selaku

pelaksana

program

melakukan

bimbingan

teknis

ke

Puskesmas,

mendistribusikan logistik, menggalang kemitraan Lintas Sektoral dan


memonitor serta mengevaluasi jalannya kegiatan ini.
Stakeholder juga termasuk tokoh masyarakat dan tokoh agama
serta kepala desa/kelurahan yang mempunyai hubungan langsung dengan
masyarakat. Karena biasanya masyarakat menuruti kepemimpinan mereka.
Peran Puskesmas sebagai pelaksana teknis lapangan wajib
memberikan pelatihan kepada seluruh petugas Puskesmas dan Kader TPE
di desa/kelurahan. Puskesmas jga bertanggungjawab langsung terhadap
pencapaian cakupan pengobatan massal.

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global programme to eliminate lymphatic
filariasis. Geneva, Switzerland; 2013.

2. Kementerian Kesehatan. Pedoman Eliminasi Filariasis di Indonesia.


Pedoman Penentuan dan Evaluasi Daerah Endemis Filariasis. Jakarta:
Kementrian Kesehatan; 2012.
3. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2015. Lymphatic
Filariasis: Epidemiology and Risk Factors.
4. Dirjen PPM & PL. Pedoman Penentuan Daerah Endemis Penyakit Kaki
Gajah (Filarisis), buku 3. Jakarta: Direktorat Jendral PPM & PL Depkes
RI. 2002.
5. Depkes RI. Rencana nasional program akselerasi eliminasi filariasis di
Indonesia. Ditjen PPM &PL. Jakarta; 2010.
6. Garjito, T. A. Studi filariasis pada masyarakat pedesaan di Kabupaten
Banggai dan Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Laporan akhir penelitian.
Loka Litbang P2B2 Donggala. Unpublished. 2006.
7. Peraturan Kemenkes RI. Nomor 94 tentang penanggulangan Filariasis.
Jakarta; 2014.
8. Uloli R, Soeyoko, Sumarni. Analisis faktor risiko kejadian filariasis. Berita
Kedokteran Masyarakat. Vol. 24, No. 1; 2008.
9. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman program eliminasi
filariasis di Indonesia, Epidemiologi filariasis. Ditjen PPM &PL. Jakarta;
2012.

Anda mungkin juga menyukai