MALARIA
Oleh :
ISLAHUL AKBAR
2071210039
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit malaria sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan dengan
morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Malaria dapat ditemui hampir di seluruh
dunia, terutama Negara-negara beriklim tropis dan subtropics. Setiap tahunnya
ditemukan 300-500 juta kasus malaria yang mengakibatkan 1,5-2,7 juta kematian
terutama di negara-negara benua Afrika. Berdasarkan hasil Survei pada tahun 2001,
terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap tahunnya (Depkes RI,
2008). Dari 295 kabupaten/ kota yang ada di Indonesia, 167 kabupaten/ kota
merupakan wilayah endemis malaria.
Malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang disebakan
oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya
bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam, menggigil, anemia, dan
pembesaran limpa (Harijanto, 2006).
Beberapa upaya dilakukan untuk menekan angka kesakitan dan kematian
akibat malaria, yaitu melalui program pemberantasan malaria yang kegiatannya antara
lain meliputi diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans dan pengendalian
vector yang kesemuanya ditujukan untuk memutuskan rantai penularan malaria.
Berikut ini laporan kasus tentang penyakit Malaria yang terjadi di RSUD
Kanjuruhan Kepanjen.
BAB II
STATUS PENDERITA
A.
IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Tn. N
Umur
: 22 tahun
Jenis kelamin
: Laki - laki
Alamat
Status Perkawinan
: Menikah
Suku
: Jawa
Tanggal MRS
: 4 Mei 2011
No register
: 288954
B.
ANAMNESIS
: sendiri
: orang lain
1. Keluhan Utama
Hipertensi (-)
Asma (-)
DM (-)
4. Riwayat Kebiasaan
-
Jamu (+)
C.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum (Tanggal 4 April 2011)
Tampak lemah, kesadaran compos mentis (GCS 456), status gizi kesan
cukup.
2. Tanda Vital
Tensi
: 120/80 mmHg
Nadi
Pernafasan
: 20 x /menit
Suhu
: 39,5 oC
3. Kulit
Turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), venektasi (-), petechie (-), spider nevi
(-).
4. Kepala
Bentuk mesocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput (-),
atrofi m. temporalis (-), makula (-), papula (-), nodula (-), kelainan mimik
wajah / bells palsy (-), demam (+)
5. Mata
Conjunctiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-).
6. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).
7. Mulut
Bibir pucat (-), bibir cianosis (-), gusi berdarah (-).
8. Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-).
9. Tenggorokan
Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).
10. Leher
JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-)
11. Thoraks
Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi (-), spider
nevi (-), pulsasi infrasternalis (-), sela iga melebar (-).
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi : batas kiri atas
: sonor/sonor
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
: sonor/sonor
Auskultasi
12. Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: timpani
Auskultasi
13. Ektremitas
palmar eritema (-/-)
akral dingin
Oedem
- - 14. Sistem genetalia: dalam batas normal.
D.
DIFFERENTIAL DIAGNOSA
1. Demam Tifoid
2. DHF
3. ISPA
E.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Lab darah (4 Mei 2012)
2. Widal test
3. Imonoglobulin (IgG dan IgM)
4. Parasitologi
Lab darah :
- Hb : 10,2 g/dl
- Hematokrit : 30,9 g/dl
- Eritrosit : 3,37 Juta sel/cmm
- Lekosit : 6.660 sel/cmm
- Trombosit : 69.000 sel/cmm
- SGOT : 48 U/L
- SGPT : 74 U/L
- Ureum : 43 mg/dl
- Kreatinin : 0,87 mg/dl
Kesan : Anemia ringan dan trombositopeni.
Imonoglobulin :
Ig G
: Negatif
Ig M
: Negatif
negative
Parasitologi :
Malaria : Ditemukan Plasmodium Vivax dengan stadium ringan, Schizont dan
gametozit. Index paasit 27/200 sel leukosit.
G. DIAGNOSIS
Malaria
H. PENATALAKSANAAN
1. Non Medika mentosa
a. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya
b. Tirah baring
2. Medikamentosa (Tanggal 4 Mei 2012)
-
IVFD RL 20 tetes/menit
Neurobion 2 x 1
Paracetamol 3 x 1
I.
FOLLOW UP
Nama
: Tn. N
Diagnosis : Malaria
Tabel flowsheet penderita
No
1
Tanggal
4/5/2012
S
Demam (+),
Lemas (+),
Pusing (+)
5/5/2012
Demam (-),
Lemas (+),
Pusing (+)
6/5/2012
7/5/2012
O
T: 120/80
N: 88 x/mnt
RR: 20x/mnt
S : 39,5
Plasmodium
Vivax (+)
T: 130/80
N: 80 x/mnt
RR: 20x/mnt
S : 36,3
Lemas
(+), T: 110/80
N: 82 x/mnt
Pusing (+)
RR: 20x/mnt
S : 37,3
Tidak ada
T: 110/80
N: 82 x/mnt
keluhan
RR: 20x/mnt
S : 37,3
A
Malaria
P
- IVFD
RL
20
tetes/menit
- Cefotaxim injeksi
3x1
- Antrain injeksi 3x1
- Ranitidin
injeksi
3x1
- Neurobion 2 x 1
- Paracetamol 3 x 1
Terapi tetap
Terapi tetap
Antrain Stop
Terapi Tetap
BLPL
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
A. DEFINISI
Malaria merupakan suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan oleh
protozoa genus Plasmodium dengan manifestasi klinis berupa demam, anemia dan
pembesaran limpa. Sedangkan meurut ahli lain malaria merupakan suatu penyakit
infeksi akut maupun kronik yang disebakan oleh infeksi Plasmodium yang menyerang
eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan
gejala demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.(Harijanto, 2006)
B. EPIDEMIOLOGI
Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin lebih berkaitan dengan
perbedaan derajat kekebalan tubuh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
perempuan mempunyai respon imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki laki,
namun kehamilan dapat maningkatkan resiko malaria. Ada beberapa factor yang turut
mempengaruhi seseorang terinfeksi malaria adalah (Gunawan, 2000):
1. Ras atau suku bangsa
Pada penduduk benua Afrika prevalensi Hemoglobin S (HbS) cukup tinggi
sehingga lebih tahan terhadap infeksi P. falciparum karena Hb S dapat
menghambat perkembangbiakan P. falciparum.
2. Kekurangan enzim tertentu
Kekurangan terhadap enzim Glukosa 6 Phosphat Dehidrogenase (G6PD)
memberikan perlindungan terhadap infeksi P. falciparum yang berat.
Defisiensi terhadap enzim ini merupakan penyakit genetik dengan manifestasi
utama pada wanita.
3. Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu mengancurkan
Plasmodium yang masuk atau mampu menghalangi perkembangannya.
C. ETIOLOGI
Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus
Plasmodium. Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia
terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium
malariae dan Plasmodium ovale. Penularan pada manusia dilakukan oleh nyamuk
betina Anopheles ataupun ditularkan langsung melalui transfuse darah atau jarum
suntik yang tercemar serta dari ibu hamil kepada janinnya.(Rempengan, 2000)
Malaria vivax disebabkan oleh P. vivax yang juga disebut juga sebagai malaria
tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria malariae atau malaria kuartana. P.
ovale merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan P. falciparum menyebabkan
malaria falciparum atau malaria tropika. Spesies terakhir ini paling berbahaya, karena
malaria yang ditimbulkannya dapat menjadi berat sebab dalam waktu singkat dapat
menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi
di dalam organ-organ tubuh.(Depes RI, 2006)
D. SIKLUS HIDUP PLASMODIUM
Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu manusia dan
nyamuk anopheles betina.(Nugroho, 2000)
a.
b.
di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan gamet betina melakukan pembuahan
menjadi zigot. Zigot ini akan berkembang menjadi ookinet kemudian menembus
dinding lambung nyamuk. Di luas dinding lambung nyamuk ookinet akan menjadi
ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit yang nantinya akan bersifat infektif dan
siap ditularkan ke manusia.
Masa inkubasi atau rentang waktu yang diperlukan mulai dari sporozoit masuk ke
tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam
bervariasi, tergantung dari spesies Plasmodium. Sedangkan masa prepaten atau
rentang waktu mulai dari sporozoit masuk sampai parasit dapat dideteksi dalam darah
dengan pemeriksaan mikroskopik.
E. PATOGENESIS
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan
lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas
pembuluh
darah
daripada
koagulasi
intravaskuler.
Oleh
karena
skizogoni
menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemi tidak
sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang
mengandung parasit. Hal ini diduga akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan
gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit
keluar. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena
terbentuknya antibodi terhadap eritrosit.
Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga
mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering
terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada
malaria kronis terjadi hyperplasia dari retikulosit diserta peningkatan makrofag. Pada
malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke dalam
eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami
perubahan struktur dan biomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit.
Perubahan tersebut meliputi mekanisme, diantaranya transport membran sel,
sitoadherensi, sekuestrasi dan resetting.(Harijanto, 2006)
Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P.
falciparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu, eritrosit
juga dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset.
Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah eritrosit yang mengandung
merozoit matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit,
sehingga berbentuk seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
resetting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A dan B
yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi.
Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah multifaktorial dan
berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tetapi juga
terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan
anemia dan hipoksemia jaringan. Pada hemolisis intravascular yang berat
dapat terjadi hemoglobinuria (black white fever) dan dapat menyebabkan
gagal ginjal.(Pribadi, 2000)
2. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag
yang sensitive endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin
mungkin berasal dari saluran cerna dan parasit malaria sendiri dapat
melepaskan faktor nekrosis tumor (TNF) yang merupakan suatu monokin,
ditemukan dalam peredaran darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit
malaria. TNF dan sitokin dapat menimbulkan demam, hipoglikemia, dan
sindrom penyakit pernapasan pada orang dewasa.(Pribadi 2000)
3. Sekuestrasi eritrosit yang terluka
Eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium dapat membentuk tonjolan tonjolan
(knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen dan
bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit
yang mengandung parasit terhadap endothelium kapiler alat dalam, sehingga
skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam. Eritrosit yang terinfeksi
menempel pada endothelium dan membentuk gumpalan yang mengandung
kapiler yang bocor dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan.(Pribadi,
2000)
Sporozoit pada fase eksoeritrosit bermultiplikasi dalam sel hepar tanpa
menyebabkan reaksi inflamasi, kemudian merozoit yang dihasilkan menginfeksi
eritrosit yang merupakan proses patologi dari penyakit malaria. Proses terjadinya
patologi malaria serebral yang merupakan salah satu dari malaria berat adalah
terjadinya perdarahan dan nekrosis di sekitar venula dan kapiler. Kapiler dipenuhi
leukosit dan monosit, sehingga terjadi sumbatan pembuluh darah oleh roset eritrosit
yang terinfeksi.(Zulkarnaen, 2000)
F. MANIFESTASI KLINIS
Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium mempunyai
gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses
skizogoni
(pecahnya
merozoit
atau
skizon),
pengaruh
GPI
(glycosyl
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan atau disertai kelainan
laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24jam setelah pendinginan pada hipertermis.
9. Asidemia (Ph<7,25) atau asidosis (plasma bikarbonat <15mmol/L).
10. Makroskopik hemaglobinuri oleh karena infeksi malaria akut bukan karena
obat antimalaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada
pembuluh kapiler jaringan otak.
G. DIAGNOSIS
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti infeksi
malaria ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik
atau tes diagnostic cepat.
1. Anamnesis
a.
b.
Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu yang lalu
ke daerah endemik malaria.
c.
d.
e.
f.
Selain hal-hal tersebut di atas, pada tersangka penderita malaria berat, dapat
ditemukan keadaan di bawah ini:
a.
b.
c.
Kejang-kejang.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
2. Pemeriksaan Fisik
a.
Demam (37,5oC).
b.
c.
Pembesaran limpa.
d.
Pembesaran hati.
3. Kepadatan parasit.
- Semi kuantitatif :
(-) : tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB
(+) : ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB
(++) : ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB
(+++) : ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB
(++++) : ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB
-
Kuantitatif :
Jumlah parasit dihitung permikroliter darah pada sediaan darah tebal
atau sediaan darah tipis.
kloramfenikol,
eritromisin,
sulfametoksazol-trimetoprim
dan
dan tidak ditemukan parasit stadium aseksual sejak hari ketujuh. Pengobatan
tidak efektif apabila dalam 28 hari setelah pemberian obat :
1. Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif, atau
2. Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang atau
timbul kembali setelah hari ke-14.
3. Gejala klinis membaik tetapi parasit aseksual timbul kembali antara hari
ke-15 sampai hari ke-28 (kemungkinan resisten, relaps atau infeksi baru).
Pengobatan malaria vivax resisten klorokuin.
-
d. Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi malaria
sehingga bila terinfeksi maka gejala klinisnya tidak berat. Kemoprofilaksis ini
ditujukan kepada orang yang bepergian ke daerah endemis malaria dalam
waktu yang tidak terlalu lama, seperti turis, peneliti, pegawai kehutanan dan
lain-lain. Untuk kelompok atau individu yang akan bepergian atau tugas dalam
jangka waktu yang lama, sebaiknya menggunakan personal protection seperti
pemakaian kelambu, kawat kassa, dan lain-lain.(3) Oleh karena P. falciparum
merupakan spesies yang virulensinya cukup tinggi maka kemoprofilaksisnya
terutama ditujukan pada infeksi spesies ini. Sehubungan dengan laporan
tingginya tingkat resistensi P. falciparum terhadap klorokuin, maka doksisiklin
menjadi pilihan. Doksisiklin diberikan setiap hari dengan dosis 2 mg/kgBB
selama tidak lebih dari 4-6 minggu. Kemoprofilaksis untuk P. vivax dapat
diberikan klorokuin dengan dosis 5 mg/kgBB setiap minggu. Obat tersebut
diminum 1 minggu sebelum masuk ke daerah endemis sampai 4 minggu
setelah kembali.
Tabel 12. Dosis Pengobatan Pencegahan Dengan Klorokuin
I. PROGNOSIS
1. Prognosis malaria berat tergantung pada kecepatan dan ketepatan diagnosis
serta pengobatan.
2. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang dilaporkan
pada anak-anak 15%, dewasa 20% dan pada kehamilan meningkat sampai
50%.
3. Prognosis malaria berat dengan gangguan satu fungsi organ lebih baik
daripada gangguan 2 atau lebih fungsi organ.
4. Mortalitas dengan gangguan 3 fungsi organ adalah 50%.
5. Mortalitas dengan gangguan 4 atau lebih fungsi organ adalah 75%.
6. Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu :
a. Kepadatan parasit <100.000/L, maka mortalitas <1%.
b. Kepadatan parasit >100.000/L, maka mortalitas >1%.
c. Kepadatan parasit >500.000/L, maka mortalitas >5%.
BAB IV
PENUTUP
Malaria merupakan suatu penyakit yang bersifat akut maupun kronik, yang
disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium, yang ditandai dengan demam, anemia
dan pembesaran limpa. Plasmodium sebagai penyebab malaria terdiri dari 4 spesies,
yaitu P. falciparum, P. ovale, P. vivax, dan P. malariae. Malaria juga melibatkan
hospes perantara yaitu nyamuk anopheles betina. Daur hidup spesies malaria terdiri
dari fase seksual dalam tubuh nyamuk anopheles betina dan fase aseksual dalam
tubuh manusia. Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit,
inang dan lingkungan. Pada malaria berat berkaitan dengan mekanisme transport
membrane sel, penurunan deformabilitas, pembentukan knob, sitoadherensi, resetting,
dan lain-lain. Manifestasin klinik dari penyakit malaria ditandai dengan gejala
prodromal, trias malaria (menggigil-panasberkeringat), anemia dan splenomegali.
Diagnosis malaria ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Gold standard adalah menemukan parasit malaria dalam pemeriksaan sediaan apus
darah tepi. Pengobatan untuk malaria falciparum, lini pertama : artesunat,
amodiakuin, primakuin, lini kedua : kina, dosksisiklin/tetrasiklin, primakuin.
Pengobatan malaria vivak dan ovale, lini pertama : klorokuin+primakuin, jika
resistensi klorokuin: kina+primakuin, jika relaps : naikkan dosis primakuin.
Pengobatan malaria malariae diberikan klorokuin. Untuk profilaksis dapat digunakan
dosksisiklin dan klorokuin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di
Indonesia. Jakarta, 2006; Hal:1-12, 15-23, 67-68.
2. Gunawan S. Epidemiologi Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC,
2000; Hal: 1-15
3. Harijanto PN. Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, edisi IV
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006; Hal: 1754-60.
4. Kementrian Kesehatan RI. Epidemiologi Malaria di Indonesia. Jakarta 2011;
Hal 1-27
5. Mansyor A dkk. Malaria. Dalam: kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, Jilid
I, Jakarta, Fakultas Kedokteran UI, 2001, Hal: 409-16.
6. Nugroho A & Tumewu WM. Siklus Hidup Plasmodium Malaria. Dalam
Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis
dan Penanganan. Jakarta: EGC, 2000; Hal: 38-52.
7. Pribadi W. Parasit Malaria. Dalam: gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W
(editor). Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta, Fakultas Kedokteran UI,
2000, Hal: 171-97.
8. Purwaningsih S. Diagnosis Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC,
2000; Hal: 185-92.
9. Rampengan TH. Malaria Pada Anak. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC,
2000; Hal: 249-60.
10. Tjitra E. Obat Anti Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC,
2000; Hal: 194-204.
11. Zulkarnaen I. Malaria Berat (Malaria Pernisiosa). Dalam: Noer S et al (editor).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta.Balai Penerbit
FKUI, 2000;Hal:504-7.