Anda di halaman 1dari 40

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Referat

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
SINUSITIS PARANASAL

Disusun oleh :
Salwah Nur

(1510029022)

Zuniva Andan P.B

(1510029010)

Pembimbing
dr. Moriko Pratiningrum, Sp. THT-KL

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Laboratorium Telinga Hidung Tenggorok
Program Studi Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Referat yang berjudul Sinusitis Paranasal.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1

dr. Moriko Pratiningrum, Sp. THT-KL, sebagai dosen pembimbing klinik

selama stase THT.


Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga

pendidikan saat ini.


Rekan sejawat dokter muda angkatan 2015 yang telah bersedia memberikan

saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.


Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis

membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Desember, 2016

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................
..................................................................................................................................
1
KATA PENGANTAR.............................................................................................
..................................................................................................................................
2
DAFTAR ISI...........................................................................................................
..................................................................................................................................
3
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................
1
2

Latar Belakang............................................................................................
Tujuan.........................................................................................................

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................


5
2.1.Anatomi Hidung........................................................................................... 5
2.2. Anatomi Sinus Paranasal............................................................................. 8
2.3Fisiologi Sinus Paranasal............................................................................... 12
2.4.Sinusitis........................................................................................................13
2.4.1 Definisi......................................................................................................13
2.4.2 Epidemiologi............................................................................................. 14
2.4.3 Klasifikasi.................................................................................................. 14
2.4.4 Etiologi...................................................................................................... 15
2.4.5 Patofisiologi....................................................................................... 16
2.4.6 Gejala Klinis...................................................................................... 17
2.4.7 Diagnosis........................................................................................... 19
2.4.8 Penatalaksanaan................................................................................. 29
2.4.9 Komplikasi........................................................................................ 32
2.4.10 Prognosis......................................................................................... 38
BAB 3 PENUTUP................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................
..................................................................................................................................
40

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal. Definisi lain
menyebutkan, sinusitis adalah inflamasi dan pembengkakan membran mukosa
sinus disertai nyeri lokal. Sesuai anatomisinus yang terkena dapat dibagi menjadi
sinusitis maxilla, sinusitis ethmoid,sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila
mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai semua
sinus disebut sinusitis paranasal.
Penyebab utama ialah infeksi virus yyang kemudian diikuti oleh infeksi
sekunder dari bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah
sinus maksilla. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan
intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor
predisposisi yang tidak dapat dihindari.
Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting
karena hal diatas. Terapi antibiotik diberikan pada awal dan jika telah terjadi
hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka
diperlukan tindakan operasi.
1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya referat ini adalah agar dokter muda mengetahui definisi,
etiologi, klasifikasi, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi sinusitis
paranasal. Dan diharapkan juga, dengan membuat laporan kasus ini
dapat menambah wawasan pengetahuan baik bagi penulis
maupun teman-teman sejawat lainnya.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Hidung
Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk,
terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas
dari akar hidung di wajah ke puncaknya (ujung hidung). Pada permukaan inferior
terdapat dua lubang, yakni nares anterior yang terpisah satu dari yang lain oleh
septum nasi. Septum nasi ini yang untuk sebagian berupa tulang dan untuk
sebagian berupa tulang rawan, membagi kavum nasi menjadi dua rongga kanan
dan kiri (Moore, 2002).
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di
belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise
(Soetjipto, 2001).
Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding lateral,
medial, inferior, dan superior. Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka
inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah, konka media yang lebih
kecil, konka superior yang lebih kecil lagi, dan konka suprema adalah yang
terkecil (Soetjipto, 2001).
Konka nasalis superior, konka nasalis media, dan konka nasalis inferior
membagi kavum nasi menjadi empat lorong : meatus nasalis superior, meatus
nasalis medius, meatus nasalis inferior, dan hiatus semilunaris (Moore, 2002).
Meatus nasalis superior adalah sebuah lorong yang sempit antara konka
nasalis superior dan konka nasalis media dan merupakan tempat bermuaranya
sinus etmoidalis superior melalui satu atau lebih lubang (Moore, 2002).
Meatus nasalis medius berukuran lebih panjang dan lebih luas daripada
meatus nasalis superior. Bagian anterosuperior meatus nasalis ini berhubungan
dengan sebuah lubang yang berukuran seperti corong, yakni infundibulum yang
merupakan jalan pengantar kedalam sinus frontalis. Hubungan masing-masing

sinus frontalis ke infundibulum terjadi melalui duktus frontonasalis. Sinus


maksilaris juga bermuara ke dalam meatus nasalis medius (Moore, 2002).
Meatus nasalis inferior adalah sebuah lorong horizontal yang terletak
inferolateral terhadap konka nasalis inferior. Duktus nasolakrimalis bermuara
dibagian anterior meatus nasalis inferior (Moore, 2002).
Hiatus semilunaris adalah sebuah alur yang berbentuk setengah lingkaran
dan merupakan muara sinus frontalis. Bulla etmoidalis adalah sebuah tonjolan
yang membuat di sebelah superior hiatus semilunaris, dan baru terlihat setelah
konka nasalis media disingkirkan. Bulla etmoidalis ini dibentuk oleh cellulae
ethmoidales tengah yang membentuk sinus etmoidalis (Moore, 2002).
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoidalis
dan bagian posterior dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum
dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar
dilapisi mukosa hidung (Snell, 2006; Soetjipto, 2001).
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os
maksilaris dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior
atau atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan
rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang
berasal dari os etmoidalis, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut
saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoidalis
(Snell, 2006; Soetjipto, 2001).
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoidalis
anterior dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri
maksilaris interna, yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina.
Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.
Bagian

depan

septum

terdapat

anastomosis

dari

cabang-cabang

arteri

sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina
mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena-vena ini membentuk suatu pleksus


kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Drainase vena terutama
melalui vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina (Soetjipto, 2001; Snell,
2006).
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM). KOM
adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal,
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga antara konka media dan lamina
papirasea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat
dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan
sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila (Hwang,
2009; Kennedy et al, 2003; Kamel, 2002).
Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke
posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada
pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior.
Prosesus unsinatus membentuk dinding medial dari infundibulum (Kennedy et al,
2003; Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993).
Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel
udara etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoid dapat
membengkak sangat besar sehingga menekan infundibulum etmoid dan
menghambat drainase sinus maksila (Kennedy et al, 2003; Kamel, 2002;
Stammberger et al, 1993).
Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding
anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi
oleh bula etmoid, dan pada bagian posteroinferolateralnya terdapat ostium alami
sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi terowongan yang membuka kearah
kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior (Nizar, 2000; Stammberger et
al, 1993).
Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-sel
etmoid anterior. Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini
merupakan patokan anatomi untuk operasi sinus frontal. Dengan membuka sel ini

akan memberi jalan menuju resesus frontal (Shankar et al, 2001; Mangunkusumo,
2000).

Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus


media dan merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media
atau melalui infundibulum etmoid menuju kavum nasi (Browning, 2007;
Mangunkusumo, 2000; Stammberger et al, 1993).
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak
di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui
ostiumnya. Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan
sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus
etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media,
sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus
posterior dan bermuara di meatus superior (Walsh et al, 2006).
2.2. Anatomi Sinus Paranasal
2.2.1. Sinus Maksilaris

Pada waktu lahir sinus maksilaris berupa celah kecil di sebelah medial
orbita. Pada awalnya dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung,
kemudian terus mengalami penurunan, sehingga pada usia delapan tahun menjadi
sama tinggi. Perkembangannya berjalan kearah bawah dan membentuk sempurna
setelah erupsi gigi permanen. Ukuran rata-rata pada bayi yang baru lahir 7-8 x 4-6
mm dan pada usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm dan isinya kira-kira 15 ml.
(Ballenger, 2004)
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus
maksilaris terletak di dalam korpus maksilaris dan sinus ini berbentuk piramid.
Dinding anterior sinus yaitu permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa
kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding
medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superior adalah dasar
orbita, dan dinding inferior yaitu prosesus alveolaris dan palatum (Soetjipto,
2001).
Sinus maksilaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus
semilunaris. Karena sinus etmoidalis anterior dan sinus frontalis bermuara ke
infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi
dari sinus-sinus ini ke sinus maksilaris adalah besar (Snell, 2006). Membrana
mukosa sinus maksilaris dipersarafi oleh nervus alveolaris superior dan nervus
infraorbitalis (Snell, 2006). Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi
sinus maksila adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C)
dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam
sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui
infundibulum yang sempit (Walsh et al, 2006).
Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami sinus
maksila yang terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksila
biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus

dan bula etmoid. Sisi anterior dan posterior dari ostium sinus maksila adalah
fontanel dan terletak di sebelah inferior lamina papirasea. Sinus maksila dapat
ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas konka inferior dan
didekat fontanel posterior (Nizar, 2000).

Gambar 2.1. Anatomi Sinus Paranasal (Hwang PH, 2009).

2.2.2. Sinus Frontalis


Bentuk dan ukuran sinus frontalis sangat bervariasi, dan seringkali juga
sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata
sinus frontalis yaitu tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm dan isi rata-rata
6-7 ml. Dinding depan sinus frontalis hampir selalu diploik, terutama pada bagian
luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding
anterior dan posterior (Benninger et al, 2003).
Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang
biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya
ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus
frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadangkadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk
salah satu sinus (Hilger, 2013).

10

Gambar 2.2 Dinding lateral tanpa konka.Muara sinus paranasal, demikian


pula duktus lakrimalis dapat terlihat membuka pada meatus yang bersesuaian.

2.2.3. Sinus Sfenoidalis


Sinus sfenoidalis terletak di dalam korpus os sfenoidalis di belakang sinus
etmoidalis posterior. Sinus sfenoidalis dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoidalis. Batas-batas sinus ini adalah bagian superior terdapat fosa serebri
media dan kelenjar hipofise, sebelah inferior adalah atap nasofaring, sebelah
lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna, dan di
sebelah posterior berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons
(Soetjipto, 2001).
2.2.4. Sinus Etmoidalis
Sinus etmoidalis terdapat di dalam os etmoidalis, di antara konka media
dan dinding medial orbita. Sinus etmoidalis terdiri dari sel-sel yang jumlahnya
bervariasi. Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi
dengan mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Berdasarkan letaknya, sinus
etmoidalis dibagi menjadi sinus etmoidalis anterior yang bermuara di meatus
medius dan sinus etmoidalis posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel

11

sinus etmoidalis anterior biasanya kecil dan banyak, terletak di depan lempeng
yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral
(lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoidalis posterior biasanya lebih besar
dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Snell,
2006; Soetjipto, 2001).
Di bagian terdepan sinus etmoidalis anterior terdapat bagian sempit yang
disebut resesus frontalis, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Sel etmoidalis
yang terbesar disebut bula etmoidalis. Pada daerah etmoidalis anterior terdapat
suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuara ostium sinus
maksilaris.

Pembengkakan

atau

peradangan

di

resesus

frontalis

dapat

menyebabkan sinusitis frontalis dan bila di infundibulum menyebabkan sinusitis


maksilaris. Membrana mukosa dipersarfi oleh nervus etmoidalis anterior dan
posterior (Soetjipto, 2001; Snell, 2006).
2.3. Fisiologi Sinus Paranasal
2.3.1. Sistem Mukosiliar
Sistem mukosiliar akan menjaga agar saluran napas atas selalu bersih dan
sehat dengan mengalirkan keluar partikel debu, bakteri, virus, alergen, toksin dan
lain-lain yang terperangkap pada lapisan mukus ke arah nasofaring. Silia memiliki
gerakan-gerakan teratur, bersama palut lendir akan mendorong partikel-partikel
asing dan bakteri yang terhirup ke rongga hidung menuju nasofaring dan
orofaring. Partikel-partikel asing tersebut selanjutnya akan ditelan dan
dihancurkan di lambung dengan demikian mukosa saluran napas mempunyai
kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri (Cohen, 2006).
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke satu arah (active
stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakkan
lapisan tersebut. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung
yang tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi gerak
silia kira-kira 3:1, sehingga gerakannya seolah-olah menyerupai ayunan tangan
seorang perenang. Silia tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti
efek domino (metachronical waves) dengan arah yang sama pada satu area. Gerak

12

silia mempunyai frekuensi denyut (ciliary beat frequency) sebesar 1000 getaran
per menit (Hwang PH, 2009).
Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal
pada hidung dan sinus paranasal bergantung kepada transportasi mukosiliar yang
dikenal sebagai bersihan mukosiliar. Bersihan mukosiliar yang baik akan
mencegah terjadinya infeksi di dalam hidung dan sinus paranasal. Bersihan
mukosiliar ditentukan oleh keadaan silia, palut lendir dan interaksi antara
keduanya. Daya pembersih mukosiliar dapat berkurang akibat perubahan
komposisi palut lendir, aktivitas silia, peningkatan sel-sel infeksi, perubahan
histopatologi sel hidung, hambatan sel sekresi atau obstruksi anatomi (Cohen,
2006).
2.3.2. Fungsi Sinus Paranasal
Beberapa teori mengemukakan, fungsi sinus paranasal yaitu: (1) sebagai
pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan
kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara, dan
(6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung (Soetjipto,
2001).
Penelitian yang paling terbaru pada fungsi sinus berfokus pada molekul
nitrat oksida (NO). Studi menunjukkan bahwa produksi nitrat oksida sinus
intranasal adalah secara primer pada sinus. Telah diketahui bahwa nitrat oksida
beracun pada bakteri, jamur, dan virus pada tingkatan sama rendah 100ppb.
Konsentrasi dari unsur ini dapat menjangkau 30.000 ppb dimana beberapa peneliti
sudah berteori tentang mekanisme dari sterilisasi sinus. Nitrat oksida juga
meningkatkan pergerakan silia (Angraini, 2005).
2.4 Sinusitis
2.4.1 Definisi
Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam
kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan
sinus paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena
alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur (Soetjipto, 2001).

13

Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di


pipi), sinus ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi)
dan sinus sphenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan
mukosa sinus paranasal yang dapat berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid,
sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus
disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis
(Soetjipto, 2001).
2.4.2

Epidemiologi
Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia,

terutama di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan
konsentrasi pollen yang tinggi terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari
sinusitis. Sinusitis maksilaris adalah sinusitis dengan insiden yang terbesar. Data
dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Di Amerika Serikat, lebih dari 30
juta orang menderita sinusitis. Virus adalah penyebab sinusitis akut yang paling
umum ditemukan. Namun, sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima
pada pasien dengan pemberian antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan setiap
tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan
untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.
Pada tahun 2009, Pusat PengendaliandanPencegahan Penyakitmelaporkan
bahwa hampir31 jutaorang dewasa didiagnosisdengansinusitis. Kejadian sinusitis
umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering juga disebut
dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering
ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat
mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat.
2.4.3

Klasifikasi

Berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi atas(Hilger, 2013):


1) Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai 4 minggu,
2) Sinusitis subakut, bila infeksi antara 4 minggu sampai 3 bulan,

14

3) Sinusitis kronik, bila infeksi sudah lebih dari 3 bulan


Berdasarkan letaknya, sinusitis terbagi atas (Hilger, 2013):
1) Sinusitis maksilaris
2) Sinusitis etmoidalis
3) Sinusitis frontalis
4) Sinusitis sphenoidalis
Sedangkan berdasarkan penyebabnya, sinusitis dibagi atas:
a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala
sesuatu

yang

menyebabkan

sumbatan

pada

hidung

dapat

menyebabkan sinusitis. Contohnya rhinitis akut (influenza), polip,


dan septum deviasi
b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre
molar dan molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus
pneumoniae,

Hemophilus

influenza,

Steptococcusviridans,

Staphylococcus aureus, Branchamella catarhatis


2.4.4

Etiologi

1) Sinusitis akut
Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri atau jamur.
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran pernafasan atas.
Bakteri penyebab sinusitis akut tersering ialah Streptococcus pneumonia,
dapat juga Haemofillus influenzae, Staphilococcus aureus yang ditemukan
pada 70% kasus(Hilger, 2013)
Dapat pula disebabkan rinitis akut : infeksi faring, seperti
faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut; infeksi gigi molar M1, M2, M3 atas,
serta premolar P1, P2; berenang dan menyelam; trauma langsung yang
dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal; dan barotrauma
serta adanya faktor predisposisi antara lain(Hilger, 2013):

Obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, benda asing di hidung,


tumor dan polip.

Rinitis kronik dan rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium


sinus.
15

Lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering yang dapat


menyebabkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia.

2) Sinusitis subakut
Etiologi dan faktor predisposisi kurang lebih sama dengan
sinusitis akut, hanya tanda-tanda radang akutnya sudah reda (Hilger,
2013).
3) Sinusitis kronik
Polusi bahan, alergi, dan defisiensi imunologik menyebabkan
silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan ini
mempermudah terjadinya infeksi. Terdapat edema konka yang
mengganggu draenase sekret, sehingga silia rusak, dan seterusnya. Jika
pengobatan pada sinusitis akut tidak adekuat, maka akan terjadi infeksi
kronik(Hilger, 2013).
2.4.5

Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan

lancarnya klirens mukosiliar (mucociliarry clearance) di dalam KOM (kompleks


osteomeatal). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernapasan (Soetjipto, 2001).
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi
edema mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga
sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini
bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-nacterial dan biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret yang berkumpul
didalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri.
Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial
dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada
faktor presdiposisi, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob
berkembang. Mukosa makin membengkan dan ini merupakan rantai siklus yang
terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi,

16

polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan
tindakan operasi (Soetjipto, 2001).
2.4.6

Gejala Klinis

1) Sinusitis Akut
Keluhan utama rinosinositis akut ialah hidung tersumbat disertai
nyeri/ rasa tekanan oada muka dan ingus purulen, yang sering kali turun ke
tenggorok (post nasal-drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam
dan lesu (Soetjipto, 2001).
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa
di tempat lain (referred pain). Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/
anosmia, halitosis, post nasal-drip yang menyebabkan batuk dan sesak
pada anak (Soetjipto, 2001).
Selaput lendir hidung tampak merah dan membengkak, dari hidung
mungkin keluar nanah berwarna kuning atau hijau. Demam dan menggigil
menunjukkan bahwa infeksi telah menyebar ke luar sinus(Soetjipto, 2001).
a. Sinusitis maksilaris
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise
dan nyeri kepala yang tak jelas biasanya reda dengan pemberian
analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak penuh, dan gigi
terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik
atau turun tangga. Sering kali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul
dan menusuk serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Pada sinusitis
maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan maksila.Sekret
mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk.
Batuk iritiatif non produktif sering kali ada (Hilger, 2013).
b. Sinusitis etmoidalis
Sinusitis etmoidalalis akut terisolasi lebih lazim pada anak,
seringkali bermanifestasi selulitis orbita. Pada dewasa. Sering kali
bersama-sama dengan sinusitis maksilaris, serta dianggap sebagai
penyerta sinusitis frontalis yang tak dapat dielakan. Gejala berupa

17

nyeri tekan di antara kedua mata dan di atas jembatan hidung, drainase
dan sumbatan hidung. Pada anak, dinding lateral labirin etmoidalis
(lamina papirasea) sering kali merekah dan karena itu sering kali
menimbulkan selulitis orbita (Hilger, 2013).
c. Sinusitis frontalis
Sinusitias frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan
infeksi sinus etmoidalis anterior.penyakit ini terutama ditemukan pada
dewasa, dan selain daripada gejala inferksi yang umum, pada sinusitis
frontalis terdapat nyeri kepala yang khas. Nyeri berlokasi di atas alis
mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari,
kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.pasien
biasanya menyatakan bahwa dahinya terasa nyeri bila disentuh, dan
mungkin terdapat pembengkakan supraorbita. Tanda patognomotik
adalah nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi di daerah sinus yang
terinfeksi (Hilger, 2013).
d. Sinusitis sphenoidalis
Sinusitis sphenoidalis akut terisolasi amat jarang. Sinusitis ini
dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks kranium,
oksipital, belakang bola mata, dan daerah mastoid. Namun penyakit
ini lebih lazim penjadi pansinusitis dan oleh karena itu menjadi satu
dengan gejala infeksi sinus lainnya (Hilger, 2013).
2) Sinusitis Kronik
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis.
Kadang-kadang hanya 1 atau2 dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit
kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eusthacius, gangguan
ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting
adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak
mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Hilger, 2013).
2.4.7

Diagnosis dan Pemeriksaan

18

Untuk menegakkan diagnosis dari sinusitis adalah didasari oleh anamnesa


dan adanya keluhan dan tanda klinis dari pasien dan juga didasari atas
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang tambahan seperti transluminasi
sinus, pemeriksaan radiologik, nasal endoskopi, CT scan, biakan kuman, dan tes
alergi.
1) Anamnesis
Pada anamnesis biasanya pasien dengan sinusitis akut datang dengan
keluhan hidung tersumbat disertai nyeri atau rasa tekanan pada muka dan
sekret yang purulen yang sering kali turun ke tenggorok (post nasal drip).
Perlu ditanyakan pula gejala-gejala lainnya seperti demam, lesu, nyeri
kepala, hiposmia/anosmia, dan halitosis (Soetjipto, 2001)
Keluhanan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas dari sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga
terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menadakan sinusitis
maksila, nyeri di antara atau di belakang kedua mata menandakan sinusitis
etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal.
Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipitalm belakang bola
mata, dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri
laih ke gigi dan telinga (Soetjipto, 2001).
Pada sinusitis kronik, keluhan tidak khas, sehingga sulit didiagnosis.
Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit
kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eusthacius, gangguan
ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting
adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak
mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Hilger, 2013).
2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik sinusitis pada inspeksi didapati adanya
pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah, biasanya pada
sinusitis maxilaris. Pembengkakkan di kelopak mata atas mungkin terjadi
pada sinusitis frontalis. Pada palpasi dan perkusi, nyeri tekan dan nyeri

19

ketuk dirasakan pada pipi dan gigi menunjukkan adanya sinusitis


maxilaris, nyeri tekan pada atap orbita menunjukkan adanya sinusitis
frontalis. Dan nyeri tekan di daerah kantus medius menunjukkan adanya
sinusitis ethmioidalis (Soetjipto, 2001).
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan udem,
pada sinusitis maksilaris, ethmoidalis anterior dan frontalis tampak
mukopus keluar dari meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoidalis
posterior dan sinusitis sphenoid keluar mukopus dari meatus superior Pada
rinoskopi posterior tampak post nasal drip. Pada sinusitis kronik tampak
nanah pada meatus medius atau meatus superior pada pemeriksaan
rinoskopi anterior dan pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di
nasofaring atau turun ke tenggorok(Soetjipto, 2001).
Pada pemeriksan transiluminasi sinus dilakukan di kamar gelap, dan
sumber cahaya diletakkan di mulut pasien pada salah satu sisi palatum
durum, maka cahaya tersebut akan dihantarkan melalui rongga sinus dan
akan memberikan gambaran sinar yang samar-samar dan berbentuk bulan
sabit di bawah mata. Akan tetapi pemeriksaan ini hanya terbatas pada
sinus maksila dan sinus frontalis saja. Pemeriksaan ini bermakna bila
hanya satu sisi sinus yang terkena, maka akan tampak lebih suram
dibandingkan dengan yang normal (Soetjipto, 2001).
Sinoskopi, merupakan pemeriksaan ke dalam sinus maksila
menggunakan endoskop. Endoskop dimasukan melalui lubang yang dibuat
di meatus inferior atau di fossa koana. Dengan sinoskopi dapat dilihat
keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi,
massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa, apakah ostiumnya
terbuka (Soetjipto, 2001).
2

Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan radiologik pada sinusitis akut mula-mula berupa
penebalan mukosa selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat
mukosa yang membengkak hebat atau akibat akumulasi cairan yang
memenuhi sinus. Akhirnya tebentuk gambaran air fluid level yang khas
akibat akumulasi pus yang terlihat pada foto tegak sinus maksilaris. oleh

20

karena itu radiogram sinus harus dibuat dalam posisi waters, PA dan
lateral(Soetjipto, 2001).
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap. Pemeriksaan transluminasi bermakna bila salah satu
salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibandingkan
dengan sisi yang normal(Soetjipto, 2001).
Pemeriksaan radiologi untuk mendapatkan informasi dan untuk
mengevaluasi sinus paranasal adalah (Rachman, 2005) :
a. Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas.
Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri
atas berbagai macam posisi, antara lain (Rachman, 2005):
- Foto kepala posisi anterior-posterior (AP atau posisi Caldwell)
Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang
midsagital kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film
tampak piramid tulang petrosum diproyeksikan pada 1/3 bawah
orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbita
metal line tegak lurus pada film dan sentrasi membentuk sudut
150 kaudal (Rachman, 2005).

Gambar 2.3 Foto kepala posisi Caldwell.

21

Gambar 2.4Foto konvensional caldwell posisi PA menunjukkan air fluid


level pada sinus maxillaris merupakan gambaran sinusitis akut.

Foto lateral kepala


Foto lateral kepala dilakukan dengan kaset terletak sebelah lateral
dengan sentrasi di luar kantus mata, sehingga dinding posterior
dan dasar sinus maksillaris berhimpit satu sama lain (Rachman,
2005).

Gambar 2.5Foto lateral kepala

22

Gambar 2.6Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di


sinus maksilla

Foto posisi Waters


Foto Waters dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap
kaset, garis orbita-meatus membentuk sudut 37 o dengan kaset.
Sentrasi sinar kira-kira di bawah garis interior-bital. Pada foto
Waters, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada
dasar sinus maksillaris sehingga kedua sinus maksillaris dapat
dievaluasi seluruhnya. Foto Waters umumnya dilakukan pada
keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat
menilai daerah dinding posterior sinus sphenoidalis dengan baik
(Rachman, 2005).

Gambar 2.7Foto posisi Waters.

23

Foto kepala posisi submentoverteks


Posisi submentroverteks diambil dengan meletakkan film pada
verteks, kepala pasie sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus kaset
dalam bidang midsagitalis melalui sella tursika ke arah verteks.
Banyak variasi-variasi sudut sentrasi pada posisi submentoverteks,
agar supaya mendapatkan gambaran yang baik pada beberapa
bagian basis kranii, khususnya sinus frontalis dan dinding posterior
sinus maksillaris (Rachman, 2005).

Gambar 2.8Foto kepala posisi submentoverteks.

Foto posisi Rhese


Posisi Rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian posterior
sinus ethmoidalis, kanalis optikus, dan lantai dasar orbita sisi lain
(Rachman, 2005).

Gambar 2.9Foto posisi Rhese.

Foto posisi Towne

24

Posisi Towne diambil dengan berbagai variasi sudut


angulasi antara 30o-60o kea rah orbitomeatal. Sentrasi dari depan
kira-kira 8 cm di atas glabella dari foto polos kepala dalam bidang
midsagital. Proyeksi ini adalah proyeksi yang paling baik untuk
menganalisis dinding posterior sinus maksillaris, fisura orbitalis
inferior, kondilus mandibularis dan arcus zygomatikus posterior
(Rachman, 2005).

Gambar 2.10Foto posisi Towne

b. Pemeriksaan tomogram
Pemeriksaan tomogram pada sinus paranasalis biasanya digunakan
multidirection tomogram. Sejak digunakannya CT-Scan, pemeriksaan
tomogram penggunaannya agak tergeser. Tetapi pada fraktur daerah sinus
paranasal, pemeriksaan tomogram merupakan suatu teknik yang terbaik
untuk

menyajikan

fraktur-fraktur

tersebut

dibandingkan

dengan

pemeriksaan aksial dan coronal CT-Scan (Rachman, 2005).


c. Pemeriksaan CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang
sangat unggul untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat
menganalisis dengan baik tulang-tulang secara rinci dan bentuk jaringanjaringan lunak. Irisan aksial merupakan standar pemeriksaan paling baik
dilakukan dalam bidang inferior orbitometal (IOM), dengan irisan setebal
5 mm, dimulai dari sinus maksillaris sampai sinus frontalis. Pemeriksaan

25

ini dapat menganalisis perluasan penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus dan
palatum, termasuk ekstensi intrakranial dari sinus frontalis (Rachman,
2005).

Gambar 2.11Foto normal CT Scan sinus Maxilla

Gambar 2.12Foto CT scan posisi coronal memperlihatkan gambaran sinusitis


maxilla dengan penebalan dinding mukosa di sinus maxilla kanan

Pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan CT Scan dan MRI


juga dilakukan untuk menegakkan diagnosis dari sinusitis. Cara ini mampu
menggambarkan secara detail area dari sinus dan area nasal, biasanya

26

digunakan untuk kasus yang kronis dan sinusitis akut yang rekuren serta
pada kasus-kasus sulit (Rachman, 2005).
CT Scan disarankan hanya untuk pemeriksaan sinusitis akut jika
terdapat komplikasi atau beresiko tinggi terhadap terjadinya komplikasi.
MRI tidak seefektif CT Scan dalam penggambaran anatomi dari sinus
paranasal. Disamping harganya yang lebih mahal, biasanya MRI tidak
dipakai kecuali pemeriksa menitikberatkan pada tumor, infeksi jamur, atau
komplikasi yang mengenai tulang tengkorak (Rachman, 2005).
CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid
level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih
sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasuskasus kronik).Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CTScan (Rachman, 2005):
a

Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen,


pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar
membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin
lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.

Polip yang mengisi ruang sinus

Polip antrokoanal

Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus

Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur


oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran
pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadangkadang pengapuran perifer
Gold Standart untuk mendiagnosa sinusitis yang disebabkan oleh

bakteri adalah pemeriksaan mikrobiologis (pungsi sinus dan kultur


bakteri).Biakan bakteri yang berasal dari hidung bagian depan hanya
sedikit bernilai dalam interpretasi bakteri dalam sinus maksilaris, bahkan
dapat memberikan informasi yang salah karena biakan dari hidung depan
akan mengungkapkan organisme dalam vestibulum nasi termasuk flora
normal seperti stafilokok dan beberapa kokus gram positif lainnya yang
tidak ada kaitannya dengan bakteri yang dapat menimbulkan sinusitis.

27

Suatu biakan

dari posterior hidung atau nasofaring justru lebih

memberikan banyak manfaat dan jauh lebih akurat namun sangat sulit
dalam pengerjaannya. Biakan bakteri pada sinusitis kronik dapat
ditemukan infeksi campuran dari berbagai macam mikroba Rachman,
2005).
2.4.8

Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah (Soetjipto, 2001):
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik.
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan

pembedahan (operasi). Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis


akut, yaitu:
a. Sinusitis akut
Terapi medikamentosa
1)

Dapat diberikan terapi antibiotik selama 10-14 hari, namun dapat


diperpanjang sampai gejala semuanya hilang. Pemilihannya hampir selalu
empirik karena kultur nasal tidak dapat diandalkan dan aspirasi sinus
maksila merupakan kontraindikasi. Jenis antibiotik yang dipilih adalah
golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika resisten dapat diberikan
amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Diberikan
selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang(Soetjipto, 2001).

2)

Dekongestan lokal maupun sistemik. Dekongestan lokal berupa


obat tetes hidung, untuk membantu draenase sinus selama 5 hari untuk
menghindari rinitis medikamentosa. Sedangkan dekongestan sistemik hanya
2, yaitu : Pseudoefedrin dan fenilpropanolamin(Soetjipto, 2001).

3) Analgetik selain untuk menghilangkan rasa nyeri juga untuk mengencerkan


sekret,

meningkatkan

kerja

silia

serta

merangsang

pemecahan

fibrin(Soetjipto, 2001).
b. Sinusitis subakut

28

1) Antibiotik, diberikan antibiotik spektrum luas selama 10 atau 14 hari.


2) Dekongestan ( Obat tetes hidung ) untuk memperlancar draenase, selama
5-10 hari, karena bila terlalu lama dapat menyebabkan rhinitis
medikamentosa.
3) Analgetik, antihistamin, dan mukolitik.
4) Diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave Diatermy,
UKG) sebanyak 5-6 kali di daerah sinus yang sakit, untuk memperbaiki
vaskularisasi sinus.
5) Terapi pencucian Proetz ( Proetz Displecement Therapy ), yang pada
prinsipnya membuat tekanan negatif dalam rongga hidung dan sinus
paranasal serta menghisap sekret ke luar. Cara ini dipakai untuk mencuci
sinus etmoid dan sinus sfenoid. Untuk sinus frontal dan sinus maksila cara
ini kurang efektif.
6) Pada sinusitis maksila, dapat dilakukan tindakan pungsi, irigasi, atau
antrostomi, yaitu lubang di meatus inferior yang menghubungkan hidung
dengan sinus maksila.
7) Tindakan intranasal lain yang mungkin diperlukan agar drainase sekret
lancar berdasarkan kelainan yang ada pada pasien adalah operasi koreksi
septum, pengangkatan polip, dan konkotomi total atau parsial.
c. Sinusitis kronis
Terapi Medikamentosa

memiliki

peran

terbatas

karena

umumnya

disebabkan obstruksi sinus yang persisten(Soetjipto,2001).


1) Dapat diberikan obat-obat simtomatis dan antibiotik selama 2-4
minggu untuk mengatasi infeksinya. Antibiotik yang dipilih mencakup
anaerob, seperti penisilin V, Klindamisin atau augmentin merupakan
pilihan yang tepat jika penesilin tidak efektif.
2) Steroid nasal topikal contohnya beklometason yang digunakan sebagai
antiinflamasi dan alergi.
3) Pada sinusitis maksila dapat dilakukan pungsi, atau antrostomi dan
irigasi sedangkan pada sinusitis etmoidalis ,sfenoidalis dan frontalis
dapat dilakukan pencucian proetz.

Terapi Radikal(Brook, 2015)

29

Dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat


draenase sinus yang terkena.
1) Operasi Caldwell luc dapat dilakukan pada kelainan sinus maksila.
2) Etmoidektomi dapat dilakukan pada kelainan sinus etmoidalis.
3) Operasi Killian secara intranasal dan ekstra nasal dilakukan pada
kelainan sinus frontal.
4) Draenase secara intranasal juga dapat dilakukan pada kelainan sinus
sfenoid.

Gambar 2.13. Prosedur tindakan Caldwell.

Gambar 2.14. Caldwell procedure

Pada perkembangan terakhir Bedah Sinus Endoskopik Fungsional


(BESF) yang mempunyai prinsip membuka dan membersihkan daerah
kompleks ostiomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi
sehingga mukosa sinus menjadi normal kembali. Bila gejala akut sinusitis
tidak reda dengan pengobatan, terutama bila serangan timbul lebih dari 4-6
kali per tahun, gejala menetap di antara 2 serangan, dan diperkirakan ada
masalah lain yang mendasarinya maka sebaiknya pasien juga dirujuk,
karena mungkin diperlukan tindakan pembedahan(Soetjipto,2001).

30

Gambar 2.15. Endoscopic sinus surgery

2.4.9

Komplikasi Sinusitis
Sinusitis merupakan suatu penyakit yang tatalaksananya berupa rawat

jalan. Pengobatan rawat inap di rumah sakit merupakan hal yang jarang kecuali
jika ada komplikasi dari sinusitis itu sendiri. Walaupun tidak diketahui secara
pasti, insiden dari komplikasi sinusitis diperkirakan sangat rendah. Salah satu
studi menemukan bahwa insiden komplikasi yang ditemukan adalah 3%. Sebagai
tambahan, studi lain menemukan bahwa hanya beberapa pasien yang mengalami
komplikasi dari sinusitis setiap tahunnya. Komplikasi dari sinusitis ini disebabkan
31

oleh penyebaran bakteri yang berasal dari sinus ke struktur di sekitarnya.


Penyebaraan yang tersering adalah penyebaran secara langsung terhadap area
yang mengalami kontaminasi. Komplikasi dari sinusitis tersebut antara lain
(Hilger, 2013):
1. Komplikasi lokal
a) Mukokel
b) Osteomielitis (Potts puffy tumor)
c) Kelainan paru
2. Komplikasi orbita
a) Inflamatori edema
b) Abses orbita
c) Abses subperiosteal
d) Trombosis sinus cavernosus.
3. Komplikasi intrakranial
a) Meningitis
b) Abses Subperiosteal
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial.
CT scan merupakan suatu modalitas utama dalam menjelaskan derajat
penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan
kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronik
atau berkomplikasi (Rachman, 2005)
1.

Komplikasi lokal
a. Osteomielitis
Infeksi sinus dapat menjalar hingga struktur tulang mengakibatkan
osteomielitis baik di anterior maupun posterior dinding sinus. Penyebaran
infeksi dapat berasal langsung atau dari vena yang berasal dari sinus.
Osteomielitis paling banyak ditemukan pada dinding sinus frontal. Sekali
tulang terinfeksi, bisa menyebabkan erosi pada tulang tersebut dan
mempermudah terjadinya penyebaran infeksi di bawah subperiosteum
yang berujung pembentukan abses subperiosteal. Erosi bisa mempengaruhi
bagian anterior atau posterior dari dasar sinus yang mempermudah
32

terjadinya

penyebaran ekstrakranial

atau

intrakranial.

Jika abses

subperiosteal berbatasan dengan dasar anterior dari tulang frontal itu


disebut dengan Pott`s puffy tumor. Pasien dengan Pott`s puffy tumor selalu
muncul pada usia lebih dari 6 tahun karena sinus frontalis belum terbentuk
pada usia di bawah 6 tahun (Hilger, 2013).

Gambar 2.16. Gambaran Pott`s puffy tumor pada osteomielitis

b. Mukokel
Mukokel adalah penyakit kronis berupa lesi kistik yang mengandung
mukus pada sinus paranasal. Mukokel tumbuh secara perlahan memakan
waktu tahunan untuk menimbulkan keluhan. Dan keluhan berhubungan
dengan bertambah besarnya mukokel. Sesuai dengan pertambahan
besarnya, mukokel dapat menekan dinding sinus sehingga mengawali
erosi tulang. Setelah terjadi erosi pada dinding sinus, mukokel dapat
mengenai seluruh struktur. Mukokel kebanyakan terjadi pada sinus
frontalis, diikuti dengan sinus etmoid dan maksila. Gejala dari sinus
frontal atau etmoid dapat menyebabkan sakit kepala, diplopia dan
proptosis. Bola mata yang proptosis secara khas berpindah ke arah bawah
dan luar. Mukokel sinus maksilaris biasanya ditemukan secara tidak
sengaja pada foto rongent sinus. Mukokel pada lokasi ini jarang
menyebabkan gejala karena sinus maksilaris luas dan mukokel jarang
menjadi cukup besar untuk menyebabkan kelainan pada tulang. Mukokel
sinus maksilaris dapat menimbulkan gejala, jika menghambat ostium sinus
maksilaris. Mukokel dapat bergejala pada setiap sinus ketika mukokel
terinfeksi membentuk mukopyocele. Gejalanya hampir sama dengan
mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Diagnosis ditegakkan oleh

33

CT scan sinus. Mukokel yang mempunyai gejala ditata laksana dengan


tindakan bedah mengangkat mukokel dan membersihkan sinus. Eksplorasi
sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan
berpenyakit serta memastikan suatu drainase yang baik, atau obliterasi
sinus merupakan prinsip-prinsip terapi (Hilger, 2013).

Gambar 2.17Gambaran MRI mukokel sinus frontal bilateral.

c. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu
dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar
dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan(Hilger, 2013).
2.

Infeksi orbita
Infeksi orbita disebabkan oleh penetrasi ruang orbita saat operasi
atau trauma, kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang menyebar dari
sinus yang terinfeksi. Oleh karena ruang orbita dibatasi oleh beberapa
sinus, seperti sinus frontalis, etmoid, dan maksilari, infeksi dari sinus
tersebut berpotensial menyebar hingga ruang orbita. Sinus etmoid sangat
mempengaruhi penyebaran infeksi ke ruang orbita. Hal ini dipengaruhi
karena sangat eratnya hubungan antara dinding sinus dengan orbita.

34

Dinding yang tipis menyebabkan infeksi lebih mudah menyebar. Sinus


etmoid

mempunyai

dinding

yang

paling

tipis,

disebut

lamina

papyraceayang batas lateral dan medialnya adalah orbita. Sehingga infeksi


pada orbita biasanya dimulai dari bagian medial. Walaupun jarang terjadi
dinding sinus yang lebih tebal dapat juga menyebabkan infeksi orbita.
Sekali infeksi menyebar melalui dinding sinus, batas periosteal dinding
sinus berperan sebagai barrier tambahan untuk memproteksi orbita dari
penyebaran infeksi. Jika terbentuk abses di antara dinding dengan
periosteum, disebut abses subperiosteal. Jika periosteum rusak maka akan
terbentuk abses orbita (Hilger, 2013).

Gambar 2.18Gambaran selulitis periorbita.

Gambar 2.19Klasifikasi komplikasi infeksi orbita pada sinusitis.

35

3. Komplikasi Intrakranial

Komplikasi intrakranial sangat jarang, terjadi hanya satu hingga 3


kali setiap tahunnya. Penggunaan antibiotik menurunkan insiden
komplikasi ini. Komplikasi dari intrakranial meliputi (1) meningitis, (2)
abses epidural, (3) abses subdural, (4) abses otak. Pasien pada umumnya
memiliki

lebih

dari

satu

komplikasi

intrakranial,

seperti

abses

epidural/subdural terjadi bersamaan dengan abses otak atau meningitis.


Berikut ini frekuensi relatif jumlah komplikasi intrakranial dari
sinusitis(Hilger, 2013).
Tabel 2.1 Frekuensi Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intracranial
Meningitis
Abses otak
Abses epidural
Abses subdural
Persentase pasien dengan > 1

Frekuensi relatif (%, range)


34 % (17 54)
27 % (0 50)
23 % (0 44)
24 % (9 86)
28 %

komplikasi intracranial
Banyak studi yang telah memperlihatkan bahwa sejumlah besar
komplikasi ini lebih sering terjadi pada pria (lebih dari 3 : 1 pria/wanita).
Penyebab hal ini tidak diketahui secara pasti , tapi berlaku bahwa pada
setiap golongan umur dan mungkin terkait dengan jenis kelamin, memiliki
perbedaan anatomi dan drainase vena sinus(Hilger, 2013).

36

Gambar 2.20Lokasi komplikasi intrakranial dari sinusitis

Patogenesis dari komplikasi intrakranial ini mirip dengan terjadinya


komplikasi pada infeksi infraorbital. Infeksi intrakranial bisa berkembang
dari penyebaran luas melalui invasi dinding sinus menuju tulang yang
terkontaminasi, dan kemudian ke struktur intrakranial melalui osteitis atau
cacat congenital atau defek traumatik. Berbeda dengan infeksi orbital,
metode tersering dari komplikasi intrakranial ini adalah melalui
penyebaran emboli septik via vena diploik kalvaria dan tidak adanya katup
pada sistem vena juga bertanggung jawab terhadap drainase dari wajah
bagian tengah dan sinus paranasal (Hilger, 2013).
2.4.10 Prognosis
Kira-kira 40% kasus sinusitis akut sembuh spontan tanpa antibiotik,
angka kekambuhan setelah keberhasilan pengobatan adalah kurang dari
5%. Sedangkan pada sinusitis kronik, hasil akhir yang memuaskan
tercapai jika pasien diobati secara dini dengan penanganan medis yang
agresif, selain itu FESS dapat mengembalikan kesehatan sinus dengan
meredakan gejala secara komplit atau moderat pada 80-90% pada pasien
dengan sinusitis yang rekuren atau yang tidak responsif terhadap
pengobatan(Hilger, 2013).

BAB 3
PENUTUP
37

3.1 Kesimpulan
Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus
ethmoid, sinus maxilla, sinus sfenoid. Sinus paranasal dalam kodisi normal
mengalirkan sekresi dari mukosa ke daerah yang berbeda dalam kavum nasi.
Sinus paranasal memiliki fungsi :
1

Pengatur kondisi udara ( Air Conditioning )

Penahan suhu ( Thermal Insulators )

Membantu keseimbangan kepala

Membantu resonansi suara

Peredam perubahan tekanan udara

Membantu produksi mukus

Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang ditandai dengan


inflamasi dan pembengkakan memberana mukosa sinus disertai nyeri lokal.
Penyebab utama adalah infeksi saluran pernapasan oleh virus yang biasanya
dilanjutkan dengan infeksi bakteri.
Diagnosis untuk sinusitis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang tepat,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang misalnya foto radiologis,
pemeriksaan sinoskopi dan pemeriksaan mikrobiologis.
Gejala utama yang tampak pada sinusitis adalah hidung tersumbat disertai
nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Sinusitis dapat terjadi karena faktor-faktor seperti
obstruksi jalan keluar sekresi sinus, kelainan mukosiliar, dan berubahnya kualitas
dan kuantitas mukus.
Prinsip penatalaksanaan pada sinusitis adalah membuka sumbatan di
kompleks osteomeatal (KOM) sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih
secara alami. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara medis atau bedah.
Komplikasi sinusitis secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu ke mata dan ke
intrakranial.
DAFTAR PUSTAKA

38

Angraini, R., 2005. Anatomi dan Fungsi Sinus Paranasal. Available from:
http://library.usu.ac.id/download/fk/06001191.pdf.

[Acessed

18

December 2016].
Endang Mangunkusumo, Damayanti Soetjipto. Sinusitis. Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N, editor. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok.
Edisi ke-5. Jakarta: Balai penerbit FK-UI; 2001.h.151-3.
Hilger, Peter A., 2013. Penyakit Sinus Paranasalis. In: Adams, G.L., ed. Boies:
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 240-260.
Hwang PH, Abdalkhani A., 2009. Embriology, anatomy and physiology of nose
and paranasal sinuses. Dalam: Snow JB, Wackym PA, editor.
Ballengers otolaryngology, head and neck surgery. Edisi ke-17.
Shelton: BC Decker Inc. hal: 455-463.
Itzhak

Brook.

Acute

Sinusitis.

Diambil

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview#showall
.Diakses tanggal 18 Desember 216
Kamel R, 2002. Endoscopic anatomy of the lateral nasal wall, ostiomeatal
complex and anterior skull base. Struck Druck GmBH, Germany. p :
7-32
Kennedy DW, Lee JT, 2001. Endoscopic Sinus Surgery, in Head and Neck surgery
Otolaryngology, Vol II, Third Edition, Byron J. Bailey Lippincott
Williams and Wilkins, Philadelphia. p: 459 75.
Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4 th
Edition. Vol 2. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins.
Mangunkusumo E, 2000. Persiapan Operasi BSEF: Nasoendoskopi dan
Pemeriksaan Tomografi Komputer dalam Kursus Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional. Makasar. hal: 13-25.

39

Moore, K.L, Agur, A.M.R., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates. hal:
397-401.
Nizar, 2000, Anatomi Endoskopik Hidung Sinus Paranasal dan Patofisiologi
Sinusitis dalam Kursus Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Makasar.
hal: 1-12.
Rachman MD, Sinus paranasalis dan Mastoid. Dalam: Ekayuda I. Radiologi
Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Divisi Radiodiagnostik Departemen
Radiologi FKUI; 2005. Hal 431-45
Snell, Richard S., 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta: EGC, 205-223.
Stammberger et al, 1993. Endoscopic Anatomy of Lateral Nasal Wall and
Ethmoidal Sinuses. In : Essentials of Functional Endoscopic Sinus
Surgery. Mosby. USA. p. 13-42.
Walsh et al, 2006, Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation. In : Bailey BJ,
Johnson JT, Cohen NA., 2006. Sinonasal mucociliary clearance in
health and disease. Ann Otol Rhinol Laryngol Suppl: 196:20-6

40

Anda mungkin juga menyukai