Referat
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
SINUSITIS PARANASAL
Disusun oleh :
Salwah Nur
(1510029022)
(1510029010)
Pembimbing
dr. Moriko Pratiningrum, Sp. THT-KL
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Referat yang berjudul Sinusitis Paranasal.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Desember, 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................
..................................................................................................................................
1
KATA PENGANTAR.............................................................................................
..................................................................................................................................
2
DAFTAR ISI...........................................................................................................
..................................................................................................................................
3
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................
1
2
Latar Belakang............................................................................................
Tujuan.........................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal. Definisi lain
menyebutkan, sinusitis adalah inflamasi dan pembengkakan membran mukosa
sinus disertai nyeri lokal. Sesuai anatomisinus yang terkena dapat dibagi menjadi
sinusitis maxilla, sinusitis ethmoid,sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila
mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai semua
sinus disebut sinusitis paranasal.
Penyebab utama ialah infeksi virus yyang kemudian diikuti oleh infeksi
sekunder dari bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah
sinus maksilla. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan
intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor
predisposisi yang tidak dapat dihindari.
Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting
karena hal diatas. Terapi antibiotik diberikan pada awal dan jika telah terjadi
hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka
diperlukan tindakan operasi.
1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya referat ini adalah agar dokter muda mengetahui definisi,
etiologi, klasifikasi, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi sinusitis
paranasal. Dan diharapkan juga, dengan membuat laporan kasus ini
dapat menambah wawasan pengetahuan baik bagi penulis
maupun teman-teman sejawat lainnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Hidung
Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk,
terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas
dari akar hidung di wajah ke puncaknya (ujung hidung). Pada permukaan inferior
terdapat dua lubang, yakni nares anterior yang terpisah satu dari yang lain oleh
septum nasi. Septum nasi ini yang untuk sebagian berupa tulang dan untuk
sebagian berupa tulang rawan, membagi kavum nasi menjadi dua rongga kanan
dan kiri (Moore, 2002).
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di
belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise
(Soetjipto, 2001).
Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding lateral,
medial, inferior, dan superior. Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka
inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah, konka media yang lebih
kecil, konka superior yang lebih kecil lagi, dan konka suprema adalah yang
terkecil (Soetjipto, 2001).
Konka nasalis superior, konka nasalis media, dan konka nasalis inferior
membagi kavum nasi menjadi empat lorong : meatus nasalis superior, meatus
nasalis medius, meatus nasalis inferior, dan hiatus semilunaris (Moore, 2002).
Meatus nasalis superior adalah sebuah lorong yang sempit antara konka
nasalis superior dan konka nasalis media dan merupakan tempat bermuaranya
sinus etmoidalis superior melalui satu atau lebih lubang (Moore, 2002).
Meatus nasalis medius berukuran lebih panjang dan lebih luas daripada
meatus nasalis superior. Bagian anterosuperior meatus nasalis ini berhubungan
dengan sebuah lubang yang berukuran seperti corong, yakni infundibulum yang
merupakan jalan pengantar kedalam sinus frontalis. Hubungan masing-masing
depan
septum
terdapat
anastomosis
dari
cabang-cabang
arteri
sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina
mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
akan memberi jalan menuju resesus frontal (Shankar et al, 2001; Mangunkusumo,
2000).
Pada waktu lahir sinus maksilaris berupa celah kecil di sebelah medial
orbita. Pada awalnya dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung,
kemudian terus mengalami penurunan, sehingga pada usia delapan tahun menjadi
sama tinggi. Perkembangannya berjalan kearah bawah dan membentuk sempurna
setelah erupsi gigi permanen. Ukuran rata-rata pada bayi yang baru lahir 7-8 x 4-6
mm dan pada usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm dan isinya kira-kira 15 ml.
(Ballenger, 2004)
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus
maksilaris terletak di dalam korpus maksilaris dan sinus ini berbentuk piramid.
Dinding anterior sinus yaitu permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa
kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding
medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superior adalah dasar
orbita, dan dinding inferior yaitu prosesus alveolaris dan palatum (Soetjipto,
2001).
Sinus maksilaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus
semilunaris. Karena sinus etmoidalis anterior dan sinus frontalis bermuara ke
infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi
dari sinus-sinus ini ke sinus maksilaris adalah besar (Snell, 2006). Membrana
mukosa sinus maksilaris dipersarafi oleh nervus alveolaris superior dan nervus
infraorbitalis (Snell, 2006). Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi
sinus maksila adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C)
dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam
sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui
infundibulum yang sempit (Walsh et al, 2006).
Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami sinus
maksila yang terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksila
biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus
dan bula etmoid. Sisi anterior dan posterior dari ostium sinus maksila adalah
fontanel dan terletak di sebelah inferior lamina papirasea. Sinus maksila dapat
ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas konka inferior dan
didekat fontanel posterior (Nizar, 2000).
10
11
sinus etmoidalis anterior biasanya kecil dan banyak, terletak di depan lempeng
yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral
(lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoidalis posterior biasanya lebih besar
dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Snell,
2006; Soetjipto, 2001).
Di bagian terdepan sinus etmoidalis anterior terdapat bagian sempit yang
disebut resesus frontalis, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Sel etmoidalis
yang terbesar disebut bula etmoidalis. Pada daerah etmoidalis anterior terdapat
suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuara ostium sinus
maksilaris.
Pembengkakan
atau
peradangan
di
resesus
frontalis
dapat
12
silia mempunyai frekuensi denyut (ciliary beat frequency) sebesar 1000 getaran
per menit (Hwang PH, 2009).
Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal
pada hidung dan sinus paranasal bergantung kepada transportasi mukosiliar yang
dikenal sebagai bersihan mukosiliar. Bersihan mukosiliar yang baik akan
mencegah terjadinya infeksi di dalam hidung dan sinus paranasal. Bersihan
mukosiliar ditentukan oleh keadaan silia, palut lendir dan interaksi antara
keduanya. Daya pembersih mukosiliar dapat berkurang akibat perubahan
komposisi palut lendir, aktivitas silia, peningkatan sel-sel infeksi, perubahan
histopatologi sel hidung, hambatan sel sekresi atau obstruksi anatomi (Cohen,
2006).
2.3.2. Fungsi Sinus Paranasal
Beberapa teori mengemukakan, fungsi sinus paranasal yaitu: (1) sebagai
pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan
kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara, dan
(6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung (Soetjipto,
2001).
Penelitian yang paling terbaru pada fungsi sinus berfokus pada molekul
nitrat oksida (NO). Studi menunjukkan bahwa produksi nitrat oksida sinus
intranasal adalah secara primer pada sinus. Telah diketahui bahwa nitrat oksida
beracun pada bakteri, jamur, dan virus pada tingkatan sama rendah 100ppb.
Konsentrasi dari unsur ini dapat menjangkau 30.000 ppb dimana beberapa peneliti
sudah berteori tentang mekanisme dari sterilisasi sinus. Nitrat oksida juga
meningkatkan pergerakan silia (Angraini, 2005).
2.4 Sinusitis
2.4.1 Definisi
Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam
kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan
sinus paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena
alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur (Soetjipto, 2001).
13
Epidemiologi
Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia,
terutama di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan
konsentrasi pollen yang tinggi terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari
sinusitis. Sinusitis maksilaris adalah sinusitis dengan insiden yang terbesar. Data
dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Di Amerika Serikat, lebih dari 30
juta orang menderita sinusitis. Virus adalah penyebab sinusitis akut yang paling
umum ditemukan. Namun, sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima
pada pasien dengan pemberian antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan setiap
tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan
untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.
Pada tahun 2009, Pusat PengendaliandanPencegahan Penyakitmelaporkan
bahwa hampir31 jutaorang dewasa didiagnosisdengansinusitis. Kejadian sinusitis
umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering juga disebut
dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering
ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat
mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat.
2.4.3
Klasifikasi
14
yang
menyebabkan
sumbatan
pada
hidung
dapat
Hemophilus
influenza,
Steptococcusviridans,
Etiologi
1) Sinusitis akut
Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri atau jamur.
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran pernafasan atas.
Bakteri penyebab sinusitis akut tersering ialah Streptococcus pneumonia,
dapat juga Haemofillus influenzae, Staphilococcus aureus yang ditemukan
pada 70% kasus(Hilger, 2013)
Dapat pula disebabkan rinitis akut : infeksi faring, seperti
faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut; infeksi gigi molar M1, M2, M3 atas,
serta premolar P1, P2; berenang dan menyelam; trauma langsung yang
dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal; dan barotrauma
serta adanya faktor predisposisi antara lain(Hilger, 2013):
2) Sinusitis subakut
Etiologi dan faktor predisposisi kurang lebih sama dengan
sinusitis akut, hanya tanda-tanda radang akutnya sudah reda (Hilger,
2013).
3) Sinusitis kronik
Polusi bahan, alergi, dan defisiensi imunologik menyebabkan
silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan ini
mempermudah terjadinya infeksi. Terdapat edema konka yang
mengganggu draenase sekret, sehingga silia rusak, dan seterusnya. Jika
pengobatan pada sinusitis akut tidak adekuat, maka akan terjadi infeksi
kronik(Hilger, 2013).
2.4.5
Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
16
polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan
tindakan operasi (Soetjipto, 2001).
2.4.6
Gejala Klinis
1) Sinusitis Akut
Keluhan utama rinosinositis akut ialah hidung tersumbat disertai
nyeri/ rasa tekanan oada muka dan ingus purulen, yang sering kali turun ke
tenggorok (post nasal-drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam
dan lesu (Soetjipto, 2001).
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa
di tempat lain (referred pain). Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/
anosmia, halitosis, post nasal-drip yang menyebabkan batuk dan sesak
pada anak (Soetjipto, 2001).
Selaput lendir hidung tampak merah dan membengkak, dari hidung
mungkin keluar nanah berwarna kuning atau hijau. Demam dan menggigil
menunjukkan bahwa infeksi telah menyebar ke luar sinus(Soetjipto, 2001).
a. Sinusitis maksilaris
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise
dan nyeri kepala yang tak jelas biasanya reda dengan pemberian
analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak penuh, dan gigi
terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik
atau turun tangga. Sering kali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul
dan menusuk serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Pada sinusitis
maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan maksila.Sekret
mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk.
Batuk iritiatif non produktif sering kali ada (Hilger, 2013).
b. Sinusitis etmoidalis
Sinusitis etmoidalalis akut terisolasi lebih lazim pada anak,
seringkali bermanifestasi selulitis orbita. Pada dewasa. Sering kali
bersama-sama dengan sinusitis maksilaris, serta dianggap sebagai
penyerta sinusitis frontalis yang tak dapat dielakan. Gejala berupa
17
nyeri tekan di antara kedua mata dan di atas jembatan hidung, drainase
dan sumbatan hidung. Pada anak, dinding lateral labirin etmoidalis
(lamina papirasea) sering kali merekah dan karena itu sering kali
menimbulkan selulitis orbita (Hilger, 2013).
c. Sinusitis frontalis
Sinusitias frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan
infeksi sinus etmoidalis anterior.penyakit ini terutama ditemukan pada
dewasa, dan selain daripada gejala inferksi yang umum, pada sinusitis
frontalis terdapat nyeri kepala yang khas. Nyeri berlokasi di atas alis
mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari,
kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.pasien
biasanya menyatakan bahwa dahinya terasa nyeri bila disentuh, dan
mungkin terdapat pembengkakan supraorbita. Tanda patognomotik
adalah nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi di daerah sinus yang
terinfeksi (Hilger, 2013).
d. Sinusitis sphenoidalis
Sinusitis sphenoidalis akut terisolasi amat jarang. Sinusitis ini
dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks kranium,
oksipital, belakang bola mata, dan daerah mastoid. Namun penyakit
ini lebih lazim penjadi pansinusitis dan oleh karena itu menjadi satu
dengan gejala infeksi sinus lainnya (Hilger, 2013).
2) Sinusitis Kronik
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis.
Kadang-kadang hanya 1 atau2 dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit
kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eusthacius, gangguan
ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting
adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak
mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Hilger, 2013).
2.4.7
18
19
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan radiologik pada sinusitis akut mula-mula berupa
penebalan mukosa selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat
mukosa yang membengkak hebat atau akibat akumulasi cairan yang
memenuhi sinus. Akhirnya tebentuk gambaran air fluid level yang khas
akibat akumulasi pus yang terlihat pada foto tegak sinus maksilaris. oleh
20
karena itu radiogram sinus harus dibuat dalam posisi waters, PA dan
lateral(Soetjipto, 2001).
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap. Pemeriksaan transluminasi bermakna bila salah satu
salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibandingkan
dengan sisi yang normal(Soetjipto, 2001).
Pemeriksaan radiologi untuk mendapatkan informasi dan untuk
mengevaluasi sinus paranasal adalah (Rachman, 2005) :
a. Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas.
Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri
atas berbagai macam posisi, antara lain (Rachman, 2005):
- Foto kepala posisi anterior-posterior (AP atau posisi Caldwell)
Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang
midsagital kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film
tampak piramid tulang petrosum diproyeksikan pada 1/3 bawah
orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbita
metal line tegak lurus pada film dan sentrasi membentuk sudut
150 kaudal (Rachman, 2005).
21
22
23
24
b. Pemeriksaan tomogram
Pemeriksaan tomogram pada sinus paranasalis biasanya digunakan
multidirection tomogram. Sejak digunakannya CT-Scan, pemeriksaan
tomogram penggunaannya agak tergeser. Tetapi pada fraktur daerah sinus
paranasal, pemeriksaan tomogram merupakan suatu teknik yang terbaik
untuk
menyajikan
fraktur-fraktur
tersebut
dibandingkan
dengan
25
ini dapat menganalisis perluasan penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus dan
palatum, termasuk ekstensi intrakranial dari sinus frontalis (Rachman,
2005).
26
digunakan untuk kasus yang kronis dan sinusitis akut yang rekuren serta
pada kasus-kasus sulit (Rachman, 2005).
CT Scan disarankan hanya untuk pemeriksaan sinusitis akut jika
terdapat komplikasi atau beresiko tinggi terhadap terjadinya komplikasi.
MRI tidak seefektif CT Scan dalam penggambaran anatomi dari sinus
paranasal. Disamping harganya yang lebih mahal, biasanya MRI tidak
dipakai kecuali pemeriksa menitikberatkan pada tumor, infeksi jamur, atau
komplikasi yang mengenai tulang tengkorak (Rachman, 2005).
CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid
level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih
sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasuskasus kronik).Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CTScan (Rachman, 2005):
a
Polip antrokoanal
27
Suatu biakan
memberikan banyak manfaat dan jauh lebih akurat namun sangat sulit
dalam pengerjaannya. Biakan bakteri pada sinusitis kronik dapat
ditemukan infeksi campuran dari berbagai macam mikroba Rachman,
2005).
2.4.8
Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah (Soetjipto, 2001):
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik.
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan
2)
meningkatkan
kerja
silia
serta
merangsang
pemecahan
fibrin(Soetjipto, 2001).
b. Sinusitis subakut
28
memiliki
peran
terbatas
karena
umumnya
29
30
2.4.9
Komplikasi Sinusitis
Sinusitis merupakan suatu penyakit yang tatalaksananya berupa rawat
jalan. Pengobatan rawat inap di rumah sakit merupakan hal yang jarang kecuali
jika ada komplikasi dari sinusitis itu sendiri. Walaupun tidak diketahui secara
pasti, insiden dari komplikasi sinusitis diperkirakan sangat rendah. Salah satu
studi menemukan bahwa insiden komplikasi yang ditemukan adalah 3%. Sebagai
tambahan, studi lain menemukan bahwa hanya beberapa pasien yang mengalami
komplikasi dari sinusitis setiap tahunnya. Komplikasi dari sinusitis ini disebabkan
31
Komplikasi lokal
a. Osteomielitis
Infeksi sinus dapat menjalar hingga struktur tulang mengakibatkan
osteomielitis baik di anterior maupun posterior dinding sinus. Penyebaran
infeksi dapat berasal langsung atau dari vena yang berasal dari sinus.
Osteomielitis paling banyak ditemukan pada dinding sinus frontal. Sekali
tulang terinfeksi, bisa menyebabkan erosi pada tulang tersebut dan
mempermudah terjadinya penyebaran infeksi di bawah subperiosteum
yang berujung pembentukan abses subperiosteal. Erosi bisa mempengaruhi
bagian anterior atau posterior dari dasar sinus yang mempermudah
32
terjadinya
penyebaran ekstrakranial
atau
intrakranial.
Jika abses
b. Mukokel
Mukokel adalah penyakit kronis berupa lesi kistik yang mengandung
mukus pada sinus paranasal. Mukokel tumbuh secara perlahan memakan
waktu tahunan untuk menimbulkan keluhan. Dan keluhan berhubungan
dengan bertambah besarnya mukokel. Sesuai dengan pertambahan
besarnya, mukokel dapat menekan dinding sinus sehingga mengawali
erosi tulang. Setelah terjadi erosi pada dinding sinus, mukokel dapat
mengenai seluruh struktur. Mukokel kebanyakan terjadi pada sinus
frontalis, diikuti dengan sinus etmoid dan maksila. Gejala dari sinus
frontal atau etmoid dapat menyebabkan sakit kepala, diplopia dan
proptosis. Bola mata yang proptosis secara khas berpindah ke arah bawah
dan luar. Mukokel sinus maksilaris biasanya ditemukan secara tidak
sengaja pada foto rongent sinus. Mukokel pada lokasi ini jarang
menyebabkan gejala karena sinus maksilaris luas dan mukokel jarang
menjadi cukup besar untuk menyebabkan kelainan pada tulang. Mukokel
sinus maksilaris dapat menimbulkan gejala, jika menghambat ostium sinus
maksilaris. Mukokel dapat bergejala pada setiap sinus ketika mukokel
terinfeksi membentuk mukopyocele. Gejalanya hampir sama dengan
mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Diagnosis ditegakkan oleh
33
c. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu
dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar
dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan(Hilger, 2013).
2.
Infeksi orbita
Infeksi orbita disebabkan oleh penetrasi ruang orbita saat operasi
atau trauma, kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang menyebar dari
sinus yang terinfeksi. Oleh karena ruang orbita dibatasi oleh beberapa
sinus, seperti sinus frontalis, etmoid, dan maksilari, infeksi dari sinus
tersebut berpotensial menyebar hingga ruang orbita. Sinus etmoid sangat
mempengaruhi penyebaran infeksi ke ruang orbita. Hal ini dipengaruhi
karena sangat eratnya hubungan antara dinding sinus dengan orbita.
34
mempunyai
dinding
yang
paling
tipis,
disebut
lamina
35
3. Komplikasi Intrakranial
lebih
dari
satu
komplikasi
intrakranial,
seperti
abses
komplikasi intracranial
Banyak studi yang telah memperlihatkan bahwa sejumlah besar
komplikasi ini lebih sering terjadi pada pria (lebih dari 3 : 1 pria/wanita).
Penyebab hal ini tidak diketahui secara pasti , tapi berlaku bahwa pada
setiap golongan umur dan mungkin terkait dengan jenis kelamin, memiliki
perbedaan anatomi dan drainase vena sinus(Hilger, 2013).
36
BAB 3
PENUTUP
37
3.1 Kesimpulan
Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus
ethmoid, sinus maxilla, sinus sfenoid. Sinus paranasal dalam kodisi normal
mengalirkan sekresi dari mukosa ke daerah yang berbeda dalam kavum nasi.
Sinus paranasal memiliki fungsi :
1
38
Angraini, R., 2005. Anatomi dan Fungsi Sinus Paranasal. Available from:
http://library.usu.ac.id/download/fk/06001191.pdf.
[Acessed
18
December 2016].
Endang Mangunkusumo, Damayanti Soetjipto. Sinusitis. Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N, editor. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok.
Edisi ke-5. Jakarta: Balai penerbit FK-UI; 2001.h.151-3.
Hilger, Peter A., 2013. Penyakit Sinus Paranasalis. In: Adams, G.L., ed. Boies:
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 240-260.
Hwang PH, Abdalkhani A., 2009. Embriology, anatomy and physiology of nose
and paranasal sinuses. Dalam: Snow JB, Wackym PA, editor.
Ballengers otolaryngology, head and neck surgery. Edisi ke-17.
Shelton: BC Decker Inc. hal: 455-463.
Itzhak
Brook.
Acute
Sinusitis.
Diambil
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview#showall
.Diakses tanggal 18 Desember 216
Kamel R, 2002. Endoscopic anatomy of the lateral nasal wall, ostiomeatal
complex and anterior skull base. Struck Druck GmBH, Germany. p :
7-32
Kennedy DW, Lee JT, 2001. Endoscopic Sinus Surgery, in Head and Neck surgery
Otolaryngology, Vol II, Third Edition, Byron J. Bailey Lippincott
Williams and Wilkins, Philadelphia. p: 459 75.
Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4 th
Edition. Vol 2. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins.
Mangunkusumo E, 2000. Persiapan Operasi BSEF: Nasoendoskopi dan
Pemeriksaan Tomografi Komputer dalam Kursus Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional. Makasar. hal: 13-25.
39
Moore, K.L, Agur, A.M.R., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates. hal:
397-401.
Nizar, 2000, Anatomi Endoskopik Hidung Sinus Paranasal dan Patofisiologi
Sinusitis dalam Kursus Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Makasar.
hal: 1-12.
Rachman MD, Sinus paranasalis dan Mastoid. Dalam: Ekayuda I. Radiologi
Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Divisi Radiodiagnostik Departemen
Radiologi FKUI; 2005. Hal 431-45
Snell, Richard S., 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta: EGC, 205-223.
Stammberger et al, 1993. Endoscopic Anatomy of Lateral Nasal Wall and
Ethmoidal Sinuses. In : Essentials of Functional Endoscopic Sinus
Surgery. Mosby. USA. p. 13-42.
Walsh et al, 2006, Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation. In : Bailey BJ,
Johnson JT, Cohen NA., 2006. Sinonasal mucociliary clearance in
health and disease. Ann Otol Rhinol Laryngol Suppl: 196:20-6
40