Fakultas Kedokteran
Referat
Universitas Mulawarman
TENSION HEADACHE
Disusun oleh
Salwah Nur
1510029022
Pembimbing
dr. Susilo Siswonoto, Sp.S
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sakit kepala (Headache) merupakan keluhan yang sering diutarakan oleh
orang dewasa. Headache dapat menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan,
aktivitas sosial dan kapasitas kerja. Hal ini berakibat pada penurunan derajat
kualitas hidup (The Federation,2012).
Headache terbagi menjadi beberapa tipe yaitu simple headache, migrain,
tension-type headache dan cluster headache. Tipe headache pada setiap orang
dapat berbeda meskipun dalam satu keluarga. Episode headache dapat semakin
memburuk atau bahkan menghilang secara tiba-tiba untuk beberapa waktu, lalu
akan timbul kembali. Di dalam literatur kedokteran, Tension-type headache
(TTH) memiliki multisinonim, seperti: tension headaches, muscle contraction
headache, sakit kepala tegang otot, nyeri kepala tegang otot dan stress headache
(NINDS,
2009).
TTH
adalah
nyeri
kepala
bilateral
yang
menekan
TTH dapat menyerang segala usia. Usia terbanyak adalah 25-30 tahun,
namun puncak prevalensi meningkat di usia 30-39 tahun. Sekitar 40% penderita
TTH memiliki riwayat keluarga dengan TTH. Prevalensi seumur hidup pada
perempuan mencapai 88%, sedangkan pada laki-laki mencapai 69%. Onset usia
penderita adalah pada dekade ke-dua atau ke-tiga kehidupan yaitu antara 25-30
tahun (Anurogo D, 2014).
2.1 Tujuan
2.1.1
2.1.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Tension-type headache adalah suatu keadaan yang melibatkan sensasi nyeri
atau rasa tidak nyaman di daerah kepala, kulit kepala atau leher yang biasanya
berhubungan dengan ketegangan otot di daerah ini.
Tension-type headache
sebelumnya disebut muscle contraction headache atau nyeri kepala tegang otot,
merupakan tipe nyeri kepala terbanyak yang dikeluhkan. Sebutan tersebut diberi
berdasarkan adanya stres atau
terjadinya nyeri dan kontraksi otot di leher, kepala, muka dan rahang (NINDS,
2009).
TTH adalah nyeri kepala bilateral yang menekan (pressing/sequeezing),
mengikat, tidak berdenyut, tidak dipengaruhi dan tidak diperburuk oleh aktivitas
fisik, bersifat ringan hingga sedang, tidak disertai (atau minimal) mual dan/atau
muntah, serta disertai fotofobia atau fonofobia (Anurogo D, 2014).
2.2. Epidemiologi
Sekitar 93% laki-laki dan 99% perempuan pernah mengalami nyeri kepala.
TTH merupakan nyeri kepala primer yang paling sering terjadi. Sekitar 78%
orang dewasa pernah mengalami TTH setidaknya sekali dalam hidupnya. TTH
episodic merupakan jenis TTH yang paling sering terjadi dengan prevalensi 3874%.
TTH dapat menyerang segala usia. Usia dengan prevalensi tertinggi adalah
pada usia 25-30 tahun. Sekitar 40% penderita TTH memiliki riwayat keluarga
dengan TTH. Prevalensi seumur hidup pada perempuan mencapai 88%,
sedangkan lai-laki hanya 69%.
(Nugroho,2014).
2.3. Etiopatofisiologi Tension-type Headache
Etiologi TTH diklasifikasikan sebagai berikut:
sensitisasi sentral. Pada tingkat molekuler, sinyal nyeri dari perifer menyebabkan
pelepasan beragam neuropeptida dan neurotransmitter (misalnya: substansi p dan
glutamat) yang mengaktivasi reseptor-reseptor di membran postsynaptic,
membangkitkan potensial-potensial aksi dan berakumulasi pada plastisitas
sinaptik serta menurunkan ambang nyeri (pain thresholds) .
Sirkuit spinobulbospinal muncul dari RVM (rostoventral medulla) secara
normal melalui sinyal-sinyal fine-tunes pain yang bermula dari perifer, namun
pada individu yang rentan disfungsi dapat memfasilitasi sinyal-sinyal nyeri, serta
membiarkan terjadinya sensitisasi sentral. Proses ini dapat dilihat pada skema 1.
Nyeri perikranial berkembang seiiring waktu oleh recruitment serabutserabut C dan mekanoreseptor A di sinaps-sinaps TCC, membiarkan
perkembangan allodynia dan hiperalgesia. Intensitas, frekuensi dan nyeri
perikranial berkembang seiring waktu, berbagai perubahan molekuler di pusatpusat lebih tinggi seperti thalamus memicu terjadinya sensitisasi sentral dari
neuron-neuron tersiar dan perubahan-perubahan selanjutnya pada persepsi nyeri.
Konsentrasi platelet factor 4, beta-thromboglobuli, tromboxane B2, dan 11dehydrothromboxane B2 plasma meningkat signifikan di kelompok TTH episodik
dibandingkan dengan di kelompok TTH episodik dibandingkan dengan di
kelompok TTH episodik dibandingkan dengan di kelompok TTH kronis dan
kelompok kontrol (sehat).
Pada penderita TTH episodik, peningkatan konsentrasi substansi P jelas
terlihat di platelet dan penurunan konsentrasi beta-endorphin dijumpai di sel-sel
mononklear darah perifer. Peningkatan konsentrasi metenkephalin dijumpai pada
CSF (Cairan serebrospinal) penderita TTH kronis, hal ini mendukung hipotesis
ketidakseimbangan mekanisme pronociceptive dan antinociceptive pada TTH
(Anurogo D, 2014).
2.4. Gejala dan Tanda Tension-type Headache
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada tension-type headache (TTH)
adalah:
(1) Tidak ada gejala prodromal
(2) Nyeri dapat ringan hingga sedang maupun berat
Iritabilitas
(11)
Gangguan konsentrasi
(12)
(13)
10
(3) TTH menahun (chronic): lebih dari 15 serangan atau sekurangnya 180 hari
per tahun (Anurogo D, 2014).
Gambar 2.2. Klasifikasi TTH ICHD-II tahun 2004 (Dewanto G dkk., 2009).
Pada Headache Classification Commite of the Internasional Headache
Society 2013, TTH diklasifikasikan menjadi 4 subklasifikasi yaitu menambahkan
probable tension-type headache sebagai subklasifikasi ke empat (IHS, 2013).
Subklasifikasi ICHD-III tertera pada Gambar 2.3.
11
Gambar 2.3. Klasifikasi TTH ICHD-III Tahun 2013 (Popp AJ et al., 2007)
2.5.1
12
terasa menekan atau mengikat dengan intensitas nyeri ringan hingga sedang dalam
hitungan menit hingga hari. Rasa nyeri tidak memburuk dengan aktivitas fisik dan
tidak berhubungan dengan muntah, tetapi fotofobia atau fonofobia mungkin
diketemukan.
Kriteria diagnosis:
(1) Minimal 10 episode nyeri kepala dalam 1- 14 hari per bulan atau 12 180
hari per tahun dan memenuhi kriteria (2) hingga (4).
(2) Dirasakan selama 30 menit hingga 7 hari.
(3) Memenuhi minimal 2 dari 4 kriteria berikut:
a. Lokasi bilateral
b. Kualitas nyeri berupa rasa mengikat atau menekan tidak disertai denyut
c. Intensitas ringan hingga sedang
d. Tidak dipengaruhi oleh aktivitas fisik misalnya berjalan atau naik tangga.
(4) Memenuhi 2 kriteria berikut:
a. Tidak ada mual muntah
b. Hanya memiliki salah satu dari fotofobia atau fonofobia.
2.5.3
Chronic TTH
Suatu kelainan dari frequent episodic TTH dengan episode serangan harian
13
Probable TTH
Probable TTH adalah TTH yang tidak memenuhi satu kriteria yang
menjadi kriteria diagnosis dari sub-type TTH dan tidak memenuhi kriteria lain
dari Headache Disorders.
2.5.4.1 Probable infrequent episodic tension-type headache
Kriteria diagnosis:
Mengalami satu atau lebih episode infrequent episodic TTH tetapi tidak
memenuhi 1 kriteria dari kriteria diagnosis (1) hingga (4)
2.5.4.2 Probable frequent episodic tension-type headache
Kriteria diagnosis:
Mengalami satu atau lebih episode frequent episodic TTH tetapi tidak memenuhi
1 kriteria dari kriteria diagnosis (1) hingga (4)
2.5.4.3 Probable chronic tension-type headache
Kriteria diagnosis:
Mengalami satu atau lebih episode chronicTTH tetapi tidak memenuhi 1 kriteria
dari kriteria diagnosis (1) hingga (4) (Popp AJ et al., 2007).
2.6. Diagnosis
2.6.1
Anamnesis
14
diklasifikasikan
sebagai
terkait
(asosiasi)
dengan
pericranial
tendernessapabila skor total > 8 poin dan dikatakan tidak terkait (asosiasi) dengan
pericranial tenderness apabila skor < 8 poin (Anurogo D. 2014).
Tidak ada uji spesifik untuk mendiagnosa tension-type headache. Pada
pemeriksaan neurologis tidak ditemukan kelainan apapun (IHS. 2013).
15
kepala atau MRI tidak perlu dilakukan jika tidak ada indikasi apapun (IHS. 2013).
Neuroimaging
yaitu
pecitraan
otak
atau
cervical
spine,
terutama
direkomendasikan untuk:
(1) Nyeri kepala dengan pola atipikal
(2) Riwayat kejang
(3) Dijumpai tanda/gejala neurologis
(4) Penyakit
simptomatis,
seperti:
AIDS
(Acquired
Immunodeficiency
16
Tabel 2.1. Analgetik yang direkomendasikan untuk terapi TTH episode akut
(Dewanto G, dkk. 2009).
Kategori NSAID yang digunakan sebagai lini pertama dalam mengatasi
TTH akut adalah simple analgetic berupa ibuprofen dan naproxen, karena
toleransinya terhadap gastrointestinal yang baik. Jika simple analgetic tidak
memberikan efek yang maksimal maka bisa ditambahkan dengan caffeine, karena
penelitian Controlled Clinical Trialsmenunjukkan peningkatan efikasi simple
analgetic dengan penambahan caffeine 130 mg 200 mg. Butalbital dapat
digunakan pada penderita dengan kontraindikasi konsumsi simple analgetic,
17
tetapi memiliki resiko tinggi dalam transformasi ETTH menjadi CTTH (Dewanto
G, dkk. 2009).
Suntikan botulinum toxin (Botox) diduga efektif untuk nyeri kepala primer,
seperti TTH, migren kronis, nyeri ekpala harian kronis. Botulinum toxins adalah
sekelompok protein produksi bakteri Clostridium botulinum. Mekanisme kerjanya
adalah menghambat pelepasan asetilkolin di sambungan otot, menyebabkan
kelumpuhan flaksid. Botox bermanfaat mengatasi kondisi dimana hiperaktivitas
otot berperan penting. Riset tentang Botox ini masih berlangsung (Anurogo D.
2014).
Tabel 2.2. Agent yang direkomendasikan untuk terapi preventif TTH (Dewanto
G, dkk. 2009).
Terapi farmakologi preventif digunakan apabila minimal penderita
mengalami 2 hingga 3 hari nyeri kepala setiap minggu. Meskipun penangan dari
nyeri kepala TTH ini mungkin menyebakan meningkatnya resiko transformasi
menjadi CTTH. Penatalaksanaanya menggunakan agen tricyclic antidepressant
amintryptiline yang dimulai dengan dosis terendah dan ditingkatkan secara
bertahap hingga tercapai dosis terapi. Berdasarkan penelitian, dimulai dari 10 mg25 mg dan mencapai final dose hingga 50 mg-75 mg untuk penderita CTTH.
Pemberian agen ini di malam hari, 1-2 jam sebelum tidur untuk meminimalkan
pening saat terbangun. Jika dosis terapi telah tercapai, maka mesti dipertahankan
selama 6-12 bulan. Bila tidak efektif, bisa diganti dengan mirtazepine. Selain itu
juga bisa digunakan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) (Dewanto G,
dkk. 2009). Jenis agen yang efektif tercantum pada Tabel 2.2.
18
antara
keduanya
adalah
nyeri
kepala
sebagai
gejala
dari
temporomandibulars disorders.
TTh juga dikatakan memiliki hubungan dengan sleep apnea syndrome, meskipun
belum ada data yang valid mengenai hal tersebut. Nyeri kepala pada sleep apnea
syndrome menyerupai TTH kronis karena baisanya terjadi lebih dari 15 hari per
bulan, bilateral, menekan dan tidak disertai nausea, fotofobia atau fotofonia
(Anurogo D. 2014).
2.9. Prognosis
Informasi mengenai prognosis TTH adalah terbatas, dan tidak ada spesifik
yang menyebutkan prognosis pada pria dewasa. Pada sebuah penelitian dengan
sampel dewasa TTH yang diikuti selama 10 tahun, 44% orang dengan CTTH
dilaporkan mengalami perbaikan komplit, dimana 29% dengan ETTH berubah
menjadi CTTH. Penelitian di Denmark dengan desain potong lintang selama 2
tahun menyatakan rata-rata remisi 45% diantara penderita ETTH atau CTTH,
39% berlanjut menjadi ETTH dan 16% CTTH (Dewanto G, dkk. 2009). Secara
umum dapat dikatakan prognosis TTH adalah baik (Anurogo D. 2014).
19
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
21
22