Anda di halaman 1dari 20

Bagian Ilmu Penyakit Syaraf

Fakultas Kedokteran

Referat

Universitas Mulawarman

TENSION HEADACHE

Disusun oleh
Salwah Nur
1510029022

Pembimbing
dr. Susilo Siswonoto, Sp.S

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Bagian Ilmu Penyakit Syaraf
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sakit kepala (Headache) merupakan keluhan yang sering diutarakan oleh
orang dewasa. Headache dapat menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan,
aktivitas sosial dan kapasitas kerja. Hal ini berakibat pada penurunan derajat
kualitas hidup (The Federation,2012).
Headache terbagi menjadi beberapa tipe yaitu simple headache, migrain,
tension-type headache dan cluster headache. Tipe headache pada setiap orang
dapat berbeda meskipun dalam satu keluarga. Episode headache dapat semakin
memburuk atau bahkan menghilang secara tiba-tiba untuk beberapa waktu, lalu
akan timbul kembali. Di dalam literatur kedokteran, Tension-type headache
(TTH) memiliki multisinonim, seperti: tension headaches, muscle contraction
headache, sakit kepala tegang otot, nyeri kepala tegang otot dan stress headache
(NINDS,

2009).

TTH

adalah

nyeri

kepala

bilateral

yang

menekan

(pressing/sequeezing), mengikat, tidak berdenyut, tidak dipengaruhi dan tidak


diperburuk oleh aktivitas fisik, bersifat ringan hingga sedang, tidak disertai (atau
minimal) mual dan/atau muntah, serta disertai fotofobia atau fonofobia.
Sekitar 93% laki-laki dan 99% perempuan pernah mengalami nyeri kepala.
TTH dan nyeri kepala servikogenik adalah dua tipe nyeri kepala yang paling
sering dijumpai. TTH adalah bentuk paling umum nyeri kepala primer yang
mempengaruhi hingga dua pertiga populasi. Sekitar 78% orang dewasa pernah
mengalami TTH setidaknya sekali dalam hidupnya. TTH episodik adalah nyeri
kepala primer yang paling umum terjadi, dengan prevalensi 1-tahun sekitar 3874%. Penelitian Lyngberg et al (2005) menyebutkan prevalensi TTH sebesar 87%.
Prevalensi TTH di Korea sebesar 16,2% sampai 30,8%, di Kanada sekitar 36%, di
Jerman sebanyak 38,3%, di Brazil hanya 13%. Insiden di Denmark sebesar 14,2
per 1000 orang per tahun. Survei di USA menemukan prevalensi tahunan TTH
episodik sebesar 38,3% dan TTH kronis sebesar 2,2%.

TTH dapat menyerang segala usia. Usia terbanyak adalah 25-30 tahun,
namun puncak prevalensi meningkat di usia 30-39 tahun. Sekitar 40% penderita
TTH memiliki riwayat keluarga dengan TTH. Prevalensi seumur hidup pada
perempuan mencapai 88%, sedangkan pada laki-laki mencapai 69%. Onset usia
penderita adalah pada dekade ke-dua atau ke-tiga kehidupan yaitu antara 25-30
tahun (Anurogo D, 2014).

2.1 Tujuan

2.1.1

Mampu menjelaskan definisi, etiologi, dan patofisologi dari tension


headache

2.1.2

Mampu menjelaskan klasifikasi dari tension headache

2.1.3 Mampu mendiagnosis tension headache berdasarkan gejala klinis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang serta mampu menentukan
terapi dengan tepat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Tension-type headache adalah suatu keadaan yang melibatkan sensasi nyeri
atau rasa tidak nyaman di daerah kepala, kulit kepala atau leher yang biasanya
berhubungan dengan ketegangan otot di daerah ini.

Tension-type headache

sebelumnya disebut muscle contraction headache atau nyeri kepala tegang otot,
merupakan tipe nyeri kepala terbanyak yang dikeluhkan. Sebutan tersebut diberi
berdasarkan adanya stres atau

konflik mental emosional yang mencetuskan

terjadinya nyeri dan kontraksi otot di leher, kepala, muka dan rahang (NINDS,
2009).
TTH adalah nyeri kepala bilateral yang menekan (pressing/sequeezing),
mengikat, tidak berdenyut, tidak dipengaruhi dan tidak diperburuk oleh aktivitas
fisik, bersifat ringan hingga sedang, tidak disertai (atau minimal) mual dan/atau
muntah, serta disertai fotofobia atau fonofobia (Anurogo D, 2014).
2.2. Epidemiologi
Sekitar 93% laki-laki dan 99% perempuan pernah mengalami nyeri kepala.
TTH merupakan nyeri kepala primer yang paling sering terjadi. Sekitar 78%
orang dewasa pernah mengalami TTH setidaknya sekali dalam hidupnya. TTH
episodic merupakan jenis TTH yang paling sering terjadi dengan prevalensi 3874%.
TTH dapat menyerang segala usia. Usia dengan prevalensi tertinggi adalah
pada usia 25-30 tahun. Sekitar 40% penderita TTH memiliki riwayat keluarga
dengan TTH. Prevalensi seumur hidup pada perempuan mencapai 88%,
sedangkan lai-laki hanya 69%.

Rasio prempuan:laki-laki adalah 5:4

(Nugroho,2014).
2.3. Etiopatofisiologi Tension-type Headache
Etiologi TTH diklasifikasikan sebagai berikut:

(1) Organik, seperti: tumor serebral, meningitis, hidrosefalus dan sifilis.


(2) Gangguan fungsional, seperti: lelah, bekerja tak kenal waktu, anemia, gout,
ketidaknormalan endokrin, dan nyeri yang direfeleksikan.
TTH terjadi karena adanya asosiasi positif antara nyeri kepala dan stress.
Hal ini terbukti nyata pada penderita TTH. Nyeri kepala dapat terjadi akibat
cetusan dari faktor resiko yaitu: gangguan tidur, perubahan pola tidur, kelaparan,
dehidrasi, caffein withdrawal, dan fluktuasi hormonal wanita. Stress menjadi
faktor pemicu tersering TTH (Anurogo D, 2014). Namun tidak ada yang dapat
menjelaskan mekanisme yang mendasari hal tersebut dapat terjadi (Kaniecki RG,
2012).
Penyebab utama TTH belum diketahui. Dari beberapa dekade telah
dijelaskan aspek dan patofisiologi dari TTH yang menyatakan penyebab TTH
adalah proses multifaktorial yang melibatkan faktor myofascial perifer dan
komponen CNS. Mekanisme myofasial perifer sangat penting untuk menjelaskan
kejadian ETTH (Episodic Tension-type Headache), sedangkan jalur sensitisasi
nosiseptif central terlihat berhubungan dengan mekanisme kejadian CTTH
(Chronic Tension-type Headache). Penelitian menunjukkan aktivitas myofascial
sebagai sumber potensial dari TTH dimana terjadi aktivasi persisten dari trigger
poin yang memimpin sensitisasi pada nosiseptor perifer dan pada neuron kedua di
nukleus spinal trigeminus. Mekanisme sentral tampak lebih berhubungan dengan
patogenesis CTTH. Ambang nyeri tampak normal pada infrequent ETTH tetapi
tampak menurun pada frequent ETTH dan CTTH. Penderita dengan CTTH
memiliki tingkat hipersensitivitas tinggi terhadap stimulus dari tekanan (pressure),
panas (thermal), dan modalitas listrik. Sensitivitas ini juga terlihat pada jaringan
(otot, tendon dan saraf) selama nyeri kepala dan diantara nyeri kepala (Dewanto G
dkk., 2009).
Sensitisasi jalur nyeri (pain pathways)terjadidi sistem saraf pusat karena
perpanjangan rangsang nosiseptif (prolonged nociceptive stimuli) dari jaringanjaringan miofasial perikranial. Sensitisasi ini bertanggung jawab untuk konversi
TTH episodik menjadi TTH kronis.
Pada individu yang rentan secara genetis, stres kronis menyebabkan elevasi
glutamat yang persisten. Stimulasi reseptor NMDA mengaktivasi NFkB yang

memicu transkripsi iNOS dan COX-2, diantara enzim-enzim lainnya. Tingginya


kadar nitric oxide menyebabkan vasodilatasi struktur intrakranial, seperti sinus
sagitalis superior, dan kerusakan nitrosative memicu terjadinya nyeri dari beragam
struktur lainnya seperti dura. Nyeri kemudian ditansmisikan melalui serabutserabut C dan neuron-neuron nociceptive A menuju dorsal horn dan nukleus
trigeminal di TCC (Trigeminal Complex), tempat mereka bersinaps dengan
second-order neurons.
Pada beragam sinap ini, terjadi konvergensi nosiseptif primer dan neuronneuron mekanoreseptor yang dapat direkrut melalui fasilitasi homosinaptik dan
heterosinaptik sebagai bagian dari plastisitas sinaptik yang memicu terjadinya

Gambar 2.1. Patofisiologi TTH (Anurogo D, 2014).

sensitisasi sentral. Pada tingkat molekuler, sinyal nyeri dari perifer menyebabkan
pelepasan beragam neuropeptida dan neurotransmitter (misalnya: substansi p dan
glutamat) yang mengaktivasi reseptor-reseptor di membran postsynaptic,
membangkitkan potensial-potensial aksi dan berakumulasi pada plastisitas
sinaptik serta menurunkan ambang nyeri (pain thresholds) .
Sirkuit spinobulbospinal muncul dari RVM (rostoventral medulla) secara
normal melalui sinyal-sinyal fine-tunes pain yang bermula dari perifer, namun
pada individu yang rentan disfungsi dapat memfasilitasi sinyal-sinyal nyeri, serta
membiarkan terjadinya sensitisasi sentral. Proses ini dapat dilihat pada skema 1.
Nyeri perikranial berkembang seiiring waktu oleh recruitment serabutserabut C dan mekanoreseptor A di sinaps-sinaps TCC, membiarkan
perkembangan allodynia dan hiperalgesia. Intensitas, frekuensi dan nyeri
perikranial berkembang seiring waktu, berbagai perubahan molekuler di pusatpusat lebih tinggi seperti thalamus memicu terjadinya sensitisasi sentral dari
neuron-neuron tersiar dan perubahan-perubahan selanjutnya pada persepsi nyeri.
Konsentrasi platelet factor 4, beta-thromboglobuli, tromboxane B2, dan 11dehydrothromboxane B2 plasma meningkat signifikan di kelompok TTH episodik
dibandingkan dengan di kelompok TTH episodik dibandingkan dengan di
kelompok TTH episodik dibandingkan dengan di kelompok TTH kronis dan
kelompok kontrol (sehat).
Pada penderita TTH episodik, peningkatan konsentrasi substansi P jelas
terlihat di platelet dan penurunan konsentrasi beta-endorphin dijumpai di sel-sel
mononklear darah perifer. Peningkatan konsentrasi metenkephalin dijumpai pada
CSF (Cairan serebrospinal) penderita TTH kronis, hal ini mendukung hipotesis
ketidakseimbangan mekanisme pronociceptive dan antinociceptive pada TTH
(Anurogo D, 2014).
2.4. Gejala dan Tanda Tension-type Headache
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada tension-type headache (TTH)
adalah:
(1) Tidak ada gejala prodromal
(2) Nyeri dapat ringan hingga sedang maupun berat

(3) Tumpul, seperti ditekan atau diikat.


(4) Nyeri tidak berdenyut
(5) Menyeluruh atau difus, tidak hanya pada satu titik atau satu sisi), nyeri lebih
hebat did aerah kulit kepala, oksipital dan belakang leher.
(6) Terjadi secara spontan
(7) Memburuk atau dicetuskan oleh stres, dan kelelahan
(8) Adanya insomnia
(9) Kelelahan kronis
(10)

Iritabilitas

(11)

Gangguan konsentrasi

(12)

Kadang-kadang disertai vertigo

(13)

Beberapa orang mengeluhkan rasa tidak nyaman di daerah

elher, rahang dan temporomandibular (Dewanto G dkk., 2009).


TTH dirasakan di kedua sisi kepala sebagai nyeri tumul yang menetap atau
konstan, dengan intensitas bervariasi, juga melibatkan nyeri leher. Nyeri kepala ini
terkadang dideskripsikan sebagai ikatan kuat di sekitar kepala terasa kencang.
Kualitas nyeri nya khas, yaitu: menekan (pressing), mengikat (tightening), tidak
berdenyut (non-pulsating). Rasa menekan, tidak enak, atau berat dirasakan di
kedua sisi kepala (bilateral), juga di leher, pelipis, dahi. Leher dapat terasa kaku.
TTH tidak dipengaruhi aktivitas fisik rutin. Dapat disertai anoreksia, tanpa mual
dan muntah. Dapat disertai photophobia (sensasi nyeri/tidak nyaman di mata saat
terpapar cahaya) atau phonophobia (sensasi tak nyaman karena rangsang suara).
TTH terjadi dalam waktu relatif singkat, dengan durasi berubah-ubah (episodik)
atau terus menerus (TTH kronis) (Anurogo D, 2014).
2.5. Klasifikasi
TTH dibedakan menjadi tiga subklasifikasi (Gambar 2.2) :
(1) TTH episodik yang jarang (infrequent episodic): 1 serangan per bulan atau
kurang dari 12 sakit kepala per tahun.
(2) TTH episodik yang sering (frequent episodic): 1-14 serangan per bulan atau
antara 12 dan180 hari per tahun.

10

(3) TTH menahun (chronic): lebih dari 15 serangan atau sekurangnya 180 hari
per tahun (Anurogo D, 2014).

Gambar 2.2. Klasifikasi TTH ICHD-II tahun 2004 (Dewanto G dkk., 2009).
Pada Headache Classification Commite of the Internasional Headache
Society 2013, TTH diklasifikasikan menjadi 4 subklasifikasi yaitu menambahkan
probable tension-type headache sebagai subklasifikasi ke empat (IHS, 2013).
Subklasifikasi ICHD-III tertera pada Gambar 2.3.

11

Gambar 2.3. Klasifikasi TTH ICHD-III Tahun 2013 (Popp AJ et al., 2007)
2.5.1

Infrequent episodic TTH


Infrequent episodic TTH atau TTH episodik jarang, biasanya bilateral,
terasa menekan atau mengikat dengan intensitas nyeri ringan hingga sedang
dalam hitungan menit hingga hari. Rasa nyeri tidak memburuk dengan aktivitas
fisik dan tidak berhubungan dengan muntah, tetapi fotofobia atau fonofobia
mungkin diketemukan.
Kriteria diagnosis:
(1) Minimal 10 episode nyeri kepala < 1 hari per bulan atau < 12 hari per tahun
dan memenuhi kriteria (2) hingga (4).
(2) Dirasakan selama 30 menit hingga 7 hari.
(3) Memenuhi minimal 2 dari 4 kriteria berikut:
a. Lokasi bilateral
b. Kualitas nyeri berupa rasa mengikat atau menekan tidak disertai denyut
c. Intensitas ringan hingga sedang
d. Tidak dipengaruhi oleh aktivitas fisik misalnya berjalan atau naik tangga.
(4) Memenuhi 2 kriteria berikut:

12

a. Tidak ada mual muntah


b. Hanya memiliki salah satu dari fotofobia atau fonofobia.
2.5.2

Frequent episodic TTH


Frequent episodic TTH atau TTH episodik jarang, biasanya bilateral,

terasa menekan atau mengikat dengan intensitas nyeri ringan hingga sedang dalam
hitungan menit hingga hari. Rasa nyeri tidak memburuk dengan aktivitas fisik dan
tidak berhubungan dengan muntah, tetapi fotofobia atau fonofobia mungkin
diketemukan.
Kriteria diagnosis:
(1) Minimal 10 episode nyeri kepala dalam 1- 14 hari per bulan atau 12 180
hari per tahun dan memenuhi kriteria (2) hingga (4).
(2) Dirasakan selama 30 menit hingga 7 hari.
(3) Memenuhi minimal 2 dari 4 kriteria berikut:
a. Lokasi bilateral
b. Kualitas nyeri berupa rasa mengikat atau menekan tidak disertai denyut
c. Intensitas ringan hingga sedang
d. Tidak dipengaruhi oleh aktivitas fisik misalnya berjalan atau naik tangga.
(4) Memenuhi 2 kriteria berikut:
a. Tidak ada mual muntah
b. Hanya memiliki salah satu dari fotofobia atau fonofobia.
2.5.3

Chronic TTH
Suatu kelainan dari frequent episodic TTH dengan episode serangan harian

yang lebih sering dibandingkan frequent episodic TTH, biasanya bilateral,terasa


menekan atau mengikat dengan intensitas nyeri ringan hingga sedang dalam
hitungan menit hingga hari. Rasa nyeri tidak memburuk dengan aktivitas fisik dan
tidak berhubungan dengan muntah, tetapi fotofobia atau fonofobia mungkin
diketemukan.
Kriteria diagnosis:
(1) Minimal 10 episode nyeri kepala dalam >15 hari per bulan atau >3 bulan per
tahun dan memenuhi kriteria (2) hingga (4).

13

(2) Dirasakan selama 30 menit hingga 7 hari


(3) Memenuhi minimal 2 dari 4 kriteria berikut:
a. Lokasi bilateral
b. Kualitas nyeri berupa rasa mengikat atau menekan tidak disertai denyut
c. Intensitas ringan hingga sedang
d. Tidak dipengaruhi oleh aktivitas fisik misalnya berjalan atau naik tangga.
(4) Memenuhi 2 kriteria berikut:
a. Tidak ada mual muntah
b. Hanya memiliki salah satu dari fotofobia atau fonofobia.
2.5.4

Probable TTH
Probable TTH adalah TTH yang tidak memenuhi satu kriteria yang

menjadi kriteria diagnosis dari sub-type TTH dan tidak memenuhi kriteria lain
dari Headache Disorders.
2.5.4.1 Probable infrequent episodic tension-type headache
Kriteria diagnosis:
Mengalami satu atau lebih episode infrequent episodic TTH tetapi tidak
memenuhi 1 kriteria dari kriteria diagnosis (1) hingga (4)
2.5.4.2 Probable frequent episodic tension-type headache
Kriteria diagnosis:
Mengalami satu atau lebih episode frequent episodic TTH tetapi tidak memenuhi
1 kriteria dari kriteria diagnosis (1) hingga (4)
2.5.4.3 Probable chronic tension-type headache
Kriteria diagnosis:
Mengalami satu atau lebih episode chronicTTH tetapi tidak memenuhi 1 kriteria
dari kriteria diagnosis (1) hingga (4) (Popp AJ et al., 2007).
2.6. Diagnosis
2.6.1

Anamnesis

14

Nyeri kepala (Headache) merupakan salah satu penyebab tersering


permasalahan di bidang neurologi. Etiologi nyeri kepala bervariasi, begitu pula
pencetusnya. Nyeri kepala merupakan keluhan subjektif, dimana hanya penderita
saja yang bsia merasakannya. Hal ini menyebabkan anamnesis menjadi hal paling
penting dalam mendiagnosa nyeri kepala (Popp AJ et al., 2007).
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis komprehensif
adalah kunci evaluasi klinis TTH dan dapat menyediakan petunjuk potensial
terhadap penyebab penyakit (organik atau gangguan fungsi) yang mendasari
terjadinya TTH (Anurogo D. 2014).
Anamnesis mesti meliputi riwayat perjalan nyeri kepala penderita, dimulai
dari lokasi, onset, kualitas dan intensitas. Selain itu juga harus diperhatikan
apakah ada gejala neurologis seperti muntah,mual atau perubahan sensoris. Cidera
kepala dalam 48 jam juga mesti ditanyakan (Popp AJ et al., 2007).
2.6.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah palpasi manual. Palpasi
manual dilakukan untuk menilai perikranial tenderness. Palpasi manual dilakukan
di daerah delapan pasang otot dan insersi tendon yaitu frontal,temporal, masetter,
processus coronoid, sternocleidomastoid, suboccipital, mastoid dan otot-otot
trapezius. Cara melakukan palpasi manual adalah dengan melakukan gerakan
memutar kecil dengan tekanan kuat menggunakan jari ke dua dan ke tiga di
daerah-daerah tersebut selama 4-5 detik. Penilaian palpasi manual dibantu dengan
palpometer.
Pericranial tenderness dicatat dengan Total Tenderness Score. Tenderness
dinilai dengan empat poin yatu 0,1,2 dan 3 di setiap lokasi otot. Nilai dari sisi kiri
dan kanan dijumlahkan menjadi total skor (maksimum skor 48 poin) 3. Penderita
TTH

diklasifikasikan

sebagai

terkait

(asosiasi)

dengan

pericranial

tendernessapabila skor total > 8 poin dan dikatakan tidak terkait (asosiasi) dengan
pericranial tenderness apabila skor < 8 poin (Anurogo D. 2014).
Tidak ada uji spesifik untuk mendiagnosa tension-type headache. Pada
pemeriksaan neurologis tidak ditemukan kelainan apapun (IHS. 2013).

15

2.6.3 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang seperti

pemeriksaan darah, rontgen, CT-Scan

kepala atau MRI tidak perlu dilakukan jika tidak ada indikasi apapun (IHS. 2013).
Neuroimaging

yaitu

pecitraan

otak

atau

cervical

spine,

terutama

direkomendasikan untuk:
(1) Nyeri kepala dengan pola atipikal
(2) Riwayat kejang
(3) Dijumpai tanda/gejala neurologis
(4) Penyakit

simptomatis,

seperti:

AIDS

(Acquired

Immunodeficiency

Syndrome), tumor, atau neurofibromatosis.


Pemeriksaan funduskopi untuk papiloedema atau abnormalitas lainnya
penting untuk evaluasi nyeri kepala sekunder (Anurogo D. 2014).
2.7 Penatalaksanaan
Manajemen terapi untuk TTH adalah kombinasi dari gaya hidup, fisik dan
terapi farmakologi. Kombinasi dari gaya hidup dan fisik adalah bentuk terapi nonfarmakologis (Dewanto G, dkk. 2009). Tujuan penatalaksanaan adalah reduksi
frekuensi dan intensitas nyeri kepala (terutama TTH) dan menyempurnakan
respon terhadap abortive. Tetapi dapat dimulai lagi jika nyeri kepala berulang.
Intervensi non-farmakologis tetap menjadi

pilihan meskipun hasil

penelitian di bidang ini terbatas. Terapi non-farmakologis berupa latihan relaksasi,


relaksasi progresif, terapi kognitif, biofeedback training, cognitive-behavioural
therapy atau kombinasi. Solusi lain adalah modifikasi perilaku dan gaya hidup
berupa: (Anurogo D. 2014)
(1) Istirahat di tempat tenang dan gelap
(2) Peregangan leher dan otot bahu 20-30 menit, idealnya di pagi hari, selama
minimal seminggu
(3) Hindari terlalu lama bekerja di depan komputer. Beristirahat setiap 15 menit
setiap 1 jam berkerja, berselang-seling , iringi dengan instrumen musik
alam/klasik.
(4) Tidur dengan posisi yang benar
(5) Hindari suhu dingin

16

(6) Bekerja, menonton dan membaca dengan pencahayaan yang tepat


(7) Menuliskan pengalaman bahagia
(8) Terapi tawa
(9) Salat dan berdoa
TTH biasanya diberikan pengobatan selama episode akut. Analgetik tipikal
merupakan obat awal yang diberikan. Berdasarkan evidence, analgetik yang
direkomendasikan adalah golongan NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory
Drugs) seperti ibuprofen, ketoprofen, dll (Tabel 2.1). Banyak studi kontrol yang
membuktikan bahwa golongan NSAID dan kombinasi agen memiliki efikasi yang
bagus dalam memperbaiki episode akut TTH. Penggunaan kombinasi ini dibatasi
rata-rata 2-3 hari per minggu untuk mencegah pengobatan nyeri kepala berlebihan
dan mencegah transformasi ETTH menjadi CTTH (Dewanto G, dkk. 2009).

Tabel 2.1. Analgetik yang direkomendasikan untuk terapi TTH episode akut
(Dewanto G, dkk. 2009).
Kategori NSAID yang digunakan sebagai lini pertama dalam mengatasi
TTH akut adalah simple analgetic berupa ibuprofen dan naproxen, karena
toleransinya terhadap gastrointestinal yang baik. Jika simple analgetic tidak
memberikan efek yang maksimal maka bisa ditambahkan dengan caffeine, karena
penelitian Controlled Clinical Trialsmenunjukkan peningkatan efikasi simple
analgetic dengan penambahan caffeine 130 mg 200 mg. Butalbital dapat
digunakan pada penderita dengan kontraindikasi konsumsi simple analgetic,
17

tetapi memiliki resiko tinggi dalam transformasi ETTH menjadi CTTH (Dewanto
G, dkk. 2009).
Suntikan botulinum toxin (Botox) diduga efektif untuk nyeri kepala primer,
seperti TTH, migren kronis, nyeri ekpala harian kronis. Botulinum toxins adalah
sekelompok protein produksi bakteri Clostridium botulinum. Mekanisme kerjanya
adalah menghambat pelepasan asetilkolin di sambungan otot, menyebabkan
kelumpuhan flaksid. Botox bermanfaat mengatasi kondisi dimana hiperaktivitas
otot berperan penting. Riset tentang Botox ini masih berlangsung (Anurogo D.
2014).

Tabel 2.2. Agent yang direkomendasikan untuk terapi preventif TTH (Dewanto
G, dkk. 2009).
Terapi farmakologi preventif digunakan apabila minimal penderita
mengalami 2 hingga 3 hari nyeri kepala setiap minggu. Meskipun penangan dari
nyeri kepala TTH ini mungkin menyebakan meningkatnya resiko transformasi
menjadi CTTH. Penatalaksanaanya menggunakan agen tricyclic antidepressant
amintryptiline yang dimulai dengan dosis terendah dan ditingkatkan secara
bertahap hingga tercapai dosis terapi. Berdasarkan penelitian, dimulai dari 10 mg25 mg dan mencapai final dose hingga 50 mg-75 mg untuk penderita CTTH.
Pemberian agen ini di malam hari, 1-2 jam sebelum tidur untuk meminimalkan
pening saat terbangun. Jika dosis terapi telah tercapai, maka mesti dipertahankan
selama 6-12 bulan. Bila tidak efektif, bisa diganti dengan mirtazepine. Selain itu
juga bisa digunakan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) (Dewanto G,
dkk. 2009). Jenis agen yang efektif tercantum pada Tabel 2.2.

18

Pendekatan multidisiplin adalah strategi efektif mengatasi TTH. Edukasi


baik untuk anak dan dewasa disertai intervensi nonfarmakologis dan dukungan
psikososial amat dipelrukan (Anurogo D. 2014).
2.8. Komplikasi
TTH berhubungan dengan gangguan psikiatri dan kondisi medis, meskipun
penelitian menunjukkan komplikasi tersebut lebih banyak pada migrain.
Gangguan psikiatri teramati lebih dari dua pertiga penderita nyeri kepala kronis
(Dewanto G, dkk. 2009).
Komplikasi psikiatri yang sering dijumpai adalah cemas (38,5%), depresi
mayor (32,7%), stres psikososial, gangguan panik, dan tingginya frekuensi bunuh
diri. Gangguan ini lebih banyak dijumpai pada penderita TTH kronis
dibandingkan TTH episodik (Anurogo D. 2014).
Temporomandibular disorders juga berhubungan dengan TTH, meskipun
hubungan

antara

keduanya

adalah

nyeri

kepala

sebagai

gejala

dari

temporomandibulars disorders.
TTh juga dikatakan memiliki hubungan dengan sleep apnea syndrome, meskipun
belum ada data yang valid mengenai hal tersebut. Nyeri kepala pada sleep apnea
syndrome menyerupai TTH kronis karena baisanya terjadi lebih dari 15 hari per
bulan, bilateral, menekan dan tidak disertai nausea, fotofobia atau fotofonia
(Anurogo D. 2014).
2.9. Prognosis
Informasi mengenai prognosis TTH adalah terbatas, dan tidak ada spesifik
yang menyebutkan prognosis pada pria dewasa. Pada sebuah penelitian dengan
sampel dewasa TTH yang diikuti selama 10 tahun, 44% orang dengan CTTH
dilaporkan mengalami perbaikan komplit, dimana 29% dengan ETTH berubah
menjadi CTTH. Penelitian di Denmark dengan desain potong lintang selama 2
tahun menyatakan rata-rata remisi 45% diantara penderita ETTH atau CTTH,
39% berlanjut menjadi ETTH dan 16% CTTH (Dewanto G, dkk. 2009). Secara
umum dapat dikatakan prognosis TTH adalah baik (Anurogo D. 2014).

19

BAB III
KESIMPULAN

20

TTH adalah nyeri kepala bilateral yang menekan (pressing/sequeezing),


mengikat, tidak berdenyut, tidak dipengaruhi dan tidak diperburuk oleh aktivitas
fisik, bersifat ringan hingga sedang, tidak disertai (atau minimal) mual dan/atau
muntah, serta disertai fotofobia atau fonofobia.
TTH mempengaruhi hingga dua pertiga populasi. Prevalensi TTH 1-tahun
sekitar 38-74%.Usia terbanyak adalah 25-30 tahun. TTH terjadi karena adanya
asosiasi positif antara nyeri kepala dan stress. Dari beberapa dekade telah
dijelaskan aspek dan patofisiologi dari TTH yang menyatakan penyebab TTH
adalah proses multifaktorial yang melibatkan faktor myofascial perifer dan
komponen CNS.
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan disesuaikan dengan
kriteria International Classification of Headache Disorders III (ICHD-III).
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan palpasi manual untuk menilai pericranial
tenderness, yang dicatat dengan Total Tenderness Score. Pemeriksaan neurologis
tidak memberikan hasil apa-apa. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai
indikasi. Penatalaksanaan bertujuan untuk reduksi frekuensi dan intensitas nyeri
kepala (terutama TTH) dan menyempurnakan respon terhadap abortive, dengan
manajemen terapi adalah kombinasi dari gaya hidup, fisik dan terapi farmakologi.
Prognosis TTH adalah baik.

DAFTAR PUSTAKA

21

Anurogo D. 2014. Tension Type Headache. CDK-214/vol.41 no.3 hlm:186-191


Dewanto G, dkk. 2009. Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC
IHS. 2013. The Internasional Classification of Headache Disorders, 3rd editon
(beta version). International Headache Society. Cephalalgia;33(9):629-808
Kaniecky RG. 2012. Tension Type Headache. Continum:Life Long Learning
Neurol 2012; 18(4):823-834
Lyngberg et al. 2005. Has The Prevalence of Migraine and Tension Type
Headache Changed Over a 12-year Period? A Danish Population Survey.
Eur J Epidemiol 2005;20:243-9
NINDS. 2009. Headache. National Institute of Neurological Disorders and
Stroke, U.S. Department of Health and Human Services
Pop AJ et al.2007. A Guide to The Primary Care of Neurological Disorders.
American Associatio of Neurological Surgeons. New york: Thieme
The Federation. 2012. Clinical Practice Guideline for The Management of
Headache Disorders in Adults. Online: www.chiropracticcanada.ca January
2012

22

Anda mungkin juga menyukai