Anda di halaman 1dari 17

BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. S

Usia

: 56 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: bentiring permai bengkulu

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

ANAMNESIS (Autoanamnesis, 27 Desember 2016)


Keluhan Utama
Nyeri di kedua lutut sejak tiga hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Puskesmas Ratu Agung dengan keluhan terasa nyeri di kedua lutut
sejak 3 hari yang lalu. Nyeri dirasakan menusuk-nusuk . Nyeri bertambah berat
terutama bila digerakkan. Awalnya nyeri dirasakan di lutut sebalah kiri lalu
semakin lama nyeri terasa semakin berat sehingga pasien tidak bisa bergerak. Lutut
menjadi bengkak dan kemerahan. Nyeri juga dirasakan pada lutut sebelah kanan
diikuti bengkak, sehingga pasien sulit bergerak. Nyeri dirasakan jika pasien berdiri
lama dan berkurang bila tidur terlentang.
Pasien mengaku terdapat rasa kaku dan sulit digerakkan di kedua lutut pada pagi
hari setelah bangun tidur. Rasa kaku tersebut berlangsung selama 5 menit dan
menghilang secara perlahan.
Nyeri pada kedua lutut irasakan sudah lama dua tahun terahir, dan semakin lama
semakin nyeri. Demam disangkal, batuk pilek disangkal, nyeri pada sendi-sendi
lainnya disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat DM, asam urat, kolesterol, hipertensi disangkal
Riwayat Pengobatan
Pasien sudah menkonsumsi parasetamol yang di beli sendiri tetapi keluhan tidak
berkurang
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama
dengan pasien
Riwayat Psikososial
Pasien jarang berolahraga, riwayat bertubuh gemuk (+) . Pasien mengaku jarang
mengkonsumsi jeroan atau kacang-kacangan.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum

: tampak sakit ringan

Kesadaran

: composmentis

Tanda-tanda vital

: Tekanan darah

Status Gizi

Nadi

: 88x/ menit

Pernapasan

: 20x menit

Suhu

: 36.3 C

: Berat badan : 90 kg
Tinggi badan : 160 cm
BMI

: 35,1 (Obbesitas II)

Status General
Kepala

: 120/80 mmHg

Bentuk : Normocephal, simetris

Mata

: Konjungtiva anemis -/- , sklera ikterik -/- ,


pupil isokor kanan = kiri, refleks cahaya (+/+)

Hidung : Bentuk normal, septum di tengah, tidak deviasi,


Pernafasan cuping hidung tidak ada, sekret tidak ada.

Mulut

: Mukosa bibir basah, lidah tidak kotor, faring dan tonsil


tidak hiperemis.

Leher

: Pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening (-)

Paru- Paru

Inspeksi

: Pengembangan dada simetris, retraksi dada (-/-)

Palpasi

: Gerak simetris, vokal premitus +/+

Perkusi

: Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Vesikuler ka/ki, Rh (-)/(-) apeks paru, Wz (-)/(-)

Inspeksi

: iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: iktus kordis teraba di ICS 5 LMCS Sinistra

Perkusi

: Batas atas

Jantung

: ICS III linea parasternalis sinistra

Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra


Batas kiri

: ICS V LMCS

Auskultasi : Bunyi jantung SI SII murni, regular, murmur (-),


gallop (-)

Abdomen

Inspeksi

: Bunyi jantung SI SII murni, regular, murmur (-), gallop

(-)

Auskultasi : Bising Usus normal.

Palpasi

: Nyeri tekan (-), Hepatomegali (-), Splenomegali (-).

Perkusi

: Timpani pada seluruh lapang perut.

Ekstremitas atas & bawah


Akral hangat Udem tungkai -/- , CRT <2

Status Lokalis
Regio Genu Dextra :
Look
Feel

: bengkak (+) kemerahan (+), deformitas (-)


: teraba hangat (+), nyeri (+)

Move : krepitasi (-) gerakan dalam batas normal

Regio Genu Sinistra :


Look
Feel

: bengkak (-) kemerahan (-), deormitas (-)


: teraba hangat (-), nyeri (+)

Move : krepitasi (-) gerakan dalam batas normal

RESUME

Ny. S 56 tahun, datang ke Puskesmas Ratu Agung dengan keluhan terasa nyeri di
kedua lutut sejak 3 hari yang lalu. Nyeri dirasakan menusuk-nusuk. Nyeri
bertambah berat terutama bila digerakkan. Awalnya nyeri dirasakan di lutut sebalah
kiri lalu semakin lama nyeri terasa semakin berat sehingga pasien tidak bisa
bergerak. Lutut menjadi bengkak dan kemerahan. Nyeri juga dirasakan pada lutut
sebelah kanan diikuti bengkak, sehingga pasien sulit bergerak. Nyeri dirasakan jika
pasien berdiri lama dan berkurang bila tidur terlentang. Rasa kaku tersebut
berlangsung selama 5 menit dan menghilang secara perlahan.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan

Regio Genu Dextra :


Look
Feel

: bengkak (+) kemerahan (+), deformitas (-)


: teraba hangat (+), nyeri (+)

Move : krepitasi (-) gerakan dalam batas normal

Regio Genu Sinistra :

Look
Feel

: bengkak (-) kemerahan (-), deormitas (-)


: teraba hangat (-), nyeri (+)

Move : krepitasi (-) gerakan dalam batas normal

DIAGNOSA
Osteoartritis genu dextra sinistra
DIAGNOSA BANDING
a.
b.
c.
d.

Rheumatoid Arthritis
Arthritis Septik
Osteophorosis
Arthritis Gout

RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG


Rontgen Genu AP/Lat Dextra Sinistra

PENATALAKSANAAN
R/ Kalk
1x1 tab
Vitamin B complex 2x1 tab
Piroxicam
2x1 tab

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Osteoartritis


Osteoartitis

(OA)

merupakan

penyakit

sendi

degeneratif,

dimana

keseluruhan struktur dari sendi mengalami perubahan patologis. Ditandai


dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin sendi, meningkatnya
ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan osteofit pada
tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan, dan
melemahnya otototot yang menghubungkan sendi. (Felson, 2008)
2.2. Epidemiologi Osteoartritis
Osteoartritis merupakan penyakit sendi pada orang dewasa yang paling
umum di dunia. Felson (2008) melaporkan bahwa satu dari tiga orang dewasa
memiliki tanda-tanda radiologis terhadap OA. OA pada lutut merupakan tipe OA
yang paling umum dijumpai pada orang dewasa. Penelitian epidemiologi dari Joern
et al (2010) menemukan bahwa orang dewasa dengan kelompok umur 60-64 tahun
sebanyak 22% . Pada pria dengan kelompok umur yang sama, dijumpai 23%
menderita OA. pada lutut kanan, sementara 16,3% sisanya didapati menderita OA
pada lutut kiri. Berbeda halnya pada wanita yang terdistribusi merata, dengan
insiden OA pada lutut kanan sebanyak 24,2% dan pada lutut kiri sebanyak 24,7.
2.3. Patogenesis Osteoartritis
Berdasarkan penyebabnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer dan
OA sekunder. OA primer, atau dapat disebut OA idiopatik, tidak memiliki penyebab
yang pasti ( tidak diketahui ) dan tidak disebabkan oleh penyakit sistemik maupun
proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder, berbeda dengan OA primer,
merupakan OA yang disebabkan oleh inflamasi, kelainan sistem endokrin,
metabolik, pertumbuhan, faktor keturunan (herediter), dan immobilisasi yang
terlalu lama. Kasus OA primer lebih sering dijumpai pada praktik sehari-hari
dibandingkan dengan OA sekunder ( Soeroso, 2006 ).

Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan tidak
dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan
keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang
penyebabnya masih belum jelas diketahui ( Soeroso, 2006 ). Kerusakan tersebut
diawali oleh kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa
mekanisme lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera ( Felson, 2008 ).
Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu : Kapsula
dan ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang di dasarnya . Kapsula
dan ligamen-ligamen sendi memberikan batasan pada rentang gerak (Range of
motion) sendi (Felson, 2008).
Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada permukaan
sendi sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein
yang disebut dengan lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi
sebagai pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cedera dan
peradangan pada sendi (Felson, 2008).
Ligamen,

bersama

dengan

kulit

dan

tendon,

mengandung

suatu

mekanoreseptor yang tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik yang
dikirimkannya memungkinkan otot dan tendon mampu untuk memberikan
tegangan yang cukup pada titik-titik tertentu ketika sendi bergerak (Felson, 2008).
Otot-otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah inti dari pelindung
sendi. Kontraksi otot yang terjadi ketika pergerakan sendi memberikan tenaga dan
akselerasi yang cukup pada anggota gerak untuk menyelesaikan tugasnya.
Kontraksi otot tersebut turut meringankan stres yang terjadi pada sendi dengan cara
melakukan deselerasi sebelum terjadi tumbukan (impact). Tumbukan yang diterima
akan didistribusikan ke seluruh permukaan sendi sehingga meringankan dampak
yang diterima. Tulang di balik kartilago memiliki fungsi untuk menyerap
goncangan yang diterima (Felson, 2008).
Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan
sendi sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika
bergerak. Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai penyerap
tumbukan yang diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum timbulnya OA dapat
terlihat pada kartilago sehingga penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang
kartilago (Felson, 2008).
Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen tipe
dua dan Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul

molekul aggrekan di antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul


proteoglikan yang berikatan dengan asam hialuronat dan memberikan kepadatan
pada kartilago (Felson, 2008).
Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular, mensintesis seluruha
elemen yang terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim
pemecah matriks, sitokin { Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF)},
dan faktor pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan enzim tersebut akan
merangsang kondrosit untuk melakukan sintesis dan membentuk molekul-molekul
matriks yang baru. Pembentukan dan pemecahan ini dijaga keseimbangannya oleh
sitokin faktor pertumbuhan, dan faktor lingkungan (Felson, 2008).
Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk memecah
kolagen tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang
dikelilingi oleh kondrosit. Namun, pada fase awal OA, aktivitas serta efek dari
MPM menyebar hingga ke bagian permukaan (superficial) dari kartilago (Felson,
2008).
Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi pergantian
matriks, namun stimulaso IL-1 yang berlebih malah memicu proses degradasi
matriks. TNF menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG), oksida
nitrit (NO), dan protein lainnya yang memiliki efek terhadap sintesis dan degradasi
matriks. TNF yang berlebihan mempercepat proses pembentukan tersebut. NO
yang dihasilkan akan menghambat sintesis aggrekan dan meningkatkan proses
pemecahan protein pada jaringan. Hal ini berlangsung pada proses awal timbulnya
OA (Felson, 2008).
Kartilago memiliki metabolisme yang lamban, dengan pergantian matriks
yang lambat dan keseimbangan yang teratur antara sintesis dengan degradasi.
Namun, pada fase awal perkembangan OA kartilago sendi memiliki
metabolisme yang sangat aktif (Felson, 2008).
Pada proses timbulnya OA, kondrosit yang terstimulasi akan melepaskan
aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke kartilago dan cairan sendi.
Aggrekan pada kartilago akan sering habis serta jalinan-jalinan kolagen akan
mudah mengendur (Felson, 2008).
Kegagalan dari mekanisme pertahanan oleh komponen pertahanan sendi akan
meningkatkan kemungkinan timbulnya OA pada sendi (Felson, 2008).
2.4.

Diagnosis Osteoartirits

Diagnosis OA didasarkan pada gambaran klinis yang dijumpai dan hasil


radiografis ( Soeroso, 2006 ).

2.4.1

Tanda dan Gejala Klinis


Pada umumnya, pasien OA mengatakan bahwa keluhan-keluhan yang

dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan Berikut


adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA :
a.

Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya bertambah

dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan


dan tertentu terkadang dapat menimbulkan rasa nyeri yang melebihi gerakan
lain. Perubahan ini dapat ditemukan meski OA masih tergolong dini ( secara
radiologis ). Umumnya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit
sampai sendi hanya bias digoyangkan dan menjadi kontraktur, Hambatan
gerak dapat konsentris ( seluruh arah gerakan ) maupun eksentris ( salah satu
arah gerakan saja ) ( Soeroso, 2006 )..
Kartilago tidak mengandung serabut saraf dan kehilangan kartilago pada
sendi tidak diikuti dengan timbulnya nyeri. Sehingga dapat diasumsikan
bahwa nyeri yang timbul pada OA berasal dari luar kartilago (Felson, 2008)
Pada penelitian dengan menggunakan MRI, didapat bahwa sumber dari
nyeri yang timbul diduga berasal dari peradangan sendi ( sinovitis ), efusi
sendi, dan edema sumsum tulang ( Felson, 2008).
Osteofit merupakan salah satu penyebab timbulnya nyeri. Ketika osteofit
tumbuh, inervasi neurovaskular menembusi bagian dasar tulang hingga ke
kartilago dan menuju ke osteofit yang sedang berkembang Hal ini
menimbulkan nyeri (Felson, 2008).
Nyeri dapat timbul dari bagian di luar sendi, termasuk bursae di dekat
sendi. Sumber nyeri yang umum di lutut adalah aakibat dari anserine bursitis
dan sindrom iliotibial band (Felson, 2008).

b.

Hambatan gerakan sendi

Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan


dengan pertambahan rasa nyeri ( Soeroso, 2006 ).

c.

Kaku pagi
Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak
melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu
yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari( Soeroso, 2006 ).

d.

Krepitasi
Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala ini
umum dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan
akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang
memeriksa. Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar
hingga jarak tertentu ( Soeroso, 2006 )..

e.

Pembesaran sendi ( deformitas )


Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar ( Soeroso, 2006 ).

f. Pembengkakan sendi yang asimetris


Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi yang
biasanya tidak banyak ( < 100 cc ) atau karena adanya osteofit, sehingga
bentuk permukaan sendi berubah ( Soeroso, 2006 ).
g. Tanda tanda peradangan
Tanda tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri tekan, gangguan gerak,
rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan ) dapat dijumpai pada OA
karena adanya synovitis. Biasanya tanda tanda ini tidak menonjol dan
timbul pada perkembangan penyakit yang lebih jauh. Gejala ini sering
dijumpai pada OA lutut ( Soeroso, 2006 ).
h.

Perubahan gaya berjalan

Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan merupakan


ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA, terlebih pada pasien
lanjut usia. Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi
tumpuan berat badan terutama pada OA lutut ( Soeroso, 2006 ).
2.4.2

Pemeriksaan Diagnostik
Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada sendi yang
terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik
( Soeroso, 2006 ). Gambaran Radiografi sendi yang menyokong diagnosis
OA adalah :
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih berat pada
bagian yang menanggung beban seperti lutut ).
b. Peningkatan densitas tulang subkondral ( sklerosis ).
c. Kista pada tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi.
Berdasarkan temuan-temuan radiografis diatas, maka OA dapat
diberikan suatu derajat. Kriteria OA berdasarkan temuan radiografis dikenal
sebagai kriteria Kellgren dan Lawrence yang membagi OA dimulai dari
tingkat ringan hingga tingkat berat. Perlu diingat bahwa pada awal penyakit,
gambaran radiografis sendi masih terlihat normal ( Felson, 2006 ).

2.4.3

Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna.
Pemeriksaan darah tepi masih dalam batas batas normal. Pemeriksaan
imunologi masih dalam batas batas normal. Pada OA yang disertai
peradangan sendi dapat dijumpai peningkatan ringan sel peradangan ( < 8000
/ m ) dan peningkatan nilai protein ( Soeroso, 2006 ).

2.4 Penatalaksanaan Osteoartritis

Pengeloaan OA berdasarkan atas sendi yang terkena dan berat ringannya OA


yang diderita ( Soeroso, 2006 ). Penatalaksanaan OA terbagi atas 3 hal, yaitu
2.4.1.Terapi non-farmakologis
a.

Edukasi
Edukasi atau penjelasan kepada pasien perlu dilakukan agar pasien dapat
mengetahui serta memahami tentang penyakit yang dideritanya,
bagaimana agar penyakitnya tidak bertambah semakin parah, dan agar
persendiaanya tetap terpakai ( Soeroso, 2006 ).

b.

Terapi fisik atau rehabilitasi


Pasien dapat mengalami kesulitan berjalan akibat rasa sakit. Terapi ini
dilakukan untuk melatih pasien agar persendianya tetap dapat dipakai
dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit. ( Soeroso, 2006 ).

c.

Penurunan berat badan


Berat badan yang berlebih merupakan faktor yang memperberat OA.
Oleh karena itu, berat badan harus dapat dijaga agar tidak berlebih dan
diupayakan untuk melakukan penurunan berat badan apabila berat badan
berlebih ( Soeroso, 2006 ).

2.4.2.Terapi farmakologis
Penanganan terapi farmakologi melingkupi penurunan rasa nyeri yang
timbul, mengoreksi gangguan yang timbul dan mengidentifikasi manifestasimanifestasi klinis dari ketidakstabilan sendi ( Felson, 2006 ).
a. Obat Antiinflamasi Nonsteroid ( AINS ), Inhibitor Siklooksigenase-2
(COX-2), dan Asetaminofen
Untuk mengobati rasa nyeri yang timbul pada OA lutut, penggunaan obat
AINS dan Inhibitor COX-2 dinilai lebih efektif daripada penggunaan
asetaminofen. Namun karena risiko toksisitas obat AINS lebih tinggi

daripada asetaminofen, asetaminofen tetap menjadi obat pilihan pertama


dalam penanganan rasa nyeri pada OA. Cara lain untuk mengurangi
dampak

toksisitas

dari

obat

AINS

adalah

dengan

cara

mengombinasikannnya dengan menggunakan inhibitor COX-2 ( Felson,


2006 ).
b.

Chondroprotective Agent
Chondroprotective Agent adalah obat obatan yang dapat menjaga atau
merangsang perbaikan dari kartilago pada pasien OA. Obat obatan
yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam
hialuronat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, dan
sebagainya ( Felson, 2006 ).

2.4.3.Terapi pembedahan
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk
mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi
deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari hari.
2.5 Berat badan dan Osteoartritis
Berat badan sering dihubungkan dengan berbagai macam penyakit,
termasuk OA. Berat badan yang berlebih ternyata berkaitan dengan meningkatnya
risiko seseorang menderita OA pada kemudian hari, baik wanita maupun pria
(Soeroso, 2006). Menurut penelitian dari Grotle (2008), selain umur, berat badan
yang berlebih terutama obesitas turut berperan dalam patogenesis dan
patofisiologi dari OA, lutut terutama dalam perkembangan penyakit ke derajat
yang lebih tinggi. Peran faktor metabolik dan hormonal pada kaitannya antara OA
dan obesitas juga disokong dengan adanya kaitan antara OA dengan penyakit
jantung koroner, diabetes mellitus dan hipertensi ( Soeroso, 2006 ).

Untuk mendeteksi kelebihan berat badan yang diderita seseorang, ada dua

cara sederhana yang dapat dilakukan yaitu dengan cara mengukur Indeks Massa
Tubuh ( BMI ) (WHO, 2005) dan mengukur Waist-hip ratio (Vasquez, 2007). BMI
dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Berat badan dalam kilogram ( Kg )


Gambar . Rumus Indeks Massa
BMI =

Tubuh
( Tinggi dalam meter (m ) )2

Setelah nilai didapat, maka bandingkan nilai tersebut dengan tabel klasifikasi BMI di
berikut ini :
Tabel 2.1. Klasifikasi internasional untuk BMI orang dewasa
Klasifikasi
Underweight

BMI (kg/m2)
<18,50

Sangat Kurus

<16,00

Kurus

16,00-16,99

Kurus Ringan

17,00-18,49

Normal
Overweight

18,50-24,99
>25,00

Pre-Obese

25,00-29,99

Obese
Obese kelas I

>30,00
30,00-34,99

Obese kelas II

35,00-39,99

Obese Kelas III

>40,00

Untuk menilai Waist-hip ratio, terlebih dahulu ukurlah lingkar pinggang pada titik
tersempit, lalu ukurlah lingkar panggul secara pada titik terlebarnya. Selanjutnya hasil ukur
yang didapat dimasukkan ke dalam rumus berikut ini (Frank, 2005)
Waist-hip Ratio =
Lingkar pinggang tersempit (cm)
Lingkar panggul terlebar (cm)

Hasil yang didapat lalu dibandingkan dengan nilai yang terdapat pada tabel berikut ini :
Tabel 2.2. Klasifikasi Waist to Hip Ratio orang dewasa dengan modifikasi

seperlunya (Frank, 2005)

0.74 atau lebih rendah

Non Obese

0.75 hingga 0.85

Obese

0.85+

Obese sentral

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita dan orang gemuk cenderung lebih
sering mengeluh tentang besarnya rasa nyeri yang dialami pada lutut mereka dibandingkan
dengan orang lain yang kurang gemuk (Soeroso, 2006). Berdasarkan penelitian lain yang
dilakukanThumboo (2002) didapati bahwa pasien OA lutut dengan obesitas mengalami
peningkatan rasa nyeri yang pada daerah persendian lutut dibandingkan dengan pasien yang
kurang obesitas. Berdasarkan dua hal tersebut dapat dikatakan bahwa obesitas merupakan
salah satu faktor yang meningkatkan intensitas rasa nyeri yang dirasakan pada lutut pasien
OA .

DAFTAR PUSTAKA

Kasmir Y I. Struktur dan fungsi sendi. Sub Bagian Reumatologi, Bagian Ilmu
Penyakit

Dalam

FKUI

RSUPN

Cipto

Mangunkusumo.

Diakses

dari

http://www.irwanashari.com.
Sumariyono, Linda K, Wijaya. Struktur sendi, otot, saraf dan endotel vaskuler.
Dalam : Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor Sudoyo AW dkk. Jilid II Edisi IV.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.Jakarta 2006:1095-102.
Simkin PA. Synovial physiology. In: Arthritis and allied conditions. Ed: Koopman
WJ, Morelan RW. Lippincott williams & wilkins. Alabama 2005:176-87.
Isbagio H. Struktur dan biokimia tulang rawan sendi. Dalam : Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Editor Sudoyo AW dkk. Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta
2006:1103-05.
Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi: Infeksi dan Inflamasi. Ed 3. 2008. Hal
132-41. Jakarta : PT Yarsif Watampone.
Medicenet.

Osteoartritis.

Available

at

:http://

www.

medicinenet.com

script/main/art.asp?articlekey=90187
Barrack L, Booth E, et all. 2006. OKU : Orthopaedic Knowledge Update 3. Hip and
Knee Reconstruction Chapter 16 : Osteoarthritis dan Arthritis Inflamatoric.
Chapman, Michael W et al. 2001. Chapmans Orthopaedic Surgery 3rd edition.
Chapter 107: Osteotomies of The Knee For Osteoarthritis. Lippincott Williams &
Wilkins. USA
Isbagio, Harry. 2000. CDK: Struktur Rawan Sendi dan Perubahannya pada
Osteoartritis. Cermin Dunia Kedokteran.
Tarigan, Pangarapan. Osteoartritis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I
edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 1996 :
Mansjoer, Arif., dkk. Osteoartritis. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran jilid 1 edisi
ketiga. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 1999 : 535-6

Anda mungkin juga menyukai