Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker prostat dan hiperplasia prostat jinak adalah dua penyakit prostat
utama yang meningkat sejalan dengan usia yang semakin menua. Tingkat insiden
kedua penyakit ini cenderung meningkat. Secara khusus, dalam jumlah kematian
akibat kanker prostat. Diprediksi jumlah individu yang terkena akan melebihi
orang-orang dari kanker lambung, insiden penyakit ini menempati urutan kedua
setelah kanker paru-paru pada tahun 2020.1
Amerika Serikat memiliki insiden tertinggi kanker prostat, dan kanker
prostat adalah penyebab kematian kedua setelah kanker paru-paru, tetapi telah
terjadi penurunan angka kematian dari kanker prostat sejak tahun 1990-an.1
Prostat hiperplasia merupakan kelainan yang sering dijumpai di klinik
urologi di Indonesia. Di Jakarta prostat hiperplasia merupakan kelainan kedua
tersering setelah batu saluran kemih. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM),
Sub bagian urologi, setiap tahun ditemukan antara 200-300 penderita baru dengan
prostat hiperplasia.2,3
Di seluruh dunia, diperkirakan bahwa kira-kira 50% kaum pria yang
berusia diatas 60 tahun mengalami keluhan hipertrofi prostat, antara 15% sampai
30% dari kaum pria ini mempunyai keluhan Lower Urinary Tract Symptom
(LUTS), pada usia 80 tahun insidens meningkat menjadi 90%. Sedangkan
menurut Letran dan Brawer pada tahun 1999 di Amerika Serikat hampir 1 dari 4
lanjut usia pria diatas usia 80 tahun mengeluhkan gejala saluran kemih bagian
bawah (LUTS) sebagai akibat dari pembesaran kelenjar prostat, timbulnya nodul
mikroskopik di kelenjar prostat sudah terlihat pada usia 25-30 tahun, dan terdapat
60% pria berusia 60 tahun, sedangkan pada usia 85 tahun terdapat 90% penderita.
Dari sebagian penderita ini dapat berkembang menjadi retensi urine total/sindrom
prostatismus akut atau mengalami insufisiensi ginjal akibat retensi urine kronis.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Prostat
Prostat merupakan organ kelenjar fibromuskular yang mengelilingi
uretra pars porstatika. Prostat mempunyai panjang kurang lebih 1 inci
(3cm) dan terletak diantar kolum vesica diatas diafragma urogenital
dibawah. Prostat dikelilingi oleh kapsula fibrosa. Diluar kapsula
terdapat selubung fibrosa, yang merupakan bagian lapisan visera fasia
pelvis. Prostata yang berbentuk kerucut mempunyai basis prostata yang
terletak di superior dan berhadapan dengan kolum vesika dan apex
prostata yang terletak di inferior dan berhadapan dengan diafragma
urogenitalia. Kedua duktus ejakulatorius menembus bagian atas fasia
posterior prostata untuk bermuara ke uretra pars prostatika pada pinggir
lateral utrikulus prostatikus.5
Hubungan pada bagian superior, basis prostata berhubungan
dengan kolum vesika. Otot polos prostata terus melanjut tanpa putus
dengan otot polos kolum vesika. Uretra masuk pada bagian tengah basis
prostata. Hubungan pada bagian inferior, apex prostata terletak pada
fasia superior diafragma urogenitalia. Uretra meninggalkan prostata
tepat di atas apex pada fasia anterior. Hubungan ke anterior, fasia
anterior prostata berbatasan dengan simfisis pubika yang dipisahkan
oleh

lemak

ekstraperitoneal

yang

terletak

di

dalam

spatium

retropubikum (kavum Retzius). Selubung fibrosa prostat berhubungan


dengan aspek posterior os pubis oleh ligamentum puboprostatika.
Ligamneta ini terletak di samping kanan dan kiri linea mediana dan
merupakan penebalan fasia pelvis. Hubungan ke posterior, fasia
posterior prostata berhubungan erat dengan fasia anterior ampulla rekti

dan dipisahkan dari rektum oleh septum retivesika (fasia Denonviller).


Septum ini dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah
eksavatio rektovesikalis peritonealis, yang semula meluas ke bawah
sampai ke korpus perineal. Hubungan ke Lateral, fasia lateralis prostata
difiksasi oleh serabut anterior muskulus levator ani pada saat serabut ini
berjalan ke posterior dari pubis.5
Kelenjar prostata yang jumlahnya banyak tertanam di dalam
campuran otot polos dan jaringan ikat, dan duktusnya bermuara ke
uretra pars prostatika. Prostata secara tidak smepurna terbagi menjadi
lima lobus. Lobus anterior terletak di depan uretra dan tidak
mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius atau lobus medianus
adalah kelenjar berbentuk baji yang terletak di antara uretra dan duktus
ejakulatorius. Permukaan atas lobus medius berhubungan dengan
trigonum vesika yang mengandung banyak kelenjar. Lobi prostata
dextra dan sinistra terletak di samping uretra dan dipisahkan satu
dengan yang lain oleh alur vertikal dangkal yang terdapat pada fasia
posterior prostata. Lobi lateralis mengandung banyak kelenjar.5
Fungsi prostata adalah menghasilkan cairan tipis seperti susu yang
mengandung asam sitrat dan fosfatase asam. Cairan ini ditambahkan ke
semen pada waktu ejakulasi. Bila otot polos pada kapsula dan stroma
berkontraksi, sekret yang berasal dari banyak kelenjar di peras masuk
ke uretra pars prostatika. Sekret prostata bersifat alkalis dan membantu
menetralkan suasana asam di dalam vagina.5
Perdarahan pada prostata cabang arteri vesikalis dan arteri rektalis
media. Vena membentuk plexus venosus prostatikus, yang terletak di
anatra kapsula prostatika dan selubung fibrosa. Plexus venosus
prostatikus menampung darah dari vena dorsalis profunda penis dan
sejumlah vena vesika, selanjutnya bermuara ke vena iliaka interna.
Pembuluh limfe dari prostata mengalirkan cairan limfe ke nodi iliaki

interni. Persarafan prostata berasal dari plexus hipogastrikus inferior.


Saraf simpatis merangsang otot polos prostata saat ejakulasi.5
2.1.2 Uretra Pars Prostatika
Uretra pars prostatika mempunyai panjang 1 inci (3 cm) dan
berasal dari kolum vesika. Uretra pars prostatika berjalan dari basis
prostata sampai ke apex prostata, selanjutnya di apex prostata
diteruskan sebagai uretra paras membranasea. Uretra pars prostatika
merupakan bagian yang paling lebar dan berdiameter terbesar dari
seluruh uretra. Pada dinding posterior terdapat peninggian longitudinal
yang disebut krista uretralis. Pada setiap sisi krista terdapat alur yang
disebut sinus prostatikus, glandula prostata bermuara pada sinus ini.
Pada puncak krista uretralis terdapat cekungan, disebut utrikulus
prostatikus, yang analog dengan uterus dan vagina pada perempuan.
Pada pinggir utrikulus terdapat muara kedua duktus ejakulatorius.5
2.1.3 Fasia Pelvis Viseralis
Fasia pelvis viseralis merupakan suatu lapisan jaringan ikat yang
meliputi dan menyokong visera pelvis. Fasia ini mengisi ruangan di
antara visera dan menyokong pembuluh darah, pembuluh limfe, dan
saraf-saraf yang berjalan menuju visera. Fasia mengalami kondensasi
untuk

membentuk

selubung

fasia

prostata

dan

ligamenta

puboprostatika. Fasia viseralis di bawah melanjutkan diri sebagai fasia


yang meliputi permukaan atas muskulus levator ani dan muskulus
kosigeus, beserta fasia pelvis parietalis pada dinding pelvis.5
2.1.4 Peritoneum
Peritoneum berjalan turun dari dinding anterior abdomen ke fasia
vesika. Selanjutnya, peritoneum berjalan ke bawah pada fasia posterior
vesika sampai mencapai ujung atas vesika seminalis. Dari sini,
peritoneum melipat ke belakang untuk mencapai fasia anterior rektum,
membentuk exkavatio rektovesikalis yang dangkal. Peritoneum
4

kemudian berjalan ke atas di depan sepertiga mesial rektum, serta


permukaan depan dan lateral sepertiga atas rektum. Kemudian,
peritoneum parietal pada dinding posterior abdomen. Selanjutnya
peritoneum terlihat sebagai bagian yang terendah dari kavitas
peritonealis, dengan pasien dalam posisi berdiri, sebagai exkatavio
rektovesika.5
Peritoneum yang meliputi fasia superior vesika berjalan ke lateral
menuju dinding lateral pelvis dan tidak meliputi fasia lateralis vesika.
Penting untuk diingat bahwa bila vesika urinaria terisi, dinding atas
akan meninggi dan masuk ke dalam abdomen sehingga vesika urinaria
berhubungan langsung dengan dinding abdomen.5

Gambar 2.1 Anatomi Prostata dan Hiperplasia Prostata5


2.2 Hiperplasia Prostat Jinak
2.2.1 Definisi
Hiperplasia prostat jinak adalah kondisi progresif yang ditandai
oleh pembesaran prostat yang disertai dengan gejala saluran kemih
bawah.6
2.2.2 Epidemiologi
Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) atau disebut juga Benigna Prostate
Hyperplasia (BPH) adalah hiperplasia kelenjar periuretral prostat yang
akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai
bedah. Umumnya proses hiperplasia mulai pada umur 30 tahun, dengan
kejadian 8% pada laki-laki 30-40 tahun, 40-50% pada laki-laki berumur
51-60 tahun dan pada umur lebih dari 80 tahun angka kejadian lebih
dari 80%. Pada umur 30-40 tahun terjadi hiperplasia mikroskopis, 4050 tahun hiperplasia makroskopis dan setelah umur 50 tahun hiperplasia
sudah menimbulkan gejalah klinik.7
World Health Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2009,
dua diantara tiga lansia diseluruh dunia yang berjumlah 600 juta, akan

hidup dan bertempat tinggal di negara-negara sedang berkembang,


kenaikan sebanyak ini akan terjadi Asia. Sampai sekarang ini, penduduk
di 11 negara anggota WHO kawasan Asia Tenggara yang berusia di atas
60 tahun berjumlah 142 juta orang dan diperkirakan akan terus
meningkat hingga 3 kali lipat di tahun 2050. Seiring dengan
meningkatnya angka harapan hidup ini, WHO memperkirakan bilangan
penderita hipertropi prostat di dunia adalah sekitar 30 juta penderita dan
akan meningkat pula pada tahun-tahun mendatang.4
Prevalensi BPH pada otopsi hampir sama pada berbagai etnis. Di
Amerika Serikat hampir 1/3 laki-laki berumur 40- 79 tahun mempunyai
gejala traktus urinarius bagian bawah sedang sampai berat dengan
penyebab utama adalah BPH. Di Indonesia Hipertropi Prostat
merupakan penyakit urutan kedua setelah batu saluran kemih. Dan jika
dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia
yag berusia 50 tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65
tahun ditemukan menderita penyakit hipertropi prostat, selanjutnya 5
persen pria Indonesia sudah masuk ke dalam lingkungan usia diatas 60
tahun. Oleh karena itu, jika dilihat dari 200 juta lebih bilangan rakyat
Indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang
berusia 60 tahun keatas kira-kira 5 juta, maka dapat dinyatakan secara
umum bahwa kira-kiran2,5 juta pria Indonesia menderita hipertopi
prostat. Indonesia kini semakin hari semakin maju dan berkembang,
dengan berkembangnya sebuah Negara, maka umur harapan hidup
semakin bertambah, maka kadar penderita Hipertropi Prostat juga turut
meningkat.4,6
Penderita bergejala di Indonesia yang berjumlah sekitar 80.000
pada tahun 1991, diperkirakan akan meningkat menjadi satu setengah
kalinya pada tahun 2031. Tapi bilangan pasti penderita hipertropi
prostat belum didapat, tetapi dapat digambarkan secara prevalensi
melalui gambaran hospital prevalence di dua rumah sakit besar di

Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-1997)


terdapat 1040 kasus.4
Sedangkan di Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar (RSIS) sub-bagian
Urologi, setiap tahun ditemukan kisaran 100 penderita baru dengan
hipertropi prostat. Pada 5 tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah
penderita hipertropi prostat. Pada tahun 2008 sebanyak 113 pasien,
tahun 2009 sebanyak 127 pasien, tahun 2010 sebayak 152 pasien, tahun
2011 sebanyak 165 pasien, dan jumlah pasien hipertropi prostat yang
masuk pada tahun 2012 sampai bulan oktober ini sebanyak 172 pasien.
Dimana pada triwulan I tahun 2012 sebanyak 61 pasien, triwulan II
2012 sebanyak 67 pasien, bulan September 2012 sebanyak 21 pasien
dan oktober 2012 sebayak 23 pasien.4
2.2.3 Etiologi
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan
testosteron dan estrogen karena produksi testosteron menurun dan
terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di
perifer. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat
sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan
mikroskopik ini terus berkembang, akan terjadi perubahan patologik
anatomik. Pada lelaki usis 50 tahun, angka kejadiannya sekitar 50%,
dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut di
atas akan menyebabkan gejala dan tandaa klinis.2,3,8,9
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan,
efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah
terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah
prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sitoskopi akan terlihat seperti
balok yang disebut trabekulasi. Mukosa dapat menerobos keluar di
antara serat detrusor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula,

sedangkan yang besar disebut divertikulum. Fase penebalan detrusor ini


disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut,
detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.8,9
Namun, ada beberapa teori yang dikemukakan, misalnya teori sel
Stem (Isaacs), berdasarkan teori ini pada keadaan normal kelenjar
periuretral dalam keadaan keseimbangan antara yang tumbuh dengan
yang mati (steadystate). Sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh
karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan
hormonal, atau faktor pencetus yang lain, maka sel Stem tersebut dapat
berproliferasi lebih cepat, sehingga terjadi hiperplasia kelenjar
periuretral.2,3
Teori kedua adalah teori Reawakening dari jaringan kembali
seperti perkembangan pada masa tingkat embrionik, sehingga jaringan
periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya. Teori ini
pernah dikemukakan oleh Mc Neal, yang juga membagi prostat menjadi
bagian zona sentral, zona periferal dan zona peralihan.2,3
Teori lain mengatakan bahwa hiperplasia disebabkan oleh karena
terjadinya perubahan keseimbangan antara testosteron dan estrogen.
Testosteron sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis, sehingga
timbulnya pembesaran prostat memerlukan adanya testis yang normal.
Testosteron dihasilkan oleh sel Leydig atas pengaruh hormon
Luteinizing Hormone (LH), yang dihasilkan kelenjar hipofisis. Kelenjar
hipofisis ini menghasilkan LH atas rangsangan Luteinising Hormone
Releasing Hormon (LHRH). Di samping testis kelenjar anak ginjal juga
menghasilkan testosteron atas pengaruh Adrenocorticotropic Hormone
(ACTH) yang juga dihasilkan oleh hipofisis. Jumlah testosteron yang
dihasilkan oleh testis kira-kira 90% dari seluruh produksi testosteron,
sedang yang 10% dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Sebagian besar
testosteron dalam tubuh berada dalam keadaan terori bebas dan
10

testosteron bebas inilah yang memegang peranan dalam proses


terjadinya inisiasi pembesaran prostat. Testosteron bebas ini dengan
pertolongan enzim 5-alfa reduktase akan dihidrolise menjadi Dihidro
Testosteron (DHT). Dalam bentuk DHT inilah yang kemudian akan
diikat oleh reseptor yang berada di dalam sitoplasma sel prostat
sehingga membentuk DHT-Reseptor kompleks yang kemudian akan
masuk ke dalam inti sel dan akan mempengaruhi asam Ribo Nukleat
(RNA) untuk menyebabkan terjadinya sintesis protein sehingga dapat
terjadi proliferasi sel.2,3
2.2.4 Patofisiologi
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala
dan tanda obstruksi saluran kemih adalah penderita harus menunggu
keluarnya kemih pertama, miksi terputus, menetes dan pada akhir
miksi, pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis
miksi. Gejala obstruksi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor
berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan
disuria. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna
pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum
penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan
klinis.2,3,8,9
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin
sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung
kemih, dan timbul rasa tidak puas pada akhir miksi. Jika keadaan ini
berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga
penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi,
pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga
tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan intravesika
menjadi lebih tinggi dari pada tekanan sfingter dan obstruksi, akan
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks
11

vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses


kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi,
penderita

harus

selalu

mengedan

sehingga

lama-kelamaan

menyebabkan hernia atau hemoroid.5,8,9


Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di
dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis
dan bila menjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis. Selain batu yang
menyebabkan sistitis, sistitis juga dapat terjadi bila urin yang tertimbun
menjadi infeksi sehingga terjadi peradangan pada vesika urinaria.5,8,9
Oleh karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahanlahan maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi
secara perlahan-lahan. Perubahan patofisiologik yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi
uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika, dan kekuatan
kontraksi detrusor. Secara garis besar detrusor dipersarafi oleh sistem
para simpatis sedang trigonum dan leher vesika dan prostat oleh sistem
simpatis. Pada taraf awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan
terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat,
kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan
kontraksi lebih kuat.2,3
Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan
penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat
sebagai balok-balok yang tampak apabila dilihat dari dalam vesika
dengan sistoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara
serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil
dinamakan sakula dan apabila besar disebut divertikel. Fase penebalan
detrusor ini disebut fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor
akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan

12

tidak mampu lagi untuk kontraksi sehingga akan terjadi retensi urin
total.2,3
2.2.5 Penegakkan Diagnosa
Diagnosis BPH dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang mendalam. Saat melakukan anamnesis, perlu ditanyakan apakah
pasien merasakan gejala BPH yang dibedakan menjadi gejala iritatif
dan obstruktif. Gejala iritatif terdiri dari sering berkemih (frequency),
tergesa-gesa ketika akan berkemih (urgency), berkemih di malam hari
lebih dari satu kali (nocturia), serta sulit menahan hasrat untuk
berkemih (urge incontinence). Sementara, gejala obstruktif meliputi
pancaran berkemih yang lemah, tidak lampias setelah berkemih,
menunggu lama ketika ingin berkemih (hesitancy), mengedan ketika
berkemih (straining), terputus- putus saat berkemih (intermittency),
serta keluarnya urin tidak dapat dikontrol akibat volume urin yang
melebihi kapasitas buli (overflow incontinence). Gejala obstruktif dan
iritatif tersebut juga disusun dalam bentuk skor, dengan sistem skoring
yang paling sering dipakai adalah International Prostate Scoring
System (IPPS). Dari anamnesis gejala ini dapat ditentukan diagnosis
banding sesuai dominasi gejala yang dirasakan.10
Selain gejala obstruktif dan gejala iritatif, pada anamnesis harus
pula ditanyakan mengenai riwayat penyakit metabolik (terutama
diabetes melitus), penyakit saraf, infeksi saluran kemih, batu saluran
kemih, riwayat hematuria, riwayat pembedahan, dan riwayat pemakaian
obat-obatan (terutama parasimpatolitik). Setelah anamnesis dilakukan,
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik pada pasien yang dicurigai
mengalami BPH juga harus dilakukan secara komprehensif, meliputi
status generalis, status neurologis, dan status urologis. Pada
pemeriksaan urologis, penting diperiksa apakah terdapat pembesaran
ginjal, nyeri ketok sudut kostofrenikus, vesika urinaria yang teraba
penuh, serta kelainan genitalia eksterna seperti stenosis atau striktur.10

13

Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus


sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam
rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur, harus
diperhatikan konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak
konsistensinya kenyal), adakah asimetris, adakah nodul pada prostat,
apakah batas dapat diraba dan apabila batas atas dapat diraba biasanya
berat prostat diperkirakan kurang dari 60 gram.. Pada karsinoma
prostat, prostat teraba keras atau teraba benjolan yang konsistensinya
lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat asimetris dengan bagian
yang lebih keras. Dengan colok dubur dapat pula diketahui batu prostat
bila teraba krepitasi.2,3,8,9
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah
sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur
urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula
diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah
miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas
untuk indikasi melakukan intervensi pada hiperplasia prostat. Derajat
berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada
waktu miksi, yang disebut uroflowmetri.8,9
Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 mL/detik dan
pancaran maksimal sampai sekitar 20 mL/detik. Pada obstruksi ringan,
pancaran menurun antara 6-8 mL/detik, sedangkan maksimal pancaran
menjadi 15 mL/detik atau kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi
infravesikal tidak dapat dibedakan dengan pengukuran pancaran
kemih.8,9
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga
mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan
urolitiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi
maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara
teratur.8,9
14

Derajat Berat Hiperplasia Prostat berdasarkan Gambaran Klinis


Derajat
I
II

Colok Dubur
Sisa Volume Urin
Penonjolan prostat, batas atas mudah < 50 Ml
diraba
Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat 50 100 mL
dicapai
Batas atas prostat tidak dapat diraba

III
> 100 mL
IV
Retensi urin total
Tabel 2.1 Derajat Berat Hiperplasia Prostat berdasarkan
Gambaran Klinis8,9

WHO Prostate Symptom Score (WHO PSS)


Pertanyaan
Keluhan pada bulan terakhir

Tidak ada

a. Apakah Anda merasa buli-buli tidak kosong setelah

sama sekali
0

buang air kecil?


b. Berapa kali Anda hendak buang air kecil lagi dalam

Jawaban dan Skor


< 20% <50% 50

>50

Hampir

%
3

%
4

Selalu
5

waktu 2 jam setelah buang air kecil?


c. Berapa kali terjadi bahwa arus kemih berhenti
sewaktu buang air kecil?
d. Berapa kali anda terjadi tidak dapat menahan
kemih?
e. Berapa kali terjadi arus lemah sekali waktu buang
air kecil?
f. Berapa kali anda mengalami kesulitan memulai

15

buang air kecil?


g. Berapa kali anda bangun untuk buang air kecil di

waktu malam?
h. Andaikata cara buang air kecil anda seperti
sekarang ini akan seumur hidup tetap seperti ini,
bagaimanakah perasaan anda?
Jumlah Skor:
0 = baik sekali
1 = baik
2 = kurang baik
3 = kurang
4 = baik
5 = buruk sekali
Tabel 2.2 WHO Prostate Symptom Score (WHO PSS)8,9
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu menegakkan
diagnosis BPH terdiri dari pemeriksaan darah perifer lengkap, kadar
ureum dan kreatinin serum, kadar elektrolit serum, Prostate Specific
Antigen (PSA), urinalisis, serta biakan kuman pada urin. Bila
didapatkan kadar PSA lebih dari 4 ng/mL, maka harus dilakukan
biopsi prostat. Selain itu, Uroflowmetry juga penting di lakukan untuk
mengukur pancaran urin maksimal, pancaran urin rata-rata, waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, juga lama
pancaran urin.10
Pemeriksaan urin dapat memberi keterangan adanya kelainan lain
yang penting yang harus diperhatikan dalam penanganan penderita
selanjutnya, seperti adanya diabetes melitus, proteinuria yang dapat
memberi petunjuk adanya gangguan pada ginjal, lekositosuria yang
harus dipikirkan adanya infeksi, hematuria mikroskopik yang harus
dipikirkan adanya batu atau keganasan. Kadar ureum atau Blood Urea
Nitrogen (BU), kreatinin dan elektrolit pada darah dapat memberi

16

gambaran mengenai fungsi ginjal. Selain itu biakan kuman urin dan test
sensitivitas dapat memberi keterangan adanya infeksi dan sekaligus
identifikasi kuman dan pemilihan antibiotika yang tepat.2,3
Dengan pemeriksaan radiologik, seperti foto polos perut dan
pielografi intravena yang sangat terkenal dengan istilah BNO (Buik
Nier Overzicht) dan IVP (Intra Venous Pyelograph), dapat diperoleh
keterangan mengenai penyakit ikutan, misalnya batu saluran kemih,
sumbatan ginjal (hidronefrosis), adanya divertikel pada buli, dan kalau
dibuat foto setelah miksi akan dapat dilihat sebagai filling defect pada
dasar vesika yang sering disebut adanya identasi prostat atau
divertikulum kandung kemih. Kalau dibuat foto setelah miksi, dapat
dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek
isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung,
pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-buli pada
gambaran sistogram tampak terangkat atau ujung distal ureter
membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Apabila fungsi ginjal
buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah
dipasang kateter menetap, dapat dilakukan sistogram retrograd.2,3,8,9
Ultrasonografi dapat bermanfaat mengukur volume prostat dan
penuntun pada saat dilakukan biopsi. Ultrasonografi dapat dilakukan
transabdominal atau transrektal (transrectal ultrasonography, TRUS).
Selain

untuk

mengetahui

pembesaran

prostat,

pemeriksaan

ultrasonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa


urin, dan keadaan patologi lain seperti divertikulum, tumor, dan batu.
Dengan ultrasonografi transrektal, dapat diukur besar prostat untuk
menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula
dilakukan dengan ultrasonografi suprapubik. CT-Scan atau MRI jarang
dilakukan oleh karena cara pemeriksaan ini mahal dan keterangan yang
diperoleh tidak terlalu banyak dibandingkan dengan cara lain.2,3,7,8,9,12

17

Pemeriksaan
ditemukan

sistografi

hematuria

dilakukan

atau

pada

apabila

pada

anamnesis

pemeriksaan

urin

ditemukan

mikrohematuria. Pemeriksaan untuk ini dapat memberi gambaran


kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan
dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen di
dalam vesika. Selain itu, sistoskopi dapat juga memberi keterangan
mengenai besar prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika
dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.8,9
Di sisi lain, derajat obstruksi prostat dapat dinilai dengan
pemeriksaan urodinamik (pressure flow study). Pemeriksaan ini
diindikasikan pada pasien berusia kurang dari 50 tahun atau pasien
berusia lebih dari 80 tahun dengan volume residual urin lebih dari 300
mL, pancaran urin maksimal lebih dari 10 mL/detik, pasca pembedahan
radikal di daerah pelvis, gagal setelah diterapi invasif, serta bila
dicurigai adanya buli neurogenik.10
2.2.7 Diagnosa Banding
Proses miksi bergantung pada kekuatan kontraksi detrusor,
elastisitas leher kandung kemih dengan tonus ototmya, dan resistensi
uretra. Setiap kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga
faktor tersebut. Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh kelainan
saraf (kandung kemih neurogenik), misalnya pada lesi medula spinalis,
neuropati diabetes, bedah radikal yang mengorbankan persarafan di
daerah pelvis, penggunaan obat penenang, obat penghambat reseptor
ganglion, dan parasimpatolitik. Kekakuan leher vesika disebabkan oleh
pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher kandung kemih,
batu di uretra, atau striktur uretra. Kelainan tersebut dapat dilihat
dengan sistoskopi.2,3,8,9
Diagnosis banding BPH pada pasien yang merasakan gejala iritatif
ialah instabilitas destrusor, karsinoma buli, infeksi saluran kemih,

18

prostatitis, batu ureter distal, dan batu buli. Sementara diagnosis


banding BPH berdasarkan gejala obstruktifnya ialah striktus uretra,
kontraktur leher vesika, batu buli, karsinoma prostat, dan kelemahan
detrusor.10
2.2.8 Penatalaksanaan
Penderita datang ke dokter bila hiperplasia prostat telah
memberikan keluhan klinis. Derajat berat gejala klinis dibagi menjadi
empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume
urin. Organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO)
menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang
disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptom Score). Skor ini dihitung
berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai
miksi.2,3,8,9
Terapi nonbedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15.
Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO
PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 keatas atau bila timbul
obstruksi.8,9
Di dalam praktek pembagian besar prostat derajat I-IV digunakan
untuk menentukan cara penanganan. Penderita derajat satu biasanya
belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif,
misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin,
prazosin, tetrazosin, dan tamsulosin. Keuntungan obat penghambat
adrenoreseptor alfa adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi
tidak

memengaruhi

proses

hiperplasia

prostat

sedikit

pun.

Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian


lama.2,3,8,9,12
Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan.
Biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra, yaitu Trans
Urethral Resection (TUR). Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbilitas

19

sekitar 8%. Kadang derajat dua dapat dicoba dengan pengobatan


konservatif. Pada derajat tiga, reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh
pembedah yang cukup berpengalaman untuk melakukan TUR oleh
karena biasanya pada derajat tiga besar prostat sudah lebih dari 60
gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi
tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan
terbuka. 2,3,8,9,12
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal,
retropubik atau perineal. Operasi terbuka dapat dilakukan melalui route
transvesikel yaitu dengan membuka vesika dan prostat dinukleasi dari
dalam vesika. Pada operasi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut
bagian bawah menurut Pfannenstiel, kemudian prostat dienukleasi dari
dalam simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus untuk
mengangkat

batu

buli-buli

atau

divertikelektomi

apabila

ada

divertikulum yang cukup besar. Cara pembedahan retropubik menurut


Millin dikerjakan melalui sayatan kulit Plannenstiel dengan membuka
simpai prostat tanpa membuka kandung kemih, kemudian prostat
dienukleasi. Cara ini mempunyai keunggulan, yaitu tanpa membuka
kandung kemih sehingga pemasangan kateter tidak lama seperti bila
membuka vesika. Kerugiannya, cara ini tidak dapat dipakai kalau
diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam kandung
kemih. Kedua cara pembedahan terbuka tersebut masih kalah
dibandingan dengan cara TUR, yaitu morbiditasnya yang lebih lama,
tetapi dapat dikerjakan tanpa memerlukan alat endoskopi yang khusus,
dengan alat bedah baku. Prostatektomi melalui sayatan perineal tidak
dikerjakan lagi.2,3,8,9
Pada hipertrofi derajat empat, tindakan pertama yang harus segera
dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan
memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif

20

untuk TUR atau pembedahan terbuka. Untuk penderita yang oleh


karena keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan operasi dapat
diusahakan pengobatan konservatif.2,3,8,9
Pengobatan konservatif lain ialah dengan pemberian obat
antiandrogen yang menekan produksi Luteinizing Hormone (LH).
Kesulitan pengobatan konservatif ini ialah menentukan berapa lama
obat harus diberikan dan efek samping obat. Pengobatan lain yang
invasif menimal ialah pemanasan prostat dengan gelombang mikro
yang disalurkan ke kelenjar prostat memalui antena yang dipasang pada
ujung kateter. Dengan cara yang disebut Transurethral Microwave
Thermotherapy (TUMT) ini, diperoleh hasil perbaikan kira-kira 75%
untuk gejala objektif.8,9
Pada penanggulangan invasif minimal lain, yang disebut
Transurethral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy
(TULIP). Digunakan cahaya laser. Dengan cara ini, diperoleh juga hasil
yang cukup memuaskan. Uretra di daerah prostat juga dapat didilatasi
dengan balon yang dikembangkan di dalamnya Transurethral Ballon
Dilatation (TUBD) yang biasanya memberi perbaikan yang bersifat
sementara.8,9,12

21

Bagan 2.1 Algoritma Penatalaksanaan Hiperplasia Kelenjar Prostat13


2.2.9 Komplikasi
Komplikasi prostat jinak hiperplasia, adalah: retensi urin akut,
infeksi saluran kemih, kerusakan kandung kemih, kerusakan ginjal,
kencing batu dan urin mengandung darah.11

22

BAB III
STATUS PASIEN BEDAH

I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. AP

Tanggal Lahir

: 3 Februari 1953

Usia

: 63 tahun

Agama

: KP

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Status

: Menikah

Pekerjaan

: Wiraswasta

Alamat

: Sangkarnihuta

Tanggal Masuk

: 23-Februari-2016

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Anamnesis

: Tidak bisa buang air kecil


: Hal ini sudah dialami pasien 1 minggu SMRS dan
memberat 1 hari yang lalu. Nyeri saat BAK dijumpai.
Pancaran BAK lemah, putus-putus dan rasa tidak puas
saat BAK. Os juga mengaku sering terbangun pada malam
hari untuk BAK serta BAK sulit untuk ditahan. BAB (+)
normal

23

III.

STATUS GENERALISATA
Sensorium

= CM

TD

= 130/80 mmHg

Temp = 36,50C

HR

= 89 x/i

SpO2 = 98% FA

RR

= 20x/i

A. Kepala
1. Kepala
2. Mata

: Dalam batas normal


: Konjungtiva Palpebra Inferior Pucat (-)/(-)
Sklera Ikterik (-)/(-)
RCL (+/+, Ka = Ki), RCTL (+/+, Ka = Ki)
Pupil (Isokor) Ki/Ka 3 mm
: Dalam batas normal
: Dalam batas normal
: Dalam batas normal

3. Telinga
4. Hidung
5. Mulut
B. Leher
1. TVJ R -2 cmH2O
2. Pembesaran KGB (-)
3. Trakea Medial (+)
C. Thoraks
1. Inspeksi
: Simetris Fusiform (+)
Retraksi (-)
2. Perkusi
: Sonor (+) pada ke-2 lapangan paru
Batas atas jantung ICS II Sinistra
Batas jantung kanan ICS V garis parasternalis
Batas jantung kiri ICS VI midclavikularis sinistra 1cm medial
3. Palpasi
: Krepitasi (-)
Nyeri Tekan (-)
Stem Fremitus Kiri=Kanan (+) kesan normal
4. Auskultasi
: SP = Vesikuler (+); Gallop (-); Murmur (-)
ST = Desah (-)
Suara Tambahan Ronkhi basah/Ronkhi kering/Wheezing (-)
D. Abdomen
1. Inspeksi
: Simetris
Distensi pada regio suprapubik
2. Perkusi
: Timpani
3. Palpasi
: Soepel
Nyeri Tekan (+) pada regio suprapubik
Hepar/Lien/Renal tidak teraba
Kesan: Fullblast

24

4. Auskultasi
E. Ektremitas
1. Atas
2. Bawah

: Peristaltik (+) dalam batas normal


Double Sound (-)
: Oedem Pretibia (-)/(-); Akral hangat
: Oedem Pretibia (-)/(-); Akral hangat

F. Digital Rectal Examination


1. Perineum normal
2. Sfingter ani ketat
3. Mukosa licin
4. Prostat teraba dengan konsistensi kenyal
5. Polle atas tidak teraba simetris
6. Tidak ada nyeri
7. Tidak terdapat massa
8. Pada sarung tangan tidak dijumpai adanya darah dan lendir serta feses
dijumpai

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan di: IGD Tgl: 23-Februari-2016
Jenis Pemeriksaan
Hasil Laboratorium
Hemoglobin
13,0 gr/dL
Eritrosit
5,30 x 106/mm3
Leukosit
11.500/mm3
Trombosit
250.000/mm3
Hct
36,5%
KGDs
137 mg/dL
KESAN : Leukositosis
Rencana Pemeriksaan:
1. USG
2. Pemeriksaan PSA
3. Biopsi

V. DIAGNOSA BANDING
1. Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)
2. Kanker Prostat
25

Nilai Normal
12-18 gr%
4-5 x 106/mm3
4.000 10.000/mm3
250.000/mm3
36-47%
20-200 mg/dL

3. Prostatitis
VI.

DIAGNOSA KERJA
Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)

VII.

TERAPI DAN RENCANA

Bed Rest

IVDF RL 20 gtt/i makro

Inj.Cefotaxime vial 1gr/12 jam

Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam

Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam

Pemasangan kateter

Diet M II

Rujuk ke dokter spesialis bedah

26

BAB IV
PEMBAHASAN

Kasus
1. Laki-laki, usia 63 tahun

Pembahasan
1. Hal ini sesuai dengan dasar teori
bahwa dengan bertambahnya usia,
akan

terjadi

keseimbangan

perubahan

testosteron

dan

estrogen karena produksi testosteron


menurun

dan

terjadi

konversi

testosteron menjadi estrogen pada


BAK

jaringan adiposa di perifer.


2. Hal ini sesuai dengan teori bahwa

lemah, putus-putus dan rasa tidak

tumor prostat hiperplasia terdiri dari

puas saat BAK (+), sering terbangun

gejala

pada malam hari untuk BAK serta

urgency, nocturia, urge incontinence

BAK sulit untuk ditahan.

dan gejala obstruktif yaitu hesitancy,

2. Nyeri saat BAK, Pancaran

iritatif

yaitu

frequency,

straining, intermittency, dan overflow


3. Pada DRE djumpai prostat teraba
dengan konsistensi kenyal

incontinence.
3. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
pada

pemeriksaan

pembesaran
konsistensinya

colok

prostat
kenyal

dubur
jinak

sedangkan

pada kanker prostat konsistensinya


keras.

27

4. Pasien tergolong dalam derajat III

4. Hal ini sesuai dengan dasar teori

dimana pada DRE polle atas tidak

dimana batas atas yang tidak teraba

teraba.

berdasarkan

tabel

hiperplasia

prostat

derajat

berat

berdasarkan

gambaran klinis termasuk kedalam


derajat III.

28

BAB V
KESIMPULAN

Seorang pria berumur 63 tahun datang ke IGD RSU HKBP Balige dengan keluhan
tidak bisa buang air kecil. Hal ini sudah dialami pasien 1 minggu dan memberat
1 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri saat BAK dijumpai. Pancaran
BAK lemah, putus-putus dan rasa tidak puas saat BAK (+). Os juga mengaku
sering terbangun pada malam hari untuk BAK serta BAK sulit untuk ditahan.
BAB (+) normal. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kesan
leukositosis. Kemudian dilakukan penatalaksanaan berupa pemberian obat dan
pemasangan kateter.

29

DAFTAR PUSTAKA

1. Suzuki K.2009. Epidemiology of Prostate Cancer and Benign Prostatic


Hyperplasia. JMAJ 52(6): 478-483.
2. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi. Dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
Pusponegoro D A, dkk, editor. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo.h.160-9.
3. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi. Dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
Pusponegoro D A, dkk, editor. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo.h.161-70.
4. Rasyidin Z, dkk.2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadin
Hipertropi Prostat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit IBNU Sina
Makassar. Vol.2.No.3.hal.1-7.
5. Snell R S. 2006. Pelvis: Bagian II Cavitas Pelvis. Dalam: Anatomi Klinik
untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Hartanto H, dkk, editor. Jakarta:
EGC.h.350-3.
6. Chan S W. 2011. Pathology and Medical Therapy of Benign Prostatic
Hyperplasia. Medical Bulletin. Vol.16.No.6.hal.4-8.
7. Kidingallo Y,dkk. 2011. Kesesuaian Ultrasonografi Transabdominal dan
Transrektal pada Penentuan Karateristik Pembesaran Prostat. JST
Kesehatan, Juli.Vol.1.No.2: 158-64.
8. Sjamsuhidajat R,dkk. 2010. Saluran Kemih dan Alat Kelamin Lelaki.
Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC.h.663-72;899-903.
9. Sjamsuhidajat R,dkk. 2004. Saluran Kemih dan Alat Kelamin Lelaki.
Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC.h.782-8.
10. Chondroitin VS Ca Prostat. 2012. Natural Harmony. Vol.2.hal.28-32.
11. Prostate Enlargement: Benign Prostatic Hyperplasia. National Kidney and
Urology Disease Information Clearninghouse.2014.hal.1-19.
12. R Praveen. Benign Prostatic Hyperplasia: Updated Review.2013.
Int.Res.J.Pharm.4(8).hal.45-51.

30

13. Barkin J. 2011. Benign Prostatic Hyperplasia and Lower Urinary Tract

Symptoms: Evidence and Approaches for Best Case Management.


18(Supplement1).hal.14-9.

31

Anda mungkin juga menyukai