BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak pertengahan tahun 1990-an, istilah sinusitis diganti menjadi
rinosinusitis. Menurut American Academy of Otolaryngology Head & Neck
Surgery 1996 istilah sinusitis diganti dengan rinosinusitis (RS) karena dianggap
lebih akurat dengan alasan:1,2
1). Secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung
2). Sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis
3). Gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia dijumpai pada rinitis
ataupun sinusitis.
Perkembangan penelitian mengenai patofisiologi, penegakan diagnosis, dan
penatalaksanaan kelainan pada sinus secara singkat dapat dilihat dalam dua
rekomendasi para ahli yang dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa. Para ahli
di Amerika Serikat, melalui rekomendasi Rhinosinusitis Task Force (RSTF)
pada tahun 1996, merekomendasikan bahwa rinosinusistis didiagnosis
berdasarkan gejala klinis, durasi gejala, pemeriksaan fisis, nasoendoskopi dan
tomografi komputer.3
Namun demikian, gejala dan tanda klinis pada semua penderita inflamasi
kronik pada sinus tampak tumpang tindih, baik pada penderita yang disertai
polip hidung atau tanpa polip hidung. Para ahli di Eropa, melalui rekomendasi
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS)
menegaskan bahwa perbedaan antara penderita polip hidung dan rinosinusitis
kronik harus berdasarkan pemeriksaan nasoendoskopi. Selain itu, rekomendasi
ini menegaskan bahwa polip hidung merupakan subkelainan dari rinosinusitis
kronik.4
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis dan bila mengenai
seluruh sinus paranasal, disebut pansinusitis. Sinus maksila sering terkena,
kemudian sinus etmoid, sinus frontal dan sinus sfenoid. Penyakit ini berasal dari
perluasan infeksi hidung, gigi, faring, tonsil atau adenoid. Tetapi dapat juga
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
b) Sinus Frontal
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga
sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Kadangkadang juga ada sinus yang rudimenter, tetapi tidak ada yang tak terbentuk
sama sekali. Mungkin ada septum tulang yang membagi sinus menjadi satu
kompartemen atau lebih. Sinus ini berhubungan dengan meatus medius
melalui duktus nasofrontal, yang berjalan kebawah dan kebelakang dan
bermuara
pada
infundibulum
bagian
atas.
Kadan-kadang
kanalis
Ukuran ostium sinus sfenoid berkisar antara 0,5 sampai 4mm dan
letaknya kira-kira 10-20 mm di atas dasar sinus sehingga kurang
menguntungkan dari segi drainase menurut gravitasi. Bila ada atrofi konka
atau ada deviasi septum ke sisi yang berlawanan, mungkin ostium ini akan
tampak pada pemeriksaan rhinoskopi anterior.5
Perdarahan sinus sfenoid meliputi cabang arteri sfenopalatina dan arteri
etmoidalis posterior, sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan
pleksus pterigoid.Inervasi persarafan dari sinus sfenoid ini berasal dari
cabang nervus etmoidalis posterior dari nervus optalmikus (V1), dan cabang
nasal dan sfenopalatina dari nervus maksilaris.5
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoidalis
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri
karotis eksterna. Bagian bawah mendapat pendarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatine mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki rongga
hidung di belakang ujung konka media. Bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri edmoidalis anterior,
arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang di sebut pleksus
kisselbach.6
Hidung luar diinervasi oleh divisi oftalmika. Intocoklearis yang membawa
sensasi dari dorsum nasi bagian tulang dan n. Nasalis eksternus yang membawa
sensasi atap hidung bagian caudal. Pada kavum nasi dan sinus, N. Ethmoidalis
anterior cabang n.Oftalmika membawa sensasi dari kavum nasi bagian antrosuperior, septum dan sinus ethmoidalis, N.ethmoidalis posterior rmembawa
sensasi dari cavum nasi posterior dan sinus yang berdekatan, N.Supraorbital dan
supratroclear membawa sensasi dari sinus frontalis. 5
2.3. Fisiologi Sinus Paranasal
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2)
10
11
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena
mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.6
2.4. Definisi Rinosinusitis
Rinosinusitis (termasuk polip nasi) didefinisikan sebagai inflamasi hidung
dan sinus paranasal yang ditandai adanya dua atau lebih gejala, salah satunya
harus termasuk sumbatan hidung/ obstruksi nasi/ kongesti atau pilek (sekret
hidung anterior/ posterior).7
2.5. Epidemiologi Rinosinusitis
Insiden rinosinusistis akut dan kronis terus meningkat, diperkirakan sekitar
10 - 15 % terjadi pada populasi di Eropa Tengah setiap tahunnya. Di Amerika
Serikat terdapat 30 juta kasus rinosinusitis akut bakterial setiap tahunnya, di
negara ini jumlah penderita sinusitis akut yang berobat ke dokter adalah 0,5
2,0 % pada dewasa dan 5 10 % pada anak dari semua penyakit infeksi saluran
napas atas.13
Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005
menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435
pasien, 69%nya adalah sinusitis.10
Survei pendahuluan di bagian Rinologi-alergi Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung dan Tenggorok (THT) Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) didapatkan
angka kunjungan penderita rinosinusitis akut periode Januari-Desember 2009
tercatat 260 kasus, terdiri dari 121 laki-laki dan 139 perempuan.14
2.6. Etiologi Rinosinusitis
1. Rinogen
a. Obstruksi ostium sinus
b. Infeksi virus, jamur, bakteri
c. Fraktur atau luka tusuk pada sinus paranasal
2. Dentogen
a. Infeksi gigi molar M1, M2, M3
12
13
14
5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti
ketipe purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali.
Resolusi masih mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan
jaringan. Belum menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan
jaringan akanmenjadi permanen, maka terjadi perubahan kronis, tulang di
bawahnya dapat memperlihatkan tanda osteitis dan akan diganti dengan
nekrosis tulang.
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi : (1) Melalui suatu
tromboflebitis dari vena yang perforasi; (2) Perluasan langsung melalui
bagiandinding sinus yang ulserasi atau nekrotik; (3) Dengan terjadinya defek;
dan (4) melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia.5
2.9. Klasifikasi Rinosinusitis
Menurut The Rhinosinusitis Task Force (RSTF):1,2
1. RS akut
: 4 minggu
2. RS subakut
: > 4-12 minggu
3. RS kronik
: > 12 minggu
4. RS akut rekuren
: 4 episode per tahun; tiap episode 7-10 hari
resolusi komplit di antara episode
5. RS kronik eksaserbasi akut : perburukan gejala tiba-tiba dari RS kronik
dengan kekambuhan berulang setelah pengobatan
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology; American
Academy of Otolaryngic Allergy; American Academy of Otolaryngology-Head
and Neck Surgery; American College of Allergy, Asthma and Immunology; and
American Rhinologic Society mengusulkan subklasifikasi lebih lanjut dari RS
kronik adalah:
1. RS kronik dengan polip, ditandai dengan mukosa polipoid dengan edema,
infiltrasi eosinofil. Limfosit T dan B, serta kerusakan pada epitel yang
disebabkan oleh produk-produk aktivasi sel eosinofil. Tipe ini berhubungan
dengan meningkatnya prevalensi polip hidung dan juga berhubungan
dengan lebih luasnya gambaran patologis kelainan sinus pada tomografi
komputer.
15
2. RS kronik tanpa polip, yaitu bentuk RS kronik yang tidak disertai oleh
tanda-tanda tersebut di atas, namun ditandai oleh hiperplasia kelenjar
seromukosa submukosa yang jelas.
Klasifikasi sinusitis yang disebabkan oleh jamur dikategorikan ke dalam 3
grup:1,2
1. Sinusitis jamur invasif
a. Terjadi pada pasien diabetes dan pasien imunosupresi.
b. Jamur patogen: Aspergillus, Mucor dan Rhizopus
c. Pada pemeriksaan patologi terlihat invasi jamur ke jaringan dan
pembuluh darah.
d. Mukosa kavum nasi berwarna biru-kehitaman disertai septum yang
nekrotik.
e. Bersifat kronis progresif, dapat menginvasi sampai ke orbita atau
intrakranial.
2. Fungus ball
a. Merupakan kumpulan jamur di dalam rongga sinus membentuk suatu
massa, tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak mendestruksi tulang,
sering mengenai sinus maksila.
b. Jamur patogen: Aspergillus
c. Gejala klinis menyerupai sinusitis kronik (rinore purulen, post nasal
drip, halitosis)
d. Pada operasi ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman dan
kotor dengan/tanpa pus.
16
2.10.
Diagnosis Rinosinusitis
A. Anamnesis
Gejala Mayor
ingus
Penurunan/berkurangnya
penghidu
Nanah dalam rongga hidung
Demam (hanya RS akut)
Gejala Minor
Nyeri kepala
Demam (pada RS
kronik)
Bau mulut
Mudah lelah
Sakit gigi
Batuk
Nyeri/rasa tertekan/rasa
penuh di telinga
17
Gejala rinosinusitis.1,2
Kriteria diagnosis:1
Dua gejala mayor atau kombinasi satu gejala mayor dan dua gejala minor
atau
pilek
(sekret
hidung
anterior/posterior):
nyeri wajah/rasa tertekan di wajah
penurunan/hilangnya penghidu
c. Dengan interval bebas gejala bila terjadi rekurensi
d. Dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang gejala alergi,
seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta
berair.
2. Rinosinusitis Kronik dengan/tanpa polip
Gejala tersering dari RS kronik adalah hidung berair, hidung
tersumbat, rasa penuh di wajah, dan nyeri/rasa tertekan di wajah. Pasien
RS dengan polip lebih sering mengeluh hiposmia dan sedikit nyeri/rasa
tertekan di wajah daripada pasien RS tanpa kronik. Pasien RS kronik
tanpa polip juga lebih sering terinfeksi bakteri dan membaik setelah
diobati.2
a.
Gejala lebih dari 12 minggu11
18
b.
Dua
atau
lebih
gejala,
tersumbat/obstruksi/kongesti
salah
atau
satu
termasuk
hidung
pilek
(sekret
hidung
anterior/posterior):
nyeri wajah/rasa tertekan di wajah
penurunan/hilangnya penghidu
c. Dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang gejala alergi,
seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta
berair.
d. Pada anak-anak harus ditanyakan faktor predisposisi lain seperti
defisiensi imun dan GERD.
B.
C.
Pemeriksaan Fisik11
Evaluasi Endoskpoik11
Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi:
RS kronik tanpa polip. Tidak terlihat adanya polip di meatus medius,
jika diperlukan setelah pemberian dekongestan (definisi ini menerima
bahwa terdapat spektrum dari RS kronik termasuk perubahan polipoid
pada sinus/dan atau meatus medius tetapi menyingkirkan penyakit
polipoid yang terdapat pada rongga hidung untuk menghindari
tumpang tindih).
RS kronik dengan polip. Polip bilateral yang terlihat dari meatus
medius.
Melakukan evaluasi diagnosis dan penatalaksanaan dari pelayanan
kesehatan primer
Mengisi kuisioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila
belum dilakukan
19
Pencitraan11
Foto polos sinus paranasal tidak direkomendasikan. Tomografi
komputer juga tidak direkomendasikan, kecuali terdapat:
Tanda komplikasi
E. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan mikrobiologik dan kultur resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus media/superior, untuk mendapat antibiotik
yang tepat. Lebih baik lagi bila diambil sekret dari sinus maksila.10
Jika curiga adanya sinusistis jamur, dapat dilakukan kultur aspirasi
secara endoskopi dengan pewarnaan jamur. Jika hasilnya negatif dan
gejala klinik mendukung ke arah sinusitis jamur, dapat dilakukan biopsi
2.11.
20
A. Rinosinusitis Akut
2. Sedang
dan
respiratory
ada
riwayat
quinolone
moksifloksasin),
pemakaian
(gatifloksasin,
amoksisilin/klavulanat,
AB.
Direkomendasikan
levofloksasin
ceftriakson
dan
atau
terapi
kombinasi.
Dewasa yang alergi beta-lactamase diberikan respiratory quinolone
atau klindamisin dan rifampin, sedangkan untuk anak diberikan
TMP/SMX, makrolid atau klindamisin. Bila dalam 72 jam tidak ada
perbaikan dan terjadi perburukan gejala, pasien harus direvaluasi.
Terapi tambahan meliputi cuci hidung hidung dan irigasi, analgesik
(ibuprofen, asetaminofen), mukolitik (guaifenesin) dan dekongestan oral
(pseudoefedrin).1,8
B. Rinosinusitis Kronik
21
operasi
b. Imunoterapi dan steroid sistemik (bila perlu) untuk mengurangi
rekurensi
c. Antifungal topikal juga dapat diberikan
Pembedahan
Maksimal terapi medikamentosa adalah 4-6 minggu (AB, steroid nasal
dan steroid sistemik), selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk pembedahan.
Pembedahan dilakukan bila ada kelainan mukosa dan sumbatan KOM, dengan
panduan CT scan atau endoskopik. Pasien dengan kelainan anatomi atau polip
sinonasal lebih respon terhadap terapi pembedahan.2
22
Gambar. Pengukuran jarak dari nares anterior ke berbagai area di sekitar hidung16
23
1.
2.
Antibiotik
3.
Penatalaksanaan komplikasi.
4.
Follow-up
Pengangkatan tampon.
Penilaian keberhasilan pengobatan.
B. Prosedur Terbuka
1.
Antrostomi2,8
Antrostomi adalah tindakan pembedahan membuat lubang ke sinus maksilaris
dengan menembus dinding medialnya pada meatus inferior untuk mengeluarkan pus
dan memperbaiki drainase.
Antibiotik
Penatalaksanaan komplikasi
2.
Antrotomi Caldwell-Luc8
24
Tumor jinak
Empiema kronis yang resisten dengan pengobatan konservatif
Fraktur komplikata maksila
Eksplorasi
b. Komplikasi
25
TABSGRCOKP tei uoBen d rdn rjmasruba uag oed+ salm otia ki d bko a n
akstnc tong e l r d o i d
Skema. Penatalaksanaan RS akut pada dewasa untuk pelayanan kesehatan primer11
2.12.
Komplikasi Rinosinusitis
Disebut komplikasi bila infeksi sudah menembus dinding sinus ke organ
sekitar, meliputi:11
1. Lokal : mukokel, kista retensi mukus, osteomielitis (tulang frontal dan
maksila)
26
abses
intraserebral,
tromboflebitis vena.
4. Descending infection : otitis media akut atau kronik, faringitis dan
tonsillitis, laryngitis persisten dan trakeobronkitis
5. Fokal infeksi.
Tabel 1. Komplikasi orbita dari sinusitis16
Temuan klinis
Bengkak kelopak mata, otot ekstraokular
intak, visus normal
Edema orbita lebih difus, kerusakan otot
ekstraokular, biasanya visus normal
Penatalaksanaan
Medikamentosa (jarang, drainase
abses sekunder)
Medikamentosa (drainase sinus)
Abses subperiosteal
Abses orbital
Selulitis preseptal
Selulitis orbital
Tromboflebitis
Nyeri orbita bilateral, kemosis,
Medikamentosa, drainase sinus
sinus kavernosus
proptosis, oftalmoplegia
(sering), antikoagulan
Tindakan drainase sinus mungkin terbatas pada aspirasi sinus maksila atau endoskopik atau operasi
sinus terbuka, tergantung keparahan gejala, pemeriksaan fisik, lamanya pengobatan, dibutuhkan
kultur untuk terapi AB.
Abses epidural
Asal
Sinus etmoid, sinus
sfenoid
Sinus frontal
Abses subdural
Sinus frontal
Abses intraserebral
Meningitis
2.13.
Prognosis Rinosinusitis
27
Prognosis RS akut adalah sangat baik, kira-kira 70% pasien sembuh tanpa
pengobatan. Antibiotik hanya diperlukan bila ada gejala. RS kronik memiliki masalah
yang lebih rumit, jika penyebabnya adalah struktur anatomi yang perlu dikoreksi,
maka prognosis menjadi lebih baik. Lebih dari 90% pasien mengalami perbaikan
dengan intervensi bedah. Bagaimana pun, penyakit ini sering kambuh, sehingga
tindakan preventif adalah hal yang sangat penting.
DAFTAR PUSTAKA
28
1. Lee K.J. Essensial Otolaryngology Head & Neck Surgery. Ninth Edition. Mc
Graw Hill Medical. New York; 2008; p. 383-392.
2. Lalwani K Anil. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery. Second Edition. Mc Graw Hill Lange. New York; 2008; p. 273281.
3. Benninger M, Ferguson B, Hadley J. Adult Chronic Rhinosinusitis Head
and Neck Surgery; 2003; p. 129.
4. Sukgi S, Choi, Kenneth M, Grundfast. Complication in sinus diseases.
Diseases of sinuses diagnosis and management; 2001;169-176.
5. Ballenger JJ. The Clinical Anatomy and Phisiology of The Nose and
Accessory Sinuses in Diseases of the Nose, Throat, Ear,Head and Neck. 13th
ed. Philadelphia; 2003; p. 1 25.
6. Blumenthal MN. Alergic Conditions in Otolaryngology Patients. Adam GL,
Boies LR Jr. Hilger P. (Eds). Boies Fundametal of Otolaryngology, 6th ed.
Philadelphia; 2004; p.195 205.
7. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. FKUI. Jakarta; 2007.
8. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher. Buku Acuan Modul Sinus Paranasal. 2008.
9. Dhingra PL, Disease of Ear, nose and Throat. Fourth Edition. New Delhi;
2009; p. 178-191.
29
10. Arsyad Efiaty, Iskandar Nurbaiti, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. FKUI. Jakarta; 2010.
11. Fokkens W, Buku Saku European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyp 2007.
12. Berger G, Kattan A, Bernheim J, Ophir D. polipoid Mucosa with
Eosinophilia and glandular hyperplasia in Chronic Sinusitis. Laryngoscope;
2002; p 112.
13. King HC, Antimicrobial treatment guidelines for acute bacterial
rhinosinusitis. Sinus and allergy Health partnership. Otolaryngology HeadNeck Surgery. 2000; 123: 5 31.
14. Bagja P, Pengaruh Larutan Pencuci Hidung Air Laut Fisiologis Terhadap
Transpor Mukosiliar Hidung pada Penderita Rinosinusitis Akut. Tesis. Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran. Bandung; 2010.
15. Dhillon RS, An Illustrated Color Text Ear, Nose, Throat, Head and Neck
Surgery. Second Edition. London; 2000.
16. Pinheiro AD, Facer GW, Kern EB. Sinusitis Current Concept and
Management. In : Bailey ed. Otolaryngology- Head and Neck Surgery.
Second Edition. Philadelphia. Lippincot-Raven Publisher;2006; p. 441-445.
30
17. Piccirillo JF, Merrit MG, Richards ML. Psycometric and Clinimetric
Validity of the 20-item Sino-nasal Outcome Test (SNOT-20). Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 2002.