Anda di halaman 1dari 30

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak pertengahan tahun 1990-an, istilah sinusitis diganti menjadi
rinosinusitis. Menurut American Academy of Otolaryngology Head & Neck
Surgery 1996 istilah sinusitis diganti dengan rinosinusitis (RS) karena dianggap
lebih akurat dengan alasan:1,2
1). Secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung
2). Sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis
3). Gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia dijumpai pada rinitis
ataupun sinusitis.
Perkembangan penelitian mengenai patofisiologi, penegakan diagnosis, dan
penatalaksanaan kelainan pada sinus secara singkat dapat dilihat dalam dua
rekomendasi para ahli yang dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa. Para ahli
di Amerika Serikat, melalui rekomendasi Rhinosinusitis Task Force (RSTF)
pada tahun 1996, merekomendasikan bahwa rinosinusistis didiagnosis
berdasarkan gejala klinis, durasi gejala, pemeriksaan fisis, nasoendoskopi dan
tomografi komputer.3
Namun demikian, gejala dan tanda klinis pada semua penderita inflamasi
kronik pada sinus tampak tumpang tindih, baik pada penderita yang disertai
polip hidung atau tanpa polip hidung. Para ahli di Eropa, melalui rekomendasi
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS)
menegaskan bahwa perbedaan antara penderita polip hidung dan rinosinusitis
kronik harus berdasarkan pemeriksaan nasoendoskopi. Selain itu, rekomendasi
ini menegaskan bahwa polip hidung merupakan subkelainan dari rinosinusitis
kronik.4
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis dan bila mengenai
seluruh sinus paranasal, disebut pansinusitis. Sinus maksila sering terkena,
kemudian sinus etmoid, sinus frontal dan sinus sfenoid. Penyakit ini berasal dari
perluasan infeksi hidung, gigi, faring, tonsil atau adenoid. Tetapi dapat juga

terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau menyelam. Ikut


berperan pula beberapa faktor predisposisi yang menyebabkan obstruksi muara
sinus maksila, sehingga mempermudah terjadinya sinusitis seperti deviasi
septum,hipertropi konka, massa di dalam rongga hidung dan alergi.5,6
Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat,
sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki
pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari
penyakit rinosinusitis ini. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya
ke orbita dan intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang
inadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat dihindari. Tatalaksana dan
pengenalan dini terhadap rinosinusitis ini sangat penting. Awalnya diberikan
terapi antibiotik dan jika telah begitu hipertrofi, mukosa polipoid dan atau
terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi.7
1.2 Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas penulisan
laporan kasus di SMF THT-KL.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi Sinus Paranasal


Perkembangan rongga hidung secara

embriologi yang mendasari

pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama,


embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung
yang berbeda, kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian
berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate),
dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus. 4
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu, perkembangan
embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung
sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan
prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke
otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan
lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari
pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah
mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.4
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada sejak bayi
lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10
tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 5-18 tahun. 4
2.2. Anatomi Sinus Paranasal
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada sisi hidung; sinus frontal
kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri , sinus maksila kanan dan kiri dan
sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua lapisan ini dilapisi oleh mukosa yang
merupakan lanjutan mukosa hidung; berisi udara dan semua bermuara di rongga
hidung melalui ostium masing masing. 5
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok, anterior dan
posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau
didekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel sinus

etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media,


terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sfenoid. Garis perlekatan
konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua
kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal
adalah sebagai sumber lender yang segar dan tidak terkontaminasi dialirkan
ke mukosa hidung.5
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan
rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral
terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka
inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah
antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka
media disebut meatus superior.5
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus bermuara ke dalam rongga
hidung. 6
a) Sinus Maksila
Pada waktu lahir sinus maksila hanya berupa celah kecil disebelah
medial orbita. Mula-mula dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga
hidung, kemudian terus mengalami penurunan, sehingga pada usia 8 tahun
menjadi sama tinggi. 6
Perkembangannya berjalan kearah bawah, bentuk sempurna terjadi
erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan
18 tahun. Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal
yang terbesar, bentuk piramid iregulerdengan dasarnya menghadap ke fosa
nasalis dan puncaknya kearah apeks prosessus zygomaticus os maksila.
Menurut Moris pada buku anatomi tubuh manusia, ukuranrata-rata pada
bayi baru lahir 78 x 46 mm dan untuk usia 15 tahun 3132 x 1820 x 19
20 mm. Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir

sinus maksila bervolume 68 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat


dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. 6
Sinus maksila ini mendapat persarafan dari nervus maksilaris (V/2) yang
mempersarafi sensasi dari mukosa dibagian lateroposteriornasal dan cabang
superior alveolar dari nervus infraorbita. 6
Sinus maksila mempunyai beberapa dinding yaitu:
1. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os
palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka
inferior dan sebagian kecil os maksilaris. Dinding medial sinus maksila
merupakan dinding lateral hidung dimana terdapat ostium sinus yang
menghubungkan sinus maksila dengan infundibulum ethmoid. Ostium
ini terletak pada bagian superior dari dinding medial, biasanya pada
pertengahan posterior dari infundibulum, sekitar 9 mm ke arah posterior
duktus nasolakrimalis. Ujung posterior dari ostium berlanjut ke lamina
2.

papyracea dari tulang etmoid.


Dinding atas memisahkan rongga sinus dengan orbita terdiri dari tulang

yang tipis yang dilewati oleh kanalis infra orbitalis


3. Dinding posteriorinferioratau dasarnya biasanya paling tebal dan
dibentuk oleh bagian alveolar os maksila atas dan bagian luar palatum
durum. Dinding posterior memisahkan sinus dari fossa infratemporal
dan fossa pterigomaksila.
4. Dinding anterior terbentuk dari fasia fasialis maksila yang berhadapan
dengan fossa kanina dan memisahkan sinus dari kulit pipi.
5. Dasar dari sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Pada anak
letaknya sekitar 4 mm diatas dasar cavum nasi , dan pada dewasa
letaknya 4- 5 mm dibawah dasar cavum nasi. 5
Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat
dengan dasar sinus. Bahkan tumbuh kedalam rongga sinus,hanya tertutup
oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi disekitar gigi ini dapat
menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan
pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan ronggga sinus
yang akan mengakibatkan sinusitis. 5

b) Sinus Frontal
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga
sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Kadangkadang juga ada sinus yang rudimenter, tetapi tidak ada yang tak terbentuk
sama sekali. Mungkin ada septum tulang yang membagi sinus menjadi satu
kompartemen atau lebih. Sinus ini berhubungan dengan meatus medius
melalui duktus nasofrontal, yang berjalan kebawah dan kebelakang dan
bermuara

pada

infundibulum

bagian

atas.

Kadan-kadang

kanalis

frontonasalis ini bermuara langsung di meatus medius.


Dinding depan sinus frontal hamper selalu diploik, terutama dibagian
sudut luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat
pertemuan dinding anterior dan posterior.5
Sinus frontal jarang tampak pada pemeriksaan rontgen hingga tahun
kedua setelah kelahiran, kemudian sinus ini berkembang secara lambat
kearah vertikal pada tulang frontal dan telah lengkap pada usia remaja.
Sekitar 5% dari populasi mengalami kegagalan pertumbuhan dari sinus ini.
Ukuran sinus frontal pada orang dewasa sekitar 28 x 27 x 17 mm dengan
volume 6 sampai 7 ml. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relative
tipis dari orbita dan fossa cerebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal
mudah menjalar . Sinus frontal berdrenase melalui ostiumnya yang terletak
di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. 6
Perdarahan pada sinus frontal meliputi cabang supra troklear dan
supraorbital dari arteri optalmikus dan melalui vena superior optalmikus
yang mengalir kedalam sinus kavernosus. Sensasi mukosa sinus frontal ini
mendapati persarafan dari percabangan supratroklear nervus frontal yang
berasal dari nervus optalmikus (V/1). Sinus frontal terletak pada tulang
frontal dibatas atas supraorbital dan akar hidung. Sinus ini dibagi dua oleh
sekat secara vertikal dibatas midline dengan ukuran masing-masing yang
bervariasi. Sinus frontal sangat berhubungan erat dengan tulang etmoid
anterior. 6

Gambar 1. Sinus Paranasal tampak anterior dan tampak lateral


c) Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal sinus etmoid yang paling bervariasi dan
akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus
infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid
seperti pyramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari
anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian
anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.6
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di bagian massa lateral os etmoid, yang terletak
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya
bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang
bernuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid biasanya kecil-kecil dan
banyak, letaknya didepan lempeng yang menghubungkan bagian posterior
konka media dengan dinding lateral, sedangkan sel-sel sinus etmoid
posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahya dan terletak di
posterior lamina basalis.5
Secara embriologis, sinus etmoid ini terbentuk dari lima etmoturbinal.
Kelima bagian tersebut yakni unsinatus, bula etmoid basal lamella (ground
lamella), konka superior dan konka suprema.Sel-sel sinus etmoid ini akan

tumbuh secara cepat sehingga pada usia dewasa mencapai ukuran 20 x 22 x


10 mm pada kelompok sel anterior dan 20 x 20 x 10 mm pada kelompok sel
posterior. Sel-sel etmoid ini biasanya mengandung 1015 sel persisi dengan
total volume 1415 ml.5
Sel-sel anterior dipisahkan oleh sel-sel posterior oleh lempeng tulang
transversal yang tipis. Tempat perlekatan konka media pada dinding lateral
hidung juga merupakan patokan letak perbatasan kelompok sel-sel anterior
dan posterior. Kelompok anterior terdapat di depan dan bawahnya sedang
kelompok posterior ada diatas dan dibelakangnya.5
Pada pemeriksaan, ukuran kedua kelompok sel-sel tersebut dapat
berbeda jauh, biasanya sel-sel etmoid posterior lebih sedikit jumlahnya
tetapi ukurannya lebih besar bila dibandingkan dengan bagian anterior. 5
Perdarahan pada sinus etmoid meliputi cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoidalis anterior dan posterior, cabang arteri optalmikus dari arteri karotis
interna. Sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan etmoidalis
yang mengalir kedalam sinus kavernosus. Inervasi persarafan dari sinus
etmoid ini berasal dari cabang posterolateral hidung dari nervus maksilaris
(V/2) dan cabang nervus etmoidalis dari nervus optalmikus (V/1).6
d) Sinus Sfenoid
Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil namun telah
berkembang sempurna pada usia 12-15 tahun. Letaknya dalam korpus os
etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini
dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang letaknya
jarang di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar dari sisis
lainnya.5
Sinus sfenoid mulai berkembang saat bulan ketiga setelah kelahiran
yang merupakan invaginasi dari mukosa bagiansuperior posteriordari kavum
nasi, yang juga dikenal sebagai sphenoethmoidal recess. Pneumatisasi
sfenoid ini terjadi selama pertengahan usia kanak-kanak dan mengalami
pertumbuhan yang cepat saat berusia 7 tahun. Sinus ini mengalami
pertumbuhan maksimal dan terhenti setelah berusia 12 sampai 15 tahun.5

Ukuran ostium sinus sfenoid berkisar antara 0,5 sampai 4mm dan
letaknya kira-kira 10-20 mm di atas dasar sinus sehingga kurang
menguntungkan dari segi drainase menurut gravitasi. Bila ada atrofi konka
atau ada deviasi septum ke sisi yang berlawanan, mungkin ostium ini akan
tampak pada pemeriksaan rhinoskopi anterior.5
Perdarahan sinus sfenoid meliputi cabang arteri sfenopalatina dan arteri
etmoidalis posterior, sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan
pleksus pterigoid.Inervasi persarafan dari sinus sfenoid ini berasal dari
cabang nervus etmoidalis posterior dari nervus optalmikus (V1), dan cabang
nasal dan sfenopalatina dari nervus maksilaris.5
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoidalis
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri
karotis eksterna. Bagian bawah mendapat pendarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatine mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki rongga
hidung di belakang ujung konka media. Bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri edmoidalis anterior,
arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang di sebut pleksus
kisselbach.6
Hidung luar diinervasi oleh divisi oftalmika. Intocoklearis yang membawa
sensasi dari dorsum nasi bagian tulang dan n. Nasalis eksternus yang membawa
sensasi atap hidung bagian caudal. Pada kavum nasi dan sinus, N. Ethmoidalis
anterior cabang n.Oftalmika membawa sensasi dari kavum nasi bagian antrosuperior, septum dan sinus ethmoidalis, N.ethmoidalis posterior rmembawa
sensasi dari cavum nasi posterior dan sinus yang berdekatan, N.Supraorbital dan
supratroclear membawa sensasi dari sinus frontalis. 5
2.3. Fisiologi Sinus Paranasal
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2)

10

fungsi penghidu, karena terdapatnya mukosa olfaktorius (penciuman) dan


reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik
untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung
panas; 5) refleks nasal.6
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
adalah:
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi.Keberatan terhadap teori ini ialah
ternyata tidak didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan
rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa
jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak
mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas, melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan
tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung
dan organ-organ yang dilindungi.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
ini dianggap tidak bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi
sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator
yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

11

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena
mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.6
2.4. Definisi Rinosinusitis
Rinosinusitis (termasuk polip nasi) didefinisikan sebagai inflamasi hidung
dan sinus paranasal yang ditandai adanya dua atau lebih gejala, salah satunya
harus termasuk sumbatan hidung/ obstruksi nasi/ kongesti atau pilek (sekret
hidung anterior/ posterior).7
2.5. Epidemiologi Rinosinusitis
Insiden rinosinusistis akut dan kronis terus meningkat, diperkirakan sekitar
10 - 15 % terjadi pada populasi di Eropa Tengah setiap tahunnya. Di Amerika
Serikat terdapat 30 juta kasus rinosinusitis akut bakterial setiap tahunnya, di
negara ini jumlah penderita sinusitis akut yang berobat ke dokter adalah 0,5
2,0 % pada dewasa dan 5 10 % pada anak dari semua penyakit infeksi saluran
napas atas.13
Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005
menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435
pasien, 69%nya adalah sinusitis.10
Survei pendahuluan di bagian Rinologi-alergi Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung dan Tenggorok (THT) Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) didapatkan
angka kunjungan penderita rinosinusitis akut periode Januari-Desember 2009
tercatat 260 kasus, terdiri dari 121 laki-laki dan 139 perempuan.14
2.6. Etiologi Rinosinusitis
1. Rinogen
a. Obstruksi ostium sinus
b. Infeksi virus, jamur, bakteri
c. Fraktur atau luka tusuk pada sinus paranasal
2. Dentogen
a. Infeksi gigi molar M1, M2, M3

12

b. Infeksi gigi premolar P1, P2


3. Infeksi Tenggorok
a. Tonsilitis
b. Infeksi Faring
c. Adenoiditis
2.7. Faktor Predisposisi Rinosinusitis
1. Obstruksi ventilasi dan drenase sinus. Secara normal, sinus memiliki
ventilasi yang baik dengan jumlah sekret mukus yang sedikit yang
mengikuti gerakan silia, menuju ostium sinus dan dikeluarkan ke kavum
nasi. Beberapa faktor dapat menyebabkan stasis sekresi sinus, yaitu:
a. Tampon hidung
b. Deviasi septum
c. Hipertrofi konka
d. Edema ostium sinus karena rinitis alergi atau vasomotor
e. Polip nasi
f. Struktur abnormal pada rongga etmoid
g. Neoplasma
2. Stasis sekresi dalam kavum nasi. Normalnya, sekresi hidung mungkin tidak
masuk ke nasofaring karena kekentalannya (fibrosis kistik) dan obstruksi
(hipertrofi adenoid dan atresia koanal.
3. Serangan sinusitis sebelumnya. Pertahanan local mukosa sinus mengalami
kerusakan.
4. Lingkungan. Udara dingin dan kering, lingkungan berpolusi, dan kebiasaan
merokok.
5. Daya tahan tubuh menurun. Adanya defisiensi nutrisi dan kelainan sistemik
(diabetes, sindrom defisiensi imun), serta perubahan hormonal (kehamilan).
6. Bakteriologi. RS bakterial akut secara tipikal berawal dari infeksi viral pada
saluran napas atas yang berlanjut lebih dari 10 hari. Dalam beberapa kasus,
RS bakterial sekunder bisa jadi akibat sumbatan ostium karena edema
mukosa dan kerusakan silia. Akhirnya, terjadi stasis mukus dan menjadi
media pertumbuhan kuman. Bakteri yang paling banyak menyebabkan RS
akut di antaranya Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, dan
Moraxella catarrhalis.
2.8. Patofisiologi Rinosinusitis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal (KOM).

13

Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat


yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan. Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem,
sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak
dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase
dan ventilasi di dalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang
diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik
untuk tumbuhnya bakteri pathogen. Bila sumbatan berlangsung terus akan
terjadi hipoksia dan retensi lender sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.
Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau
pembentukan kista. Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit
sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana stroma akan terisi oleh
cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses
terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian
turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah
polip.9
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini,
yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan :
1. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya
kering. Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
2. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada
kelainan epitel.
3. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar melalui
epitel yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan bakteri, debris,
epitel dan mukus. Pada beberapa kasus perdarahan kapiler terjadidan darah
bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit,
kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasifibrin dan
serum.
4. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan berhentinya
pengeluaran leukosit memakan waktu 10 14 hari.

14

5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti
ketipe purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali.
Resolusi masih mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan
jaringan. Belum menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan
jaringan akanmenjadi permanen, maka terjadi perubahan kronis, tulang di
bawahnya dapat memperlihatkan tanda osteitis dan akan diganti dengan
nekrosis tulang.
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi : (1) Melalui suatu
tromboflebitis dari vena yang perforasi; (2) Perluasan langsung melalui
bagiandinding sinus yang ulserasi atau nekrotik; (3) Dengan terjadinya defek;
dan (4) melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia.5
2.9. Klasifikasi Rinosinusitis
Menurut The Rhinosinusitis Task Force (RSTF):1,2
1. RS akut
: 4 minggu
2. RS subakut
: > 4-12 minggu
3. RS kronik
: > 12 minggu
4. RS akut rekuren
: 4 episode per tahun; tiap episode 7-10 hari
resolusi komplit di antara episode
5. RS kronik eksaserbasi akut : perburukan gejala tiba-tiba dari RS kronik
dengan kekambuhan berulang setelah pengobatan
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology; American
Academy of Otolaryngic Allergy; American Academy of Otolaryngology-Head
and Neck Surgery; American College of Allergy, Asthma and Immunology; and
American Rhinologic Society mengusulkan subklasifikasi lebih lanjut dari RS
kronik adalah:
1. RS kronik dengan polip, ditandai dengan mukosa polipoid dengan edema,
infiltrasi eosinofil. Limfosit T dan B, serta kerusakan pada epitel yang
disebabkan oleh produk-produk aktivasi sel eosinofil. Tipe ini berhubungan
dengan meningkatnya prevalensi polip hidung dan juga berhubungan
dengan lebih luasnya gambaran patologis kelainan sinus pada tomografi
komputer.

15

2. RS kronik tanpa polip, yaitu bentuk RS kronik yang tidak disertai oleh
tanda-tanda tersebut di atas, namun ditandai oleh hiperplasia kelenjar
seromukosa submukosa yang jelas.
Klasifikasi sinusitis yang disebabkan oleh jamur dikategorikan ke dalam 3
grup:1,2
1. Sinusitis jamur invasif
a. Terjadi pada pasien diabetes dan pasien imunosupresi.
b. Jamur patogen: Aspergillus, Mucor dan Rhizopus
c. Pada pemeriksaan patologi terlihat invasi jamur ke jaringan dan
pembuluh darah.
d. Mukosa kavum nasi berwarna biru-kehitaman disertai septum yang
nekrotik.
e. Bersifat kronis progresif, dapat menginvasi sampai ke orbita atau
intrakranial.
2. Fungus ball
a. Merupakan kumpulan jamur di dalam rongga sinus membentuk suatu
massa, tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak mendestruksi tulang,
sering mengenai sinus maksila.
b. Jamur patogen: Aspergillus
c. Gejala klinis menyerupai sinusitis kronik (rinore purulen, post nasal
drip, halitosis)
d. Pada operasi ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman dan
kotor dengan/tanpa pus.

16

Gambaran endoskopi sinusitis jamur15


3. Allergic fungal rhinosinusitis (AFRS)
a. Jamur dapat menstimulasi respon imun mukosa sinonasal, menyebabkan
sinusitis alergi jamur.
b. Secara tipikal, mukosa polipoid terlihat di bagian anterior membentuk
suatu massa yang terdiri dari musin, materi jamur, kristal CharcotLeyden dan eosinofil.
c. Penebalan mukosa dan bony remodeling adalah tanda khas dari proses
ini.
Sinusitis paranasal diklasifikasikan berdasarkan lima hal, yaitu: 8
a.Gambaran klinis : akut, sub akut, kronis
b. Lokasi : sinus etmoid, sinus maksila, sinus frontal, sinus sfenoid
c.Organisme penyebab : virus, bakteri, jamur.
d. Komplikasi : tanpa komplikasi, dengan komplikasi.
e.Faktor pemberat : atopi, imunosupresi, obstruksi ostiomeatal.

2.10.

Diagnosis Rinosinusitis
A. Anamnesis
Gejala Mayor

Nyeri/rasa tertekan di wajah


Rasa penuh di wajah
Hidung tersumbat
Hidung
berair/bernanah/perubahan warna

ingus
Penurunan/berkurangnya

penghidu
Nanah dalam rongga hidung
Demam (hanya RS akut)

Gejala Minor

Nyeri kepala
Demam (pada RS
kronik)
Bau mulut
Mudah lelah
Sakit gigi
Batuk
Nyeri/rasa tertekan/rasa
penuh di telinga

17

Gejala rinosinusitis.1,2
Kriteria diagnosis:1
Dua gejala mayor atau kombinasi satu gejala mayor dan dua gejala minor

(sangat mendukung riwayat rinosinusitis)


Adanya nyeri wajah saja tapi tidak disertai gejala mayor hidung atau

lainnya (tidak mendukung riwayat rinosinusitis)


Adanya demam saja tapi tidak disertai gejala mayor hidung atau lainnya

(tidak mendukung riwayat rinosinusitis).


1. Rinosinusitis Akut
Diagnosis RS bakterial akut dibuat bila infeksi virus pada saluran
napas atas tidak teratasi dalam 10 hari atau memburuk setelah 5-7 hari.
Gejala berat secara tidak langsung menimbulkan komplikasi di kemudian
hari, dan pasien tentunya tidak menunggu 5-7 hari sebelum mendapat
pengobatan.1,2
a.
Gejala kurang dari 12 minggu11
b.
Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satu termasuk hidung
tersumbat/obstruksi/kongesti

atau

pilek

(sekret

hidung

anterior/posterior):
nyeri wajah/rasa tertekan di wajah
penurunan/hilangnya penghidu
c. Dengan interval bebas gejala bila terjadi rekurensi
d. Dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang gejala alergi,
seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta
berair.
2. Rinosinusitis Kronik dengan/tanpa polip
Gejala tersering dari RS kronik adalah hidung berair, hidung
tersumbat, rasa penuh di wajah, dan nyeri/rasa tertekan di wajah. Pasien
RS dengan polip lebih sering mengeluh hiposmia dan sedikit nyeri/rasa
tertekan di wajah daripada pasien RS tanpa kronik. Pasien RS kronik
tanpa polip juga lebih sering terinfeksi bakteri dan membaik setelah
diobati.2
a.
Gejala lebih dari 12 minggu11

18

b.

Dua

atau

lebih

gejala,

tersumbat/obstruksi/kongesti

salah
atau

satu

termasuk

hidung

pilek

(sekret

hidung

anterior/posterior):
nyeri wajah/rasa tertekan di wajah
penurunan/hilangnya penghidu
c. Dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang gejala alergi,
seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta
berair.
d. Pada anak-anak harus ditanyakan faktor predisposisi lain seperti
defisiensi imun dan GERD.

B.

C.

Pemeriksaan Fisik11

Pemeriksaan hidung (edema, hiperemis, pus)

Pemeriksaan mulut (post nasal drip)

Singkirkan infeksi gigi

Evaluasi Endoskpoik11
Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi:
RS kronik tanpa polip. Tidak terlihat adanya polip di meatus medius,
jika diperlukan setelah pemberian dekongestan (definisi ini menerima
bahwa terdapat spektrum dari RS kronik termasuk perubahan polipoid
pada sinus/dan atau meatus medius tetapi menyingkirkan penyakit
polipoid yang terdapat pada rongga hidung untuk menghindari

tumpang tindih).
RS kronik dengan polip. Polip bilateral yang terlihat dari meatus

medius.
Melakukan evaluasi diagnosis dan penatalaksanaan dari pelayanan

kesehatan primer
Mengisi kuisioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila
belum dilakukan

19

Polip kecil yang terlihat pada meatus medius kiri16

Sekret purulen pada meatus medius kiri17


D.

Pencitraan11
Foto polos sinus paranasal tidak direkomendasikan. Tomografi
komputer juga tidak direkomendasikan, kecuali terdapat:

Penyakit sangat berat

Pasien dengan penurunan imunitas

Tanda komplikasi

E. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan mikrobiologik dan kultur resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus media/superior, untuk mendapat antibiotik
yang tepat. Lebih baik lagi bila diambil sekret dari sinus maksila.10
Jika curiga adanya sinusistis jamur, dapat dilakukan kultur aspirasi
secara endoskopi dengan pewarnaan jamur. Jika hasilnya negatif dan
gejala klinik mendukung ke arah sinusitis jamur, dapat dilakukan biopsi
2.11.

dengan potong beku.18


Penatalaksanaan Rinosinusitis
Medikamentosa

20

A. Rinosinusitis Akut

Tujuan terapi adalah eradikasi bakteri patoetiologi sehingga klirens


mukosiliar menjadi normal kembali, meredakan gejala lebih cepat dan
mencegah komplikasi sekunder.1
Terapi empirik antibiotik harus berdasarkan kuman patogen (S.
pneumoniae, H. influenzae dan M. catarrhalis) dan juga pola resisten dari
pathogen yang dicurigai. Kira-kira 25% S. pneumoniae tidak sensitif
penisilin disebabkan perubahan penicillin-binding proteins, dan resisten
makrolid dan trimetofin/sulfametoksazol (TMP/SMX). Hampir semua
kuman M. catarrhalis (90%) dan H. influenza menghasilkan betalactamase yang diinaktifkan oleh antibiotik beta-lactamase.1,2
Pemilihan AB tergantung beratnya penyakit dan riwayat pemakaian
AB dalam 4-6 minggu:1,2
1. Ringan dan tidak ada riwayat pemakaian AB. Direkomendasikan
amoksisilin klavulanat (1,75-4 gr/250 mg/hari atau 45-90 mg/6,4
mg/kg/hari untuk anak), amoksisilin (1,5-4 g/hari atau 45-90
mg/kg/hari untuk anak), atau cefpodoksim, cefurosim, atau cefdinir.
Untuk dewasa yang alergi beta-lactamase diberikan TMP/SMX, doksisiklin
atau makrolid, sedangkan anak yang alergi beta-lactamase diberikan
TMP/SMX atau makrolid (azitromisin, klaritromisin dan eritromisin).

2. Sedang

dan

respiratory

ada

riwayat

quinolone

moksifloksasin),

pemakaian
(gatifloksasin,

amoksisilin/klavulanat,

AB.

Direkomendasikan

levofloksasin
ceftriakson

dan

atau
terapi

kombinasi.
Dewasa yang alergi beta-lactamase diberikan respiratory quinolone
atau klindamisin dan rifampin, sedangkan untuk anak diberikan
TMP/SMX, makrolid atau klindamisin. Bila dalam 72 jam tidak ada
perbaikan dan terjadi perburukan gejala, pasien harus direvaluasi.
Terapi tambahan meliputi cuci hidung hidung dan irigasi, analgesik
(ibuprofen, asetaminofen), mukolitik (guaifenesin) dan dekongestan oral
(pseudoefedrin).1,8
B. Rinosinusitis Kronik

21

Pemberian AB pada RS kronik adalah kontroversi bila penyebab


dasarnya belum diketahui.1
Pilihan terapi meliputi:1,2
1. Antimikroba. Idealnya pilihan AB berdasarkan kultur secara
endoskopik, tetapi bila ini tidak dapat dilakukan, dapat diberikan AB
empirik (paling sedikit 3-6 minggu), misalnya amoksisilin/klavulanat,
respiratory quinolone, klaritromisin, sefalosporin generasi kedua
(sefuroksim, sefpodoksim, sefdinir) dan doksisiklin.
2. Kortikosteroid. Steroid nasal topikal adalah yang paling sering
diberikan. Steroid sistemik juga dapat diberikan, khususnya untuk
pasien RS kronik dengan polip.
3. Terapi tambahan. Irigasi nasal dan mukolitik (guaifenesin).
4. Penatalaksanaan alergi. Dilakukan pada pasien dengan riwayat alergi,
dengan cara kontrol lingkungan, steroid topikal dan imunoterapi,
sehingga dapat mencegah rinitis eksaserbasi serta progesifitas dari
sinusitis.
C.

Sinusitis jamur meliputi:1,2,10

Sinusitis jamur invasif


a. Debridemen (bila perlu termasuk kavum orbita)
b. Terapi antifungal secara intavena
c. Stabilisasi penyakit immunocompromised
d. Stabilasi penyakit diabetes
2. Fungal ball. Dilakukan ekstirpasi komplit dari massa jamur.
3. Allergic fungal rhinosinusitis (AFRS)
a. Pembedahan primer diikuti pemberian steroid nasal topikal pasca
1.

operasi
b. Imunoterapi dan steroid sistemik (bila perlu) untuk mengurangi
rekurensi
c. Antifungal topikal juga dapat diberikan
Pembedahan
Maksimal terapi medikamentosa adalah 4-6 minggu (AB, steroid nasal
dan steroid sistemik), selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk pembedahan.
Pembedahan dilakukan bila ada kelainan mukosa dan sumbatan KOM, dengan
panduan CT scan atau endoskopik. Pasien dengan kelainan anatomi atau polip
sinonasal lebih respon terhadap terapi pembedahan.2

22

A. Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)


FESS adalah tindakan pembedahan pada rongga hidung dan atau sekitarnya
dengan bantuan endoskop fiber optik.8

Indikasi pendekatan endoskopi sama dengan pendekatan intranasal


dan eksternal yang lain dan secara umum meliputi :2,8
1. Sinusitis akut rekuren
2. Sinusitis kronis
3. Sinusitis karena jamur alergi
4. Rinosinusitis hipertrofi kronis (polip)
5. Polip antrokoanal
6. Mukokel di dalam sinus
Keberhasilan FESS sangat bergantung pada perawatan pasca operasi,
yaitu endoskopi nasal serial(dengan debridement), kultur dan resistensi
kuman (pemilihan AB) dan terapi lain (steroid nasal topikal dan steroid
sistemik. Perbaikan gejala setelah terapi FESS adalah lebih dari 90%.1,2
Komplikasinya meliputi:2
1. Trauma pada dinding medial orbita
2. Hematom dan perdarahan yang dapat menekan nervus optikus dan
menyebabkan kebutaan
3. Kerusakan lapisan kribifrom sehingga menyebabkan kebocoran cairan
serebrospinal
4. Herniasi komponen otak
5. Meningitis
6. Perdarahan intrakranial

Gambar. Pengukuran jarak dari nares anterior ke berbagai area di sekitar hidung16

Perawatan pasca bedah:8

23

1.

Penderita apabila perlu di rawat inap, misalnya operasi dengan anestesi


umum.

2.

Antibiotik

3.

Penatalaksanaan komplikasi.

4.

Follow-up

Pengangkatan tampon.
Penilaian keberhasilan pengobatan.

B. Prosedur Terbuka
1.

Antrostomi2,8
Antrostomi adalah tindakan pembedahan membuat lubang ke sinus maksilaris
dengan menembus dinding medialnya pada meatus inferior untuk mengeluarkan pus
dan memperbaiki drainase.

Indikasi operasi adalah sinusitis maksilaris sebagai upaya memfasilitasi


pengeluaran pus dan atau memperbaiki drainase.
a. Komplikasi :

Cedera orbita : hematom orbita, diplopia, kebutaan


Emboli udara
Insersi trokar lebih didepan dari dinding depan antrum dan selanjutnya

ke jaringan lunak yang dapat mengakibatkan emfisema subkutan


Perdarahan
Perlukaan saluran dan kantong nasolakrimal
Mati rasa
Parestesi
Trauma gigi

b. Perawatan pasca bedah, meliputi:

Penderita apabila perlu di rawat inap, misalnya antrostomi dengan


anestesi umum.

Antibiotik

Penatalaksanaan komplikasi

Follow-up, dilakukan pengulangan antrostomi apabila diperlukan. Apabila


tidak ada indikasi antrostomi ulang, pasien dikontrol di klinik satu minggu
setelah tindakan, untuk menilai keberhasilan terapi.

2.

Antrotomi Caldwell-Luc8

24

Antrotomi Caldwell-Luc adalah tindakan pembedahan membuka dinding


depan sinus maksilaris, mengeluarkan pus maupun jaringan patologis.
a. Indikasi operasi:

Tumor jinak
Empiema kronis yang resisten dengan pengobatan konservatif
Fraktur komplikata maksila
Eksplorasi

b. Komplikasi

Kerusakan saraf infraorbita


Kerusakan akar gigi
Kerusakan dasar orbita
Hipestesi atau parestesi pipi
Kerusakan bola mata
Emfisema subkutan
Kerusakan saraf alveol superior dan soket gigi
Edem berkepanjangan
Infeksi
Perdarahan
Pembengkakan wajah
Fistula oroantral

c. Perawatan pasca bedah

Penderita di rawat inap.


Antibiotik
Penatalaksanaan komplikasi
Follow-up : Pengangkatan tampon, penilaian keberhasilan pengobatan

25

TABSGRCOKP tei uoBen d rdn rjmasruba uag oed+ salm otia ki d bko a n
akstnc tong e l r d o i d
Skema. Penatalaksanaan RS akut pada dewasa untuk pelayanan kesehatan primer11

2.12.

Komplikasi Rinosinusitis
Disebut komplikasi bila infeksi sudah menembus dinding sinus ke organ
sekitar, meliputi:11
1. Lokal : mukokel, kista retensi mukus, osteomielitis (tulang frontal dan
maksila)

26

2. Orbital : selulitis preseptal, selulitis orbital, abses subperiosteal, abses


orbital, tromboflebitis sinus kavernosus.
3. Intrakranial : meningitis, abses subdural,

abses

intraserebral,

tromboflebitis vena.
4. Descending infection : otitis media akut atau kronik, faringitis dan
tonsillitis, laryngitis persisten dan trakeobronkitis
5. Fokal infeksi.
Tabel 1. Komplikasi orbita dari sinusitis16
Temuan klinis
Bengkak kelopak mata, otot ekstraokular
intak, visus normal
Edema orbita lebih difus, kerusakan otot
ekstraokular, biasanya visus normal

Penatalaksanaan
Medikamentosa (jarang, drainase
abses sekunder)
Medikamentosa (drainase sinus)

Abses subperiosteal

Proptosis, kerusakan otot ekstraokular

Abses orbital

Exoftalmos berat, kemosis, oftalmoplegi


berat, gannguan visus

Medikamentosa, drainase sinus,


drainase abses
Medikamentosa, drainase sinus
(sering), drainase abses

Selulitis preseptal
Selulitis orbital

Tromboflebitis
Nyeri orbita bilateral, kemosis,
Medikamentosa, drainase sinus
sinus kavernosus
proptosis, oftalmoplegia
(sering), antikoagulan
Tindakan drainase sinus mungkin terbatas pada aspirasi sinus maksila atau endoskopik atau operasi
sinus terbuka, tergantung keparahan gejala, pemeriksaan fisik, lamanya pengobatan, dibutuhkan
kultur untuk terapi AB.

Tabel 2. Komplikasi Intrakranial Sinusitis

Abses epidural

Asal
Sinus etmoid, sinus
sfenoid
Sinus frontal

Abses subdural

Sinus frontal

Abses intraserebral

Sinus frontal (jarang;


sinus etmoid dan sinus
sfenoid

Meningitis

Proses penyakit dan penatalaksanaan


Komplikasi paling sering, medikamentosa
Medikamentosa, drainase sinus dan abses (kadangkadang)
Morbiditas dan mortalitas tinggi neurologik,
medikamentosa agresif (steroid dan antikonvulsan),
drainase sinus dan abses (kadang-kadang)

Morbiditas dan mortalitas tinggi neurologik,


biasanya gejala tidak tampak, medikamentosa
agresif (steroid dan antikonvulsan), drainase sinus
dan abses (sering)
Tromboflebitis
Sinus frontal
Morbiditas dan mortalitas tinggi neurologik,
vena
medikamentosa agresif (steroid dan antikonvulsan),
antikoagulan (kontroversi), drainase sinus dan
abses (sering)
Paling banyak pasien dengan komplikasi intrakranial memiliki pansinusitis unilateral atau bilateral

2.13.

Prognosis Rinosinusitis

27

Prognosis RS akut adalah sangat baik, kira-kira 70% pasien sembuh tanpa
pengobatan. Antibiotik hanya diperlukan bila ada gejala. RS kronik memiliki masalah
yang lebih rumit, jika penyebabnya adalah struktur anatomi yang perlu dikoreksi,
maka prognosis menjadi lebih baik. Lebih dari 90% pasien mengalami perbaikan
dengan intervensi bedah. Bagaimana pun, penyakit ini sering kambuh, sehingga
tindakan preventif adalah hal yang sangat penting.

DAFTAR PUSTAKA

28

1. Lee K.J. Essensial Otolaryngology Head & Neck Surgery. Ninth Edition. Mc
Graw Hill Medical. New York; 2008; p. 383-392.
2. Lalwani K Anil. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery. Second Edition. Mc Graw Hill Lange. New York; 2008; p. 273281.
3. Benninger M, Ferguson B, Hadley J. Adult Chronic Rhinosinusitis Head
and Neck Surgery; 2003; p. 129.
4. Sukgi S, Choi, Kenneth M, Grundfast. Complication in sinus diseases.
Diseases of sinuses diagnosis and management; 2001;169-176.
5. Ballenger JJ. The Clinical Anatomy and Phisiology of The Nose and
Accessory Sinuses in Diseases of the Nose, Throat, Ear,Head and Neck. 13th
ed. Philadelphia; 2003; p. 1 25.
6. Blumenthal MN. Alergic Conditions in Otolaryngology Patients. Adam GL,
Boies LR Jr. Hilger P. (Eds). Boies Fundametal of Otolaryngology, 6th ed.
Philadelphia; 2004; p.195 205.
7. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. FKUI. Jakarta; 2007.
8. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher. Buku Acuan Modul Sinus Paranasal. 2008.
9. Dhingra PL, Disease of Ear, nose and Throat. Fourth Edition. New Delhi;
2009; p. 178-191.

29

10. Arsyad Efiaty, Iskandar Nurbaiti, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. FKUI. Jakarta; 2010.
11. Fokkens W, Buku Saku European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyp 2007.
12. Berger G, Kattan A, Bernheim J, Ophir D. polipoid Mucosa with
Eosinophilia and glandular hyperplasia in Chronic Sinusitis. Laryngoscope;
2002; p 112.
13. King HC, Antimicrobial treatment guidelines for acute bacterial
rhinosinusitis. Sinus and allergy Health partnership. Otolaryngology HeadNeck Surgery. 2000; 123: 5 31.
14. Bagja P, Pengaruh Larutan Pencuci Hidung Air Laut Fisiologis Terhadap
Transpor Mukosiliar Hidung pada Penderita Rinosinusitis Akut. Tesis. Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran. Bandung; 2010.
15. Dhillon RS, An Illustrated Color Text Ear, Nose, Throat, Head and Neck
Surgery. Second Edition. London; 2000.
16. Pinheiro AD, Facer GW, Kern EB. Sinusitis Current Concept and
Management. In : Bailey ed. Otolaryngology- Head and Neck Surgery.
Second Edition. Philadelphia. Lippincot-Raven Publisher;2006; p. 441-445.

30

17. Piccirillo JF, Merrit MG, Richards ML. Psycometric and Clinimetric
Validity of the 20-item Sino-nasal Outcome Test (SNOT-20). Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 2002.

Anda mungkin juga menyukai