MONAA
MONAA
PEMBAHASAN
3.1. Anamnesis
Riwayat trauma yang akurat dapat menjadi informasi yang bernilai untuk
penegakan diagnosis dan penentuan perawatan. Namun, pada pasien yangmendapat
cedera pada daerah kepala, biasanya sulit atau tidak memungkinkanuntuk
menjelaskan riwayat trauma yang telah terjadi. Pada situasi ini, riwayattrauma dapat
diperoleh dari petugas unit gawat darurat, perawat, orang yangmendampingi yang
pasien, atau siapapun yang melihat dengan jelas bagaimanatrauma terjadi.1
Mendapatkan riwayat yang adekuat dari pasien trauma oromaksilofasial
adalah sulit, karena biasanya mereka tidak mampu merespon dengan baik.Keadaan
tidak sadar (koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan hambatan yang sering
terjadi dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat
digunakan adalah keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi, atau pekerja
pada unit gawat darurat. Penting dicatat mengenai tanggal,waktu, tempat kejadian,
dan peristiwa yang khusus.
Apabila cedera disebabkankarena kecelakaan mobil, apakah korban bertindak
sebagai pengemudi atau penumpang, apakah ia memakai sabuk pengaman yang
putus? Apabila pasienmerupakan korban kejahatan, apakah digunakan senjata
tertentu? Apakah pasien jatuh atau tidak sadar. Kondisi medis resiko tinggi, alergi, dan
tanggal imunisasitetanus juga harus dicatat. Penting juga dicatat ada tidaknya tandatanda kecanduan alkohol dan obat-obatan, karena tingkat kesadaran dipengaruhi
olehobat-obatan tersebut. Informasi mengenai waktu makan dan minum yang terakhir
sangat penting apabila akan dilakukan anestesi umum.2
Menurut Hupp dkk, 2008, langkah pertama pada setiap proses diagnostik
adalah memperoleh sebuah riwayat trauma yang akurat. Riwayat trauma yangakurat
sebaiknya diperoleh dari pasien, yang meliputi informasi tentang who,when,where ,
and how Operator harus menanyakan pertanyaan-pernyataankepada pasien, orangtua
pasien, atau seseorang yang menyertainya, antara lain :
1.
2.
terlambat.
Dimana trauma itu terjadi? Pertanyaan ini penting karena
4.
5.
tersembunyi.
Perawatan apa yang telah diberikan sejak trauma terjadi (bila ada)?
Dari pertanyaan ini didapatkan informasi mengenai kondisi awal
dari daerah cedera. Seperti pertanyaan, bagaimana gigi yang avulsi
6.
8.
trauma.
Apakah pasien mengalami mual, muntah, pingsan, amnesia, sakit
kepala,gangguan penglihatan, atau kebingungan setelah kejadian?
Bila jawabannyaya maka kemungkinan ada indikasi cedera
intrakranial dan operator harussegera melakukan konsultasi medis.
9.
adaindikasi
pergeseran
gigi
atau
fraktur
yang
dengantersumbatnya
mengalami
jalan
cedera
pernapasan
akibat
maksilofasial
perdarahan
biasanya
eksternal,
disertai
perdarahan
dengan
struktur
vital,
seperti
saraf,
glandula
parotis
dansebagainya.1
Rangka kraniofasial terdiri dari pertautan dan penonjolan tulang, maka
pemeriksaannya harus meliputi ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas,
pergeseran, dan hilangnya penonjolan. Harus dilakukan palpasi secara hati-
hatiterhadap
kranium,
sambungan
daerah
fronto-orbital,
dari
maksila
sebagai
struktur
dengan
maksila
naso-orbital
memperkirakan
itu
sendiri
atau
dengan
satu
tangan.
Dengan
ibu
jari
dan
telunjuk
tangan
lainnyamencengkram maksila pada satu sisi, dan digerakkan dengan tekanan yang
stabilsehingga dapat diperoleh kepastian ada atau tidaknya dapatkan mobilitas
maksila.3
Cara melakukan pemeriksaan manual atau digital adalah denganmempalpasi
dimulai dari superior ke inferior. Lebih baik memeriksa pasien yangmengalami fisik
dari arah belakang apabila memungkinkan. Pemeriksaan dimulaidari aspek medial
dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dansaluran nasofrontalis
dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri (bidigital). Palpasi diteruskan ke arah
lateral menyilang cincin supraorbital menuju suturazygomatikofrontalis. Jaringan
lunak yang menutupinya digeser dan suturadipalpasi apakah terjadi kelainan atau
tidak. Cincin infraorbital dipalpasi darimedial ke lateral untuk mengevaluasi sutura
zygomatikomaksilaris. Bagian-bagianyang mengalami nyeri tekan, dan baal juga
dicatat, karena halini menunjukkanadanya fraktur atau cedera pada saraf. Arcus
zygomatikus dipalpasi bilateral dandiamati apakah terdapat tanda-tanda asimetri, dari
aspek posterior atau superior.Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa terjadi
pergeseran septum, dan adanya perdarahan atau cairan.2
Pemeriksaan mata secara lengkap sebaiknya dilakukan terlebih dahulu,karena
trauma dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan. Hampir 40% fraktur tengah
wajah mengenai daerah mata. Pemeriksaan yang akurat sulit dilakukan pada pasien
yang
mengalami
cedera
neurologis.
Pemeriksaan
dapat
dilakukandengan
dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen iniharus dievaluasi
secara cepat. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru-paru.
Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udaraatau darah dalam rongga pleura.
Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi. Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang
berat adalah tensin pneumot horax, flail chest dengan kontusio paru dan open
pneumot horax. Keadaan ini harusdikenali pada saat dilakukan primary survey.
3. Circulation dengan control perdarahan, perdarahan merupakan sebab utama
pasca bedah yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat
dirumah sakit. Ada 3 penemuan klinis yang dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemodinamik yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dannadi.
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran. Warna kulit dapat membantu diagnosis
hipovalemia. Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama padawajah dan
ekstremitas jarang yang dalam keadaan hipovalemia. Sebaliknya wajah pucat,
keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovalemia.
Periksalah pada nadi yang besar untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi
yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovalemia. Nadi
yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovalemia. Nadi yang tidak teratur
biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari
arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi dengan segera.
Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey. Perdarahan luar luar
dihentikan dengan penekanan pada luka. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai
karena merusak jaringan danmenyebabkan iskemia distal, sehingga tourniquet
hanya dipakai bila sudahada amputasi traumatik. Sumber perdarahan internal bisa
berasal dari perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang
panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat dari lukatembus
dada/ perut.
4. Disability (Neurologic Evaluation), menjelang akhir primary survey dilakukan
evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. GCS merupakan sistem
scoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan penderita. Penurunan
kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke
otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak.Penurunan kesadaran menuntut
perbaikan
dari
semua
fraktur
fasial
dan
kranial
yang
pengelolaan life-saving
yang
tulang yang baik dalam rangka reduksi dan fiksasi fraktur tulang. Selain itu
diperlukan osteotomi padagaris fraktur akibat telah terjadinya penyatuan tulang.4
Kunci utama dalam penatalaksanaan fraktur panfasial adalah untuk
mendapatkan fiksasi dan stabilisasi yang cukup stabil pada daerah-daerah yang
tidak stabil. Rekonstruksi harus meliputi arah 3 dimensi yaitu vertikal, horisontal
dantransversal. Terdapat dua prinsip umum untuk penatalaksanaan fraktur
panfasialyaitu dengan tehnik bott om totop (dari bawah ke atas) atau t op t obott
om (dari atas ke bawah).6
Apabila kranium frontalis masih intak atau terdapat fraktur pada
fossakranial anterior atau front o-orbital bar tanpa adanya kehilangan tulang
ataudimana struktur-struktur tulang tersebut di atas telah terekonstruksi dengan
kuat,regio midfasial dapat direkonstruksi dalam arah atas ke bawah. Namun
bilaterdapat diskontinuitas pada lengkung mandibula, hilangnya tulang pada
tulangkranial dan diskontinuitas pada dasar fosa kranial anterior atau hilangnya
titik referensi, pendekatan dilakukan dalam arah bawah ke atas. Hal ini dilakukan
agar rekonstruksi pada mandibula dapat menghasilkan hubungan yang intak
dalam mereposisi maksila. Selain itu bila basis kranial frontalis diperbaiki dan
dilekatkan erhadap tengah wajah dapat menaikkan resiko kerusakan atau
perubahan letak terhadap fosa kranialis anterior yang telah diperbaiki.6
Pada tehnik bottom to top, rekonstruksi dimulai dari mandibula. Bila
lengkung mandibula terganggu harus diperbaiki terlebih dahulu. Fraktur pada
kondilus baik unilateral maupun bilateral memerlukan reduksi segera dan fiksasi
internal untuk mempertahankan ketinggian fasial. Setelah mandibula terkoreksi
dengan baik, maksila yang mengalami disimpaksi dapat dikoreksi dengan
menyesuaikan oklusi pada rahang bawah dan dilakukan fiksasi intermaksilaris.
Perbaikan dapat dilanjutkan dalam arah atas ke bawah dan bertemu dengan
segmen maksilomandibula yang telah terfiksasi. Bila terdapat fraktur sagital pada
maksila dilakukan reduksi dan fiksasi untuk mendapatkan kembali lengkung
maksila sehingga koreksi terhadap lebar wajah tengah dapat tercapai. Fiksasi
dapat dilakukan dengan menempatkan miniplate secara transversal pada maksila.
Kerugian pada tehnik bottom to up adalah untuk rekonstruksi dilakukan dimulai
dari jarak yangcukup jauh dari elemen simetris yang stabil yaitu basis kranial.
untuk
menambah
kontur
pada
regio
tertentu
dan
memperbaikikesimetrisan wajah.6
Berbagai macam insisi dilakukan untuk mendapatkan pemaparan tulang
yangmengalami fraktur dan merekonstruksinya antara lain dengan insisi koronal,
insisi pada kelopak mata bagian bawah, periorbital, sulkus gingivobukal,
preaurikular,retromandibular atau submandibular. Insisi koronal akan dapat
memberikan pemaparan yang lebih luas pada tulang kranium dan rangka
kraniofasial bagianatas. Selain itu insisi ini dapat memberikan akses yang optimal
untuk dapatmereduksi dan memfiksasi fragmen tulang.6
DAFTAR PUSTAKA
1. Marciani RD, Carlson ER, Braun TW.Oral and Maxillofacial Surgery Volume II. Ed. Ke2. Saunders Elsevier. St. Louis. 2009
2. Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa. Purwanto, Basoeseno. Jakarta:
EGC, 1996: 230-63.
3. Hupp JR, Ellis E, Tucker MR.Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. Ed. Ke-5.
Mosby Elsevier. St. Louis. 2008.
4. Tawfilis A.R. Facial Trauma, Panfacial Fractures. eMedicine Journal.2006.
5. Fonseca R.J.Oral and Maxill o facial Trauma.3rd ed. St Louis: Elsevier Saunders. 2005.
6. Miloro , Michael. Petersons Principles of Oral and Maxillofacial Surgery.BC Decker Inc.
Hamilton. London. 2004
7. Hiatt James L.& Gartner Leslie P. Textbook of Head and Neck Anatomy,4 th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins. 2010.
8. Mitchell BJ. Maxillofacial Trauma. 2006.
9. Rabi AG, Khateery SM.Maxillofacial Trauma in Al Madina Region of Saudi Arabia: A 5Year Retrospective Study. J Oral Maxillofac Surg.2002.14:10-14
10. Yokoyoma T, Motozawa Y, Sasaki T, Hitosugi M. A Retro spective Anlisis of Oral and
Maxillofacial Injuries in Motor Vehicle Accidents. JOral Maxillofac Surg. 2006. 6 4:173
1-17.
11. Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerjemah.R.Sjamsuhidayat.EGC.Jakarta. 1997