Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN
3.1. Anamnesis
Riwayat trauma yang akurat dapat menjadi informasi yang bernilai untuk
penegakan diagnosis dan penentuan perawatan. Namun, pada pasien yangmendapat
cedera pada daerah kepala, biasanya sulit atau tidak memungkinkanuntuk
menjelaskan riwayat trauma yang telah terjadi. Pada situasi ini, riwayattrauma dapat
diperoleh dari petugas unit gawat darurat, perawat, orang yangmendampingi yang
pasien, atau siapapun yang melihat dengan jelas bagaimanatrauma terjadi.1
Mendapatkan riwayat yang adekuat dari pasien trauma oromaksilofasial
adalah sulit, karena biasanya mereka tidak mampu merespon dengan baik.Keadaan
tidak sadar (koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan hambatan yang sering
terjadi dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat
digunakan adalah keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi, atau pekerja
pada unit gawat darurat. Penting dicatat mengenai tanggal,waktu, tempat kejadian,
dan peristiwa yang khusus.
Apabila cedera disebabkankarena kecelakaan mobil, apakah korban bertindak
sebagai pengemudi atau penumpang, apakah ia memakai sabuk pengaman yang
putus? Apabila pasienmerupakan korban kejahatan, apakah digunakan senjata
tertentu? Apakah pasien jatuh atau tidak sadar. Kondisi medis resiko tinggi, alergi, dan
tanggal imunisasitetanus juga harus dicatat. Penting juga dicatat ada tidaknya tandatanda kecanduan alkohol dan obat-obatan, karena tingkat kesadaran dipengaruhi
olehobat-obatan tersebut. Informasi mengenai waktu makan dan minum yang terakhir
sangat penting apabila akan dilakukan anestesi umum.2
Menurut Hupp dkk, 2008, langkah pertama pada setiap proses diagnostik
adalah memperoleh sebuah riwayat trauma yang akurat. Riwayat trauma yangakurat
sebaiknya diperoleh dari pasien, yang meliputi informasi tentang who,when,where ,
and how Operator harus menanyakan pertanyaan-pernyataankepada pasien, orangtua
pasien, atau seseorang yang menyertainya, antara lain :
1.

Siapa pasien tersebut? Jawabannya meliputi nama pasien, umur,

2.

alamat,nomor telepon, dan data demografi lainnya.


Kapan trauma itu terjadi? Pertanyaan ini merupakan salahsatu
pertanyaan penting karena beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa semakin cepatgigi avulsi dapat direposisi, maka semakin

baik prognosisnya. Sama halnyadengan hasil yang diperoleh dari


perawatan fraktur alveolar yang disebabkanoleh penanganan yang
3.

terlambat.
Dimana trauma itu terjadi? Pertanyaan ini penting karena

4.

kemungkinanterdapat kontaminasi bakteri atau kimia.


Bagaimana trauma itu terjadi? Trauma yang alami dapat
memberikan perkiraan tentang hasil cedera jaringan akan seperti
apa nantinya. Sebagaicontoh, penumpang mobil yang terlempar ke
depan dashboard dengankekuatan besar, selain dapat merusak
beberapa gigi juga dapat menyebabkancedera leher yang

5.

tersembunyi.
Perawatan apa yang telah diberikan sejak trauma terjadi (bila ada)?
Dari pertanyaan ini didapatkan informasi mengenai kondisi awal
dari daerah cedera. Seperti pertanyaan, bagaimana gigi yang avulsi

6.

disimpan sebelumdiberikan kepada dokter gigi?


Apakah ditemukan adanya gigi atau serpihan gigi ditempat
kejadian trauma?Sebelum diagnosis dan rencana perawatan
ditentukan, harus terlebih dahuludiketahui jumlah gigi pasien
sebelum trauma terjadi. Jika selama pemeriksaanklinis ditemukan
adanya

gigi atau mahkota gigi yang hilang dan tidak

dapatdiperkirakan apakah gigi atau mahkota gigi tersebut hilang di


tempat kejadian,maka diperlukan pemeriksaan radiografi pada
jaringan lunak sekitar mulut,dada, dan regio perut untuk
memastikan ada atau tidaknya gigi atau mahkotagigi tersebut di
7.

dalam jaringan atau rongga badan lainnya.


Bagaimana status kesehatan umum pasien? Penting diketahui
tentang riwayatkesehatan umum dari pasien tersebut sebelum
dilakukan perawatan, yangmeliputi ada atau tidaknya alergi
terhadap obat, kelainan jantung, kelainandarah, penyakit umum
lainnya, dan riwayat penyakit terakhir yang dideritasebelum

8.

trauma.
Apakah pasien mengalami mual, muntah, pingsan, amnesia, sakit
kepala,gangguan penglihatan, atau kebingungan setelah kejadian?
Bila jawabannyaya maka kemungkinan ada indikasi cedera
intrakranial dan operator harussegera melakukan konsultasi medis.

9.

Apakah ada gangguan oklusi? Apabila jawabannya ya maka


kemungkinan

adaindikasi

pergeseran

gigi

atau

fraktur

dentoalveolar ataupun fraktur rahang

3.2. Pemeriksaan Klinis


Pendekatan awal terhadap pasien trauma oromaksilofasial akut sedikit berbeda
dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadapsaluran pernapasan,
adekuasi dari ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal.Sebelum melakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital, gangguan saluran pernapasandan perdarahan yang
mengancam jiwa pasien harus ditangani terlebih dahulu.Kemudian baru dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital dan status neurologis(paling tidak mengenai tingkat
kesadaran, yaitu orientasi terhadap waktu dantempat). Pembukaan mata merupakan alat
pemeriksan yang berharga untuk menentukan tingkat kesadaran dan dinilai berdasarkan
kemampuan pasienmembuka matanya jika diberi stimuli tertentu, termasuk stimuli yang
menyakitkan, apabila diperlukan. Durasi amnesia paska trauma merupakanindikator yang
baik untuk menunjukkan tingkat kerusakan otak, bila ada.2
Pasien

yang

dengantersumbatnya

mengalami
jalan

cedera

pernapasan

akibat

maksilofasial
perdarahan

biasanya
eksternal,

disertai
perdarahan

internal,atau benda asing. Pemeriksaan fisik baru dapat dilakukan setelahpasien


dalamkondisi stabil, perdarahan dan jalan pernapasan telah ditangani. Adapun
pemeriksaan fisik tersebut meliputi1
1. Pemeriksaan KepalaPemeriksaan ini meliputi seluruh kerangka kraniomaksilofasial
dan jaringan lunak disekitarnya. Pasien harus dibersihkan dari semua darah dan
bendaasing secara hati-hati. Seluruh cedera yang mengenai jaringan lunak
sebaiknyadicatat pada saat ini, begitu juga dengan cedera yang mengenai tulang.
Trauma pada jaringan lunak dapat dikarakteristikan menjadi abrasi, kontusio, luka
bakar,avulsi, dan laserasi. Seluruh luka laserasi dan avulsi harus dicatat kedalaman
danketerkaitannya

dengan

struktur

vital,

seperti

saraf,

glandula

parotis

dansebagainya.1
Rangka kraniofasial terdiri dari pertautan dan penonjolan tulang, maka
pemeriksaannya harus meliputi ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas,
pergeseran, dan hilangnya penonjolan. Harus dilakukan palpasi secara hati-

hatiterhadap

kranium,

sambungan

daerah

fronto-orbital,

kompleks,artikulasi zygomatik, dan mandibula.1


2. Pemeriksaan Wajah Bagian Tengah
Evaluasi wajah bagian tengah dimulai
adanyamobilitas

dari

maksila

sebagai

struktur

dengan
maksila

naso-orbital

memperkirakan
itu

sendiri

atau

hubungannyadengan zygoma atau tulang nasal. Untuk memeriksa adanya mobilitas


maksila,kepala pasien harus distabilisasikan dengan cara menekan kening pasien
cukupkuat

dengan

satu

tangan.

Dengan

ibu

jari

dan

telunjuk

tangan

lainnyamencengkram maksila pada satu sisi, dan digerakkan dengan tekanan yang
stabilsehingga dapat diperoleh kepastian ada atau tidaknya dapatkan mobilitas
maksila.3
Cara melakukan pemeriksaan manual atau digital adalah denganmempalpasi
dimulai dari superior ke inferior. Lebih baik memeriksa pasien yangmengalami fisik
dari arah belakang apabila memungkinkan. Pemeriksaan dimulaidari aspek medial
dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dansaluran nasofrontalis
dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri (bidigital). Palpasi diteruskan ke arah
lateral menyilang cincin supraorbital menuju suturazygomatikofrontalis. Jaringan
lunak yang menutupinya digeser dan suturadipalpasi apakah terjadi kelainan atau
tidak. Cincin infraorbital dipalpasi darimedial ke lateral untuk mengevaluasi sutura
zygomatikomaksilaris. Bagian-bagianyang mengalami nyeri tekan, dan baal juga
dicatat, karena halini menunjukkanadanya fraktur atau cedera pada saraf. Arcus
zygomatikus dipalpasi bilateral dandiamati apakah terdapat tanda-tanda asimetri, dari
aspek posterior atau superior.Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa terjadi
pergeseran septum, dan adanya perdarahan atau cairan.2
Pemeriksaan mata secara lengkap sebaiknya dilakukan terlebih dahulu,karena
trauma dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan. Hampir 40% fraktur tengah
wajah mengenai daerah mata. Pemeriksaan yang akurat sulit dilakukan pada pasien
yang

mengalami

cedera

neurologis.

Pemeriksaan

dapat

dilakukandengan

menggunakan hitungan jari, deteksi gerakan, atau penggunaan sinar.1


Hematoma aurikuler telinga harus segera didiagnosa dan dilakukan terapi.
Mastoid harus diperiksa dari kemungkinan adanya ekimosis yang disertai
denganhemotimpanum dan otorrhea, karena merupakan indikasi terjadinya fraktur
basistulang kranial. Adanya laserasi dari daerah telinga bagian luar merupakan
tandawaspada terhadap kemungkinan cedera pada kondil.1
Kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus dicatat. Adanya fraktur septum
hidung dan hematoma dapat menyebabkan obstruksi hidung. Hematomaseptum

hidung harus didiagnosa dan dievakuasi segera untuk menghindariterjadinya nekrosis


tulang rawan septum hidung yang pada akhirnya dapatmenyebabkan kerusakan
bentuk hidung. Tiga saraf utama trigeminal harus diperiksa untuk kemungkinan
terjadinyaanestesi atau parestesi. Saraf kranialis ketiga, empat, lima,enam dan tujuh
dites untuk mengetahui apakah terjadi palsi.1 Dapatkah pasienmengangkat alisnya dan
meretraksi sudut mulut? Apakah bola mata bisa bergerak bebas, dan apakah pupil
bereaksi terhadap sinar dan berakomodasi.2
3. Pemeriksaan Mandibula
Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap digaris
tengah,terjadi pergeseran lateral, atau inferior? Pergerakan mandibula juga
dievaluasidengan jalan memerintahkan pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu,
danapabila ada penyimpangan juga dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua
arahdan jarak interinsisal dicatat. Apabila ada meatus akustikus eksternus
penuhdengan darah dan cairan, jari telunjuk dapat dimasukkan dengan telapak
mengarah ke bawah dan ke depan untuk melakukan palpasi endaural terhadapcaput
condilus pada saat istirahat dan bergerak. Pada fraktur subcondilus tertentu, bisa
dijumpai adanya nyeri tekan yang Amat sangat atau caput mandibula tidak terdeteksi.
Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari prosesuskondilaris sampai
ke simphisis mandibula. Sekali lagi nyeri tekan atau baal, dankelainan kontinuitas
harus dicatat.2
Fraktur mandibula dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi,yaitu
kondilar, ramus, angle, body, simphisis, alveolar, dan daerah prossessus koronoid.
Selain itu fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe frakturnya,
yaitu fraktur greenstick, simpel, kominuted, dan kompon.
4. Pemeriksaan Tenggorokan dan Rongga Mulut
Pertama kali yang dilihat secara intraoral adalah oklusi. Dapatkah gigi
dioklusikan seperti biasanya? Dataran oklusal dari maksila dan mandibuladiperiksa
kontinuitasnya, dan adanya step deformitas. Bagian yang giginya mengalami
pergeseran karena trauma atau alveoli yang kosong karena gigi avulsi, juga dicatat.
Apabila pasien menggunakan protesa, maka protesa tersebut harusdilepas dan
diperiksa apakah ada rusak atau tidak. Jaringan lunak mulut diperiksadalam
kaitannya dengan luka, kontusio, abrasi, ekimosis, dan hematom. Lidah disisihkan,
sementara itu dasar mulut dan orofaring diperiksa, apakah terdapatserpihan-serpihan
gigi, restorasi, dan beku darah. Arcus zygomatikus dan basisnyadipalpasi bilateral.
Maksila harus dicoba degerakkan dengan memberikan tekanan pada prosesus

alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan kepala. Akhirnyagigi-gigi dan


prosesus alveolaris dipalpasi untuk mengetahui nyeri tekan ataumobilitas.2
Pemeriksaan ini meliputi evaluasi oklusi dan penghitungan gigi yanghilang.
Adanya gigi yang terhisap dan tertelan dapat dilihat dengan melakukanradiografi pada
dada dan perut. Gigi tiruan yang lepas juga dapat menyebabkantersumbatnya jalan
pernapasan. Adanya step dan pergeseran oklusi merupakanindikasi terjadinya fraktur
dentoalveolar ataupun fraktur rahang. Gigitan terbukalateral (open bite lateral) juga
dapat mengindikasikan adanya fraktur mandibulaatau gangguan TMJ. Sedangkan
gigitan terbuka anterior (open bite anterior) mengindikasikan adanya fraktur Le Fort
(I, II, ataupun III).1
32. .Pemeriksaan Radiografi
Untuk diagnosis penderita yang mengalami trauma orofasial hanyadiperlukan
radiograf oklusal dan periapikal saja. Detail dari cedera gigi (luksasidan avulsi), dan
sebagian besar fraktur prosessus alveolaris paling baik dirontgendengan cara ini.
Meskipun demikian, tidak dibenarkan untuk melakukan pembuatan radiografis untuk
mengetahui adanya fraktur bila bukti klinis kurangmendukung. Film panoramik
merupakan film skrining pilihan untuk kasus fraktur maksila dan mandibula.2
Pemeriksaan radiograf mandibula secara umum memerlukan dua atau lebih
gambaran radiograf dari empat gambaran radiograf berikut, yaitu
(1) panoramik,
(2) proyeksi Towne,
(3) proyeksi posteroanterior , dan
(4) proyeksioblik lateral kiri dan kanan.3
Rontgen yang paling baik untuk fraktur wajah bagian tengah adalah proyeksi
Waters, proyeksi wajah lateral, proyeksi wajah posteroanterior, dan proyeksi
submental verteks.3
Fraktur pada arkus zygomatikusditunjukkan dengan baik oleh proyeksi
submentoverteks. Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang perluasannya
dankemungkinan keterlibatan struktur penting disekitarnya masih dipertanyakan,maka
bisa dilakukan CT. CT mempunyai keunggulan dalam hal tidak adanyagambaran yang
tumpang tindih dan bisa mempertahankan detail jaringan lunak.Kedua sifat tersebut
merupakan penunjang yang sangat penting dalam melakukandiagnosis yang akurat
dari fraktur fasial. Melakukan CT pada kepala merupakan prosedur penyaringan

standar untuk menentukan adanya fraktur kepala dan dapatmenunjukkan adanya


trauma intrakranial, misalnya hematom intra- atau extra-serebral, daerah kontusio, dan
edema cerebral.2
Dengan kemajuan tehnologi saat ini, dengan dikembangkannya CT Scan
tigadimensi akan memberikan peran yang lebih baik dalam menentukan keadaan
fraktur dalam hal ada atau tidaknya displacement tulang.4
3.3 Penatalaksanaan
3.3.1 Perawatan Gawat Darurat
Prinsip utama perawatan gawat darurat (emergency care) adalahmenyelamatkan
hidup dan memberikan kenyamanan yang layak bagi pasien.Secara berurutan primary
survey dalam perawatan gawat darurat disingkat dengan ABCD:6
1. Airway, menjaga kelancaran jalan nafas. Meliputi tindakan pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang disebabkan benda asing, fraktur tulangwajah, fraktur
mandibula atau maksila, fraktur gigi, dental prothesa, fraktur laring atau trakea.
Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal, adapun
cara yang dapat dilakukan yaitu chin lift,headtilt atau jaw trust. Pada penderita
yang dapat berbicara dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun
demikian penilaian ulang terhadap air way harus tetap dilakukan.
Pada penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS sama atau kurang dari 8
biasanya memerlukan pemasangan air way definitif. Selama memeriksa dan
memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa tidak boleh ada ekstensi, fleksi
atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan
pada riwayat perlukaan, pemeriksaan neurologis tidak sepenuhnya dapat
menyingkirkannya. Ke-7 vertebra servikalis dan vertebra torakalis perrtama dapat
dilihat dengan foto lateral, walaupun tidak semua jenis fraktur akan terlihat
dengan foto ini. Dalam eadaan kecurigaan fraktur servikal, harus dipakai alat
imobilisasi. Bila alat imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara maka terhadap
kepala harus dilakukan imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini harus dipakai
sampai kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan.
2. Breathing dan Ventilasi, air way yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaranoksigen
dan mengeluarkan CO2 dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputifungsi yang baik

dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen iniharus dievaluasi
secara cepat. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru-paru.
Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udaraatau darah dalam rongga pleura.
Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi. Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang
berat adalah tensin pneumot horax, flail chest dengan kontusio paru dan open
pneumot horax. Keadaan ini harusdikenali pada saat dilakukan primary survey.
3. Circulation dengan control perdarahan, perdarahan merupakan sebab utama
pasca bedah yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat
dirumah sakit. Ada 3 penemuan klinis yang dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemodinamik yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dannadi.
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran. Warna kulit dapat membantu diagnosis
hipovalemia. Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama padawajah dan
ekstremitas jarang yang dalam keadaan hipovalemia. Sebaliknya wajah pucat,
keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovalemia.
Periksalah pada nadi yang besar untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi
yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovalemia. Nadi
yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovalemia. Nadi yang tidak teratur
biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari
arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi dengan segera.
Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey. Perdarahan luar luar
dihentikan dengan penekanan pada luka. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai
karena merusak jaringan danmenyebabkan iskemia distal, sehingga tourniquet
hanya dipakai bila sudahada amputasi traumatik. Sumber perdarahan internal bisa
berasal dari perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang
panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat dari lukatembus
dada/ perut.
4. Disability (Neurologic Evaluation), menjelang akhir primary survey dilakukan
evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. GCS merupakan sistem
scoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan penderita. Penurunan
kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke
otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak.Penurunan kesadaran menuntut

dilakukannya reevaluasi terhadap keadaanoksigenasi, ventilasi dan perfusi. Bila


diperlukan konsul ke ahli bedah syaraf.
33.2 Perawatan Definitif
Perawatan definitif fraktur panfasial dilakukan setelah keadaan umum pasien lebih
baik, terkontrol dan telah melewati masa krisis melalui perawatangawat darurat.
Tujuan dari perawatan fraktur panfasial adalah merehabilitasi jaringan yang terkena,
mengurangi rasa sakit, penyembuhan tulang, serta perbaikan oklusi gigi. Sebelum
merencanakan perawatan terlebih dahulu perhatikan:5
1.Lokasi dan luasnya fraktur
2.Struktur yang terluka atau terlibat di sepanjang fraktur
3Jumlah kehilangan jaringan lunak, meliputi kulit, mukosa dan saraf
4 Luas kehilangan tulang
5 Keadaan trauma dentoalveolar
Perawatan jenis trauma yang kompleks ini merupakan rangkuman
dariseluruh

perbaikan

dari

semua

fraktur

fasial

dan

kranial

yang

individual.Dibutuhkan perencanaan yang baik untuk meminimalkan operasi ulang


danlamanya perawatan di rumah sakit.Koreksi definitif pada pasien dengan
trauma kraniofasial yang komplekssecara ideal dilakukan dalam 5-7 hari.
Beberapa penulis menganjurkan untuk fiksasi primer pada 12- 48 jam paska
trauma. Namun dalam jangka waktu tersebutseringkali tidak cukup untuk
memperoleh pemeriksaan radiologis, dan pengelolaan gigi geligi yang adekuat
terutama pada pasien dalam keadaan koma dantidak kooperatif. Pada periode
tersebut jaringan lunak berada dalam keadaan pembengkakan sehingga
pengelolaan operatif pada saat itu akan menyebabkan proyeksi wajah dan
kesimetrisan wajah sulit dicapai. Selain itu adanya rhinorrhoea serebrospinal atau
aerocele intrakranial merupakan alasan lain keterlambatan perawatan.6
Seringkali pasien tersebut membutuhkan waktu lebih dari tiga
mingguuntuk

pengelolaan life-saving

yang

ekstensi terhadap trauma

ekstrakranial. Pada banyak kasus keterlambatan koreksi seringkali menyebabkan


telah terjadinya union pada tulang dan kontraktur jaringan lunak sehingga
diperlukan diseksi jaringan lunak yang ekstensif untuk mendapatkan pemaparan

tulang yang baik dalam rangka reduksi dan fiksasi fraktur tulang. Selain itu
diperlukan osteotomi padagaris fraktur akibat telah terjadinya penyatuan tulang.4
Kunci utama dalam penatalaksanaan fraktur panfasial adalah untuk
mendapatkan fiksasi dan stabilisasi yang cukup stabil pada daerah-daerah yang
tidak stabil. Rekonstruksi harus meliputi arah 3 dimensi yaitu vertikal, horisontal
dantransversal. Terdapat dua prinsip umum untuk penatalaksanaan fraktur
panfasialyaitu dengan tehnik bott om totop (dari bawah ke atas) atau t op t obott
om (dari atas ke bawah).6
Apabila kranium frontalis masih intak atau terdapat fraktur pada
fossakranial anterior atau front o-orbital bar tanpa adanya kehilangan tulang
ataudimana struktur-struktur tulang tersebut di atas telah terekonstruksi dengan
kuat,regio midfasial dapat direkonstruksi dalam arah atas ke bawah. Namun
bilaterdapat diskontinuitas pada lengkung mandibula, hilangnya tulang pada
tulangkranial dan diskontinuitas pada dasar fosa kranial anterior atau hilangnya
titik referensi, pendekatan dilakukan dalam arah bawah ke atas. Hal ini dilakukan
agar rekonstruksi pada mandibula dapat menghasilkan hubungan yang intak
dalam mereposisi maksila. Selain itu bila basis kranial frontalis diperbaiki dan
dilekatkan erhadap tengah wajah dapat menaikkan resiko kerusakan atau
perubahan letak terhadap fosa kranialis anterior yang telah diperbaiki.6
Pada tehnik bottom to top, rekonstruksi dimulai dari mandibula. Bila
lengkung mandibula terganggu harus diperbaiki terlebih dahulu. Fraktur pada
kondilus baik unilateral maupun bilateral memerlukan reduksi segera dan fiksasi
internal untuk mempertahankan ketinggian fasial. Setelah mandibula terkoreksi
dengan baik, maksila yang mengalami disimpaksi dapat dikoreksi dengan
menyesuaikan oklusi pada rahang bawah dan dilakukan fiksasi intermaksilaris.
Perbaikan dapat dilanjutkan dalam arah atas ke bawah dan bertemu dengan
segmen maksilomandibula yang telah terfiksasi. Bila terdapat fraktur sagital pada
maksila dilakukan reduksi dan fiksasi untuk mendapatkan kembali lengkung
maksila sehingga koreksi terhadap lebar wajah tengah dapat tercapai. Fiksasi
dapat dilakukan dengan menempatkan miniplate secara transversal pada maksila.
Kerugian pada tehnik bottom to up adalah untuk rekonstruksi dilakukan dimulai
dari jarak yangcukup jauh dari elemen simetris yang stabil yaitu basis kranial.

Ketidakakuratan dalam mereduksi dan mereposisi fraktur kondilus akan


menyebabkan asimetri wajah.6
Pada tehnik top to bottom, rekonstruksi pertama-tama pada bagian luar
rangka fasial (outer facial frame) pada fraktur panfasial yaitu meliputi lengkung
zygomatik, kompleks malar dan tulang frontalis. Kemudian rekonstruksi
dilakukan pada bagian dalam rangka fasial (inner facial frame) atau pada
kompleks naso-orbitho-ethmoidal, sutura zygomatikofrontalis dan orbital rim.
Setelah itu dilakukan rekonstruksi pada maksila pada Le Fort I dengan
menggunakan plat pada buttress.Kemudian reposisi pada fraktur mandibula dan
diakhiri dengan fiksasi intermaksilaris.6
Cangkok tulang biasanya dilakukan untuk merekonstruksi dinding
orbitaldan hidung. Selain itu cangkok tulang dilakukan untuk koreksi sekunder
biladibutuhkan

untuk

menambah

kontur

pada

regio

tertentu

dan

memperbaikikesimetrisan wajah.6
Berbagai macam insisi dilakukan untuk mendapatkan pemaparan tulang
yangmengalami fraktur dan merekonstruksinya antara lain dengan insisi koronal,
insisi pada kelopak mata bagian bawah, periorbital, sulkus gingivobukal,
preaurikular,retromandibular atau submandibular. Insisi koronal akan dapat
memberikan pemaparan yang lebih luas pada tulang kranium dan rangka
kraniofasial bagianatas. Selain itu insisi ini dapat memberikan akses yang optimal
untuk dapatmereduksi dan memfiksasi fragmen tulang.6

DAFTAR PUSTAKA
1. Marciani RD, Carlson ER, Braun TW.Oral and Maxillofacial Surgery Volume II. Ed. Ke2. Saunders Elsevier. St. Louis. 2009
2. Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa. Purwanto, Basoeseno. Jakarta:
EGC, 1996: 230-63.

3. Hupp JR, Ellis E, Tucker MR.Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. Ed. Ke-5.
Mosby Elsevier. St. Louis. 2008.
4. Tawfilis A.R. Facial Trauma, Panfacial Fractures. eMedicine Journal.2006.
5. Fonseca R.J.Oral and Maxill o facial Trauma.3rd ed. St Louis: Elsevier Saunders. 2005.
6. Miloro , Michael. Petersons Principles of Oral and Maxillofacial Surgery.BC Decker Inc.
Hamilton. London. 2004
7. Hiatt James L.& Gartner Leslie P. Textbook of Head and Neck Anatomy,4 th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins. 2010.
8. Mitchell BJ. Maxillofacial Trauma. 2006.
9. Rabi AG, Khateery SM.Maxillofacial Trauma in Al Madina Region of Saudi Arabia: A 5Year Retrospective Study. J Oral Maxillofac Surg.2002.14:10-14
10. Yokoyoma T, Motozawa Y, Sasaki T, Hitosugi M. A Retro spective Anlisis of Oral and
Maxillofacial Injuries in Motor Vehicle Accidents. JOral Maxillofac Surg. 2006. 6 4:173
1-17.
11. Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerjemah.R.Sjamsuhidayat.EGC.Jakarta. 1997

Anda mungkin juga menyukai