Klarifikasi Istilah
1. Demam:
Peningkatan temperatur tubuh diatas normal biasanya 39,4 oC sampai 41,1o C
2. Mimisan:
Perdarahan yang keluar dari lubang hidung dikarenakan lepasnya mukosa
yang mengandung pembuluh darah kecil.
3. Menggigil:
Perasaan dingin disertai dengan getaran tubuh.
4. Filliformis:
Identifikasi Masalah
A. Budi, seorang anak laki-laki berusia 3 tahun, dibawa oleh ibunya berobat
karena kaki dan tangannya teraba dingin seperti es.
B. Empat hari yang lalu Budi demam tinggi terus menerus, tidak mengigil,
disertai sakit kepala, pegal-pegal dan sakit perut. Tidak ada batuk pilek, buang
air besar dan buang air kecil seperti biasa.
C. Budi sudah diberi obat penurun panas, namun panas turun sebentar dan
kemudian naik lagi. Satu hari yang lalu panas mulai turun disertai mimisan.
D. Sejak 6 jam yang lalu pasien tidak buang air kecil. Riwayat mimisan
sebelumnya disangkal.
E. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: gelisah/delirium, TD 70/50 mmHg, Nadi: filiformis, RR: 36
x/menit, T: 36,2oC, BB: 15 kg, TB: 98 cm. Rumple leede test (+)
F. Keadaan Spesifik
Abdomen: datar, lemas, hati teraba 2 cm dibawah arcus costae, lien tidak
teraba,
G. Pemeriksaan Penunjang
Hb: 12 g/dL, Ht: 45vol%, Leukosit: 2.800/mm3, Trombosit 45.000/mm3
IV.
Analisis Masalah
1. Budi, seorang anak laki-laki berusia 3 tahun, dibawa oleh ibunya berobat karena
kaki dan tangannya teraba dingin seperti es.
a. Apa etiologi akral dingin?
Akral dingin dapat terjadi pada kasus dengue shock syndrome, gagal
jantung.
Akral dingin dapat terjadi karena syok hipovolemik
menurunnya
episode
demam
menunjukkan
tidak
Etiologi Demam
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.
Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur,
ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam
pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis,
tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis,
ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain
(Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam
antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam
chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis, 2011). Infeksi
jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides
imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011). Infeksi parasit yang pada
umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan
helmintiasis (Jenson & Baltimore, 2007). Demam akibat faktor non infeksi
dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu
lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll),
penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll),
keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma non- hodgkin, leukemia, dll), dan
pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin)
(Kaneshiro & Zieve, 2010). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami
demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama 1-10
hari (Graneto, 2010). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi
penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan
otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya
(Nelwan, 2009).
Patofisiologi Demam
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen.
Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua
yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien.
Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin
atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah
endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis
6
lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang
berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL1, IL-6, TNF-, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya
adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat
mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello & Gelfand,
2005).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit,
limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator
inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan
zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-, dan
IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium
hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005).
Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan
termostat
di
pusat
termoregulasi
hipotalamus.
Hipotalamus
akan
menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru
sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas
antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti
memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan
penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu
tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001). Demam
memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan.
Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh
yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan
aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan
merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan
fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik
patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan
merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi
pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas
sehingga tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal & Zhukovsky, 2006).
c. Bagaimana etiologi dan mekanisme sakit kepala pada kasus?
7
berfungsi
sebagai
penginduksi
makrofag
yang
poten,
3. Budi sudah diberi obat penurun panas, namun panas turun sebentar dan
kemudian naik lagi. Satu hari yang lalu panas mulai turun disertai mimisan.
a. Apa saja obat penurun panas yang umum dipakai pada anak-anak?
Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah
parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi
dalam menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang
lama (Graneto, 2010). Pada anak-anak, dianjurkan untuk pemberian
parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan
dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anakanak (Kaushik, Pineda, & Kest, 2010). Dosis parasetamol juga dapat
disederhanakan menjadi:
proliferasi
dan
transformasi
limfosit
dengan
dinding
pembuluh
darah
sehingga
plasma
hingga
menyebabkan
hipovolemia
hingga
syok
mengakibatkan
berkurangnya
venous
return,
preload
11
Thoraks: simetris, dyspnea (-), Jantung: bunyi jantung I-II normal, bising
jantung (-), irama derap (-). Paru: suara nafas vesikuler, kiri=kanan,
wheezing (-).
Abdomen: datar, lemas, hati teraba 2 cm dibawah arcus costae, lien tidak
teraba, BU (+) normal.
Pada pemeriksaan thoraks didapatkan kondisi dalam keadaan normal.
Pada pasien DBD dapat terjadi efusi pleura apabila telah terjadi
perembesan plasma hebat yang ditandai dengan gejala klinis dysnea
dan wheezing (Suhendro dkk, 2009).
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan permukaan rata , tidak
membuncit atau cekung serta lemas, tidak tegang menunjukan
normal. Bising usus normal (terdengar tiap 10 sampai 30 detik). Pada
anak umur 2-3 tahun, hati normal teraba 1-2 cm di bawah arcus
costae. Pemeriksaan bunyi jantung, bising jantung dan irama normal
mengindikasikan tidak ada penyakit jantung. Pada pasien DBD
biasanya terjadi hepatomegali. Pada kasus tergolong normal tetapi
sudah mencapai batas aman. Hepatomegali pada pasien DBD terjadi
akibat kerja berlebihan hepar untuk mendestruksi trombosit dan
untuk menghasilkan albumin. Selain itu, sel-sel hepar terutama sel
Kupffer mengalami banyak kerusakan akibat infeksi virus dengue
(Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).
Lien tidak teraba berarti normal, walaupun pada beberapa kasus
DBD terjadi pembesaran lien.
b. Bagaimana cara pemeriksaan rumple leede test dan capillary refill time?
1. Rumple leed test adalah salah satu cara yang paling mudah dan cepat
untuk menentukan apakah terkena demam berdarah atau tidak. Rumple
leed adalah pemeriksaan bidang hematologi
dengan
melakukan
kerapuhan
vaskuler
dan
fungsi
trombosit.
Prosedur
tekanan 80 mmHg.
Pasien tidak boleh diulang pada lengan yang sama dalam waktu 1
minggu.
Derajat laporan :
(-) = tidak didapatkan petechiae
(+1) = timbul beberapa petechiae dipermukaan pangkal lengan
(+2) = timbul banyak petechiae dipermukaan pangkal lengan
(+3) = timbul banyak petechiae diseluruh permukaan pangkal lengan &
telapak tangan muka & belakang
(+4) = banyak sekali petechiae diseluruh permukaan lengan, telapak tangan
& jari, muka & belakang
Ukuran normal: negative atau jumlah petechiae tidak lebih dari 10
13
2. Capillary refill time adalah tes yang dilakukan cepat pada daerah dasar
kuku untuk memonitor dehidrasi dan jumlah aliran darah ke jaringan
(perfusi).
Jaringan membutuhkan oksigen untuk hidup, oksigen dibawa kebagian
tubuh oleh system vaskuler darah.
Tes CRT dilakukan dengan memegang tangan pasien lebih tinggi dari
jantung (mencegah refluks vena), lalu tekan lembut kuku jari tangan atau
jari kaki sampai putih, kemudian dilepaskan. Catatlah waktu yang
dibutuhkan untuk warna kuku kembali normal (memerah) setelah
tekanan dilepaskan.
Nilai normal:
Jika aliran darah baik ke daerah kuku, warna kuku kembali normal
kurang dari 2 detik.
CRT memanjang (> 2 detik) pada :
a. Dehidrasi (hipovolumia)
b. Syok
c. Peripheral vascular disease
d. Hipotermia
CRT memanjang utama ditemukan pada pasien yang mengalami keadaan
hipovolumia (dehidrasi,syok), dan bisa terjadi pada pasien yang
hipervolumia yang perjalanan selanjutnya mengalami ekstravasasi cairan
dan penurunan cardiac output dan jatuh pada keadaan syok.
6. Pemeriksaan penunjang
14
endotel.
Monosit
yang
terinfeksi
menginduksi
perubahan
dan
reorganisasi
dari
F-actin.
Isolasi
jaringan
kulit
menunjukkan bahwa sel dendrit dapat pula terinfeksi lokal oleh inokulasi
virus Dengue.
Sitokin dan kemokin tersebut yang diinduksi oleh selsel T juga
berdampak pada permeabilitas vaskuler sebagai penyebab kebocoran
plasma DBD.
Adanya kebocoran plasma inilah yang menyebabkan peningkatan
hematokrit.
15
16
tidak dipakai secara rutin. Selain itu juga bisa dengan immunohistochemistry
pada jaringan otopsi dan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk
mendeteksi virus RNA di dalam serum atau jaringan.
d. Uji Mac Elisa
Sesuai namanya, tes ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum
pasien. Antibodi anti-dengue IgM akan timbul lebih dulu dari pada antibodi
anti-dengue IgG, dan biasanya sudah dapat terdeteksi pada hari ke 4-5. Perlu
diketahui pula timbulnya IgM ini dapat bervariasi pada beberapa orang. Pada
beberapa orang dapat timbul pada hari ke 2-4 dari jalannya penyakit tetapi
dapat pula timbul pada hari ke 7-8. Pada beberapa infeksi primer IgM dapat
bertahan di dalam darah sampai 90 hari setelah infeksi, tetapi pada
kebanyakan penderita IgM sudah akan menurun dan hilang pada hari ke-60.
Dari uraian di atas jelas bahwa uji IgM Mac-Elisa tidak selalu dapat
menentukan secara pasti adanya infeksi dengue baru. Jika pengambilan
spesimen akut terlalu dini ada kemungkinan IgM belum timbul sehingga di
dalam uji hasilnya akan negatif, dalam hal seperti ini perlu diulang.
Demikian juga sebaliknya apabila IgM positif, masih belum tentu juga
karena ada kemungkinan infeksi terjadi 60-90 hari yang lalu.
8. Apa DD dan WD ?
Diagnosis Banding :
1. Demam Chikungunya
2. Leptospirosis
3. Idiophatic Thrombocytopenia Purpura (ITP)
Diagnosis kerja : Budi, usia 3 tahun dengan gejala tangan dan kaki terasa dingin dan
sebelumnya mengalami demam tinggi terus menerus, tidak mengigil, disertai sakit
kepala, pegal-pegal dan sakit perut didagnosis menderita Dengue Shock Syndrome.
9. Bagaimana epidemiologi kasus?
Berbagai serotipe virus Dengue endemis di beberapa negara tropis. Di Asia, virus
Dengue endemis di China Selatan, Hainan, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand,
Myanmar, India, Pakistan, Sri Langka, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura.
Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga
1995); dan meningkat saat KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi pada
tahun 1998 yaitu hingga 35 per 100.000 penduduk dan 2004 dengan jumlah
penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun18
tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara
bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak
137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86%
serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau
CFR 0,89%.
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara.
Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes
akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu
udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya
penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus
dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak
terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.
10. Bagaimana etiologi kasus?
DBD disebabkan oleh virus Dengue yang yang termasuk dalam genus Flavivirus,
keluarga Flaviviridae. Flaviviridae merupakan virus dengan diameter 30 mm terdiri
atas ribunuklet rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.
Penularan infeksi virus dengue, manusia, virus, hospes . Ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk Aedes mengandung virus dengue saat menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia.
11. Bagaimana faktor resiko, cara penularan (vector) dan cara mengeradikasi vector?
Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit DBD, antara lain faktor host,
lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri.
1. Faktor host yaitu kerentanan (susceptibility) dan respon imun.
2. Faktor lingkungan (environment) yaitu:
a. Geografi
Lingkungan yang dapat meningkatkan perkembangan nyamuk Aedes
aegypti adalah lingkungan yang lembab dan gelap. Kondisi lingkungan
yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan jentik nyamuk antara
27 hingga 30 derajat Celsius, dengan kelembaban udara antara 70 hingga
74 persen, dan pH rata-rata 7. Sedangkan nyamuk dewasa idealnya
berkembang pada suhu 20 hingga 30 derajat Celsius dan kelembaban
udara di atas 60 persen. Pada kondisi normal seperti ini nyamuk dapat
19
20
(mekanisme eferen). Adanya sel fagosit yang terinfeksi akan memicu respon dari sel
imun lain sehingga muncul berbagai manifestasi klinis \yang disebut sebagai
mekanisme efektor (Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).
Mekanisme efektor dimulai dengan aktivasi sel T helper (CD4), T sitotoksik (CD8),
dan sistem komplemen oleh sel fagosit yang terinfeksi. Th selanjutnya
berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Th1 akan melepaskan IFN-, IL-2, dan
limfokin sedangkan Th2 melepaskan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. Selanjutnya IFN-
akan merangsang monosit melepaskan TNF-, IL-1, PAF, IL-6, dan histamin.
Limfokin juga merangsang makrofag melepas IL-1. IL-2 juga merupakan stimulan
pelepasan IL-1, TNF-, dan IFN-. Pada jalur komplemen, kompleks imun akan
menyebabkan aktivasi jalur komplemen sehingga dilepaskan C3a dan C5a
(anafilatoksin) yang meningkatkan jumlah histamin. Hasil akhir respon imun
tersebut adalah peningkatan IL-1, TNF-, IFN-, IL-2, dan histamin (Kresno, 2001;
Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).
IL-1, TNF-, dan IFN- dikenal sebagai pirogen endogen sehingga timbul
demam. IL-1 langsung bekerja pada pusat termoregulator sedangkan TNF- dan
IFN- bekerja tidak secara langsung karena merekalah yang merangsang pelepasan
IL-1. Bagaimana mekanisme IL-1 menyebabkan demam? Daerah spesifik IL-1
adalah pre-optik dan hipothalamus anterior dimana terdapat corpus callosum lamina
terminalis (OVLT). OVLT terletak di dinding rostral ventriculus III dan merupakan
sekelompok saraf termosensitif (cold dan hot sensitive neurons). IL-1 masuk ke
dalam OVLT melalui kapiler dan merangsang sel memproduksi serta melepaskan
PGE2. Selain itu, IL-1 juga dapat memfasilitasi perubahan asam arakhidonat
menjadi PGE2. Selanjutnya PGE2 yang terbentuk akan berdifusi ke dalam
hipothalamus atau bereaksi dengan cold sensitive neurons. Hasil akhir mekanisme
tersebut adalah peningkatan thermostatic set point yang menyebabkan aktivasi
sistem saraf simpatis untuk menahan panas (vasokontriksi) dan memproduksi panas
dengan menggigil (Kresno, 2001; Abdoerrachman, 2002).
22
Selain menyebabkan demam, IL-1 juga bertanggung jawab terhadap gejala lain
seperti timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan penurunan sintesis
albumin serta transferin. Penurunan nafsu makan merupakan akibat dari kerjasama
IL-1 dan TNF-. Keduanya akan meningkatkan ekspresi leptin oleh sel adiposa.
Peningkatan leptin dalam sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke hipothalamus
ventromedial yang berakibat pada penurunan intake makanan (Luheshi et al., 2000).
IFN- sebenarnya berfungsi sebagai penginduksi makrofag yang poten,
menghambat replikasi virus, dan menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi.
Namun, bila jumlahnya terlalu banyak akan menimbulkan efek toksik seperti
demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala berat, muntah, dan
somnolen (Soedarmo, 2002).
Sejak awal demam sebenarnya telah terjadi penurunan jumlah trombosit pada
penderita DBD. Penurunan jumlah trombosit memudahkan terjadinya perdarahan
pada pembuluh darah kecil seperti kapiler yang bermanifes sebagai bercak
kemerahan. Di sisi lain, peningkatan jumlah histamin meningkatkan permeabilitas
kapiler sehingga terjadi perembesan cairan plasma dari intravaskuler ke interstisiel.
Hal itu semakin diperparah dengan penurunan jumlah albumin akibat kerja IL-1 dan
gangguan fungsi hati. Adanya plasma leakage tersebut menyebabkan peningkatan
Hct. Trombositopenia terjadi akibat pemendekan umur trombosit akibat destruksi
berlebihan oleh virus dengue dan sistem komplemen (pengikatan fragmen C3g);
depresi fungsi megakariosit, serta supresi sumsum tulang. Destruksi trombosit
terjadi di hepar, lien, dan sumsum tulang. Trom bositopenia menyebabkan
perdarahan di mukosa tubuh sehingga sering muncul keluhan melena, epistaksis,
dan gusi berdarah. Hepatomegali pada pasien DBD terjadi akibat kerja berlebihan
hepar untuk mendestruksi trombosit dan untuk menghasilkan albumin. Selain itu,
sel-sel hepar terutama sel Kupffer mengalami banyak kerusakan akibat infeksi virus
dengue. Bila kebocoran plasma dan perdarahan yang terjadi tidak segera diatasi,
maka pasien dapat jatuh ke dalam kondisi kritis yang disebut DSS (Dengue Shock
Sydrome) dan sering menyebabkan kematian (Soedarmo, 2002; Nainggolan et al.,
2006).
23
5.
6.
7.
8.
tertentu.
Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air
waktu
tidur,
memasang
kasa,
menyemprot
dengan
insektisida,
V.
Kesimpulan
Budi laki-laki 3 tahun mengalami Dengue Shock Syndrome ac DHF.
VI.
Kerangka Konsep
Sitokin
Proinflamsi
suhu
Agregasi
Trombosit
Gang.
Fungsi
Trombosit
destruksi
trombosit
oleh RES
Aktivasi
Komplemen
Aktivasi
Koagulasi
Mengaktifkan
anafilatoksin
(Ca3 dan Ca5)
Faktor
Pembekuan
Permeabilitas
vaskuler
Trombositopenia
Perdarahan
(Mimisan)
Plasma
Leakage
Syok
Hipovolemic
Urin
(-)
Hipotensi
Nadi
Filiformis
CRT
Memanjang
Gelisah/
Delirium
RR
Ht
Akral Dingin
26
VII.
SINTESIS
27
Sebagai tambahan, terdapat 3 virus yang ditulari oleh artropoda (arbovirus) lainnya
yang menyebabkan penyakit mirip dengue (Halstead, 2007).
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah respon
imun humoral. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enhancement (ADE). Limfosit T, baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan
dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, interleukin-2 (IL-2) dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Monosit dan makrofag berperan dalam
fagositosis virus. Namun, proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag. Selain itu, aktivasi oleh kompleks imun
menyebabkan terbentuknya senyawa proaktivator C3a dan C5a, sementara proaktivator
C1q, C3, C4, C5-C8, dan C3 menurun.
Faktor-faktor di atas dapat berinteraksi dengan sel-sel endotel untuk
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular melalui jalur akhir nitrat oksida.
Sistem pembekuan darah dan fibrinolisis diaktivasi, dan jumlah faktor XII (faktor
Hageman) berkurang. Mekanisme perdarahan pada DBD belum diketahui, tetapi
terdapat hubungan terhadap koagulasi diseminata intravaskular (dissemintated
intravascular coagulation, DIC) ringan, kerusakan hati, dan trombositopenia.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi
sumsum tulang, serta destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan
supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses
hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat
terjadi trombositopenia justru mengalami kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya
stimulasi
trombopoiesis
sebagai
mekanisme
kompensasi
terhadap
keadaan
Prediksi klinis infeksi virus dengue ditentukan oleh hubungan kompleks antara
faktor penjamu dan virus (WHO Scientific Working Group: Report on Dengue, 2006).
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue, atau sindrom
syok dengue (Suhendro, 2006).
1. Demam Dengue
Periode inkubasi adalah 1-7 hari. Manifestasi klinis bervariasi dan dipengaruhi
usia pasien. Pada bayi dan anak-anak, penyakit ini dapat tidak terbedakan atau
dikarakteristikkan sebagai demam selama 1-5 hari, peradangan faring, rinitis, dan batuk
ringan.
Kebanyakan remaja dan orang dewasa yang terinfeksi mengalami demam secara
mendadak, dengan suhu meningkat cepat hingga 39,4-41,1C, biasanya disertai nyeri
frontal atau retro-orbital, khususnya ketika mata ditekan. Kadang-kadang nyeri
punggung hebat mendahului demam. Suatu ruam transien dapat terlihat selama 24-48
jam pertama demam. Denyut nadi dapat relatif melambat sesuai derajat demam. Mialgia
dan artalgia segera terjadi setelah demam.
Dari hari kedua sampai hari keenam demam, mual dan muntah terjadi, dan
limfadenopati generalisata, hiperestesia atau hiperalgesia kutan, gangguan pengecapan,
dan anoreksia dapat berkembang. Sekitar 1-2 hari kemudian, ruam makulopapular
terlihat, terutama di telapak kaki dan telapak tangan, kemudian menghilang selama 1-5
hari. Kemudian ruam kedua terlihat, suhu tubuh, yang sebelumnya sudah menurun ke
normal, sedikit meningkat dan mendemonstrasikan karakteristik pola suhu bifasik.
2. Demam Berdarah Dengue
Pembedaan antara demam demam dengue dan demam berdarah dengue sulit
pada awal perjalanan penyakit. Fase pertama yang relatif lebih ringan berupa demam,
malaise, mual-muntah, sakit kepala, anoreksia, dan batuk berlanjut selama 2-5 hari
diikuti oleh deteriorasi dan pemburukan klinis. Pada fase kedua ini, pasien umumnya
pilek, ekstremitas basah oleh berkeringat, badan hangat, wajah kemerah-merahan,
diaforesis, kelelahan, iritabilitas, dan nyeri epigastrik.
31
laboratorium
dilakukan
terutama
untuk
mendeteksi
perubahan
hematologis.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
a. Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45%
dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (>15% dari jumlah total
leukosit) yang pada fase syok meningkat.
b. Trombosit
32
Umumnya terdapat trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/l) pada hari ke 3-8.
c. Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit 20% dari
hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
d. Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan prothrombin time (PT), partial thromboplastin time (aPTT),
thrombin time (TT) atau fibrinogen pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau
kelainan pembekuan darah.
e. Protein/albumin
33
Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. Nilai normal albumin adalah 35,5 g/dl, nilai normal protein total adalah 5-8 g/dl (Price, 2003).
f. SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase)
Dapat meningkat. Nilai normal alanin aminotransferase adalah 0-40 IU/l. Menurut
Kalayanarooj (1997) anak dengan level enzim hati yang meningkat sepertinya lebih
rentan mengalami dengue yang parah dibandingkan dengan yang memiliki level enzim
hati yang normal saat didiagnosis.
g. Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan. Jumlah kalium normal serum adalah
3,5-5,2 mEq/l, sedangkan natrium 135-145 mEq/l.
h. Golongan darah dan cross match
Bila akan diberikan transfusi darah dan komponen darah.
i. Imunoserologi
Dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM terdeteksi mulai hari ke 35, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi
primer mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi
pada hari ke-2.
2. Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan. Tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
G. Diagnosis
Belum ada panduan yang dapat diterima untuk mengenal awal infeksi virus
dengue (WHO Scientific Working Group, 2006). Perbedaan utama antara demam
dengue dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma (Suhendro,
2006).
1. Demam Dengue
Ditegakkan bila terdapat dua atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia) ditambah
pemeriksaan serologis dengue positif; atau ditemukan pasien demam dengue/ demam
berdarah dengue yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
34
2. Pemberian cairan.
Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5-2 liter dalam
24 jam (susu, air dengan gula/sirup, atau air tawar ditambah dengan garam saja).
3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis.
Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres kepala, ketiak atau inguinal.
Antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron. Hindari
pemakaian asetosal karena bahaya perdarahan.
4. Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
Pasien DHF perlu diobservasi teliti terhadap penemuan dini tanda syok, yaitu:
1. Keadaan umum memburuk.
2. Terjadi pembesaran hati.
3. Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia.
4. Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala.
Jika ditemukan tanda-tanda dini tersebut, infus harus segera dipersiapkan dan
terpasang pada pasien. Observasi meliput pemeriksaan tiap jam terhadap keadaan
umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernafasan; serta Hb dan Ht setiap 4-6 jam pada
hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya setiap 24 jam.
Terapi untuk sindrom syok dengue bertujuan utama untuk mengembalikan volume
cairan intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal ini dapat tercapai dengan
pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan dapat berupa NaCl 0,9%, Ringers
lactate (RL) atau bila terdapat syok berat dapat dipakai plasma atau ekspander plasma.
Jumlah cairan disesuaikan dengan perkembangan klinis.
Kecepatan permulaan infus ialah 20 ml/kg berat badan/ jam, dan bila syok telah
diatasi, kecepatan infus dikurangi menjadi 10 ml/kg berat badan/ jam.
Pada kasus syok berat, cairan diberikan dengan diguyur, dan bila tak tampak perbaikan,
diusahakan pemberian plasma atau ekspander plasma atau dekstran atau preparat
hemasel dengan jumlah 15-29 ml/kg berat badan. Dalam hal ini perlu diperhatikan
keadaan asidosis yang harus dikoreksi dengan Na-bikarbonat. Pada umumnya untuk
menjaga keseimbangan volume intravaskular, pemberian cairan intravena baik dalam
bentuk elektrolit maupun plasma dipertahankan 12-48 jam setelah syok selesai.
36
Pada tahun 1997, WHO merekomendasikan jenis larutan infus yang dapat
diberikan pada pasien demam dengue/DBD:
1. Kristaloid.
a. Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL).
b. Larutan ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA).
c. Larutan NaCl 0,9% (garam faali/GF) atau dekstrosa 5% dalam larutan faali (D5/GF).
2. Koloid (plasma).
Transfusi darah dilakukan pada:
1. Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan melena).
2. Pasien sindrom syok dengue yang pada pemeriksaan berkala, menunjukkan
penurunan kadar Hb dan Ht.
Pemberian transfusi profilaksis trombosit atau produk darah masih banyak
dipraktikkan. Padahal, penelitian Lum et al. (2003) menemukan bukti bahwa praktik ini
tidak berguna dalam pencegahan perdarahan yang signifikan.
Pemberian kortikosteroid tidak memberikan efek yang bermakna. Pada pasien
dengan syok yang lama, koagulopati intravaskular diseminata (disseminated
intravascular coagulophaty, DIC) diperkirakan merupakan penyebab utama perdarahan.
Bila dengan pemeriksaan hemostasis terbukti adanya DIC, heparin perlu diberikan.
(Hendarwanto, 1996).
37
Infeksi primer pada demam dengue dan penyakit mirip dengue biasanya ringan
dan dapat sembuh sendirinya. Kehilangan cairan dan elektrolit, hiperpireksia, dan
kejang demam adalah komplikasi paling sering pada bayi dan anak-anak. Epistaksis,
petekie, dan lesi purpura tidak umum tetapi dapat terjadi pada derajat manapun.
Keluarnya darah dari epistaksis, muntah atau keluar dari rektum, dapat memberi kesan
keliru perdarahan gastrointestinal. Pada dewasa dan mungkin pada anak-anak, keadaan
yang mendasari dapat berakibat pada perdarahan signifikan. Kejang dapat terjadi saat
temperatur tinggi, khususnya pada demam chikungunya. Lebih jarang lagi, setelah fase
febril, astenia berkepanjangan, depresi mental, bradikardia, dan ekstrasistol ventrikular
dapat terjadi.
Komplikasi akibat pelayanan yang tidak baik selama rawatan inap juga dapat
terjadi berupa kelebihan cairan (fluid overload), hiperglikemia dan hipoglikemia,
ketidak seimbangan elektrolit dan asam-basa, infeksi nosokomial, serta praktik klinis
yang buruk (Dengue: Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control,
WHO, 2009).
38
Di daerah endemis, demam berdarah dengue harus dicurigai terjadi pada orang yang
mengalami demam, atau memiliki tampilan klinis hemokonsentrasi dan trombositopenia
(Halstead, 2007).
I. Prognosis
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi
yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi
pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat
kematian dapat ditekan <1% kasus. Keselamatan secara langsung berhubungan dengan
penatalaksanaan awal dan intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak
yang disebabkan syok berkepanjangan atau perdarahan intrakranial (Halstead, 2007).
J. Kriteria Memulangkan Pasien.
Pasien dapat pulang jika syarat-syarat sebagai berikut terpenuhi:
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa pemberian antipiretik.
2. Nafsu makan membaik.
3. Tampak perbaikan secara klinis.
4. Hematokrit stabil.
5. Tiga hari setelah syok teratasi.
6. Jumlah trombosit >50.000/ml. Perlu diperhatikan, kriteria ini berlaku bila pada
sebelumnya pasien memiliki trombosit yang sangat rendah, misalnya 12.000/ml.
7. Tidak dijumpai distres pernapasan (Mansjoer, 2001).
K. Pencegahan
Belum ada vaksin yang tersedia melawan dengue, dan tidak ada pengobatan
spesifik untuk menangani infeksi dengue. Hal ini membuat pencegahan adalah langkah
terpenting, dan pencegahan berarti menghindari gigitan nyamuk jika kita tinggal di atau
bepergian ke area endemik (CDC, 2010).
Jalan terbaik untuk mengurangi nyamuk adalah menghilangkan tempat nyamuk
bertelur, seperti bejana/ wadah yang dapat menampung air. Nyamuk dewasa menggigit
pada siang hari dan malam hari saat penerangan menyala. Untuk menghindarinya, dapat
menggunakan losion antinyamuk atau mengenakan pakaian lengan pajang/celana
panjang dan mengamankan jalan masuk nyamuk ke ruangan.
39
masuk
ke
dalam
ruang
interstisial
sehingga
menyebabkan
hipotensi,
dimediasi antibodi.
Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada
monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE).
Limfosit T, baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan memproduksi
interferon gamma, interleukin-2 (IL-2) dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus.
Namun, proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag. Selain itu, aktivasi oleh
terbentuknya senyawa proaktivator C3a dan C5a, sementara proaktivator C1q, C3, C4,
C5-C8, dan C3 menurun. Faktor-faktor di atas dapat berinteraksi dengan sel-sel endotel
untuk
oksida. Sistem pembekuan darah dan fibrinolisis diaktivasi, dan jumlah faktor XII
(faktor
sumsum
41
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan
hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi
peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin
dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru mengalami kenaikan, hal ini
menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi
terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan
fragmen C3g, terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses
koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan senyawa adenin-di-fosfat (ADP), peningkatan kadar tromboglobulin dan faktor prokoagulator IV yang merupakan penanda degranulasi
trombosit. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
42
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui jalur ekstrinsik (tissue factor
pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui
aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex) . Kebocoran kapiler menyebabkan
cairan, elektrolit, protein kecil, dan, dalam beberapa kejadian, sel darah merah masuk ke
dalam ruang ekstravaskular. Redistribusi cairan internal ini, bersama dengan defisiensi
nutrisi oleh karena kelaparan, haus, dan muntah, berakibat pada penurunan
hemokonsentrasi, hipovolemia, peningkatan kerja jantung, hipoksia jaringan, asidosis
metabolik dan hiponatremia . Penelitian tentang patogenesis yang menjelaskan
keparahan penyakit dengue sudah banyak dilakukan. Survei berkala terhadap serotipe
DENV memberi pandangan bahwa beberapa subtipe secara lebih umum dikaitkan
dengan keparahan dengue. Muntaz et al. (2006) dalam penelitiannya menemukan DEN3 menyebabkan infeksi lebih parah dibandingkan serotipe lainnya. Hal ini dikaitkan
dengan kemampuan virus untuk bereplikasi untuk menghasilkan titer virus yang lebih
tinggi.Sementara dalam laporan WHO Scientific Working Group: Report on Dengue
(2006), ditemukan keadaan lain yang mempengaruhi keparahan penyakit dengue:
1. Adanya hubungan infeksi primer dan sekunder. Contohnya, kombinasi serotipe
primer dan sekunder DEN-1/DEN-2 atau DEN-1/DEN-3 dipandang memberi risiko
yang tinggi untuk terkena dengue yang parah.
2. Imunitas individu dalam menghasilkan sitokin dan kemokin yang dihasilkan oleh
aktivasi imun berhubungan dengan keparahan penyakit.
3. Semakin panjang interval antara infeksi virus dengue primer dan sekunder, maka
keparahan dengue semakin meningkat.
4. Peranan genetik juga diduga berpengaruh terhadap keparahan penyakit. Penelitian
menunjukkan prevalensi DBD pada orang negroid diasosiasikan dengan insidensi yang
rendah (2%), sementara orang kaukasoid memilki insidensi yang lebih tinggi (30%)
Setiap penderita harus ditentukan juga derajat spektrum klinisnya berdasarkan kriteria
WHO 1997 yaitu:
Derajat I: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
43
44
infus ialah 20 ml/kg berat badan/ jam, dan bila syok telah diatasi, kecepatan infus
dikurangi menjadi 10 ml/kg berat badan/ jam.
Pada kasus syok berat, cairan diberikan dengan diguyur, dan bila tak tampak perbaikan,
diusahakan pemberian plasma atau ekspander plasma atau dekstran atau preparat
hemasel dengan jumlah 15-29 ml/kg berat badan. Dalam hal ini perlu diperhatikan
keadaan asidosis yang harus dikoreksi dengan Na-bikarbonat. Pada umumnya untuk
menjaga keseimbangan volume intravaskular, pemberian cairan intravena baik dalam
bentuk elektrolit maupun plasma dipertahankan 12-48 jam setelah syok selesai.
Transfusi darah dilakukan pada:
1. Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan melena).
2. Pasien sindrom syok dengue yang pada pemeriksaan berkala, menunjukkan
penurunan kadar Hb dan Ht
45