Anda di halaman 1dari 45

I.

Skenario A Blok 26 Tahun 2014


Budi, seorang anak laki-laki berusia 3 tahun, dibawa oleh ibunya berobat karena
kaki dan tangannya teraba dingin seperti es. Empat hari yang lalu Budi demam
tinggi terus menerus, tidak mengigil, disertai sakit kepala, pegal-pegal dan sakit
perut. Tidak ada batuk pilek, buang air besar dan buang air kecil seperti biasa.
Budi sudah diberi obat penurun panas, namun panas turun sebentar dan kemudian
naik lagi. Satu hari yang lalu panas mulai turun disertai mimisan. Sejak 6 jam
yang lalu pasien tidak buang air kecil disertai tangan dan kaki teraba dingin seperti
es.
Riwayat mimisan sebelumnya disangkal.
Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: gelisah/delirium, TD 70/50 mmHg, Nadi: filiformis, RR: 36
x/menit, T: 36,2oC, BB: 15 kg, TB: 98 cm. Rumple leede test (+)
Keadaan spesifik:
Kepala : konjungtiva tidak pucat, nafas cuping hidung (-)
Thoraks: simetris, dyspnea (-), Jantung: bunyi jantung I-II normal, bising jantung
(-), irama derap (-). Paru: suara nafas vesikuler, kiri=kanan, wheezing (-).
Abdomen: datar, lemas, hati teraba 2 cm dibawah arcus costae, lien tidak teraba,
BU (+) normal
Extremitas: akral dingin, capillary refill time 4.
Pemeriksaan Penunjang:
Hb: 12 g/dL, Ht: 45vol%, Leukosit: 2.800/mm3, Trombosit 45.000/mm3
II.

Klarifikasi Istilah
1. Demam:
Peningkatan temperatur tubuh diatas normal biasanya 39,4 oC sampai 41,1o C
2. Mimisan:
Perdarahan yang keluar dari lubang hidung dikarenakan lepasnya mukosa
yang mengandung pembuluh darah kecil.
3. Menggigil:
Perasaan dingin disertai dengan getaran tubuh.
4. Filliformis:

Pembuluh darah yang berbentuk benang-benang kecil karena kurangnya aliran


darah ke perifer.
5. Delirium:
Gangguan kesadaran yang biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada
fungsi kognitif, biasanya menunjukkan tanda-tanda seperti rasa menganduk
dan orientasi berkurang.
6. Rumple leede test:
Pemeriksaan bidang hematologi dengan melakukan pembendungan pada
bagian lengan atas selama 10 menit untuk uji diagnostic kerapuhan vaskuler
dan fungsi trombosit. Hal ini dilakukan untuk menentukan apakah pasien
terkena DBD.
7. Nafas cuping hidung
Keadaan dimana pada saat bernafas hidung dan cuping ikut bergerak atau
kembang kempis.
8. Whezzing:
Suara yang bernada tinggi yang terjadi akibat aliran udara yang melalui
saluran nafas yang sempit.
9. Capillary refill time:
Waktu yang diperlukan untuk kembalinya warna kulit setelah dilakukan
capillary refill test (tes yang dilakukan di dasar kuku untuk memonitor
dehidrasi dan jumlah aliran darah ke jaringan/perfusi).
III.

Identifikasi Masalah
A. Budi, seorang anak laki-laki berusia 3 tahun, dibawa oleh ibunya berobat
karena kaki dan tangannya teraba dingin seperti es.
B. Empat hari yang lalu Budi demam tinggi terus menerus, tidak mengigil,
disertai sakit kepala, pegal-pegal dan sakit perut. Tidak ada batuk pilek, buang
air besar dan buang air kecil seperti biasa.
C. Budi sudah diberi obat penurun panas, namun panas turun sebentar dan
kemudian naik lagi. Satu hari yang lalu panas mulai turun disertai mimisan.
D. Sejak 6 jam yang lalu pasien tidak buang air kecil. Riwayat mimisan
sebelumnya disangkal.
E. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: gelisah/delirium, TD 70/50 mmHg, Nadi: filiformis, RR: 36
x/menit, T: 36,2oC, BB: 15 kg, TB: 98 cm. Rumple leede test (+)
F. Keadaan Spesifik

Abdomen: datar, lemas, hati teraba 2 cm dibawah arcus costae, lien tidak
teraba,
G. Pemeriksaan Penunjang
Hb: 12 g/dL, Ht: 45vol%, Leukosit: 2.800/mm3, Trombosit 45.000/mm3
IV.

Analisis Masalah
1. Budi, seorang anak laki-laki berusia 3 tahun, dibawa oleh ibunya berobat karena
kaki dan tangannya teraba dingin seperti es.
a. Apa etiologi akral dingin?
Akral dingin dapat terjadi pada kasus dengue shock syndrome, gagal
jantung.
Akral dingin dapat terjadi karena syok hipovolemik

menurunnya

volume intravaskuler penurunan volume intraventrikel kiri pada akhir


diastol curah jantung penurunan pengisian kapiler perfusi perifer
yang buruk (karena pada saat ini tubuh lebih mengutamakan perfusi ke
organ-organ vital seperti otak dan jantung) penghantaran panas oleh
darah akral menjadi dingin.
b. Bagaimana mekanisme akral dingin?
Infeksi Dengue Permeabilitas Pembuluh Darah Meningkat Kebocoran
Plasma Syok Hipovolemia Kegagalan Sirkulasi Akral dingin
c. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin terhadap keluhan?
Kejadian DBD pada anak usia kurang dari 5 tahun adalah sebesar 35,7%.
Jenis kelamin laki-laki lebih banyak, yaitu 54,6% dan perempuan adalah
sebesar 45,4%.
2. Empat hari yang lalu Budi demam tinggi terus menerus, tidak mengigil, disertai
sakit kepala, pegal-pegal dan sakit perut. Tidak ada batuk pilek, buang air besar
dan buang air kecil seperti biasa.
a. Jelaskan klasifikasi demam?
1. Demam Septik Dan Demam Hektik
Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang
tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat diatas normal
pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila
demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan
juga demam hektik.
3

Contoh : Tuberkulosis & Abses Piogenik.


2. Demam Remiten
Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak
pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin
tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu
yang dicatat pada demam septik.
Contoh : demam tifoid, infeksi virus & mikoplasma.
3. Demam Intermitten
Pada demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal
selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi
setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas
demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.
Contoh : Malaria.
4. Demam kontinyu
Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda
lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi
sekali disebut hiperpireksia.
Contoh : Pneumonia.
5. Demam siklik
Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa
hari yang diikuti periode bebas demam untuk beberapa hari yang
kemudian diikuti oleh kenaikan suhu tubuh seperti semula.
Contoh : limfoma hodgkin's.
6. Undulant fever
Menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan menetap tinggi selama
beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi normal.
7. Demam lama (prolonged fever)
Menggambarkan satu penyakit dengan lama demam melebihi yang diharapkan
untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari untuk infeksi saluran nafas atas.
8. Demam rekuren
Demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada satu penyakit yang
melibatkan organ yang sama (contohnya traktus urinarius) atau sistem organ
multipel.
9. Demam bifasik

Menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang berbeda (camelback


fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis merupakan contoh klasik
dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk leptospirosis, demam
dengue, demam kuning, colorado tick fever, spirillary rat-bite fever (spirillum
minus), dan african hemorrhagic fever (marburg, ebola, dan demam lassa).
10. Relapsing fever dan demam periodik:
Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval
regular atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa
minggu atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah
malaria (istilah tertiana digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana
bila demam terjadi setiap hari ke-4) dan brucellosis.
11. Demam dengan localizing signs
Penyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatrik berada
pada kategori ini Demam biasanya berlangsung singkat, baik karena mereda
secara spontan atau karena pengobatan spesifik seperti pemberian antibiotik.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dan
dipastikan dengan pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan foto rontgen
dada.
12. Demam tanpa localizing signs
Sekitar 20% dari keseluruhan

episode

demam

menunjukkan

tidak

ditemukannya localizing signs pada saat terjadi. Penyebab tersering adalah


infeksi virus, terutama terjadi selama beberapa tahun pertama kehidupan.
Infeksi seperti ini harus dipikirkan hanya setelah menyingkirkan infeksi saluran
kemih dan bakteremia.
13. Persistent Pyrexia of Unknown Origin (PUO)
Istilah ini biasanya digunakan bila demam tanpa localizing signs bertahan
selama 1 minggu dimana dalam kurun waktu tersebut evaluasi di rumah sakit
gagal mendeteksi penyebabnya. Persistent pyrexia of unknown origin, atau
lebih dikenal sebagai fever of unknown origin (FUO) didefinisikan sebagai
demam yang berlangsung selama minimal 3 minggu dan tidak ada kepastian
diagnosis setelah investigasi 1 minggu di rumah sakit.

b. Bagaimana etiologi dan mekanisme demam tinggi terus menerus?


Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5C yang dapat
terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi
pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat (Dinarello & Gelfand,
2005).
5

Etiologi Demam
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.
Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur,
ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam
pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis,
tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis,
ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain
(Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam
antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam
chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis, 2011). Infeksi
jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides
imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011). Infeksi parasit yang pada
umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan
helmintiasis (Jenson & Baltimore, 2007). Demam akibat faktor non infeksi
dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu
lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll),
penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll),
keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma non- hodgkin, leukemia, dll), dan
pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin)
(Kaneshiro & Zieve, 2010). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami
demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama 1-10
hari (Graneto, 2010). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi
penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan
otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya
(Nelwan, 2009).
Patofisiologi Demam
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen.
Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua
yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien.
Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin
atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah
endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis
6

lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang
berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL1, IL-6, TNF-, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya
adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat
mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello & Gelfand,
2005).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit,
limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator
inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan
zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-, dan
IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium
hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005).
Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan
termostat

di

pusat

termoregulasi

hipotalamus.

Hipotalamus

akan

menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru
sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas
antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti
memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan
penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu
tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001). Demam
memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan.
Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh
yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan
aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan
merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan
fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik
patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan
merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi
pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas
sehingga tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal & Zhukovsky, 2006).
c. Bagaimana etiologi dan mekanisme sakit kepala pada kasus?
7

Infeksi virus dengue pada tubuh manusia menyebabkan makrofag


melepaskan pirogen endogen (Interleukin-1) kemudian dibawa oleh sirkulasi
sampai ke hipotalamus. Di hipotalamus pirogen endogen akan berikatan
dengan reseptor pengatur suhu untuk mengaktivasi fosfolipase A2 agar dapat
melepaskan asam arakidonat. Asam arakidonat diubah oleh enzim COX2
menjadi Prostaglandin (PGE2) yang akan merangsang peningkatan suhu
tubuh sehingga terjadi demam, selain dapat meningkatkan set point suhu
tubu, PGE2 juga membuat pembuluh darah di otak menjadi dilatasi yang
dapat menyebabkan nyeri kepala (Wienecke et al, 2009).
d. Bagaimana etiologi dan mekanisme pegal-pegal?
Pada seseorang dengan hipoperfusi, asupan oksigen dan glukosa akan
menurun sehingga tubuh kekurangan energi, Respon dari tubuh adalah
melakukan pembentukan energi melalui jalur anaerob dimana hasil akhirnya
adalah asam laktat yang membuat otot pegal. Selain pegal, otot bisa disertai
rasa nyeri. Pada kasus DBD, virus dengue akan merangsang berbagai respon
imun termasuk sel Th1. Sel Th1 akan memproduksi IFN-. IFN-
sebenarnya

berfungsi

sebagai

penginduksi

makrofag

yang

poten,

menghambat replikasi virus, dan menstimulasi sel B untuk memproduksi


antibodi. Namun, bila jumlahnya terlalu banyak akan menimbulkan efek
toksik seperti demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala
berat, muntah, dan somnolen (Soedarmo, 2002).
e. Bagaimana etiologi dan mekanisme sakit perut?
Nyeri perut merupakan manifestasi klinis dari Dengue Hemorrhage
Syndrome.
Penyebab dari nyeri perut di bawah lengkung iga sebelah kanan ini adalah
pembesaran hati (liver) sehingga terjadi peregangan selaput yang
membungkus hati.
f. Bagaimana makna klinis tidak mengigil, tidak ada batuk pilek, BAK seperti
biasa.
Tidak ada batuk pilek bukan dari infeksi saluran pernapasan
BAK seperti biasa belum mengalami syok

3. Budi sudah diberi obat penurun panas, namun panas turun sebentar dan
kemudian naik lagi. Satu hari yang lalu panas mulai turun disertai mimisan.
a. Apa saja obat penurun panas yang umum dipakai pada anak-anak?
Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah
parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi
dalam menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang
lama (Graneto, 2010). Pada anak-anak, dianjurkan untuk pemberian
parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan
dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anakanak (Kaushik, Pineda, & Kest, 2010). Dosis parasetamol juga dapat
disederhanakan menjadi:

b. Bagaimana makna klinis panas turun sebentar kemudian naik lagi?


Panas turun sebentar kemudian naik lagi menandakan demam yang terjadi
pada Budi merupakan demam tipe bifasik. Demam Bifasik yaitu demam
dengan 2 episode yang berbeda (pelana kuda/ saddleback fever), demam
pertama dengan durasi 2-3 hari, kemudian turun sampai dengan hari ke-5,
kemudian demam lagi bahkan kenaikan suhu bisa lebih tinggi. Contoh klasik
dari pola demam ini yaitu Demam Dengue (Demam berdarah, dengan tandatanda perdarahan di gusi, hidung, dan ruam kulit), Demam Kuning (warna
kuning pada sclera mata), Poliomielitis (lumpuh layu), Cikungunya (nyeri
sendi, dan lesi kulit bentuk koin), serta Leptospirosis (berasal dari tikus,
bangkai, menyerang sistem syaraf pusat).
c. Bagaimana mekanisme mimisan pada kasus? (Fitri, Terry)

Infeksi Dengue virus Replikasi virus Kompleks virus antibody


agregasi trombosit Penghancuran trombosit oleh RES Trombositopenia
Perdarahan mimisan

Kompleks virus antibody agregasi trombosit + aktivasi koagulasi


Pengeluaran platelet faktor III koagulapati konsumtif penurunan faktor
pembekuan perdarahan mimisan
4. Sejak 6 jam yang lalu pasien tidak buang air kecil. Riwayat mimisan
sebelumnya disangkal.
a. Apa makna klinis tidak buang air kecil?
Tidak buang air kecil menandakan sudah terjadi syok. Pada DBD
terjadi

proliferasi

dan

transformasi

limfosit

dengan

menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya


virus kompleks antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen
(C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan
permeabilitas

dinding

pembuluh

darah

sehingga

plasma

merembes ke ruang ekstravaskular, Volume plasma intravaskular


menurun

hingga

menyebabkan

hipovolemia

hingga

syok

mengakibatkan terjadi efusi cairan serosa ke rongga pleura dan


peritoneum, hipoproteinemia, hemokonsentrasi dan hipovolemia,
yang

mengakibatkan

berkurangnya

venous

return,

preload

miokard, volume sekuncup dan curah jantung, sehingga terjadi


disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ. Penurunan perfusi
ginjal menyebabkan pelepasan renin, angiotensin II, aldosteron
dan arginine vasopressin (AVP) sehingga terjadi retensi air dan
sodium serta peningkatan volume intravaskular. Gangguan perfusi
ginjal ditandai dengan oliguria atau anuria. Syok pada DBD
biasanya terjadi antara hari sakit ke 2-7 (Tobin dan Wetzel, 1996;
WHO, 1997).

b. Bagaimana interpretasi riwayat mimisan sebelumnya disangkal?


Hal ini menunjukkan bahwa sebelumnya belum termasuk fase Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF). Salah satu gejala Mild Hemorrhagic adalah
pendarahan mucosa di hidung atau gusi
5. Pemeriksaan fisik.
10

Keadaan umum: gelisah/delirium, TD 70/50 mmHg, Nadi: filiformis, RR: 36


x/menit, T: 36,2oC, BB: 15 kg, TB: 98 cm. Rumple leede test (+)
Keadaan spesifik:
Kepala : konjungtiva tidak pucat, nafas cuping hidung (-)
Thoraks: simetris, dyspnea (-), Jantung: bunyi jantung I-II normal, bising
jantung (-), irama derap (-). Paru: suara nafas vesikuler, kiri=kanan, wheezing
(-).
Abdomen: datar, lemas, hati teraba 2 cm dibawah arcus costae, lien tidak teraba,
BU (+) normal
Extremitas: akral dingin, capillary refill time 4.
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: gelisah/delirium, TD 70/50 mmHg, Nadi: filiformis,
RR: 36 x/menit, T: 36,2oC, BB: 15 kg, TB: 98 cm. Rumple leede test
(+).
Kepala : konjungtiva tidak pucat, nafas cuping hidung (-)
Konjungtiva tidak pucat normal
Nafas cuping hidung (-) normal
Gelisah / derilium akibat kurangnya pasokan darah ke otak
kesadaran
TD 70/50 permeabilitas vaskular kebocoran plasma (plasma
leakage) menurunnya volume intravaskuler penurunan volume
intraventrikel kiri pada akhir diastol curah jantung tekanan darah

Nadi filiformis perfusi perifer terganggu nadi fiiliformis.


RR 36x/menit syok hipovolemi RR
T 36.2C dibawah normal. Suhu yang turun dibawah normal ini
menandakan bahwa pasien ini sedang berada pada fase syok. Kurangnya
volume intravaskuler berkurangnya aliran darah panas yang
dibawa darah suhu menjadi rendah.
IMT 15.61 normal
Rumple leede test (+) menandakan positif DBD dikarenakan
trombositopenia

11

Thoraks: simetris, dyspnea (-), Jantung: bunyi jantung I-II normal, bising
jantung (-), irama derap (-). Paru: suara nafas vesikuler, kiri=kanan,
wheezing (-).
Abdomen: datar, lemas, hati teraba 2 cm dibawah arcus costae, lien tidak
teraba, BU (+) normal.
Pada pemeriksaan thoraks didapatkan kondisi dalam keadaan normal.
Pada pasien DBD dapat terjadi efusi pleura apabila telah terjadi
perembesan plasma hebat yang ditandai dengan gejala klinis dysnea
dan wheezing (Suhendro dkk, 2009).
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan permukaan rata , tidak
membuncit atau cekung serta lemas, tidak tegang menunjukan
normal. Bising usus normal (terdengar tiap 10 sampai 30 detik). Pada
anak umur 2-3 tahun, hati normal teraba 1-2 cm di bawah arcus
costae. Pemeriksaan bunyi jantung, bising jantung dan irama normal
mengindikasikan tidak ada penyakit jantung. Pada pasien DBD
biasanya terjadi hepatomegali. Pada kasus tergolong normal tetapi
sudah mencapai batas aman. Hepatomegali pada pasien DBD terjadi
akibat kerja berlebihan hepar untuk mendestruksi trombosit dan
untuk menghasilkan albumin. Selain itu, sel-sel hepar terutama sel
Kupffer mengalami banyak kerusakan akibat infeksi virus dengue
(Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).
Lien tidak teraba berarti normal, walaupun pada beberapa kasus
DBD terjadi pembesaran lien.
b. Bagaimana cara pemeriksaan rumple leede test dan capillary refill time?
1. Rumple leed test adalah salah satu cara yang paling mudah dan cepat
untuk menentukan apakah terkena demam berdarah atau tidak. Rumple
leed adalah pemeriksaan bidang hematologi

dengan

melakukan

pembendungan pada bagian lengan atas selama 10 menit untuk uji


diagnostik

kerapuhan

vaskuler

dan

fungsi

trombosit.

Prosedur

pemeriksaan Rumple leed tes yaitu:


12

1. Pasang ikatan sfigmomanometer pada lengan atas dan pump sampai


tekanan 100 mmHg (jika tekanan sistolik pasien < 100 mmHg, pump
sampai tekanan ditengah-tengah nilai sistolik dan diastolik).
2. Biarkan tekanan itu selama 10 menit (jika test ini dilakukan sebagai
lanjutan dari test IVY, 5 menit sudah mencukupi).
3. Lepas ikatan dan tunggu sampai tanda-tanda statis darah hilang
kembali. Statis darah telah berhenti jika warna kulit pada lengan
yang telah diberi tekanan tadi kembali lagi seperti warna kulit
sebelum diikat atau menyerupai warna kulit pada lengan yang satu
lagi (yang tidak diikat).
4. Cari dan hitung jumlah petechiae yang timbul dalam lingkaran
bergaris tengah 5 cm kira-kira 4 cm distal dari fossa cubiti.
Catatan:
- Jika ada > 10 petechiae dalam lingkaran bergaris tengah 5 cm kira-kira 4
cm distal dari fossa cubiti test Rumple Leede dikatakan positif.
Seandainya dalam lingkaran tersebut tidak ada petechiae, tetapi terdapat
petechiae pada distal yang lebih jauh daripada itu, test Rumple Leede
-

juga dikatakan positif.


Warna merah didekat bekas ikatan tensi mungkin bekas jepitan, tidak

ikut diikut sebagai petechiae.


Pasien yg tekanan darahnya tdk diketahui, tensimeter dapat dipakai pada

tekanan 80 mmHg.
Pasien tidak boleh diulang pada lengan yang sama dalam waktu 1
minggu.

Derajat laporan :
(-) = tidak didapatkan petechiae
(+1) = timbul beberapa petechiae dipermukaan pangkal lengan
(+2) = timbul banyak petechiae dipermukaan pangkal lengan
(+3) = timbul banyak petechiae diseluruh permukaan pangkal lengan &
telapak tangan muka & belakang
(+4) = banyak sekali petechiae diseluruh permukaan lengan, telapak tangan
& jari, muka & belakang
Ukuran normal: negative atau jumlah petechiae tidak lebih dari 10

13

2. Capillary refill time adalah tes yang dilakukan cepat pada daerah dasar
kuku untuk memonitor dehidrasi dan jumlah aliran darah ke jaringan
(perfusi).
Jaringan membutuhkan oksigen untuk hidup, oksigen dibawa kebagian
tubuh oleh system vaskuler darah.
Tes CRT dilakukan dengan memegang tangan pasien lebih tinggi dari
jantung (mencegah refluks vena), lalu tekan lembut kuku jari tangan atau
jari kaki sampai putih, kemudian dilepaskan. Catatlah waktu yang
dibutuhkan untuk warna kuku kembali normal (memerah) setelah
tekanan dilepaskan.
Nilai normal:
Jika aliran darah baik ke daerah kuku, warna kuku kembali normal
kurang dari 2 detik.
CRT memanjang (> 2 detik) pada :
a. Dehidrasi (hipovolumia)
b. Syok
c. Peripheral vascular disease
d. Hipotermia
CRT memanjang utama ditemukan pada pasien yang mengalami keadaan
hipovolumia (dehidrasi,syok), dan bisa terjadi pada pasien yang
hipervolumia yang perjalanan selanjutnya mengalami ekstravasasi cairan
dan penurunan cardiac output dan jatuh pada keadaan syok.

6. Pemeriksaan penunjang
14

Hb: 12 g/dL, Ht: 45vol%, Leukosit: 2.800/mm3, Trombosit 45.000/mm3


a. Interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan penunjang.
1. Hb (Nilai normal anak 11-16 gram/dL, batita 9-15 gram/dL, bayi 10-17
gram/dL, neonatus 14-27 gram/dL) interpretasi: normal
Kadar Hb pada hari-hari pertama biasanya normal atau sedikit menurun.
Kemudian Hb akan naik mengikuti peningkatan hemokonsentrasi dan
merupakan kelainan hematologi paling awal yang dapat ditemukan pada
DBD.
2. Ht (Nilai normal anak 31-45%, batita (3-6 tahun) 35-44%, bayi 2954%, neonatus 40-68%) interpretasi: cenderung tinggi (di atas nilai
normal)
Mekanisme :
Infeksi Dengue terhadap sel-sel monosit, makrofag, dan dendrit
menyebabkan produksi mediator-mediator yang mempengaruhi fungsi
sel

endotel.

Monosit

yang

terinfeksi

menginduksi

perubahan

permeabilitas sel-sel endotel umbilikus manusia karena terkait dengan


pengaruh TNF-.
Infeksi Dengue juga dapat menginduksi maturasi sel dendrit. Melalui sel
dendrit virus Dengue dapat memicu ekspresi enzim-enzim matrix
metalloprotease, MMP-2 dan MMP-9, meningkatkan permeabilitas yang
berakibat kebocoran plasma dan perdarahan. Perlakuan sel-sel endotel
umbilikus manusia dengan pembiakan sel-sel dendrit yang terinfeksi
juga menunjukkan kenaikan permeabilitas, berkaitan dengan turunnya
respon Platelet Endothelial Cell Adhesion Molecule-1, ekspresi VEcadherin,

dan

reorganisasi

dari

F-actin.

Isolasi

jaringan

kulit

menunjukkan bahwa sel dendrit dapat pula terinfeksi lokal oleh inokulasi
virus Dengue.
Sitokin dan kemokin tersebut yang diinduksi oleh selsel T juga
berdampak pada permeabilitas vaskuler sebagai penyebab kebocoran
plasma DBD.
Adanya kebocoran plasma inilah yang menyebabkan peningkatan
hematokrit.

15

3. Leukosit (Nilai normal 5000-10.000 cells/mcL) interpretasi:


leukopenia
Pada penderita DBD dapat terjadi leukopenia ringan sampai lekositosis
sedang. Lekopeni dapat dijumpai antara hari pertama dan ketiga dengan
hitung jenis yang masih dalam batas normal. Jumlah granulosit menurun
pada hari ketiga sampai ke delapan. Pada syok berat, dapat dijumpai
lekositosis dengan netropenia absolut. Hal lain yang menarik adalah
ditemukannya cukup banyak (20 50%) limfosit bertransformasi atau
atipik dalam sediaan apus darah tepi penderita DBD, terutama pada
infeksi sekunder. Limfosit atipik ini merupakan sel berinti satu
(mononuklear) dengan struktur kromatin inti halus dan agak padat, serta
sitoplasma yang relatif lebar dan berwarna biru tua. Oleh karenanya sel
ini juga dikenal sebagai limfosit plasma biru. Limfosit plasma biru ini
sudah dapat ditemukan sejak hari ketiga panas dan digunakan sebagai
penunjang diagnostic.
4. Trombosit (Nilai normal: 150.000-450.000 cell/mcL) interpretasi:
trombositopenia
Mekanisme abnormal : Infeksi Dengue virus Replikasi virus
Kompleks virus antibody agregasi trombosit Penghancuran
trombosit oleh RES Trombositopenia
7. Bagaimana cara penegakan diagnosis dan pemeriksaan tambahan?
Menurut WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan
laboratorium:
1. Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang

jelas, berlangsung terus-

menerus selama 2-7 hari.


b. Manifestasi perdarahan, termasuk Uji Turniket positif, petekie, ekomosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena.
c. Pembesaran hati.
d. Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
2. Kriteria Laboratorium
a. Trombositopenia (< 100.000/l).

16

b. Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit > 20% menurut


standar umur dan jenis kelamin.
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan dua kriteria klinis pertama ditambah
trombositopenia dan hemokonsentrasi.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/l biasa
ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau
bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang
disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan
peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut
biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Jumlah
leukosit dapat menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif
dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau
syok. Hipoproteinemia akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya
fibrinolisis dan gangguan koagulasi tampak pada penggunaan fibrinogen,
protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT
memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Asidosis metabolik
dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura. Berat ringannya
efusi pleura berhubungan dengan berat ringannya penyakit. Pada pasien
yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral. Kelainan
radiologi yang dapat terjadi yaitu dilatasi pembuluh darah paru terutama
daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang
kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada kanan. Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
c. Diagnosis Laboratoris Lain
Uji laboratorium meliputi isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA
dalam serum atau jaringan tubuh, dan deteksi antibodi spesifik dalam serum
pasien. Isolasi virus merupakan cara yang paling baik dalam arti sangat
menentukan, tetapi diperlukan peralatan dan teknik yang canggih, sehingga
17

tidak dipakai secara rutin. Selain itu juga bisa dengan immunohistochemistry
pada jaringan otopsi dan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk
mendeteksi virus RNA di dalam serum atau jaringan.
d. Uji Mac Elisa
Sesuai namanya, tes ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum
pasien. Antibodi anti-dengue IgM akan timbul lebih dulu dari pada antibodi
anti-dengue IgG, dan biasanya sudah dapat terdeteksi pada hari ke 4-5. Perlu
diketahui pula timbulnya IgM ini dapat bervariasi pada beberapa orang. Pada
beberapa orang dapat timbul pada hari ke 2-4 dari jalannya penyakit tetapi
dapat pula timbul pada hari ke 7-8. Pada beberapa infeksi primer IgM dapat
bertahan di dalam darah sampai 90 hari setelah infeksi, tetapi pada
kebanyakan penderita IgM sudah akan menurun dan hilang pada hari ke-60.
Dari uraian di atas jelas bahwa uji IgM Mac-Elisa tidak selalu dapat
menentukan secara pasti adanya infeksi dengue baru. Jika pengambilan
spesimen akut terlalu dini ada kemungkinan IgM belum timbul sehingga di
dalam uji hasilnya akan negatif, dalam hal seperti ini perlu diulang.
Demikian juga sebaliknya apabila IgM positif, masih belum tentu juga
karena ada kemungkinan infeksi terjadi 60-90 hari yang lalu.
8. Apa DD dan WD ?
Diagnosis Banding :
1. Demam Chikungunya
2. Leptospirosis
3. Idiophatic Thrombocytopenia Purpura (ITP)
Diagnosis kerja : Budi, usia 3 tahun dengan gejala tangan dan kaki terasa dingin dan
sebelumnya mengalami demam tinggi terus menerus, tidak mengigil, disertai sakit
kepala, pegal-pegal dan sakit perut didagnosis menderita Dengue Shock Syndrome.
9. Bagaimana epidemiologi kasus?
Berbagai serotipe virus Dengue endemis di beberapa negara tropis. Di Asia, virus
Dengue endemis di China Selatan, Hainan, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand,
Myanmar, India, Pakistan, Sri Langka, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura.
Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga
1995); dan meningkat saat KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi pada
tahun 1998 yaitu hingga 35 per 100.000 penduduk dan 2004 dengan jumlah
penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun18

tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara
bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak
137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86%
serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau
CFR 0,89%.
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara.
Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes
akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu
udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya
penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus
dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak
terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.
10. Bagaimana etiologi kasus?
DBD disebabkan oleh virus Dengue yang yang termasuk dalam genus Flavivirus,
keluarga Flaviviridae. Flaviviridae merupakan virus dengan diameter 30 mm terdiri
atas ribunuklet rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.
Penularan infeksi virus dengue, manusia, virus, hospes . Ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk Aedes mengandung virus dengue saat menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia.
11. Bagaimana faktor resiko, cara penularan (vector) dan cara mengeradikasi vector?
Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit DBD, antara lain faktor host,
lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri.
1. Faktor host yaitu kerentanan (susceptibility) dan respon imun.
2. Faktor lingkungan (environment) yaitu:
a. Geografi
Lingkungan yang dapat meningkatkan perkembangan nyamuk Aedes
aegypti adalah lingkungan yang lembab dan gelap. Kondisi lingkungan
yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan jentik nyamuk antara
27 hingga 30 derajat Celsius, dengan kelembaban udara antara 70 hingga
74 persen, dan pH rata-rata 7. Sedangkan nyamuk dewasa idealnya
berkembang pada suhu 20 hingga 30 derajat Celsius dan kelembaban
udara di atas 60 persen. Pada kondisi normal seperti ini nyamuk dapat

19

menghasilkan telur antara 50 hingga 100 butir, sedangkan apabila terjadi


peningkatan suhu lingkungan bisa meningkat mencapai 400 butir. Pada
umumnya nyamuk dapat menyelesaikan siklus hidupnya (dari telur
hingga nyamuk dewasa) membutuhkan waktu selama 10-12 hari. Namun,
siklus ini bisa lebih singkat apabila terjadi peningkatan suhu. Perubahan
cuaca karena pemanasan global akibat dari efek rumah kaca (seperti
akibat yang dirasakan saat berada di rumah kaca) akan menyebabkan
meningkatnya populasi nyamuk hingga dua kali lipat. DBD berkembang
di wilayah beriklim tropis terutama pada saat musim hujan.
b. Demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial
ekonomi penduduk).
3. Jenis nyamuk sebagai vektor penular penyakit juga ikut berpengaruh. Faktor
agen yaitu sifat virus Dengue, yang hingga saat ini telah diketahui ada 4
jenis serotipe yaitu Dengue 1, 2, 3 dan 4.
Cara penularan
Penularan DBD terjadi ketika nyamuk terinfeksi virus pada saat menggigit
manusia yang pada darahnya mengandung virus dengue (viremia), selanjutnya
pada usus nyamuk virus akan mengalami replikasi dan berkembang biak
kemudian akan migrasi sampai pada kelenjar ludah. Virus memasuki tubuh
manusia melalui gigitan nyamuk menembus kulit, dengan waktu inkubasi empat
hari virus akan bereplikasi dan berkembang biak pada jaringan dekat titik
inokulasi atau Lymph node dengan cepat dan apabila jumlahnya sudah cukup
virus akan masuk ke dalam sirkulasi darah, yang akan ditandai gejala klinis
berupa demam.
Pemberantasan vektor DBD dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu:
Pengelolaan lingkungan : Pengelolaan lingkungan mencakup semua
perubahan yang dapat mencegah atau meminimalkan perkembangan vektor
sehingga kontak manusia dengan vektor berkurang. Upaya pengelolaan lingkungan
yang dapat diterapkan dalam rangka mengendalikan populasi Ae. aegypti adalah :
1. Modifikasi lingkungan : Menurut Kusnoputranto (2000), modifikasi
lingkungan adalah suatu transformasi fisik permanen (jangka panjang)
terhadap tanah, air dan tumbuhtumbuhan untuk mencegah/menurunkan habitat
jentik tanpa mengakibatkan kerugian bagi manusia. Kegiatan-kegiatan yang

20

dapat dilakukan untuk modifikasi lingkungan antara lain : perbaikan persediaan


air bersih, tanki air atau reservoar di atas atau di bawah tanah dibuat anti
nyamuk dan pengubahan fisik habitat jentik yang tahan lama (WHO, 2001).
2. Manipulasi lingkungan : Menurut Kusnoputranto (2000), manipulasi
lingkungan adalah suatu pengkondisian sementara yang tidak menguntungkan
atau tidak cocok sebagai tempat berkembangbiak vektor penular penyakit.
Beberapa usaha yang memungkinkan dapat dilakukan antara lain antara lain
pemusnahan tempat perkembangbiakan vector, misalnya dengan 3 M plus.
3. Perubahan habitat atau perilaku manusia : Upaya untuk mengurangi
kontak antara manusia dengan vektor, misalnya pemakaian obat nyamuk bakar,
penolak serangga dan penggunaan kelambu (WHO, 2001).
4. Pengendalian biologis : Antara lain dengan menggunakan ikan pemakan
jentik (ikan cupang) dan penggunaan bakteri endotoxin seperti Bacillus
thuringiensis dan Bacillus sphaericus.
5. Pengendalian dengan bahan kimia : Antara lain dengan cara pengasapan
(fogging) menggunakan malathion sebagai upaya pemberantasan terhadap
nyamuk dewasa dan pemberantasan terhadap jentik dengan memberikan
bubuk abate (abatisasi) yang biasa digunakan yakni temephos (Depkes, 2004).
12. Bagaimana patofisiologi kasus?
Virus dengue termasuk ke dalam Arthropoda Borne Virus (Arbo virus) dan
terdiri dari 4 serotype yaitu DEN 1, 2, 3, dan 4. Infeksi virus dengue untuk pertama
kali akan merangsang terbentuknya atibodi non-netralisasi. Sesuai dengan namanya,
antibodi tersebut tidak bersifat menetralkan replikasi virus, tetapi justru memacu
replikasi virus. Akibatnya terbentuk kompleks imun yang lebih banyak pada infeksi
sekunder oleh serotype lain. Hal itu yang menyebabkan manifestasi klinis infeksi
sekunder lebih berat dibanding infeksi sekunder (Soedarmo, 2002).
Antibodi non-netralisasi yang terbentuk akan bersirkulasi bebas di darah atau
menempel di sel fagosit mononuklear yang merupakan tempat utama infeksi virus
dengue. Antibodi non-netralisasi yang menempel pada sel fagosit mononuklear
berperan sebagai reseptor dan generator replikasi virus. Kemudian virus dengue
dengan mudah masuk dan menginfeksi sel fagosit (mekanisme aferen). Selanjutnya
virus bereplikasi di dalam sel fagosit dan bersama sel fagosit yang telah terinfeksi
akan menyebar ke organ lain seperti hati, usus, limpa, dan sumsum tulang belakang
21

(mekanisme eferen). Adanya sel fagosit yang terinfeksi akan memicu respon dari sel
imun lain sehingga muncul berbagai manifestasi klinis \yang disebut sebagai
mekanisme efektor (Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).
Mekanisme efektor dimulai dengan aktivasi sel T helper (CD4), T sitotoksik (CD8),
dan sistem komplemen oleh sel fagosit yang terinfeksi. Th selanjutnya
berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Th1 akan melepaskan IFN-, IL-2, dan
limfokin sedangkan Th2 melepaskan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. Selanjutnya IFN-
akan merangsang monosit melepaskan TNF-, IL-1, PAF, IL-6, dan histamin.
Limfokin juga merangsang makrofag melepas IL-1. IL-2 juga merupakan stimulan
pelepasan IL-1, TNF-, dan IFN-. Pada jalur komplemen, kompleks imun akan
menyebabkan aktivasi jalur komplemen sehingga dilepaskan C3a dan C5a
(anafilatoksin) yang meningkatkan jumlah histamin. Hasil akhir respon imun
tersebut adalah peningkatan IL-1, TNF-, IFN-, IL-2, dan histamin (Kresno, 2001;
Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).
IL-1, TNF-, dan IFN- dikenal sebagai pirogen endogen sehingga timbul
demam. IL-1 langsung bekerja pada pusat termoregulator sedangkan TNF- dan
IFN- bekerja tidak secara langsung karena merekalah yang merangsang pelepasan
IL-1. Bagaimana mekanisme IL-1 menyebabkan demam? Daerah spesifik IL-1
adalah pre-optik dan hipothalamus anterior dimana terdapat corpus callosum lamina
terminalis (OVLT). OVLT terletak di dinding rostral ventriculus III dan merupakan
sekelompok saraf termosensitif (cold dan hot sensitive neurons). IL-1 masuk ke
dalam OVLT melalui kapiler dan merangsang sel memproduksi serta melepaskan
PGE2. Selain itu, IL-1 juga dapat memfasilitasi perubahan asam arakhidonat
menjadi PGE2. Selanjutnya PGE2 yang terbentuk akan berdifusi ke dalam
hipothalamus atau bereaksi dengan cold sensitive neurons. Hasil akhir mekanisme
tersebut adalah peningkatan thermostatic set point yang menyebabkan aktivasi
sistem saraf simpatis untuk menahan panas (vasokontriksi) dan memproduksi panas
dengan menggigil (Kresno, 2001; Abdoerrachman, 2002).

22

Selain menyebabkan demam, IL-1 juga bertanggung jawab terhadap gejala lain
seperti timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan penurunan sintesis
albumin serta transferin. Penurunan nafsu makan merupakan akibat dari kerjasama
IL-1 dan TNF-. Keduanya akan meningkatkan ekspresi leptin oleh sel adiposa.
Peningkatan leptin dalam sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke hipothalamus
ventromedial yang berakibat pada penurunan intake makanan (Luheshi et al., 2000).
IFN- sebenarnya berfungsi sebagai penginduksi makrofag yang poten,
menghambat replikasi virus, dan menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi.
Namun, bila jumlahnya terlalu banyak akan menimbulkan efek toksik seperti
demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala berat, muntah, dan
somnolen (Soedarmo, 2002).
Sejak awal demam sebenarnya telah terjadi penurunan jumlah trombosit pada
penderita DBD. Penurunan jumlah trombosit memudahkan terjadinya perdarahan
pada pembuluh darah kecil seperti kapiler yang bermanifes sebagai bercak
kemerahan. Di sisi lain, peningkatan jumlah histamin meningkatkan permeabilitas
kapiler sehingga terjadi perembesan cairan plasma dari intravaskuler ke interstisiel.
Hal itu semakin diperparah dengan penurunan jumlah albumin akibat kerja IL-1 dan
gangguan fungsi hati. Adanya plasma leakage tersebut menyebabkan peningkatan
Hct. Trombositopenia terjadi akibat pemendekan umur trombosit akibat destruksi
berlebihan oleh virus dengue dan sistem komplemen (pengikatan fragmen C3g);
depresi fungsi megakariosit, serta supresi sumsum tulang. Destruksi trombosit
terjadi di hepar, lien, dan sumsum tulang. Trom bositopenia menyebabkan
perdarahan di mukosa tubuh sehingga sering muncul keluhan melena, epistaksis,
dan gusi berdarah. Hepatomegali pada pasien DBD terjadi akibat kerja berlebihan
hepar untuk mendestruksi trombosit dan untuk menghasilkan albumin. Selain itu,
sel-sel hepar terutama sel Kupffer mengalami banyak kerusakan akibat infeksi virus
dengue. Bila kebocoran plasma dan perdarahan yang terjadi tidak segera diatasi,
maka pasien dapat jatuh ke dalam kondisi kritis yang disebut DSS (Dengue Shock
Sydrome) dan sering menyebabkan kematian (Soedarmo, 2002; Nainggolan et al.,
2006).
23

13. Bagaimana manifestasi klinis kasus?


Manifestasi klinis dari seseorang yang terkena infeksi dengue terdiri dari 3 fase,
yaitu:
1. Fase demam
Fase demam umumnya berlangsung antar 2 sampai 7 hari. Fase demam dimulai
dengan demam tinggi, disertai nyeri kepala terutama didaerah belakang mata,
mual muntah lebih umum terjadi pada anak-anak, fatigue, myalgia, atralgia juga
sering terjadi. Pada fase demam terkadang juga terdapat ruam.
2. Fase kritis
Pada fase kritis suhu tubuh mulai menurun, meningkatnya permeabilitas kapiler,
peningkatan kadar hematokrit dan kemungkinan terjadi kebocoran plasma. Pada
fase kritis pasien harus ditangani dengan baik, jika tidak ditangani maka pasien
akan mengalami shock. Jika pasien dapat melalui fase kritis maka pasien akan
memasuki fase rekoveri yang ditandai keadaan pasien yang mulai membaik.
3. Fase recovery.
Pada fase recovery terjadi penyerapan kembali cairan ekstraseluler secara
gradual, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal menghilang, kadar
hematokrit dan platelet kembali normal.
14. Bagaimana tatalaksana kasus?
a. Oksigenasi berikan oksigen 2 4 liter/menit dan penggantian volume plasma
segera (cairan isotonis RL / NaCL 10 20 ml/kgBb secepatnya (blolus dalam 30
menit).
b. Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi? Pantau tanda vital tiap 10 menit. Catat
balans cairan selama pemberian cairan intravena.
c. Jika syok teratasi cairan dalam tetesan disesuaikan 10 ml/kgBB/ jam
Evaluasi ketat tanda vital, tanda perdarahan Jika sudah stabil 24 jam , tetesan
diberi 5 ml/kgBB/jam turunkan 3 ml.kgBB/jam.
d. Jika syok tidak teratasi cairan dalam tetesan dilanjutkan 10 20 ml/kgBB/
jam Tambahkan koloid /plasma 10 20 ml/kgBB/jam Evaluasi asidosis
dalam 1 jam Jika Ht tetap tinggi maka ditransfusi darah segar.
e. Bagaimana komplikasi kasus?
Komplikasi demam berdarah dengue dapat mengenai berbagai sistem organ, yaitu
1. System saraf (ensefalopati, ensefalitis),
2. Kardiovaskuler (aritmia jantung, myokarditis, perikarditis, syok, DIC),
3. Respirasi (ARDS),
4. Hepatobilier (hepatik ensefalopati, hepatomegali),
24

5.
6.
7.
8.

Limforetikuler (limfadenopati, rupture limfa, infark kelenjar limfa),


Ginjal (gagal ginjal akut),
Musculoskeletal (rhabdomyolisis, myositis), dan
Genitalia (AISE).

f. Bagaimana pencegahan kasus?


Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu
nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :
a. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi
tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan
perbaikan desain rumah. Sebagai contoh: Menguras bak mandi/penampungan air
sekurang-kurangnya sekali seminggu. Mengganti/menguras vas bunga dan
tempat minum burung seminggu sekali. Menutup dengan rapat tempat
penampungan air. Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di
sekitar rumah dan lain sebagainya.
b. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik
(ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14).
c. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan:
- Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion),
berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu
-

tertentu.
Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air

seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.


Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara tersebut, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu
menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti
memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu
pada

waktu

tidur,

memasang

kasa,

menyemprot

dengan

insektisida,

menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll


sesuai dengan kondisi setempat.
d. Bagaimana prognosis kasus?
25

Kematian terhadap demam berdarah dengue cukup tinggi.


e. Apa SKDI kasus ini?
Syok Hipovolemic
: 3B
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan
laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi
pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat darurat).
DHF
: 4A
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.

V.

Kesimpulan
Budi laki-laki 3 tahun mengalami Dengue Shock Syndrome ac DHF.

VI.

Kerangka Konsep

Budi, laki-laki 3 tt terinfeksi


Virus Dengue
Kompleks Ag-Ab
Infeksi sel
monosit, limposit,
makrofag, sel
dendrit
Leukopenia

Sitokin
Proinflamsi

suhu

Agregasi
Trombosit
Gang.
Fungsi
Trombosit

destruksi
trombosit
oleh RES

Aktivasi
Komplemen

Aktivasi
Koagulasi

Mengaktifkan
anafilatoksin
(Ca3 dan Ca5)

Faktor
Pembekuan

Permeabilitas
vaskuler

Trombositopenia

Perdarahan
(Mimisan)

Plasma
Leakage
Syok
Hipovolemic

Urin
(-)

Hipotensi

Nadi
Filiformis

CRT
Memanjang

Gelisah/
Delirium

RR

Ht
Akral Dingin
26

VII.

SINTESIS

DEMAM BERDARAH DENGUE


A. Pengertian Demam Berdarah Dengue
Demam dengue (dengue fever, DF) adalah penyakit yang terutama terdapat pada
anak remaja atau orang dewasa, dengan tanda-tanda klinis demam, nyeri otot dan/atau
nyeri sendi yang disertai leukopenia, dengan/tanpa ruam (rash) dan limfadenopati,
demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada pergerakan bola mata, rasa
mengecap yang terganggu, trombositopenia ringan dan bintik-bintik perdarahan
(petekie) spontan. (Hendarwanto, 1996).
Demam berdarah dengue/DBD (dengue henorrhagic fever, DHF), adalah suatu
penyakit trombositopenia infeksius akut yang parah, sering bersifat fatal, penyakit febril
yang disebabkan virus dengue. Pada DBD terjadi pembesaran plasma yang ditandai
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan tubuh, abnormalitas
hemostasis, dan pada kasus yang parah, terjadi suatu sindrom renjatan kehilangan
protein masif (dengue shock syndrome), yang dipikirkan sebagai suatu proses
imunopatologik (Halstead, 2007).
B. Etiologi Demam Berdarah Dengue
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan
virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4x106 (Suhendro, 2006).
Terdapat paling tidak 4 tipe serotipe virus dengue, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah
dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe
terbanyak.

27

Sebagai tambahan, terdapat 3 virus yang ditulari oleh artropoda (arbovirus) lainnya
yang menyebabkan penyakit mirip dengue (Halstead, 2007).

C. Penularan Demam Berdarah Dengue


Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. Aegepty dan A. Albopticus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan
dengan sanitasi lingkungan dan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina
yaitu bejana yang berisi air, seperti bak mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan
air lainnya.
Beberapa faktor yang diketahui berkaitan dengan transmisi virus dengue, yaitu:
a. Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.
b. Penjamu: terdapatnya penderita di lingkungan, mobilisasi dan paparan terhadap
nyamuk, usia dan jenis kelamin;
c. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi, kepadatan penduduk, dan ketinggian di
bawah 1000 di atas permukaan laut (Suhendro, 2006).
D. Patogenesis Demam Berdarah Dengue
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindroma syok
dengue (dengue shock syndrome).
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi
pertama kali mungkin memberi gejala demam dengue. Reaksi tubuh merupakan reaksi
yang biasa terlihat pada infeksi virus. Reaksi yang amat berbeda tampak, bila seseorang
mendapat infeksi berulang dengan tipe virus yang berlainan. Berdasarkan hal ini
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis yang disebut secondary heterologous
infection atau sequential infection hypothesis. Hipotesis ini telah diakui oleh sebagian
besar para ahli saat ini (Hendarwanto, 1996).
28

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah respon
imun humoral. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enhancement (ADE). Limfosit T, baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan
dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, interleukin-2 (IL-2) dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Monosit dan makrofag berperan dalam
fagositosis virus. Namun, proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag. Selain itu, aktivasi oleh kompleks imun
menyebabkan terbentuknya senyawa proaktivator C3a dan C5a, sementara proaktivator
C1q, C3, C4, C5-C8, dan C3 menurun.
Faktor-faktor di atas dapat berinteraksi dengan sel-sel endotel untuk
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular melalui jalur akhir nitrat oksida.
Sistem pembekuan darah dan fibrinolisis diaktivasi, dan jumlah faktor XII (faktor
Hageman) berkurang. Mekanisme perdarahan pada DBD belum diketahui, tetapi
terdapat hubungan terhadap koagulasi diseminata intravaskular (dissemintated
intravascular coagulation, DIC) ringan, kerusakan hati, dan trombositopenia.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi
sumsum tulang, serta destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan
supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses
hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat
terjadi trombositopenia justru mengalami kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya
stimulasi

trombopoiesis

sebagai

mekanisme

kompensasi

terhadap

keadaan

trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g,


terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan
sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan
pelepasan senyawa adenin-di-fosfat (ADP), peningkatan kadar -tromboglobulin dan
faktor prokoagulator IV yang merupakan penanda degranulasi trombosit.
29

Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang


menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui jalur ekstrinsik (tissue factor
pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui
aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex) (Suhendro, 2006).
Kebocoran kapiler menyebabkan cairan, elektrolit, protein kecil, dan, dalam
beberapa kejadian, sel darah merah masuk ke dalam ruang ekstravaskular. Redistribusi
cairan internal ini, bersama dengan defisiensi nutrisi oleh karena kelaparan, haus, dan
muntah, berakibat pada penurunan hemokonsentrasi, hipovolemia, peningkatan kerja
jantung, hipoksia jaringan, asidosis metabolik dan hiponatremia (Halstead, 2007).
Penelitian tentang patogenesis yang menjelaskan keparahan penyakit dengue
sudah banyak dilakukan. Survei berkala terhadap serotipe DENV memberi pandangan
bahwa beberapa subtipe secara lebih umum dikaitkan dengan keparahan dengue.
Muntaz et al. (2006) dalam penelitiannya menemukan DEN-3 menyebabkan infeksi
lebih parah dibandingkan serotipe lainnya. Hal ini dikaitkan dengan kemampuan virus
untuk bereplikasi untuk menghasilkan titer virus yang lebih tinggi.
Sementara dalam laporan WHO Scientific Working Group: Report on Dengue
(2006), ditemukan keadaan lain yang mempengaruhi keparahan penyakit dengue:
1. Adanya hubungan infeksi primer dan sekunder. Contohnya, kombinasi serotipe
primer dan sekunder DEN-1/DEN-2 atau DEN-1/DEN-3 dipandang memberi risiko
yang tinggi untuk terkena dengue yang parah.
2. Imunitas individu dalam menghasilkan sitokin dan kemokin yang dihasilkan oleh
aktivasi imun berhubungan dengan keparahan penyakit.
3. Semakin panjang interval antara infeksi virus dengue primer dan sekunder, maka
keparahan dengue semakin meningkat.
4. Peranan genetik juga diduga berpengaruh terhadap keparahan penyakit. Penelitian
menunjukkan prevalensi DBD pada orang negroid diasosiasikan dengan insidensi
yang rendah (2%), sementara orang kaukasoid memilki insidensi yang lebih tinggi
(30%).
E. Manifestasi Klinis
30

Prediksi klinis infeksi virus dengue ditentukan oleh hubungan kompleks antara
faktor penjamu dan virus (WHO Scientific Working Group: Report on Dengue, 2006).
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue, atau sindrom
syok dengue (Suhendro, 2006).
1. Demam Dengue
Periode inkubasi adalah 1-7 hari. Manifestasi klinis bervariasi dan dipengaruhi
usia pasien. Pada bayi dan anak-anak, penyakit ini dapat tidak terbedakan atau
dikarakteristikkan sebagai demam selama 1-5 hari, peradangan faring, rinitis, dan batuk
ringan.
Kebanyakan remaja dan orang dewasa yang terinfeksi mengalami demam secara
mendadak, dengan suhu meningkat cepat hingga 39,4-41,1C, biasanya disertai nyeri
frontal atau retro-orbital, khususnya ketika mata ditekan. Kadang-kadang nyeri
punggung hebat mendahului demam. Suatu ruam transien dapat terlihat selama 24-48
jam pertama demam. Denyut nadi dapat relatif melambat sesuai derajat demam. Mialgia
dan artalgia segera terjadi setelah demam.
Dari hari kedua sampai hari keenam demam, mual dan muntah terjadi, dan
limfadenopati generalisata, hiperestesia atau hiperalgesia kutan, gangguan pengecapan,
dan anoreksia dapat berkembang. Sekitar 1-2 hari kemudian, ruam makulopapular
terlihat, terutama di telapak kaki dan telapak tangan, kemudian menghilang selama 1-5
hari. Kemudian ruam kedua terlihat, suhu tubuh, yang sebelumnya sudah menurun ke
normal, sedikit meningkat dan mendemonstrasikan karakteristik pola suhu bifasik.
2. Demam Berdarah Dengue
Pembedaan antara demam demam dengue dan demam berdarah dengue sulit
pada awal perjalanan penyakit. Fase pertama yang relatif lebih ringan berupa demam,
malaise, mual-muntah, sakit kepala, anoreksia, dan batuk berlanjut selama 2-5 hari
diikuti oleh deteriorasi dan pemburukan klinis. Pada fase kedua ini, pasien umumnya
pilek, ekstremitas basah oleh berkeringat, badan hangat, wajah kemerah-merahan,
diaforesis, kelelahan, iritabilitas, dan nyeri epigastrik.

31

Sering dijumpai petekie menyebar di kening dan ekstremitas, ekimosis spontan,


dan memar serta pendarahan dapat dengan mudah terjadi di lokasi pungsi vena. Ruam
makular atau makulopapular dapat terlihat. Respirasi cepat dan melelahkan. Denyut
nadi lemah dan cepat, suara jantung melemah. Hati dapat membesar 4-6 dan biasanya
keras dan sulit digerakkan.
Sekitar 20-30% kasus demam berdarah dengue berkomplikasi syok (sindrom
syok dengue). Kurang dari 10% pasien mengalami ekimosis hebat atau perdarahan
gastrointestinal, biasanya sesudah periode syok yang tidak diobati. Setelah krisis 24-36
jam, pemulihan terjadi dengan cepat pada anak yang diobati. Temperatur dapat kembali
normal sebelum atau selama syok. Bradikardia dan ektrasistol ventrikular umumnya
terjadi saat pemulihan (Halstead, 2007).
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan

laboratorium

dilakukan

terutama

untuk

mendeteksi

perubahan

hematologis.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
a. Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45%
dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (>15% dari jumlah total
leukosit) yang pada fase syok meningkat.

b. Trombosit
32

Umumnya terdapat trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/l) pada hari ke 3-8.
c. Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit 20% dari
hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.

d. Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan prothrombin time (PT), partial thromboplastin time (aPTT),
thrombin time (TT) atau fibrinogen pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau
kelainan pembekuan darah.

e. Protein/albumin
33

Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. Nilai normal albumin adalah 35,5 g/dl, nilai normal protein total adalah 5-8 g/dl (Price, 2003).
f. SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase)
Dapat meningkat. Nilai normal alanin aminotransferase adalah 0-40 IU/l. Menurut
Kalayanarooj (1997) anak dengan level enzim hati yang meningkat sepertinya lebih
rentan mengalami dengue yang parah dibandingkan dengan yang memiliki level enzim
hati yang normal saat didiagnosis.
g. Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan. Jumlah kalium normal serum adalah
3,5-5,2 mEq/l, sedangkan natrium 135-145 mEq/l.
h. Golongan darah dan cross match
Bila akan diberikan transfusi darah dan komponen darah.
i. Imunoserologi
Dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM terdeteksi mulai hari ke 35, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi
primer mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi
pada hari ke-2.
2. Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan. Tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
G. Diagnosis
Belum ada panduan yang dapat diterima untuk mengenal awal infeksi virus
dengue (WHO Scientific Working Group, 2006). Perbedaan utama antara demam
dengue dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma (Suhendro,
2006).
1. Demam Dengue
Ditegakkan bila terdapat dua atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia) ditambah
pemeriksaan serologis dengue positif; atau ditemukan pasien demam dengue/ demam
berdarah dengue yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
34

2. Demam Berdarah Dengue


Berdasarkan kriteria WHO 1999 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah ini
terpenuhi.
a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
- Uji bendung positif.
- Petekie, ekimosis, atau purpura.
- Perdarahan mukosa (tersering epitaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan di
tempat lain.
- Hematemesis atau melena.
c. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/l).
d. Terdapat minimal satu dari tanda-tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
-Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai
hematokrit sebelumnya.
- Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemia. Namun,
pada laporan WHO Scientific Working Group: Report on Dengue (2006) diperoleh
beberapa laporan perdarahan parah pada pasien yang tidak memiliki atau memilki bukti
minimum kebocoran plasma. Fenomena ini memiliki morbiditas dan mortalitas yang
tinggi, dan patofisiologinya belum dipahami dengan baik.
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien DBD umumnya berorientasi kepada pemberian cairan.
Harris et al. (2003) mendemonstrasikan bahwa meminum cairan seperti air atau jus
buah dalam 24 jam sebelum pergi ke dokter merupakan faktor protektif melawan
kemungkinan dirawat inap di rumah sakit.
Setiap pasien tersangka demam dengue atau DBD sebaiknya dirawat di tempat
terpisah dengan pasien penyakit lain, sebaiknya pada kamar yang bebas nyamuk
(berkelambu). Penatalaksanaan pada demam dengue atau DBD tanpa penyulit adalah:
1. Tirah baring.
35

2. Pemberian cairan.
Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5-2 liter dalam
24 jam (susu, air dengan gula/sirup, atau air tawar ditambah dengan garam saja).
3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis.
Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres kepala, ketiak atau inguinal.
Antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron. Hindari
pemakaian asetosal karena bahaya perdarahan.
4. Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
Pasien DHF perlu diobservasi teliti terhadap penemuan dini tanda syok, yaitu:
1. Keadaan umum memburuk.
2. Terjadi pembesaran hati.
3. Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia.
4. Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala.
Jika ditemukan tanda-tanda dini tersebut, infus harus segera dipersiapkan dan
terpasang pada pasien. Observasi meliput pemeriksaan tiap jam terhadap keadaan
umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernafasan; serta Hb dan Ht setiap 4-6 jam pada
hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya setiap 24 jam.
Terapi untuk sindrom syok dengue bertujuan utama untuk mengembalikan volume
cairan intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal ini dapat tercapai dengan
pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan dapat berupa NaCl 0,9%, Ringers
lactate (RL) atau bila terdapat syok berat dapat dipakai plasma atau ekspander plasma.
Jumlah cairan disesuaikan dengan perkembangan klinis.
Kecepatan permulaan infus ialah 20 ml/kg berat badan/ jam, dan bila syok telah
diatasi, kecepatan infus dikurangi menjadi 10 ml/kg berat badan/ jam.
Pada kasus syok berat, cairan diberikan dengan diguyur, dan bila tak tampak perbaikan,
diusahakan pemberian plasma atau ekspander plasma atau dekstran atau preparat
hemasel dengan jumlah 15-29 ml/kg berat badan. Dalam hal ini perlu diperhatikan
keadaan asidosis yang harus dikoreksi dengan Na-bikarbonat. Pada umumnya untuk
menjaga keseimbangan volume intravaskular, pemberian cairan intravena baik dalam
bentuk elektrolit maupun plasma dipertahankan 12-48 jam setelah syok selesai.

36

Pada tahun 1997, WHO merekomendasikan jenis larutan infus yang dapat
diberikan pada pasien demam dengue/DBD:
1. Kristaloid.
a. Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL).
b. Larutan ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA).
c. Larutan NaCl 0,9% (garam faali/GF) atau dekstrosa 5% dalam larutan faali (D5/GF).
2. Koloid (plasma).
Transfusi darah dilakukan pada:
1. Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan melena).
2. Pasien sindrom syok dengue yang pada pemeriksaan berkala, menunjukkan
penurunan kadar Hb dan Ht.
Pemberian transfusi profilaksis trombosit atau produk darah masih banyak
dipraktikkan. Padahal, penelitian Lum et al. (2003) menemukan bukti bahwa praktik ini
tidak berguna dalam pencegahan perdarahan yang signifikan.
Pemberian kortikosteroid tidak memberikan efek yang bermakna. Pada pasien
dengan syok yang lama, koagulopati intravaskular diseminata (disseminated
intravascular coagulophaty, DIC) diperkirakan merupakan penyebab utama perdarahan.
Bila dengan pemeriksaan hemostasis terbukti adanya DIC, heparin perlu diberikan.
(Hendarwanto, 1996).

37

Infeksi primer pada demam dengue dan penyakit mirip dengue biasanya ringan
dan dapat sembuh sendirinya. Kehilangan cairan dan elektrolit, hiperpireksia, dan
kejang demam adalah komplikasi paling sering pada bayi dan anak-anak. Epistaksis,
petekie, dan lesi purpura tidak umum tetapi dapat terjadi pada derajat manapun.
Keluarnya darah dari epistaksis, muntah atau keluar dari rektum, dapat memberi kesan
keliru perdarahan gastrointestinal. Pada dewasa dan mungkin pada anak-anak, keadaan
yang mendasari dapat berakibat pada perdarahan signifikan. Kejang dapat terjadi saat
temperatur tinggi, khususnya pada demam chikungunya. Lebih jarang lagi, setelah fase
febril, astenia berkepanjangan, depresi mental, bradikardia, dan ekstrasistol ventrikular
dapat terjadi.
Komplikasi akibat pelayanan yang tidak baik selama rawatan inap juga dapat
terjadi berupa kelebihan cairan (fluid overload), hiperglikemia dan hipoglikemia,
ketidak seimbangan elektrolit dan asam-basa, infeksi nosokomial, serta praktik klinis
yang buruk (Dengue: Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control,
WHO, 2009).
38

Di daerah endemis, demam berdarah dengue harus dicurigai terjadi pada orang yang
mengalami demam, atau memiliki tampilan klinis hemokonsentrasi dan trombositopenia
(Halstead, 2007).
I. Prognosis
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi
yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi
pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat
kematian dapat ditekan <1% kasus. Keselamatan secara langsung berhubungan dengan
penatalaksanaan awal dan intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak
yang disebabkan syok berkepanjangan atau perdarahan intrakranial (Halstead, 2007).
J. Kriteria Memulangkan Pasien.
Pasien dapat pulang jika syarat-syarat sebagai berikut terpenuhi:
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa pemberian antipiretik.
2. Nafsu makan membaik.
3. Tampak perbaikan secara klinis.
4. Hematokrit stabil.
5. Tiga hari setelah syok teratasi.
6. Jumlah trombosit >50.000/ml. Perlu diperhatikan, kriteria ini berlaku bila pada
sebelumnya pasien memiliki trombosit yang sangat rendah, misalnya 12.000/ml.
7. Tidak dijumpai distres pernapasan (Mansjoer, 2001).
K. Pencegahan
Belum ada vaksin yang tersedia melawan dengue, dan tidak ada pengobatan
spesifik untuk menangani infeksi dengue. Hal ini membuat pencegahan adalah langkah
terpenting, dan pencegahan berarti menghindari gigitan nyamuk jika kita tinggal di atau
bepergian ke area endemik (CDC, 2010).
Jalan terbaik untuk mengurangi nyamuk adalah menghilangkan tempat nyamuk
bertelur, seperti bejana/ wadah yang dapat menampung air. Nyamuk dewasa menggigit
pada siang hari dan malam hari saat penerangan menyala. Untuk menghindarinya, dapat
menggunakan losion antinyamuk atau mengenakan pakaian lengan pajang/celana
panjang dan mengamankan jalan masuk nyamuk ke ruangan.

39

Penggunaan insektisida untuk memberantas nyamuk dapat dilakukan dengan


malathion. Cara penggunaan malathion adalah dengan pengasapan (thermal fogging)
atau pengabutan (cold fogging). Untuk pemakaian rumah tangga dapat menggunakan
golongan organofosfat, karbamat atau pyrethoid (Hendarwanto, 1996).

DENGUE SHOCK SYNDROME


Dengue Shock Syndrome (DSS) adalah sindrom syok/renjatan yang terjadi pada
penderita DBD.
Seluruh kriteria DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat
dan lemah, tekanan darah turun (<20 mmHg), hipotensi dibandingkan standard sesuai
umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah. Sekitar 30-50% penderita demam berdarah
dengue akan mengalami syok dan berakhir dengan suatu kematian, terutama bila tidak
ditangani secara dini dan adekuat. Patofisiologi terjadinya DSS adalah terjadinya
peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat
terjadinya perembesan plasma dan elektrolit melalui endotel dinding pembuluh darah
dan

masuk

ke

dalam

ruang

interstisial

sehingga

menyebabkan

hipotensi,

hemokonsentrasi, hipoproteinemia dan efusi cairan ke rongga serosa. Mekanisme


terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular dan perdarahan pada DBD belum
diketahui dengan jelas. Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakitnya
penderita, dimulai dengan tanda tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab, dingin
pada ujung hidung, jari tangan, jari kaki serta sianosis disekitar mulut. Bila syok terjadi
pada masa demam maka biasanya menunjukan prognosis yang buruk.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindroma syok dengue (dengue
shock syndrome). Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan
infeksi pertama kali mungkin memberi gejala demam dengue. Reaksi tubuh merupakan
reaksiyang biasa terlihat pada infeksi virus. Reaksi yang amat berbeda tampak, bila
seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus yang berlainan. Respon imun
yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah respon imun humoral. Respon
humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus,
40

sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang

dimediasi antibodi.

Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada
monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE).
Limfosit T, baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan memproduksi
interferon gamma, interleukin-2 (IL-2) dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus.
Namun, proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag. Selain itu, aktivasi oleh

kompleks imun menyebabkan

terbentuknya senyawa proaktivator C3a dan C5a, sementara proaktivator C1q, C3, C4,
C5-C8, dan C3 menurun. Faktor-faktor di atas dapat berinteraksi dengan sel-sel endotel
untuk

menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular melalui jalur akhir nitrat

oksida. Sistem pembekuan darah dan fibrinolisis diaktivasi, dan jumlah faktor XII
(faktor

Hageman) berkurang. Mekanisme perdarahan pada DBD belum diketahui,

tetapi terdapat hubungan terhadap koagulasi diseminata intravaskular (dissemintated


intravascular coagulation, DIC) ringan, kerusakan hati, dan trombositopenia.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi

sumsum

tulang, serta destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.

41

Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan
hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi
peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin
dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru mengalami kenaikan, hal ini
menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi
terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan
fragmen C3g, terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses
koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan senyawa adenin-di-fosfat (ADP), peningkatan kadar tromboglobulin dan faktor prokoagulator IV yang merupakan penanda degranulasi
trombosit. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
42

koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui jalur ekstrinsik (tissue factor
pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui
aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex) . Kebocoran kapiler menyebabkan
cairan, elektrolit, protein kecil, dan, dalam beberapa kejadian, sel darah merah masuk ke
dalam ruang ekstravaskular. Redistribusi cairan internal ini, bersama dengan defisiensi
nutrisi oleh karena kelaparan, haus, dan muntah, berakibat pada penurunan
hemokonsentrasi, hipovolemia, peningkatan kerja jantung, hipoksia jaringan, asidosis
metabolik dan hiponatremia . Penelitian tentang patogenesis yang menjelaskan
keparahan penyakit dengue sudah banyak dilakukan. Survei berkala terhadap serotipe
DENV memberi pandangan bahwa beberapa subtipe secara lebih umum dikaitkan
dengan keparahan dengue. Muntaz et al. (2006) dalam penelitiannya menemukan DEN3 menyebabkan infeksi lebih parah dibandingkan serotipe lainnya. Hal ini dikaitkan
dengan kemampuan virus untuk bereplikasi untuk menghasilkan titer virus yang lebih
tinggi.Sementara dalam laporan WHO Scientific Working Group: Report on Dengue
(2006), ditemukan keadaan lain yang mempengaruhi keparahan penyakit dengue:
1. Adanya hubungan infeksi primer dan sekunder. Contohnya, kombinasi serotipe
primer dan sekunder DEN-1/DEN-2 atau DEN-1/DEN-3 dipandang memberi risiko
yang tinggi untuk terkena dengue yang parah.
2. Imunitas individu dalam menghasilkan sitokin dan kemokin yang dihasilkan oleh
aktivasi imun berhubungan dengan keparahan penyakit.
3. Semakin panjang interval antara infeksi virus dengue primer dan sekunder, maka
keparahan dengue semakin meningkat.
4. Peranan genetik juga diduga berpengaruh terhadap keparahan penyakit. Penelitian
menunjukkan prevalensi DBD pada orang negroid diasosiasikan dengan insidensi yang
rendah (2%), sementara orang kaukasoid memilki insidensi yang lebih tinggi (30%)
Setiap penderita harus ditentukan juga derajat spektrum klinisnya berdasarkan kriteria
WHO 1997 yaitu:
Derajat I: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
43

Derajat II: Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan/atau


perdarahan lain.
Derajat III: Derajat II ditambah kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar
mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat IIIA : tekanan darah 80/60 mmHg (tekanan nadi = 20)
Derajat IIIB : tekanan darah 80/60 mmHg (tekanan nadi < 20)
Derajat IV : Derajat III ditambah syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan
darah yang tak terukur, dapat disertai dengan penurunan kesadaran, sianosis, dan
asidosis.
Derajat IVA : tekanan darah tak terukur, nadi tak teraba
Derajat IVB : tekanan darah tak terukur, nadi tak teraba, sianosis, asidosis
metabolik, kesadaran menurun.
DSS merupakan DBD derajat III dan IV, dan berdasarkan hasil pemeriksaan penderita
ini termasuk dalam derajat IIIB. Dengan demikian diagnosis penderita ini adalah DSS
derajat IIIB.
Sekitar 20-30% kasus demam berdarah dengue berkomplikasi syok (sindrom syok
dengue). Kurang dari 10% pasien mengalami ekimosis hebat atau perdarahan
gastrointestinal, biasanya sesudah periode syok yang tidak diobati. Setelah krisis 24-36
jam, pemulihan terjadi dengan cepat pada anak yang diobati. Temperatur dapat kembali
normal sebelum atau selama syok. Bradikardia dan ektrasistol ventrikular umumnya
terjadi saat pemulihan
Terapi untuk sindrom syok dengue bertujuan utama untuk mengembalikan volume
cairan intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal ini dapat tercapai dengan
pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan dapat berupa NaCl 0,9%,
Ringerslactate (RL) atau bila terdapat syok berat dapat dipakai plasma atau ekspander
plasma. Jumlah cairan disesuaikan dengan perkembangan klinis.Kecepatan permulaan

44

infus ialah 20 ml/kg berat badan/ jam, dan bila syok telah diatasi, kecepatan infus
dikurangi menjadi 10 ml/kg berat badan/ jam.
Pada kasus syok berat, cairan diberikan dengan diguyur, dan bila tak tampak perbaikan,
diusahakan pemberian plasma atau ekspander plasma atau dekstran atau preparat
hemasel dengan jumlah 15-29 ml/kg berat badan. Dalam hal ini perlu diperhatikan
keadaan asidosis yang harus dikoreksi dengan Na-bikarbonat. Pada umumnya untuk
menjaga keseimbangan volume intravaskular, pemberian cairan intravena baik dalam
bentuk elektrolit maupun plasma dipertahankan 12-48 jam setelah syok selesai.
Transfusi darah dilakukan pada:
1. Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan melena).
2. Pasien sindrom syok dengue yang pada pemeriksaan berkala, menunjukkan
penurunan kadar Hb dan Ht

45

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab I Pendahuluan
    Bab I Pendahuluan
    Dokumen4 halaman
    Bab I Pendahuluan
    Kardiyus Syaputra
    Belum ada peringkat
  • Jadwal Refreshing Kader Dan Rapat Linsek Pusk. Pakkat
    Jadwal Refreshing Kader Dan Rapat Linsek Pusk. Pakkat
    Dokumen1 halaman
    Jadwal Refreshing Kader Dan Rapat Linsek Pusk. Pakkat
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • B Indonesia
    B Indonesia
    Dokumen1 halaman
    B Indonesia
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • B Indonesia
    B Indonesia
    Dokumen1 halaman
    B Indonesia
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Bab I Asi
    Bab I Asi
    Dokumen4 halaman
    Bab I Asi
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Pedoman Pengelolaan Limbah Fasyankes Covid 19 - 1571
    Pedoman Pengelolaan Limbah Fasyankes Covid 19 - 1571
    Dokumen14 halaman
    Pedoman Pengelolaan Limbah Fasyankes Covid 19 - 1571
    viliani sukma
    Belum ada peringkat
  • Aaaaaaa
    Aaaaaaa
    Dokumen13 halaman
    Aaaaaaa
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Tugas DR Billy
    Tugas DR Billy
    Dokumen22 halaman
    Tugas DR Billy
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Sintesisi
    Sintesisi
    Dokumen18 halaman
    Sintesisi
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Secara Sistematis
    Secara Sistematis
    Dokumen2 halaman
    Secara Sistematis
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Cover Makalah
    Cover Makalah
    Dokumen1 halaman
    Cover Makalah
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Cover Laporan Tutorial
    Cover Laporan Tutorial
    Dokumen1 halaman
    Cover Laporan Tutorial
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Aaaaaaa
    Aaaaaaa
    Dokumen13 halaman
    Aaaaaaa
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • PUNGSI
    PUNGSI
    Dokumen2 halaman
    PUNGSI
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Cover-2
    Cover-2
    Dokumen4 halaman
    Cover-2
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Kureta Se
    Kureta Se
    Dokumen20 halaman
    Kureta Se
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Beka Abortus Insipien Tugas
    Beka Abortus Insipien Tugas
    Dokumen15 halaman
    Beka Abortus Insipien Tugas
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar Daftar Isi Referat
    Kata Pengantar Daftar Isi Referat
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar Daftar Isi Referat
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • COVER Referat
    COVER Referat
    Dokumen1 halaman
    COVER Referat
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Cover Baturaja
    Cover Baturaja
    Dokumen1 halaman
    Cover Baturaja
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Halaman Pengesahan
    Halaman Pengesahan
    Dokumen1 halaman
    Halaman Pengesahan
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen2 halaman
    Daftar Pustaka
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Cover Laporan Tutorial
    Cover Laporan Tutorial
    Dokumen1 halaman
    Cover Laporan Tutorial
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Beka Cover
    Beka Cover
    Dokumen1 halaman
    Beka Cover
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • COVER Referat
    COVER Referat
    Dokumen1 halaman
    COVER Referat
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Anamnesis
    Anamnesis
    Dokumen1 halaman
    Anamnesis
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • COVER Referat
    COVER Referat
    Dokumen1 halaman
    COVER Referat
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Resensi Film Rabecca
    Resensi Film Rabecca
    Dokumen2 halaman
    Resensi Film Rabecca
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Otomikosis
    Otomikosis
    Dokumen2 halaman
    Otomikosis
    Rabecca Beluta Ambarita
    Belum ada peringkat
  • Skenario Kesehatan Lingkungan Kelompok 3 Blok 20 Fix
    Skenario Kesehatan Lingkungan Kelompok 3 Blok 20 Fix
    Dokumen37 halaman
    Skenario Kesehatan Lingkungan Kelompok 3 Blok 20 Fix
    M Rizki mores
    Belum ada peringkat