Anda di halaman 1dari 18

Saya diminta oleh Duta Besar Dino Djalal untuk menyumbangkan cerita

mengenai pengalaman belajar dan hidup di Amerika, terutama untuk


menjelaskan kunci sukses. Sebenarnya sungguh muskil menjelaskan apa
itu kunci sukses dan bahkan mendefiniskan dan menentukan apa itu
sukses bagi seseorang karena sifatnya yang sangat subyektif. Maka
dalam tulisan ini saya tidak berpretensi untuk mengklaim dan
menjelaskan mengengenai kesuksesan dan bagaimana bisa tercapai,
namun saya hanya akan membagi cerita sebagian kecil dari hidup saya
yang mungkin ada manfaatnya bagi para pembaca.
Saya di besarkan dalam sebuah keluarga besar, dalam artian ukuran yang
sebenarnya. Bapak dan Ibu memiliki sepuluh putra-putri dan saya adalah
putri ke tujuh. Jarak diantara sepuluh anak hanya sekitar setahun lebih
sedikit. Artinya dalam kurun lebih satu dekade, hampir setiap tahun ibu
saya hamil dan melahirkan. Meskipun pada tahun 1950an hinga 1960 an
memiliki banyak anak adalah lumrah (normal), namun memiliki sepuluh
anak tetap dianggap cukup banyak. Dalam masyarakat Indonesia (Jawa)
pada jaman itu dipercaya bahwa banyak anak berarti banyak rejeki. Nilai
semacam ini dapat dipahami dalam masyarakat agraris tradisional,
dimana setiap anak merupakan tambahan tenaga kerja untuk
mengerjakan sawah sehingga dapat menghasilkan panen lebih banyak.
Orang tua saya adalah dosen ilmu pendidikan di IKIP Semarang, dan
mereka juga percaya bahwa memiliki banyak anak berarti juga dilimpahi
banyak rejeki oleh Tuhan sang Pencipta. Setiap anak membawa rejeki
masing-masing, demikian sering dikatakan oleh Ibu saya. Kepercayaan
yang sangat optimistis terhadap masa depan dan terhadap kekuasaan
Allah yang Maha Baik dan Maha Penyayang merupakan fondasi yang
ditanamkan terus menerus oleh orang tua saya kepada anak-anaknya.
Dengan berbuat baik pada sesama, orang tua saya percaya bahwa anakanaknya yang banyak juga akan menerima kebaikan dari orang lain.
Maka meskipun Bapak dan Ibu sudah memiliki banyak anak dan kondisi
ekonomi keluarga juga pas-pasan, di rumah kami selalu ramai denga
ngengeran yaitu saudara atau mahasiswa yang mondok menjadi anak
asuh di rumah, sekaligus menolong merekan yang kurang mampu. Hidup
di rumah yang tidak terlalu besar dengan jumlah penghuni hingga lima
belasan orang tentu memerlukan sikap tenggang rasa, saling
menghormati dan saling peka terhadap kepentingan masing-masing.
Kondisi rumah menghindarkan kami dari sifat egoistis yang hanya
mementingkan diri sendiri. Bapak dan Ibu mampu mengelola suasana

rumah dengan baik dan cukup menyenangkan, rasanya tidak ada


pertengkaran besar pernah terjadi kecuali pertengkaran kecil dan lumrah
antar saudara. Suasana seperti itu membentuk kami menjadi manusia
yang menghargai kekompakkan dan kebersatuan keluarga.
Sejak kecil orang tua saya memang mengajarkan bahwa sekolah adalah
nomer satu atau prioritas utama. Ajaran tersebut juga diterapkan secara
konsisten bagi diri mereka. Bayangkan bahwa ibu yang memiliki sepuluh
anak, masih terus semangat meneruskan jenjang belajarnya hingga
mencapai S3 atau jenjang Doktor di bidang pendidikan. Bapak juga
meneruskan pendidikan ke luar negeri (Amerika Serikat- Syracuse
New York State). Orang tua saya setiap malam tekun menyiapkan bahan
kuliah untuk muridnya dan bahkan mengerjakan penelitian. Rumah
orang tua saya selalu ramai dengan anak-anak sendiri, anak asuh dan
suasana pekerjaan akademis. Suasana keluarga juga diwarnai dengan
kesenangan akan musik, menyanyi dan melukis. Orang tua saya bersama
para dosen IKIP membuat berbagai kegiatan yang positif bagi anak-anak
dosen, seperti les bahasa Inggris yang diajarkan oleh dosen bahasa
Inggris, pelajaran melukis dan membatik yang diberikan oleh dosen seni
rupa. Suasana obrolan diskusi keluarga di sekitar makan siang dan
makan malam diisi dengan topik berbagai hal dari yang serius seperti
politik, hingga lelucon sehari-hari. Setiap akhir kuartalan atau
semesteran, merupakan episode yang mendebarkan, karena setiap anak
akan menyerahkan raport sekolahnya. Saya ingat selama jenjang SD dan
SMP saya tidak pernah mengalami juara kelas, sedang kakak- kakak dan
adik saya hampir selalu juara kelas atau bahkan juara sekolah. Pada masa
itu juara kelas dan juara sekolah biasanya mendapat hadiah yaitu bebas
tidak membayar uang sekolah ( SPP- Sumbangan Penyelenggaraan
Pendidikan). Saya sempat agak minder juga, karena dari sepuluh anak,
rasanya saya merasa yang paling bodoh.
Meskipun orang tua saya sangat menekankan pentingnya pelajaran
sekolah, namun kami anak-anaknya didorong untuk aktif di kegiatan
ekstra kurikuler baik dalam organisasi pelajar seperti OSIS, kegiatan
olah raga seperti basket, volley, bahkan atletik, dan karate, hiking,
pramuka dan paskibra. Anak-anak juga didorong menekuni kesenian,
baik dalam paduan suara, folk song group, dan melukis. Semua kegiatan
tersebut membuat kami selalu sibuk, dan memang itu yang diinginkan
oleh orang tua saya, yaitu agar anak-anak selalu aktif, sibuk, bergaul
dengan kawan sekolah, namun dalam wadah kegiatan yang positif seperti

olah raga, organisasi, dan kesenian. Kebiasaan aktif dalam berbagai


kegiatan dan organisasi sangat membantu saya untuk membangun social
skill dan berlatih melakukan tugas berbagai macam sekaligus (multi
tasking). Kedua hal tersebut nantinya sangat berguna dalam menjalani
kehidupan dan pekerjaan.
Orang tua saya menekankan agar anak-anaknya harus masuk perguruan
tinggi negeri, karena biaya pendidiman murah, masa pendidikan tidak
lama dan kualitas pendidikan baik. Jurusan yang dianjurkan terutama
jurusan kedokteran dan faktulas teknik. karena lulusannyan relatif
dihargai masyarakat dan mudah mendapat pekerjaan. Oleh karena itu
semasa SMA seluruh anak-anak hanya boleh masuk jurusan eksakta
( IPA), agar dapat pelajaran matematika dan statistik yang cukup untuk
melatih cara berpikir yang logis. Ajaran Bapak dan Ibu yang
menekankan pada cara berpikir logis, namun juga dilatih kepekaan
terhadap keadaan/lingkungan dan menghormati pikiran orang lain sangat
bermanfaat dalam perjalanan hidup saya terutama saat menghadapi
masalah rumit, dan tantangan mengelola organisasi yang sangat
beragam.
Masa kecil saya hingga selesai SMA dihabiskan di kota Semarang
sebuah kota yang cukup besar namun tidak padat dan menegangkan
seperti Jakarta. Semarang masih memiliki keakraban yang
menyenangkan. Saya bersekolah naik sepeda hingga SMA, yang cukup
menyenangkan karena suasana jalan Kali Sari yang nyaman dengan
pohon-pohon asam tua yang sangat rimbun. Dengan bersepeda juga
dapat dinikmati pemandangan gedung-gedung tua seperti Lawang
Sewu dan gereja Katolik tua yang sangat indah dan anggun di seputar
Tugu Muda. Naik sepeda ke sekolah agak dirasa usang waktu SMP
dan SMA. Sekolah saya SMP Negeri I dan SMA Negeri III merupakan
sekolah-sekolah terbaik di Semarang, dimana berkumpul anak-anak
pandai dan atau kaya dari para pejabat tinggi (Gubernur, Panglima
Militer, Kapolda, Walikota) maupun pengusaha besar di Jawa Tengah.
Meski merasa agak minder bila sepeda saya melewati begitu banyak
mobil-mobil bagus yang menjemput teman-teman yang kaya tersebut,
namun hal tersebut tidak terlalu membebani. Saya tetap bergaul dengan
mudah dan riang dan bahkan menjadi ketua OSIS di SMA, ikut
kelompok basket, volley, dan paduan suara yang aktif bertanding antar
sekolah. Lucunya dengan kesadaran akan kesehatan dan upaya
mengurangin polusi, jaman sekarang naik sepeda menjadi gaya hidup

yang modern dan sehat. Kalangan selebritas dan pejabat melakukan


gerakan bike to work di Jakarta yang begitu sumpek dan padat. Di
Washington DC, juga sangat banyak yang pergi bekerja dengan naik
sepeda, termasuk karyawan Bank Dunia. Banyak sepeda diangkut
dengan mobil dan kereta bawah tanah, untuk bisa dipakai tengah hari di
kota. Jaman dan gaya hidup memang sering kembali berputar ke masa
lalu. Saya menjadi teringat pernyataan ibu saya yang sering berujar
dengan nasihat ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh, artinya jangan
terlalu mudah heran, mudah kaget, dan jangan mentang-mentang.
Saya lulus SMA III Semarang pada tahun 1981 dengan predikat juara
sekolah dari jurusan IPA, rasanya otak saya memang agak mulai encer
sewaktu di SMA. Sebenarnya saya bisa diterima di IPB tanpa test atau
bisa juga mendaftar Fakultas Kedokteran atau Jurusan Teknik agar
menjadi Dokter atau Insinyur seperti harapan orang tua saya. Namun
saya memutuskan memilih Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia.
Orang tua saya heran dengan pilihan saya meski tidak melarang. Pada
suatu percakapan, Ibu saya pernah menanyakan apa pekerjaan yang
tersedia bagi lulusan fakultas ekonomi? Beliau tahu salah seorang istri
kawannya yang bekerja di Bank, jadi beliau berasumsi saya nantinya
akan menjadi pegawai bank, meskipun beliau tetap menyatakan bahwa
pekerjaan sebagai dosen dianggap lebih baik di mata beliau. Saya
memilih Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sebenarnya juga tidak
paham dengan bidang tersebut dan tidak memikirkan nantinya mau
menjadi apa. Saya diberitahu oleh sepupu saya bahwa banyak para
Menteri mengajar di fakultas tersebut, dan itu dianggap sebagai sesuatu
yang bergengsi dan berharga. Saya tidak terlalu memahami arti gengsi
tersebut, karena buat saya yang lebih mencekam adalah bagaimana saya
harus pindah ke Jakarta dan berpisah untuk pertama kalinya dengan
orang tua saya. Saya dititipkan pada kakak saya yang saat itu sudah lulus
Fakultas Kedokteran UI.
Ada kejadian menarik sewaktu saya di SMA, yaitu pada tahun 1979 ada
kesempatan mendaftar untuk program AFS ( American Field Service )
yaitu program satu tahun ke Amerika Serikat untuk tinggal bersama
keluarga Amerika, dan bersekolah SMA di sana. Saya ikut mendaftar,
karena saya melihat salah seorang teman kakak saya pulang dari program
AFS nampak sangat keren sekali karena sangat fasih berbicara bahasa
Inggris dan menceritakan pengalaman sekolah di Amerika yang begitu
menakjubkan. Saya lulus tes dan wawancara, dan menjadi kandidat yang

paling kuat untuk berangkat. Namun saya gagal berangkat karena orang
tua saya tidak mampu menyediakan uang untuk membayar sebagian
biaya tiket berangkat ke Amerika Serikat. Orang tua saya menyatakan
bahwa biaya ticket tersebut cukup besar untuk membayar uang kuliah
dan uang pondokan dan biaya hidup tiga kakak saya yang sedang kuliah
di ITB. Pergi ke luar negeri untuk satu tahun jelas bukan prioritas
keluarga saat itu. Saya sangat sedih dan kecewa dengan kegagalan
tersebut, meski orang tua saya menghibur dengan mengatakan bahwa
pasti nanti ada kesempatan lain untuk pergi dan sekolah ke luar
negeri/Amerika Serikat. Ternyata pernyataan orang tua saya tersebut
terbukti benar, karena dalam perjalanan hidup saya selanjutnya saya
berkesempatan bersekolah tidak hanya satu tahun seperti program AFS
namun empat tahun untuk progran Master dan PhD degree, juga bahkan
memiliki kesempatan bekerja dan hidup di Amerika Serikat bersama
keluarga.
Fakultas Ekonomi dibagi menjadi tiga jurusan, yaitu jurusan Ekonomi
dan Studi Pembangunan (ESP), Jurusan Management, dan Jurusan
Akuntansi. Saya memilih jurusan ESP karena bidang studinya sangat
menarik. Selain belajar mengenai ekonomi mikro dan makro yang
ternyata sangat dekat dengan mempelajari tingkah laku kelompok
masyarakat, baik sebagai konsumen, dan produsen ( Perusahaan), saya
juga belajar mengenai kebijakan ekonomi di bidang fiskal ( anggaran
pendapatan dan belanja negara) , moneter, dan perdagangan
internasional. Yang menarik dari pelajaran ekonomi adalah
menggunakan model baik secara sederhana melalui gambar grafik dan
kurva hingga model yang canggih dan rumit secara matematis, juga
digunakan data kuantitatif analisa statistik atau ekonometrik untuk
menjelaskan tingkah laku pelaku ekonomi, dan membuat proyeksi atau
perkiraan masa depan. Seluruh pelajaran ini saya rasakan merupakan
kombinasi yang mengasyikkan antara menggunakan alat kuantitatif
statistik dan matematika, dengan analisa tingkah laku (behavioral dan
psikologis) dan ada sisi sosial, politik dan kultural yang sangat kental
dalam setiap topik yang dibahas. Selama kuliah, saya sempat diajar oleh
berbagai tokoh-tokoh penting atau terkenal di Republik Indonesia,
seperti almarhum Prof Soemitro Djojohadikusumo, Prof Emil Salim,
Prof Sadli (alm), Prof Saleh Afiff (alm), Prof Dorodjatun Kuntjorojakti,
dll. Kehadiran para tokoh ini memberikan kaitan teori yang kita pelajari
dengan dunia nyata. Dalam perkembangan studi selanjutnya kita juga
makin disadarkan pentingnya unsur kelembagaan dan hukum dalam

setiap pembahasan masalah ekonomi. Dengan demikian, belajar ekonomi


menyebabkan saya terus terpacu untuk mempelajari berbagai hal yang
sama sekali tidak sederhana dan mudah, namun sangat mengasyikkan.
Mungkin karena saya sangat menikmati pelajaran ilmu ekonomi, saya
tidak mengalami kesulitan dalam pelajaran, dan bahkan sebagian besar
selalu mendapat nilai terbaik.
Mungkin karena cakupan yang sangat besar dan kompleks, jurusan ESP
memang tidak terlalu banyak diminati. Pada masa saya belajar di FEUI,
dari sekitar 300 mahasiswa setiap angkatan yang diterima di FEUI,
hanya sekitar 20 orang yang tertarik mengambil jurusan ESP, dan sangat
jarang perempuan masuk jurusan ini. Sebagian besar mahasiswa FEUI
mengambil jurusan Akuntansi atau Manajemen. Jelas kedua jurusan
tersebut lebih riel dan lapangan kerja yang tersedia untuk menampung
lulusan Akuntansi dan Manajemen juga jauh lebih banyak terutama di
perusahaan swasta atau BUMN. Lulusan ESP biasanya menjadi
pengajar/dosen dan peneliti di Fakultas, atau menjadi pegawai negeri
atau di Bank Sentral. Karena saya dulunya memang bercita-cita jadi
guru, maka saya sudah menetapkan pilihan yaitu setelah lulus akan
bekerja sebagai dosen dan peneliti. Orang tua saya sangat senang dengan
pilihan karier tersebut, dan bahkan mendorong agar saya meneruskan
sekolah ke jenjang lebih tinggi.
Saya meraih posisi lulusan terbaik pada tahun wisuda 1986 dan oleh
karenanya dipilih mewakili wisudawan/wisudawati FEUI untuk maju
kedepan menerima ucapan selamat dari Rektor. Pada masa itu upacara
wisuda sarjana Universitas Indonesia dilakukan secara serentak oleh
seluruh fakultas di Balai Sidang Jakarta. Oleh karena itu setiap fakultas
hanya diwakili oleh dua orang sarjana (laki dan perempuan) untuk
menerima ucapan selamat dari rektor UI. Sayangnya sewaktu upacara
wisuda tersebut, orang tua saya sedang menunaikan ibadah haji,
sehingga beliau tidak sempat menghadirinya. Tentu saya kecewa, namun
ibu saya menghibur bahwa doa orang tua dari tanah suci kepada anaknya
jauh lebih berharga dari kehadiran fisik beliau. Ini salah satu keahlian ibu
saya, yaitu selalu mampu melihat sesuatu dari sisi positip dan dengan
penuh keyaninan, sehingga kami menjadi kuat dan tidak tenggelam
dalam kesedihan atau kekecewaan dalam hidup. Dalam perjalanan hidup
saya selanjutnya, seluruh wisuda-wisuda yang saya alami, tidak ada
satupun yang bisa dihadiri oleh orang tua saya, baik sejak tingkat
sarjana, di tingkat Master hingga di tingkat PhD kebetulan wisuda

Master dan PhD di Amerika Serikat yang tentunya sangat mahal bagi
orang tua saya untuk bisa membiayai perjalanan. Pengalaman ini secara
tidak langsung mungkin membentuk diri saya untuk lebih matang dan
berani menghadapi berbagai hal secara mandiri dan tidak cengeng. Sejak
kecil orang tua saya menanamkan sikap dan kepercayaan bahwa Tuhan
selalu menjaga kita dimanapun kita berada, dan bahwa orang tua selalu
ada didekat kita meskipun kita berjauhan dalam jarak geografis.
Mereka menyatakan hanya dengan sholat, doa dan sabar yang tidak
terputus maka kita selalu merasa dekat satu sama lain dalam keluarga,
dan selalu akan mendapat pertolongan dan perlindungan dari Allah SWT.
Dengan putra-putri sepuluh dan menyebar di berbagai tempat sekolah
dan tempat kerja dan keterbatasan dan mahalnya komunikasi dan
transportasi pada masa itu, saya rasa orang tua saya hanya bisa
menyerahkan nasib anak-anaknya kepada Sang Pencipta.
Untuk menyelesaikan Sarjana Ekonomi dan menulis skripsi, saya
mengambil spesialisasi jurusan Uang dan Bank. Jurusan ini menarik,
karena menjelaskan mengenai peranan uang, sistem keuangan dan
bahkan mengenai tugas Bank Sentral dalam perekonomian. Saya bahkan
menulis skripsi mengenai sejarah uang dan teori mengenai permintaan
terhadap uang. Sekali lagi tulisan skripsi saya menyebabkan saya makin
tertarik pada bidang sejarah, sosial, kebudayaan, dan bahkan mengenai
teori tingkah laku dan motivasi. Sebelum saya lulus, saya sudah melamar
untuk menjadi peneliti di Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (
LPEM) yang pada saat itu dipimpin oleh pak Dorodjatun Kuntjoro Jakti,
dan sekaligus sebagai asisten dosen di FEUI. Saya diterima sebagai
asisten peneliti pada tahun 1986 persis sebelum lulus, dengan proyek
penelitian pertama yang saya kerjakan adalah meneliti permintaan rumah
di kota-kota besar di Indonesia- dengan ketua proyek penelitian adalah
pak Darmin Nasution. PeneItian ini sangat mengasyikkan, selain kita
harus merancang penelitian di berbagai kota besar seperti Jakarta,
Surabaya, Bandung, Medan, juga harus menyusuan quesioner dan
melakukan wawancara. Saya merasakan banyak sekali manfaat pelajaran
sewaktu kuliah, namun juga terus mendapat ilmu baru. Di LPEM- FEUI
saya sangat menikmati pekerjaan sebagai peneliti, dari mulai merancang
dan merencanakan penelitian, manajemen waktu, hingga jumlah tenaga
peneliti yang dipakai, melakukan penelitian lapangan, wawancara dan
mengumpulkan data, melakukan analisa data, menulis loporan hingga
melakukan presentasi hasil penelitian. Semangat dan passion yang
muncul tersebut menjadi sumber energi yang besar dalam melakukan

tugas dan pekerjaan. Hingga sekarang saya selalu percaya bahwa


melakukan apapun dengan passion akan menjadikan saya tidak pernah
merasa takut dan bimbang menghadapi masalah serumit dan sebesar
apapun. Bekal ketenangan, ketegaran, passion dan kebiasaan berdoa dan
sabar/pasrah pada takdir Allah SWT merupakan nilai yang diajarkan oleh
orang tua saya dan menjadi fondasi yang saya gunakan dalam menjalani
hidup yang begitu penuh tantangan nantinya.
Sewaktu menerima gaji pertama yang saya merasa mendadak begitu
kaya raya, karena jumlahnya hampir duapuluh kali lipat uang saku saya
selama mahasiswa. Saya juga untuk pertama kali merasakan naik
pesawat terbang untuk melakukan penlitian di luar kota. Namun pada
saat saya mulai menikmati pekerjaan penelitian di LPEM, FEUI
menawarkan kesempatan untuk mengirimkan asisten dan dosen muda
untuk menerukan jenjang pendidikan S2 dan S3 di luar negeri. Tawaran
yang diberikan adalah program belajar ke Inggris dengan syarat harus
lulus kursus bahasa Inggris di British Council Jakarta, dan tawaran
belajar ke Amerika Serikat. Karena tawaran belajar ke Inggris datang
lebih dulu, saya ikut mendaftar dan diterima untuk ikut kursus bahasa
Inggris di British Council untuk kemudian melamar program Master ke
Inggris. Saya sudah diterima program Master di University of
Birmingham, namun tidak jadi diambil karena kemudian saya mendapat
tawaran untuk sekolah ke Amerika Serikat.
Saya diterima di University of Illinois Urbana-Champaign (UI-UC) yang
menawarkan program Master yang dapat dikombinasikan dengan
program Doktor / PhD. Program ke Amerika Serikat juga menarik karena
boleh membawa keluarga. Faktor keluarga sangat penting, karena saya
pada saat itu sudah merencanakan untuk menikah dengan Tonny
Sumartono, kakak kelas saya di FEUI jurusan Manajemen. Orang tua
saya hanya mengijinkan kami menikah kalau kita bersama-sama
berangkat ke luar negeri. Saya tidak diijinkan oleh orang tua saya untuk
sekolah sendiri dan harus didampingi oleh suami. Menurut orang tua
saya, kebersamaan dalam berkeluarga adalah keharusan dan tidak bisa
ditawar-tawar. Meskipun Tonny sudah mulai bekerja di Bank, dia
meminta cuti di luar tanggungan untuk bersama berangkat ke Amerika
Serikat. Tonny mengambil program Master di bidang Manajemen
Keuangan (Finance). Karena bea siswa hanya untuk saya, Tonny harus
menjual mobil untuk membayar sekolahnya, dan kami berdua menguras

semua tabungan untuk bisa membiayai hidup selama sekolah di Amerika


Serikat.
Kuliah di program Master dan PhD saya cukup lancar karena meskipun
pelajaran tingkat doktoral cukup rumit dan tidak gampang, saya
menikmati pelajaran dan bacaan literatur yang harus dipelajari. Saya juga
sangat menikmati suasana Campus library yang sangat besar dan
menyenangkan yang tidak dapat kita temui di Indonesia. Meskipun pada
awal 1980 FEUI punya gedung perpustakaan yang baru dan tergolong
paling bagus di UI atau mungkin di Indonesia pada masa itu, namun
koleksi buku dan jurnal sama sekali tidak sebanding dibandingkan
perpustaan di Amerika Serikat. Kita bahkan bisa pinjam dari
perpustakaan dari kampus-kampus lain atau perpustakaan pemerintah di
seluruh Amerika Serikat dengan memesan melalui perpustakaan di
kampus kita. Ini suatu fasilitas yang saya anggap begitu luar biasa.
Tentunya kalau dibandingkan suasana hari ini dimana internet dan
Google bisa membawa kita berkelana ke seluruh dunia melalui
browser, dan akses terhadap informasi sudah demikian mudah, murah
dan sangat hebat, maka fasilitas perpustakaan menjadi relatif tidak
mencengangkan lagi.
Saya menyelesaikan kuliah Master dan PhD selama empat tahun,
tergolong sangat cepat. Spesialisasi yang saya ambil adalah Public
Finance dan Urban Economy. Disertasi saya mengenai Pajak Penghasilan
( Income Tax) membedakan antara pembayar pajak laki-laki dan
perempuan. Dengan demikian dalam penelitian dan penulisan disertasi
tersebut banyak mengandung elemen mengenai ekonomi
ketenagakerjaan ( labor economic). Faktor cepatnya saya menyelesaikan
program Master dan PhD dipicu oleh tabungan kami yang sudah nyaris
habis, bea siswa saya hanya sampai menyelsaikan program Master,
sehingga saya harus bekerja sebagai asisten dosen statistik untuk bisa
membiayai hidup dan dibebaskan biaya kuliah. Saya juga sudah hamil
dan melahirkan anak pertama di sana. Sungguh tahun ketiga dan
keempat adalah masa terberat dalam perjuangan hidup saya dan
keluarga, karena harus melakukan berbagai tugas sekaligus mengurus
anak, bekerja sebagai asisten, dan menyelesaikan ujian preliminary dan
mulai menyususn disertasi Doktor. Keuangan kami yang sangat minim
membuat kami harus hidup sangat hemat, dan lebih banyak waktu
dihabiskan di perpustakaan yang hangat dan nyaman sehingga dapat
menghemat biaya listrik dan pemanas di apartemen. Saya melihat banyak

mahasiswa Indonesia di Urbana Champaign yang dibiayai oleh


Departemen Keuangan mendapat beasiswa tiga kali lipat dari saya, dan
dari Bank Indonesia dan Bank BUMN bahkan mendapat beasiswa
hingga lima atau enam kali lipat dari bea siswa saya. Mereka hidup
sangat nyaman dengan keluarga dan selalu bisa berlibur dan tentu
menabung. Sebagian besar mereka juga cenderung agak rileks dalam
belajar sehingga nilai pelajarannya juga mencerminkan usaha tersebut.
Hikmah keterbatasan keuangan membuat saya dipaksa membangun
disiplin dan selalu membuat rencana detail terhadap berbagai aktifitas.
Disiplin dan perencanaan detail tersebut sangat membantu saya dalam
menjalankan karier selanjutnya.
Masyarakat Indonesia yang hidup di perantauan atau di Amerika Serikat
memiliki suasana pergaulan yang cukup khas. Selama kehidupan sebagai
mahasiswa, saya melihat ada kelompok yang senang berkumpul dan
saling menolong secara luar biasa. Biasanya mereka saling bantu secara
setia kawan pada saat kawan harus pindah, mencari apartemen/ tempat
tinggal, menjemput atau mengantar ke airport, atau pada saat ada yang
dirawat di rumah sakit. Pada saat saya melahirkan anak pertama, karena
tidak ada orang tua atau mertua yang mendampingi, saya dan suami
mengandalkan bantuan kawan-kawan, teermasuk sesepuh di UrbanaChampaign untuk membantu, termasuk mendapat kiriman masakan,
mengungsi sewaktu terjadi winter-storm yang mengakibatkan padamnya
listrik di apartmen kami.
Organisasi kemahasiswaan Indonesia di Amerika Serikat juga aktif
membuat kegiatan pertandingan olah-raga, pameran masakan dan
kesenian di Universitas, dan pengajian/ kegiatan keagamaan. Kegiatan
tersebut sangat positif untuk memperkenalkan Indonesia baik di
masyarakat setempat (warga kampus) juga untuk memelihara kecintaan
dan kebanggaan terhadap Tanah Air. Mahasiswa Indonesia juga banyak
yang sangat ulet, selain belajar juga mencari pekerjaan tambahan baik di
dalam kampus maupun di luar biasanya untuk menambah tunjangan
hidup atau bahkan untuk menabung dalam rangka persiapan pulang ke
Indonesia untuk dapat membeli rumah atau keperluan investasi lainnya.
Namun diantara masyarakat Indonesia di Amerika Serikat juga tidak
lepas mengalami persaingan dan bahkan perpecahan kelompok. Ada saja
alasan yang menjadi faktor pemecah, dari sentimen pribadi, hingga
perbedaan pandangan mengenai cara mengelola organisasi. Sebenarnya
perpecahan kelompok apalagi permusuhan sangat disayangkan, karena

energi permusuhan seharusnya akan sangat baik bila disalurkan untuk hal
yang positif. Membangun kepentingan bersama, saling mendukung
dalam belajar dan bekerja, ikut bangga dengan pencapaian orang lain,
berpikir positip dan terbuka terhadap ide-ide baru yang progresif, itu
akan membuat masyarakat Indonesia menjadi besar dan disegani. Karena
masyarakat Indonesia di Amerika Serikat jumlahnya relatif tidak banyak
dibandingkan negara-negara Asia atau Latin Amerika lainnya, maka
kekompakan dan persatuan akan menjadikan lebih kuat.
Suasana Amerika Serikat pada akhir tahun 1980an dan awal 1990an
masih sangat terbuka, bebas, dan ramah terhadap semua mahasiswa dan
masyarakat internasional. Kemudahan untuk mendapat visa sekolah
maupun bekerja juga banyak membantu masyarakat Indonesia.
Meskipun demikian, mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat sebagian
besar dikenal selalu ingin kembali ke tanah air dan jarang yang ingin
tetap tinggal dan bekerja di Amerika Serikat. Ini sangat berbeda
dibandingkan mahasiswa dari Asia lainnya atau dari Amerika Latin dan
Eropa. Semenjak terjadinya serangan terorisme pada tanggal 11
September 2001, kebijakan pemerintah Amerika Serikat dan suasana
masyarakatnya mengalami perubahan sangat drastis, menjadi kaku,
penuh kecurigaan, dan terlalu banyak lapisan birokrasi dan keamanan
untuk semua urusan dari mulai mengurus visa, mengurus surat ijin
mengemudi, hingga pemeriksaan imigrasi dan keamanan di lapangan
udara. Sejak kejadian itu, suasana tinggal dan belajar di Amerika Serikat
menjadi tidak nyaman. Kecurigaan atau permusuhan dan hilangnyan
kepercayaan antar masyarakat, serta ancaman keamanan secara terus
menerus memang merupakan suatu kanker ganas yang dapat
menggagalkan pembangunan suatu bangsa. Saya melihat sendiri dalam
pekerjaan saya di Bank Dunia saat ini, banyak negara-negara di dunia
yang masuk dalam kategori konflik dan rapuh (fragile) ada sekitar 40
negara di dunia ini. Karena perang, konflik dan permusuhan, mereka
gagal untuk memperbaiki kesejahteraan rakyatnya, dan justru mengalami
kemerosotan kualitas hidup. Rakyatlah yang selalu menjadi korban
pertama dan terlama dari peperangan tersebut.
Setelah saya menyelesaikan program Doktor di Urbana -Champaign,
saya segera kembali ke Indonesia dan langsung diminta menjadi wakil
direktur pendidikan dan latihan di LPEM. Tugas utama adalah mengelola
dan menyelenggarakan kursus manajemen proyek dan perencanaan
pembangunan bagi pegawai pemerintah daerah dan Bappeda. Tugas ini

sangat menarik dan penting, karena kapasitas pemerintah daerah masih


sangat perlu dibangun dan diperbaiki. Pada masa Orde Baru otonomi
daerah dan desentralisasi sangat terbatas dan selektif, karena pemerintah
pusat menganggap bahwa pemerintah daerah masih belum memiliki
kapasistas dan kemampuan apabila delegasi kekuasaan dankewenangan
diberikan secara penuh. Tentu argumen ini menimbulkan kontroversi
yang tidak pernah putus seperti masalah debat mengenai yang mana
duluan antara telur dan ayam. Pemerintah daerah akan menyatakan
bahwa kemampuan dan kapasitas mereka tidak akan terbangun karena
kewenangan tidak diberikan, namun pemerintah pusat menyatakan
karena kemampuan belum memadai maka kewenangan tidak diberikan.
Maka program pendidikan dan latihan menjadi kunci pemecahannya.
Pekerjaan sebagai pengelola pendidikan dan latihan memberikan
kesempatan pada saya untuk mengenal lebih rinci dan dalam kondisi dan
sikap para pegawai di daerah. Banyak yang memiliki kapasitas akademis
yang terbatas, namuh yang menjadi halangan kemajuan daerah bukan
pada masalah akademis, namun sikap mental. Saya cukup sering
menghadapi kasus pegawai pemerintah daerah yang dikirim untuk
pendidikan dan latihan ke Jakarta, bukannya serius untuk belajar, namun
digunakan kesempatan untuk rekreasi dan belanja saja. Meskipun
demikian banyak pegawai daerah yang memiliki sikap yang luar biasa
maju dan profesional. Mereka inilah yang biasanya menjadi juara di
kelas pendidikan.
Saya dan keluarga pada saat terjadinya serangan 9/11 sedang bertempat
tinggal di Atlanta ibu kota Georgia State. Saya bekerja sebagai konsultan
US-AID yang memiliki program mengirim staf pengajar dari universitasuniversitas negeri di Indonesia untuk belajar Master Program terutama di
bidang Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal. Ada sekitar 30 murid
dari UI, UGM, Universitas Brawijaya, Universitas Syah Kuala,
Universitas Cendrawasih, dan Universitas Sam Ratulangi. Saya diminta
menjadi dosen pembimbing dan pendamping, terutama bagi mahasiswa
yang masih mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan beban hidup
dan cara belajar di Amerika Serikat. Karena saya pernah mengalami
sendiri bagaimana tantangan mengelola perubahan hidup dan beban
belajar dari Indonesia ke Amerika Serikat, maka pengalaman tersebut
dapat dibagikan dan diajarkan kepada para mahasiswa baru tersebut.
Saya termasuk yang percaya bahwa menghadapi secara langsung
pengalaman hidup di negara lain merupakan pembelajaran yang sangat
berharga. Kita belajar menjadi bagian dari suatu masyarakat yang sama

sekali berbeda dengan kita. Kita menjadi terbuka wawasannya, bisa


mengenali dan memahami perbedaan kultur, nilai, bahasa, kebiasaan
masyarakat yang berbeda dengan kita sendiri. Dengan pemahaman akan
perbedaan tersebut, kita akan menjadi peka namun juga merasa
pentingnya adanya tenggang rasa, toleransi, dan saling menghargai
perbedaan tersebut.
Selama di Atlanta, selain membimbing mahasiswa dan melakukan riset
mandiri, saya juga bergaul dengan masyarakat Indonesia di Atlanta. Ada
sekelompok masyarakat yang sering mengundang mahasiswa Indonesia
untuk makan atau berekrasi bersama di taman. Masyarakat Indonesia ini
ternyata sebagian adalah mereka yang pindah dari Indonesia karena
kerusuhan politik dan rasial yang terutama ditujukan pada kelompok
etnis Cina pada saat jatuhnya pemerintah Soeharto tahun 1999.
Hebatnya, meski mereka trauma terhadap kerusuhan tersebut, kecintaan
mereka terhadap Indonesia tidak pernah luntur. Mereka bersemangat
membantu para mahasiswa Indonesia di Atlanta secara tulus dan
bersemangat, terutama untuk penyesuaian hidup, dengan
memberitahukan dimana tempat belanja yang murah dan tempat
membeli bumbu-bumbu Indonesia, meski mereka sama sekali tidak
mengenal mereka. Contoh-contoh kecil ini menggambarkan bagaimana
kekuatan masyarakat dan orang Indonesia, yang berpikir positif dan
kecintaan terhadap tanah air yang tulus yang tidak perlu harus
diwujudkan dengan tindakan-tindakan besar dan heroik, namun dengan
sikap nyata keseharian yang konsisten dan mendekati hakiki.
Program USAID tersebut sesuai dengan tantangan Indonesia yang
mengalami perubahan drastis sejak reformasi tahun 1998/99 yaitu dari
sistem pemerintahan yang tadinya sentralistis, tertutup, dan cenderung
otoriter, menjadi sistem yang demokratis, terbuka, dan terdesentralisasi
secara penuh. Perubahan ini memunculkan tantangan nyata dalam bentuk
kapasitas daerah yang masih terbatas sementara mereka sekarang
memiliki kekuasaan dan kewenangan serta tanggung-jawab yang sangat
besar dalam melayani masyarakat. Dengan mengirim staf pengajar dari
Universitas daerah, maka diharapkan akan terjadi pembangunan
kapasitas di daerah. Saya melihat sendiri bagaimana kualitas pengajar
dari Universitas Daerah sangat beragam, sebagian besar masih harus
dibangun dan diperbaiki. Ada pengajar muda dari daerah yang
menceritakan bahwa bahkan buku teks untuk kuliah saja tidak ada.
Dosen hanya mengajar dari buku catatan dan dengan kualitas pengajaran

yang sangat tidak memadai. Maka tidak heran murid-murid lulusannya


juga memiliki kapasitas yang terbatas, meski mereka bergelar Sarjana.
Tentu dengan alokasi anggaran negara dua puluh persen di APBN untuk
pendidikan dan penelitian saat ini, saya berharap fokus perbaikan
kualitas dan pemerataan kualitas di semua daerah di Indonesia menjadi
prioritas utama. Indonesia memiliki banyak generasi muda yang sangat
cerdas dan berpotensi maju, namun apabila kualitas pendidikan di daerah
tidak diperbaiki, maka potensi generasi muda kita akan menjadi sia-sia.
Pada tahun 2002, sewaktu saya sedang menjalankan pekerjaan di Atlanta
tersebut, saya ditelpon oleh Menteri Keuangan Boediono untuk
menerima tugas negara menjadi Direktur Eksekutif di IMF mewakili 12
negara di Asia Tenggara dan Pasifik. Surat keputusan Presiden Megawati
sudah dikeluarkan, sehingga kami sekeluarga harus pindah dari Atlanta
ke Washington DC. Pekerjaan sebagai Direktur Eksekutif di IMF secara
manajerial tidak terlalu rumit, karena saya hanya membawahi sekitar
sepuluh staf saja, namun dari berbagai negara Asia Tenggara dan Pasifik.
Kerumitan muncul karena staf dari Malaysia dan Singapura waktu itu
tidak cukup akur dengan staf dari Indonesia dan Pasifik lainya. Suasana
tersebut segera dapat saya atasi dengan membangun sistem pertemuan
yang bersifat kolegial, transparansi dan akuntabel. Juga adil dalam
pembagian tugas, dan disiplin dalam menjaga kualitas. Tugas sebagai ED
di IMF sangat menarik, karena kita mewakili pemilik (shareholders)
IMF, yang berkewajiban membahas, mengarahkan dan menyetujui atau
menolak program yang diajukan oleh manajemen dan staf IMF. Pada
tahun 2002-2004 tersebut, krisis ekonomi Asia yang terjadi pada thaun
1998-2000 sudah teratasi, namun dampaknya mulai menjalar ke Amerika
Latin dan Turkey dalam bentuk runtuhnya kepercayaan pasar terhadap
stabilitas dan sustainabilitas (ketahanan) ekonomi negara-negara
tersebut. Kerapuhan terjadi baik di sektor keuangan, perdagangan
internasional dan neraca pembayaran, eksposur hutang pemerintah, dan
besarnya defisit anggaran. Saya melihat bagaimana Mexico, Brazil,
Argentina dan Turkey yang mengalami krisis ekonomi harus melakukan
kebijakan-kebijakan ekonomi yang berat untuk bisa memulihkan
stabilitas dan ketahanan ekonominya. Suasana tersebut sama seperti
kondisi Indonesia tahun 1998/99 dan sama seperti yang dialami Eropa
Barat seperti Yunani, Spanyol, Italia, Irlandia, Portugal dan bahkan juga
Perancis dalam skala yang berbeda pada saat ini.

Pada tahun 2004, saya dipanggil pulang ke Indonesia oleh Presiden


Soesilo Bambang Yudhoyono untuk bergabung menjadi menteri dalam
Kabinet Indonesia Bersatu pertama. Saya mula-mula ditugaskan menjadi
Menteri Perencanaan Pembangunan dan Kepala Bappenas, dan setahun
kemudian bergeser menjadi Menteri Keuangan, dan bahkan pada tahun
terakhir harus merangkap sekaligus menjadi Menteri Korrdinator Bidang
Perekonomian. Kondisi ekonomi dunia pada saat saya menjadi Menteri
sungguh tidak mudah. Pada tahun 2006 Dunia mengalami tekanan
karena harga minyak dunia melonjak sangat tinggi dan dalam waktu
sangat singkat, dan ini menimbulkan krisis kepercayaan terhadap
ketahanan ekonomi dan sustainabilitas APBN. Pemerintah harus
melakukan tindakan cepat, tepat untuk memulihkan kepercayaan,
menjaga momentum pertumbuhan dan melindungi rakyat yang paling
miskin dan lemah posisi ekonominya.
Pada tahun 2008 perekonomian dunia mengalami guncangan berat akibat
krisis sektor keuangan di Amerika Serikat dengan bangkrutnya lembaga
keuangan Lehman Brothers yang menyeret seluruh dunia dalam suasana
kepanikan dan krisis kepercayaan yang sangat mengguncang
fundamental perekonomian global. Krisis 2008 mengharuskan pemimpin
dari 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia (G20) untuk berkumpul
dan menyatukan langkah penanggulangan bersama. Trauma krisis
ekonomin tahun 1998/99 sangat membayangi suasana pada tahun 2008
tersebut. Beban dan tanggung jawab sangat berat ada di pundak saya,
karena posisi sebagai Menteri Keuangan dan sekaligus Menko
Perekonomian sangat strategis dalam memimpin dan menentukan
langkah-langkah menghadapi krisis ekonomi dunia. Hari-hari
menghadapi krisis ekonomi dunia tersebut menjadi kawah ujian yang
lengkap dan berat bagi saya, karena pada saat puncak guncangan krisis
ekonomi dunia terjadi yang menyebabkan suasana ekonomi Indonesia
ikut terguncang dengan merosotnya harga saham dan mata uang Rupiah
dan mulai munculnya kepanikan pelaku ekonomi, kesehatan ibu saya
merosot tajam dan akhirnya beliau meninggal dunia. Suasana persaingan
politik dalam negeri menjelang Pemilu 2009 juga menambah rumitnya
proses pembuatan kebijakan dan langkah-langkah penanggulangan krisis
saat itu.
Bekal latihan hidup yang diberikan orang tua saya, dalam bentuk
ketenangan, ketegaran, dan fokus pada tugas sangat membantu. Seluruh
pengalaman penanganan krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1998/99

dan pelajaran dari negara-negara Latin Amerika, Turkey, Rusia yang


pernah mengalami krisis ekonomi memberikan manfaat yang berharga
bagi saya untuk membuat keputusan yang antisipatif, akurat, dan tepat
waktu. Saya berusaha untuk menjaga ekonomi Indonesia agar tidak jatuh
dalam krisis ekonomi, karena bila sampai terjadi seperti tahun 1998/199
maka akan membuat rakyat Indonesia sangat sengsara dan stabilitas
politik dan sosial juga akan ikut terhancurkan. Langkah-langkah
kebijakan pencegahan dan peningkatan ketahanan ekonomi dilakukan
secara penuh perhitungan yang akurat dan cepat, karena situasi
bergejolak setiap hari. Indonesia berhasil melalui masa sulit tersebut
dengan kondisi ekonomi yang relatif tidak terpengaruh dan bahkan
masih dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi,
sementara hampir seluruh negara di dunia mengalami kontraksi. Rakyat
terlindungi dari guncangan yang dapat merusak sendi ekonomi kita. Saya
menyadari bahwa memang kita tidak pernah bisa memilih kapan waktu
yang tepat dan enak untuk mengemban tugas negara dan tanggung jawab
publik. Kita juga tidak pernah dapat memilih atau menghindar kapan
tantangan besar datang menghampiri kita. Namun pada saat tantangan
dan masalah itu datang, kita harus siap menghadapinya. Mengemban
tugas dan tanggung jawab negara berarti kita mengemban kepercayaan
dan kepentingan rakyat yang tidak boleh dikompromikan oleh
kepentingan apapun.
Saya pindah pekerjaan dari Menteri Keuangan Republik Indonesia
menjadi Managing Director World Bank. Pengunduran diri saya memang
menjadi berita dunia, yang saya ambil hikmahnya bahwa apa yang saya
lakukan untuk Republik Indonesia dalam membangun sistem keuangan
negara dan pengelolaan ekonomi berlandaskan prinsip tata kelola yang
baik, transparansi, akuntabel dan berpihaknada kepentingan rakyat
banyak ternyata sangat diperhatikan oleh masyarakat kita sendiri dan
juga oleh dunia. Langkah reformasi memang belum selesai dan tak akan
pernah selesai, karena setiap langkah perbaikan pasti akan menimbulkan
masalah baru yang harus diatasi. Reformasi sama seperti proses
pembangunan sendiri adalah suatu proses yang berkelanjutan, dimana
elemen untuk perbaikan sistem akan selalu dihadapkan pada tantangan
dan resistensi dari mereka yang dirugikan. Reputasi dan pengalaman
saya mengelola ekonomi Indonesia sangat membantu pekerjaan saya
yang baru di Bank Dunia. Para klien, sharehorlders serta para staf Bank
Dunia sangat menghargai pengalaman yang riel dan kongkrit dalam
menghadapi pilihan-pilihan kebijakan dan masalah pembangunan yang

tidak selalu mudah. Bahkan dalam melakukan komunikasi dengan para


stake-holders yang lebih luas, pengalaman tersebut juga sangat
memberikan kredibilitas yang meyakinkan. Cerita dan pengalaman
Indonesia senantiasa menjadi referensi yang sangat penting dalam
membahas persoalan dan membuat keputusan. Hal ini memposisikan
Indonesia sebagai contoh yang sering membanggakan meski tentu sangat
jauh dari sempurna. Namun dalam menangani masalah pembangunan,
memang tidak pernah ada suatu contoh, situasi dan pilihan yang
sempurna. Pembuat kebijakan sering dihadapkan pada pilihan yang tidak
ideal sama sekali atau the first best choice, namun sering terpaksa
harus mengambil keputusan yang kurang optimal atau second or even
third best options . Dalam banyak hal bahkan para pembuat kebijakan
sering harus menelan posisi kebijakan yang paling tidak buruk atau the
least worst. Kondisi yang dihadapi negara-negara Eropa yang sedang
terkena krisis saat ini adalah contoh nyata, antara memilih penyehatan
anggaran dengan pengetatan (austerity) untuk membangun fondasi
ekonomi yang baru dan pilihan mendorong pertumbuhan segera dan
mengurangi beban masyarakat akibat krisis. Kewajiban para pembuat
kebijakan dan pengelola kekuasaan adalah bagaimana menghindarkan
negara dan perekonomian untuk terjerumus dalam situasi yang buruk,
dimana kepercayaan runtuh dan ekonomi menuju krisis. Dan itu sering
harus dilakukan dengan memerangi kelompok kepentingan yang sangat
kuat dan berkuasa.
Belajar dari pengalaman negara sendiri maupun negara lain adalah
sangat penting, sehingga Indonesia tidak perlu senantiasa terjerumus
dalam kesalahan, kesulitan, dan krisis yang mengancam kesejahteraan
rakyat. Pekerjaan di IMF, sebagai Menteri, dan sebagai Managing
Director Bank Dunia memberikan pengalaman profesional yang luar
biasa bagi saya. Dengan melihat berbagai pengalaman krisis dan
tantangan ekonomi pembangunan di berbagai negara di seluruh belahan
bumi, dapat dipetik pelajaran sangat berharga dalam pengelolaan
ekonomi negara. Negara-negara dengan kebijakan ekonomi yang tidak
dirancang secara baik dan hati-hati dan bila tidak dilandasi oleh visi
jangka panjang dan dengan perhitungan yang akurat akan
sustainabilitasnya, akan mengakibatkan krisis yang dapat merusak
ekonomi, sosial dan politik negara tersebut. Pelajaran pembangunan lain
yang sagat berharga adalah di dalam negara unsur kelembagaan yang
sehat, kokoh, dan bersih (akuntabel dan transparan) adalah sangat
penting. Negara sebesar dan sekokoh apapun, dan dengan tingkat

pendapatan berapapun akan runtuh bukan oleh musuh di luar, namun


biasanya justru oleh kerapuhan institusinya sendiri yang dijangkiti
penyakit manajemen dan tata kelola yang buruk dan penyakit korupsi.
Salah urus, salah rancangan dalam kebijakan ekonomi dan pembangunan
dan rapuhnya kelembagaan terjadi dimana saja, baik di Asia, Eropa,
Afrika, Timur Tengah dan Amerika Serikat dan Amerika Latin, dan
Afrika. Krisis juga bisa terjadi di tingkat pendapatan berapa saja, pada
saat masih miskin, atau pada saat negara sedang menuju ke tingkat
menengah (emerging), atau bahkan juga pada saat negara sudah maju
dan kaya.
Pelajaran lainnya adalah penting dan sangat strategisnya investasi
sumber daya manusia dengan merancang dan membangun sistem
pendidikan, kesehatan, dan lingkungan yang kondusif bagi inovasi.
Model pembangunan yang inklusif dan berkeadilan menjadi suatu
keharusan untuk dapat memerangi kemiskinan dan mencapai kemajuan
yang berkelanjutan. Proses pembangunan suatu bangsa adalah suatu
perjalanan dan sekaligus perjuangan yang sangat panjang dan sama
sekali tidak mudah. Inklusif dan berkeadilan mengamanatkan suatu
proses kebersamaan yang bersih, berintegritas, transparan, akuntabel dan
menghormati perbedaan sehingga seluruh lapisan rakyat dapat ikut
memiliki proses pembangunan itu sendiri. Keberhasilan pembangunan
bukanlah diukur dari hasil akhir saja, namun juga oleh proses yang
bermartabat, beretika, jujur dan berkeadilan. Dihadapkan dengan
tantangan pembangunan baik secara nasional maupun global yang makin
rumit dan terus berubah, dengan segala kerendahan hati saya mengakui,
masih begitu banyak hal di dunia ini yang belum saya pahami dan
kuasai. Setiap hari dimana saja saya berkunjung di belahan dunia ini,
proses belajar dan menyimak pengalaman akan terus saya lakuan. Dunia
dan seisinya adalah universitas global bagi saya.
Washington DC, May 10 -2012

Anda mungkin juga menyukai