Anda di halaman 1dari 29

1

PERANAN TEORI HUKUM DALAM SEJARAH PERKEMBANGAN TATANAN


SISTEM HUKUM DI INDONESIA KHUSUSNYA DALAM KEAGRARIAAN
NASIONAL

Oleh:
MUHAMMAD IRFAN
110620160071

Diajukan untuk Memenuhi salah satu Syarat ujian


Mata Kuliah Teori Hukum
Program Magister Kenotariatan

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016-2017

2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat

tuhan yang maha esa karena berkat

limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul
"Politik Hukum Agraria Berkenaan Dengan Hak Adat Dengan Hak Negara Atas Tanah" tepat
pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
tuhan yang maha esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan
ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan
maupun materinya. kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.

Bandung, 20 oktober 2016

(MUHAMMAD IRFAN )

3
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................................

i
ii

BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................................

A. Latar Belakang.......................................................................................................

B. Identifikasi masalah...............................................................................................

C. Tujuan ..................................................................................................................

D. Mamfaat.................................................................................................................

BAB II : Tinjauan Pustaka.............................................................................................

A. Perkembangan teori hukum.........................................................................................

1. Teori hukum yunani dan romawi..................................................................... 10


2. Teori hukum alam ........................................................................................... 11
3. Aliran positivisme dan utilitarianisme ............................................................ 12
4. Aliran hukum murni ........................................................................................ 14

BAB III : PEMBAHASAN.............................................................................................. 18


A. Peranan Teori Hukum Terhadap Sejarah Perkembangan....................................... 18
B. Perkembangan Teori Hukum Mengenai Keagrariaan............................................ 21

BAB III : PENUTUP....................................................................................................... 28


A. Kesimpulan............................................................................................................ 28
B. Saran

.................................................................................................................. 29

4
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... iii

BAB I
PENDAHULUAN
A.

LATAR BELAKANG
Perkembangan ilmu hukum saat ini tidak dapat dipisahkan dari teori hukum. Teori
merupakan landasan dasar dari suatu ilmu pengetahuan, oleh karena itu toeri memiliki peranan
penting dalam setiap perkembangan ilmu pengetahuan tanpa terkecuali ilmu hukum. Teori
memiliki kedudukan yang penting dalam dunia keilmuan, dengan dasar-dasar teori yang
diberikan, akan memberikan gambaran bagi siapapun dalam upaya pengembangan ilmu
pengetahuan. Maka jika dilihat teori sebenarnya juga mengandung subjektivitas, apalagi
mengadung suatu fenomen yang cukup komplek seperti hukum.
Dalam perkembanganya, teori memiliki peranan penting dalam melihat perkembangan
ilmu hukum, sehingga dari perspektif dan gaya yang digunakan oleh setiap ahli hukum Pasti
berlandaskan teori tertentu demi mencapai tujuan hukum itu sendiri1. Oleh karena itu teori
seolah-olah telah menjadi suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu
pengetahuan. Hukum memiliki hubungan yang erat tidak hanya pada sosial masyarakat,
melainkan lebih dari itu, hukum juga memiliki hubungan dengan keilmuan beserta
perkembanganya yang kompleks. Oleh karena itu hukum seolah berada pada titik persimpangan
ilmu pengetahuan yaitu antara hukum dan masyarakat di sisi yang lain, dan hukum dengan ilmu
disisi yang lainya pula.
Ajaran-ajaran hukum yang diberlakukan memiliki hubungan yang erat dengan teori serta
kehidupan masyarakat sebagai objek dari diberlakukanya hukum itu sendiri khususny dalam
makalah ini meninjau lebih dalam pada hukum agraria nasional. Maka tidaklah salah jika
dikatakan bahwa dimana ada masyarakat, disitu pula terdapat hokum, yang jelas mengatur
tengtang kehidupan masyarakat. Berhubungan keagrariaan nasional merupakan Salah satu faktor
terpenting dari adanya hukum adalah untuk mencapai suatu nilai keadilan, kepastian, dan
kemamfaatan, dengan demikian banyaknya teori-teori hukum yang muncul adalah guna
mencapai suatu nilai keadilan tersebut untuk menunjukan adanya suatu perkembangan dari teori
hukum itu sendiri baik di bidang hukum agraria atau keseluruhan hukum nasional.
1 Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, Bandung; Citra Aditya Bakti, 2006, hal.253.

5
Kajian terhadap teori perkemabangan hukum agraria ini dilakukan, untuk mengkaji
tentang sejarah hukum agraria, bagaimana lahirnya hukum agraria di Indonesia sampai
terbentuknya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok
Agraria atau lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Bahkan wacana
untuk mengamandemen Undang-undang Pokok Agraria, terus dilakukan guna menyesuaikan
peraturan- peraturan di bidang ke-agraria-an yang sudah dianggap tidak mengakomodir
perkembangan masyarakat
Pengembangan hukum saat ini juga merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan
kemajuan hukum Indonesia dalam ranah pertanahan (keagrariaan) yang bertujuan untuk
mencapai cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Tujuan tersebut yang di jadikan pembatasan mengenai penerapan hukum di indonesia, dikaitkan
dengan teori hukum dalam keagriaan. Pada dasarnya, jika kita melihat hukum lebih jauh
kebelakang maka kita akan sampai pada ajaran hukum alam, dimana disebutkan bahwa hukum
bersumber dari ajaran moral Ajaran-ajaran moral yang terkandung dalam hukum alam
memberikan gambaran bahwa kehidupan masyarakat yang selaras dan menciptakan kedamain
dengan alam, sehingga sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat dapat tercermin dari nilai-nilai
dasar manusia yaitu, keadilan, keamanan, serta adanya toleransi yang kuat antara masyarakat
dengan alam Hal ini merupakan landasan paling dasar atau awal diciptakanya hukum, dimana
didalam hukum alam menatur hal-hal yang masih bersifat ruang lingkup kecil/masyarakat secara
sederhana2. Kemudian lebih jauh hukum juga mengalami perkembangan hingga mampu
mengatur masyarakat dengan ruang lingkup yang lebih luas.
Pandangan dasar dari adanya sistim hukum adalah guna menciptakan keteraturan dan
keadilan dalam masyarakat. Lebih lanjut lagi hukum dikembangkan menurut kehendak
masyarakat guna mengatur kehidupan yang lebih baik. Dari titik inilah hukum selalu mengalami
perkembangan hingga pada titik yang paling modern. Representatif nilai-nilai yang dulu hidup
dan dikembangkan tersebut di mamafaatkan oleh penguasa yang disalah gunakan sehingga
dalam praktiknya seperti pada zaman kolonial sebelumnya yang tidak banyak aturan hukum yang
memihak kepada rakyat, tetapi lebih banyak aturan hukum yang melindungi kepentingan
penguasa dan pengusaha sehingga menimbulkan ketimpangan atau kesenjangan dalam
masyarakat khusunya mengenai hukum agraria nasional.
2 Adji Samekto, Hukum Dalam Linasan Sejarah, Bandar Lampung; Indepth Publishing, 2013,
hal. 2.

6
Sehingga perlu adanya pembaharuan dan perkembangan dalam melihat permasalahan
hukum agraria nasional. Oleh sebab itu dapat di katakan hukum tidak dapat dipisahkan dari
habitat aslinya, sehingga hukum merupakan satu kesatuan elemen dalam kehidupan masyarakat.
Penerapan sistim hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyrakat akan
menjadikan hukum itu sendiri gagal untuk diterapkan, karena yang timbul dari adanya sistim
hukum seperti itu adalah kekacauan, bukan lagi ketertiban hukum sehingga perlu di tinjau lebih
jauh mengenai perkembang teori huku itu sendiri lebih dalam.
B.
Identifikasi masalah
Dalam tulisan ini penulis akan menjabarkan bagaiman perkembangan dari teori hokum
khusunya meninjau keagrarian nasional dan perkembngan terhadap sistem hukum nasional
indonesia sebagai berikut:
1. Bagaimana Peranan teori hukum dalam sejarah Perkembangan Tatanan Sistem
Hukum di Indonesia?
2. Bagaiman perkembangan teori hukum mengenai keagrariaan nasional pada masa
modern ini ?
C.

Tujuan
Sebagaimana layaknya suatu karya ilmiah, maka makalah ini pun mempunyai tujuan

dan kegunaan yang ingin dicapai, sehingga dalam pembahasannya menjadi sistematis dan
terpola. Penulisan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui peranan teori hukum dalam
sejarah Perkembangan Tatanan Sistem Hukum di Indonesia. Serta untuk mengetahui
perkembangan teori hukum mengenai keagrariaan nasional pada masa modern ini
D.

Mamfaat

Kegunaan penulisan diharapkan dapat memberikan sumbangsi antara lain Sebagai referensi
bagi pihak yang membutuhkan dan yang berkepentingan dalam disiplin ilmu hukum yang
menyangkut tentang teori hukum dan pertanahan. Sebagai perbandingan dalam melakukan
analisis terhadap masalah pertanahan di Indonesia khususnya mengenai perspektif teori hukum
terhadap pertanahan di indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkembangan Teori hukum
1. Teori Hukum Yunani dan Romawi
Teori hukum yang ada saat ini tidak dapat terlepas dari aliran-aliran pemikiran bangsa
Yunani dan Romawi, oleh karena itu fase awal dari pemikiran teori hukum dilontarkan oleh para
pemikir-pemikir klasik dari romawi dan yunani. Meski demikian terdapat suatu perbedaan
mendasar antara romawi dan yunani dalam hal perkembangan hukum. Jika bangsa yunani lebih
banyak memberikan sumbangsih pemikiran hukum, maka beda halnya dengan bangsa romawi
yang lebih bayak memberikan gambaran terhadap praktik-pratik cataupaun cara-cara berhukum,
sehingga embrio awal dari positivism hukum terlahir disini.
Diawali dari lahirnya polis atau negara kota sedikit banyak memberikan gambaran awal
dari adanya konsep berhukum yang ada didalamnya. Jika kita melihat pada teori keadilan awal
yang dicetuskan oleh Plato, maka kita akan mengetahui bagaimana keadilan sebagai dasar dari
hukum itu ada pada masa itu. Mengutip teori keadilan yang dicetuskan oleh Plato maka, kita
akan mengetahui bagaimana norma dasar keadilan itu sendiri. Menurut Plato, keadilan adalah
apabila orang itu menjalankan pekerjaanya dalam hidup ini sesuai dengan kemampuan yang ada
padanya.
Dengan demikian sangat tepat jika hukum dikonsepsikan sebagai suatu bangunan yang
telah ditentukan untuk dikerjakan oleh sesorang guna mencapai suatu nilai keadilan. Hukum
dikonsepsikan sebagai an instrument of the state or polis concerned with justice, with rules of
conduct to regulate human behavior3. Pandanga tersebut memberikan penjelasan bagi teori
hukum bahwa terdapat dasar-dasar yang harus dipenuhi dari suatu sistim hukum yang dibentuk,
yaitu adanya aturan dan keadilan.
Dalam pandangan dasar Plato mengenai keadilan yang terdapat dalam ruang lingkup
masyarakat, Plato memberikan konsep mendasar seperti yang diungkapkan oleh Philip Stokes,
dalam karyanya, yaitu In a quest to understand the nature and value of justice, Plato offers a
vision of a utopian society led by an elite class of guardians who are trained from birth for the
task of ruling4.
3 Herman J Petersen, 2000, Root Patterns Of Thought In Law: A Meta Jurisprudence.
4 Philips Stokes, Philosophy 100 Essential Thinkers, New York; American Paperback, 2006.
hal.23.

8
Selain plato, salah satu filusuf lain yang juga memberikan kontribusi terhadap
perkembangan teori hukum adalah Aristoteles, yang juga termasuk murid Plato. Pandanganpandangan yang dikemukakan oleh Aristoteles memberikan suatu pandangan yang cukup
bertentangan dengan pemikiran yang dikeluarkan oleh plato, dimana hukum merupakan
pembadanan dari akal yang bebas dari nafsu-nafsu5. Dengan kata lain hukum memiliki hubungan
erat dengan perinsip ketuhanan dimana hanya Tuhan yang memiliki kewenangan untuk
memerintah. Meski demikian Aristoteles juga memberikan kritik terhadap hukum yaitu bahwa
hukum itu bisa keras dan oleh karena itu mengandung kemungkinan untuk tidak mendatangkan
keadilan6.
Lebih jauh Friedman dalam karyanya Legal Theory, menyebutkan bahwa Aristoteles
memberikan sumbangan terbesar dalam perkembangan ilmu hukum berupa pandangan yang
membagi keadilan kedalam dua hal yang cukup besar, yaitu keadilan distributif dan keadilan
kolektif7.
Keadilan distributif merupakan keadilan yang memiliki kaitan erat dengan pembagian
barang-barang dan kehormatan kepada masyarakat sesui dengan kedudukanya. Sedangkan
keadilan kolektif lebih menekankan pada bagaimana manusia menjalankan kehidupan sehari-hari
sebagai perinsip dasar manusia. Keadilan kolektif ini memiliki corak yang cukup mencolok,
dimana keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan
cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas
miliknya yang hilang8.
Terdapat sedikit perbedaan antara pemikiran yunani dengan pemikiran romawi tentang
bagaimana cara memandang hukum. Bangsa Romawi mengaitkan hukum lebih pada bagaimana
cara keberlakukan hukum yang memiliki hubungan dengan konsep keTuhanan. Pada masa
Imperium Romawi pandangan keillahian digantikan dengan dogma tentang agama, pada saat ini
agama Kristen memegang peranan penting dalam proses berhukum bangsa romawi.
Ajaran agama Kristen pada masa romawi telah mampu berkembang dalam setiap lini
aturan-aturan tentang tata cara berhukum yang diciptakan dan diberlakukan. Ikatan-ikatan antara
5 Satjito Rahardjo Op Cit, hal.257
6 Ibid ha. 257
7 Ibid hal 258
8 Abdul Gafur Ansori, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan,Gajah Mada Universisty
Press, Yogyakarta, 2006. hal.35

9
manusia dengan konsep ketuhanan memberikan corak yang cukup signifikan sehingga manusia
tidak akan berarti tanpa adanya Tuhan. Dengan demikian corak hukum pada masa itu lebih
banyak di dasari oleh ajaran agama9.
Ajaran-ajaran pada masa ini lebih dikenal dengan masa skolatik10. Salah satu tokoh yang
cukup terkenal pada masa itu adalah Thomas Aquinas (1225-1275). Pandangan Thomas Aquinas
yang cukup terkenal yaitu Alam semsta pada hakikatnya terdiri dari substansi-substansi yang
merupakan kesatuan substansi dan bentuk11. Pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh
Thomas Aquinas memiliki hubungan yang erat terhadap prinsip Ketuhanan yaiutu terdapat
kekuatan lain yang besar diluar kendali manusia.
Terdapat konstruksi hukum alam yang dibagi oleh Thomas Aquinas secara garis besar yaitu
hukum alam primer dan hukum alam sekunder. Dalam mempelajari perkembangan pemikiran
hukum, keadilan merupakan suatu keutamaan umum yang melekat pada setiap aturan hukum.
Nilai-nilai keadilan merupakan landasar awal keberlakukan dari sistim hukum yang akan
diterapkan, oleh karena itu keadilan ditandai oleh beberapa sifat kusus yang nyata dan kompleks
yaitu12:
a. keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang yang sayu
dengan yang lainya,
b. keadilan berada ditengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar
keuntungan terciptalah keseimbangan antara dua pihak,
c. untuk menentukan dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara orang-orang
digunakan ukuran kesamaan.
Sifat-sifat demikian kiranya dapat dijadikan suatu pedoman dalam upaya penegakan
hukum serta perkembangan pemikiran-pemikiran hukum yang ada. Perkembagan ilmu hukum
yang ada saat ini memiliki kaitan erat terhadap teori-teori hukum yang telah ada sebelumnya,
karena itu ilmu hukum merupakan ilmu yeng terus menerus mengalami perkembangan.
2. Teori Hukum Alam
Pada dasarnya hukum alam merupakan konsep hukum yang didalamya terdapat banyak
teori, sehingga hukum alam tidak dapat dipandang sebagai satu teori tentang hukum saja. Teori
9 Theo Huijbers, 1982, filsafat huKum dalam lintasan sejarah, Yogyakarta; kanisius, hal.50.
10 Surajio, 2005, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta; Bumi Aksara, hlm. 157
11 Adjie Samekto, Op cit, hal. 16
12 Theo Huijbers, Op cit, hal.29.

10
hukum alam memiliki karakter yang spesifik dari suatu sistim hukum dimana setiap kebijakankebijakan yang ada bahkan ada juga yang menyebutkan bahwa hukum alam merupakan suatu
metode atau cara berhukum13.
Terdapat hubungan erat antara hukum positif dengan hukum alam, dimana hukum positif
baru teruji kebenaranya bila bersesuaian dengan hukum alam (positive law is justified only
insofar as it corresponds to the natural law).14 Hukum alam memiliki sifat-sifat tersendiri yang
berawal dari pemikiran-pemikiran maupun pandangan para tokoh pemikir hukum. Oleh karena
itu terdapat beberapa hal yang menjadi acuan pokok dalam memahami konsep hukum alam
yaitu15:
a. Hukum alam merupakan ideal-odeal yang menuntun perkembangan hukum dan
pelaksanaanya;
b. Hukum alam merupakan suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga
jangan sampai terjadi pemisahan secara total antara yang ada sekarang, dengan yang
seharusnya;
c. Merupakan suatu metoda yang bertujuan untuk menemukan hukum yang sempurna;
d. Terdapat isi dari hukum yang sempurna, yang dapat di dedukasikan melalui akal;
e. Merupakan suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiraan hukum..
Dengan demikian dapat diartikan pula bahwa hukum alam rupakan substansi awal dalam
cara pandang berhukum yang ada dari dulu hingga masa yang akan datang. Pandangan tertua
dari konsep hukum alam adalah hukum alam digunakan sebagai suatu metoda yang digunakan
dalam mempelajari serta menerapkan hukum. Dengan metoda yang terdapat dalam hukum alam,
maka metode-metode untuk menerapkan suatu sistim hukum menjadi suatu kaidah dasar bagi
penerapan hukum.
Lebih jauh Thomas Aquinas membagi konsep hukum alam kedalam dua hal yang cukup
besar yaitu

principia prima dan principia secundaria16 dari sistim hukum alam yang ada.

Principia Prima yaitu, asas-asas yang dimiliki oleh manusia sejak lahir dan tidak dapat
diasingkan daripadanya. Principia secundaria, yaitu asas yang bersumber dari principia
prima,sebaliknya tidak bersifat mutlak dan dapat berubah pada setiap waktu dan tempat.
13 Satjipto Rahardjo, Op cit hal.260
14 Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel, hlm.1
15 Dias 1976, dalam Satjipto Rahardjo, Op cit.
16 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2007, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung; Mandar Maju, hlm.105

11
Seringkali asas ini dikatakan sebagai penafsiran manusia dengan menggunakan rasionya
terhadap principia prima. Penafsiran ini bervariasi, dapat baik atau buruk. Suatu penafsiran dapat
mengikat umum jika hukum positif memberikan pada asas-asas ini kekuasaan mengikat,
misalnya dalam bentuk undang-undang.
Tidak hanya itu bahkan Friedman, 1953, seperti yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo juga
menyebutkan bahwa hukum alam telah menjalani funsgi-fungsi yang ada yaitu:
1. Hukum alam telah berfungsi sebagai instrument utama pada saat hukum perdata
romawi kuno ditransformasikan menjadi suatu sistim internasional yang bagus;
2. Hukum alam telah menjadi senjata yang dipakai oleh kedua belah pihak (pihak gereja
dan kerajaan) dalam pergaulan antar mereka;
3. Atas nama hukum alam lah kesahan hukum internasional ditegakkan;
4. Perinsip-perinsip hukum alam telah dijadikan senjata oleh para hhakim Amerika, pada
waktu mereka memberikan tafsiran atas konstitusi mereka, dengan menolak campur
tangan negara melalui aturan perundag-undangan mereka.
Pandangan hukum alam dapat dijadikan dasar pijakan atas aturan-aturan hukum yang
dibuat, oleh karena itu hukum yang diterapkan disuatu tempat pada hakikatnya tetap menjadikan
hukum alam sebagai dasar pijakan keberlakukan sistim huku tersebut. Meski demikian terdapat
aturan aturan dasar dari penerapan aturan hukum di suatu tempat atau negara. Hukum positif
tidak boleh melawan hukum alam, yakni tidak boleh menyuruh sesuatu yang terlarang oleh
hukum alam. Tetapi hukum alam sebagai batas hukum positif boleh dilewati, jika dituntut oleh
kepentingan umum negara.17
Tidak hanya berhenti disitu, Hugo Grotius juga memberikan pandanganya terkait dengan
hukum alam. Grotius secara jelas menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki
hubungan yang erat dengan alam. Pemikiran tersebut dapat dilihat dalam penjabaran Grotius
terkait hubungan antara manusia dengan alam18, yaitu:
a. Semua manusia sesungguhnya memiliki alam yang sama,
b. Manusia cenderung membentuk hidup bersama
Dengan demikian pandangan hukum alam juga banyak membahas tentang bagaimana manusia
hidup dalam lingkungan sosialnya. Konsep-konspe mendasar hukum alam dapat dilihat dari cara
hukum alam mengatur manusia untuk hidup sesuai dengan alam sosial yang ada disekitarnya.
17 Theo, Op cit, hal.62
18 Adjie Samekto, Op cit, hal.20

12
Dalam perkembangan teori hukum alam, tidak serta merta bertentangan dengan tori hukum pada
masa yunani maupun romawi. Teori hukum alam juga masih terpengaruh oleh pemikir-pemikir
yang ada sebelumnya, bahkan Thomas Aquinas membedakan hukum kedalam empat jenis yang
berbeda yaitu:
1. Lex Aeterna, yaitu hukum sebagaimana rencana pemerintahan seperti yang dibuat oleh
Raja Diraja,
2. lex naturalis, yaitu adanya pengarahan terhada perilaku manusia terkait petunjukpetunjuk umum dari suatu aturan. Dalam hal ini petuntuk yang paling dasar adalah yang
paling benar harus dilakukan, sedangkan yang salah harus dihindarkan.
3. lex divina, yaitu aturan-aturan hukum yang etrcantum dalam kitab suci, ataupun aturanaturan hukum yang tercantum dalam perjanjian lama maupun perjanjian baru.
4. Sedangkan yang terakhir adalah, Lex Humane yang merupakan rumusan Thomas
Aquinas mengenai bagaimana aturan-aturan hukum tersebut dilakukan.
Dengan demikian hukum alam merupakan suatu ciri hukum yang dapat dikenali oleh setiap
manusia, karena aliran hukum alam merupakan usaha manusia untuk menemukan hukum dan
keadilan yang ideal19.
3. Aliran Positivisme Dan Utilitarianisme
Aliran positivisme hukum merupakan gerakan baru yang muncul pada abad ke 19, yang
ditandai dengan gerakan positivisme. Pandangan yang paling menonjol dari aliran positivisme
hukum ini adalah mengenai ciri-ciri dasar dari hukum yang dijabarkan oleh H.L.A.Hart20, yaitu:
a. Hukum adalah perintah;
b. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan.
Analisi tersebut berbeda dengan aliran sosiologis yang menyatakan adanya unsur-unsur
lain yang terkandung dalam hukum, yaitu ilmu-ilmu sosial.
c. Keputusan-keputusan dapat didedikasikan secara logis dari peraturan-peraturan yang
sudah ada lebih dulu, tanpa merujuk pada aturan-aturan sosial, kebijakan serta moralitas.
d. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran
rasional, pembuktian ataupun pengujian.
e. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, harusnya terpisah dari aturan hukum yang
seharusnya diciptakan.

19 Satjipto Rahardjo, Op cit, hal.265


20 Ibid. Hal. 265

13
Pandangan yang dikemukakan oleh Hart ini adalah suatu upaya yang dengan jelas
memberikan gambaran terkait sistim positivisme hukum. Dalam tradisi modern hukum dan
keadilan dipandang sebagai pemeliharaan atau pemulihan keseimbangan (balance), atau jatah
bagian (proportion), serta perlakukan yang serupa terhadap hal-hal atau cara yang berbeda21. Hal
ini sejalan dengan apa yang dikonsepkan oleh John Austin yaing mengatakan bahwa sumber
hukum merupakan suatu kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Dengan demikian
positivisme hukum kemudian melahirkan pandangan empirisme dimana realitas direduksi
menjadi sekedar-fakta-fakta yang dapat diamati.
Pandangan positivisme tersebut telah mereduksi nilai-nilai sosial yang ada dalam
masyarakat sehingga tatanan sosial yang ada, dapat dijadikan suatu objek kajian dari ilmu
hukum. Lewat paradigma positivisme, ilmu-ilmu sosial telah dibentuk menurut paham rasional
dan empirisme ilmu pengetahuan alam yang sangat menonjolkan epistemologi positivistik22.
Pandagan-pandangan positivistik melembagakan pandangan yang dimilikinya kedalam suatu
doktrin keilmuan, sehingga pandangan positivisme hukum yang paling dasar adalah menjadikan
objek kajian ilmu alam dan ilmu sosial kedalam kajian paradigma positivistik.
Doktrin positivisme hukum yang didalamnya terdapat paradigma keilmuan tersebut
didalamnya terdapat kriteria-kriteria keilmuan sebagai berikut:
a. Bebas nilai, dalam hal ini peneliti maupun pengamat hukum harus pada posisi bebas
kepentingan, sehingga mampu menghasilkan penelitian yang objektif.
b. Ilmu pengetahuan harus menggunakan metode ferifikasi empiris. Metode ini digunakan
sebagai upaya melakukan perbandingan dari objektifitas keilmuan tersebut.
c. Realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.23 Dengan demikian dapat
pula dikatakan bahwa positivisme merupakan tindak lanjut dari pandangan empirisme.
Meski aliran positivisme hukum mampu memberikan pengaruh yang kuat terhadap dasardasar pemikiran hukum, namun terdapat masa dimana aliran-aliran lain dalam keilmuan hukum
dapat menjadi titik balik dari aliran positivisme hukum itu sendiri. Pada hakikatnya terdapat
kondisi yang tepat untuk dijadikan dasar pijakan dari positivisme hukum yaitu, dimana kondisi
21 H.L.A.Hart, 2011, Konsep Hukum, Bandung; Nusa Media, hal. 246. Terjemahan dari The
concept of law.
22 Adjie Samekto, Op cit, hal 40
23 Dony Grahal Adian, 2001, Arus Pemikiran Kontemporer, Jogjakarta; Jalasutra. hal 35-36.

14
sosial masyarakat yang stabil dan norma-norma yang ada dapat berjalan dengan baik, maka pada
titik itulah positivisme hukum dapat diterapkan dengan baik sebagai kaida dasar dari aturanaturan yang ada dala masyarakat.
4. Aliran Hukum Murni
Dalam catatan sejarahnya aliran hukum murni merupakan suatu gerakan pemberontakan
atas teori hukum yang idiologis, dimana hukum hanya digunakan sebagai alat pemerintahan
belaka. Oleh karena itu munculah tuntutan yang mendesak untuk diciptakanya aturan hukum
yang formal logis dan tidak menimbulkan prediktabilitas tinggi sehingga dapat dimasukkan
kedalam kepastian hukum serta adanya singgungan langsung dalam masyarakat.24
Pandangan ini cukup berpengaruh hingga dapat dikatakan sebagai pandangan pembaharuan
hukum. Hans Kelsen mengatakan bahwa teori hukum murni merupakan teori tentang hukum
positif25. Bagi Hans Kelsen hukum merupakan system norma, suatu system yang didasarkan pada
suatu keharusan-keharusan. Sedangkan norma merupakan produk pemikiran manusiayang
sifatnya deliberatif26. Perdebatan antara teori hukum dan kaitanya dengan orma merupakan suatu
kesepakatan yang diambil oleh masyarakat terkait dengan norma-norma yang telah hidup dalam
kehidupanya sehari-hari.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa terdapat pandangan yang ketat terkait dengan
hukum dan pemikiran-pemikiran dasarnya yaitu nilai dan konsep awal dari keberlakuan hukum
itu sendiri. Hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan, dan menjadi kuat bersamasama dengan kekuatan dari rakyat dan kemudian dia mati manakala bangsa itu kehiangan
kebangsaanya.
Masyarakat selalu mengalami perkembangan yang kompleks, sehingga aturan-aturan
hukum yang ada di dalamnya juga dituntut untuk mampu berkembang sesuai dengan jaman
kebutuhan masyarakat. Hukum akan dipandang using ketika aturan-aturan hukum itu sudah tidak
lagi mampu menampung kebutuhan-kebutuhan dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Dalam aliran hukum murni, mengatakan bahwa nilai-nilai sosial yang ada dalam
masyarakat lebih penting daripada hanya berupa aturan-aturan yang dibuat dan ditulis dalam
24 Satjipto Rahardjo, Kepastian Hukum, Opini Kompas. 1999
25 Satjipto Rahardjo, Op Cit.
26 Jimly Assidiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta. 2006. hal.37

15
undag-undang belaka. Dengan demikian maka tidaklah salah jika Satjipto Rahardjo mengatakan
bahwa dalam aliran hukum murni inilah dimulainya suatu pandangan bahwa hukum memiliki
sifat unikum. Dengan demikian hukum diharapkan mampu menembus setiap lapisan-lapisan
masyarakat sehingga mampu menciptakan keadilan substantif sesuai dengan nilai dan budaya
masyarakat yang ada.
Pandangan hukum murni dari waktu ke waktu akan terus mengalami perubahan dan
perkembangan, aliran ini merupakan salah satu aliran hukum yang dinamis sehingga dapat
bersesuaian dengan kehidupan masyarakat. Selain itu teori hukum juga dapat dipandang oleh
sebagian orang dengan menggabungkan unsur-unsur sosial yang ada di dalamnya, sehingga tidak
hanya berkutat pada segala hal yang bersifat normative. Dengan demikian teori hukum tidak lagi
dipandang sebagai perinsip positif yang ilmiah dan berdiri sendiri, dan berbeda dengan filsafat
hukum yang bersifat spekulatif. Melainkan, teori hukum dapat pula diasosiasikan dengan
positivisme hukum.27
Terdapat hubungan yang berkaitan secara sistematis antara hukum dengan masyarakat
sehingga hukum mampu melakukan fungsi-fungsi yang strategis guna mempertahankan
kehidupan masyarakat berupa aturan-aturan yang terdapat dalam hukum.
B. Hukum Agraria
Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam
arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian. Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum
Agraria di lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundangundangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya
di bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari

hukum

administrasi negara.
Sebutan agrarische wet, agrarische besluit, agrarische inspectie pada
departemen Van Binnenlandsche Bestuur, agrarische regelingan dalam himpunan
Engelbrecht, bagian agraria pada kementerian dalam negeri, menteri agraria, kementerian
agraria, departemen agraria, menteri pertanian dan agraria, departemen pertanian dan
agraria, direktur jenderal agraria, direktorat jenderal agraria pada departemen dalam negeri,
semuanya menunjukan pengertian demikian.

27 Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Yogyakarta; Cahaya Atma Pustaka, hal. 85

16
Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah menjadi bagian
dari hukum tata usaha negara karena mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang,
bumi, air dan ruang angkasa yang melibatkan pejabat yang bertugas mengurus masalah
agraria28.
Daripada itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUPA, sasaran Hukum Agraria
meliputi : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, sebagaimana lazimnya disebut sumber daya alam (SDA). Oleh karenanya
pengertian hukum agraria menurut UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam arti
luas, yang merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang meliputi :
1. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti
permukaan bumi;
2. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian
yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan;
4. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang
terkandung di dalam air;
5. Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan;
6. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space
law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa
yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Peranan Teori Hukum Terhadap Sejarah Perkembangan Tatanan Sistem Hukum Di
Indonesia
28 Suardi, Hukum Agraria, B.P. Iblam, Jakarta, 2005, hlm. 4

17

1. Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme sebenarnya periode dimana indonesia masih berada di bawah
penguasaan asing. Semua permasalahan dan hukum itu berada pada penguasaan kolonial, yang
kemudian dibedakan menjadi tiga era, yaitu:
a. Era VOC
Pada era penjajahan VOC, sistem hukum yang digunakan bertujuan untuk:
1) Keperluan ekspolitasi ekonomi untuk membantu krisis ekonomi di negera Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat asli Indonesia dengan sistem yang otoriter
3) Perlindungan untuk orang-orang VOC, serta keluarga, dan para imigran Eropa.
Hukum Belanda diterapkan terhadap bangsa Belanda atau Eropa. Sedangkan untuk rakyat
pribumi, yang berlaku ialah hukum-hukum yang dibuat oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri.
Tata politik & pemerintahan pada zaman itu telah mengesampingkan hak-hak dasar rakyat di
nusantara & menjadikan penderitaan yang pedih terhadap bangsa pribumi di masa itu.
b. Era Liberal Belanda
Tahun 1854 di Hindia-Belanda dikeluarkan (Regeringsreglement (kemudian dinamakan
RR 1854)) atau Peraturan mengenai Tata Pemerintahan di Hindia-Belanda yang tujuannya adalah
melindungi kepentingan usaha-usaha swasta di tanah jajahan & untuk yang pertama kalinya
mencantumkan perlindungan hukum untuk rakyat pribumi dari pemerintahan jajahan yang
sewenang-wenang. Hal ini bisa dilihat dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur soal
pembatasan terhadap eksekutif paling utama Residen & kepolisian, dan juga jaminan soal proses
peradilan yg bebas. Otokratisme administrasi kolonial masih tetap terjadi pada era ini, meskipun
tidak lagi sekejam dahulu. Pembaharuan hukum yang didasari oleh politik liberalisasi ekonomi
ini ternyata tidak dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi, sebab eksploitasi masih
terus terjadi.

c. Era Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang


Politik Etis diterapkan di awal abad ke-20. Kebijakan-kebijakan awal politik etis yang
berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum antara lain:
1) Pendidikan bagi rakyat pribumi, termasuk juga pendidikan lanjutan hukum;

18
2)
3)
4)
5)

Pendirian Volksraad, yaitu lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;


Manajemen organisasi pemerintahan, yang utama dari sisi efisiensi;
Manajemen lembaga peradilan, yang utama dalam hal profesionalitas;
Pembentukan peraturan perundang-undangan yg berorientasi pada kepastian
hukum.

Sampai saat hancurnya kolonialisme Belanda, pembaruan hukum di Hindia Belanda


meninggalkan warisan: i) Pluralisme/dualisme hukum privat dan pluralisme/dualisme lembagalembaga peradilan; ii) Pengelompokan rakyat ke menjadi tiga golongan; Eropa dan yang
disamakan, Timur Asing, Tionghoa & Non-Tionghoa, & Pribumi.
Masa penjajahan Jepang tidak banyak terjadi pembaruan hukum di semua peraturan
perundang-undangan yang tidak berlawanan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku
sambil menghapus hak-hak istimewa orang-orang Belanda & Eropa lainnya. Sedikit perubahan
perundang-undangan yang dilakukan: i) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang awalnya
hanya berlaku untuk golongan Eropa & yang setara, diberlakukan juga untuk kaum Cina; ii)
Beberapa peraturan militer diselipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang
berlaku.

Di

bidang

peradilan,

pembaharuan

yang

terjadi

adalah:

i)

Penghapusan

pluralisme/dualisme tata peradilan; ii) Unifikasi kejaksaan; iii) Penghapusan pembedaan polisi
kota & lapangan/pedesaan; iv) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; v) Pengisian secara
besar-besaran jabatan-jabatan administrasi pemerintahan & hukum dengan rakyat pribumi.
2. Era Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a. Era Revolusi Fisik
1) Melanjutkan unfikasi badan-badan

peradilan

dengan

melaksanakan

penyederhanaan;
2) Mengurangi serta membatasi peranan badan-badan pengadilan adat & swapraja,
terkecuali badan-badan pengadilan agama yg bahkan diperkuat dengan
pembentukan Mahkamah Islam Tinggi.
b. Era Demokrasi Liberal
Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang sudah mengakui HAM. Namun pada era
ini pembaharuan hukum & tata peradilan tidak banyak terjadi, yang terjadi adalah dilema untuk
mempertahankan hukum & peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi
hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional.

19
Selajutnya yang terjadi hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan
& mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan
melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan
& Kekuasaan Pengadilan.
3. Era Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a. Era Demokrasi Terpimpin
Perkembangan dan dinamika hukum di era ini adalah:
1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan & mendudukan MA & badan-badan
pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
2) Mengubah lambang hukum "dewi keadilan" menjadi "pohon beringin" yang
berarti pengayoman;
3) Memberikan kesempatan kepada eksekutif untuk ikut campur tangan secara
langsung atas proses peradilan sesuai UU No.19/1964 & UU No.13/1965;
4) Menyatakan bahwa peraturan hukum perdata pada masa pendudukan tidak
berlaku

kecuali

hanya

sebagai

rujukan,

maka

dari

itu

hakim

harus

mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional & kontekstual.


4. Era Orde Baru
Pembaruan hukum pada masa Orde Baru dimulai dari penyingkiran hukum dalam
proses pemerintahan dan politik, pembekuan UU Pokok Agraria, membentuk UU yang
mempermudah modal dari luar masuk dengan UU Penanaman modal Asing, UU Pertambangan,
dan UU Kehutanan. Selain itu, orde baru juga melancarkan: i) Pelemahan lembaga hukum di
bawah kekuasaan eksekutif; ii) Pengendalian sistem pendidikan & pembatasan pemikiran kritis,
termasuk dalam pemikiran hukum; Kesimpulannya, pada era orba tidak terjadi perkembangan
positif hukum Nasional. Periode Pasca Orde Baru 1998 sampai sekarang telah menentukan
bahwa semenjak kekuasaan eksekutif beralih ke Presiden Habibie sampai dengan sekarang,
sudah dilakukan 4 kali amandemen UUD RI 1945. Beberapa pembaruan formal yang terjadi
antara lain: 1) Pembaruan sistem politik & ketetanegaraan; 2) Pembaruan sistem hukum &
HAM; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.
B. Perkembangan Teori Hukum Mengenai Keagrariaan Nasional Di Indonesia

20
1. Hukum Agraria Kolonial
Dari segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
a. Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka
bahkan berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24
September 1960; dan
b. Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.
Dari konsideran UUPA di bawah kata menimbang, dapat diketahui beberapa ciri dari
hukum agraria kolonial pada huruf b, c dan d, sebagai berikut :
a. Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan
dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga
bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan revolusi
nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
b. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat di
samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
c. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
2. Masa Pemerintahan
a. Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811).
Awal dari perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan tanah,
hingga menimbulkan tanah partikelir. Kebijakannya itu adalah dengan menjual tanah-tanah
rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah itulah
yang kemudian disebut tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang
mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya ialah
adanya hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan

yang disebut landheerlijke

rechten atau hak pertuanan.


b. Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816).
Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government
dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pajak
bumi. Dari hasil penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa
disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedang

rakyat hanya sekedar memakai dan

menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai

21
akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna sendirinya beralih pula
kepa Raja Inggris.
c. Gubernur Johanes van den Bosch.
Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan kebijakan pertanhan
yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini
petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak
lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional paa waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan
kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak
mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari
masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.
Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian
telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para
penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna
dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang
dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanahtanah yagn biasa disewa adalah tanah- tanah negara nyang masih kosong.
3. Sesudah tahun 1870 (hukum tanah administratif Belanda).
a. Agrarische Wet (AW).
Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari hukum
agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai
permulaan hukum agraria barat. Ide awal dikelularkannya Agrarische Wet (AW) ini adalah
sebagai respon terhadap kaingina perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang
pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak rakyat atas tanahnya harus dijamin.
AW ininmerupakan undnag-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan pada tahun
1870, dengan diundangkan dalam S.1870-55. dimasukkannya ke Indonesia, dengan
memasukkan Pasal 62 RR, yang pada mulanya terdiri dari 3 ayat, dengan penambahan 5 ayat
tersebut sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4 sampai dengan ayat 8. pada
akhirnya Pasal 62 RR ini menjadi Pasal 51 IS.
b. Agrarische Besluit (AB).

22
Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjutan dalam peraturan dan
keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk
Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB), S.1870-118. AB
terdiri dari tiga bab, yaitu ;
1) Pasal 1-7 tentang hak atas tanah.
2) Pasal 8-8b tentang pelepasan tanah;
3) Pasal 19-20 tentang peraturan campuran.
Dalam Pasal 1 AB tersebut dimuat satu pernyataan yang asas yang sangat penting bagi
perkembangan dan pelaksanaan hukum tanah administratif Hindi Belanda. Asas tersebut dinilai
sebagai kurang menghargai , bahkan memperkosa hak-hak Dinyatakan dalam Pasal 1 AB
13
tersebut :
Behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft
het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet anderen reght van eigendom
wordt bewezen, domein van de staat is.
Jika diterjemahkan :
Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarische
Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapar
membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein negara (milik) negara.
AB hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1
AB tersebut, yang dikenal sebagai Domein Verklaring (Pernyataan Domein) semula juga
berlaku untuk Jawa dan Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan
juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi
yang diundangkan dalam S.1875-119a.
Maksud dari adanya pernyataan domein itu adalah untuk memberikan ketegasan
sehingga tidak ada keragu-raguan, bahwa satu- satunya penguasa yang berwenang untuk
memberikan tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah. Dengan adanya pernyataan
domein, maka tanah-tanah di Hindi Belanda dibagi menjadi dua jenis, yaitu;
1). Vrijlands Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak
ada hak penduduk bumi putera.

23
2). Onvrijlands Domein atau tanah negra tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya
ada hak penduduk maupun desa.
c.

Erfacht Ordonantie.

Mengenai pemberian hak erfacht kepada para pengusaha tersebut, menurut AW harus
diataur dalam ordonansi. Maka daka dalam pelaksanaannya dijumpai berbagai peraturan
mengenai hak erfacht, yaitu;
a. Untuk Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja :
1). Agrarische Besluit (S.1870-118) Pasal 9 sampai dengan 17;
2). Ordonansi yang dimuat S.1872-237a, yang beberapa kali mengalami
perubahan , terakhir dalam tahun 1913 disusun kembali dan diundangkan
dalam S.1913-699.
b. Untuk luar Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja : semula ada
beberapa ordonansi yang mengatur hal-hal mengenai pemberian hak erfacht
yang berlaku di daerah-daerah tertentu,
1). S.1874f untuk Sumatera.
2). S.1877-55 untuk keresidenan Manado.
3). S.1888-58 utnuk daerah Zuider-en Oosteradeling Borneo.
Dalam tahun 1914 diundangkan satu ordonansi utnuk semua daerah pemerintahan
langsung di luar Jawa dan dimuat dalam S.1914-367 Ordonansi yang baru itu dikenal dengan
sebutan Erfachtordonantie Buitengewesten. Semua ordonansi yang lama ditarik kembali
kecuali Pasal 1-nya masing-masing.
c. Untuk daerah-daerah swapraja luar Jawa :
Diatur

dalam

S.1910-61

dengan

sebutan

erfachtordonantie

Zelfbesturende

Landschappen Buitengewesten. Berlakunya di masing- masing swapraja menurut petunjuk


Gubernur Jenderal. Sebelum adanya ordonansi itu di daerah-daerah swapraja di luar Jawa tidak
diberikan hak erfacht, melainkan hak konsesi untuk perusahaan kebun besar. Persewaan tanah
rakyat kepada perusahaan kebun besar diatur pula dengan ordonansi, yang telah mengalami
perubahan-perubahan menjadi :
1). Grondhuurordonantie (S.1918-88), yang berlaku di Jawa dan Madura,

24
kecuali Surakarta dan Yogyakarta;
2). Vordtenlands Groondhuur Reglement (S.1918-20), yang berlaku di daerah
swapraja Surakarta dan Yogyakarta.
d. Agrarische Eigendom.
Agrarische eigendom adalah suatu koninklijk besluit tertanggal 16 April 1872, Nomor :
29, mengenai hak agrarische eigendom, yang dimaksud dengan Agrarische eigendom adalah
suatu hak yang bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia/pribumi,nsuatu hak
yang kuat atas sebidang tanah. Agrarische eigendom ini, dalam praktik untuk membedakan hak
eigendom sebgaimana yang dimaksud dalam BW.
Agrarische eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur lebih lanjut dalam Pasal
4 AB kemudian diatur lebih lanjut dalam KB tanggal 16 April 1872 Nomor : 29 (S. 1872-117)
dan S. 1837-38. berdasarkan KB tersbut, tata cara memperoleh Agrarische eigendom dijelaskan
di bawah ini, yaitu :
1). Apabila seseorang Indonesia asli (bumi putera) berkeinginan agar hak milik
atas

tanahnya,

dirubah

menjadi

Hak

Agrarische

eigendom,

maka

pemohonannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, agar


ia ditetapkan sebagai pemiliknya. Inilah yang disebut : uitwijzing van erfelijk
individucel gebbruikrecht. Ini hanya mungkin apabila tanahnya di lkuar
sengketa, artinya tanpa berperkara dengan pihak lain.
2). Untuk ini semua sebelumnya diadakan pengumuman, di desanya yang
bersangkutan untuk memberi kesempatan kepada pihak ketiga yang merasa
berkepentigan akan mengajukan keberatan-keberatan terhadap permohonan
uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht di atas.
3). Dengan berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri tersebut, maka
agrarische eigendom dapat diberikan kepada pemohon oleh bupati yang
bersangkutan bertindak untuk dan atas nama pemberian gubernur jenderal.
4). Agrarische eigendom yang telah diperoleh dari bupati tersebut, maka
Agrarische

eigendom

tersebut

harus

didafatarkan

menurut

peraturan

sebagaimana dimuat dalam S.1873-38, dan kepada pemiliknya akan mendapat


surat tanda bukti hak.

25
5). Setiap peralihan hak, pembebanan degnan hypotheek, harus didaftarkan di
Kantor Pengadilan Negeri.
Tujuan adanya Agrarische eigendom sebetulnya bertujuan untuk memberikan kepada
orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang pasti karena terdaftar dan
haknya dapat dibebani dengan hypotheek. Tetapi dalam praktiknya kesempatan untuk
menggantikan hak miliknya dengan menjadi Agrarische eigendom tidak banyak dipergunakan.
e. Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.
Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh
Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh
kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakt sudah menjadi
hal yang sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah
perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah.
f. UUPA sebagai hukum agraria nasional.
UUPA mempunyai du substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama, tidak
memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua, membangun hukum
agraria nasional. Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUP, maka terjadilah perubahan
yang fundamental pada hukum agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanhan.
Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari
maupun isinya. UUPA juga merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan agraria
karena di dalamnya memuata program yang dikenal dengan Panca Program Agraria Reform
Indonesia, yang meliputi :
1) Pembaharuan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasioanl
dan pemberian jaminan kepastian hukum;
2) Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
3) Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
4) Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan- hubungan
hukum yangberhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan
pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenal dengan program
landreform;
5) Perncanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan

alam yang

26
terkandung di dalamnya serta penggunaan secara terencana, sesuai dengan daya
dukung dan kemampuannya.
Sebagai undang-undang nasional, UUPA memiliki sifat nasional material dan formal.
Sifat nasional material berkenaan dengan substansi UUPA. Sedangkan nasional formal
berkenaan dengan pembentukan UUPA.

BAB IV
Penutup

27
A. Kesimpulan
1. Ilmu pengetahuan dalam perkembanganya akan selalu mengalami perubahan, baik
kritik maupun pujian termasuk didalamnya ilmu hukum. Saat ini hukum indonesia
seolah-olah telah berada pada suatu tatanan yang transendental dengan segala
perangkat yang ada di dalamnya. Hukum seakan telah bertransformasi kedalam setiap
satuan-satuan biner yang ada dala setiap lini kehidupan masyarakat yang dari
penguasaan kolonial dan kekosongan hukum hingga ke masa sekarang begitu
komplikasi. Tidak hanya itu, hukum juga dianggap sebagai sebuah kriterium demarkasi
yang membatasi keadaban dengan primitivitas. Kritikan serta penemuan konsep-konsep
baru merupakan suatu upaya guna mencapai kemajuan sistim hukum. Hingga hukum
tidak lagi dianggap sebagai sarana penindasan masyarakat borjuis terhadap kaum
proletar.
2. Lebih jauh hukum diharapkan mampu memberikan rasa keadilan yang dapat dirasakan
secara general, tidak lagi memihak pada penguasa. Meski demikian hukum juga tidak
dapat lepas dari kaidah dasarnya sebagai suatu aturan yang bersumber dari nilai-nilai
dan norma yang ada dalam masyarakat dan mengatur kehidupan masyarakat itu sendiri.
Oleh sebab itu perkembangan teori hukum dari masa kolonial hingga sekarang
membawa perubahan yang sangat signifikan. Sehingga aturan-aturan hukum yang ada
harus memiliki dasar pijakan yang jelas (norma hukum), dengan kata lain hukum tidak
lagi digunakan sebagai alat penindasan. George P.Fletcher, menyebutkan bahwa the
positivist premise is that a legal system worth its name must use force to close the gap
between norms and actual behavior.29 Bahwa pandangan tentang hukum serta
bagaimana cara penggunaan hukum tidak dapat terlepas dari positivisme hukum, meski
demikian penegakan hukum itu sendiri juga harus memperhatikan nilai-nilai dasar yang
ada dalam masyarakat, sehingga hukum mampu hidup dalam lingkup masyarakat itu
sendiri.

B. Saran

29 George P. Fletcher, 1996, Basic Consept Of Legal Thought, Oxford; Oxford University Press,
hal.29

28

Kesemua hal ini selayaknya dijadikan alas bagi kehadiran upaya-upaya dan sungguhsungguh mengerjakan dan membentuk kembali teori hukum sebagai mana mestinya. Baik dalam
rangka mewujudkan perkembangan teori hukum dan keadilan sosia lainya. Sehingga sangat
diharapkan saran dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini kedepannya.

29
Daftar Pustaka
Abdul Gafur Ansori, 2006, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan,Gajah Mada
Universisty Press, Yogyakarta
Adji Samekto, 2013, Hukum Dalam Linasan Sejarah, Bandar Lampung; Indepth Publishing
Awaludin Marwan, 2010, Teori Hukum Kontemporer, Yogyakarta; Rangkang Publishing
Dony Grahal Adian, 2001, Arus Pemikiran Kontemporer, Jogjakarta; Jalasutra
George P. Fletcher, 1996, Basic Consept Of Legal Thought, Oxford; Oxford University Press
H.L.A.Hart, 2011, Konsep Hukum, Bandung; Nusa Media
Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel
Jimly Assidiqie, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta; Sekretariat Jenderal Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2007, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung; Mandar Maju,
Philips Stokes, 2006, Philosophy 100 Essential Thinkers, New York; American Paperback
Satjipto Rahardjo, 1999, Kepastian Hukum, Opini Kompas.
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu hukum, Bandung; Citra Aditya Bakti
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Yogyakarta; Cahaya Atma Pustaka
Surajio, 2005, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta; Bumi Aksara
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta; Kanisius

Anda mungkin juga menyukai