Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Skizofrenia didefinisikan sebagai penyakit mental dengan gangguan otak
yang kompleks. Eugene Bleuler adalah ahli psikiatri pertama yang mendefinisikan
skizofrenia sebagai schizos yang berarti terbelah atau terpecah dan phrein yang
berarti otak. Menurut Nevid dkk, (2002:110) skizofrenia adalah penyakit pervasif
yang mempengaruhi lingkup yang luas dari proses psikologis mencakup kognisi,
afek, dan perilaku. Mereka kehilangan jati diri dan mengalami kegagalan dalam
menjalankan peran dan fungsinya di dalam masyarakat. Pikiran dan perasaan
yang tidak seimbang menyebabkan penderita skizofrenia terputus dari realitas.
Penyakit ini menjadi persoalan serius di beberapa negara seperti di
Inggris, Amerika dan Belanda. Royal College of Psychiatris di Inggris
melaporkan bahwa satu diantara seratus orang mengembangkan skizofrenia pada
suatu saat dalam hidupnya (Cumming 2010: 201). Wu dkk (2006) melaporkan
bahwa pada tahun 2002 prevalensi dua belas bulan skizofrenia yang terdiagnosis
diperkirakan sebesar 5,1 per seribu jiwa dimana angka kejadiannya jauh lebih
tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan yaitu (1:4).
Di Indonesia ada sebanyak 80 persen penderita skizofrenia yang tidak
diobati. Seperti yang dinyatakan dalam situs www.kompas.com tanggal 15
September 2013,
Berdasarkan survey Kementrian Sosial tahun 2008, penderita skizofrenia
di Indonesia ada 650.000 orang. Sekitar 30.000 orang dipasung dengan
alasan agar tidak membahayakan orang lain atau menutupi aib keluarga,

Hal yang sama disampaikan oleh Direktur RSJ Menur Surabaya Adi
Wirachjanto, awal tahun 2011 dilaporkan ada 761 kasus skizofrenia dengan 500
penderita diantaranya dipasung di Jawa Timur dan menurut beliau ada 28.000
penderita gangguan jiwa berat yang tersebar di 28 Kabupaten/kota di Jawa Timur.
(Kompas, 4 November 2013)
Sementara masyarakat yang masih awam dengan penyakit ini, tidak
mengenali fase-fase yang terdapat pada penderita skizofrenia. Pada fase awal atau
prodormal penderita akan terlihat murung, menarik diri dari lingkungannya,
sedikit bicara, dan malas dalam beraktifitas. Dari sini akan terjadi penurunan
peran dan fungsi dalam sosial kemasyarakatan. Fase ini sering tidak disadari oleh
keluarga, teman dekat atau bahkan penderita skizofrenia sendiri.
Secara tidak sadar penderita akan memasuki fase berikutnya yaitu fase
akut dimana mereka akan mengalami waham dan halusinasi.

Waham dan

halusinasi ini merupakan gejala positif pada penderita skizofrenia. Waham adalah
suatu keyakinan yang salah atau false belief yang sifatnya tidak rasional.
Misalnya penderita merasa dirinya sebagai seorang utusan, nabi, messiah, merasa
dikendalikan oleh makhluk dari luar angkasa, atau merasa bahwa semua teman
sekelasnya membenci dan ingin menyakiti dirinya, sedangkan halusinasi adalah
penangkapan panca indera yang keliru, misalnya dia merasa mendengar orang
berbicara atau memanggil namanya padahal di ruangan tersebut tidak ada siapa
pun selain dirinya.
Selain gejala positif, penderita skizofrenia juga memiliki gejala negatif.
Salah satu gejala negatifnya adalah gangguan berbahasa. Menurut Burne,

penderita skizofrenia memiliki hendaya kognitif sosial yang didefinisikan sebagai


Theory of Mind (TOM).

Dalam hal ini TOM berperan penting dalam

menentukan bagaimana seseorang tersebut berbicara, menggunakan bahasa,


mempersepsikan emosi dan dan bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat.
TOM

pada penderita skiozfrenia sangat lemah sehingga mereka mengalami

kesulitan untuk mempersepsikan emosi dan pembicaraan orang lain. Mereka juga
mengalami kesulitan memahami perspektif pihak ketiga dan tidak memahami
perilaku dan ucapan mereka sebagai hal yang tidak sesuai secara sosial pada
situasi tertentu (Carini &Nevid, 1992).
Penderita skizofrenia mengalami ketidaknormalan dalam pemroduksian
bahasa. Ketidaknormalan pemroduksian bahasa tersebut tidak hanya dari segi
fonologi saja, tetapi juga dari perubahan grammar dan sintaksis.

Sehingga

menyebabkan kata-katanya sangat sulit untuk dimengerti oleh orang-orang di


sekitarnya. Penelitian yang dilakukan oleh Chaika membuktikan bahwa tingkattingkat gangguan berbahasa mencakup fonologi, morfologi, sintaksis, semantik,
dan pragmatik. Chaika meneliti beberapa penderita skizofrenia dengan gangguan
kronis. Ia menemukan bahwa terdapat kesalahan pada klausa gabungan dan klausa
sematan. Dalam hal ini mereka mengalami gangguan dalam semantik leksikal dan
neologisme dalam tuturan.
Salah satu contoh bentuk gangguan berbahasa pada penderita skizofrenia
adalah kata - kata yang mereka ucapkan atau tuliskan tidak beraturan. Seperti
contoh tulisan penderita skizofrenia hebefrenik berikut ini.
Akhirnya kami yakin 100% bahwa perintah Rasul pasti banyak
yang menjalankan dan pasti terwujud berdasarkan sabda Rasullulah lewat

1. Demokrasi manusia Internasional SEHAT JIWA di SWEDIA


Newyork/RSA, bahwa kepemimpinan
Indonesia-Indonesisich
mensfeeld akan muncul th. 2015
Demokrasi manusia sehat jiwa diantaranya
a. Prof.Dr.Dr. I. Magnis Soeseno dari Sekolah Tinggi Ilmu
Filsafat Etika Griya R. RARA Jakarta
b. Prof. Dr. Bapang Nasution, SH, MH
c. Tokoh-tokoh Media Cetak + televise yang menolak produk
d. eksekutif, yudikatif, dan legislative NKRI PREMANISME
1965-2014.
Penderita skizofrenia ini mengirim surat yang tidak jelas
ditujukan kepada siapa dengan kop surat bertuliskan
RASULULLAH
Tulisan ini ditulis oleh penderita skizofrenia hebefrenik. Penderita
menulis surat yang dimasukkan ke dalam amplop kemudian diserahkan kepada
dokter yang merawatnya di poli RSUD Dr. Sutomo.
Contoh data lain adalah percakapan peneliti dengan salah satu penderita
skizofrenia di facebook. Peneliti adalah (M) sedangkan penderita adalah (T).
T
: Maaf . Untuk berikutnya saya hanya akan berinteraksi
kepada hal-hal yang betul-betul CARE bila hanya ingin menuntut prestise
pribadi atau kepentingan-kepentingan profit/ egosentris, maka dengan ini
saya mengundurkan diri dari aktifitas KPSI dan pertemanan yang KITA
jalin selama ini.

The Wall post :*)


Miza Rahmatika Aini (October 5, 2013). Alhamdulillah .. perjalanan yang
menyenangkan, mengharukan, dan banyak hal yang harus dipelajari.
Terimakasih atas pertemuan, interaksi, dan diskusi yang menghangatkan hati
semoga ada kesempatan untuk bertemu lagi.
M
: Maaf Saya ndak ngerti maksudnya gimana ya? Saya tidak
mengerti
masalahnya.
T
: No. comment tunggu statement terbuka saya yang akan
saya sebar di internet
M
: Astaghfirullah
T
: Sekedar bocoran..mereka yang tergabung di KPSI (sebagian
besar ) tendensinya hanya pada prestise dan keutungan/profit pribadi
dengan memanfaatkan komunitas.. itu saja statement dari saya. Maaf anda
termasuk yang akan saya hapus dari pertemanan di FB. Terimakasih atas
doanya

Percakapan ini berlangsung di media sosial facebook dalam kotak pesan.


Penderita (T) tiba-tiba memberikan komplain kepada peneliti (M) yang selama ini
bekerja sebagai sukarelawan di KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia).
Dia menganggap (M) dan pegiat KPSI lainnya hanya mementingkan profit dan
eksistensi.

Dia menunjukkan bukti wall post yang diposting oleh M pada

tanggal 5 Oktober 2013 dan mengartikan wall post*) tersebut sebagai suatu
wacana yang membahayakan dan mengganggu kehormatan dirinya.
Dalam hal ini T tidak mampu memahami secara jelas bahwa wall post *)
tersebut ditujukan untuk menjalin persahabatan. T cenderung mengartikannya
sebagai sesuatu hal yang membahayakan dan berupa pernyataan buruk sangka
bahwa KPSI hanya mementingkan prestise. Alih-alih dalam kenyataannya KPSI
bergerak di bidang sosial kemasyarakatan tanpa menarik biaya. Kemudian kata
astaghfirullah Yng diucapkan oleh M diartikan sebagai doa. Padahal makna
astaghfirullah disini M merasa marah dan jengkel terhadap T.
Data berikut ini juga menggambarkan kerancuan bahasa yang
digunakan oleh penderita skizofrenia. Tulisan ini dibuat oleh HK pada masa
recovery atau menuju kesembuhan,
Assalamualaikum wr.wb.
Salam bahagia dan sejahtera selalu pada saat pada sahabatsahabatku,keluargaku khususnya ayah, bunda, adik-adikku, serta para pembaca
semua. Karya tulis saya ini saya persembahkan hasil dari inspirasi perjalanan
dan cerita waylife pribadi yang saya alami dalam pandang dunia dan dunia
realiti sejak dari masa lalu dan masa kini. Sejarah jaman dan peradaban masa

lalu turut memperkaya permasalah, motivator, dan wawasan saya, begitu juga
problematika dan dilema, serta realiti dari keputusan yang harus aku lakukan
untuk menentukan sikap realita perjalanan hidup (waylife of chnaged). Sebuah
perubahan

dalam

kehidupan

realita

pribadi

aku

yang

cenderung

progresive/revolusioner.
Dari data tersebut bisa dijelaskan bahwa penderita bernama (T) membuat
sebuah tulisan untuk kata pengantar, namun bahasanya bercampur sehingga tidak
bisa dikenali fungsi dan maknanya. Dia bahkan memenggabungkan bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia secara tidak tepat (waylife pribadi) seharusnya kata
waylife tersebut bisa diganti dengan kehidupan.
Perubahan yang begitu relatif cepat yang aku rasakan bahkan
melampaui batas ruang dan waktu antar peradaban dalam kehidupan realita
pribadi antar peradaban atau time futuristik decade moment.
Kalimat diatas sangat sulit untuk dipahami maknanya. Karena
penggunaan kata yang berulang-ulang seperti peradaban, dan kata yang tidak
patut untuk digunakan yaitu futuristik, mungkin yang dimaksud adalah masa
depan.
Dari ketiga jenis data tersebut dapat terlihat kekacauan bahasanya dan
ketidakmampuan dalam memahami konteks tuturan. Orang di luar skizofrenia
mengatakan bahwa penderita skizofrenia berperilaku aneh dan kata-kata yang
mereka ucapkan seringkali sulit dipahami maknanya. Ketidakmampuan dalam
berkomunikasi tersebut menjadi salah satu sebab masyarakat memberikan stigma
negatif.

Fenomena-fenomena kekacauan berbahasa yang terjadi pada penderita


skiozfrenia

membuat peneliti tertarik untuk mengkaji dan menganalisa pola

bahasa tersebut. Beberapa penelitian sebelumnya membahas tentang gangguan


berbahasa pada tataran fonologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik namun belum
menjelaskan secara detail bentuk gangguannya. Salah satu penelitian dilakukan
oleh Michael A Covington dalam jurnalnya yang berjudul Skizofrenia and The
Structure of Language menemukan bahwa penderita skizofrenia mengalami
kesalahan berbahasa pada level semantik dan pragmatik. Namun pada jurnal ini
tidak dideskripsikan dengan jelas dimana letak kesalahannya.
Melihat fenomena bahwa gangguan berbahasa antara penderita
skizofrenia berbeda satu sama lain maka peneliti berusaha untuk melihat pola
bahasa penderita semua jenis skizofrenia yang berada pada fase akut dan residual.
Karena dengan meneliti dan meganalisis pola bahasanya tipe data yang diperoleh
akan lebih banyak dan bervariasi. Selain itu, penelitian ini bermanfaat untuk
melihat tingkat keparahan penderita skizofrenia. Sejauh mana tingkat keparahan
bahasa penderita skizofrenia
Dalam hal ini teori yang digunakan untuk menganalisis data tersebut
adalah psikolinguistik. Psikolinguistik merupakan kerjasama secara langsung
antara disiplin linguistik dan psikologi (Chaer Abdul, 2009:16). Sebagai disiplin
ilmu mandiri psikolinguistik membahas tentang bagaimana lahirnya satu ucapan
yang bukan merupakan serentetan respon dari luar melainkan merupakan satu
kejadian akal, dan struktur sintaksis secara tidak langsung dihubungkan dengan
otak manusia. Dalam Psikolinguistik, grammar tidak bisa dipisahkan dari aspek

kognisi manusia karena bahasa yang diproduksi manusia merupakan cerminan


dari aspek psikologi pada manusia itu sendiri. Untuk proses analisis yang lebih
dalam peneliti akan membahas tentang pola bahasa skizofrenia yang dibedakan
menjadi pola bahasa skizofrenia akut, pola bahasa skizofrenia residual, dan proses
produksi bahasa pada penderita skizofrenia

1.2 Masalah dan ruang lingkup


1.2.1 Masalah
Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang
terdapat tiga rumusan masaalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana proses produksi bahasa pada penderita skizofrenia?
2. Bagaimana pola bahasa penderita skizofrenia akut?
3. Bagaimana pola bahasa pada penderita skizofrenia residual?
1.2.2 Ruang Lingkup
Penelitian ini berada dalam ruang lingkup semua jenis skizofrenia yang
berada pada fase akut dan fase residual yang berada di RSJ Radjiman
Wedyodiningrat Lawang.
1.2.3

Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan rumusan masalah maka penelitian ini bertujuan untuk:


1) Mendeskripsikan proses produksi bahasa pada penderita skizofrenia
2) Mendeskripsikan pola bahasa penderita skizofrenia akut
3) Mendeskripsikan pola bahasa penderita skizofrenia residual

1.2.4

Manfaat Penelitian

1.2.4.1 Manfaat Teoritis


Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
penelitian dalam bidang ilmu linguistik, khususnya psikolonguistik belum banyak
di lingkungan Universitas Gadjah Mada. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan
mampu menjadi referensi dan acuan bagi para peneliti yang tertarik dalam
penelitian psikolinguistik

khususnya mengkaji gangguan berbahasa pada

penderita gangguan kejiwaan seperti skizofrenia, bipolar atau retardasi mental


1.2.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat membantu psikoterapi dan
social skill training dalam dunia kedokteran. Karena selama ini dunia kedokteran
belum bisa

memahami secara utuh dan menyeluruh pola berbahasa dan

komunikasi penderita skizofrenia.


Selain itu penelitian ini bermanfaat bagi orang di luar skizofrenia agar bisa
memahami bahasa penderita skizofrenia.

Bagi penderita skizofrenia sendiri

penelitian ini dapat membantu mereka untuk bisa memahami diri mereka sendiri
dan memahami pola komunikasi orang lain. Sehingga pada perkembangannya
stigma negatif bahwa penderita penyakit ini bisa berkurang dan penderita bisa
kembali ke masyarakat.

10

1.3 Tinjuaun Pustaka


Pada awal tahun 1990, banyak ahli bahasa yang mulai tertarik untuk
mengkaji bahasa penderita skizofrenia. Cummings dalam bukunya Pragmatik
Klinis mengumpulkan berbagai jurnal, artikel, dan penelitian yang dilakukan oleh
para ahli bahasa. Diantaranya adalah;
a.

Chaika
Dalam jurnalnya Understanding Psychotic Speech: beyond Freud

and

Chomsky (1990) menyebutkan bahwa semua tingkat bahasa menjadi terganggu


pada skizofrenia tingkat-tingkat ini mencakup fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, dan pragmatik. Kesalahan sintaksis relatif umum terjadi pada
skizofrenia. Pada penderita skizofrenia kesalahan sintaksis relative umum dan
kebanyakan mereka menggunakan frase-frase kata depan dan kata kerja yang
tidak lengkap.
b. Delisi
Penelitian lain dilakukan oleh Delisi (2001) menemukan bahwa
kompleksitas kalimat berkurang pada penderita skizofrenia. Semantik Leksikal
dalam skizofrenia menjadi terganggu. Neologisme seringkali terjadi dalam tuturan
skizofrenia, seperti dalam penggunaan kata geshinker dalam kutipan berikut dari
Thomas. I got So Angry I picked up a dish and threw it at the geshinker
(1997:38).
c.

Corcoran dan Firth


Corcoran dan Firth (1996) meneliti kesantunan dan apresiasi terhadap

maksim kuantitas, maksim kualitas dan maksim hubungan Grice dalam

11

hubungannya dengan para penderita skizofrenia dengan berbagai profil gejala


yang berbeda.

Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa, para subjek

skizofrenia dengan gejala-gejala yang negatif mematuhi maksim hubungan. Grice


dalam hubungannya dengan para penderita skizofrenia dengan berbagai profil
gejala yang berbeda.
Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya peneliti
menemukan belum jelasnya tipe data yang diambil oleh peneliti-peneliti
sebelumnya. Seperti misalnya penelitian Chaika yang menyebutkan adanya
gangguan berbahasa pada level fonologi sampai pragmatik tidak dijelaskan jenis
dan tipe penderita skizofrenia. Ketidak jelasan tipe data tersebut juga ditemukan
pada penelitian Delisi, Corcoran, dan Firth. Sehingga

peneliti tertarik untuk

mengambil objek semua tipe skizofrenia yang berada dalam fase akut dan
residual. Dari tipe skizofrenia tersebut peneliti akan menganalisis pola kohesi,
koherensi, kalimat, dan bentukan kata.
Alasan lain dilakukannya penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan
oleh peneliti terdahulu mengambil objek dari luar negeri. Pada hakikatnya struktur
sintaksis, semantik, fonologi, dan konteks pragmatik yang dipakai tidak bisa
dijadikan acuan sepenuhnya untuk penderita di Indonesia. Karena konsep
kompetensi dan performansi bahasa Indonesia tentunya berbeda dengan konsep di
Amerika, Inggris, Belanda dan negara-negara yang lainnya. Melihat fenomena
tersebut, maka peneliti memfokuskan pada penelitian pada pasien rumah sakit
jiwa di Indonesia dengan menggunakan dasar teori psikolinguistik.

12

1.4 Landasan Teori


1.4.1

Psikolinguistik

Psikolinguistik, sebagaimana tertera pada istilah ini adalah ilmu hibrida,


yakni, ilmu yang merupakan gabungan antara dua ilmu: psikologi dan linguistik.
Benih ilmu ini sebenarnya sudah tampak pada permulaan abad ke 20 tatkala
psikolog Jerman Wilhelm Wundt menyatakan bahwa bahasa dapat dijelaskan
dengan dasar prinsip-prinsip psikologis (Kess,1992). Pada

waktu itu telaah

bahasa mulai mengalami perubahan dari sifatnya yang estetik dan cultural ke
suatu pendekatan yang ilmiah.
Sementara itu, di benua Amerika kaitan antara bahasa dan ilmu jiwa juga
mulai tumbuh. Perkembangan ini bisa dibagi menjadi empat tahap (Kess, 1992):a
tahap formatif, b) tahap linguistic, c) tahap kognitif, dan d) tahap teori
psikolinguistik, realita psikologis dan ilmu kogntif.
Pada tahap akhir psikolinguistik tidak lagi berdiri sebagai ilmu yang
terpisah dari ilmu ilmu lain karena pemerolahan dan penggunaan bahasa manusia
menyangkut cabang ilmu

pengetahuan yang lain. Psikolinguistik tidak lagi

terdiri dari psiko dan linguistik saja tetapi juga menyangkut ilmu ilmu lain seperti
neurologi, filsafat, primatologi dan genetika.
Aitchinson(1998:1) mendefinisikan psikolinguistik sebagai studi tentang
bahasa dan pikiran Harley (2001:1) menyebutnya sebagai suatu studi tentang
proses proses mental dalam pemakaian bahasa. Sementara itu, Clark dan Clark
(1977:4) menyatakan bahwa psikologi bahasa berkaitan dengan tiga hal utama
yaitu komprehensi, produksi, dan pemerolehan bahasa. Dari definisi-definisi ini

13

dapatlah disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari


proses proses mental yang dilalui oleh manusia dalam mereka berbahasa.
Menurut Dardjowijojo, Secara rinci, psikolinguistik mempelajari empat
topik utama : a) komprehensi yakni proses-proses mental yang dilalui oleh
manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan
memahami apa yang dimaksud, b) produksi, yakni proses-proses mental dalam
diri kita yang membuat kita dapat berujar seperti yang kita ujarkan, (c) landasan
biologis serta neurologis yang membuat manusia bias berbahasa, dan (d)
pemerolehan bahasa, yakni bagaimana anak memperoleh bahasa mereka.
Pateda (1990: 18 ) menyatakan bahwa pendekatan bahasa dari segi-segi
yang bersifat psikologis merupakan kajian psikolinguistik. Di sini bahasa tidak
dilihat sebagai bahasa, tetapi bahasa yang terdapat dalam proses, terutama proses
yang berada dalam pikiran kita.
Sementara itu objek kajian psikolinguistik adalah bahasa yang merupakan
cerminan proses dalam jiwa manusia. Bahasa orang yang sedang marah akan lain
perwujudan bahasa yang digunakan dengan orang yang sedang sedih atau
bergembira. Titik berat psikolinguistik yang telah dikemukakan selalu
ditonjolkan proses bahasa yang terjadi di otak pembicara maupun proses yang
terjadi di otak pendengar.
Hasil pekerjaan seorang psikolinguis adalah deskripsi bahasa yang
berproses dalam diri manusia. Sehingga yang diteliti dan dianalisa adalah bahasa
yang berhubungan dengan pikiran manusia.

14

1.4.2

Skizofrenia

Definisi penyakit skizofrenia dalam hal ini mengalami perubahan dari


satu definisi yang lebih sempit menjadi definisi yang lebih kompleks. Pada masa
Krappelin (1856-1926) Skizofrenia didefinisikan sebagai dementia preacocks
yang artinya mengacu pada hendaya premature (premature impairment) dari
kemampuan mental. Krappelin meyakini bahwa gejala skxizofrenia berasal dari
sebuah patologi yang tidak didefinisikan.
Kemudian pengkajian dan penelitian penyakit ini berkembang
sehingga seorang prikiater yang hidup pada tahun (1857-1939) yang bernama
Eugene Bleuler mendefinisikan penyakit ini sebagai penyakit skizofrenia yang
berasal dari kata schizos yang berarti terpotong atau terbelah dan phren, berarti
otak. Bleuler melihat gejala skizofrenia sebagai sebuah gejala tumpulnya afek
dan ketidaksesuaian antara pikiran dan perasaan penderitanya. Misalnya penderita
skizofrenia yang mengalami kesedihan justru dia akan tertawa terbahak-bahak.
Namun ketika bersedih dia justru menangis tersedu-sedu.
Istilah skizofrenia dipertahankan hingga saat ini dan definisi gejalanya
mulai diperluas. Pada fase awal penderita akan mengalami fase prodormal yaitu
dimana terjadi penurunan yang berangsur-angsur dalam fungsi individu. Periode
ini disebut periode kemunduran dimana penderita terlihat murung, menarik diri
dari aktifitas sosial, berkurangnya minat, dan sulit berkonsentrasi terhadap suatu
hal, serta mengalami gangguan tidur dan penurunan nafsu makan. Setelah fase ini
berjalan selama beberapa episode, dalam hal ini bisa beberapa bulan atau bahkan
beberapa tahun, penderita akan mengalami fase akut. Pada fase ini penderita

15

skizofrenia akan cenderung lupa pada dirinya sendiri, mengalami waham, delusi,
dan halusinasi dan simtom-simtom psikotik lainnya seperti perilaku aneh,
menimbun makanan, sampah atau berbicara sendiri di jalan .
Jika mendapatkan

pengobatan

dan

perawatan

intensif penderita

skizofrenia akan berangsur-angsur sembuh dengan mengalami fase residual


dimana gejela-gejala psikotik sudah menurun namun penderita masih terganggu
oleh perasaan apatis yang dalam. Penderita tersebut mengalami akan kesulitan
dalam berpikir, berbicara dengan jelas, dan menympan ide yang tidak biasa,
seperti keyakinan tentang telepati atau pandangan masa depan. Dalam hal ini ada
beberapa kasus yang bisa sembuh total tanpa ada gejala namun mengalami
penurunan kognsi dan afektif, ada pula yang terjebak dalam fase akut dan residual
sehingga tidak dapat menjalankan fungsi dan peranan sebagai anggota
masyarakat.
Gejala-gejala yang menjadi cirri khusus penderita skizofrenia adalah
sebagai berikut;
Dalam buku Schizophrenia and Overview and Practical Book disebutkan ada dua
gejala, yaitu gejala positive dan gejala negative yang akan dijelaskan sebagai
berikut;
1) Gejala Positif
Seseorang dikatakan menderita skizofrenia jika dia mengalami gejala
halusinasi. Penderita skizofrenia mendengar suara-suara yang berupa ejekan,
cemoohan, atau suruhan untuk melakukan sesuatu. Halusinasi tersebut bisa berupa
halusinasi auditory, halusinasi visual, dan halusinasi penciuman

16

Penderita juga mencium bau aneh yang tidak dirasakan oleh orang lain
seperti bau wangi bunga, bau busuk, asap, dan sebagainya.
Selain halusinasi, gejala positif yang lainnya adalah delusi atau disebut
waham. Delusi atau waham adala keyakinan yang salah dan cara berpikir yang
keliru yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Misalnya, dia yakin bahwa temanteman sekelasnya membenci dirinya dan orang-orang sekitarnya mengejek
dirinya. Dia juga meyakini bahwa dirinya sangat buruk dan tidak ada orang yang
menyayanginya. Ketika orang lain menceritakan sesuatu maka ia menganggap
cerita itu merupakan sindiran dan cemoohan. Pada fase akut, waham yang
berkembang adalah waham kebesaran, waham curiga, waham kejar, waham
kenabian, dan lain sebagainya.
2) Gejala Negatif
Gejala negatif pada penderita skizofrenia meliputi gangguan isi
peikiran, emosi tidak terarah atau emosi datar, gangguan wicara dan bahasa
seperti lambat dalam berbicara, tidak teraturnya topik pembicaraan, dan kurang
motivasi. Gejala lain yang paling menonjol adalah penarikan diri dari lingkungan
sosial.
Terdapat beberapa spekulasi para ahli psikiatri tentang penyebab penyakit
ini. Sampai saat ini penelitian, seminar dan kongres masih terus diadakan untuk
membahas penyakit ini. Dari perkembangan terakhir ilmu psikiatri terdapat
beberapa penyebab terjadinya penyakit skizofrenia. Diantaranya adalah;

17

1) Faktor Perspektif Psikodinamika


Teori ini dicetuskan oleh Sigmeund Freud yang menyatakan bahwa
skizofrenia merupakan kegagalan dari ego untuk mengendalikan diri manusia.
Dalam diri manusia terdapat id, ego, dan superego dimana ego berfungsi sebagai
tindak eksekutif yang berkaitan dengan pengambilan sikap dan keputusan. Pada
penderita skizofrenia, id berkembang lebih pesat dan tidak bisa dikendalikan
meski orang tersebut sudah menjalani proses kedewasaan. Sehingga manusia
akan kembali seperti bayi dengan fantasi-fanatsi di luar realitas.
2) Faktor Genetis
Pendapat lain yang menyebutkan faktor penyebab skizofrenia
adalah faktor genetis. Dalam hal ini ada banyak gen yang bertanggung jawab
terhadap kemunculan penyakit ini. (Buchsba dkkdalam Psikologi Abnormal
2003:122) Menurut penelitian semakin dekat hubungan genetis antara orang yang
didiagnosis skizofrenia

dan anggota keluarga mereka maka semakin besar

kecenderungan skizofrenia. Meador-Woodorf (1997) menyatakan bahwa dari


keseluruhan bukti menunjukkan bahwa penderita skizofrenia mengalami
ketidakteraturan dalam jalur syaraf di otak yang memanfaatkan dopamine. Satu
kemungkinan adalah reaktivitas berlebihan dari reseptor dopamine terlibat untuk
menghasilkan pola prilaku simtom positif namun tidak simtom negative.
Neurotransmitter lain yang berpengaruh pada skizofrenia adalah norepinefrin,
serotonin, dan GABA.

18

3) Infeksi Virus
Menurut Mortensen (1999) skizofrenia disebabkan oleh virus yang
ditunjukkan oleh data bahwa penderita skizofrenia banyak dilahirkan di musim
dingin. Namun dalam hal ini tidak dijelaskan secara rinci virus apa yang
menjadi faktor penyebab skizofrenia. Teori ini hanya terjadi pada beberapa
kasus.
4) Ketidaknormalan otak
Dari penelitian yang dilakukan oleh Coursey, Alford, &Safarjan,
1997) Ventrikel yang membesar merupakan tanda-tanda hilangnya jaringan
otak (hilangnya sel-sel). Para peneliti juga menemukan bahwa otak penderita
skizofrenia rata-rata sekitar 5% lebih kecil, dari volume total dibandingkan
indiidu yang normal. Dengan pengurangan volume terbesar pada korteks
serebral (Cowan & Kandel, 2001).
Korteks prefrontalis adalah bagian otak yang mengendalikan berbagai
fungsi kognitif dan emosional. Sehingga fungsi ini tergenggu pada penderita
skizofrenia yang disebut sebagai hendaya. Cassanova, 1997 dalam Psikologi
Abnormal

menyatakan

bahwa

penderita

skizofrenia

kesulitan

dalam

mengorganisasikan pikiran-pikiran dan perilaku mereka dan menampilkan


tugas-tugas kognitif pada tingkat yang lebih tinggi, seperti memformulasikan
konsep, memformulasikan informasi, dan memformulasikan tujuan dan
rencana. Selain itu bagian otak ini juga bertanggungjawab dalam pengaturan
perhatian sehingga terdapat defisit perhatian pada penderita penyakit ini.

19

5) Teori-teori Keluarga
Pendapat lain yang menjelaskan penyebab skziofrenia adalah teori
keluarga yang menyatakan bahwa pola pengasuhan Ibu yang skizofronogenik
yaitu ibu yang dingin, angkuh, overprotektif, dan sangat mendominasi membuat
anaknya kehilangan kemandirian dan percaya diri. Jika figur ayah tidak bisa
menjembatani dan memberikan peran positif maka anak akan cenderung terhadap
penyakit skizofrenia.
Skizofrenia memiliki beberapa jenis. Dalam Panduan Diagnosa Gangguan
Jiwa disebutkan jenis-jenis Skizofrenia adalah sebagai berikut:
1) Skizofrenia Paranoid
Skizofrenia jenis ini didominasi oleh waham-waham yang tidak stabil,
seringkali bersifat aranoid yang biasanya disertai oleh halusinasi-halusinasi,
terutama halusinasi pendengaran, dan gangguan-gangguan persepsi. Waham
yang dimiliki adalah waham kejar, rujukan, misi khusus, perubahan tubuh,atau
kecemburuan. Pasien mendengarkan suara-suara yang berupa perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing). Halusinasi lain adalah
halusinasi pembauan atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin
ada tapi jarang menonjol.
2) Skizofrenia simplex:
Skizofrenia jenis ini sering timbul pada masa pubertas. Gejala Utama pada
jenis simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan

20

proses berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali
terdapat pada skizofrenia jenis ini. Pada permulaan mungkin penderita mulai
kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan
kemudian semakin lama semakin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan
akhirnya menajdi penganggur. Bila tidak ada orang yang menolongnya ia
mungkin akan menjadi pengemis, pelacur atau penjahat.
3) Jensi hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik atau hebefrenia permulaannya perlahan-lahan atau
subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala
yang menyolok ialah gangguan proses berpikir gangguan kemauan dan adanya
depersonalisasi

atau

double

personality.

Gangguan

psikomotor

seperti

mannerism, neologism, atau perilaku kekanak kanakan sering terdapat pada


hebefrenia. Waham dan halusinasi haya sekali.
4) Jenis Katatonik (skizofrenia katatonik atau katatonia) timbulnya pertama kali
antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut serta sering didahului oleh stress
emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.
5) Skizofrenia tak terinci
Skizofrenia jenis ini tidak mempunyai criteria diagnostic hampir mirip
dengan subtype lainnya namun tidak sesuai dengan satu pun subtype tersebut.
Skizofrenia yang tak terinci

tidak memenuhi criteria untuk skizofrnia

paranoid, hebefrenik, dan katatonik, namun tetap terdapat gejala.

21

6)

Depresi Pasca-Skizofrenia
Skizofrenia jenis ini merupakan suatu episode depresif yang mungkin
berlangsung lama dan timbul sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia
Dalam hal ini masih terdapat beberapa gejala skizofrenik namun tidak
mendominasi.

7)

Skizofrenia residual
Pada skizofrenia jenis ini terdapat satu stadium kronis dalam perkembangan

suatu gangguan skizofrenia dimana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium
awal. Gejala negative yang muncul adalah perlambatan psikomotor, aktivitas
menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan
dalam kuantitas dan isi pembicaraan, komunikasi verbal yang buruk seperti
dalam kuantitas isi pembicaraan, komunikasi nonverbal yang buruk seperti dalam
ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan sikap tubuh, perawatan diri dan
kinerja sosial yang buruk.
1.4.3 Gangguan Berbahasa Pada Penderita Skizofrenia
Skizofrenia merupakan penyakit gangguan mental yang diakibatkan oleh
ketidak seimbangan kadar dopamin dan serotonin pada otak. Ketika kadar
dopamin tetap, sedangkan kadar serotonin menurun maka penderita skizofrenia
bisa mengalami gangguan depresi, waham, delusi, halusinasi dan berbagai gejala
negatif lainnya.
Karena ketidakseimbangan neurokimia di dalam otak tersebut maka
penderita skizofrenia mengalami gangguan berpikir, atau di dalam bahasa Inggris
disebut Formal Thought Disorder. Penderita akan memiliki keyakinan yang

22

salah tentang dirinya. Pemikirannya cenderung acak dan bizare. Formal Thought
Disorder atau yang disebut dengan FTD memiliki gejala-gejala yang
berhubungan dengan penyimpangan dalam proses berpikir, berbahasa, dan
masalah dalam komunikasi. Gejala-gejala tersebut merupakan permasalahan
terbesar yang dialami penderita skizofrenia.
Seperti dalam contoh berikut, penderita skizofrenia mengaku sebagai satrio
pininggit. Logika berpikirnya bahwa ia menafsirkan bahwa ia adalah ksatria yang
disembunyikan (hidden knight) atau dalam bahasa sansekerta disebut
pinandita(dipilih). Ia meyakini hal ini sesuai dengan konsep besar ramalan
Jayabaya yang meramalkan akan adanya satrio pininggit di Nusantara dengan
pertanda munculnya bintang pari dari arah selatan.
Gangguan berpikir tersebut menyebabkan adanya gangguan berbahasa dan
kesulitan dalam berkomunikasi. Chaika, menyebutnya dengan speech disorder.
Gangguan berbahasa tersebut meliputi poverty of speech,dan pressure of
speech, loss of goal, derailment (loose associations), illogicality (non
sequitur)

dan

incoherence.

(Radanovic

Marcia

et

l,

Arq.

Neuro-

Psiquiatr.Vol71, 2013).
Sebagai contoh gangguan berbahasa ditunjukkan oleh penderita skizofrenia
bernama MM ( Hari ini hari Jumat saatnya membunuh Kafir ). Kemudian ada
lagi penderita skizofrenia yang merasa bahwa dirinya diikuti oleh syetan namun
dia mengungkapkannya dengan bahasa yang bizare.
Saya pecahkan kaca, saya marah-marah. Ada di ambil hati saya ada juga setan
yang mengambil hati saya disumpahi Al Quran dia nggak mau. Kan repot. Kamu
yang mau menggilakan saya? Ndak..ndak... Orang ustadz apa megang-megang

23

saya. Orang saya dikayak giniin. Saya kan janda juga, 5 tahun nggak nikahnikah.
Dalam perspektif ilmu neurolinguistik, penderita skizofrenia mengalami
defisit pada kognisiya. Mereka mengalami gangguan pada pembentukan kata
maupun kalimat dalam proses semantik. Lebih dari itu, dalam level pragmatik
mereka kehelingan sensing untuk mengerti pembicaraan yang dilakukan dengan
mitra tutur. Sehingga menyebabkan loss communication.
Untuk lebih jelasnya gangguan berbahasa pada penderita skizofrenia akan
dijelaskan lebih dalam dalam BAB II Proses Produksi Bahasa Pada Penderita
Skizofrenia dan Bab III Pola Bahasa Pada Penderita Skizofrenia
1.5 Hipotesis
Berdasarkan

latar belakang permasalahan dan landasan teori di atas,

maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut


Berdasarkan latar belakang permasalahan dan landasan teori di atas,
maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut
1.

Proses produksi bahasa penderita skizofrenia berbeda dengan orang


normal

2.

Penderita Skizofrenia Episode akut memiliki Pola Bahasa yang berbeda


dibandingkan orang normal

3.

Penderita Skizofrenia Episode Residual juga memiliki Pola Bahasa


tertentu berbeda dari orang normal namun sebagian masih bisa dimingerti

24

1.6 Metode
Dalam penelitian ini terdapat metode yang digunakan untuk penyediaan
data dan analisis data. Peneliti menggunakan lebih dari satu metode
penelitian, yaitu sebagai berikut:

1.6.1 Pengumpulan data


Penelitian ini merupakan studi deskriptif yang bertujuan

untuk

mendeskripsikan pola bahasa penderita skizofrenia. Sumber data berupa hasil


wawancara dan tulisan penderita skizofrenia. Peneliti mengambil sample di RSJ
Lawang yang berada di empat ruangan yaitu ruangan perkutut,, anyelir, seruni,
dan kakaktua. Perkutut dan anyelir adalah ruang untuk penderita skizofrenia dan
gangguan jiwa lain pada fase akut, sdangkan seruni dan kakaktua adalah ruangan
untuk penderita skizofrenia yang berada pada fase residual. Pada ruangan perkutut
dan anyelir,

peneliti mengambil sebanyak 12 orang penderita skizofrenia yang

berada pada fase akut. Pada ruangan kakaktua dan seruni penulis mengambil
sampel 20 orang penderita skizofrenia. Selain itu penulis juga menggunakan
metode kajian pustaka untuk menambah data dan penjelasan tentang proses
produksi bahasa pada penderita skiozfrenia.
1.6.2 Metode Penyediaan data
Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti menggunakan dua
metode yaitu metode cakap dengan teknik wawancara. Menurut Mahsun
(2005:95) metode cakap dilakukan karena cara yang ditempuh peneliti data itu
berupa percakapan antara peneliti dengan informan. Adanya percakapan antara

25

peneliti dan informan mengandung arti terdapat kontak antar mereka. Peneliti
melakukan wawancara dengan pasien di salah satu rumah sakit jiwa di Indonesia
yaitu RSJ Radjiman Wedyodiningrat (Lawang) Metode cakap yang digunakan
adalah jenis metode cakap semuka dimana peneliti melakukan kontak langsung
dan interaksi langsung dengan informan yang diwawancara.
Metode lain yang digunakan adalah metode simak.. Metode ini
diwujudkan dengan penyadapan. Dimana peneliti menyadap penggunaan bahasa
seseorang atau beberapa orang yang menjadi informan. Mahsun (2005:92 )
menyatakan bahwa penyadapan yang dilakukan tidak hanya berkaitan dengan
bahasa lisan, tetapi digunakan juga untuk menyadap teks-teks dan naskah tertulis.
Dalam hal ini peneliti menyadap tulisan yang ditulis oleh penderita yang berada di
Rumah Sakit Jiwa Lawang.
Selain itu peneliti juga menggunakan metode catat. Peneliti mencatat
semua tulisan yang ditulis oleh penderita skizofrenia. Dengan pertimbangan tidak
semua penderita skizofrenia mau melakukan wawancara. Sehingga untuk
mengetahui pola bahasanya maka harus menggunakan teks tertulis.
1.6.3 Metode analisis data
Dalam penanganan tahapan analisis data diperlukan metode dan
teknik-teknik yang sesuai. Untuk menganalisis data tersebut peneliti merekam
dan mencatat semua tuturan dan tulisan penderita skizofrenia yang diambil dari
RSJ Lawang. Kemudian peneliti mentranskripsi dan memilah data. Sehingga data
dapat dianalisis menggunakan teori sebagai alat analisa.

26

1.6.4 Metode Penyajian hasil analisis data


Mahsun (2005:123) menyebutkan dua cara dalam tahap akhir ini, yaitu
dengan cara (1) perumusan hasil tersebut dengan menggunakan kata-kata biasa,
termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis data dan (2) perumusan
dengan menggunakan tanda-tanda atau lambing. Senada dengan hal tersebut
Sudaryanto (1993) menyatakan metode penyajian data bisa dilakuakn dengan (1)
metode formal, yaitu gambar dan tabel serta (2) metode informal, yaitu
menggunakan kalimat. Metode informal bisa membantu menjelaskan analisis
formal, sehingga penelitian ini menggunakan baik gambar, table serta kata-kata
biasa dalam menjelaskan data. Dalam hal ini peneliti menggunakan kedua metode
tersebut yaitu dengan menggunakan tabel dan gambar serta dengan menggunakan
kata-kata biasa.

Anda mungkin juga menyukai