Anda di halaman 1dari 19

KYOTO PROTOCOL

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu tugas mata kuliah


Pengetahuan Lingkungan Tambang
Pada Prodi Teknik Pertambangan
Universitas Islam Bandung

Disusun Oleh :

Helvijar Putra Utama

(10070111134)

PRODI TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1437 H / 2016
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ......................................................................................... i
BAB I

PENDAHULUAN ..................................................................
2.1 Sejarah Pulpen..............................................................
2.2 Para Penemu Pulpen....................................................

1
1
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA...........

BAB III

PEMBAHASAN......................
2.1 Sejarah Pulpen..............................................................
2.2 Para Penemu Pulpen....................................................
2.3 Penolonan Pulpen.........................................................
2.4 Pengaruh Dunia Teknologi Terhadap Pulpen................

7
7
9
10
12

BAB IV KESIMPULAN........................................................................

15

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

2.1

Latar Belakang
Pemanasan global menjadi isu yang panas di tahun-tahun terakhir ini. Hal

ini diperkuat dengan dirasakannya perubahan iklim akibat pemanasan global


tersebut. Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan
manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan
kegiatan alih guna lahan. Kegiatan tersebut dapat menghasilkan gas-gas yang
jumlahnya semakin banyak di atmosfer, diantaranya adalah karbon dioksida
(CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O). Gas-gas tersebut memiliki sifat
seperti kaca yang meneruskan radiasi gelombang pendek atau cahaya Matahari,
tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombangpanjang atau radiasi-balik
yang dipancarkan bumi yang bersifat panas sehingga suhu atmosfer bumi
semakin meningkat.
Secara prinsipil pemanasan global menyebabkan perubahan iklim
terutama dalam hal perubahan temperatur, penguapan awan atau hujan, dan
naiknya ketinggian air laut akibat mencairnya es di kedua kutub bumi. Hal ini
akan berdampak secara tidak langsung pada kematian manusia akibat
perubahan iklim dan infeksi penyakit. Dalam bidang pertanian berakibat
berkurangnya produktifitas dan meningkatnya kebutuhan irigasi. Di bidang
kehutanan berakibat berubahnya komposisi tanaman hutan, rentang geografis
hutan, serta produktifitas hutan. Selain itu akan terjadi pengurangan suplai air,
perubahan kualitas, dan kelangkaan air. Untuk perairan laut berakibat pada erosi
pantai, peningkatan pemeliharaan spesies pantai, dan terkikisnya daratan akibat
abrasi. Akibat yang paling buruk adalah punahnya habitat spesies yang tidak
mampu beradaptasi. Sementara itu, negara industri yang menyebabkan hal

tersebut tidak mampu mengatasinya karena memerlukan biaya yang sangat


tinggi. Pada saat yang bersamaan, hampir semua negara yang tidak
menimbulkan masalah perubahan iklim, yaitu negara berkembang, sangat
merasakan dampaknya, namun tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk
melakukan adaptasi terhadap dampak negatif yang ditimbulkan perubahan iklim.
Untuk mengatasi masalah pemanasan global tersebut, pada tahun 1972
diadakan konferensi PBB Tentang Lingkungan Hidup Manusia (Human
Environmental) di Stockholm yang membahas lingkungan hidup secara global.
Pada peringatan 20 tahun pertemuan Stockholm, digelarlah konferensi bumi di
Rio de Jainero tahun 1992 yang kemudian ditandatangani Konvensi Kerangka
Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations
Framework Convention on Climate Change, UNFCCC). UNFCCC bertujuan
menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga berada pada
tingkat aman. Kemudian pada Desember 1997 di Kyoto, UNFCC mengatur lebih
lanjut

ketentuan

yang

mengikat

mengenai

perubahan

iklim.

Maka,

ditandatanganilah perjanjian yang disebut Protokol Kyoto oleh 84 negara dan


tetap terbuka untuk ditandatangani sampai Maret 1999 oleh negara-negara lain
di Markas Besar PBB, New York. Protokol ini berkomitmen bagi 38 negara
industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka antara tahun 2008
sampai 2012 menjadi 5,2% di bawah tingkat gas rumah kaca (GRK) mereka
tahun 1990.
Permasalahan yang ditinjau adalah
1. Bagaimana Kontribusi Protokol Kyoto dalam Mengurangi Efek Gas
Rumah Kaca.
2. Bagaimana Urgensi Protokol Kyoto terhadap perubahan iklim dunia.
3. Bagaimana Implikasi Protokol Kyoto bagi negara berkembang terutama
Indonesia.

2.2

Tujuan
Makalah ini dibuat untuk mengetahui lebih lanjut tentang sejarah serta

tujuan suatu perjanjian internasional yang disebut Protokol Kyoto. Selain itu,
makalah ini juga menelaah tentang isi, negara yang meratifikasi, dan cara
pelaksanaan perjanjian tersebut. Hal ini bermaksud supaya mahasiswa

mengetahui secara detail tentang Protokol Kyoto dan implikasinya. Serta untuk
memenuhi tugas Responsi Mata Kuliah Manajemen Lingkungan Industri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sebagian sinar matahari yang masuk ke bumi dipantulkan ke angkasa


dan secara alami akan diserap oleh gas-gas atmosfer yang menyelimuti bumi.
Sinar itu pun kemudian terperangkap di bumi. Situasi ini juga terjadi di dalam
rumah kaca yaitu pada saat panas yang masuk terperangkap di dalamnya dan
menghangatkan seisi rumah kaca tersebut. Fenomena yang terjadi di bumi
tersebut lalu dinamakan efek rumah kaca, sedangkan gas-gas penyerap sinar
disebut gas rumah kaca (GRK).
Gas-gas rumah kaca seperti CO2, CH4, N2O, HFCS, PFCS, dan SF6
dihasilkan dari kegiatan pembakaran Bahan Bakar Fosil (BBF) mulai dari
memasak sampai Pembangkit Listrik. Dikarenakan kegiatan tersebut sangat
umum dilakukan manusia, maka seiring dengan meningkatnya populasi manusia
konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) pun meningkat. Akibatnya semakin banyak
sinar yang terperangkap di dalam bumi. Perubahan iklim berubah secara
perlahan tapi pasti. Suhu permukaan bumi pun memanas. Panas ini dikenal
sebagai pemanasan global atau Global warming (Anonim, 2010).
Sumber utama emisi gas rumah kaca ini adalah produksi energi.
Pembakaran batu bara, minyak, dan gas alam merupakan penyebab utama
terhadap sekitar 80% emisi gas rumah kaca. Hanya sedikit yang mengetahui
bahwa sumber terbesar kedua emisi gas rumah kaca adalah penggundulan
hutan. Ketika hutan dibuka untuk pertanian atau pembangunan, sebagian besar
karbon pada pohon yang dibakar atau terurai lepas ke atmosfer sebagai CO2.

Diperkirakan bahwa 3-9 milyar ton CO2 dilepaskan dengan cara ini setiap tahun
(Anonim, 2010).
Sejak revolusi industri abad ke-18, atmosfer dimanfaatkan sebagai
kawasan buangan asap atas kegiatan industri, transportasi, dan kegiatan
manusia lainnya. Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer saat itu sebesar 290
ppmv (part per million by volume). Kini konsentrasinya mencapai sekitar 350
ppmv. Efek rumah kaca disebabkan emisi lebih dari 20 gas ke atmosfer.
Penyumbang terbesar adalah Karbondioksida, Ozon, Methana, Nitrogen
dioksida, dan klorofluorokarbon (CFC). Sumber paling besar berasal dari
pembakaran energi fosil, seperti minyak, gas alam, dan batubara (Ngili, 2009).
Kebijakan energi diarahkan untuk mengurangi peranan dan proporsi
energi tak terbarukan dengan meningkatkan peranan dan proporsi energi
terbarukan (renewable energy). Selain itu, pola pengendalian banjir perlu dikaji
ulang untuk tidak membuang air hujan ke laut, tetapi mengusahakan penyerapan
dan penampungannya melalui situ dan danau. Secara sederhana, kebijakan
pembangunan industri, energi, transportasi, dan pengembangan kota diarahkan
ke pengurangan energi penghasil gas rumah kaca. Sedangkan kebijakan
pertanian, pola pengendalian banjir, dan perencanaan penggunaan lahan serta
hutan untuk meningkatkan kemampuan alam menyimpan air hujan dan
menyerap gas rumah kaca.
Protokol adalah seperangkat aturan yang mengatur peserta protokol
untuk mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati. Dalam sebuah protokol,
para anggota jelas terikat secara normatif untuk mengikuti aturan-aturan di
dalamnya dan biasanya dibentuk untuk mempertegas sebuah peraturan
sebelumnya (misalnya konvensi) menjadi lebih detil dan spesifik (Anonim, 2010).
Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka
Kerja

PBB

tentang

Perubahan

Iklim

(UNFCCC),

sebuah

persetujuan

internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi


protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida
dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi
jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah
dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto
diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02C dan 0,28C
pada tahun 2050.

Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations
Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi
Rangka

Kerja

PBB

tentang

Perubahan

Iklim).

Persetujuan

tersebut

dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penandatanganan


pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai
berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia
pada 18 November 2004.
Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB:
"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara
perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif
sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan
adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa
Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk
mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan,
nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai ratarata selama masa lima tahun antara 2008-20012. Target nasional berkisar dari
pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk
Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10%
untuk Islandia."(Anonim, 2010).
Menurut Murdiyarso (2003), Protokol Kyoto adalah protokol kepada
Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi
pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam
UNFCCC dapat menandatangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara
pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga
Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang. Sebagian
besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang
disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC.
Terdapat tiga mekanisme yang diatur di Protokol Kyoto ini yaitu berupa
Joint Implementation (JI), Clean Development Mechanism (CDM), dan Emission
Trading (ET). Joint Implementation (implementasi bersama) adalah kerja sama
antar negara maju untuk mengurangi emisi GRK mereka. Clean Development
Mechanisme (Mekanisme Pembangunan Bersih) adalah win-win solution antara
negara maju dan negara berkembang, di mana negara maju berinvestasi di
negara berkembang dalam proyek yang dapat megurangi emisi GRK dengan

imbalan sertifikat pengurangan emisi (CER) bagi negara maju tersebut. Emission
Trading (Perdagangan emisi) adalah perdangan emisi antar negara maju.
Desember 2004, Indonesia pada akhirnya meratifikasi Protokol Kyoto
melalui UU No. 17 tahun 2004. Indonesia akan menerima banyak keuntungan
dari Protokol Kyoto. Melalui dana yang disalurkan Indonesia akan bisa
meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim ini. Lewat
CDM, Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi sampai sebesar 300 juta
ton dan diperkirakan bernilai US$ 1,26 miliar. Kegiatan CDM lainnya yang tengah
dipersiapkan di Indonesia adalah mengganti pembangkit listrik batubara dengan
geoterma dan efisiensi energi untuk produksi di pabrik Indocement.
Tahun 2001, Amerika Serikat berkeputusan untuk menarik dukungannya
terhadap Protokol Kyoto. Keputusan ini dikecam oleh rakyat Amerika sendiri dan
juga oleh pemimpin negara lain di dunia. Tidak kurang mantan Presiden Jimmy
Carter, Michael Gorbachev, bahkan oleh ilmuwan Stephen Hawking dan aktor
Harrison Ford yang membuat surat terbuka di majalah Time edisi April 2001.
Alasan yang dipakai pemerintahan Bush adalah pengurangan emisi akan
mengguncang dan mengganggu stabilitas perekonomian Amerika Serikat.
Pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, Protokol Kyoto
telah diratifikasi oleh 141 negara yang mewakili 61% dari seluruh emisi. Rusia
juga sempat menarik dukungan mereka terhadap Protokol Kyoto. Hal ini sempat
membuat dunia khawatir Protokol Kyoto tidak akan berkekuatan hukum secara
internasional karena tidak memenuhi persyaratannya. Menurut syarat-syarat
persetujuan protokol, Protokol Kyoto mulai berlaku "pada hari ke-90 setelah
tanggal saat di mana tidak kurang dari 55 Pihak Konvensi, termasuk Pihak-pihak
dalam Annex I yang bertanggung jawab kepada setidaknya 55% dari seluruh
emisi karbon dioksida pada 1990 dari pihak-pihak dalam Annex I, telah
memberikan alat ratifikasi mereka, penerimaan, persetujuan atau pemasukan".
Dari kedua syarat tersebut, bagian "55 pihak" dicapai pada 23 Mei 2002 ketika
Islandia meratifikasi. Ratifikasi oleh Rusia pada 18 November 2004 memenuhi
syarat "55 persen" dan menyebabkan pesetujuan itu mulai berlaku pada 16
Februari 2005.
Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol
tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan
25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria. Ada dua negara

yang telah menandatangani namun belum meratifikasi protokol tersebut: Amerika


Serikat (tidak berminat untuk meratifikasi) dan Kazakstan. Pada awalnya AS,
Australia, Italia, Tiongkok, India, dan negara-negara berkembang telah bersatu
untuk melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau
persetujuan lainnya yang bersifat mengekang. Namun pada awal Desember
2007 Australia akhirnya ikut serta meratifikasi protokol tersebut setelah terjadi
pergantian pimpinan di negara tersebut (Anonim, 2010).

BAB III
PEMBAHASAN

3.1

Isi Protokol Kyoto


Protokol Kyoto memberikan izin adanya pembentukan sistem berbasis

pasar untuk memperdagangkan sisa kuota karbon atau Certified Emission


Reduction (CERs). Perdagangan karbon memungkinkan perusahaan yang
menyebabkan polusi mencapai targetnya dengan membeli emisi karbon dari
perusahaan lain yang belum menggunakan sisa kuotanya, atau kredit karbon
yang dihasilkan oleh proyek pengurangan emisi. Secara khusus, Protokol Kyoto
menyetujui hal-hal berikut: (Murdiyarso, 2003)
1. Menentukan target emisi yang mengikat secara hukum untuk negara
industri untuk mengurangi emisi CO2 kolektif hingga 5% di bawah
level

tahun 1990 dalam jangka waktu Komitmen tahun 2008 hingga

tahun 2012.
2. Menentukan

periode

komitmen

lima

tahun

berikutnya

dimana

pengurangan emisi CO2 lebih lanjut akan disepakati bersama antar


negara-negara anggota protokol Kyoto.
3. Mendefinisikan sistem perdagangan internasional dimana sisa kuota
emisi karbondioksida dan kredit dari komitmen dapat dibeli atau dijual.
4. Menyetujui sistem akreditasi dimana kredit karbon dapat dikeluarkan
pada negara non industri berdasarkan Clean Development Mechanism
(CDM) atau pada negara industri berdasarkan Joint Implementation
Mechanism (JI).

5. Menentukan CO2 sebagai

unit

standar

perdagangan, menentukan

potensi pemanasan global pada setiap gas rumah kaca non-CO2.


6. Promosi kerjasama antar pemerintah, meningkatkan efisiensi energi,
reformasi energi dan kebijakan transportasi, energi terbarukan dan
mengelola endapan karbon seperti hutan dan lahan pertanian.
Dalam keputusannya, Protokol Kyoto menghasilkan pasalpasal yang
telah disepakati oleh seluruh anggota konvensi. Terdapat 28 pasal yang telah
disepakati dalam Protokol Kyoto tersebut. Pasal-pasal tersebut antara lain dapat
dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 3.1

Pasal

Pembahasan

Definisi

Kebijakan dan tindakan

Komitmen pembatasan dan pengurangan emisi

Pencapaian komitmen bersama

Isu isu metodologi

Pengalihan dan pengumpulan unit pengurangan emisi

Komunikasi informasi

Peninjauan informasi

Peninjauan protokol

10

Penyempurnaan implementasi komitmen

11

Mekanisme keuangan

12

Mekanisme pembangunan bersih

13

CoP / moP

14

Sekretariat

15

Badan badan pembantu

16

Proses konsultasi multilateral

17

Perdagangan emisi

18

Ketidaktaatan

19

Penyelesaian sengketa

20

Amandemen

21

Adopsi dan amandemen lampiran

22

Hak suara

23

Depesitori

24

Tandatangan dan ratifikasi, penerimaan, pengesahan, dan aksesi

25

Efektivitas protokol

26

Reservasi

27

Pengunduran diri

28

Naskah asli
Annex A : gas rumah kaca dan sektor / kategori sumbernya
Annex B : komitmen pembatasan dan pengurangan emisi tiap pihak

3.2

Kontribusi Protokol Kyoto Dalam Mengurangi Efek Gas Rumah


Kaca
Pada dasarnya, tercetusnya Protokol Kyoto dilatarbelakangi oleh adanya

efek gas rumah kaca yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Secara

umum, pemanasan global dapat didefinisikan sebagai peningkatan suhu ratarata bumi. Gas-gas rumah kaca yang tergolong sebagai kontributor terhadap
pemanasan global di antaranya ialah CO2, CH4, N2O, CF4, dan lain-lain. Hingga
saat ini telah diketahuui bahwa konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer
terus mengalami peningkatan sebagaimana ditunjukan dalam Tabel 2.
Tabel 3.2
Konsentrasi Gas Rumah Kaca Di Atmosfer

GRK PraindustriTahun
alisasi
2000-an
CO2 280 ppmv 357 ppmv
CH4
800 ppbv 1720 ppbv
N2O
280 ppbv
310 ppbv
CFC
0
0,5 ppbv

Laju
(ppmv/tahun)
1,8 ppmv/tahun
10-20 ppbv/tahun
0,6-0,9 ppbv/tahun
4%/tahun

Umur hidup
(tahun)
120
10,5
132
116

Pemanasan
relatif
1
58
206
5750

Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa setiap jenis gas rumah kaca memiliki
laju peningkatan yang berbeda-beda. Laju peningkatan tercepat terjadi pada gas
CO2 (1,8 ppmv/tahun). CH4 memiliki angka laju yang terlihat lebih tinggi karena
dinyatakan dalam satuan ppbv/tahun. Akan tetapi, jika laju peningkatan CH4
dinyatakan dalam satuan ppmv/tahun maka akan terlihat jelas bahwa karbon
dioksida (CO2) memiliki laju peningkatan tertinggi. Hal ini berkaitan dengan BM
dari keempat jenis gas emisi tersebut. Selain itu, Tabel 2 menunjukan panas
relatif yang berbeda pada setiap jenis gas emisi.
Sebagaimana telah disampaikan bahwa Protokol Kyoto tercetus dengan
dilatarbelakangi oleh adanya pemanasan global. Murdiyarso (2003) menyatakan
bahwa perjanjian yang dilaksanakan pertama kali di Kyoto tersebut merupakan
sebuah instrumen hukum (legal instrument) yang dirancang dengan tujuan untuk
menstabilkan gas-gas rumah kaca. Kadar gas-gas rumah kaca yang stabil akan
berimplikasi terhadap kestabilan iklim di permukaan bumi.
Meskipun

terasa

lambat,

hingga

saat

ini

Protokol

Kyoto

telah

berkontribusi terhadap penurunan kadar emisi gas-gas rumah kaca, terutama


emisi karbon. Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh berbagai negara,
termasuk negara di Eropa. Sebagai contoh ialah Inggris. Negara tersebut telah
mengeluarkan kebijakan dengan tujuan akhir berupa 15% kebutuhan energi
disuplai oleh sumber terbarukan pada tahun 2020. Pelaksanaan kebijakan
tersebut didasarkan pada sebuah fakta yang menunjukkan bahwa energi

berbasis fosil merupakan kontributor utama atas semakin meningkatnya gas


rumah kaca di atmosfer.
Terkait dengan peningkatan emisi karbon yang melatarbelakangi
dicetuskannya Protokol Kyoto, telah diketahui bahwa industri kertas berbasis
kayu hutan merupakan kontributor kedua terhadap peningkatan emisi gas
tersebut. Hal inilah yang mendorong berbagai negara untuk mengembangkan
industri

kertas

berbasis

non-kayu

hutan,

salah

satunya

ialah

dengan

memanfaatkan rumput laut. Contoh negara yang telah menerapkan industri


tersebut ialah Korea Selatan.
Hingga saat ini telah diketahui bahwa Protokol Kyoto telah berhasil dalam
melakukan penurunan gas-gas rumah kaca. Hal tersebut didasarkan pada
Proposal Angka Agregat yang menargetkan penurunan emisi, yaitu 30% dari Uni
Eropa, 40% dari Cina, India, Brasil, Afrika Selatan, Indonesia serta 32 negara
lainnya sebesar 45%. Selain itu, beberapa negara telah menyebutkan angka
nasional target penurunan emisi, yaitu Australia menargetkan untuk menurunkan
5-20% dari level emisi 2000 pada 2020. Sedangkan Kanada menargetkan
sebesar 20% dari level emisi 2006 pada 2020.
Berbagai capaian yang disampaikan dalam Proposal Angka Agregat
merupakan bukti nyata Protokol Kyoto dalam menurunkan kadar gas rumah kaca
di atmosfer. Salah satu bukti nyata lainnya ialah kebijakan yang dilaksanakan
Indonesia dalam meratifikasi Protokol Kyoto pada tanggal 23 Juni 2004. Langkah
tersebut dijalankan atas dasar kemampuan Indonesia dalam melakukan
Mekanisme Pembangunan Bersih atau CDM (Clean Development Mechanism).
Mekanisme tersebut merupakan suatu langkah yang dapat dilakukan antara
negara maju dan negara berkembang.

3.3

Urgensi Protokol Kyoto terhadap perubahan iklim dunia


Protokol kyoto dirasa penting untuk mengurangi dampak-dampak yang

dihasilkan dari berbagai masalah iklim dunia. Protokol Kyoto akan memberikan
persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi
gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990
(namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan
jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan
sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam

gas rumah kaca - karbon dioksida, metana, Nitrogen dioksida, sulfur


heksafluorida, HFC dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima
tahun antara 2008-2012 (Widosari, 2005).
Emisi gas rumah kaca (green house gases) dianggap sebagai penyebab
perubahan iklim global yang ditakutkan itu. Sektor energi, khususnya kegiatan
pembakaran bahan bakar fosil (batubara, minyak bumi, gas bumi) merupakan
penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (khususnya karbondioksida, CO2)
dan oleh karena itu, sektor ini akan terkena dampak langsung kesepakatan dunia
mengenai manajemen perubahan iklim tersebut. Target nasional berkisar dari
pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk
Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10%
untuk Islandia. Dengan adanya pengurangan emisi tersebut akan sangat
membantu dalam menstabilkan kondisi iklim di dunia yang cenderung semakin
memburuk. Buruknya kondisi alam tersebut menjadikan banyaknya terjadi
bencana alam akhir-akhir ini. Untuk itu, sangat penting untuk mengendalikan
faktor-faktor penyebab bencana alam tersebut, di antaranya dengan mengatur
banyaknya emisi GRK di negara-negara maju. Hal tersebut dapat diwujudkan
dengan adanya Protokol Kyoto ini.
Pelaksanaan protokol kyoto ini dapat dilakukan dengan 3 mekanisme
untuk mitigasi perubahan iklim yaitu Pertama, Joint Implementation (JI),
mekanisme yang memungkinkan negara maju (investor) menginvestasikan
proyek yang bisa menurunkan atau menyerap emisi di negara maju lainnya.
Imbal baliknya, kredit penurunan emisi yang dihasilkan proyek tersebut milik
negara investor. Kedua, Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme
Pembangunan Bersih (MPB).Dalam hal ini mekanisme memungkinkan negara
maju mengimplementasikan proyek yang bisa menurunkan atau menyerap emisi
di negara berkembang, kredit penurunan emisi yang dihasilkan merupakan milik
negara maju. Ketiga, Emission Trading (ET), mengatur negara maju membeli
kredit penurunan emisi dari negara maju lainnya (tanpa harus melalui kerja sama
proyek).

CDM dikenal sebagai mekanisme dimana

negara maju bisa

menurunkan emisi GRK dengan mengembangkan proyek ramah lingkungan


yang terbukti dapat menurunkan emisi GRK di negara berkembang. Mekanisme
itu merupakan bentuk perdagangan karbon. Negara berkembang dapat menjual
kredit penurunan emisi melalui proyek CDM kepada negara Annex I yang wajib

menurunkan emisi. Negara maju dan negara berkembang yang berkeinginan


turut dalam proyek CDM harus meratifikasi Protokol Kyoto. Indonesia sendiri
meratifikasinya pada 2004 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004
(Widosari, 2005).

3.4

Implikasi Protokol Kyoto bagi negara berkembang terutama


Indonesia
Implikasi Protokol Kyoto terhadap negara berkembang sudah banyak

dibicarakan di Indonesia. Namun, masih mengalami hambatan dalam hal


pemahaman masyarakat terhadap proses Kyoto, isi, dan maksud Protokol Kyoto.
Hal ini dikarenakan rendahnya prioritas lingkungan dalam agenda pembangunan
dan terbatasnya sumberdaya yang tersedia. Menurut Murdiyarso (2003),
Implikasi Protokol Kyoto bagi negara berkembang dikategorikan ke dalam tiga
aspek, yaitu politik dan hukum, bisnis, serta kelembagaan dan SDM.
Pada aspek politik dan hukum, pengesahan Protokol Kyoto bagi
Indonesia akan menguntungkan dalam menjalankan hubungan Intenasional
dengan negara-negara lain terutama ASEAN. Selain itu, pengesahan tersebut
menunjukkan kepedulian akan masalah global tanpa mengorbankan kepentingan
nasionalnya. Dengan dasar hukum yang sudah tetap yaitu Undang-Undang
No.17 tahun 2004 yang memberikan pengesahan ratifikasi Protokol Kyoto.
Dalam hal ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk menjalankan Protokol tersebut
agar mampu mencapai tujuan seperti yang diharapkan Protokol Kyoto.
Pada aspek bisnis, dalam pencapaian target penurunan emisi gas
negara-negara industri dapat dilakukan secara domestik walaupun akan
membutuhkan biaya yang sangat mahal. Oleh karena itu, negara industri akan
beralih ke pasar karbon global melalui proyek-proyek investasi baru di berbagai
sektor (energi, industri, transportasi, kehutanan, pertanian, dan limbah domestik)
dengan menggunakan mekanisme Kyoto (JI, CDM, dan ET). Sebagai negara
berkembang, Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisinya,
tetapi dapat berpartisipasi melalui CDM. Dari segi investasinya, peluang
Indonesia dalam pasar karbon global hanya 2% atau sekitar 25 juta ton
CO2/tahun. Sector energi dan transportasi Indonesia memiliki peluang yang
besar untuk mempromosikan energi terbarukan dan efisiensi energi dengan
mengaplikasikan CDM.

Dari segi kehutanan, Hutan Indonesia merupakan paru-paru dunia yang


mensuplai mayoritas Oksigen di dunia karena wilayah hutan Indonesia
merupakan terbesar kedua setelah Brazil. Kelestarian hutan di Indonesia sangat
berpengaruh pada kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi. Ratifikasi
Protokol Kyoto berdampak pada keikutsertaan Indonesia sebagai negara
pendukung program pengurangan polusi lingkungan hidup dan emisi karbon.
Salah satu program yang penting dan telah diterapkan oleh Indonesia adalah
alih teknologi dan koordinasi dalam penerapan biofuel untuk mengurangi emisi
karbon. Selain itu, hutan dan sumber daya alam milik Indonesia juga merupakan
lahan investasi, eksplorasi, dan eksploitasi modal negara-negara maju. Indonesia
mendapatkan manfaat dari solusi-solusi yang ditawarkan oleh PK dengan
meratifikasi Protokol Kyoto. Namun, pasca pelaksanaannya tercatat bahwa
tingkat kerusakan atau kehilangan hutan Indonesia menjadi 2,8 juta ha/tahun
pada tahun 2006-2007. Selain itu, Indonesia tidak perlu lagi merusak hutan yang
memang sudah rusak untuk memperoleh pendapatan untuk kesejahteraan
masyarakatnya

karena akan

mendapat

kompensasi

dari negara-negara

penghasil emisi karbon (Ngili, 2009).


Pada sektor pertanian, program ketahanan pangan yang terus dilanjutkan
dapat berpartisipasi dalam penurunan emisi metana (CH4) dari budidaya padi
sawah dan pengaturan pakan ruminansia. Terdapat suatu hal yang sangat
penting, yaitu partisipasi dari masyarakat sangat diharapkan terjadi baik pada
sektor publik maupun swasta. Partisipasi masyarakat tidak hanya terpaku pada
satu sektor saja namun dapat pula berlaku pada sektor yang lainnya. Partisipasi
masyarakat diharapkan akan menjamin keberlanjutan (sustainability) proyek
terutama proyek yang jangka panjang.
Agar Indonesia dapat berpartisipasi dalam kegiatan pada Protokol Kyoto,
maka terlebih dahulu adalah melakukan pengesahan Protokol Kyoto. Oleh
Karena itu peraturan sangat dibutuhkan sebagai landasan hukum dalam
mengambil tindakan. Kesadaran publik mengenai Protokol Kyoto sangat
diperlukan agar implementasinya berlangsung dengan cepat. Selain itu,
stakeholder dan kelembagaan menjadi landasan yang sangat baik dalam
mencapai tujuan penurunan emisi karbon di dunia. Kelembagaan yang
dibutuhkan adalah kelembagaan yang dirancang secara lintas sektor dan multi-

stakeholder sehingga mampu mengimplementasikan Protokol Kyoto secara


efektif.
Peluang Indonesia untuk berpartisipasi dalam mereduksi emisi gas rumah
kaca dan ikut dalam perdagangan karbon terbuka lebar. Mengingat peran
signifikan Indonesia dalam Protokol Kyoto sebagai negara yang memiliki
kekayaan hutan terbesar sudah sepantasnya kita menjaga hutan kita sebagai
pereduksi emisi karbon. Di sinilah paradigma pembangunan berkelanjutan perlu
terus

dikampanyekan

dan

diimplementasikan

dalam

setiap

kegiatan

pembangunan. Saatnya kebijakan yang lebih sistematis mengenai keberlanjutan


ekologi harus diwujudkan sebagai tempat hidup kita. Hal itu dapat terlaksana
melalui upaya penyelamatan keutuhan hutan dan lingkungan yang ada dan
mempertahankan keanekaragaman hayati yang masih ada di alam

BAB IV
KESIMPULAN

Protokol

Kyoto

adalah

sebuah

kesepakatan

atau

persetujuan

Internasional mengenai pemanasan global yang merupakan sebuah amandemen


terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).
Protokol Kyoto dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk
penandatanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999.
Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi
yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004 dan pada tanggal 3 Desember
2007, sebanyak 174 negara sudah meratifikasi Protokol tersebut termasuk
Indonesia.
Protokol Kyoto berisi aturan-aturan standarisasi mengenai emisi karbon
dan gas efek rumah kaca yang timbul dari penggunaan bahan bakar fosil yang
berlebihan. Negara-negara yang meratifikasi protokol tersebut berkomitmen
untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca
lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga
jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan
pemanasan global.
Pengendalian emisi karbon dan gas rumah kaca melalui Protokol Kyoto
sangat diperlukan bagi semua negara. Hal ini dikarenakan, melalui pengendalian
tersebut maka akan menurunkan dan mengatasi semakin hancurnya dunia yang
timbul karena bencana-bencana yang terjadi. Dengan pengendalian yang tepat
maka suhu bumi akan kembali segar dan kehidupan makhluk hidup akan kembali
normal

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Global Warming. http://priyadi.net/archives/2005/02/14/protokolkyoto/. [18 Februari 2010].
Anonim. 2010. Negara Maju dan Berkembang Debatkan Amandemen
ProtokolKyoto. Dalam http://rullysyumanda.org/republik-bencana/climatetalk-only/411-negara-maju-dan-berkembang-debatkan-amandemenprotokol-kyoto.html. [18 Februari 2010].
Murdiyarso, Daniel. 2003. Protokol Kyoto, Implikasinya
Berkembang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

bagi

Negara

Ngili, Yohanis. 2009. Peran Penting Indonesia dalam Protokol Kyoto.


Dalamhttp://www.ahmadheryawan.com/opini-media/lingkungan-hidup/3230peran-penting-indonesia-dalam-protokol-kyoto.html. [18 Februari 2010].
Suprihari. 2005. Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca dari Lahan Sawah Dengan
Pengelolaan Air. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Widosari, Yavi. 2005. Protokol Kyoto: Solusi terhadap Pemanasan Global.
Dalamhttp://www.chemistry.org/artikel_kimia/berita/protokol_kyoto_
solusi_terhadap_pemanasan_global/. [18 Februari 2010].

Anda mungkin juga menyukai