Anda di halaman 1dari 157

TESIS

LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA


MENGURANGI NYERI TENGGOROKAN PASCA
INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR

ARI YUDHA SANJAYA

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014

TESIS

LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA


MENGURANGI NYERI TENGGOROKAN PASCA
INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR

ARI YUDHA SANJAYA


NIM 1014108101

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014

LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA


MENGURANGI NYERI TENGGOROKAN PASCA
INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik


pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana

`
ARI YUDHA SANJAYA
NIM 1014108101

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI


TANGGAL 5 JANUARI 2015

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Prof. Dr.dr. Made Wiryana,SpAn.KIC. KAO


SpAn.KMN
NIP. 19540504198103.1.004

dr. I Gede Budiarta,


NIP.19640114198903.1.002

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik


Program Pascasarjana Universitas Udayana
Universitas Udayana

Prof.Dr.dr.Wimpie I Pangkahila, SpAnd,FAACS


Sudewi, SpS(K)
NIP. 194612131971071001

Direktur
Program Pascasarjana

Prof.Dr.dr.A.A. Raka
NIP. 195902151985102001

Tesis Ini Telah Diuji Pada


Tanggal 5 Januari 2015

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,


Nomor 029/ UN. 14.4/ HK/ 2014 Tertanggal 2 Januari 2015

Pembimbing I

Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO

Pembimbing II

dr. I Gede Budiarta, SpAn, KMN

Penguji

:
1. dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC
2. dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV, SH
3. dr. Tjok Gde Agung Senapathi, SpAn, KAR

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida


Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kerta
wara nugraha-Nya, tugas penyusunan tesis ini dapat terselesaikan.
Kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD, KEMD, selaku Rektor
Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
atas perkenannya memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan spesialis di Universitas Udayana.
Kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K), MKes, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, penulis juga mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas perkenannya memberikan kesempatan menjalani dan
menyelesaikan pendidikan spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Kepada dr. I Nyoman Semadi, SpB, SpBTKV, selaku Ketua TKP PPDS I
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih atas
kesempatan yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan program
pendidikan dokter spesialis ini.
Kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes, selaku Direktur Utama RSUP
Sanglah, penulis menyampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan
untuk menjalani pendidikan dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah
Denpasar.
Kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS(K), selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana, penulis menyampaikan terima kasih karena

telah diberikan kesempatan untuk menjalani program magister pada program studi
ilmu biomedik, program pascasarjana Universitas Udayana.
Kepada dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC, selaku Kepala Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis
mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan,
inspirasi dan motivasi yang telah diberikan selama penulis mengikuti program
pendidikan dokter spesialis ini.
Kepada dr. Ida Bagus Gde Sujana, SpAn, MSi, selaku Sekretaris Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas
bimbingan, semangat, inspirasi dan motivasi selama penulis mengikuti program
pendidikan dokter spesialis ini.
Kepada Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO, selaku Ketua
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima
kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas keteladanan dan bimbingan
yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan tesis dan menempuh program
pendidikan dokter spesialis ini dan selaku pembimbing satu yang telah
memberikan bimbingan, masukan dan motivasi dalam penulisan dan penyusunan
tesis ini.
Kepada dr. I Made Gede Widnyana, SpAn, MKes, KAR, selaku Sekretaris
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima
kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas bimbingan yang telah
diberikan selama penulis menempuh program pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada dr. I Gede Budiarta, SpAn, KMN, penulis mengucapkan terima kasih
dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan, semangat, inspirasi dan
motivasi selama penulis mengikuti program pendidikan dokter spesialis ini dan
khususnya selaku pembimbing dua dalam penyusunan tesis ini.
Kepada dr. I Wayan Sukra, SpAn, KIC, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya atas kemurahan hatinya dengan tidak mengenal lelah
memberikan bimbingan dan landasan berpikir tentang ilmu dasar anestesi.
Kepada semua guru : dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV, SH; dr. I Gusti
Putu Sukrana Sidemen, SpAn, KAR; Dr. dr. I Wayan Suranadi, SpAn, KIC; Dr.
dr. I Putu Pramana Suarjaya, SpAn, MKes, KNA, KMN; Dr. dr. Tjokorda Gde
Agung Senapathi, SpAn, KAR; dr. Putu Agus Surya Panji, SpAn, KIC; dr. I
Wayan Aryabiantara, SpAn, KIC; dr. I Ketut Wibawa Nada, SpAn, KAKV; dr.
Dewa Ayu Mas Shintya Dewi, SpAn; dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa,
SpAn, KAR; dr. I G.A.G. Utara Hartawan, SpAn, MARS; dr. Pontisomaya
Parami, SpAn, MARS; dr I Putu Kurniyanta, SpAn; dr. Kadek Agus Heryana
Putra, SpAn; dr. Cynthia Dewi Sinardja, SpAn, MARS; dr. Made Agus Kresna
Sucandra, SpAn; dr. Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, SpAn, MKes; dr. Tjahya
Aryasa EM, SpAn, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya atas
bimbingan yang telah diberikan selama menjalani program pendidikan dokter
spesialis ini.
Kepada dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid, selaku pembimbing
statistik, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan statistik dalam penyusunan


penelitian ini.
Kepada semua senior dan rekan rekan residen anestesi, penulis
mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang baik selama penulis
menjalani program pendidikan dokter spesialis ini.
Kepada Ibu Ni Ketut Santi Diliani, SH dan seluruh staf karyawan di Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih atas semua
bantuannya selama menjalani program pendidikan dokter spesialis ini, kepada
segenap penata anestesi, paramedis dan seluruh pasien serta kepada semua
karyawan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
selama proses pendidikan ini.
Kepada Bapak Nyoman Sukayasa dan Ibu Ni Made Puspawati Duarsa selaku
orang tua yang telah merawat dan membesarkan penulis dengan kasih sayang
yang tanpa pamrih serta penuh kesabaran memberikan dukungan semangat dan
doa supaya penulis dapat menjalani dan menyelesaikan studi ini dengan baik.
Serta terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pasien yang menjadi
sumber ilmu selama penulis menjalani proses pendidikan spesialisasi ini.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa selalu
memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang tertulis di atas
maupun yang tidak tertulis, yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis selama proses pendidikan dan penyusunan tesis ini.
Denpasar, Desember 2014
dr. Ari Yudha Sanjaya

ABSTRAK
LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA MENGURANGI
NYERI TENGGOROKAN PASCA INTUBASI DI RSUP SANGLAH
DENPASAR
Nyeri tenggorokan merupakan salah satu komplikasi penggunaan pipa
endotrakea pada pelaksanaan anestesi umum. Inflasi cuff, volume cuff, tekanan
cuff mempunyai hubungan paling erat terhadap nyeri tenggorokan. Tujuan
penelitian ini mengetahui efektifitas pemberian lidokain 2% intracuff pipa
endotrakea untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Randomized double blind
controlled trial pada pasien yang menjalani tindakan pembedahan dengan anestesi
umum di kamar operasi instalasi bedah sentral RSUP Sanglah Denpasar.
Penelitian ini mengambil sampel 64 pasien yang dibagi menjadi dua kelompok (n
= 32), kelompok A menggunakan inflasi lidokain 2% intracuff dan kelompok B
menggunakan inflasi NaCl 0,9% intracuff. Derajat nyeri tenggorokan dievaluasi
menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS) pada jam ke 1, jam ke 2 dan
jam ke 24 pasca ekstubasi. Uji statistik menggunakan Chi square, Mann-Whitney
Test, dan independent sample T-test (dengan derajat kemaknaan < 0,05). Analisis
data menggunakan program SPSS v. 17,0 for windows (Statistical Package for
the Social Sciences Inc, USA).
Pada penelitian ini didapatkan rerata nyeri tenggorokan dievaluasi
menggunakan VAS dalam milimeter (mm) kelompok lidokain 2% pada jam 1
pasca ekstubasi 4,0 5,7 mm, pada kelompok NaCl 0,9% adalah 10,1 5,0 mm,
didapatkan beda rerata VAS 6,1 0,7 mm yang secara statistik dianggap
bermakna (p <0,001). Evaluasi VAS nyeri tenggorokan 2 jam pasca ekstubasi
pada kedua kelompok perlakuan juga secara statistik bermakna dengan beda rerata
VAS 3,2 0 mm (p=0,004). Penilaian VAS 24 jam pasca ekstubasi pada kedua
kelompok menunjukkan nilai VAS 0 sehingga tidak ada perbedaan.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lidokain 2% intracuff pipa
endotrakea mengurangi nyeri tenggorokan pada pasien yang menjalani anestesi
umum pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar sehingga lidokain 2% intracuff,
dapat digunakan sebagai alternatif pilihan dalam mengurangi nyeri tenggorokan.

Kata kunci : lidokain 2%, intracuff, nyeri tenggorokan.

ABSTRACT
INTRACUFF LIDOCAINE 2% IN ENDOTRACHEAL TUBE REDUCE
POST INTUBATION SORE THROAT AT SANGLAH HOSPITAL

Sore throat is one of complication related with endotracheal tube insertion


in general anesthesia. Cuff inflation, cuff volume, and cuff pressure are most
related to the sore throat. This study research the effectiveness of intracuff
lidocaine 2% in endotracheal tube to reduce post-intubation sore throat.
The study is a randomized, double-blind controlled trial in patients
undergoing surgery with general anesthesia in the central operating theatres at
Sanglah Hospital. A number of 64 samples were divided into two groups (n = 32),
group A used intracuff lidocaine 2% inflation and group B used intracuff 0.9%
NaCl inflation. The severity of sore throat was evaluated using Visual Analogue
Scale (VAS) at 1 hour, 2 hours, and 24 hours after extubation. Chi-square test,
Mann-Whitney test, and independent sample T-test (with significance level <0.05)
used as statistical analysis tests, with SPSS v. 17.0 for Windows (Statistical
Package for the Social Sciences Inc., USA).
The mean sore throat was evaluated using the VAS in millimeters (mm).
The 2% lidocaine group showed that at 1 hour post-extubation VAS was 4.0 5.7
mm, compared to in 0.9% NaCl group 10.1 5.0 mm, showed a mean difference
of 6.1 0.7 mm, classified as statistically significant (p <0.001). Evaluation of
sore throat VAS at 2 hours after extubation in both treatment groups was also
statistically significant with a mean difference of 3.2 0 mm VAS (p = 0.004).
VAS assessment 24 hours after extubation in both groups showed VAS value 0 so
that there is no difference.
From these results it can be concluded that lidocaine 2% intracuff
endotracheal tube reduces sore throat in patients underwent general anesthesia in
post-intubation at Sanglah Hospital, so it can be used as an alternative in reducing
post-extubation sore throat.
Keywords: lidocaine 2%, intracuff, sore throat.

DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DALAM

PRASYARAT GELAR .

ii

LEMBAR PERSETUJUAN ..

iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..

vi

UCAPAN TERIMA KASIH .

vii

ABSTRAK

xi

ABSTRACT ..

xii

DAFTAR ISI .

xiii

DAFTAR TABEL .

xviii

DAFTAR GAMBAR .

xix

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG.....

xxi

DAFTAR LAMPIRAN ..

xxiv

BAB I. PENDAHULUAN .

1.1 Latar Belakang .

1.2 Rumusan Masalah ...

1.3 Tujuan Penelitian ..

1.3.1 Tujuan umum ..

1.3.2 Tujuan khusus .....

1.4 Manfaat Penelitian ...

1.4.1 Aplikasi klinis ...

1.4.2 Pengembangan akademik ..

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ....

2.1 Lidokain ....

2.1.1 Sejarah ..

2.1.2 Struktur dan Mekanisme Kerja


Anestesi Lokal ..

10

2.1.2.1 Struktur Anestesi Lokal.

10

2.1.2.2 Mekanisme Kerja Anestesi L.okal ...

13

2.1.3 Konsentrasi minimum ..

14

2.1.4 Farmakokinetik ....

15

2.1.4.1 Absorbsi .....

15

2.1.4.2 Distribusi.

16

2.1.4.3 Metabolisme dan ekskresi....

17

2.1.5 Anestesi Lokal Liposomal ...

19

2.1.6 Alkalinisasi Larutan Anestesi Lokal ...

20

2.1.7 Indikasi.

20

2.1.8 Farmakodinamik ..

21

2.1.8.1 Efek lidokain pada sistem organ .

21

2.1.8.1.1 Sistem Saraf Pusat. ...

21

2.1.8.1.2 Sistem kardiovaskular ..

23

2.1.8.1.3 Sistem respirasi...

24

2.1.8.1.4 Alergi

24

2.1.9 Respon inflamasi


2.1.9.1 Efek Anestesi Lokal pada Proses Inflamasi.
2.2 Pipa Endotrakea

24
27
28

2.2.1 Cuff pipa endotrakea.

28

2.2.2 Difusi lidokain melintasi cuff pipa endotrakea..

30

2.3 Nyeri

32

2.3.1 Definisi nyeri.

32

2.3.2 Fisiologi nyeri

33

2.3.3 Patofisiologi nyeri.

34

2.3.3.1 Transduksi.

34

2.3.3.2 Transmisi

35

2.3.3.3 Modulasi

36

2.3.3.4 Persepsi..

36

2.3.4 Penilaian Nyeri..

36

2.3.4.1 Instrumen penilaian nyeri.

38

2.3.5 Nyeri tenggorokan pasca anestesi umum pipa


Endotrakea.

41

BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN


HIPOTESIS PENELITIAN

44

3.1 Kerangka Berpikir ..

44

3.2 Kerangka Konsep ..

46

3.3 Hipotesis Penelitian ...

46

BAB IV. METODE PENELITIAN

47

4.1 Rancangan Penelitian ...

47

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ..

48

4.3 Penentuan sumber data..

48

4.3.1 Populasi penelitian ..

48

4.3.2 Sampel penelitian .....

49

4.3.3 Kriteria inklusi .

49

4.3.4 Kriteria eksklusi ...

49

4.3.5 Besar sampel ....

50

4.3.6 Teknik pengambilan sampel.

51

4.3.7 Alokasi sampel.. ...

51

4.3.8 Teknik Blind .

52

4.4 Variabel Penelitian .

53

4.5 Definisi Operasional variabel...

53

4.6 Instrumen penelitian.

55

4.7 Prosedur penelitian.

56

4.7.1 Persiapan Penelitian

56

4.7.2 Penapisan pasien

56

4.7.3 Pelaksanaan penelitian

57

4.7.3.1 Cara kerja

57

4.7.4 Alur penelitian..

60

4.8 Pengolahan dan Penyajian Data Analisis Statistik

61

4.8.1 Analisis Statistik Deskriptif.

61

4.8.2 Uji Normalitas..

61

4.8.3 Uji Homogenitas Varian.

61

4.8.4 Analisa Perbedaan Mean..

61

BAB V. HASIL PENELITIAN .......

62

BAB VI. PEMBAHASAN ...

75

6.1 Keterbatasan penelitian.

85

BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN

86

7.1 Simpulan

86

7.2 Saran ..

86

DAFTAR PUSTAKA ..

87

LAMPIRAN

91

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Farmakologi Anestetik Lokal Lidokain .......................................

20

Tabel 2.2 Tabel Perbandingan pH Lidokain ................................................

32

Tabel 5.1 Data karakteristik subjek penelitian kedua kelompok


perlakuan

62

Tabel 5.2 Perbedaan rerata tekanan intracuff berdasarkan


kelompok perlakuan..

64

Tabel 5.3 Volume intracuff pada kedua kelompok


perlakuan ..

66

Tabel 5.4 Derajat nyeri tenggorokan dinilai dengan Visual


Analog Scale (VAS) pada kedua

kelompok

perlakuan..

67

Tabel 5.5 Hasil analisis regresi linier pengaruh selisih volume cuff
terhadap nilai VAS jam 1..

70

Tabel 5.6 Hasil analisis regresi linier pengaruh selisih volume cuff
terhadap nilai VAS jam 2..

71

Tabel 5.7 Hasil analisis regresi linier pengaruh tekanan intracuff


akhir terhadap nilai VAS jam 1..

72

Tabel 5.7 Hasil analisis regresi linier pengaruh tekanan intracuff


akhir terhadap nilai VAS jam 2..

73

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Struktur Kimia Lidokain ..............................................................

Gambar 2.2 Struktur Dasar Anestetik Lokal ....................................................

10

Gambar 2.3 Struktur Anestesi Lokal Golongan Ester dan Amide ...................

11

Gambar 2.4 Metabolisme Lidokain..................................................................

19

Gambar 2.5 Peran Respon Inflamasi Lokal .....................................................

26

Gambar 2.6 Patofisiologi Nyeri .......................................................................

37

Gambar 2.7 Instrumen Visual Rating Scale (VRS) .........................................

39

Gambar 2.8 Instrumen Numerical Rating Scale (NRS) ...................................

39

Gambar 2.9 Instrumen Visual Analog Scale (VAS) ........................................

41

Gambar 3.1 Kerangka Konsep .........................................................................

46

Gambar 5.1 Grafik tekanan intracuff kedua kelompok perlakuan....

65

Gambar 5.2 Grafik perbandingan rerata tekanan intracuff


menit akhir kedua kelompok perlakuan ......

65

Gambar 5.3 Grafik volume intracuff kedua kelompok perlakuan ...

67

Gambar 5.4 Grafik VAS nyeri tenggorokan kedua kelompok perlakuan....

68

Gambar 5.5 Grafik Perbandingan VAS kedua kelompok perlakuan ..

69

Gambar 5.6 Kurve linier pengaruh selisih volume cuff terhadap


nilai VAS jam 1 .. ...........................................................

70

Gambar 5.7 Kurve linier pengaruh selisih volume cuff terhadap


nilai VAS jam 2 .. ...........................................................

71

Gambar 5.7 Kurve linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap


VAS jam 1 .. ...................................................................

72

Gambar 5.7 Kurve linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap


VAS jam 2 .. ...................................................................

74

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

ASA

:American Society of Anesthesiology

ATP

: Adenosin Tri Phospate

BB

: berat badan

: Carbon

CNS
Cm
Cmax

: Central Nervous System


: Konsentrasi minimum
: konsentrasi maksimum

EMLA : Euthetic Mixture Local of Anesthesia


G

: Gauge

GPCR : G Protein Coupled Receptor


HPLV : High Pressure Low Volume
HVLP :High Volume Low Pressure
IASP

: International Association for The Study of Pain

IMT

: Indeks Massa Tubuh

JCAHO

: Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organizations

: Kalium

kg

: kilogram

kg/m2 : kilogram per meter kubik


kgBB
l

: kilogram berat badan


: Left

LAST : Local Anesthetic Systemic Toxicity


L-HCl : Lidokain hidrochloride
LMA

: Laryngeal mask airway

: meter

mL

: mililiter

mm

: milimeter

mg

: miligram

mmHg : milimeter air raksa


mV

: milivolt

MAC

: Minimum Alveolar Concentration

MPQ

: McGill Pain Questionaire

NaHCO3

: Sodium bicarbonat

Na

: Natrium

NaCl

: Natrium Chloride

NPA

:Nasopharyngeal airway

NRS

: Numerical Rating Scale

N2O

: Nitrous oxide

O2
OPA

: Oksigen
:Oropharyngeal airway

PABA : p-aminobenzoic acid


PACU : Post Anesthesia Care Unit
pH
p-450

pKa
yang tak

: Derajat keasaman
: enzim p-450

: pH saat obat anestesi lokal yang terionisasi sama dengan

terionisasi
PET

:Pipa endotrakea

PMN

: Poli Morfo Nuklear

PVC

: Polyvynil chloride

r
RAR

: Right
: Rapid Adapting stretch Receptor

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat


TNF

: Tumor Necrosis Factor

VDS

: Verbal Descriptive Scale

VRS

: Visual Rating Scale

VAS

: Visual Analogue Scale

5HT

: 5-hydroksi triptamin

: persen

: microgram

<

: kurang dari

>

: lebih dari

: sama dengan

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Surat Keterangan Kelaikan Etik ............................................

83

Lampiran 2 : Surat Ijin Uji Klinik ..............................................................

84

Lampiran 3 : Jadwal Penelitian ...................................................................

85

Lampiran 4 : Rincian Informasi ..................................................................

86

Lampiran 5 : Formulir Persetujuan Tindakan .............................................

89

Lampiran 6 : Lembar Penelitian..................................................................

94

Lampiran 7 : Pencatatan Hasil Evaluasi......................................................

98

Lampiran 8 : Tabulasi Data Penelitian ........................................................ 100


Lampiran 9 : Hasil Analisis SPSS .............................................................. 102

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Pembebasan jalan nafas merupakan tindakan pertama dan terpenting yang

harus dilakukan pada saat melakukan anestesi umum. Pembebasan jalan nafas
tersebut dapat dilakukan tanpa alat atau dengan menggunakan alat-alat seperti
oropharyngeal airway (OPA), nasopharyngeal airway (NPA), laryngeal mask
airway (LMA), dan intubasi dengan pipa endotrakea (PET). (Larson, 2002)
Intubasi dengan pipa endotrakea menjadi bagian yang rutin dalam
pelaksanaan anestesi umum. Intubasi bukan merupakan prosedur yang tanpa
komplikasi, bagaimanapun juga tidak semua pasien yang mendapatkan anestesi
umum membutuhkan intubasi trakea, pipa endotrakea umumnya digunakan untuk
memproteksi jalan nafas atau untuk akses jalan nafas. Pipa endotrakea dapat
digunakan untuk memberikan gas anestesi langsung ke dalam trakea dan
memungkinkan dilakukannya kontrol terhadap ventilasi dan oksigenasi (Morgan,
2006)
Pemakaian pipa endotrakea juga memiliki komplikasi yang dapat terjadi
mulai dari saat intubasi memasukkan pipa endotrakea sampai dengan ekstubasi
melepaskan pipa dari saluran nafas pasien. Salah satu komplikasi penggunaan
pipa endotrakea terjadi akibat rangsangan iritasi dan regang pada mukosa saluran
nafas sehingga menimbulkan respon seperti suara serak, nyeri tenggorokan, batuk,
peningkatan tekanan darah, dan peningkatan laju nadi.

Trauma pada mukosa trakea dapat menimbulkan keluhan nyeri


tenggorokan pasca bedah. Beberapa keluhan yang berkaitan dengan penggunaan
pipa endotrakea tersebut sangat bervariasi mulai dari yang ringan seperti rasa
gatal, serak, batuk, nyeri ringan sampai keluhan yang serius seperti laserasi, ruptur
trakea, obliterasi/ stenosis, atau fistula trakeo-esofageal.

Insiden nyeri

tenggorokan (sore throat) pasca intubasi berkisar antara 24-90%.


Reaksi merugikan tersebut diatas umumnya dapat ditoleransi dengan baik
pada pasien sehat tanpa disertai komorbiditas, namun demikian reaksi tersebut
dapat menjadi permasalahan terutama pada pasien yang sebelumnya dengan
riwayat hipertensi, penyakit jantung iskemik, peningkatan tekanan intrakranial,
atau trauma okular. (Gilles Dollo, dkk. 2001)
Keadaan diatas dapat disebabkan oleh banyak faktor, tetapi salah satu yang
mempunyai hubungan paling erat adalah keadaan cuff pipa endotrakea,
diantaranya meliputi: luas kontak cuff dengan mukosa, tekanan cuff, bentuk,
diameter, bahan, serta ketebalan dinding cuff.
Kebanyakan PET yang digunakan untuk orang dewasa memiliki cuff
pengembang, dan terdiri dari katup, pilot balon, pipa pengembang, dan cuff.
Katup berfungsi untuk mencegah bocornya udara setelah cuff dikembangkan.
Pilot balon merupakan tempat untuk mengisi udara untuk mengembangkan cuff.
Pipa pengembang menghubungkan katup dengan cuff dan terletak pada dinding
PET. Dengan menciptakan sebuah segel trakea, PET mampu digunakan untuk
memberikan ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan terjadinya

aspirasi.

PET

tanpa

cuff

biasanya

digunakan

pada

anak-anak

untuk

meminimalisasi resiko cedera dan batuk pasca intubasi.


Tekanan

cuff

bergantung

pada

beberapa

faktor:

volume

udara

pengembang, diameter cuff dalam hubungannya dengan trakea, compliance cuff


dan trakea, tekanan intrathoraks (tekanan cuff meningkat saat batuk). Tekanan
cuff dapat meningkat pada saat pemberian anestesi umum sebagai hasil dari difusi
nitrous oksida (N2O) dari trakea ke dalam cuff PET.
Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca
intubasi endotrakea, antara lain mengganti pipa endotrakea dari bahan karet ke
polyvynil chloride (PVC), menggunakan pelumas, pemberian krim topikal
kortikosteroid pada PET, inflasi cuff PET dengan salin atau campuran N2O dan
O2, serta cuff bertekanan rendah sehingga aliran darah mukosa tidak terganggu.
Pemberian lidokain intravena dan topikal telah digunakan untuk
mengurangi stimulus noksius pada saat intubasi endotrakea. Lidokain topikal atau
spray pada PET digunakan untuk mengurangi kejadian nyeri tenggorokan pasca
intubasi, namun diperlukan alat khusus untuk tujuan ini. Untuk memberi lubrikasi
pipa endotrakea digunakan lidokain dosis besar mencapai 100-250 mg baik
dengan menggunakan spray, ointment, gel atau jelly untuk mencapai konsentrasi
plasma 1,5 g/ ml. Untuk pemberian lidokain intravena dosis yang
direkomendasikan 1,5 mg/ kilogram berat badan untuk mencapai konsentrasi
plasma 2 g/ ml. Beberapa metode tersebut memiliki kelemahan, antara lain
duration of action terbatas pasca aplikasi lidokain karena cepat terabsorbsi

mukosa trakeobronkial sehingga tidak efektif pada periode ekstubasi. (Gilles


Dollo, dkk. 2001)
Selama anestesia pengisian cuff dengan udara dapat menyebabkan
hiperpressure cuff pada mukosa trakea disebabkan peningkatan temperatur dan
penggunaannya bersama nitrous oxide (N2O) yang berdifusi lebih cepat ke dalam
cuff dibandingkan kemampuan nitrogen berdifusi keluar cuff. Keadaan overinflasi
cuff pipa endotrakea ini yang dihubungkan dengan kerusakan mukosa pharyngeal
dan terjadinya recurrent laryngeal nerve palsy. (Gilles Dollo, dkk. 2001).
Banyak studi membahas berbagai aspek dari insersi pipa endotrakea,
namun hanya sedikit yang meneliti pada proses akhirnya yaitu pada saat ekstubasi
pipa endotrakea. Pada keadaan pasien sudah sadar, terdapat beberapa komplikasi
yang mungkin terjadi meliputi hipertensi, takikardia, batuk, bucking, menahan
nafas, dan bronkospasme. Keadaan tersebut dapat merugikan terutama pada
pasien bedah saraf berkaitan dengan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
atau pada pembedahan bola mata yang berisiko terjadinya ruptur jahitan operasi.
Sebaliknya ekstubasi yang dilakukan saat pasien berada pada level anestesia
stadium pembedahan dapat mengurangi kejadian tersebut diatas, namun berisiko
terjadinya aspirasi, laringospasme, dan hilangnya penguasaan jalan nafas. (Gilles
Dollo, dkk. 2001)
Untuk menghindari overinflasi cuff pipa endotrakea penggunaan liquid
dapat diberikan dibandingkan inflasi udara. Lidokain sebagai suatu larutan dapat
menjadi pilihan terhadap permasalahan diatas. Beberapa penelitian in vitro
maupun in vivo melaporkan bahwa lidokain hidrochloride yang dimasukkan ke

dalam cuff dapat berdifusi melintasi cuff pipa endotrakea yang bersifat
hydrophobic membrane, karena cuff dibuat dari bahan polyvynil chloride dan
bertindak sebagai membran yang semipermeabel. (Sconzo, JM, 1990)
Hirota (2000) melaporkan pemberian lidokain pada cuff PET mengurangi
nyeri tenggorokan yang dievaluasi menggunakan Visual Analog Scale. Dari 16
pasien yang dipasang pipa endotrakea dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok
pertama mendapat inflasi cuff lidocain 4% sedangkan kelompok lainnya inflasi
dengan 0,9%. Evaluasi VAS (mm) lebih rendah pada kelompok inflasi lidokain
25,1 9,8 berbanding 53,5 10,6 pada kelompok inflasi saline 0,9% (p<0,01).
Penelitian Navarro (1997) pada pemberian anestetik lokal lidokain 2%
intracuff terdapat perbedaan insidensi nyeri tenggorokan secara signifikan pada
evaluasi 24 jam pasca operasi yaitu 59% pada kelompok inflasi udara dan 32%
pada kelompok inflasi lidokain (p=0,01). Severity nyeri tenggorokan dievaluasi
menggunakan VAS lebih rendah pada kelompok inflasi lidokain, evaluasi 1 jam
pasca operasi 18,7 27.0 berbanding 7,90 18.1 (p=0,02). Sedangkan evaluasi
24 jam pasca operasi 25,6 27,5 berbanding 14,5 24.8 (p=0,03).
Alkalinisasi dengan penambahan sodium bikarbonat (NaHCO3) 8,4%
terhadap lidokain hidroklorida menyebabkan difusi 65% neutral base form
(lidokain-HCl) melalui struktur hidrofobik cuff PET dalam periode waktu 6 jam,
sehingga memungkinkan jumlah obat yang lebih sedikit dibandingkan penelitian
sebelumnya (lidokain 20-40 mg berbanding 200-500 mg), disamping mengurangi
kemungkinan efek samping terjadi absorbsi ke sirkulasi dalam dosis besar bila
terjadi ruptur dari cuff PET. (Dollo, 2001; Estebe, 2005)

Namun

studi

Estebe

(2002)

melaporkan

pemberian

lidokain

hidrochloride dosis kecil 40 mg tanpa alkalinisasi terhadap kejadian nyeri


tenggorokan pasca operasi bermakna secara signifikan (p<0,001). Hal tersebut
sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Bennett (2000).
Estebe (2005) melaporkan bahwa difusi lidokain pada akalinisasi dengan
NaHCO3 8,4% menyebabkan konsentrasi maksimal lidokain-HCl dalam plasma
Cmax <0,08 g/ ml, masih lebih kecil konsentrasinya bila pemberian lidokainHCl secara topikal yang mencapai Cmax 0,43-1,5 g/ ml, atau secara intravena
yang mencapai 2-3 g/ ml. Penggunaan lidokain 200-500 mg menyebabkan Cmax
167 30 g/ ml.
Penelitian ini diharapkan akan menambah data tentang kemampuan difusi
lidokain melintasi cuff pipa endotrakea untuk mengurangi kejadian nyeri
tenggorokan pasca anestesi umum intubasi endotrakea.

1.2

Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan

masalah penelitian: apakah lidokain 2% intracuff pipa endotrakea mengurangi


nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar?

1.3

Tujuan Penelitian

1.3.1

Tujuan umum
Untuk mengetahui efektifitas lidokain 2% intracuff pipa endotrakea dalam

mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar.

1.3.2

Tujuan khusus
Untuk membandingkan efek antara lidokain 2% dengan NaCl 0,9%

intracuff pipa endotrakea dalam mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di


RSUP Sanglah Denpasar.

1.4

Manfaat Penelitian

1.4.1

Aplikasi klinis
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai manfaat klinis

lidokain 2% intracuff pipa endotrakea untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca


intubasi, sehingga dapat dipakai sebagai alternatif yang praktis, murah dan efek
samping yang minimal.
1.4.2

Pengembangan akademik
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkuat bukti bahwa

lidokain 2% intracuff dapat digunakan untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca


intubasi dengan dosis dan komplikasi yang minmal. Serta sebagai dasar penelitian
lebih lanjut yaitu membandingkannya dengan lidokain alkalinisasi intracuff.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1

LIDOKAIN

2.1.1

Sejarah
Anestesi lokal pertama kali disintesa dari Cocain dan diperkenalkan

sebagai obat lokal anestesi pertama kali tahun 1884 oleh Kollar untuk digunakan
dalam ophthalmology. Halsted mengakui kemampuan dari cocain injeksi untuk
menghambat konduksi impuls saraf, yang penting untuk diperkenalkan pada
anestesia blok saraf tepi dan spinal anestesia. Sebagai ester dari asam benzoic,
cocaine dalam jumlah banyak terdapat pada tumbuhan Erythroxylon coca, sejenis
tumbuhan yang tumbuh di pegunungan Andes dimana kualitasnya dalam
merangsang otak diketahui dengan baik. Keistimewaan yang unik lainnya dari
cocaine adalah kemampuannya menimbulkan vasokonstriksi lokal, membuat dia
berguna untuk mengerutkan mukosa hidung pada saat proses rhinolaryngologic
dan intubasi nasothrakeal. Potensial penyalahgunaan dari cocaine membatasi
keabsahan penggunaannya secara medis, selain itu sifat iritasi dari cocaine
membatasi obat tersebut digunakan sebagai anestesi topikal pada kornea atau
bentuk injeksi lainnya yang menyebabkan anestesi. (Stoelting, 2006)
Obat anestesi lokal sintetik pertamakali dibuat dari turunan ester yaitu
procaine, diperkenalkan oleh Einhorn tahun 1905. Lidokain disintesa sebagai

anestesi lokal golongan amide oleh Lofgren tahun 1943. Lidokain (Xylocaine/
Lignocaine) adalah obat anestesi lokal yang digunakan secara luas baik melalui
pemberian topikal atau intravena. Lidokain menimbulkan blok saraf lebih cepat,
lebih kuat dan durasinya lebih lama dibandingkan dengan procaine. Tidak seperti
procaine, lidokain efektif digunakan secara topical dan sangat poten untuk obat
antidisritmia jantung. Untuk alasan ini, lidokain digunakan sebagai standar
pembanding dari obat anestesi lainnya. Lidokain dapat menimbulkan blok yang
reversible terhadap konduksi impuls saraf pusat dan perifer setelah anestesia
regional ataupun blok saraf tepi. Dengan meningkatnya konsentrasi dari obat-obat
lokal anestesi di sekitar serat saraf akan menyebabkan transmisi saraf otonom,
saraf sensorik, dan saraf motorik dihentikan sehingga menimbulkan blok sistem
saraf otonom, sensoris dan paralysis dari otot-otot skeletal yang dipersarafi oleh
saraf yang diblok. Berkurangnya konsentrasi anestesi lokal di daerah injeksi akan
diikuti oleh kembalinya fungsi konduksi saraf secara spontan dan komplit, tanpa
ditandai kerusakan struktur serat saraf sebagai akibat dari efek obat. Tiap mililiter
lidokain mengandung: 2 (Dietilamino) N (2,6 dimetilfenil) asetamida
hidroklorida. (Stoelting, 2006)

Gambar 2.1 Struktur kimia lidokain

2.1.2

Struktur dan Mekanisme Kerja Anestesi Lokal

2.1.2.1 Struktur Anestesi Lokal


Anestesi lokal terdiri dari bagian lipophilik dan hydrophilik yang
dihubungkan oleh rantai hydrocarbon (gambar 2.2). Bagian hydrophilik disusun
oleh amine tersier seperti: diethylamine, dimana bagian yang lipophilik disusun
oleh cincin aromatik yang tidak jenuh seperti paraaminobenzoic acid. Bagian
lipofilik ini berperanan penting dalam menentukan aktifitas anestetik dari obat
tersebut.

Berdasarkan

strukturnya

tersebut,

obat

anestesi

lokal

dapat

diklasifikasikan menjadi golongan amino-ester dan amino-amide. Pembagian


menjadi golongan ester dan amide ini erat kaitannya dengan metabolisme dan
reaksi alergi yang ditimbulkannya. (Stoelting, 2006)

Gambar 2.2 Struktur dasar anestetik lokal


Modifikasi struktur kimia dari obat lokal anestesi ini berpengaruh pada
efek farmakologi. Lidokain mirip dengan etidokain tetapi penggantian grup ethyl

dari lidokain dengan propyl dan penambahan ethyl pada alpha atom karbon di
rantai hydrocarbon menyebabkan etidokain 50 kali lebih larut dalam lemak dan
durasi 2-3 kali lebih lama. Anestesi lokal pipecoloxylidide (mepivacaine,
bupivacaine, ropivacaine dan levobupivacaine) memiliki struktur chiral karena
adanya atom karbon yang asimetris. Struktur ini menyebabkan obat tersebut
memiliki konfigurasi l ( left ) danr ( right ) enantiomer. Perbedaan konfigurasi
ini erat kaitannya dengan efek neurotoksisitas dan kardiotoksisitas, dimana l
enantiomer (ropivacaine, levobupivacaine) memiliki toksisitas yang lebih rendah
dari r enantiomer. (Stoelting, 2006)

Gambar 2.3. Struktur anestesi lokal golongan ester dan amide


Potensi, onset dan durasi lokal anestesi sangat dipengaruhi oleh struktur dari obat
ini. (Morgan, 2006)

Potensi sangat berhubungan dengan kelarutannya di dalam lemak, karena


hal ini berpengaruh terhadap kemampuan obat lokal anestesi dalam menembus
membran sel neuron (epineurium, perineurium dan endoneurium). Secara umum
kelarutan dalam lemak dan potensi dari lokal anestesi meningkat bila jumlah atom
C (karbon) yang menyusun molekul obat tersebut bertambah banyak. Cara yang
sering dipergunakan untuk mengukur potensi dari obat anestesi lokal adalah Cm
(konsentrasi minimum dari lokal anestesi yang dapat memblok konduksi impuls
saraf). Tetapi pengukuran ini juga dipengaruhi beberapa faktor: ukuran, tipe dan
myelin serat saraf, pH (pH asam mengurangi potensi blok saraf), frekuensi
rangsangan saraf dan kadar elektrolit (hipokalemia dan hiperkalemia akan
mengurangi blok saraf).
Onset dari anestesi lokal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:
kelarutan dalam lemak, pKa (pH saat obat lokal anestesi yang terionisasi sama
dengan yang tak terionisasi). Obat yang memiliki pKa mendekati pH fisiologis,
konsentrasi obat yang tak terionisasi lebih besar sehingga lebih mudah menembus
membran sel saraf, sehingga onset lebih cepat. Disamping itu, pH dari jaringan
juga berpengaruh terhadap onset anestesi lokal, seperti pada infeksi lokal pH
jaringan lebih asam, shingga onset anestesi lokal akan lebih lambat. Penambahan
epinephrine akan membuat pH larutan lebih asam (karena molekul epinephrine
lebih stabil pada suasana asam) sehingga onset maupun durasi dari anestesi lokal
lebih lama. Sedangkan penambahan sodium bikarbonat (alkalinisasi 1 ml 8,4%
sodium bikarbonate per 10 ml 1% lidokain) akan meningkatkan pH larutan

anestesi lokal sehingga onset dari lokal anestesi lebih cepat dan durasinya lebih
lama.
Durasi dari anestesi lokal sangat tergantung pada kelarutan obat dalam
lemak. Semakin besar kelarutannya dalam lemak semakin lama durasinya oleh
karena pembersihan oleh aliran darah menurun. Kelarutannya dalam lemak juga
menunjukkan kekuatan ikatan antara obat dengan protein plasma (alpa 1glikoprotein dan albumin). Derajat ikatan obat dengan protein plasma berbanding
lurus dengan kecepatan eliminasi dari obat.

2.1.2.2 Mekanisme Kerja Anestesia Lokal


Anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf dengan menghambat
aliran ion natrium melalui saluran natrium pada membran sel saraf (neuron).
Saluran ion natrium memiliki resptor khusus untuk molekul anestesi lokal. Pada
keadaan potensial istirahat, neuron mempertahankan potensial negatif (- 70 mV)
di dalam sel neuron dibandingkan dengan di luar sel. Pompa Na K secara aktif
mempertahankan potensial ini tetap terpelihara. Pompa aktif ini menggerakkan
natrium (Na+) keluar dari sel neuron dan membawa Kalium (K+) masuk kedalam
sel sehingga terjadi perbedaan konsentrasi ion Na+ dan K+ di dalam dan diluar sel
(Na+ lebih tinggi di ektrasel dan K+ lebih tinggi di dalam sel). Untuk pergerakan
pasif, sel neuron lebih permeabel terhadap ion K daripada ion Na sehingga
potensial listrik intraseluler lebih negatif dari ektrasel. Dengan adanya rangsangan
potensial listrik pada neuron maka akan terjadilah fase depolarisasi sepanjang

akson dan aktivasi kanal natrium di membran sel yang menyebabkan refluk ion
natrium ke dalam sel sehingga terjadi perubahan potensial membran dari -70 mV
menjadi +35 mV. Molekul anestesi lokal masuk kedalam sel dan menutup kanal
ion Na dari dalam sel, sehingga potensial aksi dicegah dan transmisi impuls
sepanjang saraf tidak terjadi. (Rathmell, 2004)
Tidak semua serat-serat saraf dapat dipengaruhi oleh obat anestesi lokal,
oleh karena sensitivitasnya sangat ditentukan oleh diameter dari akson, ada
tidaknya myelin sehingga pada penggunaan blok spinal urutan saraf yang terblok
adalah autonom, sensorik dan motorik. Sebalikannya pemulihannya dimulai dari
saraf motorik, sensorik, terakhir adalah autonom. (Morgan, 2006)

2.1.3

Konsentrasi Minimum (Cm)


Konsentrasi minimum dari obat anestesi lokal yang dibutuhkan untuk

memblok konduksi saraf disebut dengan Cm (Concentration minimum), analog


dengan Minimum Alveolar Concentration (MAC) untuk zat anestetik inhalasi. Cm
dipengaruhi oleh diameter dari serat saraf, semakin besar serat saraf dibutuhkan
konsentrasi obat yang makin besar pula. Meningkatnya pH atau frekuensi
rangsangan saraf akan menurunkan Cm. Sistem saraf motorik memiliki Cm dua
kali dari sistem saraf sensori, hal ini menyebabkan anestesia sensorik tidak selalu
disertai paralisis otot skeletal. Meskipun tidak ada perbedaan Cm, dosis obat
anestetik lokal akan lebih sedikit dibutuhkan pada regional subarakhnoid dari

pada epidural oleh karena seraf saraf dalam subarakhnoid lebih sedikit lapisan
proteksinya. (Stoelting, 2006)
2.1.4

Farmakokinetik
Anestesi lokal adalah basa lemah dengan pKa sedikit diatas pH fisiologi.

Pada pH fisiologis kurang dari 50% obat anestesi lokal terlarut dalam lemak dan
tak mengalami ionisasi. Anestesi lokal yang memiliki pKa mendekati pH
fisiologis memiliki onset yang lebih cepat karena rasio obat yang terionisasi dan
dengan yang tak terionisasi optimal. Disamping itu efek vasodilator dari obat
anestesi lokal itu sendiri, dimana efek lidokain lebih besar daripada mepivacaine
mempercepat absorbsi sistemik dari obat sehingga mempercepat durasi dari obat
tersebut. Sedangkan bupivacaine dan etidocaine memiliki efek vasodilator
intrinsik

yang

serupa,

namun

konsentrasi

plasma

bupivacaine

setelah

pemberiannya pada ruang epidural lebih tinggi daripada etidocaine. (Stoelting,


2006)

2.1.4.1 Absorbsi
Absorbsi anestesi lokal dari tempat injeksi ke dalam sirkulasi darah
dipengaruhi oleh beberapa hal: (Stoelting, 2006)

Tempat injeksi dan dosis

Penggunaan vasokonstriktor

Karakteristik/ farmakologi dari obat tersebut

Membran mukosa (konjungtiva, mukosa trakea) memiliki barier yang lemah


terhadap anestesi lokal dibandingkan dengan kulit yang intak sehingga pemberian
melalui mukosa akan memberikan efek yang lebih cepat. Pada infiltrasi yang
dalam (3- 5 mm) akan memberikan durasi + 1-2 jam. Absorbsi secara sistemik
tergantung dari proporsi vaskular dari jaringan (intravena > trakeal > intercotal >
caudal > paraservikal > epidural > pleksus brachialis > skiatik > subcutan ).
Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati sawar darah
otak. Kadarnya dalam plasma fetus dapat mencapai 60 % kadar dalam darah ibu.
Penggunaan

vasokonstriktor

(epinephrine

1:200.000)

menimbulkan

vasokonstriksi pada tempat injeksi sehingga jumlah obat yang diabsobsi ke


sirkulasi menurun sedangkan pengambilan oleh sel saraf akan meningkat
sehingga meningkatkan kualitas analgesia dan durasi dari blok saraf serta
mengurangi efek samping (semakin banyak yang diabsorbsi semakin besar resiko
keracunan obat). Disamping itu epinephrine juga dapat memperpanjang durasi
analgesia dengan perangsangan reseptor Alpha-2 adrenergik. Penambahan
epinephrine pada lidokain akan memperpanjang durasi dari lidokain sampai 50%.
Sedangkan penambahan epinephrine pada bupivacaine kurang bermanfaat karena
durasinya tergantung pada ikatannya dengan protein (protein binding). Sifat dari
obat itu sendiri juga berpengaruh terhadap absorbsi obat tersebut. Lidokain yang
memiliki efek vasodilatasi akan lebih cepat diabsorbsi sehingga durasinya lebih
pendek. (Morgan, 2006)

2.1.4.2 Distribusi
Distribusi tergantung ambilan dari masing-masing organ, dimana ambilan organ
ditentukan oleh: (Morgan, 2006)
Perfusi jaringan, pada organ yang memiliki perfusi yang tinggi (otak, paru, hati,
ginjal dan jantung) obat ini akan cepat didistribusikan. Paru-paru mengekstraksi
sebagian besar dari anestesi lokal. Kondisi ini menyebabkan ambang toksisitas
anestesi lokal lebih rendah bila disuntikkan intra-arterial dari pada intra-vena.

Koefisien partial dari jaringan dan darah, kekuatan ikatan protein plasma akan
mempertahankan anestesi lokal didalam darah, sedangkan kelarutannya dalam
lemak akan memudahkan pengambilan oleh organ.

2.1.4.3 Metabolisme dan Ekskresi


Metabolisme dan ekskresi anestesi lokal tergantung dari struktur molekul
yang menyusunnya. (Morgan, 2006)
Ester, golongan ini dimetabolisme terutama oleh pseudocholinesterase
(plasma cholinesterase atau butyrylcholinesterase) dengan reaksi hidrolisis.
Reaksi ini sangat cepat dan metabolitnya mudah larut dalam air sehingga dapat
diekskresikan

lewat

urin.

Metabolisme

procaine

dan

benzocaine

akan

menghasilkan p-aminobenzoic acid (PABA) yang berperan dalam timbulnya


reaksi alergi pada penggunaan anestetik lokal golongan ester ini.
Amide, dimetabolisme oleh enzym p-450 mikrosomal di dalam hati (Ndealkylation dan hydroxylation). Kecepatan dari metabolisme dari golongan ini
tergantung

pada

masing-masing

anestesi

lokal

(prilocane>

lidokain>

mepivacaine> ropivacaine> bupivacaine) tetapi secara keseluruhan lebih lambat


dari golongan ester. Menurunnya fungsi hepar (chirrosis) atau penurunan aliran
darah hepar/ portal (kongestif heart failure, vasopressor, atau bloker H2 reseptor)
akan mengurangi kecepatan metabolisme dari anestesi lokal ini, sehingga
kemungkinan toksisitas sistemik akan meningkat. Sebagai contoh, eliminasi
waktu paruh dari lidokain akan meningkat 5 kali pada pasien dengan disfungsi
hepar dibandingkan dengan pasien normal. Penurunan metabolisme lidokain oleh
hepar harus dapat diantisipasi terutama bila pasien mendapat anestesia dengan zat
volatil anestesia. (Stoelting, 2006)
Lidokain termasuk anestesi lokal golongan amide, dan di dalam hati,
lidokain mengalami dealkilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (mixed-function
oxidase) membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid, yang kemudian
dapat dimetabolisme lebih lanjut menjadi monoetilglisin dan xilidid. Kedua
metabolit monoetilglisin xilidid maupun glisin xilidid ternyata masih
memiliki efek anestetik lokal. Pada manusia 75% dari xilidid akan diekskresi
bersama urin dalam bentuk metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-anilin.
(Morgan, 2006; Stoelting, 2006)

Paru mampu mengekstraksi anestetik lokal seperti lidocaine, bupivacaine,


dan prilocaine dari sirkulasi (Jorfeldt et al., 1980). Setelah pemasukan anestetik
lokal secara cepat ke dalam sirkulasi vena, pengeluaran oleh paru akan membatasi
konsentrasi obat yang mencapai sirkulasi sistemik yang didistribusikan ke arteri
koroner dan ke sirkulasi serebral. Untuk bupivacaine, pengeluaran oleh paru
merupakan hal yang tergantung pada dosis, sehingga proses ambilan menjadi
tersaturasi secara cepat. (Stoelting, 2006)

Gambar 2.4. Metabolisme Lidokain

2.1.5

Anestesi Lokal Liposomal


Obat seperti lidokain, tetracaine dan bupivacaine telah dimasukkan ke

dalam liposome untuk memperpanjang durasi dan mengurangi toksisitas.


Liposome adalah sebuah vesikel yang berisi massa encer dan dilapisi oleh dua
lapisan pospholipid. Pospholipid ini dapat berfungsi sebagai tahanan untuk difusi
obat dari liposome, dengan efektif melepaskan obat secara perlahan sehingga

durasinya lebih panjang. Memanjangnya durasi lokal anestesi dapat dipergunakan


untuk memperpanjang analgesia pasca operatif dan penanganan nyeri kronik
dengan infiltrasi atau topikal. Tidak seperti analgesia sistemik, anestesi lokal
dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri tanpa diikuti efek samping sistemik
seperti yang ditunjukkan oleh opioid. Bupivacaine mengalami degradasi dalam
mikrokapsul yang menyebabkan analgesia sampai 96 jam setelah infiltrasi
subkutan. (Stoelting, 2006)

Tabel 2.1 Farmakologi anestetik lokal lidokain

2.1.6

Alkalinisasi Larutan Anestetik Lokal


Alkalinisasi larutan anestetik lokal memperpendek onset dari blokade

neural, memperdalam blokade sensorik dan motorik, dan meningkatkan


penyebaran blokade epidural. pH dari sediaan anestetik lokal berkisar 3,9 - 6,5
dan bila dikemas dengan epinephrine akan bersifat asam (meningkatkan asam

memperpanjang umur epinephrine). pKa dari anestetik lokal yang digunakan


secara klinis mendekati 8, sehingga hanya sebagian kecil (sekitar 3%) yang
merupakan sediaan larut dalam lemak. Alkalinisasi meningkatkan persentase
anestetik lokal sediaan larutan larut dalam lemak yang terdifusi melewati barrier
lemak seluler. Menambahkan sodium bicarbonate mempercepat onset blokade
saraf perifer dan blokade epidural selama 3-5 menit. (Stoelting, 2006)

2.1.7

Indikasi

Lidokain dipergunakan untuk menimbulkan anestesi lokal dan regional dengan


berbagai teknik: (Katzung, 2004)

Teknik topikal seperti: EMLA salep kulit, lidokain spray (mukosa).

Teknik infiltrasi seperti: injeksi perkutaneus dan anestesia regional


intravena.

Teknik blok saraf tepi seperti: blok pleksus dan intercostalis blok.

Teknik neuroaxial blok seperti: lumbar dan caudal epidural blok.

2.1.8

Farmakodinamik

2.1.8.1 Efek Lidokain Pada Sistim Organ


Efek pada berbagai sistim organ yang timbul setelah pemberian lidokain
pada prisipnya adalah sama dengan efek yang ditimbulkan oleh anestesi lokal
golongan amide lainnya. Timbulnya efek samping pada sistim organ ini

berhubungan dengan dosis dan konsentrasi obat yang berlebihan dalam plasma
(absorbsi yang cepat, obat secara langsung masuk intra vaskular). Efek samping
lainnya mungkin disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terutama terhadap obat
adjuvant, zat pengawet, antiseptik dan pH dari obat.

2.1.8.1.1 Sistem Saraf Pusat


Sistem saraf pusat sangat peka terhadap toksisitas anestesi lokal sehingga
gejala yang timbul dapat dipakai sebagai pertanda overdosis terutama pada pasien
sadar. Kelebihan dosis atau masuknya anestesi lokal secara langsung ke
intravaskuler akan memberikan gejala awal berupa mati rasa pada bibir,
kesemutan pada lidah, dan pusing. Gejala eksitasi sistem saraf pusat yang ditandai
dengan gejala-gejala: gelisah, agitasi, ketakutan, gembira yang berlebihan
biasanya mendahului gejala depresi yaitu: pusing, mengantuk, tinnitus,
penglihatan kabur (diplopia), mual-muntah, menurunnya sensitivitas, gemetar,
kejang, tidak sadar, depresi pusat nafas dan cardiac arrest. Kejang tonik-klonik
biasanya didahului oleh twitching dari otot rangka. Pemberian benzodiazepine dan
hiperventilasi akan menurunkan aliran darah cerebral dan meningkatkan ambang
rangsang kejang oleh anestesi lokal. Disamping itu, pemberian thiopental ( 1-2
mg/kgbb) dapat menghentikan kejang cepat, tetapi ventilasi dan oksigenasi harus
adekuat. Lidokain intravena (dosis 1,5 mg/kgBB) akan menurunkan aliran darah
otak dan mencegah meningkatnya tekanan intrakranial yang sering terjadi pada
saat melakukan tindakan intubasi.

Dibandingkan dengan bupivacaine, lidokain lebih potensial menimbulkan


neurotoksisitas terutama pada konsentrasi yang tinggi dan kontak yang relative
lama. Lidokain dengan konsentrasi 5% (hiperbarik) dikatakan berhungan dengan
kejadian cauda equine syndrome pada pemberian secara kontinyu. Disamping itu
penggunaan jarum yang relatif kecil (25 32 G) juga berperan, karena akan
membatasi kecepatan kita dalam menyuntikkan obat, sehingga terjadi pooling
obat hanya pada daerah suntikan.
Transient neurogical symptoms yang ditandai dengan kesemutan, rasa
terbakar dan nyeri pada ektremitas bawah menjalar sampai ke pantat, sering
terjadi pada spinal anestesia (single shot). Gejala yang timbul adalah sebagai
akibat dari perangsangan saraf pada radik dorsalis, biasanya sembuh sendiri pada
hari ke 3 7. (Morgan, 2006; Stoelting, 2006)

2.1.8.1.2 Sistem Kardiovaskuler


Secara umum semua obat anestesi lokal (bupivacaine >lidokain) menekan
automatisitas dari otot jantung (spontaneous phase 4 depolarisasi) dan
mengurangi durasi dari fase refrakter. Kontraktilitas dan konduksi dari otot
jantung juga ditekan oleh obat anestesi lokal pada konsentrasi yang lebih besar.
Efek ini timbul karena perubahan pada membran sel otot jantung (sodium chanel
blockade) dan penghambatan sistem saraf otonom. Kombinasi ini akan
menimbulkan bradikardi, blok jantung, hipotensi dan akhirnya gagal jantung.

Stimulasi yang singkat pada sistem kardiovaskuler (takikardi, hipertensi) mungkin


terjadi lebih awal sebagai akibat eksitasi pada sistem saraf pusat.
Konsentrasi lidokain yang rendah berguna untuk menangani beberapa tipe
dari ventricular arrytmia. Kontraktilitas otot jantung dan tekanan darah arteri
tidak dipengaruhi oleh anestesi lokal bila diberikan dengan dosis yang tepat
(intravena).
Hipertensi yang terjadi pada saat laryngoskopi-intubasi dapat dicegah
dengan pemberian lidokain 1,5 mg/kgBB intravena 1-3 menit sebelumnya. Injeksi
bupivacaine intravaskuler yang tidak diharapkan dapat terjadi pada saat anestesi
regional. Hal ini dapat menimbulkan reaksi kardiotoksik yang berat (arrhythmia
yang mengancam nyawa; ventricular takikardi dan fibrilasi). Kehamilan,
hipoksemia dan asidosis respiratorik merupakan faktor predisposisi untuk
terjadinya efek samping. Untuk menghindari hal ini aspirasi terlebih dahulu
sebelum memberikan obat injeksi harus dilakukan. (Morgan, 2006; Stoelting,
2006; Rathmell, 2004)
2.1.8.1.3 Sistem Respirasi
Lidokain menurunkan respon ventilasi terhadap penurunan tekanan
oksigen (hypoxic drive). Apnea dapat terjadi karena paralisis dari nervus
phrenikus dan intercostae atau depresi pada pusat nafas akibat kontak langsung
dari obat anestesi lokal. Anestesi lokal menimbulkan relaksasi otot polos pada
bronchus, sehingga pemberian lidokain 2% 1,5 mg/kgBB dapat mencegah refleks
kontraksi bronkus pada saat melakukan laryngoskopi-intubasi.

2.1.8.1.4 Alergi
Reaksi alergi biasanya berupa lesi kulit, urtikaria, edema atau reaksi
anafilaktoid. Reaksi alergi muncul tidak hanya karena sensitivitas terhadap
anestesi lokal tetapi dapat juga ditimbulkan oleh bahan pengawet obat tersebut
(methylparaben).

2.1.9

Respon inflamasi
Inflamasi akut merupakan respon khas imunitas non-spesifik yaitu berupa

respon cepat terhadap kerusakan sel, berlangsung cepat (beberapa jam-hari) dan
dipacu oleh berbagai stimulan seperti benda asing yang masuk tubuh, invasi
mikroorganisme, trauma, bahan kimiawi yang berbahaya, faktor fisik dan alergi.
Tujuan inflamasi akut adalah untuk me-eradikasi bahan atau stimulan yang
memacu respon awal. Pada beberapa keadaan, eradikasi tidak efektif atau tidak
lengkap sehingga menimbulkan fase inflamasi kronis. (Karnen, 2012).
Pada umumnya respon inflamasi akut menunjukkan awitan cepat dan
berlangsung singkat. Inflamasi akut biasanya disertai reaksi sistemik yang disebut
respon fase akut yang ditandai oleh perubahan cepat kadar beberapa protein
plasma. Reaksi dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak
terjadinya vasodilatasi, kebocoran mikrovaskular dengan eksudasi cairan dan
protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Reaksi inflamasi diawali dengan

pelepasan mediator vasoaktif dari sel mast (histamin, leukotrien), juga pelepasan
dari platelet dan komponen plasma (bradikinin), menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vaskular yang selanjutnya memicu timbulnya tanda
inflamasi klasik yaitu kemerahan (rubor), panas (calor), edema (tumor) dan nyeri
(dolor) yang timbul akibat interaksi mediator inflamasi dengan sistem sensorik.
(Karnen, 2012)
Proses inflamasi lokal dapat memicu respon sistemik, disebut dengan
reaksi fase akut dimana terjadi peningkatan protein fase akut (C-reactive protein,
complement factor C3, fibrinogen dan serum albumin), diikuti dengan aktivasi
beberapa sistem mediator (sistem kinin, sistem komplement, mediator lipid dan
sitokin). Pada pembedahan, sitokin memiliki peran penting dalam meregulasi
respon inflamasi. Pelepasan sitokin lokal (interleukin-1, IL-8, interleukin-6 dan
tumor necrosis factor (TNF) mengatur respon inflamasi pada area kerusakan
jaringan dengan cara menginduksi kemotaksis netrofil ke jaringan inflamasi dan
menstimulasi proliferasi limfosit untuk selanjutnya menyebabkan pelepasan
sitokin (Hollman et al, 2000).

Dalam rangkaian stress response, selain perubahan respon metabolik


tubuh akibat pelepasan hormon katabolik, juga terjadi perubahan fungsi imunologi
yang berperan meregulasi luasnya reaksi inflamasi. Pada fase akut, kerusakan
jaringan memicu pelepasan mediator inflamasi seperti sitokin, peningkatan jumlah
leukosit netrofil dan proliferasi limfosit. Sitokin dilepaskan oleh leukosit,
fibroblas dan sel endotelial, sebagai respon awal terhadap kerusakan jaringan serta
berperan penting dalam proses inflamasi dan imunitas. (Desborough, 2000;
Karnen, 2012)

Gambar 2.5. Peran respon inflamasi lokal.


Mediator tersebut memiliki peran untuk mencegah terjadinya kerusakan
jaringan berlanjut. Tapi proses inflamasi dapat berlanjut dan memperberat
kerusakan jaringan akibat pelepasan mediator yang kontinyu. Pada kondisi
dimana proses inflamasi lokal tidak dapat me-eradikasi kerusakan jaringan yang

terjadi maka proses inflamasi berlanjut menjadi sistemik. Keseluruhan respon


sistemik ini merupakan mekanisme proteksi terhadap luasnya kerusakan jaringan.
Selain itu, respon inflamasi berperan untuk memperbaiki fungsi dan struktur
jaringan rusak. Namun, stimulasi berlebihan terhadap kaskade inflamasi mungkin
memperberat kerusakan jaringan. Aktivitas berlebihan sitokin pro-inflamasi dan
anti-inflamasi memperberat kerusakan jaringan dan atau menekan fungsi imun.
Sel imun merupakan sumber produksi sitokin dan produk yang dihasilkan
memiliki efek autokrin serta aktivitas sistemik. Kemampuan untuk mengubah
fungsi sel imun melalui peranan hormonal ekstraseluler atau dengan manipulasi
mekanisme signaling intraseluler merupakan strategi potensial untuk mengatur
respon inflamasi sitokin selama injuri. (Lin E et al, 2006; Karnen, 2012)

2.1.9.1 Efek Obat Anestesi Lokal Pada Proses Inflamasi


Beberapa studi menyatakan bahwa obat anestesi lokal mencegah
terjadinya stimulasi berlebihan terhadap respon inflamasi. Obat anestesi lokal
memodulasi respon inflamasi in vivo sehingga mengurangi proses inflamasi tanpa
meningkatkan kecenderungan terjadinya infeksi dan mencegah kejadian trombotik
postoperatif tanpa meningkatkan risiko perdarahan. Hollman dkk (2000)
memaparkan beberapa efek alternatif anestesi lokal adalah pengaruhnya pada
respon

antiinflamasi

dan

terutama

pada

polimormonuklear (PMN), makrofag dan monosit).

sel

inflamasi

(granulosit

Pelepasan sitokin akibat proses aktivasi netrofil terganggu pada pemberian


lidokain. Hal ini menyebabkan berkurangnya kerusakan seluler akibat sitokin
melalui mekanisme yang melibatkan kanal kalium bergantung ATP.
Lidokain memiliki efek analgesia, antihiperalgesia dan antiinflamasi dan
mampu mengurangi kebutuhan analgesia intra dan postoperatif dan waktu lama
rawat. Efek ini lebih menonjol pada pemberian secara intravena selama periode
intraoperatif dan dapat dilanjutkan selama beberapa hari atau minggu disesuaikan
dengan waktu infus dan waktu paruh plasma, mengindikasikan bahwa obat ini
memiliki target lain dan bukan hanya kanal natrium tergantung voltage dan diduga
mencegah hipersensitivitas sistem saraf pusat, perifer atau keduanya. (Stoelting,
2006)
Lidokain mempengaruhi beberapa proses inflamasi melalui G proteincoupled receptor (GPCR), seperti sensitisasi netrofil dan degranulasi lysosomal,
produksi radikal bebas dan sekresi sitokin oleh sel makrofag dan sel glial.
(Watkins et al, 2001)

2.2

PIPA ENDOTRAKEA

2.2.1 Cuff pipa endotrakea


Fungsi utama cuff PET adalah mengamankan jalan nafas sehingga dapat
mencegah aspirasi dan mencegah kebocoran udara nafas saat dilakukan tekanan
positif, hal ini dapat terjadi setelah cuff dikembangkan sampai tidak terdengar lagi
suara nafas tetapi pengembangan ini tidak boleh berlebihan karena dapat
memberikan tekanan yang besar pada mukosa trakea terutama pada dinding depan

karena terdapat tulang rawan yang kaku, sedangkan pada bagian belakang lebih
bersifat elastis. Pada posisi ekstensi, tekanan pada bagian posterior lebih besar
disebabkan karena dorongan dari tulang vertebra servikal. (Black AM, 1981;
Khine HH, 1997; Brimacombe, 1999)
Pada tahun 1960 PET dengan cuff terbuat dari bahan karet berwarna
merah dan termasuk pada kelompok High Pressure - Low Volume (HPLV). Pada
jaman modern ini HPLV dengan cuff terbuat dari bahan silikon nondisposable.
Sedangkan cuff High Volume Low Pressure (HVLP) terbuat dari bahan
polyvinyl chloride (PVC) atau polyurethane. Cuff HPLV memiliki diameter lebih
kecil pada ujungnya dan residual volume lebih kecil. Untuk menimbulkan sealing
trakea memerlukan tekanan intracuff yang tinggi untuk mengatasi low compliance
dari cuff tersebut. Cuff membuat area kontak yang sedikit dengan trakea. Hal
yang diperhatikan pada penggunaan cuff tipe ini dalam penggunaannya yang lama
kemungkinan terjadinya iskemik pada mukosa trakea. Keuntungan yang diberikan
yaitureusability sehingga biaya akhir lebih murah. (Spiegel, 2010)
Hasil studi oleh McHardy (1999) dikemukakan pada pemakaian PET
dengan jenis cuff HPLV yang diinflasikan lebih dari 30 mmHg (39 cmH2O)
menyebabkan mukosa trakea yang kontak dengan cuff yaitu yang menutupi
kartilago trakea menjadi iskemia. Keadaan ini diperkirakan memberikan
kontribusi terhadap kejadian stenosis trakea dan trakeomalasia.
Sedangkan pada penggunaan cuff High Volume Low Pressure tidak
menyebabkan aliran darah pada mukosa trakea terhenti selama tekanan intracuff

berada pada kisaran 80-120 mmHg. Hal ini berkaitan karena tekanan intracuff
tersebut dapat didistribusikan lebih luas pada mukosa yang kontak dengan cuff.
Namun demikian tekanan intracuff yang direkomendasikan sebaiknya <20 mmHg
(26 cmH2O). Dari data disebutkan penggunaan PET yang terbuat dari PVC
dengan cuff HVLP menurunkan insidensi dan severity nyeri tenggorokan bila
digunakan ukuran yang adekuat dengan pasien. (McHardy, 1999; Ali,2009)
Besarnya tekanan cuff ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya: volume
yang diinflasikan, diameter cuff relatif terhadap trakea, kelenturan trakea dan cuff,
dan tekanan intra toraks termasuk tekanan jalan nafas. (Larson CP, 2002)
Tekanan cuff yang cukup untuk mencegah kebocoran udara nafas dari
berbagai jenis pipa endotrakea adalah antara 20-25 cmH2O dibawah tekanan
perfusi mukosa trakea 25-30 cmH2O. Tekanan cuff dapat meningkat selama
anestesi umum sebagai akibat dari difusi N2O dari trakea ke dalam cuff pipa
endotrakea (Brimacombe, 1999; Stone DJ, 2000)

2.2.2

Difusi lidokain melintasi cuff pipa endotrakea


Cuff pipa endotrakea umumnya terbuat dari Polyviyl chloride (PVC)

bersifat hidrofobik terhadap sebagian besar substansi kimia. Oleh karena itu,
mekanisme difusi lidokain melintasi membran cuff pipa endotrakea kemungkinan
mirip dengan yang terjadi di dalam ruang epidural. (Navarro, 2007)

Cuff PET memiliki lapisan filtrasi pada permukaannya berfungsi untuk


menyaring sekresi mukosa sebelum memasuki intracuff dan paru-paru. Lapisan
filtrasi ini adalah ukuran diameter masing-masing celah pori pada membran cuff
PET. Karakteristik lapisan filtrasi ini berupa pori-pori berukuran kecil untuk
menyaring mikroba yaitu dalam skala mikron lebih kecil daripada mikroba yang
umumnya berukuran antara 0,2-20 mikron. Rata-rata ukuran mikroba pada kisaran
3-5 mikron, contoh mikroba tersebut antara lain: Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus, Enterobacter spp, Haemophilus influenza, Streptococcus
spp, Candida albicans, MRSA, dan virus lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka
lapisan filtrasi seharusnya berukuran lebih kecil dari mikroba tersebut yaitu 2
mikron, walapun idealnya memiliki ukuran yang lebih kecil lagi yaitu 0,2 mikron
pada rentang terluas. Lapisan filtrasi ini berada pada bagian yang kontak dengan
mukosa trakea yang memproduksi sekret, selanjutnya disaring sebelum akhirnya
masuk ke trakea dan paru-paru. Pori-pori lapisan filtrasi yang berukuran kecil
mencegah partikel yang lebih besar dari sekret mukosa namun tetap
memungkinkan liquid phase untuk berdifusi.
Pilot baloon dapat bisa diinflasikan larutan yang selanjutnya mengalami
proses pada cuff yang kontak dengan mukosa trakea. Solution golongan amide
monomer seperti lidokain dapat berdifusi melalui membran cuff.
Anestesia lokal pada membran saraf berada dalam 2 bentuk: basa bebas
non ionisasi dan kation terionisasi. Jumlah tiap bentuk tergantung dari pH larutan
dan pKa obat, sesuai dengan persamaan Henderson-Hasselbach:

Log

Kation terionisasi = pKa pH


Basa bebas non ionisasi

Peningkatan fraksi non-ionisasi anestesia lokal menambah kemampuan


penetrasi ke dalam saraf. Hal tersebut dapat diasumsikan bahwa meningkatkan
fraksi non-ionisasi meningkatkan kecepatan difusi anestesi lokal melintasi
membran cuff pipa endotrakea. Pemberian sodium bikarbonat meningkatkan pH
larutan dan meningkatkan persentase bentuk non-ionisasi. (Sconzo JM, 1990)

Tabel 2.2 Tabel perbandingan pH Lidokain dengan berbagai volume dan


konsentrasi sodium bicarbonate (Estebe, 2005)

2.3

NYERI

2.3.1

Definisi Nyeri
The

International

Association

for

the

Study

of

Pain

(IASP),

mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan
(Morgan, 2006). Berdasarkan definisi tersebut, nyeri merupakan suatu gabungan
dari komponen obyektif (aspek fisiologik sensorik nyeri) dan komponen subyektif
(aspek emosional dan psikologis). Rasa nyeri memberikan informasi dengan

stimulus noksius yang memungkinkan tubuh merespons terhadap kerusakan


jaringan yang terjadi. Rasa nyeri ini bersifat individualisme sehingga sulit dinilai
secara obyektif dan harus dilakukan observasi serta penilaian secara rutin dengan
menggunakan alat bantu. (Steeds, 2009).
Setiap kali jaringan terluka oleh trauma bedah, bermacam mediator kimia
akan dilepaskan dari sel-sel yang meradang dan rusak. Nyeri akut disebabkan oleh
stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau
viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan stres neuroendokrin yang
sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf
otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan
(Stoelting 2006)

2.3.2

Fisiologi Nyeri
Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan

informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri
tersebut dinamakan nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi
perifer dari reseptor khusus pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral
pada otak. Sistem nyeri mempunyai beberapa komponen (Avidan 2003) :
a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer,
mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.
b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus
noxious ke CNS.

c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan


antara serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks
hubungan antara lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus
desenden inhibitor dari otak.
d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus)
menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada CNS.
e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat
relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis.
f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen
afektif nyeri, ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan
respon motoris (termasuk withdrawal respon).
g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang
pada level medulla spinalis.

2.3.3

Patofisiologi Nyeri
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti

pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan


mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat
menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat
algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit
eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator ini dapat menimbulkan efek
melalui mekanisme spesifik (Stoelting dan Hillier, 2006; Morgan dkk, 2006).

Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai


dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis yang disebut nosisepsi. Ada
4 proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu (Stoelting dan Hillier 2006 ;
Morgan dkk, 2006) :
2.3.3.1 Transduksi
Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik
pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin,
bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain
akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri
merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent A delta dan C.
Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam
pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A delta dan C adalah
serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari
perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan
reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.

2.3.3.2 Transmisi
Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut
yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri
diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis.
Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai
perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai diameter lebih besar

dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30
m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla
spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel
neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat
aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di
kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua
anterior medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan
menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek
yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior
medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah
cedera dengan segala akibatnya.

2.3.3.3 Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT)
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan
oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis
medula

spinalis

tidak

semuanya

diteruskan

ke

sentral

lewat

traktus

spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk
dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi
eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih
dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek

sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel
nyeri.

2.3.3.4 Persepsi
Impuls yang diteruskan ke korteks sensorik akan mengalami proses yang
sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya
menghasilkan sensibel nyeri.

2.3.4

Penilaian Nyeri
Nyeri merupakan suatu keadaan yang multidimensional sebagai akibat dari

kombinasi rangsang nyeri atau nociception dan kerusakan jaringan, pengalaman


nyeri sebelumnya, kepercayaan pasien, budaya, dan kepribadian pasien. Rasa
nyeri ini bersifat individualisme sehingga sulit dinilai secara obyektif dan harus
dilakukan observasi serta penilaian rutin dengan menggunakan alat bantu. Hal ini
menjelaskan mengapa pasien dengan tingkat stimulus nyeri dan kerusakan
jaringan yang sama akan merasakan pengalaman nyeri dengan sangat berbeda.
Oleh karena tidak terdapat suatu alat obyektif, maka kita harus mempercayai
laporan pasien tentang tingkat nyeri yang mereka alami (Ballantyne, 2008).

Gambar 2.6. Patofisiologi Nyeri (Dikutip dari Salerno, 2006).


2.3.4.1 Instrumen penilaian nyeri
Menurut JCAHO (Joint Commision on Accreditation of Healthcare
Organizations) pada tahun 2001, penilaian nyeri merupakan tanda vital yang
kelima yang harus kita nilai pada setiap pasien. Penilaian nyeri yang teratur dan
berulang harus dilakukan untuk menilai keadekuatan terapi analgesia yang sedang

berjalan. Frekuensi penilaian nyeri tergantung dari durasi dan beratnya nyeri,
kebutuhan serta respon pasien serta jenis obat dan intervensi yang digunakan.
Penilaian rasa nyeri pada pasien pascaoperasi harus meliputi penilaian pada
kondisi statik (saat istirahat, tidak bergerak) dan pada kondisi dinamis (saat
bergerak, duduk, batuk). Secara garis besar, penilaian nyeri dibagi menjadi dua,
yaitu penilaian uni dimensional dan penilaian multi dimensional (Cousin, 2005).
Penilaian unidimensional merupakan skala untuk menilai intensitas nyeri
ataupun tingkat berkurangnya nyeri setelah suatu intervensi obat analgesia. Dalam
menilai respon terhadap suatu terapi biasanya dipakai skala penurunan nyeri dan
bukan intensitas nyerinya (Cousin, 2005). Skala kategori menggunakan kata-kata
untuk mendeskripsikan intensitas nyeri atau derajat penurunan nyeri. Verbal
descriptive scale (VDS) biasanya menggunakan kata tidak nyeri, nyeri ringan,
nyeri sedang, nyeri berat atau sangat nyeri. VDS pertama kali disampaikan oleh
Keele pada tahun 1948. VDS lebih sulit digunakan pada pasien pascaoperasi
dibandingkan dengan skala numerikal dan kurang sensitif untuk menilai hasil
terapi analgesia dibandingkan dengan VAS (Ballantyne, 2008). Skala kategori
mempunyai keuntungan karena sederhana, mudah, dan cepat dilakukan, dan
berguna pada pasien tua atau pasien dengan gangguan penglihatan. Akan tetapi
terbatasnya pilihan kategori dibandingkan dengan numerical scales membuat
skala kategori lebih sulit untuk mengetahui adanya perbedaan terhadap hasil terapi
analgesia yang diberikan (Cousin, 2005; Deloach dkk., 1998).

Gambar 2.7 Instrumen Visual Rating Scale (VRS)


Skala numerikal terdapat dalam bentuk sebagai kalimat verbal ataupun
tertulis. Skala numerikal dalam kalimat verbal dikenal sebagai numerical rating
scale (NRS), disampaikan oleh Downie pada tahun 1978, dimana pasien diminta
untuk menyatakan tingkat nyeri dalam skala numerikal, biasanya antara 0-10
dimana 0 sebagai tidak nyeri, dan 10 sebagai sangat nyeri. NRS merupakan salah
satu instrumen pengukur nyeri yang sering digunakan dalam penelitian.

Gambar 2.8 Instrumen Numerical Rating Scale (NRS)


Skala numerikal dalam bentuk tertulis dikenal sebagai VAS dan saat ini
merupakan pengukur nyeri yang paling luas digunakan dalam praktek klinis
maupun dalam penelitian. VAS berupa suatu garis lurus horizontal dengan
panjang 100 mm, pada ujung kiri ditandai dengan tidak ada nyeri sedangkan pada
ujung kanan ditandai dengan sangat nyeri, kemudian pasien diminta untuk

memberi tanda pada garis tersebut yang kemudian akan diukur jaraknya dari
sebelah kiri. Jarak tersebut dihitung dalam satuan milimeter (mm) dan
mencerminkan tingkat nyeri yang dialami pasien. Selain dalam posisi horizontal,
VAS juga dapat diposisikan vertikal dan hasilnya tetap valid. Interpretasi nilai
VAS sangat bervariasi tergantung dari definisi yang digunakan, akan tetapi
interpretasi nilai VAS yang paling banyak digunakan yaitu nilai <40 mm sebagai
nyeri ringan, 41-70 mm sebagai nyeri sedang, dan >71 mm sebagai nyeri berat.
Hasil dari penilaian VAS ini dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam
menyesuaikan dosis obat anti nyeri yang diberikan (Aubrun dkk., 2003; Bodian
dkk., 2001). Skala ini mempunyai keuntungan oleh karena sederhana, mudah dan
cepat menggunakannya, memungkinkan pasien menentukan sendiri tingkat
nyerinya dalam rentang yang cukup lebar. Akan tetapi dalam menentukan skala
ini diperlukan konsentrasi dan koordinasi yang cukup baik sehingga tidak dapat
dipergunakan pada anak-anak (Cousin, 2005). Perubahan nilai VAS juga
mempengaruhi tingkat kepuasan pasien. Penurunan nilai VAS kira-kira 10 mm
atau 15% dikatakan sebagai nyeri sedikit menurun, penurunan nilai 20-30 mm
atau 33% dianggap sebagai penurunan nyeri yang bermakna dari sudut pasien dan
penurunan VAS hingga 66% dianggap sebagai menghilangnya nyeri yang
substansial.

Gambar 2.9 Instrumen Visual Analog Scale (VAS)


Penilaian multidimensional tidak hanya menilai intensitas nyeri, tapi juga
menghasilkan informasi tentang karakteristik nyeri dan dampaknya terhadap
individu pasien. Salah satu penilaian multidimensional yang sering dipakai adalah
theMcGill Pain Questionaire (MPQ). MPQ dikembangkan oleh Melzack pada
tahun 1987 untuk memperoleh penilaian kualitatif dan kuantitatif dari nyeri yang
dirasakan oleh pasien. MPQ menghasilkan dua nilai global, yaitu pain rating
index dan intensitas nyeri terkini. MPQ terbukti sebagai penilaian nyeri yang valid
dan dapat dipercaya. Pain rating index diperoleh dari jumlah nilai dari 20
pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang mendeskripsikan segi sensoris, afektif,
dan dimensi nyeri. Intensitas nyeri terkini berupa skala nyeri dari 0-5, dimana 0 =
tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa tidak nyaman, 3 = terganggu oleh nyeri,
4 = sangat terganggu oleh nyeri, 5 = sangat tersiksa oleh nyeri.

2.3.5

Nyeri Tenggorokan Pasca Anestesi Umum Pipa Endotrakea


Nyeri tenggorokan pasca anestesi umum dengan pemasangan pipa

endotrakea mencapai 90% kasus dan biasanya merupakan keluhan utama yang

berkaitan dengan airway selain keluhan lainnya seperti dysphagia dan hoarseness.
Beberapa keadaan yang dipertimbangkan sebagai etiologi nyeri tenggorokan
tersebut meliputi: trauma intubasi, dehidrasi mukosa dan edema pharyngeal
airways. Faktor lain yang diperkirakan berpengaruh antara lan: teknik intubasi,
teknik suctioning, ukuran PET, jenis PET, contour cuff, tekanan cuff PET
terhadap mukosa trakea. (Ali N.P, 2009; Porter, 1999; Edomwonyi, 2006)
Ukuran PET sebagai faktor penting yang berperan terhadap nyeri
tenggorokan. Dari penelitian diketahui penggunaan PET ukuran kecil mengurangi
insidensi nyeri tenggorokan, hal ini disebabkan berkurangnya tekanan yang
ditimbulkan oleh PET terhadap mukosa trakea.(Edomwonyi, 2006)
Meskipun mekanisme patofisiologi nyeri tenggorokan yang pasti belum
dapat dijelaskan, diperkirakan kerusakan mukosa yang berkaitan dengan cuff PET
menjadi faktor penting terhadap morbiditas trakea. Penurunan perfusi mukosa
trakea terjadi bila tekanan cuff melebihi 30 cmH2O, hal ini diduga sebagai tahap
awal dari perkembangan kerusakan mukosa trakea. Penggunaan nitrous oxida
(N2O) dalam balance anesthesia juga memberikan peran karena N2O yang dapat
berdifusi melalui membran cuff PET. Kekurangan dalam mengontrol tekanan
intracuff selama periode perioperatif juga berperan terhadap tekanan yang
berlebihan pada mukosa trakea. (Combes, 2001)
Beberapa cara mengatasi kenaikan tekanan yang berlebihan dalam cuff
pipa endotrakea adalah dengan beberapa cara: dikempiskan secara periodik atau
menyesuaikan kembali tekanan cuff, mengisi cuff dengan NaCl fisiologis atau

campuran gas anestetik, memakai pipa endotrakea yang dilengkapi dengan


pengatur tekanan pada pilot baloon. ((Larson CP, 2002)
Keuntungan dari pemberian lidokain intracuff adalah keberadaan lidokain
dalam cuff bersifat sebagai reservoir, lidokain akan terus menerus berdifusi
seiring berjalannya waktu. Sebagai anestetik lokal berefek memblok reseptor
batuk dan rapidly adapting stretch receptor (RAR) di mukosa trakea secara
kontinyu dan meningkatkan toleransi terhadap pipa endotrakea. Efek anestetik
lokal tersebut tidak menekan refleks menelan sehingga kemampuan pasien
memproteksi jalan nafas pasca ekstubasi tetap terjaga (Jaichandran, 2008; Rao,
2013).
Penilaian nyeri tenggorokan bisa menggunakan berbagai instrumen yang
bersifat numerikal maupun kategorikal. Skala numerikal dalam bentuk tertulis
dikenal sebagai VAS. Instrumen penilaian lainnya yang bersifat katagorikal
menggunakan Melzacks Present Pain Intensity Scale of McGill Pain
Questionnaire (MPQ) yang selanjutnya menghasilkan dua nilai global, yaitu pain
rating index dan intensitas nyeri terkini. Pain rating index diperoleh dari jumlah
nilai dari 20 pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang mendeskripsikan segi
sensoris, afektif, dan dimensi nyeri. Sedangkan penilaian intensitas nyeri bersifat
kategorikal dimana 0 = tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa tidak nyaman, 3
= terganggu oleh nyeri, 4 = sangat terganggu oleh nyeri, 5 = sangat tersiksa oleh
nyeri.

BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir


1. Intubasi dengan pipa endotrakea menjadi bagian yang rutin dalam
pelaksanaan anestesi umum, pipa endotrakea pada umumnya digunakan untuk
memproteksi jalan nafas atau akses jalan nafas dalam pemberian ventilasi.
Intubasi endotrakea bukan merupakan prosedur yang tanpa komplikasi.
2. Salah satu komplikasi penggunaan pipa endotrakea terjadi akibat rangsangan
iritasi dan regang pada mukosa saluran nafas yang disebabkan pipa
endotrakea maupun cuff sehingga menimbulkan respon seperti suara serak,
nyeri tenggorokan, batuk, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan laju
nadi.
3. Lidokain intravena atau topikal umumnya digunakan untuk untuk menekan
respon jalan nafas yang disebabkan intubasi endotrakea pada pasien dengan
anestesi umum. Lidokain intravena dapat menekan refleks batuk, hal ini
terjadi bila konsentrasi lidokain plasma berkisar 3 g/ ml. Untuk mencapai
hal tersebut diberikan dosis lidokain 1-2 mg/ kilogram berat badan. Namun
lidokain intravena memiliki kelemahan karena menyebabkan efek sedasi dan
pemanjangan pemulihan dari anestesia. Sedangkan secara topikal, diperlukan
dosis lidokain 100-250 mg baik diberikan melalui lubrikasi cuff pipa
endotrakea dengan lidokain gel atau spray untuk mencapai konsentrasi
lidokain plasma 1,5 g/ ml. Namun hal tersebut dihubungkan dengan

peningkatan

morbiditas

pada

penatalaksanaan

anestesi

umum

yang

disebabkan adherence (perlengketan) pipa endotrakea dengan mukosa trakea


dan berisiko menyebabkan ruptur cuff.
4. Diketahui bahwa nyeri tenggorokan disebabkan karena terjadi rangsangan
iritasi dan regang pada reseptor nyeri di trakea. Pemberian anestesi lokal
secara kontinyu untuk memblok reseptor nyeri dapat menurunkan kejadian
nyeri tenggorokan.
5. Pemberian lidokain 2% intracuff pipa endotrakea menyebabkan difusi
lidokain melalui membran cuff. Cuff pipa endotrakea berperan sebagai
reservoir untuk melepaskan anestesi lokal terhadap mukosa trakea di
sekeliling cuff.
6. Lidokain 2% intracuff pipa endotrakea menurunkan pressure cuff terhadap
mukosa trakea sehingga berperan menurunkan kejadian nyeri tenggorokan.
Peningkatan pressure cuff pada anestesi umum yang menggunakan nitrous
oksida (N2O) disebabkan absorbsi N2O ke dalam cuff, sedangkan pada
lidokain 2% intracuff terjadi counter balance disebabkan difusi lidokain 2%
melalui membran hidrofobik cuff ke dinding mukosa trakea meskipun tetap
terjadi absorbsi N2O ke dalam cuff.

3.2 Kerangka Konsep

PIPA ENDOTRAKEA

INTERNAL :
1.
2.
3.
4.
5.

EKSTERNAL :

Umur
Jenis kelamin
Berat badan
Tinggi badan
IMT

Jenis PET
Ukuran PET
Anestesi umum
Durasi pembedahan

NACL 0,9%

LIDOKAIN 2%

VOLUME CUFF

TEKANAN INTRACUFF
NYERI
TENGGOROKAN

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

3.2 Hipotesis Penelitian


Hipotesis dalam penelitian ini adalah lidokain 2% intracuff pipa endotrakea
mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar.

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1

Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah uji klinik dan alokasi subyek

penelitian dilakukan dengan randomisasi acak tersamar ganda (double blind


randomized controlled trial) yang membandingkan 2 kelompok penelitian yaitu
kelompok yang mendapat lidokain 2% intracuff dan kelompok yang mendapat
NaCl 0,9% intracuff. Rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

P1

O1

O2

O3

P2

O4

O5

O6

Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian


Keterangan:
P = populasi
S = sampel
R = randomisasi
P1 = pemberian lidokain 2% intracuff
P2 = pemberian NaCl 0,9% intracuff
O1 = penilaian VAS 1 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan
pemberian lidokain 2% intracuff

O2 = penilaian VAS 2 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan


pemberian lidokain 2% intracuff
O3 = penilaian VAS 24 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan
pemberian lidokain 2% intracuff
O4 = penilaian VAS 1 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan
pemberian NaCl 0,9% intracuff
O5 = penilaian VAS 2 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan
pemberian NaCl 0,9% intracuff
O6 = penilaian VAS 24 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan
pemberian NaCl 0,9% intracuff

4.2

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di ruang operasi RSUP Sanglah Denpasar dari

bulan November 2014 sampai dengan bulan Desember 2014.

4.3

Penentuan Sumber Data

4.3.1

Populasi Penelitian

1. Populasi target adalah pasien yang menjalani pembedahan dengan anestesi


umum pemasangan pipa endotrakea
2. Populasi terjangkau adalah pasien yang akan menjalani pembedahan dengan
anestesi umum pemasangan pipa endotrakea di ruang operasi RSUP Sanglah
Denpasar periode November 2014 sampai dengan Desember 2014.

4.3.2

Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah pasien yang akan menjalani pembedahan dengan

anestesi umum pemasangan pipa endotrakea di ruang operasi RSUP Sanglah


Denpasar periode November 2014 sampai dengan Desember 2014 yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.3.3

4.3.4

Kriteria Inklusi
1.

Pasien jenis kelamin laki- laki dan perempuan.

2.

Pasien dengan umur 18 - 60 tahun.

3.

Pasien status fisik ASA I dan ASA II

4.

Mallampati derajat I II

5.

Pasien dengan IMT normal (18-24 kg/m2).

6.

Lama operasi > 1 jam

Kriteria Eksklusi
1. Pasien yang menolak menjadi sampel penelitian.
2. Pasien yang memiliki reaksi alergi terhadap obat lidokain 2%
3. Kesulitan intubasi
4. Lama operasi < 1 jam
5. Mengalami infeksi jalan nafas atas
6. Menjalani operasi daerah kepala, mulut, dan atau leher
7. Pemasangan pipa lambung
8. Cuff pipa endotrakea bocor atau terlepas durante operasi

4.3.5

Besar Sampel

Untuk menentukan besar sampel, digunakan rumus :


(
(

dimana :
S

: estimasi standar deviasi nilai VAS pada kelompok kontrol

: nilai Z untuk tertentu (1.96 untuk tingkat kemaknaan = 0.05).

: nilai

Z untuk power (1- ) tertentu (1.282 untuk power 90%).

X1-X2 :perbedaan klinis yang dianggap bermakna antara dua kelompok


perlakuan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Estebe (2001) didapatkan
acuan nilai rata- rata Visual Analog Scale (0-100mm) adalah 2510. Perbedaan
VAS rerata yang dianggap bermakna antara dua kelompok adalah 8. Standar
deviasi yang digunakan adalah 10; dengan tingkat kesalahan tipe I, ditetapkan
sebesar 0,05 sehingga nilai Z adalah 1,96 sedangkan kesalahan tipe II,
ditetapkan sebesar 10% sehingga power adalah 90% dan nilai Z adalah 1,282;
maka didapatkan besar sampel pada masing-masing kelompok adalah 32 orang,
maka total besar sampel yang diperlukan pada penelitian ini adalah 64 orang.
(
*

4.3.6

Teknik Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik konsekutif sampling dan

dirandomisasi dengan tehnik permutted block menjadi kelompok lidokain 2%


intracuff dan kelompok NaCl 0,9% intracuff. Pasien yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi dipilih sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.

4.3.7

Alokasi sampel
Penentuan alokasi sampel yang masuk ke dalam kelompok perlakuan (A)

atau kelompok kontrol (B) dilakukan dengan metode Quickcalcs (Graphpad,


Software,Inc) dengan hasil sebagai berikut:
1

17

33

49

18

34

50

19

35

51

20

36

52

21

37

53

22

38

54

23

39

55

24

40

56

25

41

57

10

26

42

58

11

27

43

59

12

28

44

60

13

29

45

61

14

30

46

62

15

31

47

63

16

32

48

64

4.3.8. Tehnik blind


Persiapan blind obat di apotek yaitu dengan membuat cairan yang identik
untuk kedua jenis obat. Kelompok A mendapatkan lidokain 2% 5 ml intracuff,
sedangkan kelompok B mendapatkan NaCl 0,9 % dengan volume yang sama
dengan cairan pada kelompok A. Setiap pasien baru yang memenuhi kriteria
dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi. Penentuan sampel
yang mendapat intervensi dilakukan secara random menggunakan computer
generated permutted block randomization of graphpad quickcalcs software untuk
menentukan subyek penelitian masuk ke kelompok perlakuan A atau kelompok
perlakuan B. Digunakan amplop tertutup yang berisi kelompok intervensi mana
yang akan diberikan, nomor sampel, dan instruksi pelaksanaan. Pada pagi hari
sebelum operasi, seorang dokter residen anestesi pertama yang membantu
penelitian akan membuka amplop tersebut, membaca isinya, dan menyiapkan
intervensi yang diberikan sesuai instruksi dalam amplop. Kemudian dokter
residen anestesi kedua akan memberikan obat yang telah disiapkan oleh dokter
residen anestesi pertama tanpa mengetahui apa isi cairan tersebut. Kedua dokter
residen anestesi ini kemudian tidak ikut terlibat dalam evaluasi dan pengumpulan
data selanjutnya.

4.4

Variabel Penelitian
1. Variabel bebas adalah pemberian lidokain 2% intracuff dan NaCl 0,9%
intracuff.
2. Variabel tergantung adalah nyeri tenggorokan pasca anestesi umum
intubasi pipa endotrakea.
3. Variabel perancu adalah umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi
badan, indeks massa tubuh (IMT), durasi operasi.

4.5

Definisi Operasional Variabel


1. Pemberian lidokain 2% intracuff adalah pemberian lidokain 2%
volume 5 ml ke dalam cuff pipa endotrakea.
2. Pemberian NaCl 0,9% intracuff adalah pemberian NaCl 0,9% volume
5 ml ke dalam cuff pipa endotrakea.
3. Nyeri tenggorokan pasca anestesi umum intubasi pipa endotrakea
adalah nyeri yang dirasakan penderita pada tenggorokan pasca anestesi
umum intubasi pipa endotrakea. Penilaian nyeri tenggorokan
menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS). Dilakukan
pengamatan dan wawancara terhadap pasien tentang adanya nyeri
tenggorokan dengan menggunakan penggaris skala sepanjang 100 mm,
pada ujung kiri (0 mm) tertulis tidak nyeri dan pada ujung kanan (100
mm) tertulis sangat nyeri, pasien diminta memberi tanda pada
penggaris VAS tersebut tentang nyeri yang dirasakannya. Penilaian
dilakukan dalam keadaan pasien diam dan bergerak. Kemudian

dilakukan pengukuran dari sebelah kiri dan intensitas nyeri dinyatakan


dengan skala mm. Evaluasi nyeri tenggorokan dilakukan 1 jam pasca
ekstubasi, 2 jam pasca ekstubasi, dan 24 jam pasca ekstubasi.
4. Anestesi umum pemasangan pipa endotrakea adalah tindakan
melakukan anestesi dengan menggunakan obat-obat anestesi seperti:
premedikasi

midazolam

0,05

mg/

kgbb,

suplemen

analgesia

menggunakan Fentanyl dosis 2 mcg/kgbb, induksi dengan Propofol


dosis 2,5 mg/kgbb. Fasilitas intubasi dengan obat pelumpuh otot
Atrakurium dengan dosis 0,5 g/kgbb. Dilakukan laringoskopi intubasi
dengan memasang pipa endotrakea PVC merk Sumi dengan cuff High
Volume Low Pressure sesuai ukuran pasien, yaitu internal diameter
6,5 mm untuk perempuan dan 7,0 mm untuk laki-laki. Dilanjutkan
dengan maintenance inhalasi N2O : O2 (50%:50%) dan isofluran.
5. Umur adalah umur resmi pada saat akan dilakukan operasi, yang
diketahui dari tanggal lahir yang didapat dari wawancara atau dari
dokumen resmi, misalnya KTP atau SIM (tahun).
6. Jenis kelamin dilihat berdasarkan fenotip dari tanda-tanda kelamin
sekunder.
7. Berat Badan (BB) diukur dengan alat timbangan injak dalam posisi
berdiri memakai busana seminimal mungkin, dengan satuan kilogram
(kg).
8. Tinggi badan (TB) diukur dengan alat ukur tinggi badan dalam posisi
berdiri tegak tanpa alas kaki, dengan satuan meter (m).

9. Indeks masa tubuh (IMT) adalah salah satu pemeriksaan antropometri


untuk menentukan status gizi yang dinilai dengan cara membagi berat
badan dengan pangkat dua tinggi badan (IMT=BB/TB2), dengan
satuan kg/m2.
10. Status fisik ASA adalah suatu sistem penilaian status fisik pasien
praoperasi menurut klasifikasi berdasarkan American Society of
Anesthesiologists, dikatakan status fisik ASA I jika pasien tanpa
penyakit sistemik, status fisikASA II jika pasien dengan penyakit
sistemik ringan tanpa pembatasan fungsional (Morgan et al., 2006).
11. Durasi operasi adalah waktu yang dihitung mulai dari insisi kulit
sampai penutupan luka operasi.

4.6

Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan adalah:
1. Kuesioner dan data dari status pasien.
2. Penggaris pengukuran VAS dengan skala 0-10 cm.
3. Lembar monitoring VAS pasien.
4. Lembar pengumpulan data penelitian.
5. Laringoskop merk Riester
6. Pipa endotrakea PVC merk Sumi disertai cuff high volume low
pressure ukuran internal diameter 6,5; 7,5 mm.
7. Spuite 10 ml
8. Infus set dan kateter intravena ukuran 18 G

9. Midazolam 0,1%
10. Ondansentron
11. Propofol 1%
12. Atracurium
13. Ketorolac
14. Isoflurane, N2O, O2
15. NaCl 0,9%
16. Lidokain hidroklorida (Lidokain-HCl 2%)
17. Pressure cuff Mallinckrodt, Seelscherf, Germany
18. Stetoskop

4.7

Prosedur Penelitian

4.7.1

Persiapan penelitian
Penelitian ini dapat dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan

penelitian (ethical clearence) dari Komisi Etika Penelitian dari Fakultas


Kedokteran Universitas Udayana dan RSUP Sanglah Denpasar.

4.7.2

Penapisan pasien
Seleksi dilakukan pada saat kunjungan pra-anestesia pada pasien yang

akan menjalani pembedahan dengan tehnik anestesi umum pemasangan


pipaendotrakea. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi ditetapkan
sebagai sampel. Setelah mendapatkan penjelasan dan pasien setuju dilanjutkan
dengan menandatangani informed consent.

4.7.3

Pelaksanaan penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan dalam tahapan-tahapan yang ditentukan

sebelumnya dengan harapan perlakuan lain yang tidak diteliti diberikan sama ke
semua subyek.
4.7.3.1 Cara kerja
Cara kerja dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data adalah
sebagai berikut :
1.

Seleksi dilakukan pada pasien yang akan menjalani prosedur


pembedahan dengan tehnik anestesi umum pemasangan pipa
endotrakea di ruang operasi RSUP Sanglah Denpasar berdasarkan
kriteria inklusi. Selanjutnya diberi penjelasan mengenai penelitian ini
dan dimohon kesediaannya untuk berpartisipasi pada penelitian.

2.

Setelah dijelaskan, bila pasien setuju maka surat persetujuan tindakan


dan surat persetujuan berpartisipasi dalam penelitian ditandatangani.

3.

Sampai di ruang persiapan kamar operasi dilakukan pencatatan


identitas kembali, kemudian dilakukan pemasangan infus dengan
cairan kristaloid, kecepatan pemberian sesuai kebutuhan cairan
pemeliharaan sesuai berat badan pasien.

4.

Setelah itu pasien dibawa ke ruang operasi, kemudian dipindahkan ke


meja operasi.

5.

Pasang monitor tekanan darah non invasif, EKG, pulse oxymetry,


dilakukan pencatatan hasil.

6.

Pasien diberikan premedikasi midazolam 0,05 mg/kgbb, ondansentron


0,15 mg/kgbb, suplemen analgesia dengan fentanyl dosis 2 mcg/kgbb
dan induksi propofol 2,5 mg/kgbb serta fasilitas intubasi dengan obat
pelumpuh otot atrakurium dosis 0,5 mg/kgbb kemudian dilakukan
laringoskopi dan intubasi pemasangan pipa endotrakea sesuai ukuran.
Selanjutnya dilakukan pengembangan cuff: kelompok A inflasi cuff
menggunakan lidokain 2% volume 5 ml. Kelompok B inflasi cuff
menggunakan NaCl 0,9% 5 ml. Masing- masing kelompok telah
disiapkan sebelumnya dalam sebuah spuite10 ml.

7.

Pengukuran tekanan dalam cuff dengan menggunakan instrumen


Pressure cuff Mallinckrodt, Seelscherf, Germany. Tekanan awal
dalam cuff dievaluasi tidak melebihi 30 cmH2O. Bila masih terjadi
kebocoran udara, pada kelompok A ditambahkan lidokain 2% volume
1 ml, sedangkan pada kelompok B ditambahkan NaCl 0,9% volume 1
ml. Inflasi cuff pipa endotrakea tersebut dilakukan hingga tercapai
minimal occlusive volume. Pemantauan tekanan dalam cuff secara
intermittent dilakukan tiap 30 menit dan akhir anestesi, dievaluasi
tidak melebihi 30 cmH2O.

8.

Maintenance anestesia dengan N2O:O2 (50%: 50%); isofluran 1-1,5


volume%, atracurium intermitent, fentanyl intermitent, dan pemberian
NSAID ketorolac 0,5 mg/kgbb

9.

Setelah

operasi

selesai,

agen

anestesia

dihentikan,

dipertahankan nafas spontan dengan oksigen 100%

pasien

10. Ekstubasi pipa endotrakea dilakukan bila:


- Pasien bernafas spontan adekuat
- Pasien mampu mengikuti perintah verbal (membuka mata atau
tangan menggenggam) atau kecendrungan untuk mencabut pipa
endotrakea.
11. Penilaian nyeri tenggorokan dengan menggunakan instrumen Visual
Analog Scale (VAS) dengan nilai 0 100 mm. Dilakukan pengamatan
dan wawancara terhadap pasien tentang adanya nyeri tenggorokan.
Evaluasi dilakukan 1 jam pasca ekstubasi, 2 jam pasca ekstubasi, dan
24 jam pasca ekstubasi.
12. Catat efek samping yang muncul pada kedua kelompok.

4.7.4

Alur Penelitian
Pasien yang akan menjalani pembedahan dengan anestesi umum
intubasi pipa endotrakea
Kriteria inklusi
Informed consent
Populasi terjangkau
Kriteria eksklusi
ELIGIBLE SAMPEL

PREMEDIKASI
Midazolam 0,05 mg/kg
Ondansentron 0,15 mg/kgbb

INDUKSI
Propofol 2,5 mg/kg, Fentanyl 2 g/kg,
Atracurium 0,5 mg/ kg

INTUBASI PIPA ENDOTRAKEA


Ukuran PET sesuai pasien

RANDOMISASI

KELOMPOK A
Inflasi cuff dengan Lidokain 2%

KELOMPOK B
Inflasi cuff dengan NaCl 0,9%

RUMATAN
N2O,O2, Isofluran, Atracurium

Ekstubasi Pipa Endotrakea

Nyeri tenggorokan pasca ekstubasi


(Penilaian VAS)

ANALISIS STATISTIK

4.8

Pengolahan dan Penyajian Data Analisis Statistik

4.8.1

Analisis statistik deskriptif


Analisis deskriptif bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subjek

penelitian berdasarkan kelompok perlakuan. Karakteristik umur, berat badan,


tinggi badan, dan indeks massa tubuh, digambarkan dalam rerata dan simpang
baku. Sedangkan jenis kelamin, jenis pembedahandan status fisik ASA
digambarkan dalam distribusi frekuensi.
4.8.2

Uji normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui sebaran data variabel (nilai

VAS)pada masing-masing kelompok perlakuan. Uji normalitas menggunakan


Shapiro-Wilk. Data dinyatakan berdistribusi normal bila p> 0,05 dan dinyatakan
tidak berdistribusi normal bila nilai p 0,05
4.8.3

Uji homogenitas varian


Uji homogenitas varian digunakan untuk menilai apakah varian variabel

homogen pada masing-masing kelompok perlakuan.Digunakan Levenes test. Bila


nilai p> 0,05 maka varian antar kelompok perlakuan dinyatakan homogen.
Sedangkan bila nilai p 0,05 varian antar kelompok perlakuan tidak homogen.
4.8.4

Analisa perbedaan mean


Analisa perbedaan mean dipresentasikan dalam rerata simpang baku.

Karakteristik ini dianalisis dengan menggunakan uji t tidak berpasangan (uji


parametrik) jika memenuhi syarat, jika tidak memenuhi syarat digunakan uji
Mann-Whitney (uji nonparametrik).

BAB V
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian uji klinik pada pasien yang menjalani
tindakan pembedahan dengan anestesi umum di kamar operasi instalasi bedah
sentral RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dilakukan pada 64 pasien yang
memenuhi kriteria inklusi dan dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan. Kelompok
A terdiri dari 32 sampel yang mendapatkan inflasi lidokain 2% intracuff dan
kelompok B terdiri dari 32 sampel yang mendapatkan inflasi NaCl 0,9% intracuff.
Penelitian ini bertujuan mengetahui efektifitas pemberian lidokain 2% intracuff
pipa endotrakea untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi.
Tabel 5.1
Data karakteristik subjek penelitian kedua kelompok perlakuan

Variabel
Usia (tahun)
Jenis Kelamin :
Laki-laki
Perempuan
Berat badan (kg)
Tinggi badan (cm)
IMT (kg/m2)
Durasi pembedahan
(menit)

Kelompok
Lidokain 2%
( n = 32 )
37,3 11,6

Kelompok
NaCl 0,9%
( n = 32 )
38,2 13,0

8 (25,0)
24 (75,0)
55,9 7,1
160,4 6,5
21,7 1,8
166,3 80,6

11 (34,4)
21 (65,6)
59,1 8,7
162,8 8,1
22,2 1,7
177,8 68,9

p
0,762a

0,412b
0,114a
0,305b
0,142b
0,542a

Keterangan : Uji statistik : a. Uji independent sample T-test: berbeda tidak bermakna; b.
Uji Mann-Whitney: berbeda tidak bermakna

Data yang bersifat numerik seperti umur, berat badan, tinggi badan, indeks
massa tubuh, durasi pembedahan dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan
dalam bentuk rerata SD. Data bersifat kategorikal seperti jenis kelamin
dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam distribusi frekwensi dan
proporsi.
Kedua kelompok diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov Smirnov.
Untuk perbandingan karakteristik sampel dianalisis sesuai untuk analisis
komparatif numerik tidak berpasangan 2 kelompok yaitu uji t bila distribusi
datanya normal, bila distribusi data tidak normal menggunakan uji Mann
Whitney.
Berdasarkan tabel 5.1 terlihat bahwa karakteristik subjek meliputi umur,
jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, IMT, dan durasi pembedahan antar
kelompok perlakuan tidak berbeda bermakna. Berdasarkan gambaran karakteristik
variabel tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok
perlakuan sudah sebanding (comparable).
Data rerata tekanan intracuff berdasarkan kelompok perlakuan pada
pengukuran interval waktu dapat dilihat pada Tabel 5.2 berikut ini

Tabel 5.2
Perbedaan rerata tekanan intracuff berdasarkan kelompok perlakuan

Tekanan
Intracuff
Menit ke 0
Menit ke 30
Menit ke 60
Menit ke 90
Menit ke 120
Akhir
anestesia

Kelompok
Lidokain 2%
( n = 32 )
19,3 3,8

Kelompok
NaCl 0,9%
( n = 32 )
19,3 1,6

19,2 3,8
18,9 3,9
18,7 3,7
18,7 3,8
17,9 3,8

Beda
Rerata

95% CI

Nilai P

0 2,2

-1,4 1,5

0,966

19,4 1,6
20,3 1,4
20,9 1,7
21,5 1,6

-0,2 2,2
-1,4 2,5
-2,2 2,0
-2,8 2,2

22,2 1,8

-4,3 2,0

-1,7 1,2
-2,8 0,1
-3,7 (-0,7)
-4,4 (-1,3)
-5,7 (-2,8)

0,733
0,066
0,004
0,001
< 0,001

Keterangan : Uji statistik menggunakan independent sample T-test, dinyatakan dalam


rerata simpang baku.

Tabel 5.2 menunjukkan tekanan intracuff menit ke 0 pada kedua kelompok


tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05). Kelompok lidokain 2% menunjukkan
penurunan tekanan intracuff pada pengukuran menit ke 30 dan menit ke 60,
namun penurunan ini tidak bermakna secara statistik. Penurunan bermakna terjadi
mulai menit ke 90, menit 120, sampai menit akhir sebelum ekstubasi dengan nilai
p<0,05). Sebaliknya pada kelompok NaCl 0,9% pengukuran tekanan intracuff
pada menit ke 30 dan menit 60 menunjukkan peningkatan dibandingkan menit ke
0, namun secara statistik tidak bermakna. Peningkatan tekanan intracuff ini
dianggap bermakna pada pengukuran menit ke 90, 120, dan menit akhir (p<0,05).

Gambar 5. 1 Grafik tekanan intracuff kedua kelompok perlakuan

Gambar 5.2 Grafik perbandingan rerata tekanan intracuff menit akhir


kedua kelompok perlakuan

Data rerata volume intracuff berdasarkan kelompok perlakuan dapat dilihat


pada Tabel 5.3 berikut ini.
Tabel 5.3
Volume intracuff pada kedua kelompok perlakuan

Variabel
Volume cuff awal
Volume cuff akhir
Selisih volume cuff

Kelompok
Lidokain 2%
( n = 32 )
6,2 1,1

Kelompok
NaCl 0,9%
( n = 32 )
6,1 0,8

4,6 1,3
1,6 0,6

Beda Rerata

Nilai P

0,1 0,3

0,983

6,1 0,8

1,46 0,5

<0,001

00

1,6 0,6

<0,001

Keterangan : Uji statistik dilakukan dengan independent sample T-test dan Mann-

Whitney Test.
Volume cuff awal pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan
bermakna dengan nilai p=0,983. Volume cuff yang diukur pada akhir ekstubasi
pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna
(p<0,05). Pada kelompok lidokain 2% didapatkan rerata selisih volume intracuff
sebesar 1,6 0,6 ml sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% tidak ada perbedaan
selisih volume intracuff di awal dan akhir.

Gambar 5.3 Grafik volume intracuff kedua kelompok perlakuan


Tabel 5.4
Derajat nyeri tenggorokan dinilai dengan Visual Analog Scale (VAS) pada
kedua kelompok perlakuan

Variabel
VAS jam ke 1
VAS jam ke 2
VAS jam ke 24

Kelompok
Lidokain 2%
( n = 32 )
4,0 5,7

Kelompok
NaCl 0,9%
( n = 32 )
10,1 5,0

2,1 3,9
00

Beda Rerata

Nilai P

6,1 0,7

<0,001

5,3 3,9

3,2 0

0,004

00

00

1,0

Keterangan :Uji statistik dilakukan dengan menggunakan independent sample Ttest dan Mann-Whitney Test.

Rerata nyeri tenggorokan yang dievaluasi menggunakan instrumen Visual


Analog Scale (VAS) dalam millimeter untuk kelompok lidokain 2% pada jam 1
pasca ekstubasi adalah 4,0 5,7. Sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% adalah
10,1 5,0, didapatkan beda rerata 6,1 0,7 yang secara statistik dianggap
bermakna (p<0,05). Evaluasi VAS nyeri tenggorokan 2 jam pasca ekstubasi pada
kedua kelompok perlakuan juga secara statistik bermakna dengan beda rerata 3,2
0 (p=0,004). Namun penilaian VAS 24 jam pasca ekstubasi pada kedua
kelompok menunjukkan nilai VAS 0 sehingga tidak ada perbedaan.

Gambar 5.4 Grafik VAS kedua kelompok perlakuan

10
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0

5
4
2
0
VAS JAM 1

VAS JAM 2

VAS JAM 24

VISUAL ANALOG SCALE


(VAS)
LIDOKAIN 2%

NACL 0,9%

Gambar 5.5 Perbandingan VAS kedua kelompok perlakuan

Selanjutnya penting dicari seberapa besar pengaruh selisih volume cuff


serta pengaruh tekanan cuff akhir terhadap nyeri tenggorokan yang dievaluasi
dengan VAS. Analisa tambahan yang dilakukan untuk mengetahui hubungan
kedua variabel tersebut adalah dengan uji regresi linier. Adapun hasil uji regresi
linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 1 ditampilkan dalam
tabel 5.5 dan gambar 5.6 dibawah ini.

Tabel 5.5 Hasil analisis regresi linier pengaruh selisih volume cuff terhadap
nilai VAS jam 1
Variabel
Selisih volume cuff
Konstanta

95% CI

Nilai p

-3,12

-4,67 (-1,58)

<0,001

9,49

-7,66 11,34

<0,001

Uji Regresi Linier. Interval Kepercayaan 95%, *signifikan p< 0,05

Selisih volume cuff sebesar 1 ml atau dengan kata lain setiap penurunan
volume cuff 1 ml dibandingkan volume cuff awal akan menyebabkan penurunan
nilai VAS sebesar 3,12 mm. Dan pengaruhnya secara statistik bermakna (p<0,05).

Gambar 5.6 Kurve linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 1

Dari kurva linier tersebut dapat disimpulkan bahwa selisih volume cuff
yang lebih tinggi akan menyebabkan penurunan nilai VAS. Dimana setiap selisih
volume cuff 1 ml akan diikuti penurunan nilai VAS sebesar 3,12 mm.

Tabel 5.6 Hasil analisis regresi linier pengaruh selisih volume cuff terhadap
nilai VAS jam 2
Variabel
Selisih volume cuff
Konstanta

95%CI

Nilai p

-1,49

-2,62 (-0,36)

0,01

4,83

3,49 6,18

<0,001

Uji Regresi Linier. Interval Kepercayaan 95%, *signifikan p< 0,05

Selisih volume cuff sebesar 1 ml atau dengan kata lain setiap penurunan
volume cuff 1 ml dibandingkan volume cuff awal akan menyebabkan penurunan
nilai VAS sebesar 1,49 mm. Dan pengaruhnya secara statistik bermakna (p=0,01).

Gambar 5.7 Kurve linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 2

Dari kurva linier tersebut dapat disimpulkan bahwa selisih volume cuff
yang lebih tinggi akan menyebabkan penurunan nilai VAS. Dimana setiap selisih
volume cuff 1 ml akan diikuti penurunan nilai VAS sebesar 1,49 mm.
Tabel 5.7 Hasil analisis regresi linier pengaruh tekanan intracuff akhir
terhadap nilai VAS jam 1

95% CI

Nilai p

Tekanan intracuff akhir

0,47

0,06 0,89

0,03

Konstanta

-2,46

-10,83 5,91

0,559

Variabel

Uji Regresi Linier. Interval Kepercayaan 95%, *signifikan p< 0,05


Pada tekanan intracuff akhir yang lebih tinggi 1 mmHg dari nilai rerata
tekanan intracuff akhir maka nilai VAS jam 1 bertambah sebesar 0,47 mm.
Sebaliknya pada tekanan intracuff akhir yang lebih rendah 1 mmHg dibandingkan
rerata tekanan intracuff akhir maka diikuti penurunan nilai VAS jam 1 sebesar
0,47 mm. Dan pengaruhnya secara statistik bermakna (p=0,03).

Gambar 5.8 Kurve linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap VAS jam 1

Dari kurva linier tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tekanan
intracuff akhir sebesar 1 mmHg dari rerata tekanan intracuff akhir maka nilai
VAS jam 1 akan bertambah sebesar 0,47 mm. Sebaliknya semakin rendah tekanan
intracuff akhir sebesar 1 mmHg dari rerata tekanan intracuff akhir maka nilai
VAS jam 1 akan berkurang sebesar 0,47 mm
Tabel 5.8 Hasil analisis regresi linier pengaruh tekanan intracuff akhir
terhadap nilai VAS jam 2

95% CI

Nilai p

Tekanan intracuff akhir

0,21

-0,08 0,50

0,14

Konstanta

-0,59

-6,47 5,28

0,84

Variabel

Uji Regresi Linier. Interval Kepercayaan 95%, *signifikan p< 0,05

Pada tekanan intracuff akhir yang lebih tinggi 1 mmHg dari nilai rerata
tekanan intracuff akhir maka nilai VAS jam 2 bertambah sebesar 0,21 mm.
Sebaliknya pada tekanan intracuff akhir yang lebih rendah 1 mmHg dibandingkan
rerata tekanan intracuff akhir maka diikuti penurunan nilai VAS jam 2 sebesar
0,21 mm. Dan pengaruhnya secara statistik tidak bermakna (p>0,05).

Gambar 5.9 Kurve linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap VAS jam 2

Dari kurva linier tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tekanan
intracuff akhir sebesar 1 mmHg dari rerata tekanan intracuff akhir maka nilai
VAS jam 2 akan bertambah sebesar 0,21 mm. Sebaliknya semakin rendah tekanan
intracuff akhir sebesar 1 mmHg dari rerata tekanan intracuff akhir maka nilai
VAS jam 2 akan berkurang sebesar 0,21 mm. Namun pengaruhnya secara statistik
tidak bermakna (p>0,05).

BAB VI
PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan ini untuk mengetahui efek lidokain 2% intracuff


pipa endotrakea dalam mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP
Sanglah Denpasar. Intubasi dengan pipa endotrakea menjadi bagian yang rutin
dalam pelaksanaan anestesi umum, namun intubasi bukan merupakan prosedur
yang tanpa komplikasi. Salah satu komplikasi penggunaan pipa endotrakea terjadi
akibat rangsangan iritasi dan regang pada mukosa saluran nafas sehingga
menimbulkan respon seperti suara serak, nyeri tenggorokan, batuk, peningkatan
tekanan darah, dan peningkatan laju nadi. (Gilles Dollo, dkk. 2001)
Keadaan diatas dapat disebabkan oleh banyak faktor, tetapi salah satu yang
mempunyai hubungan paling erat adalah keadaan cuff pipa endotrakea,
diantaranya meliputi: luas kontak cuff dengan mukosa, tekanan cuff, bentuk,
diameter, bahan, serta ketebalan dinding cuff. Tekanan cuff dapat meningkat pada
saat pemberian anestesi umum sebagai hasil dari difusi nitrous oksida (N2O) dari
trakea ke dalam cuff PET.
Selama anestesia umum dengan N2O akan terjadi peningkatan tekanan
intracuff sesuai peningkatan waktu disebabkan difusi N2O karena adanya gradien
tekanan parsial diantara membran cuff pipa endotrakea tersebut. Pada mukosa
trakea trakea terdapat Rapidly Adapting Stretch Receptors (RAR) merupakan
reseptor iritan yang sangat sensitif terhadap stimulus mekanis seperti sentuhan,

regangan dan tekanan. Intubasi pipa endotrakea dengan inflasi udara


menyebabkan hiperinflasi cuff yang akan merangsang reseptor di mukosa tadi.
Bila tekanan intracuff melebihi tekanan perfusi kapiler mukosa trakea yaitu 30-40
cmH2O berisiko terjadi erosi dan iskemia mukosa trakea, dan pasca operasi dapat
menimbulkan keluhan nyeri tenggorokan. Penelitian ini membuktikan bahwa
dengan mengganti inflasi udara dengan liquid baik berupa salin maupun lidokain
dapat mencegah hiperinflasi cuff.
Penelitian ini membagi 2 kelompok perlakuan yaitu inflasi lidokain 2%
dan inflasi NaCl 0,9% didapatkan gambaran rerata tekanan intracuff berdasarkan
interval waktu. Tekanan intracuff menit ke 0 pada kedua kelompok tidak ada
perbedaan bermakna (p>0,05) dimana tekanan intracuff kelompok lidokain 2%
19,3 3,8 dan kelompok NaCl 0,9% yaitu 19,3 1,6. Pada kelompok lidokain 2%
menunjukkan tekanan intracuff menurun pada pengukuran menit ke 30 yaitu 19,2
3,8 dan menit ke 60 tekanan intracuff yaitu 18,9 3,9, namun penurunan ini
tidak bermakna secara statistik. Sebaliknya pada kelompok NaCl 0,9%
pengukuran tekanan intracuff pada menit ke 30 sebesar 19,4 1,6 dan menit 60
tekanan yaitu 20,3 1,4. Kedua interval pengukuran menunjukkan peningkatan
dibandingkan menit ke 0, namun secara statistik tidak bermakna. Selanjutnya pada
kelompok lidokain 2% tekanan intracuff menurun bermakna terjadi mulai menit
ke 90 yaitu 18,7 3,7, menit ke 120 yaitu 18,7 3,8 sampai menit akhir sebelum
ekstubasi yaitu 17,9 3,8 dengan nilai p <0,05. Sebaliknya pada kelompok NaCl
0,9% terjadi peningkatan tekanan intracuff yang dianggap bermakna (p<0,05)
pada pengukuran menit ke 90 yaitu sebesar 20,9 1,7, menit ke 120 yaitu 21,5

1,6, dan menit akhir sebesar 22,2 1,8. Hal ini sejalan dengan penelitian
Jaichandran (2009) dimana pada kelompok inflasi salin tekanan awal intracuff
22,0 2,36 dan tekanan akhir intracuff yaitu 23,88 2,36, sedangkan pada
kelompok inflasi lidokain tekanan awal intracuff 22,52 2,42 dan tekanan akhir
intracuff sebesar 23,64 2,67. Bila dibandingkan dengan kelompok inflasi udara
didapatkan tekanan intracuff awal sebesar 24,92 2,89 dan tekanan akhir sebesar
56,68 10,59. Hal ini membuktikan pada penelitian ini bahwa penggantian inflasi
udara intracuff dengan liquid yaitu salin dan lidokain 2% dapat mencegah
hiperinflasi cuff yang berlebihan pada inflasi udara intracuff terhadap mukosa
trakea seperti ditunjukkan penelitian Jaichandran.
Untuk menghindari hiperinflasi cuff pipa endotrakea penggunaan liquid
dapat diberikan dibandingkan inflasi udara. Lidokain sebagai suatu larutan dapat
menjadi pilihan terhadap permasalahan diatas. Beberapa penelitian in vitro
maupun in vivo melaporkan bahwa lidokain hidrochloride (L-HCl) yang
dimasukkan ke dalam cuff dapat berdifusi melintasi cuff pipa endotrakea yang
bersifat hydrophobic membrane, hal ini disebabkan karena cuff dibuat dari bahan
polyvynil chloride dan bertindak sebagai membran yang semipermeabel. (Gilles
Dollo, dkk. 2001).
Penelitian ini pada 2 kelompok perlakuan yaitu lidokain 2% dan NaCl
0,9% masing-masing diberikan sebanyak volume 5 ml dan diukur tekanan
intracuff dengan target tidak melebihi tekanan perfusi kapiler mukosa trakea yaitu
30 cmH2O. Selanjutnya volume ditambahkan bila minimal occlusive volume

belum tercapai untuk mencegah kebocoran udara saat diberikan tekanan ventilasi
positif melalui pipa endotrakea.
Volume cuff awal pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan
bermakna dengan nilai p=0,983. Rerata volume cuff awal pada kelompok lidokain
2% yaitu 6,2 1,1 ml, sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% volume cuff awal
sebesar 6,1 0,8 ml. Sedangkan volume cuff akhir yang diukur pada pasca
ekstubasi pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang
bermakna (p<0,05). Pada kelompok lidokain 2% volume cuff akhir sebesar 4,6
1,3 ml dan didapatkan rerata selisih volume sebesar 1,6 0,6 ml. Sedangkan pada
kelompok NaCl 0,9% tidak ada perbedaan selisih volume intracuff di awal dan
akhir. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan oleh penelitian Sconzo (1990) dan
Hirota (2000) bahwa lidokain mengalami difusi melalui membran cuff PET,
dimana pada penelitian in vitro diketahui efek difusi lidokain bersifat time
dependently mulai terlihat sejak menit ke 30 sejak inflasi lidokain dan difusi
berlangsung terus seiring dengan waktu. Namun demikian selama pengamatan
pada penelitian ini tidak ditemukan kebocoran udara melalui seal cuff PET karena
terjadi counter balance disebabkan difusi lidokain 2% melalui membran
hidrofobik cuff ke dinding mukosa trakea dan sebaliknya terjadi absorbsi N2O ke
dalam cuff.
Penelitian

ini

mengukur

derajat

nyeri

tenggorokan

dievaluasi

menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS) dalam milimeter yang


diukur 1 jam, 2 jam, dan 24 jam pasca ekstubasi pada 2 kelompok perlakuan
didapatkan rerata nyeri tenggorokan untuk kelompok lidokain 2% pada jam 1

pasca ekstubasi adalah 4,0 5,7 mm. Sedangkan pada kelompok NaCl 0,9%
adalah 10,1 5,0 mm, didapatkan beda rerata VAS 6,1 0,7 mm yang secara
statistik dianggap bermakna dengan nilai p<0,05. Evaluasi VAS nyeri
tenggorokan 2 jam pasca ekstubasi pada kedua kelompok perlakuan juga secara
statistik bermakna dengan beda rerata VAS 3,2 0 mm (p=0,004). Hal ini sejalan
dengan penelitian Hirota (2000) dimana evaluasi VAS didapatkan lebih rendah
pada kelompok yang diberikan inflasi lidokain 25,1 9,8 mm berbanding 53,5
10,6 mm pada kelompok saline 0,9% intracuff (p<0,01)
Bila dibandingkan nilai VAS nyeri tenggorokan pada kelompok inflasi
udara seperti dikemukakan Estebe (2002) didapatkan nilai VAS jam 1 pasca
ekstubasi lebih tinggi pada kelompok inflasi udara yaitu 30 13 mm
dibandingkan kelompok inflasi lidokain 14 15 mm. Evaluasi VAS 2 jam pasca
ekstubasi juga lebih tinggi pada kelompok inflasi udara yaitu 25 10 mm
dibandingkan kelompok inflasi lidokain 17 14 mm.
Pada penelitian ini penilaian VAS 24 jam pasca ekstubasi pada kedua
kelompok menunjukkan nilai VAS 0 sehingga tidak ada perbedaan. Hal tersebut
juga dikemukakan oleh Estebe (2001) kejadian nyeri tenggorokan pasca operasi
dengan anestesi umum intubasi PET pada 2 kelompok perlakuan tersebut
ditemukan VAS menurun signifikan hanya pada 2 jam awal pasca operasi, namun
tidak berbeda pada evaluasi 24 jam pasca operasi.
Efek

alternatif

anestesi

lokal

adalah

pengaruhnya

pada

respon

antiinflamasi dan terutama pada sel inflamasi (granulosit polimormonuklear

(PMN), makrofag dan monosit). Pelepasan sitokin akibat proses aktivasi netrofil
terganggu pada pemberian lidokain. Hal ini menyebabkan berkurangnya
kerusakan seluler akibat sitokin melalui mekanisme yang melibatkan kanal kalium
bergantung ATP. (Hollman dkk, 2000)
Lidokain juga mempengaruhi beberapa proses inflamasi melalui G
protein-coupled receptor (GPCR), seperti sensitisasi netrofil dan degranulasi
lysosomal, produksi radikal bebas dan sekresi sitokin oleh sel makrofag dan sel
glial. (Watkins et al, 2001)
Mekanisme lidokain dalam mengurangi derajat nyeri tenggorokan
diperkirakan melalui efeknya sebagai anestesi lokal dan anti inflamasi. Sebagai
anestetik lokal berefek memblok reseptor rapidly adapting stretch receptor
(RAR) di mukosa trakea secara kontinyu dan meningkatkan toleransi terhadap
pipa endotrakea. (Jaichandran, 2008; Rao, 2013).
Keuntungan dari pemberian lidokain intracuff adalah keberadaan lidokain
dalam cuff bersifat sebagai reservoir, sehingga lidokain akan terus menerus
berdifusi terhadap mukosa trakea seiring berjalannya waktu. Adanya difusi dari
lidokain yang diinflasikan intracuff pipa endotrakea akan mengurangi volume
intracuff, hal ini terbukti dengan adanya selisih volume lidokain di awal dan akhir
pengamatan. Pada anestesi umum dengan pemberian nitrous oksida (N2O) terjadi
absorbsi N2O dari trakea ke dalam cuff pipa endotrakea disebabkan gradien
tekanan parsial antara trakea dan membran cuff pipa endotrakea, sehingga terjadi
mekanisme counter balance yaitu difusi lidokain 2% melalui membran hidrofobik

cuff ke dinding mukosa trakea sehingga meskipun volume lidokain intracuff akhir
pada penelitian ini berkurang namun adanya mekanisme counter balance tadi
menyebabkan fungsi seal PET tetap terjaga. Pada penelitian ini tidak
menunjukkan adanya kebocoran seal cuff PET selama pemberian ventilasi
tekanan postif, serta tidak ada ruptur dari cuff.
Sesuai hukum Pascal tentang sifat fisika pada zat cair maupun zat gas
dikemukakan bahwa tekanan yang diberikan zat cair dalam ruang tertutup
diteruskan ke segala arah dan sama besar. Berlaku pula pada zat gas di dalam
ruang tertutup akan menimbulkan tekanan pada dinding ruang itu. Sehingga
volume intracuff yang berkurang akan menyebabkan penurunan tekanan terhadap
mukosa trakea di sekeliling cuff tersebut. Sebaliknya peningkatan volume
intracuff akan menimbulkan peningkatan tekanan terhadap mukosa trakea di
sekeliling cuff.
Tekanan cuff yang cukup untuk mencegah kebocoran udara nafas dari
berbagai jenis pipa endotrakea adalah antara 20-25 cmH2O, dibawah tekanan
perfusi mukosa trakea 25-30 cmH2O. Tekanan yang berlebihan akan
menimbulkan rangsangan iritasi dan regangan pada RAR di mukosa trakea yang
berhubungan dengan derajat nyeri tenggorokan pasca intubasi. Tekanan cuff dapat
meningkat selama anestesi umum sebagai akibat dari difusi N2O dari trakea ke
dalam cuff pipa endotrakea (Brimacombe, 1999; Stone DJ, 2000)
Pada penelitian ini volume cuff awal pada kedua kelompok tidak
menunjukkan perbedaan bermakna. Rerata volume cuff awal pada kelompok
lidokain 2% yaitu 6,2 1,1 ml, sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% volume

cuff awal sebesar 6,1 0,8 ml. Volume cuff akhir yang diukur pasca ekstubasi
pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna
(p<0,05). Pada kelompok lidokain 2% volume cuff akhir sebesar 4,6 1,3 ml dan
didapatkan rerata selisih volume sebesar 1,6 0,6 ml. Sedangkan pada kelompok
NaCl 0,9% tidak ada perbedaan selisih volume intracuff di awal dan akhir.
Volume cuff akhir yang lebih besar pada kelompok inflasi NaCl 0,9%
disebabkan karena tidak terjadi difusi NaCl 0,9% melalui membran cuff, berbeda
halnya dengan kelompok inflasi lidokain 2% dimana lidokain berdifusi sehingga
volume cuff akhir lebih sedikit dan tekanan cuff yang ditimbulkan terhadap
mukosa trakea lebih kecil sesuai dengan berjalannya waktu sejak lidokain
diinflasikan sampai tekanan akhir intracuff sebelum ekstubasi. Penelitian ini
menunjukkan bahwa pada akhir anestesi volume cuff akhir berkurang sebesar 1,6
0,6 ml namun tekanan intracuff akhir lebih rendah daripada tekanan intracuff
awal. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan difusi lidokain melalui cuff lebih
besar daripada kecepatan difusi N2O dari trakea ke dalam cuff.
Tekanan intracuff menit ke 0 pada kedua kelompok perlakuan tidak
menunjukkan perbedaan bermakna, yaitu 19 3,4 ml. Penurunan tekanan
intracuff pada kelompok lidokain 2% dianggap bermakna secara statistik mulai
menit 90, menit 120, dan menit akhir sebelum ekstubasi. Sebaliknya pada
kelompok NaCl 0,9% peningkatan tekanan intracuff dianggap bermakna secara
statistik mulai menit ke 90, menit 120, dan menit akhir sebelum ekstubasi. Hal ini
menunjukkan hubungan antara volume intracuff dan tekanan intracuff yang
ditimbulkannya terhadap mukosa trakea. Pada kelompok lidokain 2% didapatkan

volume cuff akhir lebih sedikit karena mengalami difusi melalui membran
intracuff, selanjutnya lidokain bekerja sebagai anestesi lokal dan efek
antiinflamasi lokal pada mukosa trakea, sehingga pada pengukuran tekanan
intracuff juga lebih rendah dibandingkan kelompok NaCl 0,9%. Sebaliknya pada
kelompok NaCl 0,9% tidak terjadi difusi sehingga pada pengukuran volume cuff
akhir tidak berubah. Pada anestesi umum dengan pemberian N2O menyebabkan
absorbsi N2O ke dalam intracuff sehingga tekanan intracuff pada kelompok NaCl
0,9% ditemukan terus bertambah sampai menit akhir sebelum ekstubasi.. Tekanan
intracuff akhir pada kelompok NaCl 0,9% lebih tinggi yaitu 22,2 1,8 mmHg
dibandingkan pada kelompok lidokain 2% yaitu 17,9 3,8 mmHg. Perbedaan
tekanan intracuff yang ditemukan pada kedua kelompok tersebut menimbulkan
rangsangan iritasi dan regangan yang lebih besar pada kelompok NaCl 0,9%
terhadap reseptor RAR di mukosa trakea dan selanjutnya berhubungan dengan
VAS nyeri tenggorokan pasca intubasi yang juga lebih tinggi.
Untuk dapat menjelaskan mekanisme lidokain 2% intracuff pipa
endotrakea dalam mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi, harus dievaluasi
variabel perantara yang terjadi di dalam perjalanan lidokain tersebut, yaitu:
volume cuff dan tekanan intracuff. Data yang diperoleh mengenai volume cuff
dan tekanan intracuff tersebut sebagai bukti yang memperkuat kemampuan difusi
lidokain, yang selanjutnya berpengaruh terhadap volume cuff dan tekanan
intracuff, serta efek akhirnya dalam mengurangi VAS nyeri tenggorokan pasca
intubasi.

Pada penelitian ini didapatkan perbedaan nilai VAS pada kedua kelompok
perlakuan yaitu lidokain 2% dan NaCl 0,9% pada jam 1 dan jam 2 pasca
ekstubasi. Secara statistik nilai VAS tersebut menunjukkan perbedaan yang
bermakna (p<0,05). Namun bila dilihat secara klinis, rerata nilai VAS pada jam 1
pada kelompok lidokain 2% sebesar 4,0 5,7 mm sedangkan pada kelompok
NaCl 0,9% 10,1 5,0 mm. Dengan klasifikasi nilai VAS 0-40 mm termasuk nyeri
intensitas ringan sehingga didapatkan kesimpulan bahwa VAS nyeri tenggorokan
pada kedua kelompok tersebut secara klinis tidak berbeda. Hal tersebut juga
berlaku pada penilaian VAS jam 2 pada kedua kelompok yang sama-sama berada
pada klasifikasi nyeri tenggorokan intensitas ringan.
Namun hasil VAS pada kedua kelompok liquid tersebut menjadi bermakna
bila dibandingkan dengan VAS yang didapatkan pada kelompok inflasi udara,
dimana dari penelitian sebelumnya oleh Vipin (2007) pada jam 1 pasca ekstubasi
sebesar 59,6 1,47 mm dan VAS nyeri tenggorokan 2 jam pasca ekstubasi 48,6
1,36 mm. Hasil penelitian ini secara klinis menjadi bermakna terhadap penurunan
VAS nyeri tenggorokan bila dibandingkan dengan kelompok inflasi udara
intracuff. VAS nyeri tenggorokan pada kelompok udara tersebut baik pada jam 1
dan 2 termasuk klasifikasi intensitas nyeri sedang yaitu diantara 41-70 mm.
Penelitian ini tidak menunjukkan efek samping obat yang ditimbulkan
akibat pemberian lidokain 2% dan NaCl 0,9%. Efek samping obat yang
berhubungan dengan gejala Local Anesthetic Systemic Toxicity (LAST) pada
berbagai sistem organ yang terjadi akibat toksisitas anestesi lokal pada penelitian
ini tidak terjadi. Hal ini oleh karena pemberian lidokain 2% dalam dosis yang

aman dan direkomendasikan, jauh dari dosis toksik anestesia lokal. Selama
perlakuan dilakukan pemantauan secara intermiten terhadap tekanan intracuff pipa
endotrakea supaya tidak melebihi tekanan perfusi kapiler mukosa trakea yaitu 30
cmH2O dengan menggunakan intracuff pressure, disamping monitor lain seperti
EKG, tekanan darah, denyut jantung, saturasi oksigen untuk mengevaluasi bila
terjadi efek samping terhadap sistem organ lain.

6.1 Keterbatasan Penelitian


Keterbatasan pada penelitian ini yaitu inflasi udara intracuff pipa
endotrakea sebagai kontrol tidak diberikan pada kelompok perlakuan. Data derajat
nyeri tenggorokan pada kelompok inflasi udara pasca intubasi didapatkan dari
penelitian penelitian lain sebelumnya. Hal ini dilakukan sesuai dengan
rancangan penelitian yaitu randomisasi acak tersamar ganda, karena kedua
perlakuan baik lidokain 2% maupun NaCl 0,9% memliki persamaan berbentuk
liquid dan tidak berwarna, berbeda halnya dengan udara bila diberikan sebagai
perlakuan.
Evaluasi VAS nyeri tenggorokan pasca intubasi pada kedua kelompok
perlakuan baik lidokain 2% dan NaCl 0,9% meskipun secara statistik
menunjukkan perbedaan VAS yang bermakna (p<0,05) baik pada jam 1 dan 2
pasca ekstubasi namun secara klinis perbedaan VAS ini tidak bermakna karena
sama-sama termasuk dalam klasifikasi nyeri intensitas ringan.

BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan
Lidokain 2% intracuff pipa endotrakea mengurangi nyeri tenggorokan pasca
intubasi di RSUP Sanglah Denpasar.

7.2 Saran
Derajat nyeri tenggorokan pada pasien yang menjalani anestesi umum pasca
intubasi dapat dikurangi dengan pemberian lidokain 2% intracuff, sehingga dapat
digunakan sebagai alternatif pilihan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali N.P, Mulck T., Noor M.M., Mollick M.T., Ahmed M., Chowdhury M.R.A.
2009. Lidocaine as endotracheal tube cuff inflating agent. JAFMC
Bangladesh..Vol 5 No 1: 25-28..
Avidan M. 2003. Pain Management, In: Perioperative Care, Anesthesia, Pain
Management and Intensive Care, London:78-102
Ballantyne J.C. 2008. Management of Acute Postoperative Pain. In: Longnecker,
D.E., Brown, D.L., Newman, M.F., Zapol W.M. New York: McGraw
Hill.p. 1716-1736
Basuni A.S. 2013. Intracuff alkalinized lidocaine reduces sedative/ analgesic
requirement for mechanically ventilated patients. Anaesth, Pain and
Intensive Care; Vol.17(3): 228-232.
Bernhard W.N., Yost L.C., Turndorf H., Cottrell J.E., Paegle R.D., 1978. Physical
Characteristics of and rates of nitrous oxide diffusion into tracheal tube
cuff. Anesthesiology. 48: 413-417.
Biro P., Seifert B., Pasch T. 2005. Complaints of sore throat after tracheal
intubation: a prospective evaluation. European Journal of
Anaesthesiology. 22(4): 307-311.
Brimacombe J., Keller C., Giampalmo M., Sparr H.J, Berry A. 1999. Direct
measurement of mucosal pressures exerted by cuff and non-cuff portions
of tracheal tubes with different cuff volumes and head and neck
positions. British Journal of Anaesthesia. 82(5): 708-711.
Cole D.J., Schlunt M. 2004. Local Anesthetic. In Adult Perioperative AnesthesiaThe requisites in anesthesiology. Philadelphia: Elsevier Mosby. 5:137144
Combes X., Schauvliege F., Peyrouset O. 2001. Intracuff pressure and tracheal
morbidity Influence of filling cuff with saline during nitrous oxide
anesthesia. Anesthesiology. Vol 95. No 5: 1120-1124
Dollo G., Estebe J.P., LeCorre P., Chevanne F., Ecoffey C., Verge R.L. 2001.
Endotracheal tube cuffs filled with lidocaine as a drug delivery system: in

vitro and in vivo investigations. European Journal of Pharmaceutical


Sciences. 13: 319-323
Edomwonyi N.P., Ekwere I.T., Omo E., Rupasinghe A.2006. Postoperative throat
complications after tracheal intubation. Annals of African Medicine. Vol
5 No 1: 28-32
Estebe J.P., Dollo G., Le Corre P. 2002. Alkalinization of intracuff lidocaine
improves endotracheal tube induced emergence phenomena. Anesthesia
Analgesia. 94: 227-230
Estebe J.P., Gentili M., Le Corre P. 2005. Alkalinization of intracuff lidocaine:
Efficacy and safety. Anesthesia Analgesia. 101: 1536-1541
Fagan C., Frizelle H., Laffey J. 2000. The effects of intracuff lidocaine on
endotracheal tube induced emergence phenomenon after general
anesthesia. Anesthesia Analgesia. 91: 201-205
Gonzalez R.M., Bjerke R.J., Drobycki T. 1994. Prevention of endotracheal tube
induced coughing during emergence from general anesthesia. Anesthesia
Analgesia. 79: 792-795
Hirota W., Kobayashi W., Igarashi K. 2000. Lidocaine added to a tracheostomy
tube cuff reduces tube discomfort. Canadian Journal Anesthesia. 47:412414
Jaichandran V.V., Bhanulakshmi I.M., Jagadeesh V. 2009. Intracuff buffered
lidocaine versus saline or air A comparative study for smooth
extubation in patients with hyperactive airways undergoing eye surgery.
SAJAA. 15(2):11-14
Jaichandran V.V., Angayarkanni N., Karunakaran C. 2008. Diffusion of lidocaine
buffered to an optimal pH across the endotracheal tube cuff an in vitro
study. Indian Journal Anesthesia. 52(5):536-540
Kang S., Baik H.J., Kim Y.J., Kim J.H. 2005. Factors affecting the intracuff
pressure of wire-reinforced endotracheal tubes during general anesthesia
using nitrous oxide. Korean J Anesthesiology. Vol.50. No.61-7.
Katzung G.B. 2004. Anestetik Lokal. In: Basic and Clinical Pharmacology. 9th ed.
McGraw Hill. New York.

Larson C.P. 2002. Airway management. In: Clinical Anesthesiology. 3rd ed. New
York: The Mc-Graw Hill Companies:59-85
Manissery J.J., Shenoy V., Ambareesha M. 2007. Endotracheal tube cuff
pressures during general anesthesia while using air versus a 50% mixture
of nitrous oxide and oxygen as inflating agents. Indian J. Anesthesia.
51(1):24-27.
McHardy F.E., Chung F.1999. Postoperative sore throat: cause, prevention and
treatment. Journal of the Association of Anaesthetists of Great Britain
and Ireland. Vol 54: 444-453
Morgan G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., 2006. Airway Management, In:
Clinical Anesthesiology. 4th Ed. Mc-Graw Hills.. 5:91-116
Morgan G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J.. 2006. Pain Management, In: Clinical
Anesthesiology. 4th Ed.Mc-Graw Hills. 18:359-373.
Morgan G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J.. 2006. Local Anesthetics, In: Clinical
Anesthesiology. 4th Ed.Mc-Graw Hills. 14:263-275.
Navarro L.H., Braz J.R., Nakamura G. 2007. Effectiveness and safety of
endotracheal tube cuff filled with air versus filled with alkalinized
lidocaine: a randomized clinical trial. Sao Paulo Med J. 125(6): 322-328
Navarro L.H.C., Lima R.M., Aguiar A.S. 2012. The effect of intracuff alkalinized
2% lidocaine on emergence coughing, sore throat, and hoarseness in
smokers. Rev assoc Med Bras. 58 (2): 248-253
Porter N.E, Sidou V., Husson J. 1999. Postoperative sore throat: Incidence and
severity after the use of lidocaine, saline, or air to inflate the endotracheal
tube cuff. Journal of the American Association Anesthetists. Vol 67 No
1: 49-52.
Rao M., Snigdha, Alai T., Vijay K. 2013. Instillation of 4% lidocaine versus air in
the endotracheal tube (ETT) cuff to evaluate post intubation morbidity-a
randomized double blind study. Journal of Anesthesiology and Clinical
Science:2-19
Rathmell J.P., Neal J.M., Viscomi C.M., 2004. Local Anesthetic. In: Regional
Anesthesia The requisites in Anesthesiology. Philadelphia: Elsevier
Mosby.2:13-24

Sconzo J.M., Moscicki J.C., DiFazio C.A. 1990. In vitro diffusion of lidocaine
across endotracheal tube cuffs. Regional Anesthesia.15:37-40
Seegobin R.D., Hasselt G.L.1984. Endotracheal cuff pressure and tracheal
mucosal blood flow: endoscopic study of effect of four large volume
cuff. British Medical Journal. Vol.288: 965-968.
Spiegel J.E. 2010. Endotracheal tube cuff: Design and Function. Anesthesiology
news guide to airway management. 51-58
Steeds C.E. 2009. The anatomy and physiology of pain. Elsevier Ltd. 507-511
Stewart S.L., Secrest J.A., Norwood B.R., Zachary R. 2003. A comparison of
endotracheal tube cuff pressures using estimation techniques and direct
intracuff measurement. AANA Journal. Vol.71. No.6: 443-447.
Stoelting,R.K. Hillier,S.C.2006. Pharmacology and Physiology in Anesthetic
Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Salerno A., Hermann R. 2006. Efficacy and safety of steroid use for postoperative
pain relief. The Journal of Bone and Joint Surgery. Vol. 88 No 6: 13611372.
Vipin N.K. 2007. Post intubation sore throat: a comparative study between
intracuff alkalinized lignocaine and intracuff plain lignocaine. Bangalore:
St. Johns Medical College and Hospital.

Lampiran 1

Lampiran 2

Lampiran 3
JADWAL PENELITIAN

No Kegiatan

Jul

Agu

Sep

Okt

Nov

Des

Jan

2014 2014 2014 2014 2014 2014 2015


1.

Pembuatan
Proposal

2.

Seminar
Proposal

3.

Koreksi/Ijin
Penelitian

4.

Pelaksanaan
Penelitian

5.

Pengolahan
data

6.

Seminar hasil

7.

Penyempurnaan
hasil

8.

Ujian Tesis

9.

Penyempurnaan
Tesis

Lampiran 4
RINCIAN INFORMASI
Penjelasan mengenai penelitian lidokain 2% intracuff pipa endotrakea
mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar

Di RSUP Sanglah Denpasar saat ini tengah dilakukan penelitian oleh tim
peneliti dari Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek analgesia lidokain 2%
intracuff terhadap nyeri tenggorokan pasca anestesi umum intubasi pipa
endotrakea melalui evaluasi nilai VAS.
Bapak/ Ibu/Saudara/ Saudari akan menjalani pembedahan di ruang operasi
RSUP Sanglah Denpasar dengan prosedur standar untuk anestesi umum intubasi
pipa endotrakea. Salah satu resiko dari penggunaan pipa endotrakea terjadi akibat
rangsangan iritasi dan regang pada mukosa saluran nafas sehingga menimbulkan
respon seperti suara serak, nyeri tenggorokan, batuk, peningkatan tekanan darah,
dan peningkatan laju nadi. Trauma pada mukosa trakea dapat menimbulkan
keluhan nyeri tenggorokan pasca bedah.
Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi derajat nyeri tenggorokan
pasca anestesi umum intubasi endotrakea. Pemberian lidokain intravena dan
topikal telah digunakan untuk mengurangi stimulus noksius pada saat intubasi
endotrakea. Namun dengan beberapa metode tersebut memiliki kelemahan, antara
lain duration of action terbatas pasca aplikasi lidokain oleh karena cepat
terabsorbsi mukosa trakeobronkial sehingga tidak efektif pada periode ekstubasi.

Pada penelitian ini akan diberikan lidokain 2% intracuff pada tindakan anestesi
umum intubasi pipa endotrakea.
Dua perlakuan berbeda yang akan diberikan kepada Saudara/Saudari adalah
pemberian lidokain 2% intracuff (kelompok A) atau pemberian NaCl 0,9%
intracuff dengan volume yang sama (kelompok B) setelah intubasi pipa
endotrakea. Pemberian perlakuan kepada Saudara/Saudari dilakukan secara acak
dan selama penelitian berjalan anggota penelitian tidak mengetahui salah satu dari
kedua jenis perlakuan yang diberikan. Identitas Saudara/Saudari disimpan oleh
peneliti utama secara rahasia dalam bentuk inisial. Anda diberikan kesempatan
yang sebesar-besarnya untuk menanyakan semua hal yang belum jelas tentang
penelitian ini kepada peneliti.
Kelebihan dari penelitian ini adalah lidokain hidrochloride (Lidokain HCl)
yang dimasukkan ke dalam cuff dapat berdifusi melintasi cuff pipa endotrakea
yang bersifat hydrophobic membrane, hal ini disebabkan karena cuff dibuat dari
bahan polyvynil chloride (PVC) dan bertindak sebagai membran yang
semipermeabel.
Biaya obat yang digunakan ditanggung oleh peneliti dan Saudara/Saudari
tidak akan dikenakan biaya pembelian obat tersebut. Pasien akan dievaluasi,
diawasi secara cermat sebelum, selama, dan sesudah tindakan oleh peneliti. Bila
timbul efek samping akibat dari obat yang diteliti, maka akan ditangani sesuai
dengan gejala yang timbul dan menjadi tanggung jawab peneliti.
Tidak ada paksaan untuk ikut atau menolak diikutsertakan dalam penelitian
ini. Bila Saudara/Saudari bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini, kami

ucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya dan bila tidak bersedia, tidak
akan mengurangi kualitas pelayanan yang kami berikan.
Terima kasih.

Hormat kami,

Peneliti
(dr. Ari Yudha Sanjaya)
Catatan: nomer telepon peneliti yang dapat dihubungi 081338403663.

Lampiran 5. Formulir Persetujuan Tindakan

PERSETUJUAN BERPARTISIPASI DALAM


PENELITIAN KLINIS
AGREEMENT FOR CLINICAL RESEARCH
PEMBERIAN INFORMASI
Information Delivered
Peneliti
Researchers
Penerima
Informasi/pemberi
persetujuan
Recipient
information/approved by
No
Jenis Informasi
Information
1

Tujuan penelitian
Aims of research

Manfaat penelitian
The purpose of
research

Prosedur Penelitian
Research procedure

Risiko potensial dan


rasa tidak enak yang
akan dialami
Potencial Risks and
feeling discomfort
Prosedur Alternatif
alternative procedure

Menjaga kerahasiaan
Confidentiality

Kompensasi bila terjadi


kecelakaan dalam
penelitian
Compensation in the
event of an accident in

Isi Informasi(oleh peneliti)


Information detail(by researchers)

Tanda()
Marked

10

11

12

13

14

the research
Partisipasi berdasarkan
kesukarelaan
Based on voluntary
participation
Nama dan alamat
peneliti yang bisa
dihubungi bila
terjadi kecelakaan
atau subyek ingin
bertanya
Name and address of
the researcher who can
be contac in the event
of accident or subject
would like to ask
Perkiraan jumlah
subyek yang akan
diikutsertakan dalam
penelitian
Estimated number of
subjects to be included
in the study
Kemungkinan dapat
timbul resiko
yangdiketahui pada
saat ini
Possibility may arise
risks known at this
time
Estimated cost
Subyek dapat
dikeluarkan dari
penelitian
Subject may excluded
in the study
Bahaya potensial bila
ada bagi subyek yang
mengundurkan diri
sebelum penelitian
selesai
A potential danger(if
any) for the subjects
who withdrew before
study completion
Insentif bagi subyek

(bila ada)
Incentives for the
subject (if any)
15 Bila
menolak/membatalkan
untuk berpartisipasi,
bahwa akses mereka
terhadap proses
pelayanan dijamin
tidak terpengaruhi
atau terganggu
When refuse / cancel
to participate, that
their access to the
service process is
guaranteed not
affected or impaired
Dengan ini menyatakan bahwa saya telah menerangkan hal hal diatas
secara benar dan jelas dan memberikan kesempatan untuk bertanya
dan/atau berdiskusi
Hereby declare that I have explained the above things are true and
clear and provides an opportunity to ask and / or discuss

Saya sudah mendapatkan kesempatan untuk bertanya dan saya sudah


mengerti dan puas dengan penjelasan yang diberikan sehubungan
dengan pertanyaan-pertanyaan saya. Dengan ini saya menyatakan
dengan sesungguhnya bahwa saya SETUJU untuk ikut berpartisipasi
dalam penelitian.
I've had the opportunity to ask and I already understand and are
satisfied with the explanation given in connection with my question. I
hereby declare to the fact that I AGREE to participate in that research.

Tanda
tangan
peneliti
Signature

Tanda
tangan
(Pasien/wali)
Signature

SURAT PERSETUJUAN SUBYEK PENELITIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama

_______________________________________________

Umur

_______________________________________________

Jenis Kelamin

_______________________________________________

Alamat

_______________________________________________

Pekerjaan

_______________________________________________

Setelah mendapat keterangan secukupnya serta menyadari manfaat dari risiko


penelitian tersebut dibawah ini yang berjudul :
____________________________________________________________________
____________________________________________________________________
Dengan sukarela menyetujui dikutsertakan dalam uji klinik di atas dengan catatan
bila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan
persetujuan ini.
Denpasar, . 2014
Mengetahui :

Yang menyetujui

Penanggung Jawab penelitian

Peserta uji klinik

( _______________ )

( __________________ )
Saksi

( ___________________ )

SURAT PERSETUJUAN WALI SUBYEK


PENELITIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama
: _______________________________________________
Umur

_______________________________________________

Jenis Kelamin

_______________________________________________

Alamat

_______________________________________________

Pekerjaan

_______________________________________________

Setelah mendapat keterangan secukupnya serta menyadari manfaat dari risiko


penelitian tersebut dibawah ini yang berjudul :
____________________________________________________________________
Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan : anak/ (hubungan
keluarga terdekat dalam hal ini penderita tidak dapat memutuskan sendiri)
Nama
: _______________________________________________
Umur
: _______________________________________________
Jenis Kelamin : _______________________________________________
Alamat
: _______________________________________________
Pekerjaan
: _______________________________________________
Dalam penelitian tersebut dengan catatan bila suatu waktu merasa dirugikan,
berhak membatalkan persetujuan ini.
Denpasar, . 2014
Mengetahui :
Yang menyetujui
Penanggung Jawab penelitian

Wali peserta uji klinik

( _______________)

( ______________ )
Saksi

( ___________________ )

No Urut:
Perlakuan: A / B

Lampiran 6
LEMBAR PENELITIAN
LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA MENGURANGI
NYERI TENGGOROKAN PASCA INTUBASI DI RSUP SANGLAH
DENPASAR

Data Umum
1. No sampel

: .................................................................................

2. No Rekam Medis

: .................................................................................

3. Nama

: .................................................................................

4. Umur

: .................................................................................

5. Jenis kelamin

: .................................................................................

6. Tingkat pendidikan

: .................................................................................

7. Tanggal

: ................................................................................

Data Khusus
1. Diagnosis

: .............................................................................

2. Jenis Operasi

: .............................................................................

3. Berat Badan

: ............kg

4. Tinggi badan

: ............cm

5. IMT

: ............kg/m2

6. Status Fisik ASA

Prosedur kerja :
1. Penelitian ini harus mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian
kedokteran FK UNUD. Seleksi dilakukan pada saat kunjungan pra anestesi
sebelum tindakan pembedahan. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi ditetapkan sebagai sampel.
2. Setelah mendapatkan penjelasan dan pasien setuju dilanjutkan dengan
menandatangani informed consent.
3. Subyek dipuasakan selama 8 jam.
4. Sampai di ruang persiapan instalasi bedah RSUP Sanglah Denpasar,
dilakukan pencatatan identitas kembali, kemudian dilakukan pemasangan
infus dengan cairan kristaloid, kecepatan pemberian sesuai kebutuhan
cairan pemeliharaan sesuai berat badan pasien.
5. Setelah itu pasien dibawa ke ruang operasi, dipindahkan ke meja operasi.
6. Pasang monitor tekanan darah non invasif, EKG, pulse oxymetry,
dilakukan pencatatan hasil.
7. Pasien diberikan premedikasi midazolam 0,05 mg/kgbb, ondansentron
0,15 mg/kgbb, suplemen analgesia fentanyl dosis 2 mcg/kgbb dan induksi
propofol 2,5 mg/kgbb serta fasilitas intubasi dengan obat pelumpuh otot
atrakurium dosis 0,5 mg/kgbb kemudian dilakukan laringoskopi dan
intubasi pemasangan pipa endotrakea sesuai ukuran. Selanjutnya
dilakukan pengembangan cuff: kelompok A inflasi cuff menggunakan
lidokain 2% volume 5 ml. Kelompok B inflasi cuff menggunakanNaCl

0,9% 5 ml. Masing- masing kelompok telah disiapkan sebelumnya dalam


sebuah spuite10 ml.
8. Pengukuran tekanan dalam cuff dengan menggunakan instrumen Pressure
cuff Mallinckrodt, Seelscherf, Germany. Tekanan awal dalam cuff
dievaluasi tidak melebihi 30 cmH2O. Bila masih terjadi kebocoran udara,
pada kelompok A ditambahkan lidokain 2% volume 1 ml, sedangkan pada
kelompok B ditambahkan NaCl 0,9% volume 1 ml. Inflasi cuff pipa
endotrakea tersebut dilakukan hingga tercapai minimal occlusive volume.
Pemantauan tekanan dalam cuff secara intermittent dilakukan tiap 30
menit dan akhir anestesi, dievaluasi tidak melebihi 30 cmH2O.
9. Maintenance anestesia dengan N2O:O2 (50%:50%); isofluran 1-1,5
volume%, atracurium intermitent, fentanyl intermitent, dan pemberian
NSAID ketorolac 0,5 mg/kgbb
10. Setelah operasi selesai, agen anestesia dihentikan, pasien dipertahankan
nafas spontan dengan oksigen 100%
11. Ekstubasi pipa endotrakea dilakukan bila:
a.

Pasien bernafas spontan adekuat

b.

Pasien mampu mengikuti perintah verbal (membuka mata atau


tangan menggenggam) atau kecendrungan untuk mencabut PET

12. Penilaian nyeri tenggorokan dengan menggunakan instrumen Visual


Analog Scale (VAS) dengan nilai 0 10. Dilakukan pengamatan dan
wawancara terhadap pasien tentang adanya nyeri tenggorokan. Evaluasi

dilakukan 1 jam pasca ekstubasi, 2 jam pasca ekstubasi, dan 24 jam pasca
ekstubasi.
13. Catat efek samping yang muncul pada kedua kelompok.

Lampiran 7
PENCATATAN HASIL EVALUASI
1. Waktu mulai anestesi umum pukul

:............... WITA

2. Waktu pemberian perlakuan pukul

:............... WITA

3. Mulai pembedahan pukul

:............... WITA

4. Selesai pembedahan pukul

:............... WITA

5. Lama pembedahan

:........jam........menit

6. Percobaan intubasi

: ........

7. Intracuff pressure (cmH2O) selama prosedur pembedahan dicatat di tabel1


Tabel 1. Intracuff Pressure
Waktu
(menit setelah intubasi
pipa endotrakea)
T0
T 30
T 60
T 90
T 120
T end of anesthesia

Intracuff
Pressure
(cmH2O)

8. Volume intracuff (ml) saat awal pembedahan:......


9. Volume intracuff (ml) saat akhir pembedahan:......
10. Evaluasi kebocoran cuff pipa endotrakea: YA/ TIDAK*
11. Time of spontaneus ventilation sebelum ekstubasi (T0= waktu dimana
volatile anesthesia isofluran dan N2O dihentikan=........menit
Tabel 2.
T0
Nafas spontan adekuat
Ekstubasi

Pukul
Pukul
Pukul

12. Tercapainya Aldrette skor 10: pukul: ........Wita

WITA
WITA
WITA

13. Nilai VAS nyeri tenggorokan setelah Aldrette skor 10: ..........mm
14. Nilai VAS nyeri tenggorokan pada jam ke-1, ke-2, dan 24 jam pasca bedah
dicatat di tabel 3.
Tabel 3. Nilai VAS
Sampel
no.

Jam ke-1
Pk.........
Wita

Nilai VAS (mm)


Jam ke-2 24 jam
Pk..........
Pk..........
Wita
Wita

Keterangan

VAS

15. Kejadian efek samping diobservasi selama 24 jam dalam interval waktu
pengamatan 04 jam, 4-8 jam, dan 8-24 jam.
Efek samping:
1. Gejala eksitasi SSP (gelisah, agitasi, ketakutan, gembira berlebihan)
: YA/TIDAK*
2. Gejala depresi SSP (pusing, mengantuk, tinnitus, penglihatan kabur)
: YA/TIDAK*
3.

Depresi nafas

: YA/TIDAK*

4.

Kesemutan lidah : YA/TIDAK*

5.

Mual

: YA/TIDAK*

6.

Muntah

: YA/TIDAK*

7.

Lainnya

: ...................................(sebutkan)

Observer: ....................................
*Lingkari & coret yang lain

Lampiran 9
HASIL ANALISIS SPSS

Kelompok
Case Processing Summary
Cases
Valid
Kelompok
Umur (th)

BB

TB

BMI

Durasi (menit)

Missing

Percent

Total

Percent

Percent

Lidokain 2%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

NaCl 0,9%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

Lidokain 2%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

NaCl 0,9%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

Lidokain 2%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

NaCl 0,9%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

Lidokain 2%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

NaCl 0,9%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

Lidokain 2%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

NaCl 0,9%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

Tests of Normality
a

Kolmogorov-Smirnov
Kelompok
Umur (th)

BB

TB

BMI

Statistic

df

Shapiro-Wilk

Sig.

Statistic

df

Sig.

Lidokain 2%

.094

32

.200

.964

32

.346

NaCl 0,9%

.113

32

.200

.947

32

.117

Lidokain 2%

.171

32

.018

.939

32

.069

NaCl 0,9%

.145

32

.087

.943

32

.092

Lidokain 2%

.211

32

.001

.936

32

.057

NaCl 0,9%

.230

32

.000

.915

32

.016

Lidokain 2%

.159

32

.039

.882

32

.002

Durasi (menit)

NaCl 0,9%

.264

32

.000

.817

32

.000

Lidokain 2%

.062

32

.200

.981

32

.827

NaCl 0,9%

.106

32

.200

.970

32

.493

a. Lilliefors Significance Correction


*. This is a lower bound of the true significance.

Group Statistics
Kelompok
Umur (th)

BB

Durasi (menit)

Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

Lidokain 2%

32

37.25

11.604

2.051

NaCl 0,9%

32

38.19

13.035

2.304

Lidokain 2%

32

55.88

7.088

1.253

NaCl 0,9%

32

59.06

8.721

1.542

Lidokain 2%

32

166.28

80.588

14.246

NaCl 0,9%

32

177.78

68.910

12.182

Independent Samples Test


t-test for Equality of Means

Std. Error
Sig. (2-tailed)
Umur (th)

Mean Difference

Difference

Equal variances assumed

.762

-.938

3.085

Equal variances not

.762

-.938

3.085

Equal variances assumed

.114

-3.188

1.987

Equal variances not

.114

-3.188

1.987

Equal variances assumed

.542

-11.500

18.744

Equal variances not

.542

-11.500

18.744

assumed
BB

assumed
Durasi (menit)

assumed

Group Statistics
Kelompok
TB

BMI

Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

Lidokain 2%

32

1.6037

.06494

.01148

NaCl 0,9%

32

1.6281

.08078

.01428

Lidokain 2%

32

21.6619

1.75210

.30973

NaCl 0,9%

32

22.1666

1.70899

.30211

Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok
TB

BMI

Mean Rank

Sum of Ranks

Lidokain 2%

32

30.17

965.50

NaCl 0,9%

32

34.83

1114.50

Total

64

Lidokain 2%

32

29.09

931.00

NaCl 0,9%

32

35.91

1149.00

Total

64

Test Statistics

TB

BMI

Mann-Whitney U

437.500

403.000

Wilcoxon W

965.500

931.000

-1.026

-1.468

.305

.142

Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Grouping Variable: Kelompok

Case Processing Summary


Cases
Valid
N

Missing

Percent

Total

Percent

Percent

Jenis Kelamin * Kelompok

64

100.0%

.0%

64

100.0%

ASA * Kelompok

64

100.0%

.0%

64

100.0%

DIVISI * Kelompok

64

100.0%

.0%

64

100.0%

Jenis Kelamin * Kelompok


Crosstab
Kelompok
Lidokain 2%
Jenis Kelamin

Laki-laki

Count
% within Kelompok

Perempuan

Total

11

19

25.0%

34.4%

29.7%

24

21

45

75.0%

65.6%

70.3%

32

32

64

100.0%

100.0%

100.0%

Count
% within Kelompok

Total

Count
% within Kelompok

NaCl 0,9%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio

sided)

sided)

.412

.299

.584

.676

.411

.674
b

df

Fisher's Exact Test


Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases

sided)

.585
.663

64

.415

Exact Sig. (1-

.292

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.50.
b. Computed only for a 2x2 table

ASA * Kelompok
Crosstab
Kelompok
Lidokain 2%
ASA

Count
% within Kelompok

Total

19

29

31.3%

59.4%

45.3%

22

13

35

68.8%

40.6%

54.7%

32

32

64

100.0%

100.0%

100.0%

Count
% within Kelompok

Total

10

Count
% within Kelompok

NaCl 0,9%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio

sided)

sided)

.024

4.035

.045

5.180

.023

5.107
b

df

Fisher's Exact Test


Linear-by-Linear

Exact Sig. (1sided)

.044
5.028

.025

Association
N of Valid Cases

64

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.50.
b. Computed only for a 2x2 table

.022

Kelompok

Case Processing Summary


Cases
Valid
Kelompok
Cuff Pressure menit 0

Cuff Pressure menit 30

Cuff Pressure menit 60

Cuff Pressure menit 90

Cuff Pressure menit 120

Cuff Pressure akhir

Missing
Percent

Lidokain 2%

25

78.1%

NaCl 0,9%

28

87.5%

Lidokain 2%

25

78.1%

NaCl 0,9%

28

87.5%

Lidokain 2%

25

78.1%

NaCl 0,9%

28

87.5%

Lidokain 2%

25

78.1%

NaCl 0,9%

28

87.5%

Lidokain 2%

25

78.1%

NaCl 0,9%

28

87.5%

Lidokain 2%

25

78.1%

NaCl 0,9%

28

87.5%

Case Processing Summary


Cases
Missing
Kelompok
Cuff Pressure menit 0

Cuff Pressure menit 30

Cuff Pressure menit 60

Cuff Pressure menit 90

Percent

Total
N

Percent

Lidokain 2%

21.9%

32

100.0%

NaCl 0,9%

12.5%

32

100.0%

Lidokain 2%

21.9%

32

100.0%

NaCl 0,9%

12.5%

32

100.0%

Lidokain 2%

21.9%

32

100.0%

NaCl 0,9%

12.5%

32

100.0%

Lidokain 2%

21.9%

32

100.0%

Cuff Pressure menit 120

Cuff Pressure akhir

NaCl 0,9%

12.5%

32

100.0%

Lidokain 2%

21.9%

32

100.0%

NaCl 0,9%

12.5%

32

100.0%

Lidokain 2%

21.9%

32

100.0%

NaCl 0,9%

12.5%

32

100.0%

Tests of Normality
a

Kolmogorov-Smirnov
Kelompok
Cuff Pressure menit 0

Cuff Pressure menit 30

Cuff Pressure menit 60

Cuff Pressure menit 90

Cuff Pressure menit 120

Cuff Pressure akhir

Statistic

df

Lidokain 2%

.187

25

NaCl 0,9%

.182

28

Lidokain 2%

.175

25

NaCl 0,9%

.180

28

Lidokain 2%

.144

25

NaCl 0,9%

.151

28

Lidokain 2%

.165

25

NaCl 0,9%

.204

28

Lidokain 2%

.130

25

NaCl 0,9%

.171

28

Lidokain 2%

.146

25

NaCl 0,9%

.180

28

a. Lilliefors Significance Correction

Tests of Normality
Kolmogorova

Smirnov
Kelompok
Cuff Pressure menit 0

Sig.

Shapiro-Wilk
Statistic

df

Sig.

Lidokain 2%

.024

.930

25

.086

NaCl 0,9%

.019

.903

28

.014

Cuff Pressure menit 30

Cuff Pressure menit 60

Cuff Pressure menit 90

Cuff Pressure menit 120

Cuff Pressure akhir

Lidokain 2%

.047

.924

25

.063

NaCl 0,9%

.021

.923

28

.041

Lidokain 2%

.192

.915

25

.040

NaCl 0,9%

.100

.933

28

.074

Lidokain 2%

.079

.927

25

.076

NaCl 0,9%

.004

.935

28

.083

Lidokain 2%

.200

.936

25

.120

NaCl 0,9%

.034

.938

28

.098

Lidokain 2%

.177

.932

25

.097

NaCl 0,9%

.020

.950

28

.202

a. Lilliefors Significance Correction


*. This is a lower bound of the true significance.

T-Test
Group Statistics
Kelompok
Cuff Pressure menit 0

Cuff Pressure menit 30

Cuff Pressure menit 60

Cuff Pressure menit 90

Cuff Pressure menit 120

Cuff Pressure akhir

Mean

Std. Deviation Std. Error Mean

Lidokain 2%

32

19.34

3.773

.667

NaCl 0,9%

32

19.31

1.554

.275

Lidokain 2%

32

19.16

3.802

.672

NaCl 0,9%

32

19.41

1.604

.283

Lidokain 2%

32

18.88

3.908

.691

NaCl 0,9%

32

20.25

1.437

.254

Lidokain 2%

29

18.69

3.685

.684

NaCl 0,9%

29

20.93

1.668

.310

Lidokain 2%

25

18.68

3.848

.770

NaCl 0,9%

28

21.54

1.598

.302

Lidokain 2%

32

17.91

3.830

.677

NaCl 0,9%

32

22.16

1.780

.315

Independent Samples Test


t-test for
Levene's Test for Equality of

Equality of

Variances

Means

F
Cuff Pressure menit 0

Equal variances

Sig.
17.951

t
.000

.043

assumed
Equal variances not

.043

assumed
Cuff Pressure menit 30

Equal variances

16.392

.000

-.343

assumed
Equal variances not

-.343

assumed
Cuff Pressure menit 60

Equal variances

22.383

.000

-1.868

assumed
Equal variances not

-1.868

assumed
Cuff Pressure menit 90

Equal variances

15.628

.000

-2.984

assumed
Equal variances not

-2.984

assumed
Cuff Pressure menit 120 Equal variances

15.775

.000

-3.598

assumed
Equal variances not

-3.454

assumed
Cuff Pressure akhir

Equal variances

16.181

.000

-5.693

assumed
Equal variances not
assumed

-5.693

Independent Samples Test


t-test for Equality of Means

Mean
df
Cuff Pressure menit 0

Equal variances assumed


Equal variances not

Sig. (2-tailed)

Difference

62

.966

.031

41.227

.966

.031

62

.733

-.250

41.689

.734

-.250

62

.066

-1.375

39.230

.069

-1.375

56

.004

-2.241

39.007

.005

-2.241

51

.001

-2.856

31.301

.002

-2.856

62

.000

-4.250

43.795

.000

-4.250

assumed
Cuff Pressure menit 30

Equal variances assumed


Equal variances not
assumed

Cuff Pressure menit 60

Equal variances assumed


Equal variances not
assumed

Cuff Pressure menit 90

Equal variances assumed


Equal variances not
assumed

Cuff Pressure menit 120

Equal variances assumed


Equal variances not
assumed

Cuff Pressure akhir

Equal variances assumed


Equal variances not
assumed

Independent Samples Test


t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval of the
Difference
Std. Error
Difference
Cuff Pressure menit 0

Equal variances

Lower

Upper

.721

-1.411

1.473

.721

-1.425

1.488

.730

-1.708

1.208

.730

-1.723

1.223

.736

-2.846

.096

.736

-2.864

.114

.751

-3.746

-.737

.751

-3.761

-.722

.794

-4.449

-1.262

.827

-4.541

-1.170

.747

-5.742

-2.758

.747

-5.755

-2.745

assumed
Equal variances not
assumed
Cuff Pressure menit 30 Equal variances
assumed
Equal variances not
assumed
Cuff Pressure menit 60 Equal variances
assumed
Equal variances not
assumed
Cuff Pressure menit 90 Equal variances
assumed
Equal variances not
assumed
Cuff Pressure menit 120 Equal variances
assumed
Equal variances not
assumed
Cuff Pressure akhir

Equal variances
assumed
Equal variances not
assumed

Kelompok
Case Processing Summary
Cases
Valid
Kelompok
Volume Cuff Awal

Volume Cuff Akhir

Selisih Volume Cuff

Missing
Percent

Lidokain 2%

32

100.0%

NaCl 0,9%

32

100.0%

Lidokain 2%

32

100.0%

NaCl 0,9%

32

100.0%

Lidokain 2%

32

100.0%

NaCl 0,9%

32

100.0%

Case Processing Summary


Cases
Missing
Kelompok
Volume Cuff Awal

Volume Cuff Akhir

Selisih Volume Cuff

Percent

Total
N

Percent

Lidokain 2%

.0%

32

100.0%

NaCl 0,9%

.0%

32

100.0%

Lidokain 2%

.0%

32

100.0%

NaCl 0,9%

.0%

32

100.0%

Lidokain 2%

.0%

32

100.0%

NaCl 0,9%

.0%

32

100.0%

Case Processing Summary


b

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov
Kelompok
Volume Cuff Awal

Volume Cuff Akhir

Selisih Volume Cuff

Statistic

df

Lidokain 2%

.189

32

NaCl 0,9%

.223

32

Lidokain 2%

.209

32

NaCl 0,9%

.223

32

Lidokain 2%

.286

32

a. Lilliefors Significance Correction


b. Selisih Volume Cuff is constant when Kelompok = NaCl 0,9%. It
has been omitted.

Tests of Normality
Kolmogorova

Smirnov
Kelompok
Volume Cuff Awal

Volume Cuff Akhir

Selisih Volume Cuff

Shapiro-Wilk

Sig.

Statistic

df

Sig.

Lidokain 2%

.005

.822

32

.000

NaCl 0,9%

.000

.803

32

.000

Lidokain 2%

.001

.885

32

.003

NaCl 0,9%

.000

.803

32

.000

Lidokain 2%

.000

.860

32

.001

a. Lilliefors Significance Correction


b. Selisih Volume Cuff is constant when Kelompok = NaCl 0,9%. It has been omitted.

Group Statistics
Kelompok
Volume Cuff Awal

Volume Cuff Akhir

Selisih Volume Cuff

Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

Lidokain 2%

32

6.16

1.139

.201

NaCl 0,9%

32

6.06

.801

.142

Lidokain 2%

32

4.5781

1.25151

.22124

NaCl 0,9%

32

6.0625

.80071

.14155

Lidokain 2%

32

1.5781

.61052

.10793

NaCl 0,9%

32

.0000

.00000

.00000

Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok
Volume Cuff Awal

Volume Cuff Akhir

Selisih Volume Cuff

Mean Rank

Sum of Ranks

Lidokain 2%

32

32.55

1041.50

NaCl 0,9%

32

32.45

1038.50

Total

64

Lidokain 2%

32

20.97

671.00

NaCl 0,9%

32

44.03

1409.00

Total

64

Lidokain 2%

32

48.50

1552.00

NaCl 0,9%

32

16.50

528.00

Total

64

Test Statistics

Volume Cuff Awal


Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)

Volume Cuff Akhir

Selisih Volume Cuff

510.500

143.000

.000

1038.500

671.000

528.000

-.021

-5.046

-7.406

.983

.000

.000

Test Statistics

Volume Cuff Awal


Mann-Whitney U
Wilcoxon W

Volume Cuff Akhir

Selisih Volume Cuff

510.500

143.000

.000

1038.500

671.000

528.000

-.021

-5.046

-7.406

.983

.000

.000

Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Grouping Variable: Kelompok

Kelompok
Case Processing Summary
Cases
Valid
Kelompok
VAS Jam ke 1

VAS Jam ke 2

Missing

Percent

Total

Percent

Percent

Lidokain 2%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

NaCl 0,9%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

Lidokain 2%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

NaCl 0,9%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

32

100.0%

.0%

32

100.0%

VAS Jam ke 24 Lidokain 2%


NaCl 0,9%

b,c

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov
Kelompok

Statistic

VAS Jam ke 1 Lidokain 2%


NaCl 0,9%
VAS Jam ke 2 Lidokain 2%
NaCl 0,9%

df

Shapiro-Wilk

Sig.

Statistic

df

Sig.

.413

32

.000

.670

32

.000

.245

32

.000

.897

32

.005

.479

32

.000

.527

32

.000

.223

32

.000

.849

32

.000

a. Lilliefors Significance Correction


b. VAS Jam ke 24 is constant when Kelompok = Lidokain 2%. It has been omitted.
c. VAS Jam ke 24 is constant when Kelompok = NaCl 0,9%. It has been omitted.

Group Statistics
Kelompok
VAS Jam ke 1

VAS Jam ke 2

VAS Jam ke 24

Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

Lidokain 2%

32

4.00

5.742

1.015

NaCl 0,9%

32

10.06

5.041

.891

Lidokain 2%

32

2.06

3.983

.704

NaCl 0,9%

32

5.25

3.902

.690

Lidokain 2%

32

.00

.000

.000

NaCl 0,9%

32

.00

.000

.000

a. t cannot be computed because the standard deviations of both groups are 0.

NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok
VAS Jam ke 1

VAS Jam ke 2

VAS Jam ke 24

Mean Rank

Sum of Ranks

Lidokain 2%

32

24.42

781.50

NaCl 0,9%

32

40.58

1298.50

Total

64

Lidokain 2%

32

26.45

846.50

NaCl 0,9%

32

38.55

1233.50

Total

64

Lidokain 2%

32

32.50

1040.00

NaCl 0,9%

32

32.50

1040.00

Total

64

Test Statistics
VAS Jam ke 1

VAS Jam ke 2

VAS Jam ke 24

Mann-Whitney U

253.500

318.500

512.000

Wilcoxon W

781.500

846.500

1040.000

-3.624

-2.851

.000

.000

.004

1.000

Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Grouping Variable: Kelompok

Regression
b

ANOVA
Sum of
Model
1

Squares
Regression

df

Mean Square

501.637

501.637

Residual

1896.300

62

30.585

Total

2397.938

63

Sig.

16.401

.000

a. Predictors: (Constant), Selisih Volume Cuff


b. Dependent Variable: VAS Jam ke 1

Standardized
Unstandardized Coefficients

Model

(Constant)

Selisih Volume Cuff

Std. Error

Coefficients

Beta

9.496

.921

-3.124

.771

-.457

Sig.

10.310

.000

-4.050

.000

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 1


Coefficients

95.0% Confidence Interval for B


Model
1

Lower Bound
(Constant)
Selisih Volume Cuff

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 1

Upper Bound
7.655

11.337

-4.666

-1.582

Curve Fit
Model Summary and Parameter Estimates
Dependent Variable:VAS Jam ke 1
Model Summary
Equation
Linear

R Square
.209

F
16.401

df1

Parameter Estimates
df2

The independent variable is Selisih Volume Cuff.

Sig.
62

.000

Constant
9.496

b1
-3.124

ANOVA
Model
1

Sum of Squares
Regression

df

Mean Square

189.030

189.030

Residual

2208.908

62

35.628

Total

2397.938

63

Sig.

5.306

.025

a. Predictors: (Constant), Cuff Pressure akhir


b. Dependent Variable: VAS Jam ke 1

Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1

B
(Constant)

Std. Error

-2.460

4.188

.474

.206

Cuff Pressure akhir

Coefficients
Beta

.281

Sig.

-.587

.559

2.303

.025

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 1

Coefficients

95.0% Confidence Interval for B


Model
1

Lower Bound
(Constant)
Cuff Pressure akhir

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 1

Upper Bound

-10.831

5.911

.063

.885

Curve Fit

Model Summary and Parameter Estimates


Dependent Variable:VAS Jam ke 1
Model Summary
Equation
Linear

R Square
.079

F
5.306

df1

Parameter Estimates
df2

The independent variable is Cuff Pressure akhir.

Sig.
62

.025

Constant
-2.460

b1
.474

ANOVA
Model
1

Sum of Squares
Regression

df

Mean Square

114.271

114.271

Residual

1012.167

62

16.325

Total

1126.438

63

Sig.

7.000

.010

a. Predictors: (Constant), Selisih Volume Cuff


b. Dependent Variable: VAS Jam ke 2

Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1

B
(Constant)
Selisih Volume Cuff

Std. Error

Coefficients
Beta

4.833

.673

-1.491

.564

-.319

Sig.

7.182

.000

-2.646

.010

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 2

Coefficients

95.0% Confidence Interval for B


Model
1

Lower Bound
(Constant)
Selisih Volume Cuff

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 2

Upper Bound
3.488

6.178

-2.618

-.364

Curve Fit

Model Summary and Parameter Estimates


Dependent Variable:VAS Jam ke 2
Model Summary
Equation
Linear

R Square
.101

F
7.000

df1

Parameter Estimates
df2

The independent variable is Selisih Volume Cuff.

Sig.
62

.010

Constant
4.833

b1
-1.491

ANOVA
Model
1

Sum of Squares
Regression

df

Mean Square

37.924

37.924

Residual

1088.514

62

17.557

Total

1126.438

63

Sig.

2.160

.147

a. Predictors: (Constant), Cuff Pressure akhir


b. Dependent Variable: VAS Jam ke 2

Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1

B
(Constant)
Cuff Pressure akhir

Std. Error
-.595

2.940

.212

.144

Coefficients
Beta

.183

Sig.

-.202

.840

1.470

.147

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 2

Coefficients

95.0% Confidence Interval for B


Model
1

Lower Bound
(Constant)
Cuff Pressure akhir

a. Dependent Variable: VAS Jam ke 2

Upper Bound

-6.471

5.281

-.076

.501

Curve Fit

Model Summary and Parameter Estimates


Dependent Variable:VAS Jam ke 2
Model Summary
Equation
Linear

R Square
.034

F
2.160

df1

Parameter Estimates
df2

The independent variable is Cuff Pressure akhir.

Sig.
62

.147

Constant
-.595

b1
.212

Anda mungkin juga menyukai