Cedera Kepala Traumatik
Cedera Kepala Traumatik
Cedera Kepala Traumatik
No comments:
Berdasarkan patologinya, cedera kepala diklasifikasikan menjadi cedera kepala
primer, kerusakan otak sekunder, edema serebral perifokal generalisata, dan pergeseran otak
(brain shift)-herniasi batang otak (Satyanegara, 2010).
Cedera kepala primer dapat berupa (Satyanegara, 2010):
1.
2.
3.
otoregulasi.
Hematom traumatika: epidural, subdural (akut dan kronis), atau intraserebral.
Cedera kepala traumatik dikategorikan menjadi beberapa derajat, yaitu ringan (80%),
sedang (10%), atau berat (10%), tergantung dari tingkat disfungsi neurologis pada saat penilaian.
Penentuan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) sangat penting dilakukan sesegera mungkin, dan
dilakukan secara beberapa kali. Loss of consciousness (LOC) merupakan indikator penting dari
cedera kepala traumatik. Klasifikasi cedera kepala traumatik berdasarkan GCS (Marion, 2002):
A.
B.
-
C.
-
sederhana.
Prognosis baik.
Tingkat mortalitas <5%.
Cedera Kepala Berat
Biasanya skor GCS <8
Tidak dapat mengikuti perintah.
Tingkat mortalitas hingga saat ini >40%.
Pasien yang bertahan memiliki kecacatan yang signifikan.
Meningkatnya tekanan intra kranial merupakan penyebab umum dari kematian dan kecacatan
neurologis.
Mekanisme Trauma Kepala
Secara garis besar mekanisme trauma kepala dapat dikelompokkan menjadi dua tipe,
yaitu beban static (static loading) dan beban dinamik (dynamic loading). Beban static timbul
perlahan, dengan tekanan yang mengenai kepala secara bertahap. Hal ini dapat terjadi bila kepala
mengalami gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung dalam periode waktu yang
lebih dari 200 mili detik. Dengan kekuatan yang cukup besar dapat mengakibatkan retakan
tulang (egg-shell fracture), fraktur multiple atau kominutif dari tengkorak atau dasar tulang
tengkorak. Gangguan kesadaran atau deficit neurologis biasanya masih tidak ada, kecuali jika
deformasi tengkorak hebat yang mengakibatkan kompresi dan distorsi jaringan otak
(Satyanegara, 2010).
Mekanisme yang lebih umum terjadi adalah beban dinamik (dynamic loading) yang
berlangsung dalam waktu yang lebih singkat (<200 mili detik). Beban dinamik ini dibagi
menjadi dua jenis yaitu beban guncangan (impulsive loading) dan beban benturan (impact
loading). Beban guncangan (impulsive loading) terjadi bila kepala mengalami kombinasi antara
percepatan-perlambatan (aselerasi-deselerasi) secara mendadak, kepala yang diam tiba-tiba
digerakkan mendadak, atau sebaliknya, tanpa mengalami benturan. Hal ini dapat terjadi misalnya
pukulan pada dada yang mengakibatkan guncangan kepala yang hebat, dimana hal ini tidak ada
benturan pada tengkorak. Sedangkan beban benturan (impact loading) lebih sering terjadi,
biasanya merupakan kombinasi dari kekuatan beban kontak (contact forces) dan kekuatan beban
lanjut (inertial forces). Respon kepala terhadap beban-beban ini tergantung dari obyek yang
membentur kepala. Jika kepala tidak bergerak wantu kena benturan, efek yang terjadi sangat
minimal. Namun jika energi benturan dihantarkan ke kepala sebesar tenaga kontak selanjutnya
menimbulkan efek gabungan yang dikenal sebagai fenomena kontak (Satyanegara, 2010)
Fenomena kontak adalah suatu kelompok peristiwa mekanis yang timbul di dekat
namun terpisah dari titik benturan. Fenomena ini tergantung dari ukuran alat pembentur dan arah
tenaga pada titik benturan (dalam hal ini ditentukan oleh massa, permukaan, kecepatan, dan
densitas obyek). Selanjutnya, energi benturan dihantarkan pada kepala. Obyek yang lebih besar
dari lima sentimeter persegi mengakibatkan deformitas lokal tengkorak, yang bila melebihi
toleransi akan terjadi fraktur. Sedangkan penetrasi, perforasi, atau fraktur depress lokal
kebanyakan disebabkan oleh obyek dengan permukaan yang luasnya kurang dari lima sentimeter
persegi (Satyanegara, 2010).
Penatalaksanaan Cedera Kepala Traumatik Berat
Pada manajemen perawatan intensif pada pasien dengan cedera kepala traumatik berat (GCS
<8), tujuan utamanya adalah mencegah cedera kepala sekunder dengan membatasi iskemia
serebral fokal dan meningkatkan perfusi serebral. Hal ini dapat tercapai dengan baik dengan
mengawasi parameter fisiologis secara kontinu dan penggunaan terapi yang tepat untuk
menurunkan tekanan intra kranial (TIK) (Marion, 2002).
1.
2.
Tujuan terapi
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Rata-rata tekanan darah arterial dari 90 hingga 110 mmHg pada orang dewasa.
Saturasi O2 (arterial) 100%
TIK <20 mmHg
CPP >60-70 mmHg
PaCO2 = 35 2 mmHg
Hematokrit = 32 2 %
Tekanan vena sentral = 8 hingga 14 cm H2O
Hindari cairan intravena yang mengandung dextrose untuk 24 jam pertama
Mempertahankan saturasi O2 vena jugularis >50% atau isi O2 4-6%
Memastikan PT, PTT, dan hitung trombosit normal
Merpertahankan suhu normal
3.
a.
Peningkatan hasil dapat diharapkan jika TIK tetap terjaga <20 mmHg. Alat pengontrol TIK yang
dianjurkan adalah kateter ventriculostomy yang dihubungkan dengan alat ukur. Sistem ini relatif
tidak mahal, akurat, dan memungkinkan drainase CSF ketika pengaturan atau pengontrolan TIK
diperlukan.
b. Kateter substansia alba juga akurat dan dapat dipergunakan dengan lebih mudah, namun lebih
mahal dan tidak dapat digunakan untuk drainase CSF.
c. Drainase CSF kontinu tidak dianjurkan karena dinding ventrikuler dapat kolaps disekeliling
kateter dan menutup salurannya.
d. Satu kali pengulangan pemeriksaan CT scan kepala sebaiknya dilakukan dalam 24 jam setelah
pemeriksaan CT scan pertama untuk mengetahui adanya delayed posttraumatic hematoma, dan
suatu pemeriksaan CT scan juga dilakukan jika terjadi peningkatan TIK yang mendadak atau jika
terdapat perburukan pemeriksaan neurologis.
e. Ketika menggunakan barbiturat, penekanan dari kontraktilitas miokard dapat diminimalisir
dengan mempertahankan volume intravaskuler yang normal-tinggi. Pada semua pasien yang
menerima terapi barbiturate (untuk TIK yang meningkat), cardiac output dan cardiac preload
sebaiknya diukur secara teratur.
f. Hindari hipovolemia dan hiperosmolalitas jika menggunakan manitol. Osmolalitas sebaiknya
dipertahankan <310 hingga 320 mOsm.
4.
Profilaksis antikonvulsan
Terapi antikonvulsan jangka panjang tidak dianjurkan pada pasien dengan cedera kepala
traumatik. Anjuran yang ada saat ini adalah penggunaan fenitoin dalam 7 hari pertama setelah
cedera pada pasien yang mempunyai risiko tinggi kejang pasca-trauma. Faktor risiko ini
termasuk memar kortikal, hematoma subdural, luka tusuk kepala, hematoma epidural, fraktur
kranium yang tertekan masuk, hematoma intraserebral, dan kejang dalam 24 jam setelah cedera.
5.
6.
Prognosis
a.
Hasil penanganan cedera kepala traumatik berat sangat terkait dengan skor GCS awal, ukuran
dan reaktivitas pupil, usia, TIK (tekanan >20 mmHg atau ketidakmampuan menurunkan TIK
yang meningkat), massa intracranial, hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg), dan saturasi
Marion D.W. 2002. Head Injury dalam The Trauma Manual 2nd Ed. Lippincott Williams and Wilkins.
Pp: 133-6
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Ed.IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pp: 191-2; 198