B.
ini
dikarenakan
berbagai
macam
komponen
molekular
4. Patogenesis
ARDS tidak sepenuhnya diketahui. Pada ARDS, terjadi injuri paru
yang menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada sel endotel dan epitel
alveolus. Kerusakan ini merusak fungsi daripada barrier paru, terisinya
alveolus dengan cairan, inaktivasi surfaktan, dan menghilangnya
komplians paru serta terganggunya fungsi pertukaran gas. (Piantadosi dan
Schwartz, 2004).
Kejadian-kejadian tersebut dicerminkan dengan adanya infiltrat
bilateral pada pulmo, yang sulit dibedakan lewat foto thorax konvensional
dengan edema pulmo kardiogenik. Temuan mikroskopik memperlihatkan
kerusakan alveolus dan kapiler yang difus,
membran hyalin, cairan kaya protein, dan sel-sel inflamasi. edema terjadi
karena meningkatnya permeabilitas kapiler paru. Kerusakan sel endotel
telah lama diketahui sebagai kunci dalam pathogenesis ARDS. Pada
ARDS, terjadi aktivasi daripada sel endotel. Aktivasi endotel akan
mempengaruhi flux cairan pada kapiler lewat dua cara. Yang pertama,
endotel yang telah teraktivasi akan mengeluarkan mediator inflamasi yang
justru akan meningkatkan injuri pada endotel itu sendiri, mediator
inflamasi juga menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
cairan akan mudah keluar dari kapiler. Kedua, endotel teraktivasi
mengeluarkan mediator vasoaktif. Mediator ini meningkatkan aliran darah
pada kapiler paru, ynag diikuti dengan peningkatan tekanan hidrostatik
pada
orang
dewasa.
Penyebab
hipoksemia
adalah
karena penebalan dinding alveoli-kapiler. Ketidakseimbangan ventilasiperfusi akibat adanya pirau aliran darah paru intrapulmonal masif. Pada
keadaan normal pirau intrapulmonal ini didapatkan dalam presentase
yang kecil dari curah jantung total. Pada sindrom gagal nafas ini pirau
tersebut meningkat hingga 25-50% dari curah jantung total dan hal ini
terjadi karena adanya perfusi yang persisten pada alveoli yang kolaps/
alveoli yang terisi cairan. (Muttaqin, 2008).
6. Gambaran klinik
Gambaran primer dari ARDS meliputi hipoksemia sehingga terjadi
takipnea berat, berkurangnya daya kembang paru yang progresif sehingga
terjadi pertambahan kerja pernafasan sekunder, dan dispnea. Daya
kembang paru-paru menurun hingga 15 sampai 20 ml/cm H2O. Kapasitas
residu fungsional juga berkurang. Gambaran-gambaran ini merupakan
akibat edema alveolar dan interstitial. Akibatnya, timbul paru yang kaku
yang sukar berventilasi.
Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi dengan
pemberian oksigen selama bernafas spontan. Sianosis dapat atau tidak
terjadi. Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah tanda dini dan nyata
dari hipoksemia. Frekuensi pernafasan sering kali meningkat secara
bermakna dengan ventilasi menit tinggi (Muttaqin, 2008).
7. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa ARDS sangat tergantung dari
pengambilan anamnesa klinis yang tepat. Pemeriksaan laboratorium
analisis gas darah menunjukkan kondisi hipoksemia, kemudian terjadi
hiperkapnea dengan asidosis respiratorik pada tahap akhir. Pada
permulaan, foto dada menunjukkan kelainan minimal dan kadang terdapat
gambaran edema interstisial. Pemberian oksigen pada tahap awal
umumnya dapat menaikkan tekanan PO2 arteri ke arah yang masih dapat
ditolelir. Pada tahap berikutnya sesak nafas bertambah, sianosis penderita
menjadi lebih berat, ronki mungkin terdengar di seluruh paru-paru. Pada
saat ini foto dada menunjukkan infiltrat alveolar bilateral dan tersebar
luas. Pada saat terminal sesak nafas menjadi lebih hebat dan volume tidal
sangat menurun, kenaikan PCO2 dan hipoksemia bertambah berat, terdapat
asidosis metabolik akibat hipoksia, serta asidosis respiratorik dan tekanan
darah sulit dipertahankan (Muttaqin, 2008).
Kriteria diagnosis ARDS:
a. Onset akut (<7 hari).
b. PaO2/FiO2 < 200 mmHg.
i. Pada kerusakan paru akut, PaO2/FiO2 <300 mmHg.
c. Tampak infiltrat difus pada lapang paru bilateral dari gambaran
radiologis secara frontal.
d. Ketiadaan hipertensi atrium kiri
1. PCWP <18mmHg jika terukur
2. Tidak ada bukti klinis terjadi peningkatan tekanan atrium kiri
(Chalupka dan Lieberman, 2011).
8. Tatalaksana
Penatalaksanaan untuk ARDS merupakan terapi yang bersifat supportive
di ICU, yaitu ventilasi mekanik, pencegahan ulcus stress dan
tromboemboli vena, dan nutrisi yang adekuat. Penggunaan kortikosteroid
masih controversial. Randomized controlled trials and cohort studies tend
to support early use of corticosteroids. Studi RCT dan kohort mendukung
penggunaan dini steroid (methylprednisolone dosis1-120 mg per kg per
day) untuk mengurangi jumlah hari penggunaan ventilator, namun tidak
terlihat keuntungan dari segi mortalitas pada terapi ini.(Saguil dan Fargo,
2012).
Untuk pencegahan tromboemboli vena, dapat diberikan lowmolecular-weight heparin (40 mg enoxaparin atau 5,000 units dalteparin
subkutan satu kali/hari) atau dosis rendah unfractionated heparin (5,000
units subcutan dua kali sehari) jika tanpa kontraindikasi. Pencegahan ulkus
stress dapat diberikan sucralfate (1 g oral atau via nasogastric tube empat
kali sehari), ranitidine (150 mg oral atau via nasogastric tube dua kali
sehari, 50 mg intravena setiap 6-8 jam) atau omeprazole (40 mg oral,
intravena, atau via nasogastric tube satu kali sehari ).32-35 pAsien juga
harus diberikan nutrisi enteral dalam 24 to 48 jam setelah masuk ICU.
C.
Gambaran
(ARDS)
1. Radiografi Toraks
Temuan rontgen thoraks pada ARDS sangat bervariasi tergantung
pada tahap penyakitnya. Temuan radiografi dada yang paling umum adalah
konsolidasi
asimetris
bilateral,
terutama
di
perifer,
dengan
air
toraks pasien ARDS, dan temuan ini sering terlihat pada pasien dengan
gagal jantung kongestif (CHF). Temuan radiografi cenderung stabil (bagian
dari definisi klinis ARDS); jika pada hasil radiografi terjadi perburukan
setelah 5-7 hari, proses penyakit lain harus dipertimbangkan (Keneth,
2014).
Hubungan antara radiografi toraks dengan temuan patologis paru
sangat berguna karena steroid dapat membantu pada awal proses fibrosis
ARDS. Pada fase eksudatif awal, radiografi dada menunjukkan 3 temuan
umum. (1), tampilan opasifikasi bilateral; (2) konsolidasi asimetris; dan (3)
penampilan konsolidatif central bat-wing (Keneth, 2014).
Pada tahap fibrosis, radiografi toraks mungkin memiliki penampilan
interstitial, yang belum tentu karena fibrosis. Spesimen patologis telah
dianalisis, dan temuan fibrosis paru parah tidak berkorelasi dengan temuan
foto toraks tertentu, termasuk pola reticular. Computed tomography (CT)
scan memberikan informasi lebih rinci dan lebih dapat diandalkan pada
penilaian area konsolidasi dan fibrosis (Keneth, 2014).
Jika pasien bertahan, sebagian besar kelainan radiografi membaik
setelah 10-14 hari. Kecepatan dan derajat perbaikan ini bervariasi dari
resolusi lengkap sebelum pasien pulang dari unit perawatan intensif (ICU)
sampai perbaikan bertahap selama beberapa bulan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatan pemulihan tidak diketahui, tetapi kemungkinan
berhubungan dengan faktor medis lain misalnya, usia pasien dan kondisi
penyakit yang mendasari (Keneth, 2014).
Terapi untuk ARDS dapat mempengaruhi tampilan radiografi
toraks. Untuk meningkatkan oksigenasi, dokter dapat menempatkan pasien
dalam posisi telungkup. Namun, uji klinis telah gagal untuk membuktikan
bahwa ada manfaat dari segi mortalitas pada posisi telungkup ini (Keneth,
2014).
scan pasien ARDS dengan AIP cenderung memiliki konsolidasi yang lebih
simetris, distribusi yang lebih basilar, dan lebih banyak honeycombing
(26%) dibandingkan dengan pasien tanpa AIP (8%). Pada pasien dengan
ARDS karena penyebab lain, sering didapatkan gambaran efusi pleura dan
air bronchograms, sedangkan garis Kerley B dan pneumatoceles jarang
terjadi. Jika seorang pasien ditempatkan pada posisi telungkup, karena
mereka terkadang berusaha untuk meningkatkan oksigenasi, konsolidasi
dapat bergeser seiring waktu ke bagian anterior dari parenkim paru, yang
sekarang menjadi area terpengaruh gravitasi pada paru (Keneth, 2014).
CT scan dapat digunakan untuk mendeteksi tampilan patologis dan
komplikasi ARDS yang tersembunyi pada radiografi toraks terutama
karena konsolidasi difus menghalangi temuan lain, yang meliputi: kelainan
pleura (misalnya, pneumotoraks), penyakit parenkim (misalnya, nodul ,
kekeruhan fokus, emfisema interstisial), dan penyakit mediastinum
(misalnya, pembesaran kelenjar getah bening). Dalam sebuah penelitian,
pneumotoraks yang tak terlihat pada radiografi toraks dapat dideteksi
dengan CT scan pada sepertiga pasien. Selain itu, posisi selang torakostomi
dapat lebih baik digambarkan dengan CT scan sehingga kebutuhan untuk
reposisi dapat ditentukan (Keneth, 2014).
Pada stadium akhir dari ARDS, CT scan lebih dapat diandalkan
dibandingkan radiografi toraks dalam deteksi suspek fibrosis karena
perubahan yang menyertai fibrosis menjadi lebih jelas. Temuan yang
sugestif fibrosis dan lebih baik divisualisasikan pada CT scan termasuk
traksi bronkiektasis, distorsi lobular, garis intralobular, dan dalam kasuskasus lanjutan, kerusakan paru-paru cystic (juga disebut honeycombing)
(Keneth, 2014).
Terapi ARDS juga dapat mengubah penampilan CT scan.
Penggunaan
perflubron
pada
ventilasi
cair
parsial
menyebabkan
3. Utrasonografi
Leblanc et al menemukan bahwa kontusio paru luas yang dinilai
oleh USG paru pada pemeriksaan awal dapat memprediksi terjadinya
ARDS dalam waktu 72 jam (AUC-ROC = 0.78 [95% CI 0,64-0,92]).
Mereka memutuskan bahwa tingkat kontusio paru pada LUS (Lung
ultrasound) berkorelasi baik dengan pengukuran CT scan. Sebuah LUS
dengan skor 6 dari 16 adalah ambang terbaik untuk memprediksi ARDS,
dengan sensitivitas 58% [95% CI 36-77] dan spesifisitas 96% [95% CI 76100] (Keneth, 2014).
4. Pencitraan nuklir