Anda di halaman 1dari 14

A.

Anatomi dan Fisiologi Respirasi

B.

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


1. Definisi
Definisi dari Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) atau
sindroma gagal nafas akut selalu berganti tiap waktu. Pada awal tahun
1960 Burke dan kawan-kawan menggunakan istilah High Output
Respiratory Failure untuk menggambarkan type dari gagal nafas yang
ditandai dengan ketidakmampuan untuk melakukan oksigenasi yang
adekuat dan pengeluaran karbondioksida. Hal yang sering digunakan
untuk menggambarkan sindroma ini termasuk : pernyakit membrane
hialin pada orang dewasa, sindroma insufisiensi pernafasan pada orang
dewasa, atelektasis kongesti, sindroma perdarahan paru, Da Nang Lung,
stiff-lung sindroma, dan lain sebagainya (Varon, 1997).
Sindroma gagal nafas adalah gangguan fungsi paru akibat
kerusakan alveoli yang difus, ditandai dengan kerusakan sawar membrane
kapiler alveoli, sehingga menyebabkan terjadinya edema alveoli yang
kaya protein disertai dengan adanya hipoksemia. Kelainan ini umumnya
timbul mendadak pada pasien tanpa kelainan paru sebelumnya dan dapat
disebabkan oleh berbagai macam keadaan (Suwondo, 2001).
2. Epidemiologi
Institusi kesehatan nasional memperkirakan pada tahun 1942
terdapat 150 ribu kasus baru dari ARDS pertahunnya di Amerika Serikat,
dengan insiden sebesar 75 kasus per 100.000/tahun. Insiden ARDS sangat
sulit untuk ditentukan keakuratannya karena perubahan dari definisi,

kegagalan untuk mendapatkan data yang komplit dan keragu-raguan


tentang populasi yang benar. Dari beberapa kemungkinan studi Kohort
yang baru-baru ini ditemukan lebih banyak peningkatan kecepatan tingkat
insidensi, yaitu berubah dari 1,53,5 kasus/100.000/tahun di Pulau Kanari
menjadi 4,88,3 kasus/100.000/tahun di Negara Utah. Studi lain
menemukan insiden 4,5 dan 3,0 per 100.000/tahun di U. Kingdom dan di
Berlin (Mark dan Evan, 2003).
Insiden ARDS ini berubah-ubah tergantung dari kriteria diagnosis
yang digunakan untuk definisi yang diberikan, sebagai penyakit yang
mendasari menjadi suatu faktor resiko. Perkiraan insiden ARDS di
Amerika Serikat setiap tahunnya setelah dijumlahkan mendekati 150 ribu
kasus baru pertahunnya. Dalam penelitian oleh Fowler dkk insiden ini
bervariasi dari 2% (yaitu pada pasien post coronary arteri baypass atau
pasien terbakar) menjadi 36% (yaitu pada Gastric broncho aspirasi).
Dalam penelitian Kohort yang serupa, Pepe dkk menemukan bahwa
insiden ARDS berkisar dari 8% (pada pasien dengan multipel fraktur)
menjadi 38% (pada pasien dengan sepsis) (Varon, 1997).
3. Etiologi
ARDS terjadi karena adanya injuri pada paru, baik secara langsung
(aspirasi, pneumonia, inhalasi gas beracun) maupun tidak langsung
(sepsis). Injuri paru tidak langsung merupakan kausa yang lebih umum
daripada injuri langsung (Rubenfeld et al., 2005).
Di eropa dan amerika utara, sepsis dan pneumonia merupakan
penyebab utama ARDS. Pasien dengan sepsis memiliki risiko tertinggi
untuk berkembang menjadi ARDS. Keberadaan endotoxin dalam darah
dan durasi syok septic diasosiasikan dengan insidensi ARDS yang tinggi.
Hal

ini

dikarenakan

berbagai

macam

komponen

molekular

mikroorganisme dapat menyebabkan inflamasi pulmo yang berat (Ware


dan Matthay, 2000).

4. Patogenesis
ARDS tidak sepenuhnya diketahui. Pada ARDS, terjadi injuri paru
yang menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada sel endotel dan epitel
alveolus. Kerusakan ini merusak fungsi daripada barrier paru, terisinya
alveolus dengan cairan, inaktivasi surfaktan, dan menghilangnya
komplians paru serta terganggunya fungsi pertukaran gas. (Piantadosi dan
Schwartz, 2004).
Kejadian-kejadian tersebut dicerminkan dengan adanya infiltrat
bilateral pada pulmo, yang sulit dibedakan lewat foto thorax konvensional
dengan edema pulmo kardiogenik. Temuan mikroskopik memperlihatkan
kerusakan alveolus dan kapiler yang difus,

rongga alveolus tertutup

membran hyalin, cairan kaya protein, dan sel-sel inflamasi. edema terjadi
karena meningkatnya permeabilitas kapiler paru. Kerusakan sel endotel
telah lama diketahui sebagai kunci dalam pathogenesis ARDS. Pada
ARDS, terjadi aktivasi daripada sel endotel. Aktivasi endotel akan
mempengaruhi flux cairan pada kapiler lewat dua cara. Yang pertama,
endotel yang telah teraktivasi akan mengeluarkan mediator inflamasi yang
justru akan meningkatkan injuri pada endotel itu sendiri, mediator
inflamasi juga menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
cairan akan mudah keluar dari kapiler. Kedua, endotel teraktivasi
mengeluarkan mediator vasoaktif. Mediator ini meningkatkan aliran darah
pada kapiler paru, ynag diikuti dengan peningkatan tekanan hidrostatik

sehingga akan memperburuk edema yang terjadi. (Piantadosi dan


Schwartz, 2004).
5. Patofisiologi
Sindrom gagal pernafasan pada orang dewasa selalu berhubungan
dengan penambahan cairan dalam paru. ARDS merupakan suatu edema
paru yang berbeda dari edema paru karena kelainan jantung olah karena
tidak adanya peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru. Secara
patologi anatomi, ARDS dibagi dalam 3 tahap yang dapat berlangsung
beberapa minggu hingga bulan, yaitu:
a. Tahap eksudatif
Ditandai dengan pembentukan cairan berlebih, protein, serta sel
inflamatori dari kapiler yang kemudian akan menumpuk ke dalam
alveoli.
b. Tahap fibroproliperatif
Akibat adanya respon dari stimuli yang merugikan maka akan
terbentuk jaringan ikat dengan perubahan beberapa struktur paru
sehingga secara mikroskopik jaringan paru akan tampak seperti
jaringan padat. Pada keadaan ini, pertukaran gas dalam alveolar akan
sangat berkurang sehingga tampilan penderita secara klinis akan
tampak seperti pneumonia.
c. Tahap resolusi dan pemulihan
Tahap ini terjadi setelah fase akut telah terlewati. Edema paru
ditangani dengan transport aktif Na, transport pasif Cl, dan transport
H2O melalui aquaporins pada sel tipe I, sementara protein tidak larut
dibuang dengan proses difusi, endositosis sel epitel, dan fagositosis
oleh sel makrofag. Akhirnya reepitelisasi terjadi pada sel epitel tipe II
dari pneumosit yang berproliferasi pada dasar membrana basalis dan
distimulasi ole growth factor seperti KGF. Neutrofil dibuang melalui

proses apoptosis. Sementara pada penderita yang masih dalam tahap


fibrosis pada hari ke 5-6 setelah didiagnosis ARDS, maka ruang
alveolar akan dipenuh oleh sel-sel mesenkim dengan produkproduknya, serta terjadi pembentukan pembuluh darah baru. Semakin
banyak jaringan fibrosis yang terbentuk, prognosa semakin buruk.
Apalagi bila muncul prokolagen III secara dini pada cairan
bronchoalveolar lavage ((Pranggono, 2014).
Pada ARDS, mula-mula terjadi kerusakan membran kapiler alveoli,
kemudian terjadi peningkatan permeabilitas endotel kapiler paru dan
epitel alveoli yang mengakibatkan edema alveoli dan interstitial. Dampak
dari masuknya cairan ke dalam alveolus adalah atelektasis, pengurangan
volume paru, paru menjadi kaku, complain paru yang buruk, abnormalitas
pertukaran gas, dan hipertensi pulmonal. Selanjutnya akan terjadi proses
perbaikan melalui pembentukan jaringan fibrosis yang akan merusak
arsitektur paru sehingga menjadi emfisematous dan terjadi obliterasi
mikrovaskuler, serta peningkatan jumlah dead space.
Derajat kerusakan epitel alveolar menentukan tingkat keparahan
edema dan berkurangnya surfaktan. Keadaan ini merupakan prediposisi
terjadinya infeksi bakteri sehingga timbul pneumonia, syok sepsis, dan
jaringan fibrosis. Yang banyak berperan pada tahap awal adalah neutrofil
PMN yang dapat dijumpai pada alveoli dan cairan BAL. Reaksi inflamasi
di awali dengan kerja sama yang komplek dari jaringan dan sitokin IL 8,
IL 10, dna MIF, serta mediator inflamasi lokal lainnya sehingga
melibatkan sistem koagulasi dan surfaktan (Pranggono, 2014).
Hipoksemia yang berat merupakan gejala penting sindrom gagal
pernafasan

pada

orang

dewasa.

Penyebab

hipoksemia

adalah

ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, hubungan arterio-venus (aliran


darah mengalir ke alveoli yang kolaps) dan kelainan difusi alveoli-kapiler

karena penebalan dinding alveoli-kapiler. Ketidakseimbangan ventilasiperfusi akibat adanya pirau aliran darah paru intrapulmonal masif. Pada
keadaan normal pirau intrapulmonal ini didapatkan dalam presentase
yang kecil dari curah jantung total. Pada sindrom gagal nafas ini pirau
tersebut meningkat hingga 25-50% dari curah jantung total dan hal ini
terjadi karena adanya perfusi yang persisten pada alveoli yang kolaps/
alveoli yang terisi cairan. (Muttaqin, 2008).

6. Gambaran klinik
Gambaran primer dari ARDS meliputi hipoksemia sehingga terjadi
takipnea berat, berkurangnya daya kembang paru yang progresif sehingga
terjadi pertambahan kerja pernafasan sekunder, dan dispnea. Daya
kembang paru-paru menurun hingga 15 sampai 20 ml/cm H2O. Kapasitas
residu fungsional juga berkurang. Gambaran-gambaran ini merupakan
akibat edema alveolar dan interstitial. Akibatnya, timbul paru yang kaku
yang sukar berventilasi.
Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi dengan
pemberian oksigen selama bernafas spontan. Sianosis dapat atau tidak
terjadi. Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah tanda dini dan nyata
dari hipoksemia. Frekuensi pernafasan sering kali meningkat secara
bermakna dengan ventilasi menit tinggi (Muttaqin, 2008).
7. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa ARDS sangat tergantung dari
pengambilan anamnesa klinis yang tepat. Pemeriksaan laboratorium
analisis gas darah menunjukkan kondisi hipoksemia, kemudian terjadi
hiperkapnea dengan asidosis respiratorik pada tahap akhir. Pada
permulaan, foto dada menunjukkan kelainan minimal dan kadang terdapat
gambaran edema interstisial. Pemberian oksigen pada tahap awal

umumnya dapat menaikkan tekanan PO2 arteri ke arah yang masih dapat
ditolelir. Pada tahap berikutnya sesak nafas bertambah, sianosis penderita
menjadi lebih berat, ronki mungkin terdengar di seluruh paru-paru. Pada
saat ini foto dada menunjukkan infiltrat alveolar bilateral dan tersebar
luas. Pada saat terminal sesak nafas menjadi lebih hebat dan volume tidal
sangat menurun, kenaikan PCO2 dan hipoksemia bertambah berat, terdapat
asidosis metabolik akibat hipoksia, serta asidosis respiratorik dan tekanan
darah sulit dipertahankan (Muttaqin, 2008).
Kriteria diagnosis ARDS:
a. Onset akut (<7 hari).
b. PaO2/FiO2 < 200 mmHg.
i. Pada kerusakan paru akut, PaO2/FiO2 <300 mmHg.
c. Tampak infiltrat difus pada lapang paru bilateral dari gambaran
radiologis secara frontal.
d. Ketiadaan hipertensi atrium kiri
1. PCWP <18mmHg jika terukur
2. Tidak ada bukti klinis terjadi peningkatan tekanan atrium kiri
(Chalupka dan Lieberman, 2011).

8. Tatalaksana
Penatalaksanaan untuk ARDS merupakan terapi yang bersifat supportive
di ICU, yaitu ventilasi mekanik, pencegahan ulcus stress dan
tromboemboli vena, dan nutrisi yang adekuat. Penggunaan kortikosteroid
masih controversial. Randomized controlled trials and cohort studies tend
to support early use of corticosteroids. Studi RCT dan kohort mendukung
penggunaan dini steroid (methylprednisolone dosis1-120 mg per kg per
day) untuk mengurangi jumlah hari penggunaan ventilator, namun tidak

terlihat keuntungan dari segi mortalitas pada terapi ini.(Saguil dan Fargo,
2012).
Untuk pencegahan tromboemboli vena, dapat diberikan lowmolecular-weight heparin (40 mg enoxaparin atau 5,000 units dalteparin
subkutan satu kali/hari) atau dosis rendah unfractionated heparin (5,000
units subcutan dua kali sehari) jika tanpa kontraindikasi. Pencegahan ulkus
stress dapat diberikan sucralfate (1 g oral atau via nasogastric tube empat
kali sehari), ranitidine (150 mg oral atau via nasogastric tube dua kali
sehari, 50 mg intravena setiap 6-8 jam) atau omeprazole (40 mg oral,
intravena, atau via nasogastric tube satu kali sehari ).32-35 pAsien juga
harus diberikan nutrisi enteral dalam 24 to 48 jam setelah masuk ICU.

C.

Gambaran
(ARDS)

Radiologi pada Acute Respiratory Distress Syndrome

1. Radiografi Toraks
Temuan rontgen thoraks pada ARDS sangat bervariasi tergantung
pada tahap penyakitnya. Temuan radiografi dada yang paling umum adalah
konsolidasi

asimetris

bilateral,

terutama

di

perifer,

dengan

air

bronchogram. Septal line dan efusi pleura jarang terjadi. Pertimbangan


diagnosis banding mencakup pneumonia seperti yang disebabkan oleh
aspirasi, perdarahan alveolar difus, dan edema paru akibat penyebab
apapun (Keneth, 2014).
Temuan awal pada radiografi toraks mencakup opasitas normal atau
opasitas alveolar difus (konsolidasi) , yang biasanya bilateral dan disertai
tanda-tanda vaskular paru yang jelas. Kemudian, kekeruhan ini
berkembang menjadi konsolidasi yang lebih luas yang difus, dan seringkali
asimetris. Efusi dan garis septum biasanya tidak terlihat pada radiografi

toraks pasien ARDS, dan temuan ini sering terlihat pada pasien dengan
gagal jantung kongestif (CHF). Temuan radiografi cenderung stabil (bagian
dari definisi klinis ARDS); jika pada hasil radiografi terjadi perburukan
setelah 5-7 hari, proses penyakit lain harus dipertimbangkan (Keneth,
2014).
Hubungan antara radiografi toraks dengan temuan patologis paru
sangat berguna karena steroid dapat membantu pada awal proses fibrosis
ARDS. Pada fase eksudatif awal, radiografi dada menunjukkan 3 temuan
umum. (1), tampilan opasifikasi bilateral; (2) konsolidasi asimetris; dan (3)
penampilan konsolidatif central bat-wing (Keneth, 2014).
Pada tahap fibrosis, radiografi toraks mungkin memiliki penampilan
interstitial, yang belum tentu karena fibrosis. Spesimen patologis telah
dianalisis, dan temuan fibrosis paru parah tidak berkorelasi dengan temuan
foto toraks tertentu, termasuk pola reticular. Computed tomography (CT)
scan memberikan informasi lebih rinci dan lebih dapat diandalkan pada
penilaian area konsolidasi dan fibrosis (Keneth, 2014).
Jika pasien bertahan, sebagian besar kelainan radiografi membaik
setelah 10-14 hari. Kecepatan dan derajat perbaikan ini bervariasi dari
resolusi lengkap sebelum pasien pulang dari unit perawatan intensif (ICU)
sampai perbaikan bertahap selama beberapa bulan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatan pemulihan tidak diketahui, tetapi kemungkinan
berhubungan dengan faktor medis lain misalnya, usia pasien dan kondisi
penyakit yang mendasari (Keneth, 2014).
Terapi untuk ARDS dapat mempengaruhi tampilan radiografi
toraks. Untuk meningkatkan oksigenasi, dokter dapat menempatkan pasien
dalam posisi telungkup. Namun, uji klinis telah gagal untuk membuktikan
bahwa ada manfaat dari segi mortalitas pada posisi telungkup ini (Keneth,
2014).

Radiografi toraks awal pada pasien ARDS yang telah diobati


dengan ventilasi cair parsial dengan perflubron menunjukkan opasifikasi
pada 60-100% dari bidang paru-paru; gambar lateral yang mengungkapkan
distribusi tergantung gravitasi. Temuan sisa perflubron dapat bertahan
selama 138 hari, tetapi dalam tingkat minimal setelah 3 minggu.
(Radiografi dari pasien yang diobati dengan perflubron dapat dilihat di
bawah ini) (Keneth, 2014).

Ventilasi mekanis dengan positive end-expiratory pressure (PEEP)


adalah terapi umum lainnya untuk ARDS. Temuan radiografi thoraks saat
dilakukan PEEP berbeda, dari tidak ada perubahan sampai hiperinflasi
yang jelas. PEEP dengan level yang lebih tinggi dapat mengakibatkan
perubahan barotraumatik, yang meliputi penipisan vesikular, emfisema
pulmonar interstisial (garis-garis lusen menuju hilus), halos radiolusen
sekitar pembuluh darah, pembentukan pneumatocele, emfisema subpleural
yang bermanifestasi sebagai blebs atau garis berkilau pada rontgen thoraks,
pneumotoraks,. emfisema mediastinal, dan pengumpulan gas ekstrathoraks
(Keneth, 2014).
Beberapa penyakit dapat menyerupai ARDS, sehingga upaya untuk
menyingkirkan penyakit ini penting. Skor cedera paru (lung injury scores)
kadang-kadang digunakan dalam uji klinis, dan interpretasi radiografi
thoraks dapat berbobot 50% atau lebih dalam penilaian ini. Untuk alasan
tersebut, beberapa peneliti telah mempertanyakan reproduksibilitas

pembacaan rontgen thoraks diantara para klinisi. Variabilitas interobserver


yang tinggi dalam interpretasi radiografi thoraks dapat terjadi, bahkan
diantara para ahli. Di sisi lain, radiografi thoraks sangat akurat dalam
diagnosis ARDS, dengan rate setinggi 84%. Keakuratan pembacaan
radiografi thoraks tergantung pada tahapan penyakit, dan ketidaksepakatan
antara pengamat paling sering terjadi pada fase awal penyakit. Akurasi
diagnosis klinis juga tergantung pada tahap patologis (Keneth, 2014).
2.

Computed Tomography (CT) Scan


Konsolidasi difus dan tidak spesifik yang digambarkan pada
radiografi thoraks pada pasien dengan ARDS pada kenyataannya
merupakan gambaran yang heterogen pada CT scan. CT scan juga
menunjukkan bahwa konsolidasi parenkim pada ARDS berada di area
paru-paru yang tergantung gravitasi. Oleh karena itu, penyakit ini tidak
sedifus temuan pada foto toraks (Keneth, 2014).
Sebuah review mengenai CT scan toraks pada 74 pasien dengan
ARDS mengungkapkan temuan sebagai berikut : (Keneth, 2014).
a. Kelainan bilateral pada hampir semua pasien (86%)
b. Patchy abnormalities (42%)
c. Kelainan Homogen (23%)
d. Ground-glass attenuation (8%)
e. Konsolidasi dan mixed ground-glass appearance (27%)
f. Kelainan predominan basilar (68%)
g. Area konsolidasi dengan air bronchograms (89%)
Pada CT scan, ARDS yang disebabkan oleh penyakit paru
cenderung asimetris, dengan campuran konsolidasi dan opasifikasi groundglass, sedangkan ARDS yang disebabkan oleh penyebab luar paru
didominasi oleh

gambaran opasifikasi ground-glass yang simetris. CT

scan pasien ARDS dengan AIP cenderung memiliki konsolidasi yang lebih
simetris, distribusi yang lebih basilar, dan lebih banyak honeycombing
(26%) dibandingkan dengan pasien tanpa AIP (8%). Pada pasien dengan
ARDS karena penyebab lain, sering didapatkan gambaran efusi pleura dan
air bronchograms, sedangkan garis Kerley B dan pneumatoceles jarang
terjadi. Jika seorang pasien ditempatkan pada posisi telungkup, karena
mereka terkadang berusaha untuk meningkatkan oksigenasi, konsolidasi
dapat bergeser seiring waktu ke bagian anterior dari parenkim paru, yang
sekarang menjadi area terpengaruh gravitasi pada paru (Keneth, 2014).
CT scan dapat digunakan untuk mendeteksi tampilan patologis dan
komplikasi ARDS yang tersembunyi pada radiografi toraks terutama
karena konsolidasi difus menghalangi temuan lain, yang meliputi: kelainan
pleura (misalnya, pneumotoraks), penyakit parenkim (misalnya, nodul ,
kekeruhan fokus, emfisema interstisial), dan penyakit mediastinum
(misalnya, pembesaran kelenjar getah bening). Dalam sebuah penelitian,
pneumotoraks yang tak terlihat pada radiografi toraks dapat dideteksi
dengan CT scan pada sepertiga pasien. Selain itu, posisi selang torakostomi
dapat lebih baik digambarkan dengan CT scan sehingga kebutuhan untuk
reposisi dapat ditentukan (Keneth, 2014).
Pada stadium akhir dari ARDS, CT scan lebih dapat diandalkan
dibandingkan radiografi toraks dalam deteksi suspek fibrosis karena
perubahan yang menyertai fibrosis menjadi lebih jelas. Temuan yang
sugestif fibrosis dan lebih baik divisualisasikan pada CT scan termasuk
traksi bronkiektasis, distorsi lobular, garis intralobular, dan dalam kasuskasus lanjutan, kerusakan paru-paru cystic (juga disebut honeycombing)
(Keneth, 2014).
Terapi ARDS juga dapat mengubah penampilan CT scan.
Penggunaan

perflubron

pada

ventilasi

cair

parsial

menyebabkan

penampilan merata atau homogen putih tergantung gravitasi pada CT scan.

Pergerakan perflubron dari paru-paru telah didokumentasikan dan dapat


terjadi karena penyebaran hematogen. Perflubron di luar paru juga dapat
tampak pada kelenjar getah bening, rongga pleura, mediastinum, dan
retroperitoneum (Keneth, 2014).
CT scan juga telah digunakan untuk mengevaluasi pasien ARDS
yang bertahan hidup. Dalam sebuah penelitian, 6-10 bulan setelah pasien
ARDS dipulangkan dari rumah sakit, gambaran CT toraks mereka
menunjukkan lebih banyak fibrosis paru ventral daripada fibrosis paru
dorsal di 87% pasien. Luasnya perubahan fibrotik berkorelasi dengan
keparahan ARDS (Keneth, 2014).

3. Utrasonografi
Leblanc et al menemukan bahwa kontusio paru luas yang dinilai
oleh USG paru pada pemeriksaan awal dapat memprediksi terjadinya
ARDS dalam waktu 72 jam (AUC-ROC = 0.78 [95% CI 0,64-0,92]).
Mereka memutuskan bahwa tingkat kontusio paru pada LUS (Lung
ultrasound) berkorelasi baik dengan pengukuran CT scan. Sebuah LUS
dengan skor 6 dari 16 adalah ambang terbaik untuk memprediksi ARDS,
dengan sensitivitas 58% [95% CI 36-77] dan spesifisitas 96% [95% CI 76100] (Keneth, 2014).
4. Pencitraan nuklir

Positron emission tomography (PET) scan telah digunakan dalam


studi kepadatan ekstravaskular paru (EVD) dan permeabilitas pembuluh
darah paru dengan pulmonary transcapillary escape rate (PTCER). Dalam
studi, pasien dengan ARDS memiliki PTCER dan EVD yang lebih tinggi
dibandingkan dengan subyek kontrol sehat, dan temuan yang paling
dramatis ada pada tahap awal ARDS. Pada pasien dengan ARDS, nilai
PTCER tetap meningkat, bahkan setelah EVD telah kembali ke tingkat
normal (Keneth, 2014).
PTCER ini dapat digunakan untuk memperkirakan permeabilitas
kapiler dengan memperhatikan akumulasi gallium-68 (68 Ga) sitrat, yang
melekat pada transferin di parenkim paru. ARDS adalah kondisi edema
paru noncardiogenic; Oleh karena itu, cairan dan protein bertranslokasi dari
endotelium vaskuler paru ke interstitium. Pengukuran ini hanya digunakan
dalam studi eksperimental, tidak dalam situasi klinis rutin (Keneth, 2014)

Anda mungkin juga menyukai