Teori CHF
Teori CHF
Definisi
Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis progresif yang dapat mengakibatkan berbagai
gangguan yang merusak kemampuan ventrikel untuk mengisi atau memompakan darah,
sehingga jantung tidak dapat memompa darah pada tingkat yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh (Dipiro et al, 2008).
II. Epidemiologi
Gagal jantung merupakan masalah epidemik kesehatan masyarakat di Amerika. Sekitar 5
juta warga Amerika mengalami gagal jantung dengan penambahan 550.000 kasus
didiagnosis setiap tahunnya (Dipiro et al, 2008). Hanya 3 tahun pasien yang baru
didiagnosa gagal jantung dapat bertahan hidup rata-rata 5 tahun (Goodman and Gilman,
2007).
III. Etiologi
Secara umum penyebab dari gagal jantung adalah disfungsi sistolik dan atau disfungsi
diastolik, yang dijelaskan sebagai berikut:
1.
2.
IV. Patofisiologi
Adanya penurunan fungsi jantung akan menyebabkan jantung melakukan mekanisme
kompensasi agar meningkatkan daya kerja jantung. Kompensasi dari jantung antara lain:
1.
2.
3.
4.
Kompensasi yang dilakukan jantung yang terus menerus dapat menimbulkan kerugian yaitu
terjadinya disfungsi sistol dan atau diastol yang menyebabkan terjadinya gagal jantung
(Dipiro et al, 2008).
V. Tanda dan Gejala
Manifestasi utama gagal jantung adalah sesak dan lelah, yang menyebabkan intoleransi
latihan dan overload cairan, mengakibatkan sumbatan paru dan udema perifer. Tanda dan
gejala gagal jantung disajikan pada tabel di bawah ini (Dipiro et al, 2008):
Gejala
Tanda
1.
Lemas
1.
2.
Sesak
3.
Kejang
2.
4.
Intoleransi beraktivitas
3.
Takikardia
5.
Nafas cepat
4.
Penyempitan nadi
6.
Batuk
5.
LCool extremities
7.
6.
Pleural efusi
8.
Dahak berdarah
7.
7.
9.
Nyeri abdomen
8.
Takikardi
10.
9.
Kardiomegali
11.
Mual
10.
Edema perifer
12.
Kembung
11.
13.
Perasaan kenyang
12.
Hepatomegali
14.
edema
Cheyne-Stokes respiration
2.
3.
Rotgen
4.
Echocardiogram
5.
VII. Penanganan
Manajemen terapi gagal jantung di antaranya bertujuann untuk meningkatkan kualitas
hidup, penurunan angka perawatan, memperlambat progresifitas penyakit, dan
meningkatkan kelangsungan hidup. Algoritma penatalaksanaan gagal jantung
menurut American Heart Asossiation (AHA) practice guidelines dibagi
berdasarkan stage yaitu :
1.
Pasien stage A belum mengalami gagal jantung dan tidak memiliki penyakit
jantung struktural, namun beresiko tinggi mengalami gagal jantung (pasien
hipertensi, diabetes). Pengobatan dengan ACE Inhibitor
2.
3.
Pasien stage C sudah mengalami gagal jantung dilihat dari adanya kelainan
struktural jantung struktural serta pasien mengalami tanda dan gejala gagal
jantung. Pengobatan dengan ACEI + Beta bloker + Diuretik + Digoksin.
4.
Gagal jantung pada pasien hipertensi dan gaagl ginjal. Terkait dosis, tidak ada perbedaan di
mortaliti ditemukan antara kelompok dosis tinggi dan dosis rendah (Dipiro et al, 2008).
Dapat disimpulkan bahwa ACE inhibitor menurunkan gejala, memperlambat perkembangan
penyakit, dan penurunan angka kematian pada pasien gagal jantung. Dengan demikian,
semua pasien dengan gangguan ventrikel kiri harus menerima
ACE inhibitor kecuali ada kontraindikasi atau intoleransi (Dipiro et al, 2008).
2. Beta Blockers
Berdasarkan penelitian RCTs, Beta-bloker terbukti dapat menurunkan morbiditi dan
mortaliti
pada pasien gagal jantung. American Heart Asossiation (AHA) menyatakan bahwa
menguntungkan penggunaan Beta-bloker pada semua pasien dengan gejala gagal jantung
sistolik (Dipiro et al, 2008).
Selain data tentang efek -blocker pada kelangsungan hidup, terdapat data yang
menunjukkan perbaikan di berbagai titik akhir lainnya. Semua uji klinis dengan populasi
yang besar telah menunjukkan penggunaan beta-bloker menghasilkan 15% sampai 20%
penurunan rawat inap. Efek positif dari beta-bloker pada fungsi sistolik ventrikel kiri juga
sudah sangat konsisten di seluruh studi. Setelah beberapa minggu sampai bulan
penggunaan beta-bloker meningkatkan Fraksi Ejeksi, menurunkan masa ventrikel,
memperbaiki bentuk jantung, dan menurunkan volume sistolik dan diastolik. Efek kolektif
disebut remodeling reverse, mengacu pada fakta bahwa kembalinya jantung terhadap
ukuran normal, bentuk, dan fungsi yang semestinya (Dipiro et al, 2008).
3.
Diuretik
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung merangsang penahanan natrium dan retensi air,
yang sering menimbulkan tanda-tanda dan gejala penunpukan cairan di sistemik dan paruparu. Sehingga terapi diuretik direkomendasikan untuk semua pasien dengan bukti klinis
retensi cairan. Di antara obat yang digunakan untuk manajemen gagal jantung, diuretik
yang paling cepat dalam mengatasi masalah tersebut. Sebagian besar pasien dengan gagal
jantung akan memerlukan diuretik untuk mengontrol status cairan mereka, dan karena itu
diuretik salah satu terapi utama gagal jantung. Namun, karena diuretik tidak mengubah
perkembangan penyakit maka penggunaannya tidak diharuskan. Pasien yang tidak
mengalami retensi cairan tidak membutuhkan terapi diuretik (Dipiro et al, 2008).
Tujuan utama dari terapi diuretik adalah untuk mengurangi gejala retensi cairan dan
penumpukan cairan pada paru, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi rawat inap
dari gagal jantung. Diuretik mengurangi edema dan kongesti paru melalui
pengurangan preload. Terapi diuretik harus digunakan secara bijak karena overdiuresis
dapat mengakibatkan penurunan output jantung dan gejala dehidrasi. Setelah terapi
diuretik dimulai, penyesuaian dosis didasarkan pada perbaikan gejala dan berat badan
setiap hari. Perubahan berat tubuh merupakan penanda sensitif retensi cairan
direkomendasikan bahwa pasien memonitor status mereka dengan melihat bobot tubuh
(Dipiro et al, 2008).
Diuretik tiazid seperti hidroklorotiazid memblok reabsorpsi natrium dan klorida dalam
tubulus distal (sekitar 5% sampai 8% dari natrium disaring di tubulus distal). Diuretik tiazid
relatif diuretik lemah dan jarang digunakan sendirian pada pasien gagal jantung, sehingga
dapat digunakan dalam kombinasi dengan diuretik loop (Dipiro et al, 2008). Diuretik tiazid
bekerja dengan menghambat reabsorpsi NaCl pada tubulus distal dengan terikat pada
sinporter yang berperan untuk kotranspor NaCl elektronetral. Sehingga terjadi peningkatan
ekskresi natrium, klorida , dan air (Neal, 2002).
Loop diuretik (misalnya furosemid) bekerja pada daerah Ansa Henle di mana 20% sampai
25% natrium diserap kembali di Ansa Henle. Diuretik loop menghambat reabsorpsi NaCl
dalam Ansa Henle dengan menghambat kotranspor Na/K/2Cl (Neal, 2002). Pemberian
bersamaan dengan NSAIDs dapat mengurangi kemanjuran diuretik (Dipiro et al, 2008).
Pemberian diuretik loop secara oral diindikasikan untuk mengurangi edema perifer dan
edema paru pada gagal jantung sedang sampai berat (kronis). Pemberian intravena dapat
dilakukan pada pasien dengan edema paru akibat gagal jantung akut. Pada dosis tinggi,
loop diuretik dapat menginduksi perubahan komposisi elektrolit dalam endolimfe dan
menyebabkan ketulian yang sifatnya tidak dapat pulih kembali (Neal, 2002).
4. Digoksin
Khasiat digoksin pada pasien dengan gagal jantung dan takikardi supraventrikularis seperti
atrial fibrilasi dapat diterima secara luas. Peran digoksin pada pasien gagal jantung dengan
irama sinus normal telah jauh lebih kontroversial. Digoksin meningkatkan Fraksi Ejeksi,
kualitas hidup, beraktivitas dan menurunkan gejala gagal jantung. Pada pasien yang
menerima digoksin, masalah yang tidak terselesaikan adalah tidak diketahui efek digoksin
pada kematian. Ini merupakan perhatian khusus karena angka kematian meningkat dilihat
dengan lain obat yang berefek inotropik positif (Dipiro et al, 2008).
Digoksin bekerja dengan menghambat Na+/K+-ATPase membran, yang berperan dalam
pertukaran Na+/K+ melalui membrane sel otot. Hal tersebut menyebabkan peningkatan
Na+ intrasel dan menghasilkan peningkatan sekunder Ca2+ intrasel yang meningkatkan
kontraksi otot jantung. Peningkatan Ca2+ juga terjadi karena penghambatan pompa Ca2+
yang terjadi selama diastol (Neal, 2002).
Digoksin direkomendasikan untuk digunakan pada pasien gagal jantung stage C bersama
dengan ACE Inhibitor, Beta bloker, dan diuretik, untuk memperbaiki gejala dan status klinis.
Sebagian besar manfaat dari digoksin tercapai pada konsentrasi plasma rendah dan
penambahan sedikit efek pada dosis yang lebih tinggi. Dengan demikian, untuk sebagian
besar pasien, target konsentrasi plasma digoksin harus 0,5 sampai 1 ng / mL. Diharapkan
untuk mengurangi efek toksisitas digoksin (Dipiro et al, 2008).
Pada pasien dengan ginjal normal, rentang konsentrasi plasma dapat dicapai dengan dosis
0,125 mg perhari. Pasien dengan penurunan fungsi ginjal, orang tua, atau mereka yang
menerima obat lain yang mengalami interaksi obat dengan digoksin (misalnya, amiodaron)
harus menerima 0,125 mg setiap 2 hari sekali. Pada pasien dengan atrial fibrilasi dan
respon ventrikel yang cepat, meningkatkan dosis digoxin tidak lagi direkomendasikan
(Dipiro et al, 2008).
Digoksin mempengaruhi semua jaringan yang dapar dieksitasi, kardioseletivitasnya berasal
dari ketergantungan yang besar dengan fungsi miokard terhadap kecepatan pengeluaran
natrium. Efek yang terjadi berupa gangguan lambung-usus : anoriksia, mual, muntah, diare
dan nyeri perut. Efek lainnya berupa efek sentral, seperti pusing, gangguan penglihatan,
letih, lemah otot, gelisah, kekacauan, mengantuk, bingung, dan konvulsi. Pada overdose
terjadi efek jantung, antara lain aritmia, gangguan ritme, khususnya extrasistol dan fibrilasi
bilik berbahaya yang dapat mengakibatkan shock fatal (Dipiro et al, 2008).
Toksisitas digoksin cukup sering terjadi karena aritmia dapat terjadi pada konsentrasi yang
hanya dua atau tiga kali lipat dari konsentrasi terapi yang optimal. Berdasarkan
keparahannya terapi toksisitas dapat berupa penghentian obat, suplementasi kalium, obat
anti aritmia (fenitoin atau lidokain), atau pada intoksikasi sangat berat, fragmen anti bodi
spesifik digoksin (Dipiro et al, 2008).
Pustaka:
Dipiro, J., Talbert, R., Yee, G., Matzke, G., Wells, B., Posey, L., 2008, Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach, Seventh Edition, McGraw-Hill Medical Publishing, New York,
174-213.
Goodman and Gilman, 2007, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, diterjemahkan oleh
Amalia, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 875.
Neal, M. J., 2002, At a Glance Farmakologi Medis, Fourth Edition, Blackwell Publishing
Company, Oxford.