Anda di halaman 1dari 26

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

OLEH :
Mia Nursalamah

1301-1210-0509

Rizca Nanda Handini

1301-1211-0109

Galantry Ahmad Azhari

1301-1211-0029

Lim Pei San

1301-1211-3526

Farrah Aina Binti Saat

1301-1211-3029

Siti Amirah Hazwani

1301-1211-3003

Rifka Thahir

1301-1211-0171

Wan Nor Basyirah W. Ramli

1301-1211-3019

PRESEPTOR :
Dr. M. Zafrullah Arifin dr. SpBS

Sub-Bagian Bedah Saraf / Bagian Bedah


RS Dr.Hasan Sadikin / Fakultas Kedokteran
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2012

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
1) KESADARAN
Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya. Secara sederhana,
tingkat kesadaran dibagi atas : Kesadaran yang normal (compos mentis), somnolen, sopor, koma
ringan dan, titik.
Somnolen. Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen
disebut juga sebagai : letargi, optundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya penderita
dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menagkis rasa nyeri.
Sopor (stupor). Kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan rangsang
yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti suruhan yang
singkat, dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri penderita tidak dapat
dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh
jawaban verbal dari penderita. Gerak motorik untuk menagkis rangsang nyeri masih baik.
Koma ringan (semi koma). Pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap rangsang verbal.
Reflek (kornea, pupil, dsb) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respon terhadap rangsang
nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan jawaban primitif . Penderita
sama sekali tidak dapat dibangunkan.
Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali
terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
G.C.S
Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan Glassgow Coma Scale
yang memperhatikan tanggapan (respon) penderita terhadap rangsang dan memberikan nilai pada
respon tersebut. Tanggapan /respon penderita yang perlu diperhatikan adalah :
a. Membuka mata
b. Respon Verbal (bicara)
c. Respon Motorik (gerakan)
a. Membuka Mata

Nilai

Spontan

Terhadap bicara (suruh pasien mebuka mata)

Dengan rangsang nyeri (tekan pada syaraf supraorbita atau kuku jari

Tidak ada reaksi (dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka

mata)

b. Respon Verbal (bicara)

Baik dan tidak ada disorientasi

Nilai
5

Dapat menjawab dengan kalimat yang baik, tau dimana ia


berada, waktu, hari, bulan

Kacau (consious)

Dapat bicara dalam kalimat, namun ada disorintasi waktu dan


tempat

Tidak tepat

Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak merupakan kalimat


dan tidak tepat

Mengerang
Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang

Tidak ada jawaban

c. Respon Motorik (Gerakan)

Menurut perintah

2
1
Nilai
6

Misalnya, suruh : angkat tangan!

Mengetahui lokasi nyeri

Berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan jari pada


supra orbita. Bila dengan rasa nyeri pasien mengangkat
tangannya sampai melewati dagu untuk maksud menepis
rangsang tersebu berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri

Reaksi menghindar

Reaksi fleksi (dekortikasi)

4
3

Berikan rangsang nyeri misalnya menekan dengan objek keras


seperti ballpen pada jari kuku. Bila sebagai jawaban siku
memfleksi terhadap reaksi fleksi terhadap nyeri (fleksi pada
pergelangan tangan mungkin ada atau tidak ada

Reaksi ekstensi (desereberasi)

Dengan rangsang nyeri tersebut diatas terjadi ekstensi pada


siku. Ini selalu disertai fleksi spastik pada pergelangan tangan.

Tidak ada reaksi


Sebelum memutuskan bahwa tidak ada reaksi, haus diyakinkan
bahwan rangsang nyeri cukup adekuat diberikan.

Bila kita gunakan skala glasgow sebagai patkan untuk koma, maka koma = tidak didapatkan
respon membuka mata, bicara, dan gerakan dengan jumlah nilai = 3
2) TANDA TANDA RANGSANG MENINGEN
Keluhan dapat berupa sakit kepala, kuduk terasa kaku, photofobia (takut cahaya, peka
terhadap cahaya) dan hiperakusis (peka terhadap suara). Gejala lain yang dapat dijumpai adalah
sikap tungkai yang cenderung mengambil posisi fleksi, dan opistotonus, yaitu kepala dikedikkan ke
belakang dan punggung melengkung ke belakang sehingga pasien berada dalam posisi ekstensi,
karena terangsangnya otot-otot kuduk dan punggung.
Kaku Kuduk (Nucal Rigidity)
Cara Pemeriksaan :
Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring. Kemudian
kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan ini
diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat
mencapai dada.
Pada pasien yang pingsan (koma) kadang-kadang kaku kuduk menghilang atau berkurang.
Oleh karena itu pada keadaan ini sebaiknya penekukan kepala dilakukan sewaktu pasien dalam
keadaan ekspirasi.
Selain dari rangsang selaput otak, kaku kuduk dapat disebabkan oleh myocitis otot kuduk,
abses retrofaringeal, atau arthritis di cervical.
Tanda Laseque
Cara Pemeriksaan :
Pasien berbaring, diluruskan kedua tungkainya, kemudian satu tungkai diangkat lurus,
dibengkokkan (fleksi) pada persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus dalam keadaan
ekstensi. Pada keadaan normal kita dapat mencapai sudut 700 sebelum timbula rasa sakit dan
tahanan. Bila sudah timbula rasa sakit dan tahanan sebelum kita mencapai 700, maka disebut tanda
laseque positif. Tanda laseque positif dijumpai pada keadaan : ransang selaput otak, isialgia, dan iritasi
plexus lumbosakral (missal hernia nucleus pulposus lumbalis)
Tanda Kernig
Cara Pemeriksaan :
Penderita yang berbaring, difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat
sudut 900. setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya kita dapat
melakukan ekstensi ini sampai sudut 1350, antara tungkai bawah dan tungkai atas. Bila terdapat
tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka dikatakan bahwa tanda kernig positif.

Tanda Brudzinki I (Brudzinkis Neck Sign)


Cara Pemeriksaan :
Dengan tangan ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan
kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan di
dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan. Bila tanda Brudzinki I positif, maka tindakan ini
menyebabkan fleksi kedua tungkai. Sebelumnya perlu diperhatikan apakah tungkainya tidak lumpuh.
Tanda Brudzinki II (Bridzinkis Contralateral Leg Sign)
Cara Pemeriksaan :
Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai di fleksikan pada persendian panggul,
tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi. Bila tungkai yang satu ini ikut pula terfleksi,
maka disebut tanda Brudzinki II positif. Sebelumnya juga diperhatikan apakah terdapat kelumpuhan
pada tungkai.
3) SARAF OTAK
a. N. I (N. Olfactorius)
Kerusakan saraf ini menyebakan hilangnya penciuman (anosmia) atau berkurangnya
penciuman (hiposmia)
Cara Pemeriksaan :
Periksa lubang hidung apakah ada sumbatan atau kelainan setempat misalnya ingus atau
polip. Hal ini dapat mengurangi ketajaman penciuman. Zat pengetes yang digunakan sebaiknya zat
yang dikenal sehari-hari, misalnya kopi, teh, tembakau. Jangan menggunakan zat yang dapat
merangsang mukosa hidung (N.V) seperti menthol, amoniak, alkohol, dan cuka. Zat pengetes
didekatkan ke hidung pasien dan disuruh Ia menciumnya. Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu
dengan jalan menutup lubang hidung yang lainnya dengan tangan.
b. N. II (N. Opticus)
Cara Pemeriksaan :

Pemeriksaan Kasar :
1. Ketajaman Penglihatan (Acuity of Vision)
Dengan jalan membandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan pemeriksa
(dalam hal ini ketajaman penglihatan pemeriksa tentulah harus normal, kalau tidak
pemeriksa telah mengoreksinya misal dengan kaca mata). Pasien disuruh mengenali benda
yang letaknya jauh (misalnya jam dinding, dan diminta menyatakan pukul berapa) dan
membaca huruf-huruf yang ada di buku atau Koran. Bila ketajaman mata pasien sama
dengan pemeriksa maka hal ini dianggap normal.

2. Lapangan Pandang (Visual Field/Campus Penglihatan)


Dilakukan dengan jalan membandingkan dengan campus penglihatan pemeriksa
(yang dianggap normal) yaitu dengan metode konfrontasi dari Donder. Dalam hal ini
penderita disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira-kira
satu meter. Jika hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri penderita harus ditutup.
Kemudian penderita disuruh melihat terus (memfiksasi matanya) pada mata kiri pemeriksa
dan pemeriksa harus selalu melihat ke mata kanan penderita. Setelah itu pemeriksa
menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan antara pemeriksa dengan penderita.
Gerakan dilakukan dari arah luar ke dalam.
Jika penderita mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, maka Ia harus
memberitahu, dan hal ini dibandingkan dengan pemeriksa, apakah Iapun telah melihatnya.
Bila sekiranya ada gangguan campus penglihatan, maka pemeriksa akan lebih dulu melihat
gerakan tersebut. Gerakan jari tangan ini dilakukan dari semua jurusan dan masing-masing
mata harus diperiksa.

Pemeriksaan Yang Teliti


1. Ketajaman Penglihatan
Dilakukan dengan menggunakan gambar Snellen. Penderita disuruh membaca
gambar Snellen ini dari jarak 6 meter, kemudian ditentukan sampai baris mana dapat
dibacanya. Bila Ia dapat membaca sampai baris paling bawah, maka ketajaman
penglihatannya ialah normal (6/6). Jika tidak maka visusnya tidak normal dan hal ini
dinyatakan dengan pecahan, misalnya (6/20). Ini berarti bahwa huruf yang seharusnya dapat
dibaca dari jarak 20 meter, Ia hanya dapat membacanya dari jarak 6 meter.
Jika kemampuannya hanya sampai pada membedakan adanya gerakan, maka
visusnya ialah (1/300). Jika Ia hanya dapat membedakan antara gelap dan terang (cahaya)
maka visusnya Ialah (1/~).
2. Lapangan Pandang
Dapat dilakukan dengan menggunakan campimeter atau perimeter. Campimeter adalah
papan hitam yang diletakkan di depan penderita pada jarak 1 atau 2 meter, dan sebagai
benda penguji (tes objek) digunakan bundaran kecil diameter 1-3 mm. Mata pasien difiksasi
di tengah dan benda peguji digerakkan dari perifer ke tengah dari segala jurusan. Kita catat
tempat pasien mulai melihat benda penguji. Perlu pula dinyatakan warna dari benda penguji,
misalnya putih, biru, hijau, atau merah ; hal ini disebabkan karena masing-masing campus
memiliki warna berbeda.

Perimeter adalah setengah lingkaran yang dapat diubah-ubah letaknya pada bidang
meridiannya. Cara pemakaiannya serta cara melaporkan keadaan sewaktu pemeriksaan
serupa dengan campimeter.
Kita mengenal bermacam-macam kelainan bentuk lapang pandang, misalnya
hemianopsia (heteronim) bitemporal atau binasal yang disebabkan oleh lesi di chiasma optic ;
hemianopsia homonim (kanan atau kiri) yang disebabkan oleh lesi di tractus optic dan
anopsia kuadran yang disebabkan oleh lesi di radiasi optic atau korteks optic.
3. Pemeriksaan Oftalmoskopi
Biasanya yang diperhatikan adalah perubahan papil. Papil adalah tempat serabut N. II
masuk ke mata. Yang perlu diketahui adalah apakah papil normal, mengalami atrofi (primer
atau sekunder) atau sembab papil. Disamping itu perlu pula diperhatikan bangunan lainnya
yaitu makula dan retina.
Papil yang normal : bentuknya lonjong, warna jingga muda, di bagian temporal sedikit
pucat, batas dengan sekitarnya (retina tegas), hanya di bagian nasal agak kabur ; selain ietu
didapatkan lekukan fisiologis (fisiologis cup). Pembuluh darah muncul di tengah, bercabang
ke atas dan ke bawah ; jalannya arteri agak lurus sedangkan vena berkelok-kelok ;
perbandingan vena : arteri ialah 3:2 sampai 5:4. pemeriksaan oftalmoskopi sebaiknya
dilakukan di kamar yang gelap. Untuk memeriksa mata kanan pasien sebaiknya digunakan
mata kanan anda dan oftalmoskop dipegang dengan tangan kanan, begitu juga sebaliknya.
Pasien disuruh melihat jauh ke depan atau memfiksasi matanya pada benda yang terletak
jauh di depan. Pasien jangan menggerakkan bola mata tetapi dia boleh mengedip. Kemudian
fokuskan mata anda pada retina dengan menggunakan lensa oftalmoskop yang sesuai bila
pasien menderita kelainan refraksi. Bila menemukan pembuluh darah ikuti sampai ketemu
papil.
c. N. III (N. Oculomotorius)
Gangguan total pada N. III ditandai oleh :
1. m.levator palpebra lumpuh, mengakibatkan ptosis.
2. Paralisis otot m.rectus superior, m.rectus internus, m.rectus inferior, dan m.obliqus inferior.
3. Kelumpuhan saraf parasimpatis yang mengakibatkan pupil yang lebar (midriasis) yang tidak
bereaksi dengan cahaya dan konvergensi.
Hal ini mengakibatkan sikap bola mata terlirik keluar dan ke bawah.
d. N. IV (N. Trochlearis)
Nervus IV mengurus m.obliqus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat dilirikkan ke arah
bawah dan nasal. Kelumpuhan N. IV menyebabkan terjadinya diplopia bila mata dilirikkan ke arah ini.

e. N. VI (N. Abducens)
Nervus VI menginervasi m.rectus externus (lateralis). Kerja otot ini menyebabkan lirik mata ke
arah temporal. Jadi kelumpuhan N. VI menyebabkan terganggunya melirik mata ke arah luar pada
mata yang terlibat, yang menyebabkan diplopia horizontal.
f. Pemeriksaan N. III, IV, dan VI.
Ptosis
Akibat kelumpuhan N. III, yaitu kelopak mata terjatuh, mata tertutup dan tidak dapat dibuka. Hal ini
disebabkan kelumpuhan m.levator palpebra.
Strabismus
Perhatikan bagaimana posisi bola mata dalam keadaan istirahat. Bila satu otot mata lumpuh, hal
ini mengakibatkan kontraksi atau tarikan yang berlebihan dari otot antaginisnya dan mengakibatkan
strabismus (juling, jereng). Pada kelumpuhan m.rectus externus didapatkan strabismus konvergen.
Pada kelumpuhan m.rectus internus didapatkan strabismus divergen.
Exophtalmus
Perhatikan kedudukan bola mata. Apakah mata menonjol (exophtalmus) atau seolah-olah masuk
ke dalam (endophtalmus). Pada exophtalmus celah mata tampak lebih besar sedangkan pada
endophtalmus celah mata lebih kecil. Pada sindrom Horner (yang disebabkan kerusakan serabut saraf
simpatis leher) didapatkan endophtalmus. Exophtalmus bilateral dapat dijumpai pada tirotoksikosis.
Exophtalmus yang unilateral biasanya disebabkan proses setempat.
Nistagmus
Ialah gerakan bola mata bolak-balik dan ritmis. Mempunyai komponen cepat atau lambat. Jurusan
nistagmus sesuai komponen cepat. Untuk maksud ini penderita disuruh melirik terus ke satu arah
selama jangka waktu 5 atau 6 detik. Akan tetapi mata jangan terlalu jauh dilirikkan. Jika menjumpai
nistagmus harus diperiksa :
1. Jenis gerakan
2. Bidang gerakan
3. Frekuensi
4. Amplitudo
5. Arah gerakan
6. Derajatnya
7. Lamanya
Gerakan Mata

Pemeriksa menggerakkan jari ke semua arah, jarak jangan terlalu dekat. Kedua bola mata pasien
mengikuti gerakan jari. Perhatikan apakah pergerakan bola mata terbatas, yang satu tertinggal dari
yang lain.
Pupil
Perlu diperhatikan ialah bentuk yang bundar, tepi rata, diameter 2-4 mm, isokor. Rangsang
cahaya langsung : dipakai penlight yang terang, mata disinari langsung maka pupil kontraksi cepat.
Refleks cahaya tak langsung
Mata yang satu disinari, pupil mata yang lain konstriksi.
Reaksi konvergensi
Pasien melihat jauh, jari pemeriksa diletakkan kira-kira 30 cm di depan mata pasien lalu pasien
disuruh melihat jari pemeriksa, maka tampak kedua mata konvergensi, akomodasi dan kedua pupil
konstriksi.
g. N. V (N. Trigeminus)
Bersifat motorik dan sensorik. Bagian yang motorik menuju ke m.masseter,

m.temporalis,

m.pterygoideus, sedangkan yang sensorik mempersarafi kulit wajah.


Pemeriksaan Motorik
a. Pasien disuruh menggigit lalu pemeriksa meraba m.masseter dan m.temporalis, bandingkan
kanan dan kiri.
b. Pasien membuka mulut perlahan-lahan, bila m.pterygoideus lumpuh, rahang bawah
berdeviasi ke sisi yang sehat dan mudah didorong ke sisi lumpuh.
Pemeriksaan Sensorik
1. N. Ophtalmicus
a. Refleks Kornea, limbus kornea disentuh dengan kapas maka mata akan berkedip
b. Foramen supraorbita ditekan, keadaan normal tak nyeri.
c. Dahi , diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri
2. N. Maxilaris
a. Refleks bersin, cavum nasi bawah disentuh dengan kapas, pasien bersin.
b. Foramen Infraorbita ditekan, keadaan normal tidak nyeri.
c. Pipi, diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri.
3. N. Mandibularis
a. Jaw jerk reflex, letakkan jari horizoontal pada dagu, mulut pasien terbuka sedikit dan rileks,
ketuk jari dengan palu reflex maka terjadi gerakan elevasi rahang.
b. Foramen mental ditekan, keadaan normal tidak nyeri.
c. Pipi dan rahang bawah, diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri.

h. N. VII (N. Fascialis)


Fungsi Motorik
Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah simetris atau tidak.
Perhatikan kerutan pada dahi, pemejaan mata, plika nasolabialis dan sudutn mulut. Bila asimetri (dari)
muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis perifer. Dalam hal inmi kerutan dahi
menghilang, mata kurang dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan sudut mulut menjadi lebih
rendah. Pada kelumpuhan jenis sentral (supranuklir), muka dapat simetris waktu istirahat, kelumpuhan
baru nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya menyeringai.
Suruh penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi.
Perhatikan apakah ini dapat dilakukan, dan apakah ada asimetri. Pada kelumpuhan jenis
supranulkir sesisi, penderita dapat mengankat alis dan mengerutkan dahinya, sebab otot ini mendapat
persarafan bilateral. Pada kelumphan jenis perifer terlihat adanya asimetri.
Suruh penderita memejamkan mata.
Bila lumpuknya berat, maka penderita tidak dapat memejamkan mata; bila lumpuhnya ringan,
maka tenaga pmejaman kurang kuat. Hal ini ndapat dinilai dengan jalan mengangkat kelopak mata
dengan tangan pemeriksa, sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien
memejamkan matanya satu persatu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi parese ringan.
Bila terdapat parese, pnderita tidak dapat memejamkan matanya pada sisi yang lumpuh. Perlu diingat
bahwa ada juga orang normal yang tiak dapat memejamkan matnya satu persatu.
Suruh penderita menyerinai (menunjukka gigi geligi), mencucurkan bibir, menggmbungkan
pipi).
Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan apakah ada simetri. perhatikan sudut mulutnya.
suruh penderita bersiul. penderita yang tadinya dapat bersiul menjadi tidak mampu lagi setelah adanya
kelumpuhan. pada penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan tidak dapat
disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila kepadanua diberi rangsng nyeri, yaitu dengan
menekan pada sudut rahangnya (m.masseter).
Fungsi Pengecapan
Kerusakan nervus VII, sebelum percabangan khorda timpani, dapay menyebabkan ageusi
(hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. untuk memeriksanya penderita disuruh
mnjulurkan lidah, kemudian kita taruh pada lidahnya bubk gla, kina, asam sitrat atau garam (hal ini
dilakukan secarabergiliran dan diselingai istirahat). bila bubuk diraruh, penderita tifak boleh menarik
lidahnya kedalam mulut, sebab bila lidah ditarik ke dalam mulut, bubuk akan tersebar melalui ludah ke
bagian lainnya, yaitu ke sisi lidah lainnya atau kebagian belakang lidah yang persarafannya diurus
oleh saraf lain. penderita disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakan dirasakannya dengan
isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, 4 untuk rasa asam.

10

Kerusakan pada atau di atas nerus petrosus major dapat menyebabkan kurangnya produksi air
mata, dal lesi khorda timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi ludah.
i. N. VIII (N. Acusticus)
Saraf ini terdiri atas dua bagian yaitu saraf kokhlearis dan saraf vertibularis. saraf kokhlearis
megurus pendengaran, dan saraf vertibularis mngurus keseimbangan.
Pemeriksaan Saraf Kokhlearis
Ketajaman pendengaran. Secara kasar ketajaman pendengaran ditentukan dengan jalan
menyuruh penderita mendengar suara bisikan pada jarak tertentu dan membandingkannya dengan
orang yang normal. Perhatikan pula apakah ada perbedaan antara telinga kanan dan teling kiri.
Tes Schwabach
Pada tes ini pendengaran penderita dibandingkan dengan teling pemeriksa yang dianggap
normal. Garpu tala dibunyikan kemudian ditempatkan di dekat telinga penderita. Setelah penderita
tidak mendengar bunyi lagi,garpu tala diletakkan di dekat telinga pemeriksa. Bila masih terdengar,
maka dikatakan bahwa Schawabach lebih pendek utuk konduksi udara. Kemudian garputala
dibunyikan lagi dan pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid penderita dan selanjutnya dilakukan
pemeriksaan dengan cara yang sama pada tes schwabach untuk konduksi udara.
Tes Rinne
Pada pemeriksaan ini dibandingkan konduksi tulang dengan konduksi udara. Pada telinga normal,
konduksi udara lebih baik daripada konduksi tulang (Rinne positif). Pada tuli konduktif, konduksi tulang
lebih baik baik daripada konduksi udara (Rinne negatif). Sedangkan pada tuli perspektif, konduksi
udara lebih baik daripada konduksi tulang namun berkurang bila dibandingkan dengan normal.
Tes Webber
Garputala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi penderita tepat dipertengahan.
Penderita disuruh mendengarkan bunyinya dan menentukan pada telinga mana bunyi terdengar lebih
keras. Pada orang normal, bunyi sama kerasnya pada kedua telinga. Pada tuli saraf, bunyi lebih keras
pada telinga yang sehat dan pada tuli konduktif, bunyi lebih keras terdengar pada telinga yang tuli. Kita
katakan tes weber berlateralisasi ke kanan bila bunyi terdengar lebih keras di telinga kanan dan
sebaliknya.
Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa tuli perseptif, pendengaran berkurang, Rinne positif
dan Weber berlateralisasi ke telinga yang sehat. Pada tuli konduktiif, pendengaran berkurang, Rinne
nenegatif dan Webber berlateralisasi ke telinga yang tuli.
Saraf Vestibularis
Saraf vestibularis berperan dalam mempertahankan keseimbangan pada tiap macam sikap,
koordinasi gerakan badan dan anggota gerak. Sistem vestibular juga berperan dalam refleks okuler,
fiksasi dan gerakan terkonjugasi dari kepala dan mata yang memungkinkan seseorang memfiksasi

11

pandangannya pada benda yang diam bila kepala dan badannya bergerak. Gangguan saraf
vestibularis dapat menyebabkan vertigo, kehilangan keseimbangan, nistagmus, dan salah tunjuk.
Pemeriksaan Saraf Vestibularis
Manuver Nylen-Barany atau Manuver Hallpike
Nistagmus dan vertigo dibangkitkan dengan menyuruh penderita duduk di tempat tidur, kemudian
direbahkan sampai kepalanya tergantung di pinggir dengan sudut sekitar 30 derajat di bawah garis
horizontal. Selanjutnya kepala ditolehkan ke kiri. Tes kemudian diulangi dengan kepala melihat lurus
dan diulangi lagi dengan kepala melihat ke kana. Selama pemeriksaan, mata penderita tetap terbuka
agar pemeriksa dapat melihat sekiranya muncul nistagmus. Tanyakan kepada penderita apakah telah
muncul perasaan berputar (vertigo) seperti yang pernah dialaminya. Pada lesi perifer, biasanya vertigo
yang dirasakan lebih berat bila dibandingkan dengan lesi sentral.
j. N. IX X (N.Glossopharyngeus N.Vagus)
Karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya dibicarakan bersama-sama. Anamnesis
meliputi kesedak/keselak (kelumpuhan palatum), kesulitan menelan dan disartria (khas bernada
hidung atau bindeng).
Aktivasi N.vagus meliputi fungsi jantung, respirasi dan pencernaan. Tetapi fungsi ini sulit diperiksa
karena variasi yang besar dan pengaruh hormonal. Pemeriksaan saraf IX dan X terbatas pada sensasi
bagian belakang rongga mulut atau 1/3 belakang lidah dan faring, otot-otot faring dan pita suara serta
refleks muntah/menelan/batuk.
1.

Gerakan Palatum
Penderita diminta mengucapkan huruf a atau ah dengan panjang, sementara itu dokter melihat
gerakan uvula dan arcus pharyngeus. Uvula akan berdeviasi ke arah yang normal (berlawanan
dengan gerakan menjulurkan lidah pada waktu pemeriksaan N.XII)

2.

Gerakan pita suara


Dilakukan oleh bbagian THT dengan indirect laryngoscope

3.

Refleks muntah dan pemeriksaan sensorik


Pemeriksa meraba dinidng belakang pharynx dan bandingkan refleks muntah kanan dan kiri.
Refleks muntah ini mungkin hilang pada pasien-pasien berusia lanjut/tua.

4.

Kecepatan menelan dan kekuatan batuk

k. N.XI ( N. Accesorius)
Hanya mempunyai komponen motorik
Pemeriksaan

12

1. Kekuatan otot sternocleidomastoideus diperiksa dengan menahan gerakan fleksi lateral dari
kepala/leher penderita atau sebaliknya (dokter yang melawan/mendorong sedangkan
penderita yang menahan pada posisi lateral fleksi).
2. Kekuatan m.trapezius bagian atas diperiksa dengan menekan kedua bahu penderita
kebawah, sementara itu penderita berusaha mempertahankan posisi kedua bahu terangkat
(sebaiknya posisi penderita duduk dan dokter berada di belakang pasien).
Disamping kekuatan otot yang perlu dilihat adalah tanda tanda LMN pada kedua otot tersebut diatas
(atrofi dan fasikulasi).
l. N.XII ( N.Hypoglossus)
Lesi LMN ditandai dengan adanya atrofi lidah dan fasikulasi (tanda dini berupa perubahan pada
pinggiran lidah dan hilangnya papil lidah dan fasikulasi (tanda dini berupa perubahan pada pinggiran
lidah dan hilangnya papil lidah).
Pemeriksaan
1. Menjulurkan lidah
Pada lesi unilateral, lidah akan berdeviasi ke arah lesi. Pada Bells palsy (kelumpuhan saraf
VII) bisa menimbulkan positif palsu (hati0hati)
2. Menggetakkan lidah ke lateral
Pada kelumpuhan bilateral dan berat, lidah tidak bisa digerakkan ke arah samping kiri dan
kanan.
3. Kekuatan otot lidah
Ujung jari pemeriksa ditempatkan pada salah satu pipi penderita, kemudian penderita diminta
mendorong ujung jari tersebut dengan kekuatan lidahnya. Bandingkan kekuatan dorongan
kanan dan kiri.
Meskipun inti saraf XII mendapat inervasi cortico-bulbar bilateral, lesi akut pada capsula interna
(pada CVD) bisa memperlihatkan deviasi lidah ke arah yang berlawanan dengan lesi sewaktu
menjulurkan lidah kedepan (pada stadium awal). Restitusi terjadi beberapa hari, karena fungsi tersebut
diambil alih oleh cortico-bulbar yang ipsilateral.
Sering terjadi bahwa pada pemeriksaan kekuatan otot-otot lidah, tidak tampak adanya kelemahan,
tetapi penderita mengeluhkan pembicaraannya jadi lain/berubah (disartria terutam bila mengucapkan
nada tertentu (la.....la) yang menggunakan otot lidah.
Pada setiap penderita dengan disartria (gangguan artikulasi suara), maka harus dibedakan
apakah akibat kelumpuhan otot-otot bibir (NVII), kelumpuhan otot-otot lidah (N.XII), kelumpuhan otot
palatum (suara sengau akibat kelumpuhan N.IX-X) ataukah karena lesi ekstrapiramidal dan serebelum
(slurring/scanning speech).
Adanya atrofi dan fibrilasi lidah satu sisi, menunjukkan adanya disfungsi batang otak (inti N.XII)
atau saraf perifer. Sedangkan lesi bilateral lidah dapat dilihat pada true bulbar palsy atau pseudo-

13

bulbar palsy. Pada true bulbar palsy ditemukan atrofi dan fasikulasi lidah, gangguan sensasi pada
dinding belakang faring dan penurunan refleks muntah.
5.) MOTORIK
Anamnesis

1.

APA ?
Tentukan apakah gangguan pergerakan akibat kelemahan, inkoordinasi

atau kekakuan (minta pada penderita untuk mendemonstrasikan)


Tentukan apakah yang yang dikeluhkan pasien itu hanya kelemahan otot

saja ataukah disertai gangguan sensorik (parestesia). Kadang-kadang gangguan otot


(misal twitching) ditafsirkan oleh penderita sebagai gangguan sensorik (pada A.L.S).
Keluhan spesifik

Keluhan saraf otak, keluhan ditingkat medula spinalis, tremor atau gerakan involunter,
disfungsi autonom.
2.

DIMANA
Bentuk kelemahan UMN adalah:

Hemiparese, lesi kortikospinalis unilateral.

Crossed hemiparese (hemiparese alternans).

Double hemiparese, lesi kortikospinalis bilateral.

Paraparese. Lesi medula spinalis bilateral.

Brown sequard syndrome (kelemahan atau sisi tubuh biasanya tungkai


dengan hilangnya nyeri pada sisi kontralateral), lesi pada separuh medulla spinalis.
Ciri-ciri kelemahan LMN :

Lesi akson saraf perifer (polineuropati) hampir selalu disertai dengan

gangguan sensorik (parestesia).


Pada penyakit otot, tidak ada keluhan sensorik (kecuali nyeri otot) dan lebih

berat pada bagian proksimal anggota gerak.


Letak lesi fokal akan mengakibatkan kelemahan fokal pula (drop hand/ foot,

carpal tunnel syndrome)


3. KAPAN
Serangan intermiten dan tidak ada defisit motorik, hati-hati pada miastenia

gravis.

Progresif terus sampai meninggal dunia.

Perjalanan klnis berfluktuasiantara remisi dan eksaserbasi, bersifat kronik,


hati-hati pada multiple skelerosis

14

Permulaan akut kemudian membaik secara perlahan-lahan (C.V.D)

4. BAGAIMANA? Apa yang memperberat?


Berhubungan dengan pekerjaan fisik (miastenia gravis, familial periodic paralysis/

hipokalemia)

Makan karbohidrat banyak (hipokalemic periodic paralysis karena hipertiroidisme)

Lumpuh bila ada stress (neurosis histerik)

5. GEJALA YANG MENGIKUTI

Ganguan kecerdasan dan bahasa (fungsi luhur), curiga proses kortikal difus.

Hemiparese dengan kelumpuhan saraf otak kontralateral (hemiparese alternans),


curiga lesi batang otak.

6. TRAUMA / EVENTS
Trauma yang berat, umumnya penderita akan bisa mengingat kembali (apalagi

bila sampai masuk rumah sakit). Kadang kadang trauma kepala yang ringan akan
terlupakan (bila pada orang tua hati-hati pada hematom subdural yang kronik)
Tidur pulas dengan lengan/siku bersandar dengan pinggiran

7. KELUARGA
Penyakit-penyakit herediter

Pemeriksaan fisik

1. INSPEKSI

Kulit : cafe-au-lait-spots (neurofibromatosis)

Deformitas tulang (kraniostenosis/mikrosefalia, makrosefalia, skoliosis

Bentuk dan besar otot (tiap orang berbeda, tapi yang penting perbedaan kanan
dengan kiri). Hati-hati pada pseudohipertropi (akibat timbunan lemak)

Sikap tubuh abnormal (claw hand, parkinsonisme)

Gerakan-gerakan abnormal :

Fasikulasi

Mioklonik jerks

TICS

Tremor

Korea

Atetosis

Asterixis/flapping tremor

Tardive diskinesia

2. PALPASI
Aplikasi pemeriksaan neurologis agak terbatas.

15

Palpasi pada otot yang atrofi akan terasa lebih lunak.

Saraf akan dipalpasi (pembesaran dan nyeri tekan). Pada penyakit lepra maka
saraf ulnaris dan peroneus (lebih sering saraf ulnaris) teraba lebih besar dan keras
seperti kawat.Pada kelumpuhan nervus ulnaris dan peroneus (claw hand dan drop foot)
jangan lupa untuk palpasi saraf tersebut serta mencari makula hipertesia/anastesia pada
kulit didaerah punggung atau bagian tubuh lainnya.
Tes kekuatan otot

1.PRINSIP UMUM
Ada 2 cara pemeriksaan kekuatan otot

Dokter/pemeriksa

mencoba

mengerakkan

sementara

pasien

mempertahankannya

Pasien yang menggerakkan dan dokter/pemeriksa mempertahankannya


Cara pertama lebih baik tapi cara kedua dipakai bila pasien kurang kooperatif
Selama pemeriksaan grup otot tertentu, dokter/pemeriksa melihat dan

merasakan (palpasi) kontraksi otot. Adanya atropi (terasa lebih lunak) mungkin
ditemukan pada stadium dini dari penyakit motor unit meskipun kekuatan otot masih baik.

Adanya 6 skoring atau gradasi.

Posisi sewaktu tes kekuatan otot harus tepat.

2.GRUP OTOT SPESIFIK


Saraf otak :

Diplopia : penderita diminta melirik kearah otot yang lemah (bila yang lemah saraf
VI kanan maka penderita diminta melirik kearah kanan).

Kelemahan saraf VII harus diperiksa secara terpisah antara bagian atas /otot
frontalis (dilayani oleh serat-serat dari 2 hemispere) dan bagian bawah muka
(dilayani oleh serat hemispere kontralateral). Pemeriksaan ini dipakai untuk
membedakan UMN dan LMN.
Anggota gerak atas (lengan)

Pemeriksaan otot bahu paling baik dengan posisi duduk atau berdiri.

Pemeriksaan otot siku dilakukan dalam keadaan terlentang


Anggota gerak bawah (tungkai)

Hopping test : penderita diminta

jongkok lalu berdiri. Bila terdapat kelemahan otot ekstensor pangkal paha bilateral
maka pasien akan kesulitan.

16

Growers sign : cara bagkit khas

yaitu dengan mengangkat bokong terlebih dahulu, sementara sendi paha tinggal
tetap fleksi. Kemudian kedua tangan menekan tungkai guna mengangkat setengah
bagian tubuh.
Tonus Otot

1.

HIPOTONIA
Yaitu tidak ada tahanan sama sekali bila digerakkan sendi-sendi secara pasif

2.

HIPERTONIA
Spastisitas

dengan cara menggerakkan sendi secara cepat. Pada clasp knife phemomenon maka
didapatkan tahanan pada permulaan gerakan lalu disusul relaksasi secara tiba-tiba.
Spastisitas ini khas bagi lesi UMN.
Klonus : kontraksi

ritmik dari regangan yang dikerjakan secara cepat dan kuat. Bisa dilihat pada dorsofleksi
kaki (ankle klonus) patela (patela klonus), dorsofleksi pergelangan tangan (wrist klonus).
Rigiditas

ditimbulkan dengan cara rotasi pergerakan tangan atau fleksi dan ekstensi siku secara
pasif. Akan terasa tahanan pada sepanjang gerakan pasif tersebut (tidak ada fase
relaksasi seperti pada spastisitas). Bila disertai tremor memberi kesan suatu cog-wheel
phenomenon. Rigiditas khas untuk penyakit ganglia basalis
Miotonia : akibat

abnormalitas otot pada gerakan pasif secara perlahan-lahan miotonia tidak timbul tapi
pada gerakan yang cepat akan timbul kontraksi otot yang gagal untuk relaksasi. Miotonia
juga bisa ditimbulkan dengan rangsangan ketukan pada otot yang terlibat (memakai jari
tangan atau hamer karet).
E.

Apraksia/Dispraksia

F.

Gerakan kompleks

Disartria

Gait (gaya berjalan)

Ayunan lengan yang kaku atau jelek, dugaan lesi ganglia basalis atau UMN

Langkah kaki yang lebar adalah dugaan midline cerebral disfunction

Scissors gait : dugaan lesi UMN bilateral

Circumductive gait : dugaan lesi UMN unilateral

17

Stepping gait (gaya ayam jago) : akibat kelumpuhan nervus peroneus sehingga

dorsofleksi kaki tidak mampu dikerjakan (drop foot)


Toe walking test : test berjalan dengan ujung-ujung jari kaki adalah tes untuk

kekuatan plantar fleksion kaki.

Heel walking test (test berjalan dengan tumit) : tes kekuatan dorsofleksi kaki,.

Tandem gait : cara berjalan melalui garis lurus yaitu termasuk cara tes
keseimbangan yang lebih baik dan lebih sensitif dari pada romberg test.
Romberg test

Lebih cocok dimasukkan kedalam tes koordinasi.


6.) SENSIBILITAS
Gangguan two point tactile discrimination

Diperiksa dengan 2 rangsangan tumpul pada 2 titik dianggota gerak secara serentak, bisa
memakai kompas/jangka. Pada anggota gerak atas biasanya diperiksa pada ujung jari. Orang
normal bisa membedakan 2 rangsangan pada ujung jari bila jarak 2 rangsangan tersebut
lebih dari 3 mm. Ketajaman menentukkan 2 rangsangan tersebut sangat tergantung pada
bagian tubuh yang diperiksa, yang penting adalah membedakan kedua sisi.
Gangguan grapesthesia = graphaanastesia

Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menulis beberapa angka pada bagian tubuh yang
berbeda-beda pada kulit penderita. Penderita mengenali angka tersebut dengan mata
tertutup.

Gangguan stereognosis
Diperiksa pada tangan. Pasien diminta mengenal sebuah benda yang ditempatkan pada
masing masing tangan dan diminta ,merasakan pada jari-jari tangan. Ketidakmampuan
dengan rabaan dan mata tertutup disebut taktil agnosia atau astereognosis. Syarat
pemeriksaan sensasi protopatik dan proprioseptik harus baik.

Gangguan barognosis
Membedakan berat antara 2 benda sebaiknya diusahakan bentuk dan besar benda sama tapi
beratnya beda.

Gangguan topografi = topognosia


Yaitu kemampuan pasien untuk melokalisasi rangsangan raba pada bagian tubuh tertentu.

Anosognosia = sindroma Anton Babinski


Adalah penolakan atau tidak adanya kesadaran terhadap bagian badan yang lumpuh. Bila
berat, pasien akan menolak adanya kelumpuhan tersebut dan percaya bahwa dia dapat

18

menggerakkan bagian-bagian tubuh tersebut. Ada yang menduga bahwa penolakkan dan
penelantaran bagian tubuh yang lumpuh adalah akibat gangguan spasial yang berat.
Sensori inattention = extinction phenomenon

Diperiksa dengan merangsang secara serentak pada kedua titik dianggota gerak kanan dan
kiri yang letaknya setangkup sementara itu mata tertutup. Mula-mula diraba punggung tangan
dan pasien diminta untuk mengenal tempat yang diraba. Kemudian rabalah pada titik yang
setangkup pada sisi yang berlawanan dan ulangi pertanyaan tersebut. Setelah pasien dapat
merasakan perabaan pada masing-masing sisi yang setangkup tersebut dengan baik, maka
kita raba pada kedua tempat tersebut dengan tekanan yang sama secara serentak. Bila ada
extinction phenomenon maka pasien hanya akan merasakan rangsangan pada sisi tubuh
yang sehat saja.
TES SENSORIK KHUSUS
Tinels sign

Umumnya digunakan untuk tes saraf medianus pada karpal tunnel sindrom. Tepukkan ujung
jari pada saraf medianus ditengah-tengah terowongan karpal akan menimbulkan disestesia
( rasa parastesia dan nyeri yang menjalar mulai dari tempat nyeri rangsangan kejari-jari
telunjuk, tengah, dan manis seperti aliran listrik). Bila tes ini positif maka dugaan kuat adanya
sindrom karpal tunel apalagi bila ada keluhan parastesia dan nyeri pada ketiga jari tersebut
untuk konfirmasi bisa dilakukan pemeriksaan EMG.

Straight leg raising test/laseque test

Spurling sign/hand compression test

Perspiration test
Prinsip : Adanya keringat akan bereaksi dengan amilum atau tepung yang diberi iodium
sehingga memberikan warna biru, caranya bagian depan tubuh (leher bawah) disapu dengan
tepung yang mengandung iodium kemudian tubuh penderita ditutupi dengan sungkup supaya
cepat berkeringat. Setelah beberapa lama sungkup dibuka dan dicatat bagian tubuh mana
tepung tetap putih berarti tidak ada produksi keringat). Tes ini adalah tes objektif dan
digunakan pada kasus-kasus paraplegia untuk menentukkan batas lesinya. Tes ini sudah
jarang dipakai.

7.) KOORDINASI
Intensio tremor

19

Tremor yang timbul bila melakukan gerakan volunter (degan kemauan) dan menjadi lebih
nyata bila menghampiri tujuannya. Tremor intensi dapat pula diperiksa dengan jalan menyuruh pasien
mengambil benda yang kecil, makin dekat ia pada benda tersebut makin jelas tremor pada tangannya.
Test telunjuk hidung
Pasien disuruh menutup mata dan meluruskan lengannya kesamping, kemudian ia disuruh
menyentuh hidubgnya dengan telunjuk. Pada lesi sereberal telunjuk tidak sampai di hidung tetapi
melewatinya dan sampai di pipi. Bila jari mendekati hidung terlihat tremor (tremor intensi) atau pasien
disuruh menunjuk telunjuk pemeriksa, kemudian menunjuk hidungnya, berulang-ulang.
Tes tumit lutut
Penderita berbaring dengan kedua tungkai diluruskan, kemudian ia dusuruh menempatkan
tumit pada lutut kaki yang lain. Tumit ini tidak tepat mengenai lutut. Terlihat pasien mengadakan fleksi
lutut yang berlebihan sehingga tumit melampaui lutut dan sampai di paha.
Ataksi (gangguan koordinasi gerakan)
Gangguan gerakan adalah berkurangnya kerjasama antar otot. Pada orang normal bila ia
mengedik kebelakang, pada waktu yang bersamaan ia akan memfleksikan lutut atau tungkai untuk
menjaga keseimbangan. Akan tetapi pada penderita gangguan sereberal, saat mengedikkian
badannya ke belakang, ia selalu menegangkan tungkainya, sehingga ia berada dalam bahaya akan
jatuh.
Dysathri
Untuk dapat mengucapkan kata sebaik-baiknya sehingga bahasa yang didengar dapat
ditangkap dengan jelas dan tiap suku kata dapat terdengar secara terperinci, maka mulut, lidah, bibir,
palatum mole, pita suara serta otot-otot pernapasan harus melakukan gerakan tangkas secara
sempurna. Bila salah satu gerakan tersebut terganggu, timbullah cara berbahasa (verbal) yang kurang
jelas. Penderita dengan disartria bila disuruh untuk mengucapkan suatu kalimat maka akan terdengar
kalimat yang tidak jelas.Disartria disebut juga gangguan artikulasi atau gangguan pengucapan katakata secara jelas dan tegas, namun tidak ada gangguan pada penggunaan tata bahasa.
8.) SARAF VEGETATIF
Miksi
Kandung kemih dan uretra menerima persarafan simpatis dan parasimpatis. Parasimpatis
mengaktifkan otot detrusor sedangkan simpatis menghambatnya. Penuhnya kandung kencing terasa
karena lintasan asenden menyalurkan impuls yang dicetuskan oleh ujung-ujung serabut aferent akibat
teregangnya otot detrusor. Tibanya impuls tersebut di korteks serebri akan menimbulkan kesadaran
akan penuhnya kandung kemih. Terputusnya lintasan impuls tersebut akan menghilangkan refleks

20

berkemih yang sewajarnya akan timbal bila kandung kemih penuh (sensory paralytic bladder). Lama
kelamaan akan timbul inkontinensia urin.
Pada penderita dengan lesi di medulla spinalis diatas konus medullaris, kandung kemih dapat
dikosongkan dengan jalan perangsangan terhadap daerah di sekitar os pubis dan lipatan inguinal
(kandung kemih automatik). Bila lesi terletak di konus medullaris, maka pengosongan kandung kemih
harus dilakukan dengan penekanan suprapubik (kandung kemih atonik).
Defekasi
Defekasi seperti halnya miksi merupakan fungsi otonom. Pada defekasi, kegiatan susunan
parasimpatik membangkitkan kontraksi otot polos sigmoid dan rektum serta relaksasi otot sfingter
internus. Refleks anal dibangkitkan dengan cara berikut : jari telunjuk demasukkan ke dalam anus
penderita, bila terasa ada jeratan pada jari telunjuk, maka refleks sfingter internus adalah positif. Bila
refleks hilang, maka jari tidak mendapat tahanan, dan dengan mudah dimasukkan ke dalam anus.
Defekasi adalah kegiatan voluntar untuk mengosongkan rektum dan sigmoid yang dapat dibagi dalam
dua tahap, yaitu didorongnya tinja sampai ke rektum yang berlangsung secara involuntar. Bila rektum
penuh, maka akan timbul kesadaran untuk defekasi. Pada tahap kedua, semua kigiatan berlangsung
voluntar, sfingter dilonggarkan dan otot perut berkontraksi untuk meningkatkan tekanan intra
abdominal.
9.) REFLEX-REFLEX
Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan.
Reflek saraf otak
1.

Reflek pupil

2.

Reflek kornea

3.

Reflek mandibula

4.

Reflek glabella

Reflek pada angota gerak atas


1. Reflek Biseps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 90o, supinasi dan lengan bawah
ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari dokter ditempatkan pada m.bisep
(diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan reflek hammer.
Normal: timbul kontraksi otot bisep, sedikit meningkat (brisk) bila terjadi fleksi
sebagian dan gerakan pronasi. Bila hiperaktif maka akan terjadi penyebaran
gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
2. Trisep reflek

21

Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 90o, tendon trisep diketok dengan
reflek hammer (tendon trisep berada pada jarak 1-2 cm diatas olecranon). Respon
yang normal adalah kontraksi otot trisep, sedikit meningkat (brisk) bila ekstensi
ringan dan hiperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar ke atas sampai otot-otot
bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
3. Reflek Hoffman
Pasien hiperekstensi pergelangan tangan, kemudian ujung jari tengah disentil
(snapped) dan kita lihat gerakan fleksi dari jari-jari yang lain dan adduksi dari ibu jari.
Reflek positif bilateral bisa dijumpai pada 25% orang normal, sedangkan unilateral
Hoffman sign indikasi suatu lesi UMN diatas segmen servikal VIII.
4. Grasping reflek
Jari pemeriksa saling bertautan (slider) dengan jari-jari pasien ekstensi pada
pergelangan tangan. Bila penderita sadar, maka diperintahkan supaya jangan
menahan pemeriksa. Reflek positif bila ujung-ujung jari pasien menahan ujung jari
pemeriksa. Tes ini akan diulang beberapa kali.
Pada forced grasping posisi tangan pronasi dan rangsangan dikerjakan dengan jarijari pemeriksa pada daerah telapak tangan. Forced grasping positif bila jari-jari
pasien meremas jari-jari pemeriksa dan sulit melepaskan atau membuka jari-jarinya.
Reflek-reflek pada tubuh
1. Reflek bernafas
2. Reflek dinding perut
Normal hilang pada keadaan pasca operasi yang mengenai saraf segmen torakal bawah,
wanita yang banyak anak. Patologis terdapat pada lesi UMN dan LMN. Reflek ini
dekerjakan dengan goresan dari lateral menuju garis tengah mulai dari atas umbilikus,
setinggi umbilikus dan di bawah umbilikus (ada 4 goresan pada sisi kanan dan kiri).
Normal akan timbul kontraksi otot-otot dinding perut menjauhi umbilikus/ bergerak ke
lateral. Yang perlu dilihat adalah simetrisnya gerakan tiap-tiap kuadran tersebut.
3. Reflek kremaster
Goresan pada bagian dalam paha akan memberikan respon berupa terangkatnya testis
pada sisi yang sama. Reflek ini negatif pada lesi UMN dan LMN.
4. Reflek bulbokavernosus
Tekanan pada glans penis menimbulkan kontraksi dari otot blbokavernosus dan spingter
ani eksternus. Kedua-duanya dapat dirasakan dengan menempatkan jari-jari pemeriksa
pada perineum.

22

5. Reflek anal
Kulit dekat anus digores secara perlahan dengan jarum, akan menimbulkan kontraksi
otot spingter ani eksterna yang bisa dilihat atau dirasakan dengan pemeriksaan rektum.
Reflek-reflek pada anggota gerak bawah

1. Reflek Patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi 30o. Tendon patella
dipukul dengan reflek hammer. Respon berupa kontraksi otot quadricep femoris, yaitu
ekstensi dari lutut. Pada lesi LMN akan menurun atau negatif, sedangkan pada lesi UMN
akan meningkat dan menyebar ke otot-otot paha yang lain.
2. Adduktor reflek
Dikerjakan bila ada reflek tendon yang meningkat.
3. Achiles tendon reflek= A.P.R
Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan ini adalah:
-

Penderita diminta melemaskan kakinya. Kita dapat meraba tendon ekstensor


halucis/ digitorum yang berada di bagian dorsal kaki, bila terasa tegang berarti
penderita belum menuruti perntah kita.

Posisi kaki adalah dorsofleksi.

Untuk memudahkan pemeriksaan reflek ini, kaki pemeriksa bisa diletakkan/


disilangkan di atas tungkai bawah kontralateral.

Tendon achiles dipukul dengan reflek hammer, respon normal berupa gerakan plantar
fleksi kaki.
Adanya gerakan lebih dari satu kali fleksi plantar (klonus) berarti abnormal (lesi UMN),
sedangkan reflek yang negatif pada satu atau dua sisi sering diakibatkan lesi saraf
perifer atau penyakit radiks spinalis (HNP).
4. Reflek Babinski
Pada orang normal, goresan pada telapak kaki akan memberikan respon berupa
pemanrikan tungkai dan fleksi jari-jari kaki termasuk jempol. Bila ada lesi UMN maka jari
jempol kaki akan bergeraj dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain menyebar atau membuka.
Pada bayi sampai usia 16 bulan reflek babinski masih dalam batas normal. Reflek
babinski klasik dikerjakan dengan menggores telapak kaki mulai dari bawah ke atas,
pasien sebelumnya diberi tahu supaya berusaha jangan bergerak. Bila timbul ekstensi/
dorsofleksi jari jempol maka dikatakan ada reflek babinski (sebaiknya jangan dipakai
istilah positif).

23

5. Variasi reflek babinski


Sebetulnya ada 27 gerakan yang bisa memberikan dorsofleksi jari jempol kaki, tapi yang
sering digunakan adalah Oppenheim (goresan jari sepanjang tepi depan tulang tibia dari
atas ke bawah), Gordon (memencet otot gastrocnemius), Schaefer (memencet tendon
achiles), Chaddock (goresan sepanjang tepi lateral kaki diluar telapak kaki dari bawah ke
atas). Diantara variasi reflek babinski ini maka reflek chaddock adalah yang paling
berguna dalam penggunaan di klinis. Variasi babinski ini diperlukan apabila kita raguragu mengenai hasil evaluasi reflek babinski apabila penderita sangat sensitif terhadap
goresan telapak kaki.
6. Reflek Rosolimo dan Mendel-Bechterew
Arti klinis sama dengan reflek babinski dan variasinya (lesi UMN) hanyaresponnya yang
berbeda. Pukulan pada bagian dorsal kaki pada tulang kuboid (refleks MendelBechterew) dan pada telapak kaki bagian depan (reflek rosolimo) akan memberikan
respon berupa fleksi pada jari-jari kaki.
10) Liquor Cerebrospinal
Warna
Dalam keadaan normal LCS tidak berwarna, bening seperti air. Perubahan baru terlihat bila
terdapat sel sedikitnya 200/mL. Bila terdapat eritrosit 1000/mL maka akan memberikan warna merah
pada cairan. Bila pada waktu melakukan punksi, ternyata traumatik maka terdapat darah dalam LCS,
untuk itu harus dilakukan penampungan LCS dengan 3 tabung berturut-turut, dimana akan terlihat
bahwa tabung ke tiga lebih jernih dbandingkan dengan kedua tabung lainnya. Cara ini penting untu
membedakan apakah daerah tersebut berasal ari punksi yang traumatik atau perdarahan dari
subarakhnoid. Pada perdarahan subarakhnoid, bila LCS tersebut disentrifuge, akan terlihat endapan
darah sedangkan cairan di atasnya xantochrom. Sedangkan pada punksi yang traumatik cairan di
atasnya jernih.
Tekanan
Tekanan LCS diatur oleh hasil kali dari kecepatan pembentukan cairan dan tahanan terhadap
absorbsi melalui villi arakhnoid. Bila salah satu meninggi maka tekanan meninggi dan bila salah satu
menurun maka tekanan tersebut menurun.
Pengukuran tekanan LCS dengan menggunakan manometer pada punksi lumbal atau punksi
cysternal dengan pasien pada posisi lateral dekubitus nilai normalnya 70-200 H20. Bila penderita
duduk tekanan menjadi lebih tinggi 280 mL H20.
Quexkenstedit

24

Tes Quexkenstedit adalah pemeriksaan dengan penekanan vena jugularis. Dalam keadaan
normal penekanan vena jugularis akan meninggikan tekanan 100-200 mL H20 dan tekanan kembali ke
asal dalam waktu 10 detik. Bila ada penyumbatan, maka tidak terlihat peninggian tekanan atau sedikit
sekali peningkatan tekanan LCS.
Jumlah Sel
Bila jumlah sel LCS meningkat (sel leukosit) menunjukkan adanya infeksi bakteri, virus, jamur,
darah, zat kimia atau tumor. Peningkatan jumlah sel dan jenisnya diperiksa dengan pewarnaan gram.
Protein
Terdapat perbedaan yang besar antara kadar protein darah dengan kadar protein LCS.
Perbedaan kadar protein pada ventrikel dengan cysterna dan lumbal disebabkan oleh tidak samanya
permeabilitas dari sawar darah LCS untuk protein pada basal meningen dan ruamg subarakhnoid
spinal.
Peninggian kadar protein merupakan suatu keadaan patologis yang terjadi ependim, dekat
ependim atau meningen. Peniggian protein pada meningitis terjadi karena tingginya perfusi dari kapiler
darah dikoroid atau meningen.
Glukosa
Kadar glukosa LCS merupakan 2/3 dari kadar glukosa darah. Bila kurang dari

48 mg% maka

tidak normal. Hal ini dapat ditemui pada keadaan infeksi piogenik, meningitis TBC, dan jamur.
NaCl
Penurunan Cl terdapat pada meningitis tetapi tidak spesifik. Sedangkan kadar Na, K, Mg, dan Ca
tidak menunjukkan perubahan pada kelainan neurologi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Juwono, T. Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. 1996. Jakarta : EGC
2. Sidharta, Priguna.Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. 1999.Jakarta : Dian Rakyat
3. Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik ; Pemeriksaan Fisik dan Mental. 1999. Jakarta : FKUI
4. Nurimba, Nurjaman. dkk. Diktat Neurologi Klinis. 1993. Bandung : SMF Ilmu Penyakit Syaraf
FK-UNPAD / RSHS.

25

26

Anda mungkin juga menyukai