PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, merupakan
suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia,
hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan
proteinuria massif ( 40mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinine pada urin sewaktu > 2
mg/mg atau dipstick +2), hipoalbumin
tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik
terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi kronik. Pada berbagai
penelitian jangka panjang ternyata respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk
menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Oleh karena itu pada
saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respon klinik yaitu: sindrom nefrotik sensitive
steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS).1,2, 3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria massif
( 40mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinine pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipstick +2), hipoalbumin ( 2,5 gr/dL), edema dan dapat disertai hiperkolesterolemia.1
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada syndrome nefrotik,antara lain :
1. Remisi, yaitu proteinuria negative atau trace (proteinuria <4 mg/m 2 LBP/jam) selama
3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
2
Kelainan
histopatologik
glomerulus
pada
sindrom
nefrotik
primer
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan
minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.4
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan
data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari
364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya
4
mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer
yang dibiopsi.5,6
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah :5,6
a.
2.4 Patogenesis
Pemahaman patogenesis dan patofisiologi sangat penting dan merupakan pedoman
pengobatan rasional untuk sebagian besar pasien SN.4
Proteinuri
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi
tubulus
(proteinuri
tubular).
Perubahan
integritas
membrana
basalis
glomerulus
molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri
dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar
terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektifitas proteinuria ditentukan oleh
keutuhan struktur MBG. Pada nefropati lesi minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh
hilangnya charge selectivity sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama
oleh hilangnya size selectivity.4
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan
katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak
memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau
menurun. 4
Hiperlipidemi
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
(LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat,
normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan
katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid
distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. 4
Lipiduri
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber
lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang
permeabel.4
Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminnemia merupakan factor kunci terjadinya edema
pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga
6
cairan bergeser dari intravascular ke jaringan interstitial dan terjadi edema. Akibat
penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan
ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme
kompensasi ini akan memperbaiki volume intravascular tetapi juga akan mengeksaserbasi
terjasinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. Pemberian infus albumin
akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan ekskresi
fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan edema berkurang. 4
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi
natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema.
Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium
dan edema akibat teraktivasinya system rennin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan
konsentrasi hormone aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk
mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion atrium (natriuresis) menurun. Selain itu
juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang
menyebabkan tahanan atau retensi vaskular glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan
penurunan LFG dan kenaikan desakan starling kapiler peritubuler sehingga terjadi
penurunan eksresi natrium. 2,7
2.5 Gejala Klinis
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak pada
sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga
keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat
intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi
jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab
menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).8,9
Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada
pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada
siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema).
Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing.
Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS
7
atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat
pada pasien SNKM.9
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom
nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab mukosa
usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya.
Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom
nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu
makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi
berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan
hernia umbilikalis dan prolaps ani.Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi
pleura atau tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.9
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM
mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.2
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang
berikut:1
Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada
pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+ menandakan
kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk
dalam nephrotic range.2
Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang mengandung
butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit.2
Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot collection. Timed
collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang
sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total protein urin 150 mg. Adanya proteinuria
masif merupakan kriteria diagnosis.2, 8
8
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini
mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak 3g.2,8
Albumin serum
- kualitatif
: ++ sampai ++++
dilakukan bila disertai dengan edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah,
infeksi berat, gagal ginjal atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.1
Diitetik
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme
protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup
diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recomanded daily allowances) yaitu 2
gr/kgBB/hari. Diit rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP)
dan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2 gr/hari) hanya diperlukan
selama anak terjadi edema.1
10
4 minggu
Remisi (+)
Proteinuri (-)
Edema (-)
Pred : 60 mg/m2LBP/hari
4 minggu
dosis alternating
Pred : 40 mg/m2LBP/hari
b. Pengobatan relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94 %, tetapi
sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% diantaranya mengalami relaps
sering. Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan
dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN yang mengalami
proteinuria > 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednison,
terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi
diberikan antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan
relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria > 2+ disertai edema, maka didiagnosis
sebagai relaps dan diberikan pengobatan relaps.1
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat
penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps
yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi
dalam beberapa golongan :
1.
2.
3.
4.
Dependen steroid.
Dependen steroid adalah bagian dari relaps sering yang jumlah relapsnya lebih banyak
dan prognosisnya lebih buruk, tetapi masih lebih baik daripada resisten steroid. Pasien
pada kategori 1 dan 2 punya prognosis paling baik, biasanaya setelah mengalami 2-3 kali
relaps tidak akan relaps lagi. Pada kategori 3 dan 4 bila berlangsung lama akan
menimbulkan efek samping steroid misalnya moon face, hipertensi, striae dll. Pasien SN
11
relaps sering dan dependen steroid sebaiknya dirujuk ke ahli nefrologi anak atau
setidaknya ditatalaksana bersama-sama dengan ahli nefrologi anak.1
c. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Dahulu pada SN relaps dan dependen steroid segera diberikan pengobatan
steroid alternating bersamaan dengan pemberian siklofosfamid, tetapi sekarang dalam
literatur ada 4 opsi :1
c.1 Pemberian steroid jangka panjang
Berbagai penelitian menunjukan bahwa pemberian steroid jangka panjang dapat
dicoba lebih dahulu sebelum pemberian CPA, mengingat efek samping steroid
yang lebih kecil. Jadi bila telah dinyatakan sebagai SN relaps sering / depanden
steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan
steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB
sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5
mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan
selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah
dapat mentolerir prednison 0,5 mg/kgBB dan anak usia prasekolah sampai 1
mg/kgBB secara alternating.1
Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB alternating, tetapi
<1,0 mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol dosis 2,5 mg/kgBB, selang sehari, selama 4-12
bulan, atau langsung diberikan CPA.1
Bila ditemukan keadaan dibawah ini:
1. Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg terapi disertai :
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis, sepsis,
diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12
minggu.
12
c.2
Pemberian levamisol
Pemakaian levamisol pada SN masih terbatas karena efeknya masih diragukan. Efek
samping levamisol antara lain mual, muntah, dan neutropenia reversible. Dalam
sebuah studi kontrol double blind, levamisol dilaporkan dapat mempertahankan
remisi sampai 50%. Penelitian multisenter oleh British Association for Pediatric
Nephrology pada 61 anak secara randomisasi mendapatkan pada 14 anak yang diberi
levamisol selama 112 hari dan 4 kontrol masih menunjukkan remisi meskipun
prednison sudah dihentikan, tetapi 3 bulan setelah obat dihentikan semua relaps.1
Di Jakarta, penelitian pemberian levamisol pernah dilakukan, tetapi hasilnya kurang
memuaskan. Oleh karena itu pada saat ini pemberian
sementara, dan diteruskan kembali bila jumlah leukosit lebih dari 5.000/L,
hemoglobin lebih dari 8 g/dL, dan trombasit lebih dari 100.000/dL.
Efek toksisitas pada gonad terjadi bila dosis total kumulatif mencapai 200-300
mg/kgBB. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgBB,
dan dosis ini aman bagi anak. CPA dapat diberikan secara oral atau plus, baik pada
SN relaps sering atau dependen steroid.
c.4
Pengobatan tambahan
Mengatasi edema anasarka berikan diuretik, furosemid 1-2 mg/kgBB/kali Bila
pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema, biasanya disebabkan oleh hipovolemia
atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin < 1 gr/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25%
dengan dosis 1 gr/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Bila pasien tidak mampu dari
segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10
tts/menit untuk mencegah terjadinya dekompensasi jantung. Bila diperlukan albumin atau
plasma dapat diberikan selang sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan
14
untuk
mengalami
tromboemboli
disebabkan
oleh
karena
keadaan
dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian
asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah terhadi tromboemboli,
dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara
intravena.1,2,5,7
Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam
lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak
selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin serum
dan derajat proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan tekanan
onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid
dan lipoprotein, di samping itu katabolisme lipid pada SN juga menurun. Hiperlipidemia pada
SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid kembali normal pada keadaan remisi, sehingga
pada keadaan ini cukup dengan pengurangan diit lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap
morbiditas dan mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum
jelas.Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivat asam fibrat atau
inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih diperdebatkan.1,2,5,7
2.9 Prognosis
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada
SN.Pengobatan SN dan komplikasinya saat ini telah menurunkan morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan sindrom.Saat ini, prognosis pasien dengan SN bergantung pada
penyebabnya. Remisi sempurna dapat terjadi dengan atau tanpa pemberian kortikosteroid.2
Hanya sekitar 20 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal mengalami remisi
proteinuria, 10 % lainnya membaik namun tetap proteinuria. Banyak pasien yang mengalami
frequent relaps, menjadi dependen-steroid, atau resisten-steroid. Penyakit ginjal kronik dapat
muncul pada 25-30 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal segmental dalam 5 tahun dan 3040 % muncul dalam 10 tahun.2
Orang dewasa dengan minimal-change nephropathy memiliki kemungkinan relaps yang
sama dengan anak-anak. Namun, prognosis jangka panjang pada fungsi ginjal sangat baik,
dengan resiko rendah untuk gagal ginjal. 2Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada
67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsialpada 50% SN nefropati
16
BAB 3
17
LAPORAN KASUS
dikatakan semakin lama semakin membengkak, sampai pasien susah membuka matanya. Saat
muncul keluhan, pasien sudah dipriksakan keluhannya ke dokter umum, di dokter tersebut
diberikan obat yang menyebabkan pasien terus kencing, namun keluhan bengkak pasien
dikatakan tidak mau berkurang.
Selain bengkak dikatakan juga kencing pasien sedikit-sedikit dan berbusa, namun setelah
mendapat obat dari dokter dikatakan kencing pasien mau keluar banyak. BAB pasien
dikatakan lebih encer dibandingkan biasanya.
Pasien juga merasa lemas, tidak mampu melakukan aktifitas sehari-hari seperti sekolah
ataupun bermain bersama teman-temannya. Pasien juga tidak bernafsu makan maupun minum
selama sakit.
Riwayat demam, batuk, pilek tidak ada, riwayat nyeri menelan sebelumnya tidak ada.
Riwayat penyakit dahulu
Ini merupakan kali kedua pasien mengalami keluhan seperti ini, pertama dirasakan 3 bulan
yang lalu, 3 bulan yang lalu pasien juga mengalami bengkak pada mata dan kakinya, namun
keluhan saat itu mau menghilang setelah minum obat yang didapat dari dokter. Keluhan
bengkak hanya berlangsung 2 hari dan setelah itu pasien bias melakukan aktifitas seperti
biasa.
Riwayat Keluarga
Di keluarga pasien tidak pernah ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien.
Pasien merupakan anak ke 2dari 3 bersaudara
Riwayat sosial
18
Pasien merupakan anak yang tergolong aktif, saat ini pasien masih sekolah kelas 5 SD.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status present
Keadaan umum
: Lemah
Kesadaran
: E4V5M6
Tekanan darah
: 120/70 mmHg
Nadi
Respirasi
Suhu aksila
: 36,5C
BB
: 30 kg
TB
: 120 cm
BMI
: 20,83 kg/m2
Status generalis
Mata
: edema palpebra (+/+)konjungtiva pucat (-); ikterus (-); refleks pupil +/+ isokor
THT
: epistaksis (-)
Orofaring
Thoraks :
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di apex
Perkusi : batas jantung dbN
Auskultasi : S1S2tunggal, reguler, murmur (-)
Paru
:
Inspeksi : Thoraks simetris, tipe torakoabdominal, retraksi (-)
Palpasi
Perkusi
: Sonor
: Distensi (-)
19
Hasil
12.4
5.93
16.6
48.5
81.9
28.0
34.2
11.6
538
6.06
Nilai Normal
4-10 K/UL
4.0-5.0 M/UL
12.0-15.0 g/dl
37-43 %
80-100 fL
26-34 pg
32-36 %
11.5-14.5 %
150-450 K/UL
fL
51.8
10.40
42.3
8.53
3.3
0.67
1.1
0.22
1.470
0.296
50-70%
2-6.9 K/UL
10-50%
1-4 K/UL
0-12 %
0-0.9 K/UL
0-7%
0-0.7 K/UL
0-2.5 %
0-0,2 K/UL
Hasil
Nilai Normal
Kesimpulan
Urea UV
20
10-50 mg/dl
Creatinine
0.45
0.5-0.9 mg/dl
Rendah
Total Protein
47.0
65-80 g/L
Rendah
20
Albumin
15.59
g/L
Rendah
Cholesterol PAP
795
0-200
Tinggi
Urinalisis
Pemeriksaan
(6/8/13)
(12/8/13)
pH
6.0
6.5
Berat Jenis
1.030
1.025
Albumin
+3
+3
Reduksi
Neg
Neg
Urobilinogen
Neg
Neg
Bilirubin
Neg
Neg
Keton
Neg
Neg
Nitrit
Neg
Neg
Lekosit
Neg
Neg
Blood
+3
+3
Epitel gepeng
1-3
4-5
Epitel bulat
Neg
2-3
Lekosit
Neg
4-5
Eritrosit
25-30
10-15
Cast fatty
Neg
Neg
Neg
Neg
Neg
Neg
Neg
Neg
Neg
Neg
Bakteri
Neg
Neg
Jamur
Neg
Neg
Sedimen
3.5 Diagnosis
Sindrom Nefrotik
3.6 Penatalaksanaan
21
BAB 4
PEMBAHASAN
Pasien perempuan, 9 tahun dikeluhkan bengkak pada wajah dan kedua kakinya. Bengkak seperti
ini sudah pernah dialami 3 bulan sebelumnya. Manifestasi klinis utama pada pasien ini adalah
edema, yang tampak pada sekitar 95% kasus anak dengan sindrom nefrotik. Pada fase awal
edema sering bersift intermiten, biasanya awal tampak pada daerah-daerah yang mempunyai
resistensi jaringn yang rendah (preorbita, pretibia). Edema berpindah dengan perubahan posisi,
sering tampak sebagai edema muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi
bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan
bekas bila ditekan (pitting edema).
22
Nafsu makan dan minum juga menurun. BAK menurun sejak 2 hari SMRS, dan berbusa.
Riwayat kencing kemerahan tidak ada. BAB dikatakan encer dari biasanya. Gangguan
gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami
pasien dengan edema masif disebabkan edema mukosa usus. Pada beberapa pasien, nyeri perut
yang kadang-kadang berat dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena
edema dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema.
Pemeriksaan urinalisis pada pasien didapatkan albuminuria +3,eritrosit +3, proteinuria
pada pasien sesuai teori disebabkan hilangnya muatan negatif yang terdapat di sepanjang endotel
kapiler glomerulus dan membrane basal, menyebabkan albumin yang bermuatan negative
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus, sehingga kadar albumin dalam darah
berkurang dan terjadilah hipoalbuminema. Akibatnya teranan onkotik plasma berkurang
sehingga pasien ini menjadi edema. Selain itu terjadi hiperlipidemia akibat penurunan tekanan
onkotik, disertai pula penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein
sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan
maupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.
Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan kadar albumin 15,59 (hipoalbuminemia) dan
kadar kolesterol 795 (tinggi), hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid
plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan terjadi ektravasasi cairan menembus dinding
kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan
volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan
natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh menjaga agar
volume dan tekanan intravascular tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan
pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada
akhirnya mempercepat ektravasasi cairan ke ruang interstitial akibatnya terjadi edema.
Pada pembahasan ini pasien didiagnosa kerja dengan Sindrom nefrotik dengan diagnosis
banding Glomerulunefritis akut (GNA), dimana hal ini disimpulkan dari anamnesa serta
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang mendukung ke diagnosis sindrom nefrotik.
Pada GNA terjadi proliferasi dan inflamasi pada glomerulus akibat mekanisme imunologis
terhadap bakteri atau virus tertentu, yang tersering adalah streptococcus. Dari anamnesa tidk
didaptakan pasien dengan riwayat nyeri menelan atau ispa, dimana timbulnya GNA didahului
23
oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman
streptococcus beta hemolyticus grup A. Gejala klinis yang sering tampak pada GNA berupa
hematuria/kencing berwarna merah daging. Kadang disertai edema ringan di sekitar mata atau di
seluruh tubuh. Pada pasien ini tidak didapatkan hematuria. Pada pasien ini lebih cenderung kea
rah diagnosis Sindrome nefrotik, dengan adanya klinis edema, dan hipoalbuminemia, proteinuria
serta hiperkolesterolemia.
Untuk penanganan sindrome nefrotik tahap awal sesuai dengan ISKDC, diberikan
prednisone dosis penuh 2mg/kgBB/hari atau 60mg/m2 LPB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 4
minggu pertama, dilanjutkan prednisone dosis 40 mg/m2 LBP/hari atau 2/3 dosis penuh. Pada
pasien dosis prednisone yang diberikan adalah 3x3tablet. Selanjutnya pasien dipulangkan dan
kontrol di poliklinik anak untuk pemantauan terapi.
24