Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, merupakan
suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia,
hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan
proteinuria massif ( 40mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinine pada urin sewaktu > 2
mg/mg atau dipstick +2), hipoalbumin

( 2,5 gr/dL), edema dan dapat disertai

hiperkolesterolemia (250 mg/uL). Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai


pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia. Sindrom nefrotik disebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma sehingga menimbulkan
proteinemia, hipoalbuinemia, hiperkolesterolemia dan edema.1
Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik)
yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN
sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu.1,2
Insiden SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika serikat dan inggris adalah 2-4 kasus
per 100 ribu anak pertahun. 1 Negara berkembang insidenya lebih tinggi, di Indonesia kejadian
yang dilaporkan 6 per 100 ribu anak pertahun, perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. 2
SN idiopatik pada anak, sebagian besar (80-90%) mempunyai gambaran patologi anatomi berupa
kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainya adalah glomerulosklerosis fokal
segmental (GSFS) 7-8%, mesengial proliferatif difus (MPD) 1,9-2,3 %, glomerulonefritis
membranoproliferatif (GNMP) 6,2 % dan Nefropaty membranosa (GNM) 1,3 %. Pada
pengobatan kortikosteroid inisial, sebagian besar SNMK (94%) mengalami remisi total
(responsive), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsive.1,2
Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai
kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga
berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan
metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada
SN fungsi ginjal normal kecuali pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal
1

tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik
terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi kronik. Pada berbagai
penelitian jangka panjang ternyata respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk
menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Oleh karena itu pada
saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respon klinik yaitu: sindrom nefrotik sensitive
steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS).1,2, 3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria massif
( 40mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinine pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipstick +2), hipoalbumin ( 2,5 gr/dL), edema dan dapat disertai hiperkolesterolemia.1
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada syndrome nefrotik,antara lain :
1. Remisi, yaitu proteinuria negative atau trace (proteinuria <4 mg/m 2 LBP/jam) selama
3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
2

2. Relaps, yaitu proteinuria +2 (proteinuria 40mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari


berturut turut dalam 1 minggu setelah mendapat terapi steroid
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali pertahun pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relaps), yaitu relaps terjadi 2 kali dalam 6 bulan pertama
atau 4 kali dalam periode satu tahun
5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid diturunkan
atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan
prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
2.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan kebayakan
terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. SNKM terjadi pada 85-90% pasien dibawah umur 6
tahun, di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak pertahun. 4 Pada penelitian di
Jakarta menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom
nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan ISKDC melaporkan penelitian diantara 521
pasien, 74.6 % merupakan tipe kelainan minimal. 2
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun diperkirakan
berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak pertahun degan onset tertnggi pada usia 2-3 tahun.
Hampir 50% penderita mulai sakit berusia 1-4 yahun,75 % mempunyai onset sebelum usia
10 tahun.3
2.3 Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :2,4
1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik
primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada
glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada
anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu
salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1
tahun.2
3

Kelainan

histopatologik

glomerulus

pada

sindrom

nefrotik

primer

dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease


in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan
mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan
mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi
histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut
rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta
Habib dan Kleinknecht (1971).2
Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan
minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.4
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan
data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari
364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya
4

mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer
yang dibiopsi.5,6
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah :5,6
a.

Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport,


miksedema.

b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.


c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa
ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura HenochSchnlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

2.4 Patogenesis
Pemahaman patogenesis dan patofisiologi sangat penting dan merupakan pedoman
pengobatan rasional untuk sebagian besar pasien SN.4
Proteinuri
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi
tubulus

(proteinuri

tubular).

Perubahan

integritas

membrana

basalis

glomerulus

menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein


utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal membran
basal glomerulus (MBG) mempuyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran
protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan
berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang
terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein
melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan noo-selektif berdasarkan ukuran
5

molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri
dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar
terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektifitas proteinuria ditentukan oleh
keutuhan struktur MBG. Pada nefropati lesi minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh
hilangnya charge selectivity sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama
oleh hilangnya size selectivity.4
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan
katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak
memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau
menurun. 4

Hiperlipidemi
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
(LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat,
normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan
katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid
distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. 4
Lipiduri
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber
lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang
permeabel.4
Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminnemia merupakan factor kunci terjadinya edema
pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga
6

cairan bergeser dari intravascular ke jaringan interstitial dan terjadi edema. Akibat
penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan
ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme
kompensasi ini akan memperbaiki volume intravascular tetapi juga akan mengeksaserbasi
terjasinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. Pemberian infus albumin
akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan ekskresi
fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan edema berkurang. 4
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi
natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema.
Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium
dan edema akibat teraktivasinya system rennin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan
konsentrasi hormone aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk
mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion atrium (natriuresis) menurun. Selain itu
juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang
menyebabkan tahanan atau retensi vaskular glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan
penurunan LFG dan kenaikan desakan starling kapiler peritubuler sehingga terjadi
penurunan eksresi natrium. 2,7
2.5 Gejala Klinis
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak pada
sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga
keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat
intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi
jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab
menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).8,9
Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada
pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada
siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema).
Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing.
Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS
7

atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat
pada pasien SNKM.9
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom
nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab mukosa
usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya.
Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom
nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu
makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi
berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan
hernia umbilikalis dan prolaps ani.Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi
pleura atau tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.9
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM
mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.2
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang
berikut:1
Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada
pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+ menandakan
kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk
dalam nephrotic range.2
Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang mengandung
butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit.2
Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot collection. Timed
collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang
sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total protein urin 150 mg. Adanya proteinuria
masif merupakan kriteria diagnosis.2, 8
8

Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini
mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak 3g.2,8
Albumin serum
- kualitatif

: ++ sampai ++++

- kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH)


Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis
USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.2
Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia> 8 tahun, resisten
steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi nefritik signifikan.Pada
SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan
diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan
prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa
dengan glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih
baik terhadap steroid.2
Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:2
- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml)
- 1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml)
- 2 globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml)
- globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml)
- globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml)
- rasio albumin/globulin <1 (N:3/2)
- komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml)
- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.
2.7 Penatalaksanaan
Tata laksana yang sebaiknya dilakukan adalah dengan merawat di rumah sakit dengan
tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema,
memulai pengobatan steroid, dan edukasi pada orang tua. Perawatan pada SN relaps hanya
9

dilakukan bila disertai dengan edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah,
infeksi berat, gagal ginjal atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.1

Diitetik
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme
protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup
diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recomanded daily allowances) yaitu 2
gr/kgBB/hari. Diit rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP)
dan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2 gr/hari) hanya diperlukan
selama anak terjadi edema.1

Pengobatan dengan Kortikosteroid


a. Pengobatan inisial
Sesuai dengan ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children)
pengobatan inisisal SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh (full dose) 60
mg/m2LBP/hari (maksimal 80 mg/hari) dibagi dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi.
Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan dalam 4 minggu. Setelah pemberian
steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94%
setelah pengobatan 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka steroid
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2LPB /hari (2/3 dosis awal)
secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid penuh tidak terjadi remisi pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.1
APN (Arbeitgemeinshaft fur Pediatrische Nephrology) jerman melaporkan
bahwa dengan pemberian prednison dosis penuh selama 6 minggu dilanjutkan dengan
dosis alternating selama 6 minggu, dapat memperpanjang remisi dibandingkan dengan
dosis standar 8 minggu. Pengamatan 12 bulan pasca terapi, kejadian relaps menurun
menjadi 36,2%-81% (dosis standar).

10

4 minggu
Remisi (+)
Proteinuri (-)
Edema (-)
Pred : 60 mg/m2LBP/hari

4 minggu
dosis alternating

Pred : 40 mg/m2LBP/hari

b. Pengobatan relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94 %, tetapi
sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% diantaranya mengalami relaps
sering. Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan
dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN yang mengalami
proteinuria > 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednison,
terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi
diberikan antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan
relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria > 2+ disertai edema, maka didiagnosis
sebagai relaps dan diberikan pengobatan relaps.1
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat
penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps
yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi
dalam beberapa golongan :
1.

Tidak ada relaps sama sekali (30%)

2.

Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)

3.

Relaps sering : jumlah relaps > 2 kali 40-50%)

4.

Dependen steroid.

Dependen steroid adalah bagian dari relaps sering yang jumlah relapsnya lebih banyak
dan prognosisnya lebih buruk, tetapi masih lebih baik daripada resisten steroid. Pasien
pada kategori 1 dan 2 punya prognosis paling baik, biasanaya setelah mengalami 2-3 kali
relaps tidak akan relaps lagi. Pada kategori 3 dan 4 bila berlangsung lama akan
menimbulkan efek samping steroid misalnya moon face, hipertensi, striae dll. Pasien SN

11

relaps sering dan dependen steroid sebaiknya dirujuk ke ahli nefrologi anak atau
setidaknya ditatalaksana bersama-sama dengan ahli nefrologi anak.1
c. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Dahulu pada SN relaps dan dependen steroid segera diberikan pengobatan
steroid alternating bersamaan dengan pemberian siklofosfamid, tetapi sekarang dalam
literatur ada 4 opsi :1
c.1 Pemberian steroid jangka panjang
Berbagai penelitian menunjukan bahwa pemberian steroid jangka panjang dapat
dicoba lebih dahulu sebelum pemberian CPA, mengingat efek samping steroid
yang lebih kecil. Jadi bila telah dinyatakan sebagai SN relaps sering / depanden
steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan
steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB
sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5
mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan
selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah
dapat mentolerir prednison 0,5 mg/kgBB dan anak usia prasekolah sampai 1
mg/kgBB secara alternating.1
Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB alternating, tetapi
<1,0 mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol dosis 2,5 mg/kgBB, selang sehari, selama 4-12
bulan, atau langsung diberikan CPA.1
Bila ditemukan keadaan dibawah ini:
1. Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg terapi disertai :
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis, sepsis,
diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12
minggu.

12

c.2

Pemberian levamisol
Pemakaian levamisol pada SN masih terbatas karena efeknya masih diragukan. Efek
samping levamisol antara lain mual, muntah, dan neutropenia reversible. Dalam
sebuah studi kontrol double blind, levamisol dilaporkan dapat mempertahankan
remisi sampai 50%. Penelitian multisenter oleh British Association for Pediatric
Nephrology pada 61 anak secara randomisasi mendapatkan pada 14 anak yang diberi
levamisol selama 112 hari dan 4 kontrol masih menunjukkan remisi meskipun
prednison sudah dihentikan, tetapi 3 bulan setelah obat dihentikan semua relaps.1
Di Jakarta, penelitian pemberian levamisol pernah dilakukan, tetapi hasilnya kurang
memuaskan. Oleh karena itu pada saat ini pemberian

levamisol belum dapat

direkomendasikan secara umum, tetapi keputusan diserahkan kepada dokter spesialis


anak atau dokter spesialis anak konsultan yang mengobati pasien. Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgBB dosis tunggal selang sehari, selama 4-12
bulan.1
c.3 Pengobatan dengan sitostatik
Obat sitostatika yang paling sering dipakai

pada pengobatan SN anak adalah

siklofosfamid (CPA) dosis 2-3 mg/kgBB

atau klorambusil dasis 0,2-0,3

mg/kgBB/hari, selama 8 minggu. Sitostatika dapat mengurangi relaps sampai lebih


dari 50%, yaitu 67-93% pada tahun pertama, dan 36-66% selama 5 tahun. APN
melaporkan pemberian CPA selama 12 minggu dapat mempertahankan remisi lebih
lama daripada pemberian CPA selama 8 minggu, yaitu 67% dibandingkan 30%, tetapi
hal ini tidak dapat dikonfirmasi oleh peneliti lain.1
Pemberian CPA dalam mempertahankan remisi lebih baik pada SN relaps sering
(70%) daripada SN depedent steroid (30%). Efek samping sitostatika antara lain
depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka
panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan
pemeriksaan darah tepi seperti kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, 1-2 kali
seminggu. Bila jumlah leukosit kurang dari 3.000/L, kadar hemoglobin kurang dari
8 g/dL, atau jumlah trombosit kurang dari 100.000/L , sitostatik dihentikan
13

sementara, dan diteruskan kembali bila jumlah leukosit lebih dari 5.000/L,
hemoglobin lebih dari 8 g/dL, dan trombasit lebih dari 100.000/dL.
Efek toksisitas pada gonad terjadi bila dosis total kumulatif mencapai 200-300
mg/kgBB. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgBB,
dan dosis ini aman bagi anak. CPA dapat diberikan secara oral atau plus, baik pada
SN relaps sering atau dependen steroid.
c.4

Pengobatan dengan siklosporin (opsi terakhir)


Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 5 mg/kgBB/hari. Pada SN
relaps sering/dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi,
sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA
dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada SN resisten steroid.
Pada kasus SN yang resisten terhadap steroid dan obat imunospresan, saat ini dapat
diberikan suatu imunosupresan baru yaitu mycophenolate mofetil (MMF) yang
memiliki efek menghambat proliferasi sel limfosit B dan limfosit T, menghambat
produksi antibodi dari sel B dan ekspresi molekul adesi, menghambat proliferasi sel
otot polos pembuluh darah. Penelitian Choi dkk pada 46 pasien SN dengan berbagai
lesi histopatologi mendapatkan angka remisi lengkap 15,6% dan remisi parsial 37,8
%. Dosis MMF adalah 2 x 0,5-1 gram.

Pengobatan tambahan
Mengatasi edema anasarka berikan diuretik, furosemid 1-2 mg/kgBB/kali Bila
pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema, biasanya disebabkan oleh hipovolemia
atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin < 1 gr/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25%
dengan dosis 1 gr/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Bila pasien tidak mampu dari
segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10
tts/menit untuk mencegah terjadinya dekompensasi jantung. Bila diperlukan albumin atau
plasma dapat diberikan selang sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan
14

mencegah overload cairan. Pemberian plasma berpotensi menyebabkan peningkatan tekanan


darah, edema paru pada pasien hipervolemi, penularan infeksi hepatitis, HIV dan lain-lain.
Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernafasan dapat dilakukan pungsi asites
berulang.
2.8 Komplikasi
Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah selulitis dan
peritonitis.Hal ini disebabkan karena pengeluaran imunoglobulin G, protein faktor B dan D di
urin, disfungsi sel T, dan kondisi hipoproteinemia itu sendiri.Pemakaian imunosupresif
menambah risiko terjadinya infeksi.Pemeriksaan fisis untuk mendeteksi adanya infeksi perlu
dilakukan.Selulitis umumnya disebabkan oleh kuman stafilokokus, sedang sepsis dapa SN sering
disebabkan oleh kuman Gram negatif.Peritonitis primer umumnya disebabkan oleh kuman
Gram-negatif dan Streptococcus pneumoniae sehingga perlu diterapi dengan penisilin parenteral
dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ke-tiga, seperti sefotaksim atau seftriakson selama
10-14 hari. Di Inggris, penderita SN dengan edema anasarka dan asites masif diberikan antibiotik
profilaksis berupa penisilin oral 125 mg atau 250 mg, dua kali sehari sampai asites
berkurang.1,2,5,7
Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang tidak
terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda
hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk, peningkatan kadar urea
dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa anak memberi keluhan nyeri abdomen.Hipovalemia
diterapi dengan pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau
albumin 1 g/kg berat badan.1,2,5,7
Tromboemboli
Risiko

untuk

mengalami

tromboemboli

disebabkan

oleh

karena

keadaan

hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskular, keadaan


hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh peningkatan faktor pembekuan darah antara lain
faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin
III yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat pada kadar
albumin plasma < 2 g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN
15

dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian
asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah terhadi tromboemboli,
dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara
intravena.1,2,5,7
Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam
lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak
selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin serum
dan derajat proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan tekanan
onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid
dan lipoprotein, di samping itu katabolisme lipid pada SN juga menurun. Hiperlipidemia pada
SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid kembali normal pada keadaan remisi, sehingga
pada keadaan ini cukup dengan pengurangan diit lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap
morbiditas dan mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum
jelas.Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivat asam fibrat atau
inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih diperdebatkan.1,2,5,7
2.9 Prognosis
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada
SN.Pengobatan SN dan komplikasinya saat ini telah menurunkan morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan sindrom.Saat ini, prognosis pasien dengan SN bergantung pada
penyebabnya. Remisi sempurna dapat terjadi dengan atau tanpa pemberian kortikosteroid.2
Hanya sekitar 20 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal mengalami remisi
proteinuria, 10 % lainnya membaik namun tetap proteinuria. Banyak pasien yang mengalami
frequent relaps, menjadi dependen-steroid, atau resisten-steroid. Penyakit ginjal kronik dapat
muncul pada 25-30 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal segmental dalam 5 tahun dan 3040 % muncul dalam 10 tahun.2
Orang dewasa dengan minimal-change nephropathy memiliki kemungkinan relaps yang
sama dengan anak-anak. Namun, prognosis jangka panjang pada fungsi ginjal sangat baik,
dengan resiko rendah untuk gagal ginjal. 2Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada
67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsialpada 50% SN nefropati
16

membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental.Perlu diperhatikan efek


samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak,
osteoporosis, hipertensi, diabetes mellitus.2,4
Respon yang kurang terhadap steroid dapat menandakan luaran yang kurang baik.
Prognosis dapat bertambah buruk disebabkan (1) peningkatan insidens gagal ginjal dan
komplikasi sekunder dari SN, termasuk episode trombotik dan infeksi, atau (2) kondisi terkait
pengobatan, seperti komplikasi infeksi dari pemberian imunosupressive.2Penderita SN non relaps
dan relaps jarang mempunyai prognosis yang baik, sedangkan penderita relaps sering dan
dependen steroid merupakan kasus sulit yang mempunyai risiko besar untuk memperoleh efek
samping steroid. SN resisten steroid mempunyai prognosis yang paling buruk.2,8
Pada SN sekunder, prognosis tergantung pada penyakit primer yang menyertainya.Pada
nefropati diabetik, besarnya proteinuria berhubungan langsung tingkat mortalitas.Biasanya, ada
respon yang baik terhadap blockade angiotensin, dengan penurunan proteinuria, dan level
subnefrotik. Jarang terjadi remisi nyata. Resiko penyakit kardiovaskular meningkat seiring
penurunan fungsi ginjal, beberapa pasien akan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal.2
Pada amiloidosis primer, prognosis tidak baik, bahkan dengan kemoterapi intensif. Pada
amiloidosis sekunder, remisi penyebab utama, seperti rheumatoid arthritis, diikuti dengan remisi
amiloidosis dan ini berhubungan dengan SN.

BAB 3
17

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama
: RES
Umur
: 9 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Hindu
Pekerjaan
: Pelajar
Alamat
: Desa Poh Bergong
MRS
: 6 Agustus 2013, Pukul 12.30 wita
3.2 Anamnesis
Keluhan utama
: Bengkak pada wajah dan kaki
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan timbul bengkak-bengkak pada wajah dan kedua kaki. Keluhan
bengkak muncul sejak 2 hari SMRS, awalnya begkak muncul pada kedua kelopak mata pada
pagi hari, kemudian kedua kaki pasien juga ikut bengkak, wajah

pasien dan kakinya

dikatakan semakin lama semakin membengkak, sampai pasien susah membuka matanya. Saat
muncul keluhan, pasien sudah dipriksakan keluhannya ke dokter umum, di dokter tersebut
diberikan obat yang menyebabkan pasien terus kencing, namun keluhan bengkak pasien
dikatakan tidak mau berkurang.
Selain bengkak dikatakan juga kencing pasien sedikit-sedikit dan berbusa, namun setelah
mendapat obat dari dokter dikatakan kencing pasien mau keluar banyak. BAB pasien
dikatakan lebih encer dibandingkan biasanya.
Pasien juga merasa lemas, tidak mampu melakukan aktifitas sehari-hari seperti sekolah
ataupun bermain bersama teman-temannya. Pasien juga tidak bernafsu makan maupun minum
selama sakit.
Riwayat demam, batuk, pilek tidak ada, riwayat nyeri menelan sebelumnya tidak ada.
Riwayat penyakit dahulu
Ini merupakan kali kedua pasien mengalami keluhan seperti ini, pertama dirasakan 3 bulan
yang lalu, 3 bulan yang lalu pasien juga mengalami bengkak pada mata dan kakinya, namun
keluhan saat itu mau menghilang setelah minum obat yang didapat dari dokter. Keluhan
bengkak hanya berlangsung 2 hari dan setelah itu pasien bias melakukan aktifitas seperti
biasa.
Riwayat Keluarga
Di keluarga pasien tidak pernah ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien.
Pasien merupakan anak ke 2dari 3 bersaudara
Riwayat sosial
18

Pasien merupakan anak yang tergolong aktif, saat ini pasien masih sekolah kelas 5 SD.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status present
Keadaan umum

: Lemah

Kesadaran

: E4V5M6

Tekanan darah

: 120/70 mmHg

Nadi

: 80 x/menit reguler, isi cukup

Respirasi

: 18 kali per menit, reguler

Suhu aksila

: 36,5C

BB

: 30 kg

TB

: 120 cm

BMI

: 20,83 kg/m2

Status generalis
Mata

: edema palpebra (+/+)konjungtiva pucat (-); ikterus (-); refleks pupil +/+ isokor

THT

Telinga: discharge (-)


Hidung

: epistaksis (-)

Orofaring

: hiperemi (-), lidah kotor (-), gumbleeding (-)

Thoraks :
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di apex
Perkusi : batas jantung dbN
Auskultasi : S1S2tunggal, reguler, murmur (-)
Paru

:
Inspeksi : Thoraks simetris, tipe torakoabdominal, retraksi (-)
Palpasi

: Gerakan dada simetris

Perkusi

: Sonor

Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+ , Rh -/- , Wh -/Abdomen :


Inspeksi

: Distensi (-)
19

Auskultasi : Bising usus (+) normal


Palpasi : Hepar tidak teraba
Lien tidak teraba
Nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani, pembesaran hepar (-)
Ekstremitas : hangat (+ ) pitting edema (+) pada kedua ekstremitas bawah, capillary refill
time< 2 detik
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Hematologi rutin (6 Agustus 2013)
Test
WBC
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
PLT
MPV
Differential
Neu %
Neu #
Lim %
Lim#
Mon%
Mon#
Eos%
Eos#
Bas%
Bas#

Hasil
12.4
5.93
16.6
48.5
81.9
28.0
34.2
11.6
538
6.06

Nilai Normal
4-10 K/UL
4.0-5.0 M/UL
12.0-15.0 g/dl
37-43 %
80-100 fL
26-34 pg
32-36 %
11.5-14.5 %
150-450 K/UL
fL

51.8
10.40
42.3
8.53
3.3
0.67
1.1
0.22
1.470
0.296

50-70%
2-6.9 K/UL
10-50%
1-4 K/UL
0-12 %
0-0.9 K/UL
0-7%
0-0.7 K/UL
0-2.5 %
0-0,2 K/UL

Kimia Darah 6 Agustus 2013


Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

Kesimpulan

Urea UV

20

10-50 mg/dl

Creatinine

0.45

0.5-0.9 mg/dl

Rendah

Total Protein

47.0

65-80 g/L

Rendah
20

Albumin

15.59

g/L

Rendah

Cholesterol PAP

795

0-200

Tinggi

Urinalisis
Pemeriksaan

(6/8/13)

(12/8/13)

pH

6.0

6.5

Berat Jenis

1.030

1.025

Albumin

+3

+3

Reduksi

Neg

Neg

Urobilinogen

Neg

Neg

Bilirubin

Neg

Neg

Keton

Neg

Neg

Nitrit

Neg

Neg

Lekosit

Neg

Neg

Blood

+3

+3

Epitel gepeng

1-3

4-5

Epitel bulat

Neg

2-3

Lekosit

Neg

4-5

Eritrosit

25-30

10-15

Cast fatty

Kristal calcium oxalate

Neg

Neg

Kristal calcium karbonat

Neg

Neg

Kristal tripel phospat

Neg

Neg

Kristal amorf urat

Neg

Neg

Kristal asam urat

Neg

Neg

Bakteri

Neg

Neg

Jamur

Neg

Neg

Sedimen

3.5 Diagnosis
Sindrom Nefrotik
3.6 Penatalaksanaan
21

MRS Ruang Sakura


IVFD D5 NS asal netes
Prednison 3 x 3 tablet (1 tab = 5mg)

BAB 4
PEMBAHASAN
Pasien perempuan, 9 tahun dikeluhkan bengkak pada wajah dan kedua kakinya. Bengkak seperti
ini sudah pernah dialami 3 bulan sebelumnya. Manifestasi klinis utama pada pasien ini adalah
edema, yang tampak pada sekitar 95% kasus anak dengan sindrom nefrotik. Pada fase awal
edema sering bersift intermiten, biasanya awal tampak pada daerah-daerah yang mempunyai
resistensi jaringn yang rendah (preorbita, pretibia). Edema berpindah dengan perubahan posisi,
sering tampak sebagai edema muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi
bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan
bekas bila ditekan (pitting edema).
22

Nafsu makan dan minum juga menurun. BAK menurun sejak 2 hari SMRS, dan berbusa.
Riwayat kencing kemerahan tidak ada. BAB dikatakan encer dari biasanya. Gangguan
gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami
pasien dengan edema masif disebabkan edema mukosa usus. Pada beberapa pasien, nyeri perut
yang kadang-kadang berat dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena
edema dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema.
Pemeriksaan urinalisis pada pasien didapatkan albuminuria +3,eritrosit +3, proteinuria
pada pasien sesuai teori disebabkan hilangnya muatan negatif yang terdapat di sepanjang endotel
kapiler glomerulus dan membrane basal, menyebabkan albumin yang bermuatan negative
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus, sehingga kadar albumin dalam darah
berkurang dan terjadilah hipoalbuminema. Akibatnya teranan onkotik plasma berkurang
sehingga pasien ini menjadi edema. Selain itu terjadi hiperlipidemia akibat penurunan tekanan
onkotik, disertai pula penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein
sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan
maupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.
Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan kadar albumin 15,59 (hipoalbuminemia) dan
kadar kolesterol 795 (tinggi), hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid
plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan terjadi ektravasasi cairan menembus dinding
kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan
volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan
natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh menjaga agar
volume dan tekanan intravascular tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan
pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada
akhirnya mempercepat ektravasasi cairan ke ruang interstitial akibatnya terjadi edema.
Pada pembahasan ini pasien didiagnosa kerja dengan Sindrom nefrotik dengan diagnosis
banding Glomerulunefritis akut (GNA), dimana hal ini disimpulkan dari anamnesa serta
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang mendukung ke diagnosis sindrom nefrotik.
Pada GNA terjadi proliferasi dan inflamasi pada glomerulus akibat mekanisme imunologis
terhadap bakteri atau virus tertentu, yang tersering adalah streptococcus. Dari anamnesa tidk
didaptakan pasien dengan riwayat nyeri menelan atau ispa, dimana timbulnya GNA didahului
23

oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman
streptococcus beta hemolyticus grup A. Gejala klinis yang sering tampak pada GNA berupa
hematuria/kencing berwarna merah daging. Kadang disertai edema ringan di sekitar mata atau di
seluruh tubuh. Pada pasien ini tidak didapatkan hematuria. Pada pasien ini lebih cenderung kea
rah diagnosis Sindrome nefrotik, dengan adanya klinis edema, dan hipoalbuminemia, proteinuria
serta hiperkolesterolemia.
Untuk penanganan sindrome nefrotik tahap awal sesuai dengan ISKDC, diberikan
prednisone dosis penuh 2mg/kgBB/hari atau 60mg/m2 LPB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 4
minggu pertama, dilanjutkan prednisone dosis 40 mg/m2 LBP/hari atau 2/3 dosis penuh. Pada
pasien dosis prednisone yang diberikan adalah 3x3tablet. Selanjutnya pasien dipulangkan dan
kontrol di poliklinik anak untuk pemantauan terapi.

24

Anda mungkin juga menyukai