Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami sampaikan kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan sebagai tugas
kompetensi kelompok. Shalawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan
kita, nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutpengikutnya sampai akhir zaman.
Kami menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di
masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih kepada :
1 Allah SWT, yang telah memberi kehidupan dengan sejuknya keimanan,
2 teman-teman sejawat Fakultas Kedokteran Unsri,
3 semua pihak yang telah membantu kami.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan
ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu
dalam lindungan Allah SWT. Amin.
Palembang, 24 Agustus 2016
Kelompok 4

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.............................................................................................1
Tetanus Neonatorum
A. Definisi..............................................................................................3
B. Differential Diagnose........................................................................3
C. Cara Mendiagnosis............................................................................3
Page 1

D. Epidemiologi.....................................................................................4
E. Etiologi..............................................................................................4
F. Patofisiologi dan Patogenesis.............................................................5
G. Manifestasi Klinis.............................................................................8
H. Faktor Risiko.....................................................................................9
I. Komplikasi........................................................................................10
J. Tatalaksana.......................................................................................10
K. Edukasi dan Pencegahan.................................................................11
L. Prognosis.........................................................................................12
M. SKDI...............................................................................................14
Daftar Pustaka............................................................................................15

Tetanus Anak
A. Definisi
Tetanus anak adalah penyakit infeksi akut dan seringkali fatal yang
disebabkan

oleh

neurotoksin

(tetanospasmin)

yang

dihasilkan

oleh

Clostridium tetanii yang menyebabkan keadaan kontraksi otot tanpa periode


relaksasi, biasanya pada anak yang belum mendapatkan imunisasi tetanus.
B. Diagnosis Banding
1. Meningitis
2. Meningoenchepalitis
3. Enchepalitis
4. Tetani karena hipocalsemia atau hipomagnesemia
5. Trismus karena processefle
6. Komplikasi Tetanus Neonatorum
7. Bronkhopneumonia
8. Asfiksia
9. Sepsis Neonatorum
C. Cara Mendiagnosis

Page 2

Diagnosis tetanus dapat ditegakkan dengan melihat ciri klinis dari pasien.
Namun, keterangan dari pasien selama anamnesis dapat membantu untuk
menemukan tempat masuk dari bakteri C. tetanii dan juga menegakkan
diagnosis tetanus pada jenis tetanus yang tidak khas, seperti tetanus lokal,
tetanus cephalica, dan tetanus neonatorum. Anamnesis juga penting dalam
mendiagnosis tetanus pada fase fase awal manifestasi.
Pada kasus tetanus anak, yang perlu ditanyakan adalah manifestasi klinis
apa saja yang terjadi pada anak, kapan manifestasi klinis dari tetanus itu mulai
terlihat, apakah anak ada terluka dua minggu

sebelum manifestasi klinis

dimulai, dimana tempat lukanya, dan apakah si anak memiliki riwayat


imunisasi tetanus yang lengkap berikut dengan boosternya. Pertanyaan
pertanyaan tersebut akan membantu kita untuk menegakkan diagnosis tetanus,
jenis tetanus, tingkat keparahan, prognosis, dan port dentre dari C. tetanii.

D. Epidemiologi
Tetanus merupakan masalah kesehatan yang terjadi di seluruh dunia.
Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas yang berkisar dari 6 60%. Pada tahun 2000, hanya 18.833
kasus tetanus yang dilaporkan ke World Health Organization (WHO). Sekitar
76 negara, termasuk di dalamnya negara yang beresiko tinggi, tidak memiliki
data serta seringkali tidak memiliki informasi yang lengkap. Hasil survey
menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum yang dilaporkan.
Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka pada
tahun 2002 dan data dari Vietnam diperkirakan insidensi tetanus di seluruh
dunia adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus per tahun.
Angka kejadian 6-7 kasus/100 kelahiran hidup di perkotaan dna 11-23
kasus/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus
pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9
tahun, 30* kelompok 1-4 thaun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada
bayi < 12 tahun.

Page 3

Di Indonesia, tetanus maish menjadi salah satu dari sepuluh besar


penyebab kematian pada anak. Meskipun insidensi tetanus saat ini sudah
menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai 60%.
Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya,
namun penyakit ini masih belum dapat memusnahkan meskipun pencegahan
dengan imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia.
E. Etiologi
Penyebab penyakit tetanus adalah bakteri anaerob pembentuk spora
bernama Clostridium tetani. Basil Gram positif ini ditemukan dalam feses
manusia dan hewan, serta di tanah. Spora dapat dorman selama bertahuntahun, tetapi jika terkena luka, spora akan berubah menjadi bentuk
vegetatif yang menghasilkan toksin.
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum
pernah mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat
pada anak dari keluarga yang belum mengerti pentingnya imunasi dan
pemeliharaan kesehatan, seperti kebersihan lingkungan dan perorangan.
F. Patogenesis dan Patofisiologi
1. Patogenesis
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Clostridium tetani.
Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk basil yang memiliki sifat obligat
anaerob dan motil. Secara structural, bakteri ini tidak memiliki kapsul memiliki
spora yang yang tahan terhadap panas, kekeringan dan disinfektan. Bakteri ini
dapat dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan
juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut dan
sporanya bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun.
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah
mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak
dari keluarga yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan
kesehatan, seperti kebersihan lingkungan dan perorangan. Penyebab penyakit
seperti pada tetanus neonatorum, yaitu Clostridium tetani yang hidup anaerob,
berbentuk spora selama di luar tubuh manusia, tersebut luas di tanah. Juga
terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas.

Page 4

Basil ini bila kondisinya baik (didalam tubuh manusia) akan mengeluarkan
toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan
merupakan tetanospasmi, yaitu neurotropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot
Untuk bertunas, spora dari C. tetani membutuhkan kondisi anaerob,
seperti luka dengan potensial oksidasi-reduksi yang rendah (contoh: jaringan
mati, benda asing, infeksi aktif). Penyakit tetanus biasanya terjadi setelah tubuh
terluka dan kebanyakan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku,
pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor, karena terjatuh di
tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup
debu / kotoran. Juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Luka yang kotor /
tertutup memungkinkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan
Clostridium tetani. Sebagai porte dentre lainnya dapat juga luka gores yang
ringan kemudian menjadi bernanah ; gigi berlobang dikorek dengan benda
yang kotor atau OMP yang dobersihkan dengan kain yang kotor. Pada kondisi
seperti diatas, spora C. tetani akan bertunas dan melepaskan toksinnya. Toksin
yang dilepaskan adalah sebagai berikut:
a. Tetanolysin adalah substansi hemolysin tanpa aktivitas patologi.
b. Tetanospasmin toksin ini yang bertanggung jawab atas manifestasi klinis
dari tetanus .
2. Patofisiologi
Setelah menginfeksi, C.tetani akan mengeluarkan toksinnya yaitu
tetanolysin yang tidak memiliki aktivitas patologi dan tetanospasmin.
Tetanospasmin adalah protein dengan berat 150-kd yang tersusun dari 100-kd
rantai berat dan 50-kd rantai ringan yang dihubungkan oleh ikatan disulfide.
Rantai berat berfungsi untuk berikatan dengan reseptor yang ada pada neuron
motorik presinaptik dan juga membuat lubang agar raintai ringan dapat masuk
ke dalam sitosol. Rantai ringan tetanospasmin sendiri adalah protease yang
memerlukan seng untuk memecah synaptobrevin.
Setelah rantai ringan memasuki neuron motorik, ia akan berjalan melalui
transport aksonal retrograde dari lokasi kontaminasi menuju medulla spinalis
dalam 2 sampai 14 hari. Setelah toksin mencapai medulla spinalis, ia akan
Page 5

memasuki neuron inhibitori sentralis. Selanjutnya, rantai ringan akan


memotong synaptobrevin (vesicle-associated membrane proteinVAMP) yang
merupakan protein yang dibutuhkan dalam pelepasan neurotransmitter dari
ujung syaraf melalui fusi dari vesikel sinaptik dan membrane plasma neuronal.
Pada ujung neuron inhibitori normalnya akan dikeluarkan neurotransmitter
GABA dan glisin. Rusaknya synaptobrevin menyebabkan GABA dan glisin
tidak dapat dikeluarkan sehingga fungsi inhibisi pada neuron motorik dan
otonom pun menghilang. Hilangnya fungsi inhibisi ini menyebabkan
ketidakseimbangan antara impuls eksitatorik dan inhibitorik sehinngga
terjadilah sehingga terjadi epilepsi, yaitu lepasan muatan listrik yang
berlebihan dan berterusan, sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dari
otak ke bagian-bagian tubuh terganggu. Hal ini menyebabkan hiperaktivitas
otonomik dan juga kontraksi otot tak terkontrol (spasme) sebagai respon
terhadap stimulus normal seperti suara atau cahaya.

Gambar. Mekanisme toksin tetanus


Manifestasi klinis tetanus sendiri dapat terjadi secara fokal atau umum. .
Hal ini bergantung pada proses absorbs apakah toksin diabsorbsi pada ujung
saraf motorik dan melalui aksis siaptik dibawa ke kornu anterior susunan saraf

Page 6

pusat (fokal) atau toksin lebih lanjut diabsorbsi oleh susunan limpatik, masuk
ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam sususnan saraf pusat
(umum). Tetanus yang berlangsung fokal apabila syaraf yang mengalami
gangguan hanyalah syaraf yang menginervasi otot-otot yang terlibat.
Sedangkan, tetanus yang berlangsung umum terjadi apabila toksin menyebar
dari lokasi luka melalui pembuluh limfe dan darah menuju beberapa ujung
syaraf. Adanya sawar darah otak mencegah masukya toksin secara langsung ke
sistem syaraf pusat. Toksin tersebut bersifat seperti antigen, sangat mudah
diikat oleh jaringan saraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi
dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Tetapi toksin yang bebas dalam predaran
darah sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin. Hal ini yang penting untuk
pencegahan dan pengobatan penyakit tetanus ini.

G. Manifestasi Klinis
Berdasarkan manifestasi klinis, tetanus dapat diklasifikasikan menjadi
tetanus generalisata, local, atau sefalik.
1. Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling sering dijumpai.
Awalnya dapat berupa tetanus local yang berkembang luas setelah
beberapa hari. Gejala yang sering muncul:
Hipertonus otot,
Spasme,
Trismus: perasaan kaku pada rahang dan leher, biasanya penderita sulit

membuka mulutnya,
Kaku di leher, bahu, serta ekstremitas (biasanya terekstensi),
Abdomen papan (abdomen terasa keras dan rata),
Risus sardonicus: kontraksi pada otot wajah (otot bibir mengalami
retraksi, mata tertutup parsial karena kontraksi M. orbicularis oculi,

alis terelevasi karena spasme otot frontalis),


Opistotonus: kontraksi pada otot punggung sehingga menyebabkan

perubahan bentuk menjadi melengkung,


Spasme pada otot-otot pernapasan.

2. Tetanus lokal

Page 7

Tetanus local merupakan yang paling ringan dibandingkan tetanus


lainnya. Biasanya gejala yang muncul berupa rasa kaku, kencang, dan,
nyeri pada otot disekitar luka. Seringkali terjadi spasme dan twitching dari
otot yang terkena.
3. Tetanus sefalik
Tetanus sefalik biasanya terjadi setelah adanya luka pada kepala atau
wajah. Periode inkubasi biasanya pendek, hanya sekitar 1-2 hari. Terjadi
kelemahan dan paralisis otot-otot wajah. Pada periode spasme, otot wajah
biasanya berkontraksi. Spasme dapat melibatkan lidah dan tenggorokan
sehingga terjadi disartria, disfonia, dan disfagia. Seringkali tetanus sefalik
berkembang menjadi tetanus generalisata.
H. Faktor Risiko
1. Kurangnya imunisasi atau imunisasi tetanus yang tidak memadai (tidak
adanya imunisasi penguat secara tepat waktu)
2. Cedera / luka yang menyebabkan masuknya bakteri sehingga
menghasilkan spora tetanus
3. Adanya infeksi bakteri lainnya
4. Jaringan yang terkena luka
5. Benda asing seperti paku
6. Pembengkakan disekitar luka. Penyakit tetanus dapat terjadi diakibatkan
luka sebagai berikut : Luka tusukan, termasuk dari pecahan kaca,alat
suntik,dll, luka tembak, luka akibat kecelakaan, luka bakar, luka bedah,
infeksi telinga, gigitan hewan, ulkus kaki terinfeksi, infeksi pada pusar
bayi baru lahir yang dari ibu yang tidak diimunisasi
I.

Komplikasi
Komplikasi pada tetanus yang sering dijumpai:
1. Laringospasm,
2. Kekakuan otot-otot pematasan,
3. Terjadinya
akumulasi
sekresi
4.
5.
6.
7.
8.
9.

berupa

atelektaseserta(pneumonia aspiration),
Kompresi fraktur vertebra,
Laserasi lidah akibat kejang,
Rhabdomyolisis dan gagal ginjal,
Infeksi nosokomial,
Hipertensi,
Kematian.
Page 8

pneumonia

dan

J. Tatalaksana
Penatalaksanaan tetanus terdiri atas:
1) Pemberian antitoksin tetanus
Pemberian serum dalam dosis terapetik untuk ATS bagi anak-anak
sebesar 10.000 IU IM. Pemberian antitoksin dosis terapetik selama 2-5
hari berturut-turut.
2) Penatalaksanaan luka
Eksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus segera dikerjakan 1
jam setelah terapi sera (pemberian antitoksin tetanus). Jika memungkinkan
dicuci dengan perhydrol. Luka dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan
anaerob. Bila perlu di sekitar luka dapat disuntikan ATS.
3) Pemberian antibiotika
Obat pilihannya adalah Penisilin, dosis yang diberikan untuk anak
anak adalah sebesar 50.000 IU/kg BB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas
panas.

Pengobatan

dengan

antibiotika

ditujukan

untuk

bentuk

vegetatif clostridium tetani, jadi sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk


membunuh kuman tetanus yang masih ada dalam tubuh, sehingga tidak
ada lagi sumber eksotoksin. ATS atau HTIG ditujukan untuk mencegah
eksotoksin berikatan dengan susunan saraf pusat (eksotoksin yang
berikatan dengan susunan saraf pusat akan menyebabkan kejang, dan
sekali melekat maka ATS / HTIG tak dapat menetralkannya. Untuk
mencegah

terbentuknya

eksotoksin

baru

maka

sumbernya

yaitu

kuman clostridium tetani harus dilumpuhkan, dengan antibiotik.


4) Penaggulangan Kejang
Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan
serangan kejang. Saat ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena
dengan pemberian anti kejang yang memadai maka kejang dapat dicegah.

Beberapa jenis obat anti kejang:


Fenobarbital (Luminal)
Dosis pada anak mula-mula 60-100 mg IM, kemudian 6x30 mg peroral.
Maksimum 200 mg/hari.
Klorpromazin (Largactil)

Page 9

Dosis pada anak adalah 4-6 mg/kg BB/hari, mula-mula IM, kemudian per

oral.
Diazepam (Valium)
Dosis pada anak mula-mula adalah 0,5-1 mg/kg BB IM, kemudian per oral

1,5-4 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6 dosis.


5) Perawatan penunjang
Yaitu dengan tirah baring, diet per sonde, dengan asupan sebesar 100
kalori/kg BB/hari untuk anak-anak, bersihkan jalan nafas secara teratur,
berikan cairan infus dan oksigen, awasi dengan seksama tanda-tanda vital
(seperti kesadaran, keadaan umum, tekanan darah, denyut nadi,
kecepatan pernapasan), trisnus (diukur dengan cm setiap hari), asupan /
keluaran (pemasukan dan pengeluaran cairan), temperatur, elektrolit (bila
fasilitas pemeriksaan memungkinkan), konsultasikan ke bagian lain bila
perlu.

K. Edukasi dan Pencegahan


Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu: imunisasi, perawatan luka, dan
pemberian ATS/HTIG profilaksis. Peranan imunisasi sangatlah penting dalam
memberikan proteksi pada infeksi tetanus. Pencegahan sangat penting,
mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu
dilakukan:
1.

Imunisasi aktif Imunisasi dengan toksoid tetanus (TT)

merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif. Angka


kegagalannya relatif rendah. TT pertama kali diproduksi pada tahun
1924. Imunisasi TT digunakan secara luas pada militer selama perang
dunia II. Terdapat dua jenis TT yang tersedia, adsorbed (aluminium
salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. TT tersedia dalam kemasan
antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT
atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DaPT.
Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 1012 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi
terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan
umur dan jenis kelamin. Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah
satu pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada wanita
Page 10

usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke
fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan status imunisasi
TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum mendapatkan
imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal
sebagai berikut: dosis pertama diberikan segera pada saat WUS kontak
dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang
bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis
pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua
atau setiap saat pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak
dua dosis dengan interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS
tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan
pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT yang diterima oleh
WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat
imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT pada waktu anakanak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini
akan memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan
2.

dilahirkan.
Perawatan luka Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada
luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora
tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan
anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang. Untuk
pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada
penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali
pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting
diperhatikan

adalah

jangan

membungkus

punting

tali

pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat,


mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak
3.

dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab.


Pemberian ATS dan HTIG profilaksis Profilaksis dengan pemberian
ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus segera
dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU.
HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak

Page 11

< 7 tahun: 4 IU/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak 7


tahun: 250 IU IM dosis tunggal.
L. Prognosis
Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa factor. Jika masa
tunas pendek ( kurang dari 7 hari ); usia yang sangat muda ( neonatus), bila
disertai Frekuensi kejang yang tinggi, pengobatan terlambat, period of onset
yang pendek (jarak antara trismu dan timbulnya kejang), adanya komplikasi
terutama spasme otot pernapasan dan abstruksi jalan napas, kesemuanya itu
prognosisnya buruk.
Mortalitas tetanus masih tinggi; di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM
Jakarta didpatkan angka 80 % untuk tetanus neonatorum dan 30 % untuk
tetanus anak.
M. SKDI
Kompetensi penyakit 3B

DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. Newman. 2014. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 28.
Terjemahan oleh Albertus Agung Mahode,dkk. Jakarta: EGC
Gomes, A. P. (2011). Neonatal Tetanus. Revista Brasileira de Terapia Intensiva.
[Online]

23

(4).

hlm.

484

491.

Tersedia

di

http://www.scielo.br./pdf/rbti/v23n4/en_a14v23n4.pdf. Diakses pada 12


Agustus 2016.
Simanjuntak, 2013. Penatalaksanaan Tetanus Pada Pasien Anak Vol.1 No.4.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. [Medula Unila.2013;1(4):
85-93]

Page 12

Wibowo, T. & Anggraeni, A. (2012). Tetanus Neonatorum: Buletin Jendela Data


dan Informasi Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
[Online] 1 (6). hlm. 29 32. Tersedia di : http://www.depkes.go.id.
[Diakses pada 12 Agustus 2016]

Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Game JW, Behrman RE. (2011). Nelson
Textbook of Pediatrics 19th Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders.
Tanto, Chris, dan Estiasari, Riwanti. (2014). Kapita Selekta Kedokteran: Tetanus.
Jakarta: Media Aesculapius.
Laksmi ,Ni Komang Saraswita. (2014) . Penatalaksanaan Tetanus. [Online]
Tersedia

di:

http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_222CPD

Penatalaksanaan%20Tetanus.pdf. Diakses pada 13 Agustus 2016.


Konsil Kedokteran Indonesia. (2012). Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
[Online]. Tersedia di:

.http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_222CPD

Penatalaksanaan%20Tetanus.pdf . Diakses pada 13 Agustus 2016.


Ritarwan, K. (2009). Jurnal FK USU Tetanus Neonatorum. [Online]. Tersedia di:
http://www.library.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 18Agustus 2016.

Page 13

Anda mungkin juga menyukai