Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ilmu bedah merupakan satu cabang ilmu kedokteran yang menuntut seorang dokter
untuk terampil dalam mendiagnosis kondisi pasien berdasarkan keilmuan yang dimiliki,
dengan bantuan dari prasarana yang ada di tempat praktek tersebut. Hal ini mengingat
bahwa, sekalipun saat ini terdapat banyak peralatan modern yang boleh membantu dalam
menegakkan suatu diagnosis, tidak semua tempat mempunyai prasarana modern tersebut.
Sebagai contoh, pada kasus appendicitis. Diagnosis appendicitis merupakan suatu diagnosis
yang mempunyai banyak diagnosis banding.

Namun begitu, jarang sekali diperlukan

pemeriksaan penunjang selain pemeriksaan laboratorium sederhana untuk menegakkan


diagnosis appendisitis.
Dalam makalah ini, saya coba memahami dengan lebih lanjut mengenai appendicitis
melalui tinjauan pustaka mengenai anatomi, fisiologis, patologis, manifestasi klinis dan
pnatalaksanaan dari appendisitis. Saya berharap penghasilan makalah ini akan membantu
saya serta yang membaca mendapat pemahaman yang lebih baik mengenai materi yang
dibahaskan.

BAB II
1

ISI
1. Anatomi
Appendiks dan caecum mulai muncul pada saat embryo berusia enam minggu, dalam
bentuk outpouchings dari kaudal midgut. Outpouching appendiks ini mulai berelongasi pada
saat usia fetus lima bulan.

Elongasi ini akan memberikan bentuk vermiformis pada

appendiks. Posisi appendiks tetap pada ujung caecum sepanjang proses perkembangan janin.
Pertumbuhan dinding lateral caecum bersifat tidak setara. Hal ini mengakibatkan posisi
apppendiks berada di posterior medial abdomen, dibawah ileocecal valve.1
Untuk mencari letak dasar appendiks, telusuri tenia coli, sampai ditemukan caecum.
Normalnya, ujung appendiks dapat ditemukan di kuadran kanan bawah, pelvis atau
retroperitoneum. Pada pasien dengan midgut malrotation dan situs inversus, appendiks akan
ditemukan di abdomen kiri. Pada pasien dengan midgut malrotation, appendiks ditemukan di
kuadran kiri atas, sedangkan pada situs inversus, appendiks ditemukan di kuadran kiri
bawah.1
Pada orang dewasa, panjang appendiks rata-rata enam sampai sembilan sentimeter.
Diameter luar berukuran tiga sampai delapan sentimeter, manakala diameter luminal
bervariasi antara satu sampai tiga milimeter.1
Appendiks diperdarahi oleh appendicular branch dari arteri ileokolik.

Arteri ini

beroriginasi posterior dari ileum terminal, lalu memasuki mesoapendiks. Elemen simpatetik
appendiks dipersarafi oleh pleksus mesentrika superior (T10-L1), manakala elemen
parasimpatetik dipersarafi oleh nervus vagus.1

Gambar 1: Appendiks
Sumber: http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/processus+vermiformis
Secara histologis, appendiks terdiri dari tiga lapisan; serosa, muskularis, serta
submukosa dan mukosa. Lapisan serosa merupakan lapisan paling luar yang merupakan
2

kelanjutan dari peritoneum. Lapisan muskularis merupakan lapisan yang tidak tegas, yang
tidak selalu ada di semua bagian. Lapisan mukosa hampir sama dengan mukosa usus besar.
Kripta appendiks berbentuk dan berukuran ireguler, tidak seperti pada kolon. Kompleks
neuroendokrin yang terdiri dari sel ganglion, sel Schwann, serabut saraf, dan sel
neurosekretorik dapat ditemukan dibawah kripta.1

Gambar 2: Gambaran histologis appendiks


Sumber: https://noeyudha.wordpress.com/referat/appendix-vermiformis/
2. Fisiologi
Appendiks merupakan organ immunologi yang berpartisipasi aktif dalam sekresi
immunoglobulin, terutamanya immunoglobulin A.1
Selain itu, menurut beberapa studi, terdapat assosiasi diantara tindakan appendiktomi
dengan beberapa kelainan. Antara kelainan yang sering dikaitkan dengan appendiktomi
adalah kolitis ulseratif, Crohns Disease dan infeksi Clostridium difficile.1
1.

Kolitis ulseratif
1.

Appendiktomi menurunkan resiko terjadinya kolitis ulseratif

2.

Hanya dapat dibuktikan pada pasien yang menjalani operasi appendiktomi


sebelum usia 20 tahun

2.

Crohns Disease
3

1.

Ada studi yang mengatakan appendiktomi meningkatkan resiko terjadinya


Crohns Disease.

2.

Studi terbaru menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara appendiktomi


dengan Crohns Disease.

3.

Infeksi Clostridium difficile


1.

Ada studi yang mengatakan appendiktomi meningkatkan resiko terjadinya


infeksi Clostridium difficile.

2.

Studi terbaru menunjukkan bahwa appendiktomi tidak mempengaruhi kadar


infeksi Clostridium difficile.

3. Definisi Appendisitis
Appendisitis adalah peradangan pada appendiks vermiformis.2

Resiko terjadinya

appendisitis adalah 6.7% pada wanita, dan 8.6% pada laki-laki. Insidens tertinggi ditemukan
pada usia dekade kedua dan ketiga.1
Diatas tahun 1990, insidens appendisitis nonperforasi menurun. Hal ini mungkin
disebabkan oleh peningkatan tehnik diagnostik imaging yang memperbolehkan detekasi dini
appendisitis.1
4. Etiologi Appendisitis
Etiologi appendisitis belum cukup diketahui. Etiologi utama dari appendisitis diduga
adalah sumbatan lumen oleh fekalit atau hipertrofi jaringan limfoid.1
Appendisitis boleh terjadi dalam kluster, menunjukkan bahwa adanya etiologi infeksi.
Namun begitu, asosiasi dengan bakteria dan virus yang bersifat menular hanya ditemukan
pada proporsi kecil pasien appendisitis. Pada dinding appendiks yang terinflamasi, biasanya
ditemukan Escherichia coli dan Bacteroides.

Kadang kala, dapat juga ditemukan

Fusobacterium nucleatum/necrophorum, yang secara normalnya tidak ditemukan di flora


caecum. Pasien dengan appendisitis gangrenosa dan perforasi biasanya ditemukan banyak
invasi jaringan oleh Bacteroides.1
5. Patofisiologi Appendisitis
Obstruksi proksimal dari lumen appendiks akan menyebabkan terjadinya closed-loop
obstruction. Mukosa appendiks bagaimanapun tetap menghasilkan sekret, menyebabkan
4

terjadinya distensi appendiks. Distensi ini meransang saraf dari visceral afferent stretch
fibers yang menyebabkan pasien mengeluh nyeri tumpul dan difus di daerah tengah abdomen
atau epigastrium bawah.1
Sekresi mukosa yang berterusan, ditambah dengan multiplikasi cepat dari bakteri di
appendiks menyebabkan distensi appendiks bertambah hebat.

Hal ini menyebabkan

terjadinya refleks mual muntah, dan juga nyeri visceral bertambah hebat.1
Proses inflamasi kemudiannya melibatkan lapisan serosa appendiks, dan kemudian
peritoneum parietal. Hal ini mengakibatkan peralihan rasa nyeri dari epigastrium ke kuadran
kanan bawah.1
Aliran kapiler dan venula teroklusi, namun aliran arteri tidak terganggu,
mengakibatkan terjadinya kongesti vaskuler.

Mukosa appendiks sangat rentan terhadap

gangguan suplai darah. Integritas mukosa terganggu di awal proses inflamasi, membolehkan
terjadinya invasi bakteri. Pada area dengan suplai darah yang paling sedikit dapat ditemukan
infark ellipsoidal di antimesenteric border. Dengan bertambahnya distensi, invasi bakteri,
gangguan suplai vaskuler, dan infark, terjadilah perforasi, biasanya pada antimesenteric
border, dibawah pusat obstruksi.1

Gambar 3: Perjalanan Penyakit Appendiks


Sumber: http://www.slideshare.net/snipergirl/acute-appendicitis-6786623
5

Beberapa episode appendisitis akut bagaimanapun dapat membaik dengan spontan.


6. Tipe Patologis Appendisitis
Progresivitas patofisiologi appendisitis dapat melewati empat tahapan.

Tahapan

pertama dimulai oleh apendisitis akut. Pada tahapan ini, akan terproduksi mukosa ulserasi
dan sel PMN di lumen appendiks dan terjadi edema di appendiks.3
Edema dan iskemia di dinding appendiks akan mengakibatkan appendisitis akut
supuratif.

Pada tahapan ini, lapisan serosa terinflamasi. Hal ini akan mengakibatkan

peralihan nyeri dari periumbilikal ke kuadran kanan bawah.3


Proses patologik berterusan menyebabkan trombosis vena dan gangguan suplai aliran
darah arteri. Infrak dan gangren terjadi terutamanya di daerah dengan aliran darah yang
terburuk. Appendisitis gangrenosa merupakan tahapan pertama komplikasi appendisitis.3
Tekanan luminal yang tinggi akan mengakibatkan perforasi di daerah infark
gangrenosa. Dalam kebanyakan kasus, akan terjadi walling off dan menyebabkan terjadi
kavitas abses, dan jarang terjadi free peritonitis.3

Gambar 4: Walling off4

7. Manifestasi Klinis: Gejala dan Tanda-tanda


6

Gejala
Proses inflamasi di appendiks mengakibatkan pasien mengeluh nyeri, yang pada
awalnya dirasakan sebagai nyeri difus dan kemudian berkelanjutan menjadi nyeri terlokalisir
di kuadran kanan bawah akibat iritasi pada peritoneal lining.1
Pasien juga sering mengeluh gangguan pada gastrointestinal (GI) seperti mual,
muntah, dan anoreksia. Seandainya keluhan pada GI mendahului keluhan nyeri, appendisitis
mungkin mempunyai etiologi lain seperti gastroenteritis. Pasien sering mengeluh obstipasi
sebelum mulai timbul nyeri, dan merasakan dengan BAB, keluhan nyeri abdomen membaik.
Diare dapat timbul apabila terjadi perforasi, terutamanya pada anak-anak.1
Tanda
Terdapat perubahan tanda-tanda vital diawal proses inflamasi appendiks. Suhu tubuh
dan frekuensi nadi dapat normal atau sedikit meningkat.

Perubahan yang besar dapat

menandakan adanya komplikasi atau perlu dipertimbangkan diagnosis lain.1


Hasil pemeriksaan fisik tergantung pada ada atau tidaknya iritasi peritoneal, dan
apakah appendiks sudah ruptur saat pasien pertama kali diperiksa. Iritasi peritoneal membuat
pasien dengan appendisitis biasanya mengalami kesulitan untuk bergerak dan berasa lebih
nyaman saat tidur terlentang (posisi supine).1
Pada palpasi abdominal, dapat ditemukan nyeri tekan, terutama di titik McBurney.
Apabila dilakukan palpasi yang lebih dalam, biasanya dapat dirasakan adanya muscular
resistance (guarding) yang lebih jelas di fossa iliaca kanan dibandingkan dengan di fossa
iliaca kiri. Apabila tangan yang melakukan palpasi dalam di titik McBurney dilepaskan
secara tiba-tiba, pasien mengeluh nyeri. Tanda ini dikenal sebagai Rovsings Sign, atau
sering disebut dengan nyeri lepas. Pasien juga dapat mengeluh kesakitan di kuadran kanan
bawah abdomen apabila dilakukan palpasi di kuadran kiri bawah abdomen. Tanda ini dikenal
sebagi Bloombergs Sign, atau biasanya dikenal dengan nyeri tekan kontralateral. Rovsings
Sign

dan

Bloombergs

Sign

merupakan

tanda-tanda

adanya

iritasi

peritoneal.

Direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan lain terlebih dahulu sebelum melakukan


pemeriksaan nyeri lepas, karena nyeri lepas bersifat tajam, dan dapat membuatkan pasien
merasa sangat tidak nyaman.1

Gambar 5: Titik Mc Burney1


Variasi anatomis dari letak appendiks menimbulkan deviasi dalam temuan
pemeriksaan fisik. Pada letak appendiks di retrocecal, hasil pemeriksaan di abdomen kurang
spesifik, namun nyeri terutamanya dirasakan di daerah punggung bawah. Pada pasien dengan
appendiks yang menggantung ke dalam pelvis, hasil pemeriksaan di abdomen dapat normal,
mengakibatkan missed diagnosis.

Nyeri pada ekstensi kaki kanan (psoas sign) dapat

menandakan letak fokus iritasi berdekatan dengan muskulus psoas kanan. Apabila pasien
mengeluh nyeri saat dilakuakan rotasi internal pada dalam kondisi kaki fleksi, menandakan
adanya inflamasi berdekatan dengan muskulus obturator internus.1
8. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi1
1

Leukosit
1

Leukositosis
1

Leukositosis ringan (<18,000 sel/mm3) dapat ditemukan pada pasien


dengan appendisitis akut, tanpa komplikasi, biasanya disertai dengan
predominasi PMN.

Leukositosis > 18,000 sel/mm3 menunjukkan kemungkinan terjadinya


perforasi dengan atau tanpa abses.
8

Leukositopenia
1

Dapat terjadi akibat reaksi septik atau lymphopenia. Dalam kondisi


ini, disertai dengan proporsi neutrofil yang tinggi.

C-reactive protein (CRP)


1

Peningkatan CRP merupakan indikator appendisitis, terutamanya appendisitis


dengan komplikasi.

Variabel inflamasi sebaiknya dinilai secara bersamaan. Kemungkinan appendisitis


rendah seandainya leukosit, proporsi neutrofil, dan CRP normal.

Penurunan respons

inflamatori dapat menandakan terjadinya resolusi spontan.


Urinalisa1
Urinalisa dapat digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi berasal dari
traktur urinarius. Seandainya terjadi iritasi pada ureter atau kandung kemih, dapat ditemukan
eritrosit atau leukosit. Bakteriuria biasanya tidak ditemukan.
9. Clinical Scoring Systems
Clinical Scoring Systems ini digunakan bagi membolehkan penilaian yang lebih
objektif dilakukan terhadap pasien yang dicurigai menderita appendisitis.

Paling sering

digunakan skor Alvarado, terutamanya untuk menyingkirkan diagnosis appendisitis, dan


memilah pasien yang memerlukan pemeriksaan diagnostik lanjutan.

Appendicitis

Inflammatory Response Score merupakan satu skor untuk memprediksi appendisitis.


Beberapa menunjukkan skor ini lebih tepat dibandingkan dengan Alvarado skor.1

Tabel 1: Clinical Scoring System1


10. Pemeriksaan Rontgen
Foto polos abdomen boleh menunjukkan adanya fecalit dan fecal loading di caecum,
yang boleh menandakan adanya appendisitis.

Pemeriksaan ini jarang membantu dalam

mendiagnosis appendisitis akut, namun dapat membantu menyingkirkan patologi lain.1


Foto thorax dapat menyingkirkan nyeri alih dari proses pneumonia lobus kanan
bawah.1
Pada pemeriksaan dengan menggunakan barium enema (appendikogram), seandainya
appendiks terisi dengan barium, kemungkinan appendisitis rendah. Namuan, apabila terjadi
pengisian inkomplit atau tidak ada pengisian sama sekali boleh menandakan adanya
appendisitis.4 Pemeriksaan ini bagaimanapun tidak dianjurkan pada kasus akut.

10

Gambar 7: Appendikogram normal4

Gambar 8: Appendikogram pada pasien appendicitis


Sumber: http://seraficarosari.blogspot.com/2013/09/usbun-part-2.html
Pemeriksaan USG sering digunakan karena pemeriksaan ini relatif murah, tidak
memerlukan medium kontras, dan dapat dilakukan pada pasien hamil. Appendiks terlihat
sebagai suatu loop yang berasal dari caecum, bersifat nonperistaltik, dan mempunyai ujung
yang buntu (blind-ending).

Diperiksa diameter appendiks secara anterior posterior.

Penebalan dinding appendiks melebihi 5 mm dan adanya cairan periappendiceal merupakan


tanda-tanda appendisitis. USG dapat digunakan pada pasien anak, dewasa dan juga pada
11

wanita hamil.

Kekurangan dari USG adalah hasil pemeriksaan sangat tergantung pada

keahlian pemeriksaan.4

Gambar 9: USG appendiks normal

Gambar 10: USG appendiks perforasi


Pada pemeriksaan CT-scan, inflamasi appendiks ditandai dengan dilatasi appendiks
(>5mm) dan penebalan dinding appendiks.

Terdapat juga tanda-tanda inflamasi seperti

periappendiceal fat stranding, penebalan mesoappendiks, periappendiceal phlegmon, dan


cairan bebas. Fecalit juga biasanya tervisualisasi, namun keberadaan fecalit tidak bersidat
patognomonik untuk appendisitis. Kekurangan dari pemeriksaan CT scan adalah harganya
mahal, eksposur terhadap radiasi, dan penggunaan yang terhad pada pasien hamil.1
11. Diagnosis Banding
12

Secara umum, diagnosis banding appendisitis akut adalah diagnosis akut abdomen
lainnya. Terdapat berbagai macam proses akut di kavitas peritoneal yang menghasilkan
alterasi fisiologis yang sama dengan appendisitis akut.1
Diagnosis banding dari appendisitis akut tergantung pada empat faktor utama; lokasi
anatomis appendiks, derajat proses (dengan atau tanpa komplikasi), umur pasien, dan jenis
kelamin pasien.1
Pasien Pediatrik
1

Adenitis mesenterika akut


1

Biasanya didahului atau disertai dengan ISPA

Nyeri abdomen biasanya difus

Kadang-kadang ditemukan voluntary guarding.

Dapat ditemukan limfadenopati generalisata.

Bersifat self-limited

Pasien Usia Lanjut


2

Diverticulitis

Perforating carcinoma dari caecum atau sigmoid


Penggunaan CT-scan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis pada pasien usia

lanjut dengan keluhan nyeri perut kanan bawah.

Seandainya keluhan pasien membaik

dengan terapi konservatif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan colon menggunakan


colonoscopy atau barium enema.1
Pasien Wanita
1

Pelvic Inflammatory Disease (PID)


1

Biasanya bilateral

Jarang ada mual muntah

Jarang ada nyeri tekan, sangat nyeri pada pergerakan cervix

Ruptur folikel graafian


13

Nyeri bersifat difus

Jarang terjadi leukositosis

Biasanya pada pertengahan siklus menstruasi

Tumor ovari/ Kista ovari


1

USG dan CT scan sangat membantu

Endometrosis

Kehamilan Ektopik Terganggu


1

Riwayat gangguan menstruasi

Perdarahan vaginal

Adanya massa di pelvik

Peningkatan -hCG

Pasien Immunosupresi
Kadar appendisitis akut lebih tinggi pada pasien dengan HIV dibandingkan dengan
pada populasi umum. Keluhan yang timbul sama seperti pasien tanpa HIV, namun resiko
terjadinya perforasi lebih tinggi. Pada pasien dengan HIV, diagnosis banding appendisitis
lebih luas. Perlu dipertimbangkan adanya resiko terjadinya infeksi opurtunistik.

12. Penatalaksanaan
1

Open Appendectomy
Biasanya menggunakan anastesi umum. Pada kasus non-perforasi, dilakukan insisi di

titik McBurney. Pada kecurigaan adanya perforasi, dilakukan laparotomi. Untuk mencari
letak appendeiks, dicari taenia coli terutamanya taenia libera, kemudian akan ditemukan
appendiks di distal taenia coli.

Dilakukan diseksi untuk membebaskan appendiks dari

dinding lateral abdomen atau pelvis. Dilakukan ligasi appendiks. Seandainya ada pus,
dilakukan aspirasi.

Seandainya tidak ditemukan tanda-tanda appendisitis, dicari

kemungkinan patologis lainnya.1

14

Gambar 11: Cara mencari letak appendiks


Sumber: https://quizlet.com/6905155/ap-202-blood-flash-cards/
2

Laparoskopic Appendectomy
Biasanya menggunakan anastesi umum.

Biasanya mengguna tiga port, satu di

umbilikus, satu di suprapubik dan satu lagi di kuadran kiri bawah.


Keuntungan teknik ini dibandingkan dengan open appendektomy adalah:1
1

Kadar surgical site infention yang lebih rendah

Kurang rasa nyeri post-operasi

Durasi rawat inap lebih pendek

Dapat beraktivitas seperti biasa lebih cepat


Kekurangan teknik ini dibandingkan open appendektomi adalah:

Terasosiasi dengan peningkatan resiko abses intra-abdominal

Laparoscopic Single-Incision Appendectomy


Teknik laparoskopik yang hanya menggunakan satu port di periumbilikal.

Bagaimapaun, studi menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan atau kekurangan yang
bermakna pada teknik ini dibandingkan dengna teknik laparoskopik menggunakan tiga port.1
4

Natural Orifice Transluminal Endoscopic Surgery (NOTES)


15

Tehnik baru yang menggunakan endoskop fleksibel, dimana endoskop tesebut


di masukkan ke kavitas abdomen melalui orifice external.

Akses yang pernah

digunakan adalah melalaui transvagina dan transgastrika. Tehnik ini diharapkan dapat
mengurangkan nyeri post-operasi, mengelakkan infeksi luka, mengelakkan hernia,
dan tidak meningkalkan jaringan parut. Tehnik ini masih sangat baru, dan biasanya
masih digabung dengan tehnik laparoskopi. Masih banyak yang perlu diperhatikan
untuk menilai keuntungan dan kerugian dari tehnik ini.1
13. Kondisi Khusus Pada Kasus Appendisitis
Appendisitis pada Pediatrik
Diagnosis appendis lebih sulit ditegakkan pada pasien anak disebabkan oleh kesulitan
mendapatkan informasi yang adekuat dari anak, keterlambatan orang tua membawa anak ke
dokter, frekuensi distres gastrointestinal yang tinggi pada anak yang menyebabkan lebih
mudah terjadi misdiagnosis.
Pada anak, adanya nyeri tekan di kuadran kanan bawah, kesulitan untuk berjalan,
nyeri pada perkusi, batuk atau melompat merupakan tanda-tanda appendisitis yang cukup
sensitif. Pada anak, perkembangan penyakit lebih cepat dibandingkan dengan pada dewasa.
Omentum anak juga belum cukup kuat untuk menahan ruptur, mengakibatkan kadar
morbiditas yang lebih tinggi pada anak.
Pada kasus non-perforasi, penggunaan antibiotik hanya terbatas pada 24-48 jam.
Pada kasus perforasi, harus segera dilakukan tindakan operasi.

Operasi laparoskopik

merupakan pilihan yang baik untuk pasien anak.1


Appendisistis pada Usia Lanjut
Pada pasien usia lanjut, diagnosis appendisitis sulit ditegakkan akibat presentasi
atipikal dari penyakit tersebut, diagnosa banding yang lebih luas, dan kesulitan untuk
berkomunikasi.
Pasien usia lanjut biasanya mengeluh nyeri perut kanan bawah, namun pada palpasi,
nyeri tekan jarang ditemukan. Jarang juga ditemukan keluhan nyeri yang berpindah dari
periumbilikal ke perut kanan bawah.

16

Prioritas sebaiknya diberikan kepada pasien dengan peningkatan suhu tubuh melebihi
38C, leukositosis, laki-laki, anoreksia, atau mengeluh nyeri lama sebelum admisi ke rumah
sakit, karena pada pasien dengan tanda-tanda ini, resiko terjadinya perforasi lebih tinggi.
Sama seperti pada pasien anak, pasien usia lanjut juga sebaiknya dioperasi
menggunakan teknik laparoskopik.1
Appendisitis Akut saat Hamil
Appendisitis perlu dicurigai pada wanita hamil yang mengeluh nyeri abdomen akut.
Biasanya pasien akan mengeluh nyeri perut kanan.

Jarang didapatkan keluhan nyeri

periumbilikal berpindah ke perut kanan.


USG sangat membantu apabila ada keraguan. Selain itu, boleh juga digunakan MRI,
yang dikatakan aman untuk fetus.
Teknik operasi yang sebaiknya digunakan adalah appendektomi. Teknik laparoskopik
sering kali dikaitkan dengan komplikasi kehamilan.1
Appendisitis Kronis
Appendisitis kronis merupakan satu kondisi yang lebih jarang dan sulit untuk
didiagnosis. Pada pasien dengan appendisitis kronis, pasien mengeluh nyeri terus-menerus di
kuadran kanan bawah abdomen dan nyeri tekan di daerah yang sama, tanpa kelainan
abdominal lainnya.
Diagnosis appendisitis kronis hanya dapat dipastikan apabila appendektomi
menghilangkan keluhan pasien, dan ditemukan tanda inflamasi kronis pada appendiks.5
12. Komplikasi Post-Operasi
Pada appendektomi tanpa komplikasi, komplikasi post-operasi jarang ditemukan.
Pasien dapat pulang keesokan harinya. Terapi antibiotik tidak diperlukan.
Pada appendektomi dengan komplikasi, kadar komplikasi post-operasi lebih tinggi.
Pasien sebaiknya diberika antibiotik spektrum luas selama empat sampai tujuh hari. Ileus
postoperatif dapat terjadi, oleh itu, diet sebaiknya diseduaikan dengan evaluasi klinis seharihari.1
Komplikasi post-operasi yang sering ditemukan adalah:1
1

Surgical Site Infection


17

Pasien dengan selulitis sebaiknya diterapi dengan antibiotik

Pasien dengan abses intraabdominal post operatif dapat menunjukkan tanda-tanda


peningkatan suhu tubuh, leukositosis, nyeri abdomen, obstruksi usus, diare, dan
tenesmus. Abses kecil diterapi dengan antibiotik, manakala abses besar diterapi
dengan drainage, sama ada perkutaneus atau laparoskopik.

Stump Appendicitis

Terjadi akibat kegagalan mengeluarkan seluruh appendiks pada prosedur pertama.

Pasien biasanya mengeluh keluhan appendisitis berulang setelah sembilan tahun


operasi pengangkatan appendiks.

Resiko terjadinya komplikasi lebih tinggi.

18

BAB III
PENUTUP
Appendicitis merupakan satu kondisi dimana terjadinya peradangan pada appendiks.
Appendiks merupakan satu organ yang ditemukan biasanya pada kuadran kanan bawah
abdomen, bersamaan dengan caecum. Peradangan pada organ ini akan biasa menyebabkan
timbulnya satu sekuens inflamasi, yang dimulai dengan fakktor etiologik seperti
pernyumbatan oleh fecalit, dan diakhiri dengan perforasi appendiks, sekalipun beberapa
kasus dapat sembuh spontan.
Sesuai dengan perjalanan penyakit, pasien biasanya mengeluh nyeri yang awalnya
dirasakan di ulu hati, kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah. Pasien juga dapat
mengeluh keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah dan anoreksia. Pada pemeriksaan
fisik, biasanya didapatkan nyeri tekan titik McBurney, nyeri lepas, dan nyeri kontralateral
yang merupakan indikator dari terjadinya ransang peritoneal. Terdapat beberapa sistem
skoring yang boleh digunakan bagi membantu menegakkan diagnosis appendisitis.
Seandainya masih ada keraguan, boleh dilakuakan pemeriksaan penunjang dalam bentuk
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.

Pemeriksaan laboratorium yang

paling bermakna adalah jumlah leukosit, sedangkan pemeriksaan radiologis yang paling
sering digunakan adalah USG dan CT-Scan.
Perlu diingat bahwa tidak semua pasien datang dengan keluhan seperti yang
dinyatakan diatas. Beberapa kasus yang agak sulit untuk ditegakkan diagnosisnya adalah
pada pasien pediatrik, pasien usia lanjut, pasien hamil dan pasien immunocompromised.
Pengobatan dari appendicitis adalah dengan operasi. Teknik operasi yang sering
digunakan adalah open appendectomy dan laparaoskopi appendektomi.

Terdapat juga

beberapa teknik baru yang sedang dikembangkan.


Pasca operasi appendektomi, pasien perlu dinilai apakah ada tanda-tanda komplikasi.
Komplikasi yang sering timbul pasca operasi untuk appendicitis adalah surgical site infection
dan stump appendicitis.

19

Daftar Pustaka:
1

Brunicardi F.C., Schwartzs principles of surgery, tenth edition; USA: McGraw-Hill


publication, 2015, hal 1241-1258

Grace P.A., Borley N.R., At a glance ilmu bedah; Jakarta; Erlangga Medical Series,
2007, hal 107

Gates R.H.,Infectious disease secrets 2nd edition; Pennsylvenia, Elsevier, 2003, hal 37

Incesu L., Appendicitis Imaging, 2014

Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/363818-overview#a2


Tanggal: 16 Juni 2015
5

Fischer J.E., Master of Surgery;Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 2001, hal
1436

20

Anda mungkin juga menyukai