Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN USAHA KESEHATAN MASYARAKAT (UKM)

F2. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR


DAN TIDAK MENULAR
TB PARU PADA ANAK

Disusunoleh :
dr. Fuad Azizi

DOKTER INTERNSHIP ANGKATAN II


PERIODE 02 OKTOBER 2016 02 FEBRUARI 2017
PUSKESMAS DHARMA RINI KABUPATEN TEMANGGUNG

BAB I

PENDAHULUAN
TB paru merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara
berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu
penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang
maupun di negara maju. Ada 3 hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah
tahun 1990 yaitu perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV dan pertumbuhan
populasi yang cepat.1,2
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus
TB anak per tahun adalah 5% sampai 6% dari total kasus TB. Menurut WHO
(1994), Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam jumlah kasus baru TB (0,4
juta kasus baru), setelah India dan Cina. Sebanyak 10% dari seluruh kasus terjadi
pada anak di bawah umur 15 tahun. Menurut WHO tahun 1999, jumlah kasus TB
baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian
sekitar 140.000 orang per tahun.1-3
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB
maupun timbulnya penyakit TB pada anak.. Faktor tersebut dibagi menjadi dua
yaitu faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit
(risiko penyakit).1
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah sebagai berikut :
anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TB aktif, daerah
endemis, penggunaan obat-obatan intravena, kemiskinan serta lingkungan yang
tidak sehat. Faktor risiko infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan
terhadap orang dewasa yang infeksius.1
Orang yang telah terinfeksi kuman TB, tidak selalu mengalami sakit TB.
Faktor yang menyebabkan progresi infeksi TB menjadi sakit TB antara lain usia.
Anak usia kurang dari 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi
infeksi menjadi sakit TB, mungkin karena imunitas selulernya belum berkembang
sempurna (imatur). Namun, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap
seiring pertambahan usia. Faktor risiko yang lain adalah konversi tes tuberkulin

dalam 1-2 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompresi (misalnya pada


infeksi HIV, keganasan, DM).1,4

BAB II

LAPORAN KASUS
II.I IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien

: An.K

Umur

: 5Th

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Alamat

: Mungseng, Temanggung

II.2 ANAMNESA
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan

: Demam 3 minggu
: Batuk, keringat malam, penurunan nafsu makan,

penurunan BB, dan lemas.


Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak 3 minggu, pasien demam. Demam sepanjang hari naik-turun, tidak
terlalu tinggi. Menggigil (-), kejang (-), batuk (+) berdahak selama 3 minggu,
pilek (+), mual (+), muntah (-), nyeri menelan (-), nyeri perut (-), keringat di
malam hari (+),nafsu makan menurun, Bak (+) normal , Bab (+) normal. Pasien
kemudian dibawa ke puskesmas, panas sempat turun setelah diberi obat penurun
panas tetapi setelah itu naik lagi dan batuk tidak berkurang. Riwayat kontak TB
(+) pada keluarga (tante) tetapi belum dilakukan pemeriksaan hanya batuk lama
saja , BB turun dalam 3 minggu, intake kurang dan BB tidak bertambah, BAB
normal, BAK normal.

Riwayat Keluarga

Penyakit batuk lama (+) pada sopir pasien

Riwayat Kehamilan

Perawatan antenatal

: rutin setiap bulan ke bidan

Penyakit kehamilan

Obat-obat yang diminum : tidak ada

: tidak ada

Riwayat Kelahiran

Penolong persalinan

: Bidan

Cara persalinan

: Normal

Masa gestasi

: 38 minggu

Keadaan bayi

: Berat badan lahir

= 3100 gr

Panjang badan

= tidak tahu

Lingkar kepala

= tidak tahu

Lahir langsung menangis, kulit bayi


berwarna
merah
Nilai APGAR

= Tidak tahu

Kelainan bawaan

= Tidak ada

Riwayat Imunisasi
imunisasi lengkap sesuai usia
Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak
Tumbuh kembang pasien sesuai usia
Status Gizi
Berdasarkan antropometri (BB/TB)
Aanak perempuan : Tinggi Badan (TB) 110 cm, Berat Badan (BB) 21 kg. Indeks
massa tubuh Anak ini 17,36.
Kesan : kurus

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum/ Kesadaran

: sedang/ Compos mentis

kesan kurus
Tanda-tanda Vital

Tekanan Darah
Nadi
Pernapasan
Suhu

= tidak diperiksa
= 100x/menit
= 24x/menit
= 36,90 C

Kepala

: Normochepali

Mata

: Isokor, Konjungtiva Anemis -/-, Sklera ikterik -/-, Kantung mata

cekung -/THT

: Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis, tidak ada pernapasan cuping


hidung. Sekret hidung (-).

Leher

: dalam batas normal.

KGB

: dalam batas normal

Dada

: Simetris, Statis , Dinamis, tidak ada retraksi.

Jantung

: B I-II, tidak ada murmur, tidak ada gallop.

Paru

: Vesikuler +/+, Wh -/-, Rh +/-

Abdomen

: Supel, lemas, BU +

Hati

: tak teraba perbesaran.

Lien

: tak teraba perbesaran.

Ginjal : tak teraba.


Ekstremitas

: Akral hangat, CRT < 2, ptechie (-)

Kulit

: turgor kulit baik, perianal rash (-)

Gigi & Mulut : Mukosa bibir basah, warna merah muda


Diagnosa Kerja
Susp. TB paru
Diagnosa Banding
-Pneumonia
Pemeriksaan Penunjang

FOTO TORAX: Kesan TB paru


Skoring TB : > 6

Terapi :
-

Paracetamol 250mg/ 8 jam bila demam

Rimcure Paed (rifampisin 75 mg, INH 50 mg, pirazinamid 150 mg) 1 X 4


tab

Ambroxol syrup 3 X 1 cth

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I.

DEFINISI
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis), yang disebut juga basil tahan asam. Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya.1
II.

EPIDEMIOLOGI

Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia,


menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta
orang per tahun (WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan
25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan.
Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang. 2,3
Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah
penyakit jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT)
tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian
nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada
semua golongan usia dan nomor I dari golongan infeksi.2,3
III.

ETIOLOGI

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit


melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Dinding M. tuberculosis sangat
kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding
sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna
tersebut dengan larutan asam alkohol. Komponen antigen ditemukan di dinding
sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein.4
IV.
KLASIFIKASI TBC ANAK5,6
1. TBC Primer
Komplek Primer.
Di paru basil yang berkembang biak menimbulkan suatu daerah
radang yang disebut afek/fokus primer dari Gohn. Basil akan menjalar
melalui saluran limfe dan terjadi limfangitis dan akan terjadi
limfadenitis regional. Pada lobus atas paru akan terjadi pada kelenjar

limfe pada trakheal, sedangkan pada lobus bawah akan terjadi pada
kelenjar limfe hiler.
-

V.

Komplikasi paru dan alat lain (sistemik).


2. TBC Post Primer
Re infeksi endogen (karena daya tahan tubuh turun, kuman yang
indolen aktif kembali).
Re infeksi eksogen.
FAKTOR RISIKO

Berkembangnya penyakit TBC di Indonesia ini tidak lain berkaitan dengan


memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan
kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai
tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Hal ini juga tentunya
mendapat pengaruh besar dari daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi
dan jumlah kuman yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi
TBC. (6)
Resiko Penularan :Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of
Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan berfariasi
antara 1-2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara
1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang
yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi
yang akan menjadi penderita TB.

VI.

PATOGENESIS

Masuknya basil tuberkulosis dalam tubuh tidak selalu menimbulkan


penyakit. Terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil
tuberkulosis serta daya tahan tubuh manusia.
Infeksi primer biasanya terjadi dalam paru. Ghn dan Kudlich (1930)
menemukan bahwa 95,93% dari 2.114 kasus mereka mempunyai fokus primer di
dalam paru. Hal ini disebabkan penularan sebagian besar melalui udara dan
mungkin juga karena jaringan paru mudah kena infeksi tuberkulosis (susceptible).
Lokasi fokus primer pada 2.114 kasus Ghn dan Kudlich ialah:

Paru
Usus
Kulit
Hidung
Tonsil

: 95,93%
: 1,14%
: 0,14%
: 0,09%
: 0,09%

Telinga tengah : 0,09%


Kel, parotis
: 0,05%
Konjungtiva
: 0,05%
Tidak diketahui
: 2,14%

Basil tuberkulosis masuk ke dalam paru melalui udara dan dengan masuknya
basil tuberkulosis maka terjadi eksudasi dan konsolidasi yang terbatasbut fokus
primer. Basil tuberkulosis akan menyebar dengan cepat melalui saluran getah
bening menuju kelenjar regional yang kemudian akan mengadakan reaksi
eksudasi. Fokus primer, limfangitis dan kelenjar getah bening regional yang
membesar, membentuk kompleks primer. Komplikasi primer terjadi 2-10 minggu
(6-8 minggu) setelah infeksi. Bersamaan dengan terbentuknya kompleks primer
disebut masa inkubasi.
Pada anak lesi dalam paru bisa terjadi dimana pun, terutama di perifer dekat
pleura. Lebih banyak terjadi di lapangan bawah paru dibandingkan dengan
lapangan atas, sedangkan pada orang dewasa lapangan atas paru merupakan
tempat predileksi. Pembesaran kelenjar regional lebih banyak terdapat pada anak
dibandingkan orang dewasa. Pada anak penyembuhan terutama ke arah
kalsifikasi, sedangkan pada orang dewasa terutama ke arah fibrosis. Penyebaran
hematogen lebih banyak terjadi pada bayi dan anak kecil.

Fig 1 Ghon focus (left); asymptomatic healing (right) Fig 2 Tuberculosis after
primary infection (archive.student.bmj.com/.../ 09/education/326.php)

VII.

Manifestasi klinis6,7

Salah satu gejala sistemik yang sering terjadi adalah demam, berkisar
antara 40-80% kasus. Demam biasanya tidak tinggi, hilang timbul, dan dalam

waktu lama tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih
(ISK), malaria, dan lain-lain) yang dapat disertai dengan keringat malam.
Gejala umum tuberculosis anak :
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas / tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi.
2. Anoreksia dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik secara adekuat
(failure to thrive).
3. Demam lama dan berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria, atau
infeksi saluran napas akut), dapat disertai keringat malam.
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multiple.
5. Batuk lama lebih dari 30 hari.
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
Gejala spesifik sesuai organ yang terkena : TBC kulit/skrofuloderma, TBC
tulang dan sendi (gibbus; pincang), TBC otak dan saraf/meningitis dengan gejala
iritabel, kuduk kaku, muntah, dan kesadaran menurun; TBC mata (konjunktivitis
fliktenularis, tuberkel koroid), dll.7
VIII.

Kriteria diagnosis

Permulaan Tuberkulosis sukar diketahui karena gejalanya tidak jelas dan


tidak khas, tetapi kalau terdapat panas yang naik turun dan lama dengan atau
tanpa batuk dan pilek, anoreksia, penurunan berat badab dan anak lesu, harus di
pikirkan kemungkinan tuberkulosis. Petunjuk lain untuk diagnosis tuberkulosis
ialah adanya kontak dengan penderita tuberkulosis orang dewasa. (2)
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya kuman
M.tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal,
cairan pleura atau biopsi jaringan. Pada anak sulit untuk mendapatkan spesimen
tersebut. Oleh karena itu diagnosis TB anak terutama didasarkan pada gambaran
klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, foto toraks dan
pemeriksaan laboratorium. Adanya riwayat kontak dengan pasien dewasa BTA
positif, uji tuberkulin positif, gejala dan tanda sugestif, foto toraks yang mengarah
pada TB (sugestif TB) merupakan dasar untuk menyatakan anak sakit TB. (3)
1. Anamnesis (1)
Gejala umum dari penyakit TB pada anak tidak khas.

Nafsu makan kurang


Berat badan sulit naik, menetap, atau malah turun (kemungkinan masalah
gizi sebagai penyebab harus disingkirkan dulu dengan tatalaksana yang
adekuat selama minimal 1 bulan)

Demam subfebris berkepanjangan (etiologi demam kronik yang lain perlu


disingkirkan dahulu, seperti infeksi saluran kemih (ISK), tifus atau
malaria)
Pembesaran kelenjar superfisial di daerah leher, aksila,inguinal, atau
tempat lain
Keluhan respiratorik berupa batuk kronik lebih dari 3 minggu atau nyeri
dada
Gejala gastrointestinal seperti diare persisten yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku atau perut membesar karena cairan atau teraba masa
dalam perut.

Keluhan spesifik organ dapat terjadi bila TB mengenai organ ekstrapulmonal,


seperti:

Benjolan di punggung (gibbus), sulit membungkuk, pincang, atau


pembengkakan sendi
Bila mengenai susunan saraf pusat (SSP), dapat terjadi gejala iritabel,
leher kaku, muntah-muntah, dan kesadara menurun.
Gambarab kelainan kulit yang khas yaitu skrofuloderma
Limfa denopati multiple di daerah colli, aksila, atau inguinal
Lesi flikten di mata

2. Pemeriksaan fisis (1)


Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisik yang khas.

Antropometri: gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi badan
pada posisi di daerah bawah atau di bawah P5
Suhu subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien
Kelainan pad pemeriksaan fisis baru dijumpai jika TB mengenai organ tertntu.

TB vertebra
: gibbus, kifosis, paraparesis, atau paraplegia
TB koksae atau TB genu
: jalan pincang, nyeri pada pangkal paha atau
lutut
Pembesaran KGB multiple : tidak nyeri tekan dan konfluens (saling
menyatu)
Meningitis TB
: kaku kuduk dan tanda rangsang meningeal
lain
Skrofuloderma
:ulkus kulit dengan skinbridge biasanya
terjadi di daerah leher, aksila, atau inguinal

3. Pemeriksaan penunjang

Uji tuberkulin
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu cara Moro
dengan salep, dengan goresan disebut patch test cara von Pirquet, cara
Mantoux dengan penyuntikan intrakutan dan multiple puncture method
engan 4-6 jarum berdasarkan cara Heaf dan Tine. (2)
Sampai sekarang cara Mantoux masih dianggap sebagai cara yang
paling dapai di pertanggung jawabkan karena jumlah tuberkulin yang di
masukan dapat diketahui banyaknya. Dengan cara Mantoux yaitu
penyuntikan 0,1 ml Tuberkulin (OT) dan Purified Protein Derivat
tuberculin (PPD), secara intrakutan di bagian volar lengan dengan arah
suntikan memanjang lengan (longitudinal). Reaksi diukur 48-72 jam
setelah penyuntikan. Indurasi transversal diukur dan dilaporkan dalam mm
berapapun ukurannya, termasuk cantumkan 0 mm jika tiak ada indurasi
sama sekali. Indurasi 10 mm keatas dinyatakan positif. Indurasi <5 mm
dinyatakan negatif, sedangkan Indurasi 5-9 mm meragukan dan perlu di
ulang, dengan jarak waktu minimal 2 minggu. Uji tuberkulin positif
menunjukan adanya infeksi TB dan kemungkinan TB aktif (sakit TB) pada
anak. (1)
Uji tuberkulin akan menjadi negatif untuk sementara pada penderita
tuberkulosis (anergi) dengan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Malnutrisi Energi Protein


Tuberkulosis berat
Morbili, Varisela
Pertusis, Difteria, Tifus abdominalis
Pemberian kortikosteroid yang lama
Vaksin virus misalnya poliomielitis
Penyakit ganas, misalnya penyakit Hodkgin(2)

Foto torax antero-posterior (AP) dan lateral kanan:


Gambaran radiologis yang sugestif TB diantaranya: pembesaran kelenjar
hilus atau paratrakeal, konsolidasi segmen/lobus paru, milier, kavitas, efusi
pleura, ateletasis, atau kalsifkasi. (1)

Pemeriksaan mikrobiologik
Dari bahan bilasan lambung atau sputum, untuk mencari basil
tahan asam (BTA) pada pemeriksaan langsung dan mycobacterium
tuberkulosis dari biakan. Hasil biakan positif merupakan diagnosis pasti
TB. Hasil BTA atau biakan negatif tidak menyingkirkan diagnosis TB. (1)

Pemeriksaan darah tepi, laju endap darah, urin dan feses rutin, sebagai
pelengkap data namun tidak berperan penting dalam diagnostik TB. (1)
Sistem Skoring
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem
skoring. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6),
harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan
kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya
sesuai indikasi. (34)

Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TB(3)


Parameter

Kontak TB

Tidak
jelas

Uji tuberkulin

Negatif

Laporan
BTA positif
keluarga, BTA
negatif
atau
tidak tahu, BTA
tidak jelas
Positif ( 10
mm, atau 5
mm
pada
keadaan
imunosupresi)

Berat
badan/
keadaan gizi

Bawah
garis Klinis
merah
(KMS) buruk
atau BB/U <80% <60%)

Demam
tanpa
sebab jelas

> 2 minggu

Batuk *

3 minggu

Pembesaran
kelenjar
limfe
koli,
aksila,
inguinal

>1 cm,

Pembengkakan
tulang/sendi
panggul,
lutut,
falang

Ada
pembengkakan

Foto toraks toraks

jumlah >1, tidak


nyeri

Normal/
kelainan

Gambaran

gizi
(BB/U

Jumlah

tidak jelas sugestif TB


Jumlah
Catatan :
1. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
2. Demam dan batuk yang tidak respon terhadap terapi baku sesuai
Puskesmas.
3. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
4. Jika dijumpai skrofuloderma** (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis.
5. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan
tabel badan badan.
6. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
7. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
8. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 13)
9. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut.
*Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti asma, sinusitis, refluks gastroesofageal dan lainnya.
**Skrofuloderma adalah suatu bentuk reaktivasi infeksi TB, diawali oleh
suatu limfadenitis atau osteomielitis yang membentuk abses dingin dan
melibatkan kulit di atasnya, kemudian pecah, dan membentuk sinus di
permukaan kulit. Skrofuloderma ditandai oleh massa yang padat atau
fluktuatif, sinus yang mengeluarkan cairan, ulkus dengan dasar bergranulasi
dan tidak beraturan serta tepi bergaung, serta sikatriks yang menyerupai
jembatan. Biasanya
daerah leher selengkap
atau wajah,
tetapi dapat juga
Diagnosisditemukan
TB dengandipemeriksaan
mungkin
dijumpai di ekstremitas atau trunkus.
(Skor >6 sebagai entry point)

Beri OAT 2 bulan


terapi,

Ada perbaikan klinis

Tidak
klinis

Terapi TB

Terapi TB diteruskan

diteruskan sampai

sambil mencari
penyebabnya

6 bulan

ada

perbaikan

Untuk RS fasilitas
terbatas, rujuk ke RS
dengan fasilitas lebih
lengkap

Alur tatalaksana pasien TB anak pada unit pelayanan kesehatan dasar(3)

IX.

Tatalaksana Tuberkulosis Anak

1.

Tatalaksana Medikamentosa

A.

Tujuan pengobatan TBC anak


-

Menurunkan / membunuh kuman dengan cepat.


Sterilisasi kuman untuk mencegah relaps dengan jalan pengobatan:
Fase intensif (2 bulan) : mengeradikasi kuman dengan 3 macam
obat : INH, Rifampisim dan Pirazinamid.
Fase pemeliharaan (4 bulan) : akan memberikan efek sterilisasi
untuk mencegah terjadinya relap: menggunakan 2 macam obat :
INH & Rifampicin.
Mencegah terjadinya resistensi kuman TBC.4

B.

Prinsip Pengobatan TBC Anak


-

Kombinasi lebih dari satu macam obat. Hal ini untuk mencegah
terjadinya resistensi terhadap obat.
Jangka panjang, teratur, dan tidak terputus. Hal ini merupakan
masalah kadar kepatuhan pasien.
Obat diberikan secara teratur tiap hari.4

Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu:

Fase intensif : 3-5 OAT selama 2 bulan awal

C.

Fase lanjutan : Dengan panduan 2 OAT (INH-Rifampisin) hingga 6-12


bulan
Pada anak, obat TB diberikan secara harian (daily) baik pada fase intensif
maupun fase lanjutan.
TB paru:
INH, rifampisin, dan pirazinamid selama 2 bulan fase intensif, dilanjut
INH dan rifamfisin hingga genap 6 bulan terapi (2HRZ-4HR)

TB paru berat (milier;destryed lung) dan TB ekstra paru :


4-5 OAT selama 2 bulan fase intensif, dilanjut dengan INH dan rifamfisin
hingga genap 9-12 bulan terapi

TB kelenjar superfisial: terapinya sama dengan TB paru


TB milier dan efusi pleura TB:
diberikan prednison 1-2 mg/kgBB/ hari selama 2 minggu, kemudian dosis
diturunkan bertahap (tappering off) selama 2 minggu, sehingga total
waktu pemberian 1 bulan(1)

Pada meningitis TB diberikan prednison 1-2mg/kg/hari selama 4 minggu,


kemudian penurunan dosis (tapering off) selama 8 minggu sehingga
pemberian prednison tidak lebih dari 2 bulan. (5)

OAT Kategori Anak(4)

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan


dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap
intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan
anak.
Dosis OAT KDT anak (Sumber data: IDAI)

Fase

Intensif

Lanjutan

2 bulan tiap hari

4 bulan tiap hari

RHZ (75/50/150)

RH (75/50)

5-9

1 tablet

1 tablet

10-14

2 tablet

2 tablet

15-19

3 tablet

3 tablet

20-32

4 tablet

4 tablet

Berat badan (kg)

Keterangan:

Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit


Anak dengan BB 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau
dicairkan dalam sendok berisi air (dispersable tablet).
Dosis OAT Kombipak anak

Fase

Intensif

Lanjutan

2 bulan tiap hari

4 bulan tiap hari

Berat badan (kg)

1
sachet:
(150/100/400)

<10

sachet

sachet

10-14

1 sachet

1 sachet

15-19

1 sachet

1 sachet

2 sachet

2 sachet

RHZ 1
sachet
(150/100)

RH

Nama obat

Dosis
Dosis harian
maksimal
(mg/kgBB/hari)
(mg per hari)

Efek samping

Isoniazid

515*

hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

300

Rifampisin**

1020

600

gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,


trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid

1530

2000

toksisitas hati, artralgia, gastrointestinal

Etambutol

1520

1250

Streptomisin

1540

1000

neuritis optik, ketajaman mata berkurang,


buta warna merah-hijau, penyempitan
lapang
pandang,
hipersensitivitas,
gastrointestinal
ototoksik, nefrotoksik

Dosis Obat Antituberkulosis pada anak


* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh
melebihi 10 mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
dapat menganggu bioavailabilitas rifampisin.
Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat
perut kosong (satu jam sebelum makan).

D.

OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)7,8

Obat yang dipakai:


1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Amikasin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
o Kapreomisin
o Sikloserino PAS (dulu tersedia)
o Derivat rifampisin dan INH
o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Kemasan

Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol.
Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination FDC) Kombinasi
dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan
dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1.
Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf
tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi
dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan
vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan.
Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek
samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada
kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik,
hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan
khusus.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadangkadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop
dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu
dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan
lagi walaupun gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat,
air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat
dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar
dimengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai


pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri
aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal
ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam
urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit
yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai,
jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB
yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal
dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak
diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus),
pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan
maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tibatiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping
sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan
telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini
mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat
menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil
sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
E.

Pemantauan Hasil Pengobatan.(4,6)


Respons Klinis
Pengawasan terhadap respon pengobatan. Perhatikan perbaikan
klinik, aktivitas, nafsu makan, kenaikan berat badan. Bila ada tuberkulosis
ekstra pulmonal diamati perbaikan yang terjadi. Respon klinis yang baik
terhadap terapi mempunyai nilai diagnostik. Respons yang baik dapat
dilihat dari perbaikan semua keluahan awal. Nafsu makan yang membaik,
berat badan yang meningkat dengan cepat, hilangnya keluhan demam,
batuk lama, tidak mudah sakit lagi. Respons yang nyata biasanya terjadi

dalam 2 bulan awal (fase intensif). Setelah itu perbaikan klinis tidak lagi
sedramatis fase intensif.
Evaluasi Radiologis
Dilakukan pada akhir pngobatan, kecuali jika ada pebuukan klinis.
Jika gambaran adiologis juga memburuk, evaluasi kepatuhan minum obat,
dan kemungkinan kuman TB resisten obat. Terapi TB dimulai lagi dari
awal dengan panduan 4 OAT.
Efek samping OAT
Pengawasan terhadap efek samping obat : biasanya jarang terjadi
pada anak jika dosis dan cara pemberiannya benar.. Neuritis perifer,
gangguan Nervus VIII, gangguan penglihatan, gejala hepatotoksik Efek
samping yang kadang muncul adalah hepatotoksisitas, dengan gejala
ikterik yang bisa disertai keluhan gstrointestinal lainnya. Keluhan ini
biasanya muncul dalam fase intensif. Pada kasus yang di curigai adanya
kelainan fngsi hepar, maka pemeriksaan transaminase serum dilakukan
sebelum pemberian OAT, dan di pantau minimal tiap 2 minggu alam ase
intensif.
Jika timbul ikteus OAT dihentikan, dan dilakukan uji fungsi hati (bilirubin
dan transaminase). Bila ikterik telah menghilang dan kadar transaminase <
batas atas nomal panduan OAT dapat dimulai lagi dengan dosis terendah.
Yang perlu diingat, reaksi hepatotosisitas biasanya muncul karena
kombinasi dengan berbagai obat lain yang bersifat hepatotoksik seperti
parasetamol, fenobarbital, dan asam valproat.
Dalam pemberian terapi dan profilaksis TB evaluasi dilakukan tiap bulan.
Bila pada evaluasi profilaksis TB timbul gejala klinis TB, profilaksis di
ubah menjadi terapi TB
Pengamatan terhadap perbaikan gambaran laboratorium darah.
Pemeriksaan kimia darah atas indikasi.
Pengawasan terhadap komplikasi
Mencari sumber infeksi pada keluarga dan masyarakat sekitarnya.

F.

Putus Obat(2)
Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama 2
minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi
klinis saat datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan, dan berapa
lama obat telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan
selanjutnya.
G.

Multi-drug Resistance (MDR) (2)

Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena kultur sputum dan uji kepekaan
obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan pervalens TB tinggi. Akan

tetapi di akui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat.
Diperkirakan MDR-TB akan menjadi masalah di banyak wilayah dunia. Data
mengenai MDR-TB yang resmi di indonesia belum ada. Menurut WHO, bila
pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5%, sedangkan
dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi directly
treatment shortcourse (DOTS), maka pervalens MDR-TB hanya 1,6% saja.
H.

Bedah (1)

2.

TB paru berat dengan destroyed lung untuk lobektomi dan pneumektomi


TB tulang seperti spondilitis TB, koksitis TB, atau gonitis TB
Tindakan bedah dapat dilakukan setelah terpi OAT minimal 2 bulan,
kecuali jika erjadi kompresi medula spinalis atau ada abses paravertebra
tindakan bedah perlu lebih awal
Nonmedikamentosa

A.

Strategi DOTS (7,8)


DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) merupakan strategi
pemerintah yang dilaksanakan di pelayanan kesehatan dasar untuk mendeteksi
dan menyembuhkan pasien TBC.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu :

Adanya komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh


menanggulangi TBC.
Diagnosis penyakit TBC melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis
Pengobatan TBC dengan paduan obat anti-TBC jangka pendek, diawasi
secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat).
Tersedianya paduan obat anti-TBC jangka pendek secara konsisten.
Pencatatan dan pelaporan mengenai penderita TBC sesuai standar.
Pemberian obat dilakukan dalam jangka waktu yang pendek di bawah
pengawasan langsung PMO (Pengawas Minum Obat). Persyaratan dan tugas
PMO, antara lain:

bersedia membantu dengan sukarela penderita TBC selama 6 bulan


ditetapkan sebelum pelaksanaan DOT dilakukan, dan harus hadir di pusat
pelayanankesehatan untuk mendapatkan pelatihan singkat tentang DOT.
mengantar jemput OAT 1x/2x seminggu bila pasien tidak dapat datang
untuk mengambilnya
mengantar jemput pemeriksaan ulang dahak pada bulan 2, 5, dan 6
pengobatan
merujuk bila ada efek samping obat
memastikan pasien TBC minum obat secara teratur

B.

Perbaikan Gizi (1,8)


Asupan gizi yang adekuat sangat penting untuk keberhasilan terapi TB.
Jika ada penyakit lain juga perlu mendapat tatalaksana memadai. Fisioterapi
dilakukan pada kasus pasca bedah.

C.

Lain-lain( rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya dll) (1,8)


Untuk kasus meningitis TB ditangani disiplin Neurologi Anak dan perlu
dikonsultasikan ke Bagian Mata. Untuk kasus TB tulang dikonsultasikan ke
subbagian Bedah Ortopedi. Kasus TB milier dikonsultasikan ke Bagian Mata
untuk evaluasi adanya TB koroid.
D.

Tumbuh Kembang (1,8)


Pertumbuhan pasien akan mengalami perbaikan nyata. Data berat
badan dicatat
tiap bulan dan dimasukkan dalam grafik tumbuh untuk
memantau pola tumbuh asien selama menjalani terapi. Walaupun berat badan
belum mencapi ideal, namun pola grafiknya sudah menaik dan memasuki
pita di atasnya, sudah dinilai sebagai respon yang baik.
TB anak umumnya tidak menular, sehingga pasien TB anak tidak perlu
dikucilkan, agar tidak mengganggu aspek kembang dan kjiwaan pasien.
E.

3.

KIE untuk orang tua pasien (1,8)


Pengobatan TB berlangsung lama, minimal 6 bulan, tidak boleh putus, dan
harus kontol teratur tiap bulan
Obat rifamfisin dapat menyebabkancairan tubuh (air seni, air mata,
keringat, ludah) berwarna merah
Secara umum obat sebaiknya diminum dalam keadaan perut kosong yaitu
1 jam sebelum makan/ minum susu, atau 2 jam setelah makan. Khusus
untuk rifampisin harus diminum dalam keadaan perut kosong
Bila timbul keluhan kuning pada mata, mual, dan muntah, segera periksa
ke dokter walau belum waktunya
Pencegahan Tuberkulosis Anak(7,9,10)

1. Perlindungan terhadap sumber penularan. Prioritas pengobatan sekarang


ditujukan terhadap orang dewasa. Akan tetapi seperti yang telah
diterangkan sebelumnya bahwa TBC anak yang tidak mendapat
pengobatan akhirnya menjadi TBC dewasa dan akan menjadi sumber
penularan.
2. Vaksinasi BCG.

Vaksin BCG merupakan suatu attenuated vaksin yang mengandung


kultur strain Mycobacterium bovis dan digunakan sebagai agen imunisasi
aktif terhadap TBC. Walaupun telah digunakan sejak lama, akan tetapi
efikasinya menunjukkan hasil yang bervariasi yaitu antara 0 80% di
seluruh dunia. Vaksin BCG secara signifikan mengurangi resiko terjadinya
active tuberculosis dan kematian. Vaksin BCG sebaiknya digunakan pada
infants, dan anak-anak yang hasil uji tuberculinnya negatif dan yang
berada dalam lingkungan orang dewasa dengan kondisi terinfeksi TBC dan
tidak menerima terapi atau menerima terapi tetapi resisten terhadap
isoniazid atau rifampin.
Pemberian vaksin BCG biasanya dilakukan secara injeksi
intradermal/intrakutan (tidak secara subkutan) pada lengan bagian atas
atau injeksi perkutan sebagai alternatif bagi bayi usia muda yang mungkin
sulit menerima injeksi intradermal. Dosis yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Untuk infants atau anak-anak kurang dari 12 bulan diberikan 1 dosis
vaksin BCG sebanyak 0,05ml (0,05mg).
2. Untuk anak-anak di atas 12 bulan dan dewasa diberikan 1 dosis vaksin
BCG sebanyak 0,1 ml (0,1mg).
Perlindungan yang diberikan oleh vaksin BCG dapat bertahan
untuk 10 15 tahun. Sehingga re-vaksinasi pada anak-anak umumnya
dilakukan pada usia 12 -15 tahun.
Vaksin BCG dikontra-indikasikan untuk pasien yang mengalami
gangguan pada kulit seperti atopic dermatitis, serta baru saja menerima
vaksinasi lain (perlu ada interval waktu setidaknya 3 minggu). Vaksin
BCG juga tidak diberikan untuk :
1. Pasien dengan gangguan imunitas (immunosuppressed) seperti pasien
HIV,
pasien
yang
mengkonsumsi
obat-obat
kortikosteroid
(immunosuppressan), atau baru saja menerima transplantasi organ.
2. Wanita hamil dan menyusui, walaupun belum ada data yang
menunjukkan efek bahaya dari pemberian vaksin BCG terhadap wanita
hamil dan menyusui.
Beberapa adverse reaction yang mungkin terjadi setelah pemberian vaksin BCG
antara lain:

3.

Nyeri pada tempat injeksi, terjadi ulcer atau keloid karena kesalahan pada
saat injeksi.
Kelebihan dosis dan pemberian vaksin pada pasien dengan tuberculin
positif.
Sakit kepala, demam, dan timbul reaksi alergi
Kemoprofilaksis primer maupun sekunder.
a. Kemoprofilaksis primer diberikan pada anak yang belum terinfeksi (uji
tuberculin negative), tetapi kontak dengan penderita TBC aktif. Obat yang
digunakan adalah INH 5-10 mg/kgBB/hari selama 2-3 bulan.
b. Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak dengan uji tuberculin
positif, tanpa gejala klinis, dan foto paru normal, tetapi memiliki faktor
risiko menjadi TBC aktif. Golongan ini adalah balita, anak yang mendapat
pengobatan kortikosteroid atau imuosupresan lain, penderita dengan
keganasan, terinfeksi virus (HIV, morbili), gizi buruk, masa akil balik, atau
infeksi baru TNC, konversi uji tuberculin kurang dari 12 bulan. Obat yang
digunakan adalah INH 5-10mg/kgBB/hari selama 6-12 bulan.

4.

Pengobatan terhadap infeksi dan penemuan sumber penularan.

5.

Pencegahan terhadap menghebatnya penyakit dengan diagnosis dini.

6. Penyuluhan dan pendidikan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, eds. Pulmonologi


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.


2. Santoso M. Tumbuh Kembang Buku Panduan Keterampilan Medik
No.3. Jakarta : FK Ukrida, 2008.
3. Rudolph A. Pulmonologi Buku Ajar Pediatri Edisi 20. Jakarta: EGC,
2007.
4. Sunarjo

D.

Tuberkulosis

Pada

Anak.

RAA.SOEWONDO PATI, 2007.


5. Tuberkulosis
(TBC)

SMF
diunduh

ANAK

BRSD
dari:

http://jundul.wordpress.com/category/kesehatan/tbc/. Diakses tanggal 24


Agustus 2015 .
6. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit, cetakan ke-1
tahun 2009. Hal 113-119.
7. Tuberkulosis

diunduh

dari:

http://tuberculosisclinic.wordpress.com/2009/04/19/apakah-tuberkulosisitu/. Diakses tanggal 23 Agustus 2015.


8. Rasad S. Tuberkulosis Paru Radiologi Diagnostik 2. Jakarta : FKUI,
2008.
9. Aditama Y. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006.
10. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, eds.
Pulmonologi Anak Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta : Media
Aesculapius, 2008.

Komentar/Feedback

Temanggung,

Mengetahui,
Pendamping Dokter Internship

dr. Novelia Dian Trenggonowati


NIP. 19621104 199010 2001

Lampiran

Desember 2016

Peserta

dr. Fuad Azizi

Anda mungkin juga menyukai