Anda di halaman 1dari 79

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seni merupakan salah satu karya cipta manusia yang memiliki berbagai
macam bentuk, yang sudah diciptakan sejak zaman purbakala. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "seni" adalah keahlian membuat karya yang
bermutu.1 Menurut Sudarsono seni merupakan segala macam keindahan yang
diciptakan oleh manusia, dan seni tersebut telah menyatu dalam kehidupan sehari-

1Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa


Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), p. 1037.

"3

hari setiap manusia, baik bagi dirinya sendiri maupun dalam bermasyarakat.
Menurut Sumarjo seni merupakan ungkapan perasaan yang dituangkan dalam
media yang dapat dilihat, didengar, maupun dilihat dan didengar. Dengan kata
lain, seni adalah isi jiwa seniman (pelaku seni) yang terdiri dari perasaan dan
intuisinya, pikiran dan gagasannya.
Jika melihat pengertian di atas, seni dapat diartikan sebagai segala sesuatu
yang diciptakan manusia sebagai hasil dari isi jiwanya (perasaan, intuisi, pikiran
dan gagasan), yang dituangkan dalam media yang dapat dilihat, didengar maupun
dilihat dan didengar, dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari setiap manusia.
Seni yang berwujud atau yang dapat dilihat selain penciptanya baik secara kasat
mata maupun tidak disebut dengan karya seni. Karya seni yang dianggap paling
awal adalah cap-cap telapak tangan di dinding goa yang biasanya berwarna
merah, hitam, atau putih. Kemudian seiring dengan zaman dan kekompleksitasan
hidup manusia maka seni pun ikut berkembang. Segala hal yang berkaitan dengan
seni disebut dengan kesenian. Kesenian memiliki arti yang lebih luas bila
dibandingkan dengan seni. Menurut KBBI "kesenian" berarti perihal seni. Perihal
seni yang dimaksud di sini adalah unsur di luar seni itu sendiri, misalnya sejarah
perkembangannya. Seperti contoh perkembangan kesenian Gandrung yang
dij elaskan dari masa ke masa.
Kesenian ini sangat terpengaruh oleh keadaan sosial, budaya, ekonomi
dimana karya seni itu diciptakan.2 Hal ini dikarenakan kesenian diciptakan oleh

2
Ini sesuai dengan pernyataan Umar Kayam yang menyatakan bahwa kesenian
tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat, kesenian menjadi ungkapan kreativitas dari
kebudayaan dan masyarakat itu sendiri. (Jakarta : Sinar Harapan, 1981), p. 38.

"3

jiwa manusia yang terbagi dalam perasaan, pikiran ataupun intuisi, yang mana
proses pengolahan ini sangat terpengaruh oleh alam kejiwaan manusia itu sendiri.
Alam kejiwaan manusia sangat terpengaruh oleh keadaan dimana manusia atau
pencipta seni itu berada. Oleh sebab itu keadaan-keadaan tadi menjadi faktorfaktor atau setidaknya memiliki andil yang cukup besar dalam penciptaan
kesenian. Misalnya keadaan sosial dan ekonomi yang dirasa penuh ketimpangan
seperti keadaan anak-anak jalanan atau pengamen-pengamen akan menciptakan
seni yang sifatnya lebih kritis, penolakan, dan protes terhadap keadaan sosial.
Kesenian ini terbagi dalam beberapa bentuk sesuai dengan bentuk-bentuk dalam
seni, yaitu seni pertunjukan, seni rupa dan seni sastra.
Sebagai bagian dari kesenian, seni pertunjukan juga memiliki sifat yang
sama, yaitu mudah terpengaruh oleh keadaan di sekitarnya. Dalam seni

pertunjukan terdapat interaksi-interaksi yang lebih dari model seni yang lain,
seperti misalnya seni rupa ataupun seni sastra. Interaksi ini dalam bentuk interaksi
antara pelaku seni dengan penonton maupun antara penonton dengan penonton,
yang mana hal ini memungkinkan terjadi hubungan yang lebih dari sekedar
mempertunjukkan tarian ataupun menikmati pertunjukan tari. Seperti contoh
selama pertunjukan seni terdapat hubungan atau interaksi antar penonton, yang
mana penonton tersebut terdiri dari banyak golongan, baik dari aspek ekonomi,
sosial, budaya, etnis bahkan agama, sehingga dalam proses pertunjukan interaksi
yang terjadi juga bisa mengenai aspek-aspek tersebut. Oleh sebab itu, seni
pertunjukan dianggap juga sebagai media ungkap rasa, nilai, dan suasana batin,

sehingga yang merasa terwadahi ungkapannya tidak hanya seorang penari atau
pelaku seni melainkan juga semua pihak yang berpartisipasi. 3 Salah satu contoh
seni pertunjukan adalah seni tari, baik tari tradisional maupun tari modern.

3
I Wayan Dibia, et al., Tari Komunal, (Jakarta : Lembaga Pendidikan Seni
Nusantara, 2006), p. 239.

Dalam sejarah kesenian di Indonesia kesenian banyak mengalami


perubahan, yang diakibatkan oleh adanya kebijakan pemerintahan. Ketika masa
pemerintahan Soekarno banyak kesenian yang dipertunjukan di luar negeri. Hal
ini karena pada waktu itu Indonesia baru merdeka sehingga ada upaya untuk
memperkenalkan budaya Indonesia di luar negeri. Salah satu contoh program
tersebut adalah pengiriman penari-penari dari sanggar tari yang ada di Yogyakarta
oleh Kantor Djawatan Kebudayaan Urusan Kesenian ke Republik Rakyat Cina(RRC)
pada tahun 1954.4 Rombongan ini tampil di Beijing dalam rangka

Jenifer Lindsay dan Maya H.T. Liem, Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi
Indonesia 1950-1965, (Denpasar : Pustaka Larasan, 2011), p. 222.

perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Upaya memperkenalkan kesenian ini


mengakibatkan munculnya kesenian-kesenian kreasi baru yang sifatnya lebih
kepada hiburan. Selain itu ada juga kesenian-kesenian rakyat yang sifatnya untuk
religi digubah menjadi lebih "profan" atau hiburan. Pada masa itu muncul namanama seperti Bagong Kussudiardja dan Wisnoe Wardana yang mendirikan Pusat
Latihan Tari Bagong Kussudiardja dan Contemporary Dance School
Wisnoewardhana (CDSW) di tahun 1958. Selain itu ada juga nama Rd. Tjetje
Soemantri dan Tb. Oemay Martakusuma yang sama-sama ahli dalam bidang
n

kesenian Sunda, yang akhirnya menciptakan Tari Kukupu. Selain pertunjukan


yang diadakan di luar negeri, presiden Soekarno juga sering mengadakan
pertunjukan di Istana Negara dan Istana Merdeka. Pergelaran ini menjadi ajang
berkumpulnya seniman-seniman dari daerah-daerah di Indonesia.
Pada saat itu di Indonesia memang banyak bermunculan lembaga atau
organisasi yang berkaitan dengan kebudayaan, seperti Badan Kesenian Indonesia
(BKI), Badan Kesenian Jawa Barat (BKDB), Himpunan Seni Budaya Islam
(HSBI), Lembaga Kebudayaan Syariat Muslim Indonesia (Laksmi), Lembaga
Kesenian Indonesia (Leksi), Lembaga Kebudayaan Kristen Indonesia (Lekrindo),
Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi), Lembaga Seniman Budayawan Muslim
Indonesia (Lesbumi), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Majelis Seniman Budayawan Islam (Masbi).
Organisasi atau lembaga-lembaga ini membawa kepentingannya sendiri yang

tidak jarang tergabung dalam organisasi politik saat itu, misalnya Lesbumi yang
dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU), Lekra yang dekat dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI), ataupun LKN yang dekat dengan Partai Nasional Indonesia
(PNI). Organisasi inilah yang sering mengundang para seniman untuk menggelar
pertunjukan, yang tentunya untuk keperluan kelompoknya.
Kesenian terkena dampak ketika terjadi peristiwa tahun 1965 yang dikenal
dengan peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S). Pada waktu itu banyak
kesenian yang mulai mati, karena jarang dipertunjukkan. Hal ini sebagai sebab
dari usaha pemerintah yang berkuasa pada saat itu di Indonesia untuk
memberantas golongan Partai Komunis Indonesia (PKI) terkait peristiwa G 30 S.
Keadaan politik pada waktu itu memang menempatkan PKI pada posisi yang
tertindas atau dianggap sebagai sesuatu yang harus dimusnahkan dan ditertibkan
atau musuh pemerintahan. Hal ini dikarenakan saat itu PKI dianggap sebagai
pelaku atau "dalang" dari peristiwa tersebut.
Salah satu yang menjadi target adalah Lekra (Lembaga Kebudayaan
o

Rakyat). Pada saat itu Lekra dianggap sebagai bagian dari PKI. Padahal
kebanyakan kesenian rakyat banyak yang tergabung dalam Lekra. Keadaan inilah
yang membuat kesenian mulai "mati", karena memang segala sesuatu yang
berhubungan dengan PKI juga ikut ditertibkan. 5 Seperti contoh kesenian angklung

Hal ini diakhiri dengan pelarangan terhadap PKI dan Lekra yang didasarkan
pada TAP MPRS.25/1966 pada tanggal 12 Maret 1966. Lihat Jenifer Lindsay dan
Maya
H.T. Liem "Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 1950-1965", (Denpasar :
Pustaka Larasan, 2011), p. 536.

di Banyuwangi, yang pelakunya banyak ditahan sehingga pelaku-pelaku seni lain


tidak berani menggelar pertunjukan.6 Bahkan salah satu karya grup angklung
pada saat itu dilarang untuk dimainkan, yaitu lagu "Genjer-Genjer". 7 Ada juga
kesenian Ludruk di Jawa Timur yang terhenti secara mendadak karena peristiwa
12

ini. Program pengiriman penari keluar negeri juga sempat terganggu, misalnya
karena hubungan dengan Cina (RRC). Pada saat itu terjadi pemutusan poros

Selain tidak berani menggelar pertunjukan, kebanyakan dari mereka bahkan


sampai tidak berani mengaku "bisa berkesenian". Hal ini untuk menghindari tudingan-

1
0

Jakarta - Beijing, yang dilanjutkan dengan pemberhentian operasi Cina di


13

Indonesia. Pada saat itu juga terjadi penarikan duta besar Cina di Indonesia, duta
besar Indonesia untuk Beijing pun diperintahkan pulang, meskipun pada akhirnya
diberikan suaka oleh Cina bagi mereka yuang tidak ingin pulang ke Indonesia.
Setelah peristiwa itu seni pertunjukan juga masih mengalami perubahan.
Pada masa pemerintahan Soeharto kesenian kerap digunakan sebagai alat
tudingan dari masyarakat sekitar yang bisa membahayakan mereka. Wawancara
dengan
Abdullah Fauzi (Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bagian Kebudayaan dan
Penggiat Kesenian Banyuwangi) pada 13 November 2014 di Kantor Dinas
Kebudayaan
dan Pariwisata, Jalan Ahmad Yani No.76, Penganjuran-Banyuwangi.

1
1

untuk legitimasi politik pemerintahan. Kesenian sering menjadi bagian dari


kampanye pemerintahan untuk memperoleh suara dukungan dari rakyat. Misalnya
dalam suatu kampanye kesenian Gandrung sering menjadi bagian hiburan dari
acara. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Helene Bouvier (2002) tentang
kesenian Ludruk sebagai media politik yaitu Ludruk kerap digunakan untuk
menyampaikan berbagai slogan politik dan sekaligus dijadikan sebagai juru bicara
Partai yang memerintah, yang dalam hal ini adalah Partai Golkar.8

Wawancara dengan Prama (Ketua Dewan Kesenian Blambangan). Pada 18


November 2014 di kantor Dewan Kesenian Blambangan, Jalan Diponegoro,
KepatihanBanyuwangi.

1
2

Selain itu kesenian juga dijadikan sebagai bagian industri pariwisata yang
mana pada waktu itu memang menjadi program pemerintah untuk meningkatkan
devisa Negara. Perubahan ini pun berlanjut terus menerus pada masa-masa
selanjutnya yang mana disebabkan oleh keadaan-keadaan sosial, budaya,
ekonomi, dan politik, seperto krisis moneter dan kebebasan pada masa reformasi
padatahun 1998.

Helene Bouvier, op.cit., p. 421.

1
3

Perkembangan kesenian ini tidak hanya terjadi di daerah-daerah Jawa


Barat ataupun Jawa Tengah (terutama daerah Surakarta dan Yogyakarta). 9 Di
daerah-daerah di luar itu juga mengalami perkembangan atau perubahan yang
dikarenakan keempat faktor tadi. Seperti daerah di Jawa Timur, yaitu daerah
Kabupaten Banyuwangi. Di Kabupaten Banyuwangi terdapat dua kesenian
tradisional yang sangat populer, yakni kesenian Seblang dan kesenian Gandrung

Kebanyakan perubahan ini memang terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah,
karena selain sangat dekat dengan pusat pemerintahan, keduanya memiliki warisan
budaya yang lebih kaya dari daerah-daerah lainnya. Hal ini bisa dilihat ketika kita
berbicara tentang budaya atau kesenian Jawa maka yang menjadi rujukan adalah
daerah
Surakarta dan Yogyakarta, selain itu kekayaan budaya yang mampu mengimbangi
budaya
Jawa di pulau Jawa adalah budaya Sunda, dan itu terdapat di daerah-daerah Jawa
Barat.

1
4

disamping kesenian Angklung. Dalam perjalanannya kesenian Seblang tidak


terlalu banyak mengalami perubahan, hal ini dikarenakan fungsi dan sifatnya
sangat religi. Kesenian Seblang hanya dimainkan satu kali dalam satu tahun, yakni
dua hari setelah hari raya Idul Fitri, dan ini hanya dimainkan di dua desa, yaitu
desa Olesari dan Bakungan. Beda halnya dengan kesenian Gandrung. Kesenian
Gandrung mengalami cukup banyak perubahan sesuai dengan keadaan yangterjadi
pada masanya. Hal ini dikarenakan fungsi kesenian Gandrung lebih untuk
hiburan.10 Akan tetapi dalam beberapa kesempatan kesenian Gandrung juga

10

Dariharto, Kesenian Gandrung Banyuwangi, (Banyuwangi : Dinas


Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, 2009), p. 7.

1
5

17

berfungsi untuk ritual, seperti untuk mengiringi ritual Petik Laut.


Beberapa kalangan menganggap bahwa kesenian Gandrung pada awalnya
memang untuk hiburan. Akan tetapi ada juga yang beranggapan bahwa kesenian
Gandrung diciptakan untuk kepentingan ritual, hal ini karena kesenian Gandrung
merupakan bagian dari tari tradisional. Anggapan yang kedua ini sesuai dengan
pendapat Soedarsono yang mengatakan bahwa salah satu fungsi dari tari
tradisional adalah untuk mendatangkan hujan, menyucikan desa, mengeluarkan
penyakit, mengalahkan musuh, berburu binatang, kelahiran, kematian, perkawinan
18

dan sebagainya. Anggapan pertama didasarkan pada sejarah perlawanan orang


Blambangan dalam Perang Puputan Bayu yakni perang antara orang Blambangan
dengan Belanda yang dibantu Mataram dan orang-orang Ambon. 11 Akan tetapi

11

1
6

kedua pendapat ini menjadi satu paham ketika masa-masa berkuasanya Belanda,
yaitu untuk keperluan hiburan dan perjuangan.
Kesenian Gandrung dalam penampilannya memiliki lima tahapan yakni
Topengan (tari yang dilakukan sebelum pagelaran), Jejer Gandrung (tari
pembuka), Ngrepen atau Repenan (penari Gandrung turun dari panggung atau
keluar panggung dan menuju ke penonton untuk menyanyikan lagu atau gendhing
sesuai permintaan), Paju atau Maju Gandrung (penari Gandrung menari dengan
penonton) dan terakhir Seblang-Seblangan (tari penutup yang diiringi dengan
pantun-pantun oleh Gedhog atau pemimpin pertunjukan).
Pertunjukan kesenian Gandrung awalnya dimulai dari pukul 21.00 sampai
04.00 atau sebelum subuh akan tetapi kemudian berubah menjadi siang hari atau
sore hari, perubahan ini dilakukan sesuai permintaan dari pengundang. Kesenian
Gandrung awalnya juga ditarikan oleh laki-laki, baru kemudian pada tahun 1895

Dalam perang ini pasukan Blambangan mendapatkan kemenangan, akan


tetapi karena takut serangan balasan dari Belanda maka sisa-sisa pasukan itu segera
melarikan diri ke hutan-hutan atau daerah-daerah pedalaman. Kesenian Gandrung ini
diciptakan oleh pasukan Blambangan tersebut guna menghibur sisa-sisa pasukan
sekaligus untuk menumbuhkan semangat perjuangan. Selain itu juga kesenian
Gandrung

juga digunakan untuk mengumpulkan sisa-sisa pasukan yang sudah tercerai berai di
hutan-hutan. Puputan sendiri berarti perang habis-habisan, sampai titik darah
penghabisan.

1
7

kesenian Gandrung dimainkan oleh perempuan, dan perempuan pertama yang


20

menjadi penari Gandrung adalah Semi. Perubahan ini diakibatkan oleh adanya
penari Gandrung yang memiliki kebiasaan buruk (menyukai sesama jenis), dan
adanya penolakan dari kaum agamawan terhadap pemeranan perempuan oleh lakilaki. Sebagai bagian dari kesenian, kesenian Gandrung juga memiliki sifat yang
sama dengan kesenian yaitu tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat.
Masyarakat pendukung kesenian ini akan menciptakan, memelihara, menularkan

serta mengembangkan kesenian tersebut. Selain itu kesenian Gandrung yang


merupakan tari komunal (tari yang diciptakan oleh masyarakat dan untuk
kepentingan masyarakat) selalu akan berhubungan dengan masyarakat. Hal inilah
yang membuat fungsi, peran dan keadaan kesenian Gandrung terus mengalami
perubahan pada masa-masa selanjutnya.
Peran dan fungsi kesenian Gandrung berubah ketika memasuki masa-masa
awal kemerdekaan Indonesia. Kesenian Gandrung berfungsi sebagai media
hiburan dan sekaligus menjadi bagian dari program pemerintah untuk
memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia internasional. Belum ada bukti
mengenai peranan kesenian Gandrung dalam dunia politik saat itu, mengingat
pada masa itu untuk pertama kalinya pemerintah Indonesia mengadakan pemilu
yang diikuti oleh banyak Partai, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi
(Majelis Syura Muslimin Indonesia), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Selain itu juga belum ditemukan bukti mengenai peranan
kesenian Gandrung dalam upaya pemerintah untuk menguatkan rasa nasionalisme
rakyat Indonesia. Padahal waktu itu pemerintah memang tengah berupaya untuk
menguatkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia. Dalam dunia seni saat itu muncul

1
8

moto yang terkenal, yang sering didengungkan oleh pemerintah, yaitu "Seni untuk
22

seni No, Seni untuk revolusi Yes!!". Dari moto ini bisa digambarkan bahwa
usaha pemerintah untuk menguatkan rasa nasionalisme kebangsaan ini masuk
dalam berbagai macam bidang selain bidang politik.
Sama seperti kesenian di Indonesia secara umum, kesenian Gandrung juga
terkena dampak dari adanya peristiwa G 30 S. Kesenian Gandrung bersama
kesenian-kesenian di Banyuwangi mengalami kevakuman. Hal ini disebabkan
oleh keadaan politik dan sosial di masyarakat pada saat itu tidak kondusif, yang
23

akhirnya membuat mereka tidak bisa menggelar pertunjukan. Keadaan ini juga
ada kaitannya dengan bergabungnya kesenian-kesenian itu dalam Lekra. Selain
tidak bisa menggelar pertunjukan para seniman pada waktu itu juga tidak berani
mengaku kalau dirinya seniman atau setidaknya bisa berkesenian. Hal ini
dikarenakan itu sangat berbahaya untuk mereka, mengingat saat itu banyak
24

seniman yang langsung ditangkap atau ditahan tanpa ada proses peradilan.
Keadaan-keadaan yang seperti inilah yang membuat kesenian Gandrung
mengalami kevakuman meskipun tidak mati. Barulah ditahun 1973-an kesenian
25

Gandrung dan kesenian-kesenian lainnya di Banyuwangi mulai tampil kembali.


Pelakunya pun masih tetap pelaku-pelaku lama, yaitu pelaku sebelum terjadinya
peristiwa G 30 S. Keadaan ini terus berlanjut, kesenian Gandrung semakin
memiliki peranan dalam dunia hiburan dan pariwisata Banyuwangi. Pemerintah
pun juga ikut ambil bagian dalam upaya melestarikan kesenian Gandrung. Hal ini
bisa dilihat dari dibentuknya Dewan Kesenian Blambangan (DKB) oleh
pemerintah Banyuwangi pada tahun 1970.
Selain itu juga pada tahun 1974 untuk pertama kalinya diadakan festival

1
9

Kesenian Gandrung. Festival ini diadakan oleh Pemerintah Daerah Banyuwangi


untuk mengembangkan dan melestarikan kesenian Gandrung. Peran kesenian
Gandrung sebagai hiburan ini tidak hanya terhenti dalam pariwisata. Kesenian
Gandrung juga menjadi bagian dalam urusan politik di Banyuwangi. Kesenian
Gandrung sering digunakan dalam kampanye partai-partai politik, terutama Partai
Golkar. Bahkan pada waktu itu selendang yang digunakan oleh penari Gandrung
berubah warnanya menjadi kuning, yang mana awalnya adalah berwarna
merah.12Warna kuning adalah warna identik dari Partai Golkar.

12

Wawancara dengan Abdullah Fauzi pada 13 November 2014 di Kantor Dinas


Kebudayaan dan Pariwisata, Jalan Ahmad Yani No.76, Penganjuran-Banyuwangi.

2
0

Keadaan ini sempat terhenti karena krisis moneter yang terjadi di


Indonesia pada tahun 1998. Kesenian Gandrung juga sempat jatuh dengan
sedikitnya penampilan, karena memang tidak banyak yang mengundang. Ini
dikarenakan untuk mengundang satu rombongan kesenian Gandrung juga
27

membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal saat itu untuk keperluan seharihari sangatlah sulit. Memasuki masa reformasi keadaan berangsur-angsur
membaik seiring dengan keadaan ekonomi yang semakin membaik. Kesenian
Gandrung kembali sering ditampilkan, sering dijadikan sebagai tari sambutan
pada acara-acara penyambutan. Bahkan tanggal 31 Desember 2002 kesenian
Gandrung dijadikan sebagai ikon pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Hal ini
berdasarkan pada Surat Keputusan Bupati Banyuwangi tanggal 31 Desember 2002
Nomor 173 tahun 2002. Setelah adanya surat keputusan ini pemerintah
melanjutkan dengan pelatihan-pelatihan Gandrung tiap tahunnya. Peserta-peserta
dari pelatihan ini yang nantinya menjadi penari Gandrung, meskipun tidak
semuanya. Sekolah-sekolah banyak mengajarkan kesenian Gandrung melalui
kegiatan ekstrakurikuler, dan ketika acara di sekolah para siswa yang mengikuti
kegiatan ini sering ditampilkan dalam acara sambutan.
Keadaan ini membantu kesenian Gandrung semakin berkembang. Akan
tetapi selama terjadi perkembangan itu, kesenian Gandrung sempat terpengaruh
dengan adanya protes-protes dari kaum agamawan yang dalam hal ini adalah
golongan Islam. Kaum agamawan menolak kesenian Gandrung karena
29

menganggap penampilannya terlalu seronok atau tidak sopan. Terutama

2
1

mengenai tarian dan pakaian penarinya. Pakaiannya yang sangat ketat sehingga
membentuk lekuk tubuh penarinya dianggap memamerkan keindahan tubuh
wanita, dan hal ini dilarang oleh agama menurut mereka. Selain itu tarian
Gandrung juga dianggap terlalu erotis. Hal ini membuat para pelaku kesenian
Gandrung harus berkompromi dan sedikit merubah penampilannya, seperti waktu
pertunjukan yang dibuat lebih singkat, dan juga pakaiannya dibuat lebih tertutup
terutama pada bagian pundak sampai lengan. Mereka biasanya menggunakan
deker, sejenis kain tipis yang warnanya mirip dengan kulit tubuh. Hal ini juga
pernah terjadi pada kesenian Madura, yaitu pada tari Retep yang berubah karena
tuntutan keadaan sosial yang didasarkan pada aspek agama dan ekonomi atau
hiburan.13

13

Helene Bouvier, op.cit., p. 193.

2
2

Ini bukan pertama kalinya kesenian Gandrung mendapat kritik dari kaum
agamawan, sebelumnya kesenian Gandrung juga pernah mendapat kritik yang
akhirnya ikut menjadi faktor dalam penggantian penari Gandrung laki-laki
31

menjadi perempuan. Kaum agamawan pada saat itu mengkritik pemeranan


penari Gandrung laki-laki yang didandani seperti perempuan. Bagi mereka itu
tidak pantas, dan dilarang dalam agama. Keadaan inilah yang kemudian
menghentikan regenerasi penari Gandrung laki-laki. Akan tetapi hal ini justru
membuat kesenian Gandrung memiliki peran yang lebih besar. Mulai muncul
peranan perempuan dalam tarian Gandrung. Perempuan memiliki peranan penting
dalam pertunjukan, seperti tarian-tarian lainnya, penari selalu memiliki peran
sentral dalam pagelaran tari. Peran baru ini mendobrak batasan-batasan yang ada
dalam masyarakat saat itu yang menganggap peran perempuan terbatas pada
32

tugas-tugas domestik yaitu sekitar sumur, dapur dan kasur.


Pada masa itu dan masa-masa selanjutnya perempuan memiliki posisi
penting dari upaya penyelamatan dan pelestarian budaya masyarakat Banyuwangi
dan juga menjadi penyelamat bagi ekonomi keluarganya, meskipun dengan
resiko-resiko yang harus diterimanya. Dapat dikatakan perempuan dalam kesenian
Gandrung sudah menjadi bagian dan benih dari upaya emansipasi wanita yang
terjadi di masa-masa selanjutnya khususnya di daerah Banyuwangi. Hal ini

2
3

menegaskan kembali bahwa peran kesenian Gandrung sangatlah luas dalam


kehidupan masyarakat Banyuwangi. Selain keadaan ini, dunia kesenian Gandrung
juga sempat tegang dengan adanya protes yang dilakukan oleh para penari lama
kepada pemerintah dan DKB, mereka menganggap pemerintah dan DKB telah
membuat kesenian Gandrung kehilangan pakem aslinya. Hal ini didasarkan pada
kebijakan pemerintah yang lebih cenderung menampilkan kesenian Gandrung
modern atau kesenian Gandrung kreasi baru, yang mana dalam pertunjukannya
lebih singkat dan simple bila dibandingkan dengan kesenian Gandrung yang lama.
Keadaan-keadaan yang seperti inilah yang membuat kesenian Gandrung
menarik untuk dikaji. Bagaimana kesenian Gandrung terus berubah karena
keadaan disekitarnya, ataupun bagaimana kesenian Gandrung dapat memberikan
dampak terhadap lingkungan di sekitarnya. Dampak ini juga terjadi dalam lingkup
personal atau pribadi pelaku kesenian Gandrung yang mana salah satunya
disebabkan oleh keikutsertaan perempuan dalam kesenian Gandrung, seperti
misalnya penari Gandrung dianggap sebagai pekerja murahan yang berhubungan
dengan dunia malam atau maksiat, karena biasanya penari Gandrung kerap
33

mendapat perlakuan negatif oleh para penonton. Padahal di sisi lain kesenian
Gandrung adalah kebanggan masyarakat Banyuwangi dan penyelamat budaya
Osing diantara maraknya budaya-budaya dari luar Banyuwangi. 14 Anggapan ini

14

2
4

tidak terlepas dari adanya kritik dari kaum agamawan dan juga karena dalam
pertunjukannya selalu dekat dengan kegiatan meminum minuman keras dan
mabuk-mabukan. Selain itu kesenian Gandrung juga dianggap sebagai

35

representasi budaya Osing. Kesenian Gandrung dianggap sebagai identitas dari


budaya Osing dan juga penyelamat dari budaya Osing. Selain itu penari Gandrung
juga menjadi penyelamat perekonomian keluarganya. Sesuai dengan yang
disebutkan oleh Dariharto (2009) dalam bukunya Kesenian Gandrung
Banyuwangi bahwa kesenian Gandrung dapat dilihat dari berbagai macam aspek,
seperti aspek perjuangan, aspek sosial budaya, aspek seni dan budaya, aspek

Osing atau Using adalah etnis asli Banyuwangi. Mereka dianggap sebagai

orang asli Banyuwangi sebelum masuknya para pendatang yang dibawa oleh Belanda
setelah Perang Puputan Bayu tahun 1771.

2
5

ekonomi, dan aspek etnis dan religius. 15 Hal ini menjadi bukti tentang besarnya
peran kesenian Gandrung dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi.
Batasan tahun yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 1950
sampai dengan 2013. Tahun 1950 digunakan sebagai tahun awal untuk penelitian
ini karena dianggap pada tahun ini untuk pertama kalinya Indonesia berada pada
kondisi yang kondusif atau tenang setelah kemerdekaan yang hanya dirasa

15

Dariharto, op.cit., pp. 10-14.

2
6

sebentar karena adanya agresi militer Belanda tahun 1946 - 1949. Selain itu juga
penjelasan kesenian Gandrung pada tahun ini bisa dijadikan sebagai bahan
perbandingan untuk tahun 1965, mengingat peristiwa G 30 S yang terjadi di tahun
itu memberikan dampak yang sangat besar terhadap perjalanan kesenian
Gandrung, sedangkan tahun 2013 dipilih sebagai batasan akhir tahun penelitian
karena ditahun tersebut perkembangan dalam kesenian Gandrung sangat besar
bersamaan dengan perkembangan pariwisata di Banyuwangi yang sudah dimulai
dari tahun 2010-an, selain itu tahun 2013 dianggap pencarian data atau sumbersumbernya lebih mudah. Aktivitas kesenian Gandrung pun sudah dapat
terdokumentasikan secara menyeluruh, mengingat tahun penelitian ini adalah
tahun 2015.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah awal dan pagelaran dari kesenian Gandrung di


Banyuwangi?
2. Seberapa jauh hubungan kesenian Gandrung terhadap keadaan politik,
ekonomi, sosial, dan budaya di masyarakat Banyuwangi pada tahun
1950 sampai 2013?
3. Makna apa yang ditimbulkan dari hubungan kesenian Gandrung
dengan keadaan sosial, budaya, ekonomi dan politik di Banyuwangi?
1.3 Tujuan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai
yaitu :
1.3.1

Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam

2
7

tentang kehidupan kesenian Gandrung pada tahun 1950 sampai 2013, serta
dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa tentang
kesenian Gandrung.
1.3.2

Tujuan Khusus
1. Untuk memahami sejarah dari kesenian Gandrung di
Kabupaten Banyuwangi

2
8

2. Untuk menjelaskan dampak dari keadaan yang terjadi pada


tahun 1950 sampai 2013 terhadap perjalanan kesenian
Gandrung.
3. Untuk membahas peranan yang diberikan kesenian Gandrung
terhadap lingkungan disekitarnya.
4. Untuk menambah wawasan peneliti khususnya dalam
melakukan penelitian lebih lanjut.
1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:


1.4.1

Manfaat Teoritis

a. Dapat mengetahui bagaimana kehidupan kesenian Gandrung


pada tahun 1950 sampai 2013.
b. Hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan sebagai referensi
bagi pengembangan penelitian yang terkait dengan seni tari
tradisional di Kota Banyuwangi pada umunya dan kesenian
Gandrung pada khususnya.
1.4.2

Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti
1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam halhal yang berkaitan dengan kesenian Gandrung di Kota
Banyuwangi.

2
9

2. Mendapat pengalaman tentang cara melaksanakan suatu


penelitian, sehingga nantinya dapat melaksanakan penelitian
lebih baik.
b. Bagi masyarakat umum
1. Dapat memberikan dokumentasi atau rekaman tertulis
mengenai kesenian Gandrung dan juga kehidupannya pada
tahun 1950-2013.
2. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum bahwa
kesenian Gandrung memiliki sejarah yang cukup panjang
dengan berbagai perubahan pada setiap masanya.
1.5 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah suatu bentu pengkajian pustaka-pustaka


terdahulu yang dianggap yang relevan dengan penelitian ini dan dipakai
sebagai bahan perbandingan bagi penelitian. Adapun pustaka yang
dipergunakan sebagai acuan dan bahan dalam penelitian ini sebagai
berikut :
Ujang Herman (1995) Gandrung : Kesenian Rakyat Di Kabupaten
Banyuwangi (1895 - 1974). Dalam penelitian ini yang menjadi
pembahasannya adalah perubahan dari penari Gandrung, tata rias, busana,
tembang-tembang dalam Gandrung serta dampak-dampak yang terjadi dari
kesenian Gandrung. Dampak dalam hal ini adalah dampak kesenian
Gandrung dalam bidang sosial budaya, sosial ekonomi dan pertumbuhan
pariwisata. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa penari Gandrung pada

3
0

awalnya adalah laki-laki, penari laki-laki yang sangat terkenal saat itu
adalah Marsan, bahkan pada saat itu Marsan berhasil menguasai atau
37

meonopoli pementasan kesenian Gandrung. Barulah pada tahun 1895


Gandrung mulai ditarikan oleh perempuan, perempuan pertama yang
menarikan Gandrung adalah Semi. Semenjak Semi inilah pertunjukan
Gandrung semakin berkembang. Di tahun 1988 Gandrung menjadi wakil
Jawa Timur dalam acara kesenian daerah tingkat nasional.
Perkembangan ini tidak hanya terjadi dalam penari Gandrung,
melainkan juga dalam bentuk tembang-tembangnya (lagu-lagunya),
instrument serta dalam atraksinya. Contohnya adalah penambahan
tembang-tembang diluar tembang Osing pada waktu Gandrung ditarikan
38

oleh perempuan, yaitu seperti tembang berbahasa Melayu, Jawa dan Bali.
Perubahan dalam hal instrumennya terlihat dari penambahan biola sebagai
alat musik pengiring. Penambahan pemberian sampur oleh penari
Gandrung kepada para undangan merupakan salah satu perubahan dalam
hal atraksi Gandrung yang dimulai pada tahun 1972.
Dampak yang dijelaskan dalam skripsi ini terbagi dalam tiga
kelompok, yaitu dampak dalam bidang sosial budaya, sosial ekonomi, dan
pertumbuhan pariwisata. Contohnya adalah Gandrung menjadi sumber
39

inspirasi bagi kesenian-kesenian daerah lainnya. Selain itu tembangtembang dalam Gandrung menjadi inspirasi kesenian Angklung. Dalam
bidang sosial ekonomi Gandrung menjadi sumber penghasilan dari para
pelakunya. Dalam sekali pertunjukan biasanya mereka mendapat upah
yang nantinya dibagi dengan seluruh anggota rombongan. Dalam bidang
pariwisata Gandrung menjadi bagian dari pengembangan pariwisata yang

3
1

digagas oleh pemerintah Banyuwangi, meskipun hal ini berdampak pada


perubahan dalam pertunjukan Gandrung yang menjadi lebih singkat. 16

16

Ibid., pp. 78-79.

3
2

Skripsi ini dapat menjadi bahan pustaka dalam penelitian. Hal ini
dikarenakan terdapat beberapa kesamaan, yakni sama-sama membahas
kesenian Gandrung dengan tinjauan sejarah, serta melihat dampak-dampak
yang ditimbulkannya. Akan tetapi terdapat perbedaan dari skripsi ini
dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu pertama dalam hal skup
temporalnya (penelitian ini menggunakan skup temporal antara tahun 1950
sampai 2013 sedangkan skripsi ini menggunakan skup temporal 1895
sampai 1974). Kedua dalam kajiannya, dalam skripsi ini yang menjadi
pembahasan hanyalah perubahan dari kesenian Gandrung itu sendiri
seperti dari tembang, syair dan instrumennya dengan sedikit menjelaskan
alasan mengenai perubahan tersebut. Dalam penelitian ini yang menjadi
pembahasan adalah hubungan antara kesenian Gandrung dengan keadaankeadaan yang ada disekitarnya, seperti keadaan sosial, budaya, ekonomi
dan politik, yang mana didalamnya terdapat dampat-dampak yang
ditimbulkan dari hubungan ini. Perbedaan yang paling terlihat adalah
penelitian ini membahas mengenai hubungan Gandrung dengan keadaanpolitik yang
terbagi dalam kurun waktu tersebut, sedangkan skripsi ini
tidak membahas mengenai hal ini.
Dariharto (2009) Kesenian Gandrung Banyuwangi. Dalam buku ini
dibahas mengenai sejarah awal atau asal usul kesenian Gandrung,
dilanjutkan dengan peranan Gandrung dalam masyarakat Banyuwangi,
Gandrung dilihat dari beberapa aspek, serta bentuk pagelaran kesenian
Gandrung. Dalam bukunya Dariharto menyebutkan bahwa kesenian
Gandrung sudah ada sejak tahun 1880an, akan tetapi ia menyebutkan

3
3

bahwa pada zaman Kerajaan Blambangan sudah ada pertunjukan tari di


keraton yang mirip dengan kesenian Gandrung. Sehingga ada
kemungkinan bahwa kesenian Gandrung sudah ada sejak zaman
kerajaan.17

17

Dariharto, op.cit., p. 5.

3
4

Mengenai peranan kesenian Gandrung, Dariharto membaginya


dalam empat bagian, yaitu pada masa kerajaan, masa perjuangan, masa
kemerdekaan, dan masa sekarang (reformasi sampai tahun 2009). Dalam
setiap masanya peranan kesenian Gandrung berbeda-beda. Seperti pada
masa perjuangan Gandrung berfungsi membantu para pejuang melalui
perbekalan, membangkitkan semangat para pejuang dengan syair-syair
dari gendingnya, serta menjadi cara untuk memantau kekuatan dan
kegiatan musuh. Pada masa kemerdekaan kesenian Gandrung berfungsi
sebagai pemberi petuah-petuah karena syair-syairnya mengandung petuah-petuah
untuk menjalani kehidupan ini dengan penuh semangat, kesabaran,

42

kejujuran dan menjaga kerukunan.


Pada masa sekarang kesenian Gandrung menjadi poros kesenian di
Banyuwangi dengan cara menjadi acuan dan sumber inspirasi bagi jenisjenis kesenian tradisional lain di Banyuwangi. Kesenian Gandrung yang
dilihat dari beberapa aspek, dibagi menjadi 5 aspek, yakni aspek nilai
perjuangan, aspek sosial masyarakat, aspek seni dan budaya, aspek
ekonomi, dan aspek etnis dan religius. Aspek perjuangan dilihat dari
peranan kesenian Gandrung yang terus menjadi bagian dari perjuangan
masyarakat, baik dari masa penjajahan sampai masa sekarang. Aspek
sosial masyarakat dilihat dari peran kesenian Gandrung yang menjadi
media berkumpulnya masyarakat yang terdiri dari berbagai macam
golongan sehingga terjadi banyak interaksi di dalamnya. Aspek seni dan
budaya dilihat dari peran kesenian Gandrung yang menjadi sumber

3
5

inspirasi bagi kesenian-kesenian lain di Banyuwangi, serta memperkaya


khasanah budaya tradisional Banyuwangi.
Aspek ekonomi dilihat dari bagaimana kesenian Gandrung
memberikan dampak ekonomi, baik kepada pelaku tarinya maupun
kelompok-kelompok yang menjadi bagian dari pertunjukan Gandrung.
Seperti misalnya, kesenian Gandrung dapat menjadi lapangan pekerjaan
bagi para pelakunya ataupun banyak kelompok-kelompok yang
diuntungkan dalam pertunjukan seni, seperti para pedagang makanan dan

42

Ibid., p. 35.

3
6

minuman di sekitar pertunjukan Gandrung, sedangkan aspek etnis dan


religius dilihat dari peran kesenian Gandrung yang menjadi pelestari
bahasa Osing yang mana terlihat dalam syair-syair gendingnya yang
menggunakan bahasa Osing.18 Dalam pagelarannya Dariharto menjelaskan
bahwa kesenian Gandrung terbagi dalam lima bagian, yakni Topengan,
Jejer Gandrung, Ngrepen atau Repenan, Paju atau Maju Gandrung dan

18

Ibid., pp. 13-15.

3
7

Seblang-Seblangan.
Topengan adalah pertunjukan pra Gandrung, Jejer Gandrung
adalah tarian pembuka yang berfungsi sebagai pertanda bahwa kegiatan
pagelaran kesenian Gandrung sudah dimulai. Ngrepen atau Repenan
adalah fase dimana penari Gandrung turun dari panggung atau
menghampiri para tamu dan menyanyikan lagu-lagu permintaan para tamu
tersebut. Paju atau Maju Gandrung adalah fase dimana penari Gandrung
menari bersama dengan penonton. Seblang-Seblangan adalah fase penutup
yang berisi tarian-tarian yang mirip tari Seblang dan diiringi oleh pantunpantun oleh pemimpin pertunjukan.
Rebecca Wells (2000) Tarian Tradisional dalam Masyarakat Jawa
dan Bali. Dalam penelitian ini ada beberapa hal penting yang dikaji, yaitu
seperti mengenai masih relevan kah tarian tradisional, apakah tarian
tradisional masih dihargai oleh masyarakat Jawa dan Bali, perubahan
tarian yang diakibatkan oleh modernisasi, sikap masyarakat terhadap tarian
tradisional dan juga pengaruh kehadiran turisme terhadap tarian

tradisional. Dalam penelitiannya Rebecca mengatakan bahwa tarian


tradisional Bali dan Jawa banyak mengalami perubahan sebagai akibat
modernisasi. Ada pengaruh modernisasi baik dan buruk yang dihadapi
tarian tradisional.19 Bahkan dalam pembahasannya Rebecca menganggap
bahwa turisme adalah salah satu dampak yang paling besar pada tarian

19

Dikutip dari makalah Rebecca Wells (2000) Tarian Tradisional Dalam


Masyarakat Jawa dan Bali, p. 44, diunduh dari google dengan alamat :
www.acicis.murdoch. edu.au/../wells.pdf. (diunduh tanggal 15 November 2014).

tradisional.
Penelitian ini bisa dijadikan bahan pustaka atau rujukan sekaligus
perbandingan untuk penelitian yang peneliti teliti. Kesenian Gandrung
juga merupakan tarian tradisional, dan apabila dilihat dari segi
geografisnya kedua tarian ini adalah bagian dari tarian tradisional Jawa,
meskipun kemungkinan kata Jawa dalam penelitian Rebecca mengacu
pada suku Jawa. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh peneliti juga
mengenai kehidupan tari. Jadi penelitian yang dilakukan Rebecca masih
relevan dengan penelitian ini. Akan tetapi perbedaannya penelitian ini
mengambil tempat hanya di Kabupaten Banyuwangi dan dengan skup
waktunya yakni dari tahun 1950-2013. Dengan skup waktu tersebut
penelitian ini lebih mengacu pada jejak perkembangan dan kehidupan
kesenian pada masa itu.
1.6 Metodologi

Metodologi yang digunakan adalah metodologi sejarah


kebudayaan. Menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Metodologi
Sejarahmenyebutkan bahwa sejarah kebudayaan dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan materialistis. Pendekatan ini menggambarkan
produk-produk estetisk dan intelektual yang ada dalam masyarakat
hanyalah ekspresi dari kegiatan-kegiatan sosial masyarakat. Jadi dengan
menggunakan pendekatan ini kebudayaan dapat dibatasi sebagai sebuah
dimensi simbolik dan ekspresi dari kehidupan sosial di masyarakat.
Menurut Burckhardt dalam bukunya Kuntowijoyo (Metodologi Sejarah)
menyebutkan bahwa setiap detil yang kecil dan tunggal yang didapatkan
dalam penelitian sejarah kebudayaan sebenarnya adalah simbol dari
keseluruhan dan satuan yang lebih besar.20 Oleh karena itu Burckhardt
20

menggambarkan kebudayaan sebagai sebuah kenyataan campuran. Tugas


sejarawanlah yang mengkoordinasikan atau mengumpulkan elemenelemen itu ke dalam suatu gambaran umum. Cara yang dapat dipakai
dalam membuat gambaran umum ini ialah dengan memparalelisasikan
fakta-fakta. Paralelisasi ini dapat didapat melalui proses membandingkan
dan melawankan, mencari persamaan dan perbedaan, sehingga fakta-fakta
itu dapat ditemukan kaitannya. Penulisan yang seperti ini akan
menghasilkan tulisan sejarah yang menyuguhkan pemandangan
menyeluruh atau penggambaran yang konkret dari sebuah objek.
Metodologi ini dianggap cocok dengan tema yang dipakai dalam
penelitian ini. Metodologi ini dapat memberikan gambaran yang konkret
mengenai kehidupan kesenian Gandrung di Banyuwangi dalam

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003),p. 137.

hubungannya dengan keadaan disekitarnya serta dampak-dampak apa yang


ditimbulkan sebagai akibatnya.

1.7 Kerangka Teoritis

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.


1.7.1 Teori Sejarah

Dalam tulisannya "Lima Masalah Pokok Dalam Teori Sejarah",


Sidemen (1991) menyatakan bahwa terdapat lima masalah atau
pembahasan dalam teori sejarah, yaitu masalah pemahaman dalam
sejarah, penjelasan tentang masa lampau, objektifitas dalam sejarah,
kausalitas dalam sejarah dan kelima adalah determinasi dalam
sejarah.21 Dalam penelitian ini permasalahan yang digunakan adalah

21

Ida Bagus Sidemen "Lima Masalah Pokok Dalam Teori Sejarah", dalam
Majalah Widya Pustaka. No 2. (Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana,1991),

pemahaman dalam penjelasan sejarah (eksplanasi sejarah). Golongan


positivis melalui Popper menjelaskan mengenai penjelasan sejarah
dengan menawarkan konsep deduksi yaitu penjelasan dari umum ke
khusus, sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa dalam
menjelaskan sejarah hanya dibutuhkan tiga hal, yaitu mengumpulkan
sebanyak-banyaknya bukti kejadian sejarah, menempatkan kejadiankejadian itu dalam keterkaitannya yang intrinsik, dan menempatkan
hubungan kait mengkait itu pada konteks sejarahnya. Apa yang
dimaksud di sini adalah untuk melakukan eksplanasi
(penjelasan)sejarah dapat dilakukan dengan memberikan sejumlah
penjelasan
besar tentang perubahan yang lengkap dan akurat.
Dalam penjelasan sejarah ini sejarawan harus menerangkan
mengapa sesuatu itu terjadi, yang dapat dilakukan dengan
menggabungkan bagian-bagian menjadi keseluruhan yang baru. Hal
ini dikarenakan tugas sejarah adalah melihat sebab atau alasan dari
suatu kejadian. Teori sejarah dapat digunakan untuk menjelaskan
permasalahan-permasalahan dalam penelitian Gandrung ini. Teori ini
akan bermanfaat untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang
p.
30.

konkrit atau lengkap bersama dengan alasan atau sebab dibalik


fenomena-fenomena kesenian Gandrung.
1.7.2 Teori Dekonstruksi
Teori Dekonstruksi ini diciptakan dan dipoulerkan oleh Jacques
Derrida. Teori ini masuk dalam teori-teori post-modernisme.
Dekonstruksi dapat diartikan sebagai upaya penelusuran terhadap
47

objek yang ditimbulkan oleh jaringan tanda. Dalam kerjanya


dekonstruksi berusaha memilah-milah suatu pemikiran atau
kenyataan yang telah tersusun rapi sampai ke dasar-dasarnya,
sehingga dekonstruksi bisa dianggap sebagai kaca pembesar dalam
melihat suatu objek. Selain itu dekonstruksi menolak kebenaran
tunggal atau kenyataan yang dirasa benar dengan cara mencari
makna-makna atau kenyataan lain. Sebenarnya Derrida menolak
untuk mendefinisikan dekonstruksi, karena baginya deinisi akan
berarti pembatasan, sedangkan dekonstruksi berusaha untuk
menerobos batasan, sehingga dekonstruksi tidak dapat didefinisikan
dengan jelas.
Dekonstruksi dapat dianggap sebagai sebuah sikap atau
metode kritis yang majemuk, yang mana berusaha untuk
membongkar kemapanan dan kebakuan, serta berusaha untuk
memberi ruang atas timbulnya makna-makna baru. Jadi tugas
dekonstruksi adalah mengungkapkan makna-makna baru yang belum

terungkap. Dapat diartikan bahwa dekonstruksi menolak makna


tunggal, dan memberikan peluang munculnya makna baru. Teori
Derrida ini kerap digunakan dalam pemahaman teks, yakni dengan
cara menyelami kedalaman dibalik penampakan teks dan memahami
sesuatu yang akan di-kata-kan dan yang tidak ter-kata-kan.
Teori dekonstruksi juga menjelaskan fenomena-fenomena
budaya. Sebagai bagian dari teori post-modernisme dekonstruksi
memiliki karakteristik yakni tidak suka pada makna tunggal sebuah
48

fenomena budaya. Menurutnya makna dalam fenomena budaya


dapat terdapat dalam apa saja, bisa dalam hal-hal kecil, kurang
diperhatikan kemungkinan justru memiliki makna yang besar.
Dekonstruksi melihat sebuah fenomena budaya dengan unsur
sejarahnya dan latar belakang di balik fenomena itu. Teori ini dapat
digunakan untuk menjelaskan permasalahan dalam penelitian
Gandrung dengan cara memberikan penjelasan atau pemaknaan
terhadap fenomena-fenomena yang terjadi.

1.8 Kerangka Konsep

Adapun konsep yang digunakan pada penelitian ini yakni sebagai


berikut.
1.8.1 Sejarah Seni Pertunjukan
Menurut Sumardjo seni merupakan ungkapan perasaan yang
dituangkan dalam media yang dapat dilihat, didengar, maupun

dilihat dan didengar.22 Dengan kata lain, seni adalah isi jiwa seniman
(pelaku seni) yang terdiri dari perasaan dan intuisinya, pikiran dan
gagasannya. Seni dapat dibagi menjadi dua, yaitu seni rupa dan seni
pertunjukan. Menurut Murgiyanto (1996), Seni pertunjukan berarti
"tontonan yang bernilai seni," yang disajikan sebagai pertunjukan di

22

Dikutip dari makalah H Aprilia Noor "Permainan Kesenian Musik

depan penonton.23

Tradisional", p. 7, diunduh dari google dengan alamat : eprints.uny.ac.id/8148/3/ BAB

207208241025.pdf (diunduh tanggal 1 November 2014).

23

Pada dasarnya, sebuah seni pertunjukan memiliki fungsi yang


terkait dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Beberapa fungsi
daripertunjukan tersebut antara lain fungsi religius, fungsi sosial, fungsi
pendidikan, fungsi estetik, dan fungsi ekonomi. Fungsi-fungsi yang
terdapat dalam sebuah pertunjukan terkadang tidak hanya satu, tapi
bisa lebih. Hal itu tergantung dengan kebutuhan manusia itu sendiri.
Seni pertunjukan berbeda dengan seni rupa. Secara konseptual seni
pertunjukan dalam pertunjukannya memerlukan ruang dan juga
waktu pertunjukan, sedangkan seni rupa hanya memerlukan ruang
saja. Contoh dari seni pertunjukan adalah seni tari, seni tarik suara
(menyanyi), dan seni drama. Dalam pengkajian ini yang digunakan
adalah seni tari.
Terdapat beberapa konsep mengenai tari, yaitu seperti
Suryoningrat "Tari adalah gerakan-gerakan dari seluruh bagian
tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta
mempunyai maksud tertentu".24 Selain itu ada juga konsep tari

Dikutip dari makalah Eka Meigalia "Pergeseran Fungsi Seni Pertunjukan",


p.1, diunduh dari google dengan alamat : repository.unand.ac.id/4118/1/
Pertunjukan_dan_fungsinya.rtf (diunduh tanggal 30 Oktober 2014).

24

menurut Sudarsono , yaitu tari adalah ekspresi jiwa manusia yang


diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah. Menurut
Sumaryono (2006) dalam bukunya Tari Tontonan menyebutkan
bahwa tari adalah jenis seni yang terkait langsung dengan gerak
52

tubuh manusia. Tubuh menjadi alat utama dan gerak tubuh menjadi

media dasar dalam pengungkapan ekspresi.


Dalam bukunya ia juga menjelaskan bahwa ada lima aspek
yang dapat menjadi acuan dalam menilai tari, yaitu aspek gerak
tubuh, irama, tenaga, perasaan dan makna. Oleh karena itu tari
terikat oleh elemen ruang (ruang yang dibutuhkan dalam menari),
waktu (gerakan tari adalah gerakan yang berirama, yang diatur
waktunya, dan irama ini pada dasarnya adalah suatu
pengorganisasian atau penyusunan waktu), energi (pengaturan energi
seperti besar-kecilnya atau keras-lemahnya energi yang digunakan
sehingga menghasilkan dinamika gerak yang sesuai dengan maksud
dan irama), dan terakhir adalah rasa dan makna gerak (penjiwaan
yang ada dalam menari, penjiwaan ini digambarkan sebagai daya
yang kuat yang membuat gerakan itu "hidup"). Selain itu dalam
buku ini juga dijelaskan bahwa tidak semua gerakan itu disebut
gerak tari, akan tetapi gerakan yang dimaksudkan untuk menari
53

adalah yang disebut gerak tari.


Dalam pembahasan sejarah, seni pertunjukan memiliki
tempat tersendiri. Seni pertunjukan dapat dijadikan sebagai bahan
kajian sejarah. Sejarah seni pertunjukan tidak hanya membahas
mengenai bentuk dari seni pertunjukan itu saja, seperti komposisi

Dikutip dari makalah Makalah Wells (2000) Tarian Tradisional Dalam


Masyarakat Jawa dan Bali. p. 10, diunduh dari google dengan alamat :
www.acicis.murdoch. edu.au/../wells.pdf (diunduh tanggal 15 November 2014).

dalam seni ataupun pemaknaan dari seni tersebut. Sejarah seni


pertunjukan membahas mengenai perubahan-perubahan yang terjadi
dalam seni tersebut, baik itu perubahan bentuk maupun perubahan

53

Ibid., p. 12.

makna dan fungsinya. Sejarah seni pertunjukan juga dapat


membahas seni dalam konteks sosialnya, dapat juga dari konteks
ekonominya. Jadi sejarah tidak hanya melihat seni pertunjukan
sebagai seni saja melainkan juga melihatnya dalam konteks sosial,
seperti bagaimana seni pertunjukan berdampak dalam lingkup sosial
masyarakat, atau bagaimana seni pertunjukan diposisikan dalam
lingkup sosial (masyarakat). Penelitian ini merupakan bagian dari
kajian sejarah seni pertunjukan.
1.8.2 Tari Komunal
Menurut I Wayan Dibia (2006) dalam bukunya Tari Komunal
mengartikan tari komunal sebagai suatu peristiwa pertunjukan tari
yang melibatkan masyarakat yang besar.25 Terdapat prinsip yang

25

mendasari pelaksanaan tari komunal, yakni semangat kebersamaan,


rasa persaudaraan dan solidaritas terhadap kepentingan bersama.
Adapun beberapa ciri yang menandakan bahwa ini adalah tari
komunal, yakni diadakan untuk kepentingan komunitas (yang
menjadi landasan ciri ini adalah tujuan tari komunal, yakni untuk
memenuhi kebutuhan komunitas, baik dalam tatanan yang bersifat
spiritual, sosial, maupun kultural). 26

I Wayan Dibia, op.cit., p. 1.


26

Kedua adalah melibatkan sistem sosial yang telah ada. Dalam


pelaksanaannya tari komunal selalu melibatkan komponenkomponen sosial yang telah ada, seperti tetua adat, tokoh agama,

Ibid., p. 54.

perangkat Desa, dan seniman. Keterlibatan komponen masyarakat ini


sudah diatur sedemikian rupa sebagai kebiasaan yang sudah
disepakati bersama. Ketiga adalah pengabdian sosial dan lingkungan.
Partisipasi masyarakat dalam pertunjukan tari komunal dianggap
sebagai sebuah sumbangan atau pengabdian terhadap komunitas
sosial dan lingkungannya. Keempat adalah ditarikan oleh satu atau
banyak orang.
Tari komunal dapat ditarikan oleh orang banyak dan dapat
juga ditarikan oleh satu orang sebagai penari tunggal. Kelima adalah
dilaksanakan secara spontan atau terencana. Tari komunal ini bisa
diselenggarakan dengan struktur yang jelas (tarian formal) dan
menari yang tidak memiliki bentuk yang baku (tarian informal).
Terakhir keenam menampilkan rasa solidaritas dan keakraban.
Suasana yang terlihat dalam tari komunal adalah suasana
kebersamaan dan keakraban, cenderung homogen dan adanya
ekspresi solidaritas sosial yang kental. 56 Dalam tari komunal terdapat
partisipasi dari para penonton yang memiliki perbedaan latar
belakang, budaya, etnis dan status sosial. Sehingga terjadi interaksi
yang mencirikan suatu kebersamaan.
Tari komunal ini bisa berfungsi sebagai ritual atau upacara,
budaya, dan hiburan. Jadi dapat diartikan bahwa tari komunal
sebagai sebuah kesenian yang dimiliki orang banyak atau

56

Ibid., p. 63.

masyarakat, yang di dalamnya terdapat aktivitas yang melibatkan


instrumen atau struktur sosial kemasyarakatan, baik atas dasar
kepentingan bersama dalam komunitas maupun kepentingan
individual. Kesenian Gandrung yang terdapat di daerah Banyuwangi
juga menjadi bagian dari tari Komunal, karena memiliki prinsipprinsip dan keenam ciri tersebut.
1.8.3

Tari Kreasi Baru

Tari kreasi baru dapat diartikan sebagai sebuah tarian baru yang
tetap bernuansa tradisi kedaerahan dan didasarkan atas kebutuhan57

kebutuhan baru. Istilah tari kreasi baru ini mulai terkenal pada
tahun 1960an yang menjadi pertanda munculnya tari-tari baru yang
masih tetap bersumber pada tari-tari tradisi. Hal yang paling
mendasar dalam tari kreasi baru adalah konsep penyajiannya.
Konsep penyajian tarian ini didasarkan pada ide dan gagasan dari
pengatur pertunjukan atau koreografernya. Tari kreasi baru dapat
terbagi dalam dua jenis, yaitu tari-tarian kreasi baru yang
menonjolkan elemen-elemen seni tradisi lokal, dan yang kedua tari
kreasi baru yang dihasilkan melalui percampuran dengan unsurunsur seni daerah lain.
1.8.4

Kesenian Gandrung

Kesenian Gandrung adalah tari asli masyarakat Banyuwangi. Dalam


pagelaran kesenian Gandrung terbagi menjadi lima fase yakni

57

Suamryono, op.cit., p. 127.

topengan, jejer Gandrung, ngrepen atau repenan, paju atau maju


Gandrung, dan Seblang-Seblangan. Kesenian Gandrung
dipertunjukan pada malam hari mulai pukul 21.00 sampai pukul
58

04.00 pagi. Akan tetapi semenjak tahun 1980an kesenian


Gandrung lebih banyak dipertunjukan dengan penyajian baru yang
biasanya hanya berdurasi 60 menit atau 90 menit. Kesenian
Gandrung memiliki unsur-unsur yang mencirikannya sebagai
kesenian Gandrung, yang dapat dilihat dari segi busana, musik
pengiring dan gending-gendingnya (lagu-lagu). Busana Gandrung
terdiri dari Omprog, Basahan yang terdiri dari Kemben, Kelat bahu,
Ilat-ilat, Pending, Gelang dan Cincin, Sembong, Oncer, Sempur,
Kain panjang, kipas, dan kaos kaki warna putih. Peralatan yang
menjadi musik pengiringnya seperti Biola atau Baolah, kethuk,
Gong, dan Kluncing (besi yang berbentuk segitiga). Gendinggending yang dinyanyikan sangat banyak jumlahnya, seperti Podo
Nonton, Ayun-ayun, Dang Cap go mek, Kembang Piring, Sekar
Jenang, dan Gebyar-gebyur.
1.9 Metode Penelitian dan Sumber

Metode penelitian dan sumber ini terdiri dari empat tahapan, yakni
heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi atau penulisan. Tahap
pencarian data (heuristik) terdiri dalam beberapa teknik, yakni sebagai
berikut.

58

Dariharto, op.cit., p. 16.

1.9.1

Studi Pustaka

Studi pustaka adalah langkah pencarian data yang relevan melalui


buku-buku, artikel, penelitian sebelumnya atau pustaka-pustaka
yang lain yang sesuai dengan masalah penelitian. Studi ini
dilakukan di perpustakaan, arsip daerah ataupun dari artikel di
media masa.
1.9.2

Observasi

Observasi ini dilakukan dengan terjun langsung dilapangan atau di


masyarakat. Hal ini bertujuan untuk melihat keadaan lapangan dan
objek penelitian dan mencari info. Hal ini tentu saja bermanfaat
untuk langkah selanjutnya. Teknik ini digunakan untuk mecari
gambaran umum tentang tema yang digunakan.
1.9.3

Wawancara

Wawancara ini berupa percakapan langsung dengan para informan


yang telah ditunjuk guna mencari data yang sesuai dengan
permasalahan penelitian. Hal ini sangat mendukung dalam
pencarian data, mengingat tema yang dipakai oleh peneliti sangat
sedikit sumber yang tertulis. Sehingga untuk mencari data dapat
menggunakan wawancara. Selain itu dengan wawancara data yang
diperoleh akan lebih spesifik atau terperinci. Dalam wawancara
penulis menggunakan key informan. Key informan dalam
penelitian ini adalah Bapak Abdullah Fauzi. Key Informan ini
merupakan penggiat kesenian Banyuwangi, selain itu juga

termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dinas Kebudayaan dan


Pariwisata Banyuwangi. Dari sinilah nantinya peneliti akan
mencari informan-informan yang lain sesuai arahan atau masukan
dari key informan, seperti para pelaku kesenian Gandrung,
Budayawan dan juga tokoh-tokoh masyarakat yang berkaitan.
1.9.4 Dokumentasi
Dokumentasi ini dilakukan dengan cara pegambilan gambargambar sesuai dengan objek penelitian dan juga keadaan pada saat
penelitian. Langkah ini bermanfaat karena bisa menjadi sumber
dari keadaan daripada objek penelitian, baik itu keadaan saat ini
maupun gambar-gambar dulu yang diambil kembali untuk
dijadikan sumber. Teknik ini akan menguatkan atau mendukung
penjelasan-penjelasan yang dijelaskan oleh sumber-sumber
sebelumnya.
Setelah melewati tahapan ini dilanjutkan dengan tahapan kritik.
Kritik sumber ini digunakan untuk membuktikan keotentikan atau
keasliannya sumber yang didapatkan serta menguji atau mengkarifikasi
apakah sumber yang didapatkan sesuai dengan tema yang diteliti. Kritik
ini akan berguna untuk membuat tulisan sejarah yang kredibel atau bisa
dipertanggungjawabkan.
Setelah itu tahapan selanjutnya adalah interpretasi atau penafsiran.
Tahapan ini dilakukan dengan cara menafsirkan kembali data-data yang
ditemukan dilapangan. Interpretasi ini berguna untuk mengetahui isi

ataupun makna-makna yang tersirat dari sumber yang ditemukan, serta


berguna untuk menghubungkan fakta-fakta yang sudah ditemukan
dilapangan. Seperti misalnya SK Bupati Banyuwangi tahun 31 Desember
2002 Nomor 173 Tahun 2002 tentang penetapan Gandrung sebagai
maskot pariwisata Banyuwangi dapat pula diartikan atau memiliki makna
bahwa pada tahun 2002 sudah ada upaya atau campur tangan dari
pemerintah dalam pelestarian tari Gandrung. Penetapan ini yang kemudian
dibarengi dengan pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah dan
menjadi salah satu indikator berkembangnya tari Gandrung.
Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah di Kabupaten
Banyuwangi. Tidak secara keseluruhan, tetapi di beberapa tempat yang
dirasa sesuai dengan tema, yakni seperti di Desa Olesari, Cungking,
Bakungan dan di Desa Kemiren. Alasan pemilihan tempat ini karena di
desa-desa tersebut Tari Gandrung diciptakan. Serta pada desa-desa
tersebut kesenian ini masih bertahan dan sering dipertunjukkan.
1.10 Sistematika Penulisan

Penulisan dari hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab,
yakni sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi sejarah
yang digunakan, kerangka teori dan konsep, metode penelitian dan
sumber, lokasi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II. Berisi gambaran umum daerah Banyuwangi. Gambaran umum ini
dilihat dari segi geografis dan demografis Banyuwangi. Geografis ini
berisi tentang keadaan alam, batas-batas daerah dan iklim di Banyuwangi.
Demografi berisi tentang keadaan masyarakat Banyuwangi yang dapat
terbagi dari jumlah penduduknya, etnisnya, budayanya, mata
pencahariannya, kondisi sosial ekonominya, kepercayaannya serta
kekhususannya.
Bab III berisi tentang sejarah awal dari kesenian Gandrung Banyuwangi
serta penjelasan secara detail dari pagelaran kesenian Gandrung.
Bab IV berisi tentang kehidupan kesenian Gandrung dalam hubungannya
dengan keadaan disekitarnya pada tahun 1950 sampai 2013, serta dampakdampak yang ditimbulkannya.
Bab V Simpulan, berisi tentang simpulan yang dapat diambil dari
penjelasan kehidupan kesenian Gandrung di Banyuwangi yang dijelaskan
dalam Bab I sampai bab IV.
2
Dikutip dari makalah H Aprilia Noor "Permainan Kesenian Musik
Tradisional", p.7, diunduh dari google dengan alamat : eprints.uny.ac.id/8148/3/ BAB
207208241025.pdf (diunduh pada tanggal 1 Novermber 2014).

Sumaryono, et al., Tari Tontonan, (Jakarta : Lembaga Pendidikan Seni


Nusantara, 2006), pp. 6-7.
7
Ibid., p. 442.

Julius Pour, Gerakan 30 September : Pelaku, Pahlawan dan Petualang,


(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), p. 11.

12

Helene Bouvier, Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan Dalam Masyarakat


Madura, (Bogor : Percetakan Grafika Mardi Yuana, 2002), p. 134.
13
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2004, (Jakarta : Serambi
Ilmu Semesta, 2007), p. 569.

17

Petik laut adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat pesisir


Banyuwangi
(Muncar) untuk memohon anugrah dari Tuhan agar hasil laut melimpah dan
dijauhkan
dari malapetaka selama melaut. Ritual ini dilaksanakan pada awal bulan Muharam
(bulan
Islam) atau bulan Suro (bulan Jawa). Dalam ritualnya penduduk akan melarung sesaji
dengan perahu ke laut, dan sebelumnya sudah diadakan pengajian dan khataman AlQuran. Tomi Latu Farisa "Ritual Petik Laut Dalam Arus Perubahan Sosial Di Desa
Kedungrejo, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur". Skripsi tidak diterbitkan,
(Yogyakarta :
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Yogyakarta), pp. 1-2.
18
Dikutip dari makalah Rebecca Wells (2000) Tarian Tradisional Dalam
Masyarakat Jawa dan Bali. p. 11, diunduh dari google dengan alamat :
www.acicis.murdoch. edu.au/../wells.pdf (diunduh tanggal 15 November 2014).

20

Ujang Herman, "Gandrung : Kesenian Rakyat Di Kabupaten Banyuwangi


(1895 - 1974)", Skripsi tidak diterbitkan. (Denpasar : Fakultas Sastra, 1995), pp. 3536.
21
Umar Kayam. Seni, Tradisi, Masyarakat, (Jakarta : Sinar Harapan, 1981), p.
22
Sumaryono, op.cit., p. 18.

23

Keadaan tidak kondusif ini diakibatkan oleh peristiwa penangkapan


senimanseniman yang dianggap bagian dari Lekra.
24
Wawancara dengan Abdullah Fauzi pada 13 November 2014 di Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata, Jalan Ahmad Yani No.76, Penganjuran-Banyuwangi.
25
Wawancara dengan Prama pada 18 November 2014 di Kantor Dewan
Kesenian Blambangan, Jalan Diponegoro, Kepatihan-Banyuwangi.

27

Pada tahun 1960-1970 biaya untuk mengundang satu rombongan


Gandrung
sekitar Rp. 10.000 - 30.000. Pada saat itu beras 1 Kg masih seharga Rp. 40 - 50.
Ujang
Herman, "Gandrung : Kesenian Rakyat Di Kabupaten Banyuwangi (1895 - 1974)",
Skripsi tidak diterbitkan. (Denpasar : Fakultas Sastra, 1995), pp. 35-36.
28
Dariharto, op.cit., p. 36.
29
Pada tahun 2000-an terjadi protes yang dilakukan oleh kaum agamawan
terhadap pemerintah. Kebanyakan mereka adalah dari pondok pesantren, seperti dari
daerah Genteng dan Cluring. Wawancara dengan Prama tanggal 18 November 2014
di
Kantor Dewan Kesenian Blambangan, Jl. Diponegoro, Kepatihan-Banyuwangi.

31

Sri Suci Dewi Wulandari, Sejarah dan Budaya Banyuwangi : Sejumlah


Tulisan dan Catatan, (Banyuwangi : Pusat Studi Budaya Banyuwangi, 2011), p. 51.
32
Ibid., pp. 51-52.

33

Ibid., p. 48.

35

Dikutip dari jurnal Novie Anoegrajekti (2011) " Gandrung Banyuwangi :


Kontestasi dan Representasi Identitas Using", p. 32, diunduh dari google dengan alamat :
http://jurnal.ugm.ac.id/index.php/jurnal-humaniora/article/view/1007/836
(diunduh
tanggal 7 November 2014).

Ibid., pp. 33-35.


Ibid., pp. 47-48.
39
Ibid., p. 66.
37
38

47

Makalah Izzam Izzul Islamy dengan Judul "Madzhab Tafsir Perspektif


Post-Strukturalisme", p. 103, diunduh dengan alamat : eprints.walisongo.
ac.id/271/4/074211004_Bab3.pdf (diunduh pada tanggal 28 Januari 2015).

48

Dikutip dari Blog Teaching of History dengan alamat :


teachingofhistory.blogspot.com/2012/05/teori-dekonstruksi-derrida.html (diunduh
pada
tanggal 28 Januari 2015).

52

Sumaryono, op.cit., p. 2.

Anda mungkin juga menyukai