Gandrung
Gandrung
PENDAHULUAN
Seni merupakan salah satu karya cipta manusia yang memiliki berbagai
macam bentuk, yang sudah diciptakan sejak zaman purbakala. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "seni" adalah keahlian membuat karya yang
bermutu.1 Menurut Sudarsono seni merupakan segala macam keindahan yang
diciptakan oleh manusia, dan seni tersebut telah menyatu dalam kehidupan sehari-
"3
hari setiap manusia, baik bagi dirinya sendiri maupun dalam bermasyarakat.
Menurut Sumarjo seni merupakan ungkapan perasaan yang dituangkan dalam
media yang dapat dilihat, didengar, maupun dilihat dan didengar. Dengan kata
lain, seni adalah isi jiwa seniman (pelaku seni) yang terdiri dari perasaan dan
intuisinya, pikiran dan gagasannya.
Jika melihat pengertian di atas, seni dapat diartikan sebagai segala sesuatu
yang diciptakan manusia sebagai hasil dari isi jiwanya (perasaan, intuisi, pikiran
dan gagasan), yang dituangkan dalam media yang dapat dilihat, didengar maupun
dilihat dan didengar, dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari setiap manusia.
Seni yang berwujud atau yang dapat dilihat selain penciptanya baik secara kasat
mata maupun tidak disebut dengan karya seni. Karya seni yang dianggap paling
awal adalah cap-cap telapak tangan di dinding goa yang biasanya berwarna
merah, hitam, atau putih. Kemudian seiring dengan zaman dan kekompleksitasan
hidup manusia maka seni pun ikut berkembang. Segala hal yang berkaitan dengan
seni disebut dengan kesenian. Kesenian memiliki arti yang lebih luas bila
dibandingkan dengan seni. Menurut KBBI "kesenian" berarti perihal seni. Perihal
seni yang dimaksud di sini adalah unsur di luar seni itu sendiri, misalnya sejarah
perkembangannya. Seperti contoh perkembangan kesenian Gandrung yang
dij elaskan dari masa ke masa.
Kesenian ini sangat terpengaruh oleh keadaan sosial, budaya, ekonomi
dimana karya seni itu diciptakan.2 Hal ini dikarenakan kesenian diciptakan oleh
2
Ini sesuai dengan pernyataan Umar Kayam yang menyatakan bahwa kesenian
tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat, kesenian menjadi ungkapan kreativitas dari
kebudayaan dan masyarakat itu sendiri. (Jakarta : Sinar Harapan, 1981), p. 38.
"3
jiwa manusia yang terbagi dalam perasaan, pikiran ataupun intuisi, yang mana
proses pengolahan ini sangat terpengaruh oleh alam kejiwaan manusia itu sendiri.
Alam kejiwaan manusia sangat terpengaruh oleh keadaan dimana manusia atau
pencipta seni itu berada. Oleh sebab itu keadaan-keadaan tadi menjadi faktorfaktor atau setidaknya memiliki andil yang cukup besar dalam penciptaan
kesenian. Misalnya keadaan sosial dan ekonomi yang dirasa penuh ketimpangan
seperti keadaan anak-anak jalanan atau pengamen-pengamen akan menciptakan
seni yang sifatnya lebih kritis, penolakan, dan protes terhadap keadaan sosial.
Kesenian ini terbagi dalam beberapa bentuk sesuai dengan bentuk-bentuk dalam
seni, yaitu seni pertunjukan, seni rupa dan seni sastra.
Sebagai bagian dari kesenian, seni pertunjukan juga memiliki sifat yang
sama, yaitu mudah terpengaruh oleh keadaan di sekitarnya. Dalam seni
pertunjukan terdapat interaksi-interaksi yang lebih dari model seni yang lain,
seperti misalnya seni rupa ataupun seni sastra. Interaksi ini dalam bentuk interaksi
antara pelaku seni dengan penonton maupun antara penonton dengan penonton,
yang mana hal ini memungkinkan terjadi hubungan yang lebih dari sekedar
mempertunjukkan tarian ataupun menikmati pertunjukan tari. Seperti contoh
selama pertunjukan seni terdapat hubungan atau interaksi antar penonton, yang
mana penonton tersebut terdiri dari banyak golongan, baik dari aspek ekonomi,
sosial, budaya, etnis bahkan agama, sehingga dalam proses pertunjukan interaksi
yang terjadi juga bisa mengenai aspek-aspek tersebut. Oleh sebab itu, seni
pertunjukan dianggap juga sebagai media ungkap rasa, nilai, dan suasana batin,
sehingga yang merasa terwadahi ungkapannya tidak hanya seorang penari atau
pelaku seni melainkan juga semua pihak yang berpartisipasi. 3 Salah satu contoh
seni pertunjukan adalah seni tari, baik tari tradisional maupun tari modern.
3
I Wayan Dibia, et al., Tari Komunal, (Jakarta : Lembaga Pendidikan Seni
Nusantara, 2006), p. 239.
Jenifer Lindsay dan Maya H.T. Liem, Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi
Indonesia 1950-1965, (Denpasar : Pustaka Larasan, 2011), p. 222.
tidak jarang tergabung dalam organisasi politik saat itu, misalnya Lesbumi yang
dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU), Lekra yang dekat dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI), ataupun LKN yang dekat dengan Partai Nasional Indonesia
(PNI). Organisasi inilah yang sering mengundang para seniman untuk menggelar
pertunjukan, yang tentunya untuk keperluan kelompoknya.
Kesenian terkena dampak ketika terjadi peristiwa tahun 1965 yang dikenal
dengan peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S). Pada waktu itu banyak
kesenian yang mulai mati, karena jarang dipertunjukkan. Hal ini sebagai sebab
dari usaha pemerintah yang berkuasa pada saat itu di Indonesia untuk
memberantas golongan Partai Komunis Indonesia (PKI) terkait peristiwa G 30 S.
Keadaan politik pada waktu itu memang menempatkan PKI pada posisi yang
tertindas atau dianggap sebagai sesuatu yang harus dimusnahkan dan ditertibkan
atau musuh pemerintahan. Hal ini dikarenakan saat itu PKI dianggap sebagai
pelaku atau "dalang" dari peristiwa tersebut.
Salah satu yang menjadi target adalah Lekra (Lembaga Kebudayaan
o
Rakyat). Pada saat itu Lekra dianggap sebagai bagian dari PKI. Padahal
kebanyakan kesenian rakyat banyak yang tergabung dalam Lekra. Keadaan inilah
yang membuat kesenian mulai "mati", karena memang segala sesuatu yang
berhubungan dengan PKI juga ikut ditertibkan. 5 Seperti contoh kesenian angklung
Hal ini diakhiri dengan pelarangan terhadap PKI dan Lekra yang didasarkan
pada TAP MPRS.25/1966 pada tanggal 12 Maret 1966. Lihat Jenifer Lindsay dan
Maya
H.T. Liem "Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 1950-1965", (Denpasar :
Pustaka Larasan, 2011), p. 536.
ini. Program pengiriman penari keluar negeri juga sempat terganggu, misalnya
karena hubungan dengan Cina (RRC). Pada saat itu terjadi pemutusan poros
1
0
Indonesia. Pada saat itu juga terjadi penarikan duta besar Cina di Indonesia, duta
besar Indonesia untuk Beijing pun diperintahkan pulang, meskipun pada akhirnya
diberikan suaka oleh Cina bagi mereka yuang tidak ingin pulang ke Indonesia.
Setelah peristiwa itu seni pertunjukan juga masih mengalami perubahan.
Pada masa pemerintahan Soeharto kesenian kerap digunakan sebagai alat
tudingan dari masyarakat sekitar yang bisa membahayakan mereka. Wawancara
dengan
Abdullah Fauzi (Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bagian Kebudayaan dan
Penggiat Kesenian Banyuwangi) pada 13 November 2014 di Kantor Dinas
Kebudayaan
dan Pariwisata, Jalan Ahmad Yani No.76, Penganjuran-Banyuwangi.
1
1
1
2
Selain itu kesenian juga dijadikan sebagai bagian industri pariwisata yang
mana pada waktu itu memang menjadi program pemerintah untuk meningkatkan
devisa Negara. Perubahan ini pun berlanjut terus menerus pada masa-masa
selanjutnya yang mana disebabkan oleh keadaan-keadaan sosial, budaya,
ekonomi, dan politik, seperto krisis moneter dan kebebasan pada masa reformasi
padatahun 1998.
1
3
Kebanyakan perubahan ini memang terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah,
karena selain sangat dekat dengan pusat pemerintahan, keduanya memiliki warisan
budaya yang lebih kaya dari daerah-daerah lainnya. Hal ini bisa dilihat ketika kita
berbicara tentang budaya atau kesenian Jawa maka yang menjadi rujukan adalah
daerah
Surakarta dan Yogyakarta, selain itu kekayaan budaya yang mampu mengimbangi
budaya
Jawa di pulau Jawa adalah budaya Sunda, dan itu terdapat di daerah-daerah Jawa
Barat.
1
4
10
1
5
17
11
1
6
kedua pendapat ini menjadi satu paham ketika masa-masa berkuasanya Belanda,
yaitu untuk keperluan hiburan dan perjuangan.
Kesenian Gandrung dalam penampilannya memiliki lima tahapan yakni
Topengan (tari yang dilakukan sebelum pagelaran), Jejer Gandrung (tari
pembuka), Ngrepen atau Repenan (penari Gandrung turun dari panggung atau
keluar panggung dan menuju ke penonton untuk menyanyikan lagu atau gendhing
sesuai permintaan), Paju atau Maju Gandrung (penari Gandrung menari dengan
penonton) dan terakhir Seblang-Seblangan (tari penutup yang diiringi dengan
pantun-pantun oleh Gedhog atau pemimpin pertunjukan).
Pertunjukan kesenian Gandrung awalnya dimulai dari pukul 21.00 sampai
04.00 atau sebelum subuh akan tetapi kemudian berubah menjadi siang hari atau
sore hari, perubahan ini dilakukan sesuai permintaan dari pengundang. Kesenian
Gandrung awalnya juga ditarikan oleh laki-laki, baru kemudian pada tahun 1895
juga digunakan untuk mengumpulkan sisa-sisa pasukan yang sudah tercerai berai di
hutan-hutan. Puputan sendiri berarti perang habis-habisan, sampai titik darah
penghabisan.
1
7
menjadi penari Gandrung adalah Semi. Perubahan ini diakibatkan oleh adanya
penari Gandrung yang memiliki kebiasaan buruk (menyukai sesama jenis), dan
adanya penolakan dari kaum agamawan terhadap pemeranan perempuan oleh lakilaki. Sebagai bagian dari kesenian, kesenian Gandrung juga memiliki sifat yang
sama dengan kesenian yaitu tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat.
Masyarakat pendukung kesenian ini akan menciptakan, memelihara, menularkan
1
8
moto yang terkenal, yang sering didengungkan oleh pemerintah, yaitu "Seni untuk
22
seni No, Seni untuk revolusi Yes!!". Dari moto ini bisa digambarkan bahwa
usaha pemerintah untuk menguatkan rasa nasionalisme kebangsaan ini masuk
dalam berbagai macam bidang selain bidang politik.
Sama seperti kesenian di Indonesia secara umum, kesenian Gandrung juga
terkena dampak dari adanya peristiwa G 30 S. Kesenian Gandrung bersama
kesenian-kesenian di Banyuwangi mengalami kevakuman. Hal ini disebabkan
oleh keadaan politik dan sosial di masyarakat pada saat itu tidak kondusif, yang
23
akhirnya membuat mereka tidak bisa menggelar pertunjukan. Keadaan ini juga
ada kaitannya dengan bergabungnya kesenian-kesenian itu dalam Lekra. Selain
tidak bisa menggelar pertunjukan para seniman pada waktu itu juga tidak berani
mengaku kalau dirinya seniman atau setidaknya bisa berkesenian. Hal ini
dikarenakan itu sangat berbahaya untuk mereka, mengingat saat itu banyak
24
seniman yang langsung ditangkap atau ditahan tanpa ada proses peradilan.
Keadaan-keadaan yang seperti inilah yang membuat kesenian Gandrung
mengalami kevakuman meskipun tidak mati. Barulah ditahun 1973-an kesenian
25
1
9
12
2
0
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal saat itu untuk keperluan seharihari sangatlah sulit. Memasuki masa reformasi keadaan berangsur-angsur
membaik seiring dengan keadaan ekonomi yang semakin membaik. Kesenian
Gandrung kembali sering ditampilkan, sering dijadikan sebagai tari sambutan
pada acara-acara penyambutan. Bahkan tanggal 31 Desember 2002 kesenian
Gandrung dijadikan sebagai ikon pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Hal ini
berdasarkan pada Surat Keputusan Bupati Banyuwangi tanggal 31 Desember 2002
Nomor 173 tahun 2002. Setelah adanya surat keputusan ini pemerintah
melanjutkan dengan pelatihan-pelatihan Gandrung tiap tahunnya. Peserta-peserta
dari pelatihan ini yang nantinya menjadi penari Gandrung, meskipun tidak
semuanya. Sekolah-sekolah banyak mengajarkan kesenian Gandrung melalui
kegiatan ekstrakurikuler, dan ketika acara di sekolah para siswa yang mengikuti
kegiatan ini sering ditampilkan dalam acara sambutan.
Keadaan ini membantu kesenian Gandrung semakin berkembang. Akan
tetapi selama terjadi perkembangan itu, kesenian Gandrung sempat terpengaruh
dengan adanya protes-protes dari kaum agamawan yang dalam hal ini adalah
golongan Islam. Kaum agamawan menolak kesenian Gandrung karena
29
2
1
mengenai tarian dan pakaian penarinya. Pakaiannya yang sangat ketat sehingga
membentuk lekuk tubuh penarinya dianggap memamerkan keindahan tubuh
wanita, dan hal ini dilarang oleh agama menurut mereka. Selain itu tarian
Gandrung juga dianggap terlalu erotis. Hal ini membuat para pelaku kesenian
Gandrung harus berkompromi dan sedikit merubah penampilannya, seperti waktu
pertunjukan yang dibuat lebih singkat, dan juga pakaiannya dibuat lebih tertutup
terutama pada bagian pundak sampai lengan. Mereka biasanya menggunakan
deker, sejenis kain tipis yang warnanya mirip dengan kulit tubuh. Hal ini juga
pernah terjadi pada kesenian Madura, yaitu pada tari Retep yang berubah karena
tuntutan keadaan sosial yang didasarkan pada aspek agama dan ekonomi atau
hiburan.13
13
2
2
Ini bukan pertama kalinya kesenian Gandrung mendapat kritik dari kaum
agamawan, sebelumnya kesenian Gandrung juga pernah mendapat kritik yang
akhirnya ikut menjadi faktor dalam penggantian penari Gandrung laki-laki
31
2
3
mendapat perlakuan negatif oleh para penonton. Padahal di sisi lain kesenian
Gandrung adalah kebanggan masyarakat Banyuwangi dan penyelamat budaya
Osing diantara maraknya budaya-budaya dari luar Banyuwangi. 14 Anggapan ini
14
2
4
tidak terlepas dari adanya kritik dari kaum agamawan dan juga karena dalam
pertunjukannya selalu dekat dengan kegiatan meminum minuman keras dan
mabuk-mabukan. Selain itu kesenian Gandrung juga dianggap sebagai
35
Osing atau Using adalah etnis asli Banyuwangi. Mereka dianggap sebagai
orang asli Banyuwangi sebelum masuknya para pendatang yang dibawa oleh Belanda
setelah Perang Puputan Bayu tahun 1771.
2
5
ekonomi, dan aspek etnis dan religius. 15 Hal ini menjadi bukti tentang besarnya
peran kesenian Gandrung dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi.
Batasan tahun yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 1950
sampai dengan 2013. Tahun 1950 digunakan sebagai tahun awal untuk penelitian
ini karena dianggap pada tahun ini untuk pertama kalinya Indonesia berada pada
kondisi yang kondusif atau tenang setelah kemerdekaan yang hanya dirasa
15
2
6
sebentar karena adanya agresi militer Belanda tahun 1946 - 1949. Selain itu juga
penjelasan kesenian Gandrung pada tahun ini bisa dijadikan sebagai bahan
perbandingan untuk tahun 1965, mengingat peristiwa G 30 S yang terjadi di tahun
itu memberikan dampak yang sangat besar terhadap perjalanan kesenian
Gandrung, sedangkan tahun 2013 dipilih sebagai batasan akhir tahun penelitian
karena ditahun tersebut perkembangan dalam kesenian Gandrung sangat besar
bersamaan dengan perkembangan pariwisata di Banyuwangi yang sudah dimulai
dari tahun 2010-an, selain itu tahun 2013 dianggap pencarian data atau sumbersumbernya lebih mudah. Aktivitas kesenian Gandrung pun sudah dapat
terdokumentasikan secara menyeluruh, mengingat tahun penelitian ini adalah
tahun 2015.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam pelaksanaan penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai
yaitu :
1.3.1
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam
2
7
tentang kehidupan kesenian Gandrung pada tahun 1950 sampai 2013, serta
dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa tentang
kesenian Gandrung.
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Untuk memahami sejarah dari kesenian Gandrung di
Kabupaten Banyuwangi
2
8
Manfaat Teoritis
Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti
1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam halhal yang berkaitan dengan kesenian Gandrung di Kota
Banyuwangi.
2
9
3
0
awalnya adalah laki-laki, penari laki-laki yang sangat terkenal saat itu
adalah Marsan, bahkan pada saat itu Marsan berhasil menguasai atau
37
oleh perempuan, yaitu seperti tembang berbahasa Melayu, Jawa dan Bali.
Perubahan dalam hal instrumennya terlihat dari penambahan biola sebagai
alat musik pengiring. Penambahan pemberian sampur oleh penari
Gandrung kepada para undangan merupakan salah satu perubahan dalam
hal atraksi Gandrung yang dimulai pada tahun 1972.
Dampak yang dijelaskan dalam skripsi ini terbagi dalam tiga
kelompok, yaitu dampak dalam bidang sosial budaya, sosial ekonomi, dan
pertumbuhan pariwisata. Contohnya adalah Gandrung menjadi sumber
39
inspirasi bagi kesenian-kesenian daerah lainnya. Selain itu tembangtembang dalam Gandrung menjadi inspirasi kesenian Angklung. Dalam
bidang sosial ekonomi Gandrung menjadi sumber penghasilan dari para
pelakunya. Dalam sekali pertunjukan biasanya mereka mendapat upah
yang nantinya dibagi dengan seluruh anggota rombongan. Dalam bidang
pariwisata Gandrung menjadi bagian dari pengembangan pariwisata yang
3
1
16
3
2
Skripsi ini dapat menjadi bahan pustaka dalam penelitian. Hal ini
dikarenakan terdapat beberapa kesamaan, yakni sama-sama membahas
kesenian Gandrung dengan tinjauan sejarah, serta melihat dampak-dampak
yang ditimbulkannya. Akan tetapi terdapat perbedaan dari skripsi ini
dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu pertama dalam hal skup
temporalnya (penelitian ini menggunakan skup temporal antara tahun 1950
sampai 2013 sedangkan skripsi ini menggunakan skup temporal 1895
sampai 1974). Kedua dalam kajiannya, dalam skripsi ini yang menjadi
pembahasan hanyalah perubahan dari kesenian Gandrung itu sendiri
seperti dari tembang, syair dan instrumennya dengan sedikit menjelaskan
alasan mengenai perubahan tersebut. Dalam penelitian ini yang menjadi
pembahasan adalah hubungan antara kesenian Gandrung dengan keadaankeadaan yang ada disekitarnya, seperti keadaan sosial, budaya, ekonomi
dan politik, yang mana didalamnya terdapat dampat-dampak yang
ditimbulkan dari hubungan ini. Perbedaan yang paling terlihat adalah
penelitian ini membahas mengenai hubungan Gandrung dengan keadaanpolitik yang
terbagi dalam kurun waktu tersebut, sedangkan skripsi ini
tidak membahas mengenai hal ini.
Dariharto (2009) Kesenian Gandrung Banyuwangi. Dalam buku ini
dibahas mengenai sejarah awal atau asal usul kesenian Gandrung,
dilanjutkan dengan peranan Gandrung dalam masyarakat Banyuwangi,
Gandrung dilihat dari beberapa aspek, serta bentuk pagelaran kesenian
Gandrung. Dalam bukunya Dariharto menyebutkan bahwa kesenian
Gandrung sudah ada sejak tahun 1880an, akan tetapi ia menyebutkan
3
3
17
Dariharto, op.cit., p. 5.
3
4
42
3
5
42
Ibid., p. 35.
3
6
18
3
7
Seblang-Seblangan.
Topengan adalah pertunjukan pra Gandrung, Jejer Gandrung
adalah tarian pembuka yang berfungsi sebagai pertanda bahwa kegiatan
pagelaran kesenian Gandrung sudah dimulai. Ngrepen atau Repenan
adalah fase dimana penari Gandrung turun dari panggung atau
menghampiri para tamu dan menyanyikan lagu-lagu permintaan para tamu
tersebut. Paju atau Maju Gandrung adalah fase dimana penari Gandrung
menari bersama dengan penonton. Seblang-Seblangan adalah fase penutup
yang berisi tarian-tarian yang mirip tari Seblang dan diiringi oleh pantunpantun oleh pemimpin pertunjukan.
Rebecca Wells (2000) Tarian Tradisional dalam Masyarakat Jawa
dan Bali. Dalam penelitian ini ada beberapa hal penting yang dikaji, yaitu
seperti mengenai masih relevan kah tarian tradisional, apakah tarian
tradisional masih dihargai oleh masyarakat Jawa dan Bali, perubahan
tarian yang diakibatkan oleh modernisasi, sikap masyarakat terhadap tarian
tradisional dan juga pengaruh kehadiran turisme terhadap tarian
19
tradisional.
Penelitian ini bisa dijadikan bahan pustaka atau rujukan sekaligus
perbandingan untuk penelitian yang peneliti teliti. Kesenian Gandrung
juga merupakan tarian tradisional, dan apabila dilihat dari segi
geografisnya kedua tarian ini adalah bagian dari tarian tradisional Jawa,
meskipun kemungkinan kata Jawa dalam penelitian Rebecca mengacu
pada suku Jawa. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh peneliti juga
mengenai kehidupan tari. Jadi penelitian yang dilakukan Rebecca masih
relevan dengan penelitian ini. Akan tetapi perbedaannya penelitian ini
mengambil tempat hanya di Kabupaten Banyuwangi dan dengan skup
waktunya yakni dari tahun 1950-2013. Dengan skup waktu tersebut
penelitian ini lebih mengacu pada jejak perkembangan dan kehidupan
kesenian pada masa itu.
1.6 Metodologi
21
Ida Bagus Sidemen "Lima Masalah Pokok Dalam Teori Sejarah", dalam
Majalah Widya Pustaka. No 2. (Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana,1991),
dilihat dan didengar.22 Dengan kata lain, seni adalah isi jiwa seniman
(pelaku seni) yang terdiri dari perasaan dan intuisinya, pikiran dan
gagasannya. Seni dapat dibagi menjadi dua, yaitu seni rupa dan seni
pertunjukan. Menurut Murgiyanto (1996), Seni pertunjukan berarti
"tontonan yang bernilai seni," yang disajikan sebagai pertunjukan di
22
depan penonton.23
23
24
tubuh manusia. Tubuh menjadi alat utama dan gerak tubuh menjadi
53
Ibid., p. 12.
25
Ibid., p. 54.
56
Ibid., p. 63.
Tari kreasi baru dapat diartikan sebagai sebuah tarian baru yang
tetap bernuansa tradisi kedaerahan dan didasarkan atas kebutuhan57
kebutuhan baru. Istilah tari kreasi baru ini mulai terkenal pada
tahun 1960an yang menjadi pertanda munculnya tari-tari baru yang
masih tetap bersumber pada tari-tari tradisi. Hal yang paling
mendasar dalam tari kreasi baru adalah konsep penyajiannya.
Konsep penyajian tarian ini didasarkan pada ide dan gagasan dari
pengatur pertunjukan atau koreografernya. Tari kreasi baru dapat
terbagi dalam dua jenis, yaitu tari-tarian kreasi baru yang
menonjolkan elemen-elemen seni tradisi lokal, dan yang kedua tari
kreasi baru yang dihasilkan melalui percampuran dengan unsurunsur seni daerah lain.
1.8.4
Kesenian Gandrung
57
Metode penelitian dan sumber ini terdiri dari empat tahapan, yakni
heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi atau penulisan. Tahap
pencarian data (heuristik) terdiri dalam beberapa teknik, yakni sebagai
berikut.
58
1.9.1
Studi Pustaka
Observasi
Wawancara
Penulisan dari hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab,
yakni sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi sejarah
yang digunakan, kerangka teori dan konsep, metode penelitian dan
sumber, lokasi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II. Berisi gambaran umum daerah Banyuwangi. Gambaran umum ini
dilihat dari segi geografis dan demografis Banyuwangi. Geografis ini
berisi tentang keadaan alam, batas-batas daerah dan iklim di Banyuwangi.
Demografi berisi tentang keadaan masyarakat Banyuwangi yang dapat
terbagi dari jumlah penduduknya, etnisnya, budayanya, mata
pencahariannya, kondisi sosial ekonominya, kepercayaannya serta
kekhususannya.
Bab III berisi tentang sejarah awal dari kesenian Gandrung Banyuwangi
serta penjelasan secara detail dari pagelaran kesenian Gandrung.
Bab IV berisi tentang kehidupan kesenian Gandrung dalam hubungannya
dengan keadaan disekitarnya pada tahun 1950 sampai 2013, serta dampakdampak yang ditimbulkannya.
Bab V Simpulan, berisi tentang simpulan yang dapat diambil dari
penjelasan kehidupan kesenian Gandrung di Banyuwangi yang dijelaskan
dalam Bab I sampai bab IV.
2
Dikutip dari makalah H Aprilia Noor "Permainan Kesenian Musik
Tradisional", p.7, diunduh dari google dengan alamat : eprints.uny.ac.id/8148/3/ BAB
207208241025.pdf (diunduh pada tanggal 1 Novermber 2014).
12
17
20
23
27
31
33
Ibid., p. 48.
35
47
48
52
Sumaryono, op.cit., p. 2.