Anda di halaman 1dari 33

FOCUS GROUP DISCUSSION

TINGGINYA PREVALNCE TB

Disusun oleh:
KELOMPOK C01:
1 Roslintia Az-Zahra
2 Deo Apringga Ayu n
3 Ida Bagus Agung B
4 Putri Ummi Hanisah
5 Ni Nyoman Trianggastuti
6 Mirna Fauziah Laily
7 Desak Gede Candra H
8 Virsa Varisa Febriyanti
9 I Gede Rama Suarnanda
10 Vannisa Kurnia Angelina
11 Faishal Nur Fianto
12 I kadek Mande Dwiky
13 Anak Agung Gede Rama D
14 I Putu Yogie Mahendra P
Pembimbing Tutor

15700081
15700083
15700085
15700087
15700089
15700091
15700093
15700095
15700097
15700099
15700101
15700103
15700105
15700107
: dr.Gembong, M.kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
TAHUN 2015/2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat-Nya
kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Penyakit Kusta ". Penulisan
laporan ini merupakan salah satu tugas untuk menjabarkan hasil diskusi yang telah dilakukan
sebelumnya.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun telah mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu sudah selayaknya penyusun mengucapkan terima kasih kepada
dr.Gembong, M.kes yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan perhatian.
Juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan dan tidak sempat penyusun sebutkan satu per satu.
Kami berharap semoga dengan disusunnya makalah ini dapat memberikan
pengetahuan bagi para pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 09 Juni 2016

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN.........................................................................................................

KATA PENGANTAR

ii

DAFTAR ISI ..

iii

BAB I. PENDAHULUAN...........................

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................

2.1 ANALISA.........................................................................................................

2.2 TUBERKULOSIS............................................................................................

2.2.1 Definisi TB...............................................................................................

2.2.2 Gejala dan cara penularan TB...................................................................

2.2.3 Faktor resiko TB.......................................................................................

2.2.4 Pencegahan TB......................................................................................... 12


2.2.5 Program penanggulangan TB................................................................... 14
BAB III RENCANA PROGRAM....................................................................................

17

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN............

25

DAFTAR PUSTAKA.....

26

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga
dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia.
Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia.
Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%,
Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus
tuberkulosis.
Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun 2009 angka
kejadian TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa) dan
meningkat terus secara perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat seiring didapati
peningkatan per kapita. Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta
sampai 16 juta). Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan, dari peringkat ke
tiga menjadi peringkat ke lima di dunia, namun hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di
Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di Indonesia.
Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan
estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB
diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus resistensi merupakan tantangan
baru dalam program penanggulangan TB. Pencegahan meningkatnya kasus TB yang
resistensi obat menjadi prioritas penting.

Laporan WHO tahun 2007 menyatakan persentase resistensi primer di seluruh dunia
telah terjadi poliresistensi 17,0%, monoresistensi terdapat 10,3%, dan Tuberculosis Multidrug Resistant (TB-MDR) sebesar 2,9 %. Sedangkan di Indonesia resistensi primer
jenis MDR terjadi sebesar 2%.
Kontak penularan M. tuberculosis yang telah mengalami resistensi obat akan
menciptakan kasus baru penderita TB yang resistensi primer, pada akhirnya mengarah pada
kasus multi-drug resistance (MDR). Ketika dilaporkan adanya beberapa kasus resistensi obat
TB di beberapa wilayah di dunia hingga tahun 1990-an, masalah resistensi ini belum
dipandang sebagai masalah yang utama. Penyebaran TB-MDR telah meningkat oleh karena
lemahnya program pengendalian TB, kurangnya sumber dana dan isolasi yang tidak adekuat,
tindakan pemakaian ventilasi dan keterlambatan dalam menegakkan diagnosis suatu TBMDR.
Pada tahun 2005 penelitian di Makasar yang dilakukan Nikmawati dan kawan-kawan
mendapatkan hasil kultur sputum yang diduga tuberkulosis dari 236 sampel. Didapatkan 70
sampel (30%) terjadi pertumbuhan pada kultur, dan 166 (70%) sampel tidak terdapat
pertumbuhan. Dimana hasil uji sensitivitas terhadap obat anti tuberkulosis menunjukkan
persentase TB-MDR lebih tinggi dari pada yang sensitif terhadap OAT. Presentase yang
resisten terhadap INH dan Rifampisin sebanyak 40 (57,1%), resisten terhadap INH,
Rifampisin dan Etambutol sebanyak 25 (35,7%), resisten terhadap INH, Rifampisin dan
Streptomisin sebanyak 28 (40%) dan resisten terhadap keempat OAT (INH, Rifampisin,
Etambutol dan Streptomisin) sebanyak 20 (28,6%). Sedangkan hasil penelitian uji sensitivitas
yang dilakukan oleh Departemen Mikrobiologi FKUI tahun 2003 dengan persentase kasus
TB-MDR sebanyak 5,7% dan juga hasil penelitian TB-MDR di Bulgaria pada tahun 1989
sampai 2003 yang mendapatkan persentase TB-MDR sebanyak 5,1%.

Sebuah studi di Pakistan pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Javaid dan kawankawan mendapatkan prevalensi kasus resistensi primer pada satu atau lebih dari satu obat
antituberkulosis adalah sebesar 11,3 %. Sedangkan resistensi terhadap Streptomisin (S) di
peroleh sebesar 5,4 %, isoniazid (INH) 7,6 %, Rifampisin (R) 2,2%, Etambutol (E) sebesar
1,8 % dan Pirazinamid (Z) sebesar 3,3 %. Resistensi terhadap satu jenis OAT sebesar 6,8 %,
terhadap dua jenis obat 1,5%, Terhadap tiga jenis OAT sebesar 1,8 %, empat macam OAT
sebesar (0,9 %), dan sebesar 0,3% resistensi terjadi pada kelima OAT.
Rao dan kawan-kawan di Karachi-Pakistan pada tahun 2008, melakukan penelitian
resistensi primer pada penderita tuberkulosis paru kasus baru. Didapatkan dengan hasil pola
resisten sebagai berikut: resistensi terhadap Streptomisin sebanyak 13 orang (26%), Isoniazid
8 orang (16%), Etambutol 8 orang (16%), Rifampisin 4 orang (8%) dan Pirazinamid 1
(0,2%). Sedangkan di Indonesia TB-MDR telah diperoleh sebanyak 2 orang (0,4%) pasien.
Penelitian resistensi primer oleh Namaei dkk di Iran pada tahun 2005, meneliti dari
105 isolat yang diperiksa, 93 berasal dari spesimen paru, selebihnya ekstra paru. Dijumpai
BTA positif dengan pewarnaan langsung 79,6% spesimen paru dan 50% spesimen ektra paru.
Setelah dilakukan pemeriksaan kultur dan uji resistensi didapatkan resistensi primer pada satu
obat sebesar 29,5%, resisten primer lebih dari satu obat sebesar 2,9%, sedangkan MDR
primer didapatkan sebesar 1%.
Angka resistensi/TB-MDR paru dipengaruhi oleh kinerja program penanggulangan
TBC paru di kabupaten setempat/kota setempat terutama ketepatan diagnosis mikroskopik
untuk menetapkan kasus dengan BTA (+), dan penanganan kasus termasuk peran Pengawas
Menelan Obat (PMO) yang dapat berpengaruh pada tingkat kepatuhan penderita untuk
minum obat. Faktor lain yang mempengaruhi

angka resistensi/ MDR adalah ketersediaan OAT yang cukup dan berkualitas ataupun adanya
OAT yang digunakan untuk terapi selain TBC.
Penelitian TB-MDR di kota Surakarta oleh Nugroho pada tahun 2003 didapatkan
prevalensi TB-MDR primer sebesar 1,6 %, sedangkan TB-MDR sekunder 4,19 %. Risiko
relatif untuk terjadinya TB-MDR pada penderita DM sebesar 37,9 kali dibandingkan dengan
bukan penderita DM dan ketidakpatuhan berobat sebelumnya menyebabkan risiko relatif
sebesar 15,5 kali dibandingkan yang patuh.
Resistensi ganda merupakan hambatan dan menjadi masalah yang paling besar
terhadap program pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Angka kesembuhanpada
pengobatan TB-MDR relatif lebih rendah, disamping itu lebih sulit, mahal dan lebih banyak
efek samping yang akan ditimbulkannya. Masalah lain, penyebaran resistensi obat di
berbagai negara sering tidak diketahui serta penatalaksanaan penderita TB-MDR tidak
adekuat.
Semakin jelas bahwa kasus resistensi merupakan masalah besar dalam pengobatan
pada masa sekarang ini. WHO memperkirakan terdapat 50 juta orang di dunia yang telah
terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap OAT dan dijumpai
273.000 (3,1%) dari 8,7 juta TB kasus baru pada tahun 2000.

I.2 Rumusan Masalah


Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan masalah sebagai berikut :
1.

Apa faktor yang menyebabkan tingginya angka TB di puskesmas Sukamandi?

2.

Bagaimana cara menurunkan prevalensi TB di Kecamatan Sukamandi?

I.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan tingginya angka TB di Puskesmas
Sukamandi dan mengetahui cara menurunkan prevalensi TB di Kecamatan
Sukamandi.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui penyebab kurangnya penyuluhan TB
b. Mengetahui peranan rendahnya PMO pada prevalensi TB
c. Mengetahui peranan kondisi lingkungan pada prevalensi TB
d. Mengetahui peranan kondisi kepadatan hunian pada prevalensi TB
e. Mengetahui peranan kondisi sosial ekonomi pada prevalensi TB
f. Mengetahui prioritas dalam menurunkan prevalensi TB

BAB II

ANALISA DATA
2.1 Analisa
Skenario
Dokter dari Puskesmas Sukamandi ingin melaksanakan program menekan
tingginya prevalensi diwilayahnya. Prevalensi Tb di daerahnya termasuk tertinggi di
Kabupaten. Angka prevalensi Kecamatan Sukamandi 455/100.000 penduduk
sedangkan angka prevalensi Kecamatan kesuluruhan sekitar 385/100.000 penduduk.
Dokter Puskesmas tersebut ingin membuat program yang mungkin dapat
menurunkan angka prevalensi dengan menggunakan beberapa faktor risiko terjadinya
tingginya angka prevalensi Tb tersebut. Dalam analisi odds ratio dari penelitian yang
dilakukan terlihat sebagai berikut :
Faktor risiko
1. Kurangnya penyuluhan
2.
3.
4.
5.

Tb
Rendahnya PMO
Kondisi lingkungan
Kepadatan hunian
Rendahnya pengertian

PHBS
6. Rendahnya pendidikan
7. Kodisi sosial ekonomi

Odds ratio
2

Keterangan
OR>1

9
5
6
0,2

OR>1
OR>1
OR>1
OR<1

1
4

OR=1
OR>1

Dari data pada skenario diatas dapat dianalisis permasalahan sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tingginya prevalensi TB di Kecamatan Sukamndi


Kurangnya penyuluhan TB
Rendahnya peran PMO
Kondisi lingkungan yang buruk
Kepadatan hunian
Kondisi sosial ekonomi menengah kebawah
Faktor tersebut menjadi faktor risiko tingginya prevalensi TB di Kecamatan

Sukamandi karena bernilai odds ratio >1. Sedangkan rendahnya tingkat pendidikan bukan
menjadi faktor risiko dikarenakan odds = 1, dan rendahnya pemahaman PHBS menjadi
faktor protektif dikarenakan odds ratio <1.
Rendahnya pemahaman tentang PHBS merupakan faktor protektif karena pemahaman
masyarakat hanya sebagian kecil dan tidak menyeluruh. Ada beberapa indikator dalam

PHBS, namun yang berkaitan dengan TB hanya sebagian kecil saja. Diperkirakan yang
dikuasai oleh masyarakat tidak berkaitan dengan TB.
Berdasarkan analisis kelompok kami priorotas masalah yang diangkat adalah
menekan prevalensi TB dan meningkatkan motivasi PMO di Kecamatan Sukamndi dan
dapat disimpulkan faktor risiko yang terusun dalam inventarisasi masalah adalah sebagai
faktor penyebab dan tingginya prevalensi TB sebagai faktor akibat. Setelah mengetahui
prioritas masalah dan penyebab tingginya prevalensi TB, maka kepala Puskesmas harus
membuat program penurunan prevalensi TB dan memotivasi PMO. PMO di data agar
dapat diketahui berapa besar minat warga untuk ikut berperan dalam berpartisipasi
sebagai PMO.
Penyebab menurunnya peranan PMO dikarenakan faktor berikut, yaitu :
a.
b.
c.
d.

Tingkat pengetahuan kader dan petugas tentang tugas dan fungsi PMO
Motivasi PMO menurun dikarenakan tidak adanya reward, misalnya tidak digaji
Sarana transportasi tidak menujang untuk kerumahpasien TB yang jauh
Pelaporan kurang memadai, biarpun pasien rajin minum obat namun PMO jarang
melaporkan maka perhitungan tempo waktu jangka sembuh pasien di puskesmas
menjadi rancu.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor tinggi prevalensi TB yaitu kurangnya

peranan PMO. Peranan PMO cenderung menurun, dikarenakan kurangnya motivasi


dan pengetahuan tentang penyakit TB, maka membutuhkan peranan dokter dan dinas
kesehatan.
1

Learning Objective
1 Mengetahui Defenisi Tuberkulosis
2 Mengetahui Epidemologis penyakit TB
3 Mengetahui penyebab, penularan, pengobatan, serta rehabilitasi TB
4 Memahami pencegahan penyakit TB
5 Memahami teknik pengobatan TB
6 Membuat diagram ikan dalam penyelesaian permasalahan Tb
7 Membuat rencana kegiatan program promkes terkait
TINJAUAN PUSTAKA
1
Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru (Brunner & Suddarth, 2002). Tuberkulosis adalah suatu
penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh

pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini


bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain (Santa,
dkk, 2009).
Menurut Depkes (2007) Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung
yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar
kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
2

Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab dari TB paru. kuman ini
bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang memiliki
konsentrasi tinggi seperti paru-paru. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut
sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai beberapa jam di tempat yang gelap
dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tertidur lama) selama
beberapa tahun (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002).

Epidemiologi
WHO menyatakan bahwa dari sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga
penduduk dunia ini telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis. Pada tahun 1993
WHO juga menyatakan bahwa TB sebagai reemerging disease. Angka penderita
TB paru di negara berkembang cukup tinggi, di Asia jumlah penderita TB paru
berkisar 110 orang penderita baru per 100.000 penduduk.
Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa
angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk.
Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3
wilayah, yaitu: 1. wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000
penduduk, 2. wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000
penduduk, 3. wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per
100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB
adalah 68 per 100.000 penduduk. Berdasar pada hasil survey prevalensi tahun
2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap
tahunnya.

2.2.4 Patofisiologi

Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan
tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman
TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag
yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.
Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap

tuberculin,

mengalami

perkembangan

sensitivitas.

Pada

saat

terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.


Hal

tersebut

ditandai

oleh

terbentuknya

hipersensitivitas

terhadap

tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama


masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,

imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap
hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat
terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan
ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi
komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama
masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi
adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic
spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan

mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut,
kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya. Di dalam koloni yang
sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler,
kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung
berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi.
Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun tahun
kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami
reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB
tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita. Tuberkulosis milier
merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah
kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran
lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara
patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara
histologi merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang
terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila
suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga
sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit
TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang. Pada anak, 5 tahun
pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi
komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu

penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak


0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB,
hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional)
dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik
sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik
biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami
resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada
remaja dan dewasa muda. Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30%
anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang
terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun
kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.
2.2.5

Gejala dan cara penularan TB


Gejala-gejala TB Paru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga,
batuk bercampur darah, sesak napas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan
berkurang, berat badan turun, rasa kurang enak badan (lemas), demam meriang
berkepanjangan, berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan kegiatan.
(Kementrian Kesehatan RI, 2010)
Penularan TB Paru Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA
positif. Penularan terjadi pada waktu penderita TB paru batuk atau bersin,
penderita menyebarkan kuman bakteri ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu
kamar selama beberapa jam, orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup
kedalam pernapasan. Setelah kuman TB paru masuk kebagian tubuh lainnya
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau

2.2.6

penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2002).


Faktor Risiko TB
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru Teori John
Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh
tiga faktor yaitu agent, pejamu (host), dan lingkungan (environment) ( Soemirat,
2010).

1. Agent

Agent adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Agent
dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu yang abstrak, suasana
sosial, yang dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan penyebab
utama/esensial dalam terjadinya penyakit ( Soemirat, 2010).

Agent yang

mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium


tuberculosis.
2. Host
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan
arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam. Manusia
merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium tuberculosis, kuman
tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat
menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002).
Host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah manusia. Beberapa faktor host yang
mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah :
a. Jenis kelamin Beberapa penelitian menunjukan bahwa laki-laki sering terkena
TB paru dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki memiliki
aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga kemungkinan
terpapar lebih besar pada laki-laki (dalam Sitepu, 2009).
b. Umur Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia
produktif yaitu 15-50 tahun (Kementrian Kesehatan RI,2010). Karena Pada
usia produktif selalu dibarengi dengan aktivitas yang meningkat sehingga
banyak berinteraksi dengan kegiatan kegiatan yang banyak pengaruh terhadap
resiko tertular penyakit TB paru.
c. Kondisi sosial ekonomi WHO 2003 menyebutkan 90% penderita tuberkulosis
paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin
(dalam Fatimah,2008). Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya
kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan
berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan
menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena
infeksi TB Paru.
d. Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalan alamiah dan buatan.
Kekebalan

alamiah

didapatkan

apabila

seseorang

pernah

menderita

tuberkulosis paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan


kekebalan buatan diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillis

Calmette Guerin). Tetapi bila kekebalan tubuh lemah maka kuman


tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan penyakit tuberkulosis paru
( dalam Fatimah, 2008)
e. Status gizi Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup
akan berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap
infeksi kuman tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka
akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan
kalori dan protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko
tuberkulosis paru (dalam Sitepu, 2009).
3. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar dari host, baik benda tidak
hidup, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat
interaksi semua elemen-elemen tersebut, termasuk host yang lain (Soemirat,
2010). Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam penularan, terutama
lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan
salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan
penghuninya.
Kondisi Fisik Rumah Rumah sehat menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2005), merupakan bangunan tempat tinggal yang memenuhi syarat
kesehatan yaitu rumah yang memiliki jamban yang sehat, sarana air bersih, tempat
pembuangan sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi yang baik,
kepadatan hunian rumah yang sesuai dan lantai rumah yang tidak terbuat dari
tanah. Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia. Bagi
sebagian besar masyarakat, rumah merupakan tempat berkumpul bagi semua
anggota keluarga dan menghabiskan sebagian besar waktunya. Namun, yang perlu
diingat kondisi kesehatan perumahan juga sangat berperan sebagai media
penularan penyakit diantara anggota keluarga atau tetangga sekitarnya (Winarsih,
2007).
Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari rendahnya taraf kesehatan
jasmani dan rohani yang memudahkan terjangkitnya penyakit dan mengurangi
daya kerja atau daya produktif seseorang. Rumah tidak sehat ini dapat menjadi
reservoir bagi seluruh lingkungan. Timbulnya permasalahn kesehatan di
lingkungan pemukiman pada dasarnya disebabkan karena tingkat kemampuan

ekonomi masyarakat yang rendah, karena rumah dibangun berdasarkan


kemampuan keuangan penghuninya.
Adapun syarat-syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis yang
berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru antara lain :
a.Ventilasi
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan
dan menyehatkan manusia (Dalam Tobing, 2009). Jendela dan lubang ventilasi
selain sebagai tempat keluar masuknya udara juga sebagai lubang pencahayaan
dari luar, menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Rumah sehat
harus memiliki ventilasi atau lubang udara. Ventilasi berfungsi untuk menjaga
aliran udara didalam rumah tetap lancar sehingga rumah tidak pengap,
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah juga tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen didalam rumah yang
berarti karbon dioksida yang bersifat racun dapat meningkat (Winarsih,2007).
Ventilasi juga berfungsi untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri
terutama bakteri pathogen misalnya bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri
yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
b. Kelembaban Rumah
Kelembaban merupakan

sarana

yang

baik

untuk

pertumbuhan

mikroorganisme, termasuk kuman tuberkulosis sehingga viabilitas lebih lama


(Dalam Sitepu, 2009). Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah
denganmenggunakan hygrometer. Kelembaban udara dalam rumah minimal 40%
70. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan
berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat.
Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada
orang-orang tertentu dapat menimbulkan alergi (Depkes,2007).
Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan
mempermudah berkembang biaknya mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut
dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara , selain itu kelembaban yang tinggi
dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang
efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang meningkat
merupakan media yang baik untuk kuman-kuman termasuk kuman tuberkulosis.
c. Pencahayaan
Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga sangat baik bagi
kesehatan karena dapat membunuh bibit penyakit seperti kuman TB

(Winarsih,2007). Depkes RI,1994 mengemukakan bahwa : Sinar matahari dapat


dimanfaatkan

untuk

pencegahan

penyakit

tuberkulosis

paru,

dengan

mengusahakan masuknya sinar matahari pagi ke dalam rumah. Cahaya matahari


masuk ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca. Diutamakan sinar
matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman
(dalam Fatimah, 2008). Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang
buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis.
d. Kepadatan Penghuni Rumah
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian
untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m per orang. Luas minimum
per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang
tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 9 m/orang. Untuk kamar tidur
diperlukan minimum3 m per orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni >2 orang,
kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun ( Suryo, 2010).
Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis
sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya. Ukuran luas ruangan suatu
rumah erat kaitannya dengan kejadian tuberkulosis paru. Disamping itu Asosiasi
Pencegahan Tuberkulosis Paru Bradbury mendapat kesimpulan secara statistik
bahwa kejadian tuberkulosis paru paling besar diakibatkan oleh keadaan rumah
yang tidak memenuhi syarat pada luas ruangannya (dalam Fatimah, 2008).
Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula udara di dalam
rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena jumlah penghuni yang semakin
banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam ruangan tersebut, begitu
juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan meningkatnya kadar CO2 di udara
dalam rumah, maka akan memberi kesempatan tumbuh dan berkembang biak
lebih bagi kuman Mycobacterium tuberculosis. Dengan demikian akan semakin
banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah melalui saluran pernafasan.
e. Lantai rumah
Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan
perkembangbiakan kuman dan vektor penyakit, menjadikan udara dalam ruangan
lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan
debu yang berbahaya bagi penghuninya. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari
bahan yang kedap terhadap air seperti tegel, semen atau keramik. Secara hipotesis

jenis lantai rumah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis, melalui
kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban,
dengan demikian viabilitas kuman tuberkulosis di lingkungan juga sangat
dipengaruhi.
2.2.7

Pencegahan TB
Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru Mencegah lebih baik dari pada
mengobati, kata-kata itu selalu menjadi acuan dalam penanggulangan penyakit TB
Paru di masyarakat.

Dalam buku Kementrian Kesehatan RI, 2010 upaya pencegahan yang harus
dilakukan adalah:
1. Minum obat TB secara lengkap dan teratur sampai sembuh
2. Pasien TB harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena pada
saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar melalui percikan
dahak. Kuman TB yang keluar bersama percikan dahak yang dikeluarkan pasien
TB saat :
a. Bicara : 0-200 kuman, b. Batuk : 0-3500 kuman, c. Bersin : 4500-1.000.000
kuman
3. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat
khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah/kaleng tertutup yang
sudah diberi karbol/antiseptik atau pasir. Kemudian timbunlah kedalam tanah.
4. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), antara lain :
a. Menjemur peralatan tidur.
b. Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk.
c. Aliran udara (ventilasi) yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah
kuman di udara. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman.
d. Makan makanan bergizi.

e. Tidak merokok dan minum-minuman keras.


f. Lakukan aktivitas fisik/olahraga secara teratur.
g. Mencuci peralatan makan dan minuman dengan air bersih mengalir dan
memakai sabun.
h. Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan memakai sabun. Tanpa
pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita Tuberkulosis Paru akan
meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan
25%

sebagai

kasus

kronik

yang

tetap

menular

(Pedoman

Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis, 2011).

2.2.8

Program penanggulangan TB
Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Untuk dapat
memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, puskesmas menjalankan
beberapa program pokok salah satunya adalah program pemberantasan
penyakit menular (P2M) seperti program penanggulangan TB Paru yang
dilakukan dengan strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan. Pada tahun
1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS
dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi
DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK (Unit Pelayanan
Kesehatan) terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan
kesehatan dasar (Muninjaya, 2004; Depkes, 2007).
Strategi DOTS . Fokus utama DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse) adalah penemuan dan penyembuhan penderita,
prioritas diberikan kepada penderita TB tipe menular. Strategi ini akan
memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di
masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara
terbaik

dalam

upaya

pencegahan

penularan

TB.

WHO

telah

merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB


sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu
intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan

kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes,


2007). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:
a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.
b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan
tepat waktu dengan mutu terjamin.
e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.

Pengawas Minum Obat (PMO) Salah satu komponen DOTS adalah


pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
PMO. Untuk menjamin kesembuhan dan keteraturan pengobatan diperlukan
seorang PMO. Persyaratan untuk menjadi PMO yaitu seseorang yang dikenal,
dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain
itu harus disegani dan dihormati oleh penderita, seseorang yang tinggal dekat
dengan penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela dan bersedia
dilatih atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita. Sebaiknya
PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya,
Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan
yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota
PPTI, PKK, atau anggota keluarga.
Seorang PMO mempunyai tugas untuk mengawasi penderita TB agar
menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan
kepada penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk
periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan, memberi penyuluhan
pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala
mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan
Kesehatan, dan tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban

penderita mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan


harus memberikan informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk
disampaikan kepada penderita dan keluarganya bahwa TB disebabkan kuman
bukan penyakit keturunan atau kutukan, TB dapat disembuhkan dengan
berobat teratur, cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya, cara pemberian pengobatan penderit, pentingnya pengawasan
supaya penderita berobat secara teratur, kemungkinan terjadinya efek samping
obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK (Depkes, 2007).
Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan
dengan

cara

menyebarkan

pesan,

menanamkan

keyakinan

sehingga

masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan
melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan.
Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah
rangkaian dari rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsif-prinsif belajar
untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat
secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan
meningkatkan kesehatan (Depkes RI, 2002;Effendy, 1998).
Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru banyak
berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan
penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta
masyarakat dalam penanggulangan TB Paru. Penyuluhan TB Paru dapat
dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun
menggunakan media. Penyuluhan langsung dapat dilakukan dengan
perorangan atau kelompok. Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan
media seperti: bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, sedangkan
bentuk media massa dapat berupa koran, majalah, radio dan televisi.
Dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung
perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan
penderita. Penyuluhan langsung perorangan dapat dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan, para kader dan PMO. Pada kunjungan pertama ada beberapa
informasi penting tentang TB Paru yang dapat disampaikan pada penderita,
antara lain: pengertian atau arti TB Paru, penyebab TB Paru, cara penularan

TB Paru dan resiko penularan TB Paru, riwayat pengobatan sebelumnya, cara


pengobatan TB Paru, pentingnya pengawasan menelan obat. Sedangkan pada
kunjungan berikutnya informasi yang dapat disampaikan adalah cara menelan
obat, jumlah obat dan frekuensi menelan obat, efek samping dari OAT,
pentingnya jadwal pemeriksaan ulang dahak, apa yang dapat terjadi bila
pengobatan tidak teratur atau tidak lengkap.
Penyuluhan ini selain ditujukan kepada penderita, tetapi juga
disampaikan kepada keluarganya. Tujuannya supaya penderita menjalani
pengobatan secara teratur sampai sembuh dan bagi anggota keluarga yang
sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga
terhindar dari penularan TB Paru. Penyuluhan dengan menggunakan bahan
cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang
lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru sebagai
suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan, menjadi suatu
penyakit yang berbahaya tapi dapat disembuhkan. Bila penyuluhan ini
berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif (Depkes RI,
2002).
2.3 KASUS DAN ALTERNATIF CAUSA

2.4 Analisa Fishbone


Fish bone

Proses

Masukan

Penyuluhan

Peran dokter dan dinkes

Pelayanan kesehatan

Kepatuhan pasien

Rendahnya pengertian PHBS

Rendahnya pendidikan
Tingginya
prevalensi TB

Rendahnya PMO
Rendahnya sosial ekonomi

Kepadatan hunian

Kondisi Lingkungan

Lingkungan

Jelaskan FISH BONE ini


2.5 Pembahasan

BAB III
RENCANA PROGRAM

Tabel Scoring Pioritas Pemecahan Masalah

No

Kegiatan

efektivitas

Efisiensi

Hasil

1. Penyuluhan TB

M
4

I
3

V
4

C
3

16

2. Pembentukan

20

TIM PMO
3. Peningkatan

12

kesehatan
4. Promosi

kesehatan
5. Kerja bakti

mutu pelayanan

Keterangan :
P : Prioritas jalan keluar
M : Magnitude, besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi ini
dilaksanakan ( turunnya prevelensi dan besarnya masalah lain)

I : Implementasi, kelanggengan selesainya masalah


V : Vulnerability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C : Cost, biaya yang diperlukan
Jadi dapat disimpulkan urutan prioritas, yaitu :
Penyuluhan TB
Pembentukan TIM PMO
Peningkatan mutu pelayanan kesehatan
Promosi kesehatan
N Kegiatan

Sasaran

Target

Volume

Rincian

Lokasi

Kegiata

Kegiatan

pelaksanaa Pelaksan

han

pelaksa

Balai desa

Dokter

Januari,

naan
Pembic

n
1 Penyuluhan
TB

Warga desa
di

Tenaga

Jadwal

Kebutu

Meningkat 4 bulan

Pencega

kan

han

dan

Mei,

ara,

sekali

Kecamatan

pengetahu

Bahaya

petugas

Septemb

materi,

sukamandi

an tentang

pengoba

kesehata

er

konsum

TB

tan

n PKM

si,sewa
lokasi
Tenaga

2 Pembentuka Keluarga

Meningkat Setiap

Mengaja

Rumah

Keluarga

kan

ada

k dan

warga,

pasien

kesehat

TB dan

kualitas

pasien

monitori

khususnya

dan

an dan

tenaga

PMO

baru

ng

pasien TB

tenaga

dana

n TIM PMO penderita

kesehatan

keluarga
pasien,
kegiatan
PMO,
dan
evaluasi
hasil
kegiatan
PMO

medis

Relatif

3 Peningkatan Tenaga

Meningkat 6 bulan

Pelatihan
tenaga

medis,

kesehat

Relatif

Tenaga

mutu

medis,

kan

pelayanan

pelayanan

kinerja

medis,

dokter,

an dan

kesehatan

fasilitas

tenaga

monitori

manajem

dana

kesehatan

medis,

ng

en

kualitas

fasilitas

puskesm

pelayanan

kesehata

as

kesehatan

Warga desa

Meningkat 1 kali

Memberi

di Kec.

kan

kan

kesehata

kesehat

Sukamandi

pengetahu

pengetah

n dan

an,

an tentang

uan

puskesm

dana,

PHBS

tentang

as

poster,

4 Promosi
kesehatan

per kali

Puskesmas Tenaga

Balai desa

Tenaga

1 kali

PHBS

Tenaga

masker

dan
pencegah
an
penulara
n TB,
serta
mudahny
akses ke
puskesm
as
5 Kerja bakti

Lingkungan

Meningkat 1

terdekat
Gotong

sekitar

kan

royong,

tempat

warga

hari

kebersi

tempat

kebersihan per kali

dan

tinggal

secara

Minggu

han,

tinggal

lingkunga

menyedi

penduduk

bergantia

dana,

n rumah

akan

alat

dan

fasilitas

pembua

sekitarnya

untuk

ngan

minggu

Di sekitar

Seluruh

Setiap

Alat

kebersih
an
lingkung
an

1. Penyuluhan TB
Penyuluhan ini ditujukan untuk semua warga desa yang berada di Kecamatan
Sukamandi karena tingginya prevalensi TB pada daerah tersebut. Dengan adanya
penyuluhan, diharapkan agar bisa mengikuti penyuluhan tersebut dan menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Di mana pengetahuan mengenai pengertian, faktor
risiko, gejala-gejala, bahaya TB, pencegahan, pengobatan TB bisa diketahui oleh
warga desa. Agar upaya dalam penyuluhan TB ini dapat menurunkan tingginya
prevalensi TB di wilayah Puskesmas Sukamandi.
2. Pembentukan Tim PMO
Pembentukan TimPMO di wilayah PKM Sukamandi ditujukan untuk keluarga
pasien TB dan tenaga medis. Dengan adanya pembentukan tim ini diharapkan
kepatuhan dalam mengonsumsi obat lebih baik dan terjadwal. Sehingga pengobatan
efektif TB selama 6 bulan dapat menurunkan prevalensi TB. Selain itu juga dilakukan
monitoring pada kegiatan PMO itu sendiri guna mengevaluasi kelancaran tim PMO
dalam melaksanakan tugasnya.
3. Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan
Peningkatan mutu pelayanan kesehatan di wilayah PKM Sukamandi ditujukan
untuk tenaga medis dan fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan dan ada pun kegiatannya yaitu pelatihan seluruh tenaga
puskesmas, peningkatan kualitas laboratorium, ketersediaan OAT bagi semua
penderita TB yang ditemukan, pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala
dan terus menerus. Dengan adanya beberapa kegiatan yang disebutkan di atas
diharapkan dapat menurunkan prevalensi TB
4. Promosi Kesehatan

sampah

Promosi kesehatan ini bertujuan untuk mengetahui PHBS (perilaku hidup


bersih dan sehat) melalui poster poster, guna keluarga dapat menolong diri sendiri di
bidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan kegiatan kesehatan masyarakat.
Selain itu juga memberikan kemudahan bagi pasien dan keluarga pasien untuk
mencegah tertularnya penyakit TB melalui pemberian masker, sehingga semua
masyarakat yang menderita TB sadar bahwa pentingnya mencegah itu lebih baik
daripada mengobati.
5. Kerja Bakti
Salah satu faktor yang meningkatkan angka prevalensi penyakit menular,
khususnya TB adalah lingkungan tempat tinggal dan lingkungan sekitar yang kotor
dan padat. Penyebab penyakit TB ini adalah bakteri yang dapat berkembang biak
didaerah yang kotor, padat, kurangnya pencahayaan dan ventilasi yang kurang.
Dengan adanya program kerja bakti ini dapat meningkatkan kebersihan lingkungan
dan mencegah berkembang biaknya bakteri sehingga upaya kerja bakti ini dapat
menurunkan angka prevalensi TB di daerah tersebut.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulaan
Tingginya prevalensi TB di Kecamatan Sukamndi dipengaruhi beberapa faktor
risiko yaitu kurangnya penyuluhan TB, rendahnya peran PMO, kondisi lingkungan
yang buruk, kepadatan hunian dan kondisi sosial ekonomi menengah kebawah.
Kurangnya penyuluhan TB pada masyarakat di Kecamatan Sukamandi
mengakibatkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang TB. Kondisi sosial
ekonomi yang rendah menyebabkan adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan
yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan menurun. Kondisi
lingkungan yang buruk dan kepadatan hunian dapat mempermudah proses penularan.
Faktor yang paling mempengaruhi prevalensi TB di Kecamatan Sukamandi
adalah rendahnya PMO di Kecamatan Sukamandi, karena diperlukan pengawasan
meminum obat yang dapat dilakukan oleh keluarga bila penderita merasa bosan atau
jenuh meminum obat.
Saran
1. Melakukan penyuluhan TB secara berkala di Kecamatan Sukamandi agar warga
mendapat pengetahuan yang cukup dan melakukannya dengan baik, yaitu meliputi
pengertian TB, gejala, cara penularannya, faktor risiko, bahaya, pengobatan dan
pencegahan TB.
2. Meningkatkan peran PMO untuk mengarahkan pasien agar mau mengkonsumsi
obat secara teratur sampai pengobatan selesai, menjelaskan tata cara minum obat
dan menjelaskan juga efek samping obat.
3. Meningkatkan peningkatan mutu kualitas pelayanan kesehatan baik pada
penyeddia layanan kesehatan maupun sarana dan prasarana yang menunjang
kinerja dalam pencegahan dan penanggulangan TB.
4. Mengadakan promosi kesehatan guna warga desa mengetahui kiat-kiat dalam cara
penularan, pencegahan, dan bahaya TB.
5. Menciptakan kondisi lingkungan yang sehat agar menghambat penularan TB di
lingkungan sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Crofton, A. Horne, M. Miller, F. Tuberkulosis Klinis. Jakarta : Widya
Medika; 2002.
2. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
Depkes RI; 2011. http://www.scribd.com/doc/127006223/DEPKES-RI2011- Pedoman-Penanggulangan-TB-di-Indonesia-pdf#. Diakses tanggal
10 desember 2013.

3. Widoyono. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberantasannya. Semarang: Erlangga; 2008.
4. Achmadi, UF. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta :
Universitas Indonesia (UI Press); 2008.
5. Fatimah, S. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Tb Paru Di Kabupaten Cilacap (Kecamatan Sidareja,
Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangun, Bantarsari) Tahun
2008.

Semarang.

Undip;

2008.

http://eprints.undip.ac.id/24695/1/SITI_FATIMAH.pdf. Diakses tanggal 27


Desember 2013
6. Bachtiar,I. Ibrahim, E. Ruslan. Hubungan Perilaku Dan Kondisi
Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Tb Paru Di Kota Bima Provinsi
NTB.

Makassar.

Unhas;

2012.

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/3935/Imam
%20Bac

htiar-K11108031.pdf?sequence=1.

Diakses

tanggal

27

Desember 27 2013
7. Naben, AX. Suhartono. Nurjazuli. Kebiasaan Tinggal Di Rumah Etnis
Timor Sebagai Faktor Resiko Tuberkulosis Paru. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia. Vol. 12 No. 1/April 2013. Diakses tanggal 25
Maret 2014.
8. World Healty Organization. Global tuberculosis report 2013 : WHO.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/91355/1/9789241564656_eng.
pdf. diakses tanggal 5 juni 2014
9. Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Depkes RI;
2013. http://www.kemkes.go.id. Diakses tanggal 11 Desember 2013
10. Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2013. http://www.terbitan.litbang.depkes.go.id. Diakses tanggal 7 April
2014
11 Priatin, W. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kecemasaan
Anggota Keluarga Terhadap Penularan TB Paru Di Wilayah Kerja
Puskesmas Sokaraja II Kabupaten Banyumas. http://portalgaruda.org.
Jurnal Keperawatan Soedirman Vol. 2 No. 3 November 2007. diakses
tanggal 18 Desember 2013
12. Chandra, B. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2006.
13. Musadad, A. Hubungan

Faktor

Lingkungan

Rumah

Dengan

Penularan TB Paru Kontak Serumah. http://portalgaruda.org. Jurnal

Ekologi Kesehatan Vol. 5 No. 3 Desember 2006 : 486 496. Diakses


tanggal 11 April 2014.
14. Notoatmojo, S. Prinsip -Prinsip Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
PT Rineka Cipta; 1997.
15. Notoatmojo, S. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku Kesehatan.
Jakarta : PT Rineka Cipta; 2012. 26. Kamus V2.0 : Fen_Lis Project
[computer program]. KBBI database pusat bahasa english indonesia
database : http://gkamus.sourceforge.net ; 2008
16. Wahyuni. Determinan Perilaku Masyarakat Dalam Pencegahan
Penularan Penyakit TBC Di Wilayah Kerja Puskesmas Bendosari.
www.jurnal.stikesaisyiyah.ac.id. GASTER Vol. 4 No. 1 Februari 2008 :
178 183. Diakses tanggal 12 April 2014.
17. Tobing, T. L. pengaruh perilaku penderita TB paru dan kondisi
rumah terhadap pencegahan potensi penularan TB paru pada keluarga
di

kabupaten

tapanuli

utara.

[online].

2009.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6656/1/09E01348.pdf
[diakses 25 agustus 2014]

Anda mungkin juga menyukai