TINGGINYA PREVALNCE TB
Disusun oleh:
KELOMPOK C01:
1 Roslintia Az-Zahra
2 Deo Apringga Ayu n
3 Ida Bagus Agung B
4 Putri Ummi Hanisah
5 Ni Nyoman Trianggastuti
6 Mirna Fauziah Laily
7 Desak Gede Candra H
8 Virsa Varisa Febriyanti
9 I Gede Rama Suarnanda
10 Vannisa Kurnia Angelina
11 Faishal Nur Fianto
12 I kadek Mande Dwiky
13 Anak Agung Gede Rama D
14 I Putu Yogie Mahendra P
Pembimbing Tutor
15700081
15700083
15700085
15700087
15700089
15700091
15700093
15700095
15700097
15700099
15700101
15700103
15700105
15700107
: dr.Gembong, M.kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
TAHUN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat-Nya
kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Penyakit Kusta ". Penulisan
laporan ini merupakan salah satu tugas untuk menjabarkan hasil diskusi yang telah dilakukan
sebelumnya.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun telah mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu sudah selayaknya penyusun mengucapkan terima kasih kepada
dr.Gembong, M.kes yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan perhatian.
Juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan dan tidak sempat penyusun sebutkan satu per satu.
Kami berharap semoga dengan disusunnya makalah ini dapat memberikan
pengetahuan bagi para pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN.........................................................................................................
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI ..
iii
BAB I. PENDAHULUAN...........................
2.1 ANALISA.........................................................................................................
2.2 TUBERKULOSIS............................................................................................
17
25
DAFTAR PUSTAKA.....
26
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga
dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia.
Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia.
Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%,
Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus
tuberkulosis.
Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun 2009 angka
kejadian TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa) dan
meningkat terus secara perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat seiring didapati
peningkatan per kapita. Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta
sampai 16 juta). Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan, dari peringkat ke
tiga menjadi peringkat ke lima di dunia, namun hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di
Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di Indonesia.
Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan
estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB
diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus resistensi merupakan tantangan
baru dalam program penanggulangan TB. Pencegahan meningkatnya kasus TB yang
resistensi obat menjadi prioritas penting.
Laporan WHO tahun 2007 menyatakan persentase resistensi primer di seluruh dunia
telah terjadi poliresistensi 17,0%, monoresistensi terdapat 10,3%, dan Tuberculosis Multidrug Resistant (TB-MDR) sebesar 2,9 %. Sedangkan di Indonesia resistensi primer
jenis MDR terjadi sebesar 2%.
Kontak penularan M. tuberculosis yang telah mengalami resistensi obat akan
menciptakan kasus baru penderita TB yang resistensi primer, pada akhirnya mengarah pada
kasus multi-drug resistance (MDR). Ketika dilaporkan adanya beberapa kasus resistensi obat
TB di beberapa wilayah di dunia hingga tahun 1990-an, masalah resistensi ini belum
dipandang sebagai masalah yang utama. Penyebaran TB-MDR telah meningkat oleh karena
lemahnya program pengendalian TB, kurangnya sumber dana dan isolasi yang tidak adekuat,
tindakan pemakaian ventilasi dan keterlambatan dalam menegakkan diagnosis suatu TBMDR.
Pada tahun 2005 penelitian di Makasar yang dilakukan Nikmawati dan kawan-kawan
mendapatkan hasil kultur sputum yang diduga tuberkulosis dari 236 sampel. Didapatkan 70
sampel (30%) terjadi pertumbuhan pada kultur, dan 166 (70%) sampel tidak terdapat
pertumbuhan. Dimana hasil uji sensitivitas terhadap obat anti tuberkulosis menunjukkan
persentase TB-MDR lebih tinggi dari pada yang sensitif terhadap OAT. Presentase yang
resisten terhadap INH dan Rifampisin sebanyak 40 (57,1%), resisten terhadap INH,
Rifampisin dan Etambutol sebanyak 25 (35,7%), resisten terhadap INH, Rifampisin dan
Streptomisin sebanyak 28 (40%) dan resisten terhadap keempat OAT (INH, Rifampisin,
Etambutol dan Streptomisin) sebanyak 20 (28,6%). Sedangkan hasil penelitian uji sensitivitas
yang dilakukan oleh Departemen Mikrobiologi FKUI tahun 2003 dengan persentase kasus
TB-MDR sebanyak 5,7% dan juga hasil penelitian TB-MDR di Bulgaria pada tahun 1989
sampai 2003 yang mendapatkan persentase TB-MDR sebanyak 5,1%.
Sebuah studi di Pakistan pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Javaid dan kawankawan mendapatkan prevalensi kasus resistensi primer pada satu atau lebih dari satu obat
antituberkulosis adalah sebesar 11,3 %. Sedangkan resistensi terhadap Streptomisin (S) di
peroleh sebesar 5,4 %, isoniazid (INH) 7,6 %, Rifampisin (R) 2,2%, Etambutol (E) sebesar
1,8 % dan Pirazinamid (Z) sebesar 3,3 %. Resistensi terhadap satu jenis OAT sebesar 6,8 %,
terhadap dua jenis obat 1,5%, Terhadap tiga jenis OAT sebesar 1,8 %, empat macam OAT
sebesar (0,9 %), dan sebesar 0,3% resistensi terjadi pada kelima OAT.
Rao dan kawan-kawan di Karachi-Pakistan pada tahun 2008, melakukan penelitian
resistensi primer pada penderita tuberkulosis paru kasus baru. Didapatkan dengan hasil pola
resisten sebagai berikut: resistensi terhadap Streptomisin sebanyak 13 orang (26%), Isoniazid
8 orang (16%), Etambutol 8 orang (16%), Rifampisin 4 orang (8%) dan Pirazinamid 1
(0,2%). Sedangkan di Indonesia TB-MDR telah diperoleh sebanyak 2 orang (0,4%) pasien.
Penelitian resistensi primer oleh Namaei dkk di Iran pada tahun 2005, meneliti dari
105 isolat yang diperiksa, 93 berasal dari spesimen paru, selebihnya ekstra paru. Dijumpai
BTA positif dengan pewarnaan langsung 79,6% spesimen paru dan 50% spesimen ektra paru.
Setelah dilakukan pemeriksaan kultur dan uji resistensi didapatkan resistensi primer pada satu
obat sebesar 29,5%, resisten primer lebih dari satu obat sebesar 2,9%, sedangkan MDR
primer didapatkan sebesar 1%.
Angka resistensi/TB-MDR paru dipengaruhi oleh kinerja program penanggulangan
TBC paru di kabupaten setempat/kota setempat terutama ketepatan diagnosis mikroskopik
untuk menetapkan kasus dengan BTA (+), dan penanganan kasus termasuk peran Pengawas
Menelan Obat (PMO) yang dapat berpengaruh pada tingkat kepatuhan penderita untuk
minum obat. Faktor lain yang mempengaruhi
angka resistensi/ MDR adalah ketersediaan OAT yang cukup dan berkualitas ataupun adanya
OAT yang digunakan untuk terapi selain TBC.
Penelitian TB-MDR di kota Surakarta oleh Nugroho pada tahun 2003 didapatkan
prevalensi TB-MDR primer sebesar 1,6 %, sedangkan TB-MDR sekunder 4,19 %. Risiko
relatif untuk terjadinya TB-MDR pada penderita DM sebesar 37,9 kali dibandingkan dengan
bukan penderita DM dan ketidakpatuhan berobat sebelumnya menyebabkan risiko relatif
sebesar 15,5 kali dibandingkan yang patuh.
Resistensi ganda merupakan hambatan dan menjadi masalah yang paling besar
terhadap program pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Angka kesembuhanpada
pengobatan TB-MDR relatif lebih rendah, disamping itu lebih sulit, mahal dan lebih banyak
efek samping yang akan ditimbulkannya. Masalah lain, penyebaran resistensi obat di
berbagai negara sering tidak diketahui serta penatalaksanaan penderita TB-MDR tidak
adekuat.
Semakin jelas bahwa kasus resistensi merupakan masalah besar dalam pengobatan
pada masa sekarang ini. WHO memperkirakan terdapat 50 juta orang di dunia yang telah
terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap OAT dan dijumpai
273.000 (3,1%) dari 8,7 juta TB kasus baru pada tahun 2000.
2.
I.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan tingginya angka TB di Puskesmas
Sukamandi dan mengetahui cara menurunkan prevalensi TB di Kecamatan
Sukamandi.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui penyebab kurangnya penyuluhan TB
b. Mengetahui peranan rendahnya PMO pada prevalensi TB
c. Mengetahui peranan kondisi lingkungan pada prevalensi TB
d. Mengetahui peranan kondisi kepadatan hunian pada prevalensi TB
e. Mengetahui peranan kondisi sosial ekonomi pada prevalensi TB
f. Mengetahui prioritas dalam menurunkan prevalensi TB
BAB II
ANALISA DATA
2.1 Analisa
Skenario
Dokter dari Puskesmas Sukamandi ingin melaksanakan program menekan
tingginya prevalensi diwilayahnya. Prevalensi Tb di daerahnya termasuk tertinggi di
Kabupaten. Angka prevalensi Kecamatan Sukamandi 455/100.000 penduduk
sedangkan angka prevalensi Kecamatan kesuluruhan sekitar 385/100.000 penduduk.
Dokter Puskesmas tersebut ingin membuat program yang mungkin dapat
menurunkan angka prevalensi dengan menggunakan beberapa faktor risiko terjadinya
tingginya angka prevalensi Tb tersebut. Dalam analisi odds ratio dari penelitian yang
dilakukan terlihat sebagai berikut :
Faktor risiko
1. Kurangnya penyuluhan
2.
3.
4.
5.
Tb
Rendahnya PMO
Kondisi lingkungan
Kepadatan hunian
Rendahnya pengertian
PHBS
6. Rendahnya pendidikan
7. Kodisi sosial ekonomi
Odds ratio
2
Keterangan
OR>1
9
5
6
0,2
OR>1
OR>1
OR>1
OR<1
1
4
OR=1
OR>1
Dari data pada skenario diatas dapat dianalisis permasalahan sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sukamandi karena bernilai odds ratio >1. Sedangkan rendahnya tingkat pendidikan bukan
menjadi faktor risiko dikarenakan odds = 1, dan rendahnya pemahaman PHBS menjadi
faktor protektif dikarenakan odds ratio <1.
Rendahnya pemahaman tentang PHBS merupakan faktor protektif karena pemahaman
masyarakat hanya sebagian kecil dan tidak menyeluruh. Ada beberapa indikator dalam
PHBS, namun yang berkaitan dengan TB hanya sebagian kecil saja. Diperkirakan yang
dikuasai oleh masyarakat tidak berkaitan dengan TB.
Berdasarkan analisis kelompok kami priorotas masalah yang diangkat adalah
menekan prevalensi TB dan meningkatkan motivasi PMO di Kecamatan Sukamndi dan
dapat disimpulkan faktor risiko yang terusun dalam inventarisasi masalah adalah sebagai
faktor penyebab dan tingginya prevalensi TB sebagai faktor akibat. Setelah mengetahui
prioritas masalah dan penyebab tingginya prevalensi TB, maka kepala Puskesmas harus
membuat program penurunan prevalensi TB dan memotivasi PMO. PMO di data agar
dapat diketahui berapa besar minat warga untuk ikut berperan dalam berpartisipasi
sebagai PMO.
Penyebab menurunnya peranan PMO dikarenakan faktor berikut, yaitu :
a.
b.
c.
d.
Tingkat pengetahuan kader dan petugas tentang tugas dan fungsi PMO
Motivasi PMO menurun dikarenakan tidak adanya reward, misalnya tidak digaji
Sarana transportasi tidak menujang untuk kerumahpasien TB yang jauh
Pelaporan kurang memadai, biarpun pasien rajin minum obat namun PMO jarang
melaporkan maka perhitungan tempo waktu jangka sembuh pasien di puskesmas
menjadi rancu.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor tinggi prevalensi TB yaitu kurangnya
Learning Objective
1 Mengetahui Defenisi Tuberkulosis
2 Mengetahui Epidemologis penyakit TB
3 Mengetahui penyebab, penularan, pengobatan, serta rehabilitasi TB
4 Memahami pencegahan penyakit TB
5 Memahami teknik pengobatan TB
6 Membuat diagram ikan dalam penyelesaian permasalahan Tb
7 Membuat rencana kegiatan program promkes terkait
TINJAUAN PUSTAKA
1
Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru (Brunner & Suddarth, 2002). Tuberkulosis adalah suatu
penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh
Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab dari TB paru. kuman ini
bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang memiliki
konsentrasi tinggi seperti paru-paru. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut
sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai beberapa jam di tempat yang gelap
dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tertidur lama) selama
beberapa tahun (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002).
Epidemiologi
WHO menyatakan bahwa dari sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga
penduduk dunia ini telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis. Pada tahun 1993
WHO juga menyatakan bahwa TB sebagai reemerging disease. Angka penderita
TB paru di negara berkembang cukup tinggi, di Asia jumlah penderita TB paru
berkisar 110 orang penderita baru per 100.000 penduduk.
Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa
angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk.
Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3
wilayah, yaitu: 1. wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000
penduduk, 2. wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000
penduduk, 3. wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per
100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB
adalah 68 per 100.000 penduduk. Berdasar pada hasil survey prevalensi tahun
2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap
tahunnya.
2.2.4 Patofisiologi
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan
tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman
TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag
yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.
Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap
tuberculin,
mengalami
perkembangan
sensitivitas.
Pada
saat
tersebut
ditandai
oleh
terbentuknya
hipersensitivitas
terhadap
imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap
hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat
terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan
ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi
komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama
masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi
adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic
spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut,
kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya. Di dalam koloni yang
sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler,
kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung
berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi.
Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun tahun
kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami
reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB
tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita. Tuberkulosis milier
merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah
kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran
lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara
patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara
histologi merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang
terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila
suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga
sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit
TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang. Pada anak, 5 tahun
pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi
komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
2.2.6
1. Agent
Agent adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Agent
dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu yang abstrak, suasana
sosial, yang dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan penyebab
utama/esensial dalam terjadinya penyakit ( Soemirat, 2010).
Agent yang
alamiah
didapatkan
apabila
seseorang
pernah
menderita
sarana
yang
baik
untuk
pertumbuhan
untuk
pencegahan
penyakit
tuberkulosis
paru,
dengan
jenis lantai rumah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis, melalui
kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban,
dengan demikian viabilitas kuman tuberkulosis di lingkungan juga sangat
dipengaruhi.
2.2.7
Pencegahan TB
Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru Mencegah lebih baik dari pada
mengobati, kata-kata itu selalu menjadi acuan dalam penanggulangan penyakit TB
Paru di masyarakat.
Dalam buku Kementrian Kesehatan RI, 2010 upaya pencegahan yang harus
dilakukan adalah:
1. Minum obat TB secara lengkap dan teratur sampai sembuh
2. Pasien TB harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena pada
saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar melalui percikan
dahak. Kuman TB yang keluar bersama percikan dahak yang dikeluarkan pasien
TB saat :
a. Bicara : 0-200 kuman, b. Batuk : 0-3500 kuman, c. Bersin : 4500-1.000.000
kuman
3. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat
khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah/kaleng tertutup yang
sudah diberi karbol/antiseptik atau pasir. Kemudian timbunlah kedalam tanah.
4. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), antara lain :
a. Menjemur peralatan tidur.
b. Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk.
c. Aliran udara (ventilasi) yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah
kuman di udara. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman.
d. Makan makanan bergizi.
sebagai
kasus
kronik
yang
tetap
menular
(Pedoman
Nasional
2.2.8
Program penanggulangan TB
Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Untuk dapat
memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, puskesmas menjalankan
beberapa program pokok salah satunya adalah program pemberantasan
penyakit menular (P2M) seperti program penanggulangan TB Paru yang
dilakukan dengan strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan. Pada tahun
1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS
dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi
DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK (Unit Pelayanan
Kesehatan) terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan
kesehatan dasar (Muninjaya, 2004; Depkes, 2007).
Strategi DOTS . Fokus utama DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse) adalah penemuan dan penyembuhan penderita,
prioritas diberikan kepada penderita TB tipe menular. Strategi ini akan
memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di
masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara
terbaik
dalam
upaya
pencegahan
penularan
TB.
WHO
telah
cara
menyebarkan
pesan,
menanamkan
keyakinan
sehingga
masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan
melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan.
Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah
rangkaian dari rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsif-prinsif belajar
untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat
secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan
meningkatkan kesehatan (Depkes RI, 2002;Effendy, 1998).
Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru banyak
berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan
penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta
masyarakat dalam penanggulangan TB Paru. Penyuluhan TB Paru dapat
dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun
menggunakan media. Penyuluhan langsung dapat dilakukan dengan
perorangan atau kelompok. Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan
media seperti: bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, sedangkan
bentuk media massa dapat berupa koran, majalah, radio dan televisi.
Dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung
perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan
penderita. Penyuluhan langsung perorangan dapat dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan, para kader dan PMO. Pada kunjungan pertama ada beberapa
informasi penting tentang TB Paru yang dapat disampaikan pada penderita,
antara lain: pengertian atau arti TB Paru, penyebab TB Paru, cara penularan
Proses
Masukan
Penyuluhan
Pelayanan kesehatan
Kepatuhan pasien
Rendahnya pendidikan
Tingginya
prevalensi TB
Rendahnya PMO
Rendahnya sosial ekonomi
Kepadatan hunian
Kondisi Lingkungan
Lingkungan
BAB III
RENCANA PROGRAM
No
Kegiatan
efektivitas
Efisiensi
Hasil
1. Penyuluhan TB
M
4
I
3
V
4
C
3
16
2. Pembentukan
20
TIM PMO
3. Peningkatan
12
kesehatan
4. Promosi
kesehatan
5. Kerja bakti
mutu pelayanan
Keterangan :
P : Prioritas jalan keluar
M : Magnitude, besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi ini
dilaksanakan ( turunnya prevelensi dan besarnya masalah lain)
Sasaran
Target
Volume
Rincian
Lokasi
Kegiata
Kegiatan
pelaksanaa Pelaksan
han
pelaksa
Balai desa
Dokter
Januari,
naan
Pembic
n
1 Penyuluhan
TB
Warga desa
di
Tenaga
Jadwal
Kebutu
Meningkat 4 bulan
Pencega
kan
han
dan
Mei,
ara,
sekali
Kecamatan
pengetahu
Bahaya
petugas
Septemb
materi,
sukamandi
an tentang
pengoba
kesehata
er
konsum
TB
tan
n PKM
si,sewa
lokasi
Tenaga
2 Pembentuka Keluarga
Meningkat Setiap
Mengaja
Rumah
Keluarga
kan
ada
k dan
warga,
pasien
kesehat
TB dan
kualitas
pasien
monitori
khususnya
dan
an dan
tenaga
PMO
baru
ng
pasien TB
tenaga
dana
kesehatan
keluarga
pasien,
kegiatan
PMO,
dan
evaluasi
hasil
kegiatan
PMO
medis
Relatif
3 Peningkatan Tenaga
Meningkat 6 bulan
Pelatihan
tenaga
medis,
kesehat
Relatif
Tenaga
mutu
medis,
kan
pelayanan
pelayanan
kinerja
medis,
dokter,
an dan
kesehatan
fasilitas
tenaga
monitori
manajem
dana
kesehatan
medis,
ng
en
kualitas
fasilitas
puskesm
pelayanan
kesehata
as
kesehatan
Warga desa
Meningkat 1 kali
Memberi
di Kec.
kan
kan
kesehata
kesehat
Sukamandi
pengetahu
pengetah
n dan
an,
an tentang
uan
puskesm
dana,
PHBS
tentang
as
poster,
4 Promosi
kesehatan
per kali
Puskesmas Tenaga
Balai desa
Tenaga
1 kali
PHBS
Tenaga
masker
dan
pencegah
an
penulara
n TB,
serta
mudahny
akses ke
puskesm
as
5 Kerja bakti
Lingkungan
Meningkat 1
terdekat
Gotong
sekitar
kan
royong,
tempat
warga
hari
kebersi
tempat
dan
tinggal
secara
Minggu
han,
tinggal
lingkunga
menyedi
penduduk
bergantia
dana,
n rumah
akan
alat
dan
fasilitas
pembua
sekitarnya
untuk
ngan
minggu
Di sekitar
Seluruh
Setiap
Alat
kebersih
an
lingkung
an
1. Penyuluhan TB
Penyuluhan ini ditujukan untuk semua warga desa yang berada di Kecamatan
Sukamandi karena tingginya prevalensi TB pada daerah tersebut. Dengan adanya
penyuluhan, diharapkan agar bisa mengikuti penyuluhan tersebut dan menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Di mana pengetahuan mengenai pengertian, faktor
risiko, gejala-gejala, bahaya TB, pencegahan, pengobatan TB bisa diketahui oleh
warga desa. Agar upaya dalam penyuluhan TB ini dapat menurunkan tingginya
prevalensi TB di wilayah Puskesmas Sukamandi.
2. Pembentukan Tim PMO
Pembentukan TimPMO di wilayah PKM Sukamandi ditujukan untuk keluarga
pasien TB dan tenaga medis. Dengan adanya pembentukan tim ini diharapkan
kepatuhan dalam mengonsumsi obat lebih baik dan terjadwal. Sehingga pengobatan
efektif TB selama 6 bulan dapat menurunkan prevalensi TB. Selain itu juga dilakukan
monitoring pada kegiatan PMO itu sendiri guna mengevaluasi kelancaran tim PMO
dalam melaksanakan tugasnya.
3. Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan
Peningkatan mutu pelayanan kesehatan di wilayah PKM Sukamandi ditujukan
untuk tenaga medis dan fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan dan ada pun kegiatannya yaitu pelatihan seluruh tenaga
puskesmas, peningkatan kualitas laboratorium, ketersediaan OAT bagi semua
penderita TB yang ditemukan, pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala
dan terus menerus. Dengan adanya beberapa kegiatan yang disebutkan di atas
diharapkan dapat menurunkan prevalensi TB
4. Promosi Kesehatan
sampah
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulaan
Tingginya prevalensi TB di Kecamatan Sukamndi dipengaruhi beberapa faktor
risiko yaitu kurangnya penyuluhan TB, rendahnya peran PMO, kondisi lingkungan
yang buruk, kepadatan hunian dan kondisi sosial ekonomi menengah kebawah.
Kurangnya penyuluhan TB pada masyarakat di Kecamatan Sukamandi
mengakibatkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang TB. Kondisi sosial
ekonomi yang rendah menyebabkan adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan
yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan menurun. Kondisi
lingkungan yang buruk dan kepadatan hunian dapat mempermudah proses penularan.
Faktor yang paling mempengaruhi prevalensi TB di Kecamatan Sukamandi
adalah rendahnya PMO di Kecamatan Sukamandi, karena diperlukan pengawasan
meminum obat yang dapat dilakukan oleh keluarga bila penderita merasa bosan atau
jenuh meminum obat.
Saran
1. Melakukan penyuluhan TB secara berkala di Kecamatan Sukamandi agar warga
mendapat pengetahuan yang cukup dan melakukannya dengan baik, yaitu meliputi
pengertian TB, gejala, cara penularannya, faktor risiko, bahaya, pengobatan dan
pencegahan TB.
2. Meningkatkan peran PMO untuk mengarahkan pasien agar mau mengkonsumsi
obat secara teratur sampai pengobatan selesai, menjelaskan tata cara minum obat
dan menjelaskan juga efek samping obat.
3. Meningkatkan peningkatan mutu kualitas pelayanan kesehatan baik pada
penyeddia layanan kesehatan maupun sarana dan prasarana yang menunjang
kinerja dalam pencegahan dan penanggulangan TB.
4. Mengadakan promosi kesehatan guna warga desa mengetahui kiat-kiat dalam cara
penularan, pencegahan, dan bahaya TB.
5. Menciptakan kondisi lingkungan yang sehat agar menghambat penularan TB di
lingkungan sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Crofton, A. Horne, M. Miller, F. Tuberkulosis Klinis. Jakarta : Widya
Medika; 2002.
2. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
Depkes RI; 2011. http://www.scribd.com/doc/127006223/DEPKES-RI2011- Pedoman-Penanggulangan-TB-di-Indonesia-pdf#. Diakses tanggal
10 desember 2013.
Semarang.
Undip;
2008.
Makassar.
Unhas;
2012.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/3935/Imam
%20Bac
htiar-K11108031.pdf?sequence=1.
Diakses
tanggal
27
Desember 27 2013
7. Naben, AX. Suhartono. Nurjazuli. Kebiasaan Tinggal Di Rumah Etnis
Timor Sebagai Faktor Resiko Tuberkulosis Paru. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia. Vol. 12 No. 1/April 2013. Diakses tanggal 25
Maret 2014.
8. World Healty Organization. Global tuberculosis report 2013 : WHO.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/91355/1/9789241564656_eng.
pdf. diakses tanggal 5 juni 2014
9. Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Depkes RI;
2013. http://www.kemkes.go.id. Diakses tanggal 11 Desember 2013
10. Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2013. http://www.terbitan.litbang.depkes.go.id. Diakses tanggal 7 April
2014
11 Priatin, W. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kecemasaan
Anggota Keluarga Terhadap Penularan TB Paru Di Wilayah Kerja
Puskesmas Sokaraja II Kabupaten Banyumas. http://portalgaruda.org.
Jurnal Keperawatan Soedirman Vol. 2 No. 3 November 2007. diakses
tanggal 18 Desember 2013
12. Chandra, B. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2006.
13. Musadad, A. Hubungan
Faktor
Lingkungan
Rumah
Dengan
kabupaten
tapanuli
utara.
[online].
2009.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6656/1/09E01348.pdf
[diakses 25 agustus 2014]