Anda di halaman 1dari 13

BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1 Kemampuan Berpikir Kreatif


2.1.1 Berpikir
Purwanto (2002) mendefinisikan berpikir sebagai keaktifan pribadi manusia yang
mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Proses berpikir merupakan
kemampuan mental yang dimiliki oleh setiap individu. Hal ini senada dengan pendapat
Ruggiero (2009) yang mendefinisikan berpikir merupakan aktivitas mental yang
membantu merumuskan dan memecahkan masalah sehingga dapat mengambil suatu
keputusan sesuai apa yang dipahami. Berdasarkan definisi dari para ahli dapat
disimpulkan bahwa berpikir merupakan suatu aktivitas mental setiap individu seseorang,
sehingga dengan berpikir dapat menghasilkan sesuatu yang mudah dipahami serta
diwujudkan melalui suatu tindakan.
2.1.2 Berpikir Kreatif
Pada era globalisasi sekarang ini, banyak hal yang dilakukan dengan cara cepat
(instant). Dalam hal ini, diperlukan adanya suatu kemampuan berpikir seseorang dalam
menumbuhkan ide-ide yang cemerlang, jika tidak disikapi hal ini, maka tidak menutup
kemungkinan akan menjadikan salah satu penyebab terhambatnya perkembangan
kreativitas seseorang.
Dalam pembelajaran matematika, berpikir kreatif merupakan suatu kemampuan
yang sangat penting yang harus dimiliki oleh siswa, karena belajar matematika memuat
banyak penemuan penting serta bagaimana cara menyelesaikan masalah dalam
matematika. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sanders (2016) bahwa dalam
berpikir kreatif melibatkan sintesis, investigasi dan penerapan baru dalam hal ide-ide
9

10

dan solusi dalam menyelesaikan masalah. Munandar (1999) juga mengatakan bahwa
berpikir kreatif (berpikir divergen) ialah memberikan macam-macam kemungkinan
jawaban berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada keragaman
jumlah dan kesesuaian. Dengan demikian, berpikir secara divergen dapat merangsang
pikiran siswa untuk mengajukan pertanyaan yang sifatnya terbuka, sehingga siswa dapat
terbiasa dengan berpikir kreatif. Selain itu juga dapat memperluas pikiran serta siswa
terlihat lebih siap jika dihadapkan pada masalah matematika yang agak rumit. Oleh
karena itu, kemampuan berpikir kreatif perlu dikembangkan dalam setiap pembelajaran,
terutama pada pelajaran matematika. Guru maupun pihak sekolah lainnya mempunyai
peranan penting dalam mengembangkan kreativitas siswa.
Siswa yang berpikir kreatif biasanya selalui ingin tahu, fleksibel dan sensitif
terhadap permasalahan yang keliru, serta mengemukakan pendapat dengan keyakinan
dan percaya diri, sehingga tidak tergantung pada pendapat orang lain. Oleh karena itu,
siswa yang kreatif tidak hanya cerdas dan berbakat, akan tetapi mempunyai tingkat
intelegensi yang tinggi.
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Berpikir Kreatif
Kreativitas seseorang bukanlah sifat bawaan, melainkan bisa dimiliki oleh setiap
individu. Oleh karena itu, apa yang dipikirkan oleh siswa tentang lingkungan belajar,
hendaklah orang tua dan guru memberikan dukungan kepada siswa tersebut. Adapun
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kreativitas seseorang menurut Satiadarma
(2003) adalah
1. Waktu untuk menjadi kreatif, kegiatan anak seharusnya jangan diatur sedemikian
rupa sehingga hanya sedikit waktu bebas bagi mereka untuk bermain-main.

11

2. Kesempatan menyendiri, hanya apabila tidak mendapat tekanan dari kelompok


sosial, anak dapat menjadi kreatif.
3. Dorongan terlepas dari seberapa jauh prestasi anak memenuhi standar orang
dewasa, mereka harus didorong untuk kreatif.
4. Sarana untuk bermain dan kelak sarana lainnya harus disediakan untuk merangsang
dorongan eksperimentasi.
5. Lingkungan yang merangsang, seperti lingkungan rumah dan sekolah harus
merangsang kreatifitas dengan memberikan bimbingan dan dorongan.
6. Hubungan orang tua anak yang tidak posesif, orang tua yang tidak terlalu
melindungi atau terlalu posesif terhadap anak, mendorong anak untuk mandiri dan
percaya diri, dua kualitas yang sangat mendukung kreativitas
7. Cara mendidik anak secara demokratis dan permisif di rumah dan sekolah
meningkatkan kreativitas sedangkan cara mendidik otoriter memadamkannya.
8. Kesempatan untuk memperoleh pengetahuan, kreativitas tidak muncul dalam
kehampaan. Semakin banyak pengetahuan yang dapat diperoleh anak semakin baik
dasar untuk mencapai hasil yang kreatif.
Selain faktor-faktor yang dapat membuat siswa menjadi kreatif, ada juga faktorfaktor yang dapat menghambat siswa menjadi kreatif, diantaranya menurut Hurlock
(2005) adalah
1. Membatasi ekplorasi, apabila orang tua membatasi ekplorasi atau pertanyaan
mereka juga membatasi perkembangan kreatifitas anak mereka.
2. Keterpaduan waktu, jika anak terlalu diatur sehingga hanya sedikit tersisa waktu
bebas untuk berbuat sesuka hati, mereka akan kehilangan salah satu yang diperlukan
untuk mengembangkan kreatifitas.
3. Dorongan kebersamaan keluarga, harapan bahwa semua anggota keluarga
melakukan berbagai kegiatan bersama-sama tanpa mempedulikan minat dan pilihan
pribadi masing-masing.

12

4. Membatasi khayalan, orang tua yang yakin bahwa semua khayalan hanya
memboroskan waktu dan menjadi sumber gagasan yang tidak realistis, berupaya
keras untuk menjadikan anaknya realistis.
5. Peralatan bermain yang sangat terstruktur, anak yang diberi peralatan bermain yang
sangat terstruktur seperti boneka yang berpakaian lengkap atau buku berwarna
dengan gambar yang harus diwarnai.
6. Orang tua yang konservatif, yang takut menyimpang dari pola yang direstui sering
bersikeras agar anaknya mengikuti langkah-langkah mereka.
7. Orang tua yang terlalu melindungi, jika orang tua terlalu melindungi anaknya,
mereka mengurangi kesempatan untuk mencari cara mengerjakan sesuatu yang baru
atau berbeda.
8. Disiplin yang otoriter, membuat sulit atau tidak mungkin ada penyimpangan dari
prilaku yang disetuji orang tua.
2.1.4 Indikator Berpikir Kreatif
Baer (1993) mengemukakan, berpikir kreatif merupakan sinonim dari berpikir
divergen. Ada 4 indikator berpikir kreatif, yaitu (1) fluence (kemampuan menghasilkan
banyak ide), (2) flexibility (kemampuan menghasilkan ide-ide yang bervariasi), (3)
originality (kemapuan menghasilkan ide baru atau ide yang sebelumnya tidak ada), dan
(4) elaboration (kemampuan mengembangkan atau menambahkan ide-ide sehingga
dihasilkan ide yang rinci atau detail).
Silver (1997) juga mengemukakan bahwa untuk menilai kemampuan berpikir
kreatif siswa dapat terlihat pada kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan melalui pemecahan
masalah. Lebih lanjut Silver menegaskan bahwa:

13

1. Siswa dikatakan fasih dalam memecahkan masalah matematika, jika siswa tersebut
mampu menyelesaikan masalah dengan bermacam-macam interpretasi, metode
penyelesaian,atau jawaban masalah,
2. Siswa dikatakan fleksibilitas dalam memecahkan masalah matematika, jika siswa
tersebut mampu menyelesaikan masalah dalam satu cara, kemudian dengan
menggunakan cara lain siswa mendiskusikan berbagai metode penyelesaian,
3. Siswa dikatakan menemukan kebaruan dalam memecahkan masalah matematika,
jika siswa tersebut mampu memeriksa beberapa metode penyelesaian atau jawaban,
kemudian membuat cara penyelesaian yang berbeda.
Berdasarkan ulasan yang dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa kemampuan
berpikir kreatif adalah kemampuan yang dimiliki oleh setiap siswa dengan cara
memberikan kebebasan untuk mengungkapkan ide dan gagasan, sehingga dapat
terciptanya sesuatu hal baru bagi siswa tersebut. Adapan indikator dalam penelitian ini
berupa fluence, flexibility, originality, dan elaboration.
2.2 Disposisi Matematis
Dalam proses pembelajaran, guru tidak hanya mengembangkan ranah kognitif
siswa, namun perlu adanya ranah afektif. Pada hakikatnya, ranah kognitif dan ranah
afektif tidak dapat dipisahkan dari dalam diri siswa. Ketika siswa mendapatkan suatu
tugas dari guru dan siswa dituntut untuk menyelesaikan tugas tersebut, apakah siswa
merasa senang dalam menyelesaikan soal tersebut. Siswa yang mempunyai sikap positif
terhadap matematika, akan merasa menikmati dalam mengerjakan tugas tersebut. Dalam
hal ini, sikap positif tersebut berupa disposisi matematis.
Disposisi matematis merupakan ketertarikan siswa serta mempunyai kepercayaan
diri yang tinggi dalam menyelesaikan masalah matematika, sehingga ada kemauan untuk

14

mengekspolrasi dan merefleksikan pemikiran saat belajar matematika (National Council


of Teachers of Mathematics [NCTM], 1989). Sementara Maxwell (2001) mendefinisikan
disposisi matematis sebagai serangkaian elemen yang saling berinteraksi sehingga siswa
peka terhadap kesigapan untuk menindaklanjuti penyelesaian masalah yang diberikan
Disposisi matematis menjadi salah satu faktor dalam menentukan keberhasilan
siswa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kilpatrick dan Swafford (2002) bahwa
siswa yang mempunyai disposisi matematis menjadi faktor utama dalam menentukan
kesuksesan belajar mereka. Siswa membutuhkan disposisi matematis untuk menjadikan
mereka giat dalam menyelesaikan masalah matematika, sehingga dapat mengembangkan
kebiasaan baik terhadap matematika. Akan tetapi, guru cenderung mengurangi beban
belajar siswa dengan tujuan untuk membantu siswa, padahal hal itu sangat penting bagi
siswa.
Siswa yang mempunyai disposisi matematis dengan baik akan mencari hal-hal
yang positif dalam matematika, meskipun yang dihadapinya berupa kesulitan, karena
siswa tersebut yakin dalam matematika, sesulit apapun masalah pasti ada jalan
keluarnya. Selain itu, siswa yang memiliki disposisi matematis yang baik saat
dihadapkan pada pemecahan masalah, maka siswa tersebut tidak sukar lagi, karena telah
terbiasa untuk mengerjakannya, sehingga dalam proses pembelajaran siswa akan merasa
nyaman dalam mempelajari matematika.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa disposisi matematis adalah
ketertarikan siswa dalam belajar matematika sehingga dapat mengeksplorasi hasil
pemikirannya dalam menyelesaikan masalah matematika. Dengan demikian disposisi
matematis mempunyai peran yang esensial dalam pembelajaran matematika.

15

NCTM (1989) menjelaskan bahwa siswa yang mempunyai disposisi matematis


dapat di lihat dari tujuh indikator, di antaranya:
1. Percaya diri menggunakan matematika

dalam

menyelesaikan

masalah,

menyampaikan ide dan pendapat


2. Fleksibel dalam bermatematika dan mencoba menggunakan berbagai metode lain
3.
4.
5.
6.

dalam memecahkan masalah


Gigih dan tekun dalam mengerjakan tugas matematika
Memiliki rasa ingin tahu dan ketertarikan yang baik terhadap matematika
Melakukan refleksi atas cara berpikir dan tugas yang telah diselesaikan
Menghargai aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari dan disiplin ilmu

yang lain
7. Mengapresiasi matematika sebagai alat dan bahasa
Indikator-indikator di atas menjelaskan tujuan pendidikan matematika dalam ranah
afektif yang mempunyai sikap menghargai manfaatnya matematika dalam kehidupan
sehari-hari dengan memiliki rasa ingin tahu, serta giat dalam menyelesaikan masalah
matematika.
2.3 Problem Based Learning
Sanjaya (2007) mengartikan PBL sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang
menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Hung,
Jonassen dan Liu (2008) mendefinisikan PBl sebagai sebuah model pembelajaran yang
berpusat pada siswa dengan menciptakan kebutuhan yang diperlukan untuk
memecahkan masalah yang otentik. Dalam hal ini, siswa mengkonstruksi pengetahuan
yang ada dan mengembangkan kemampuan dalam memecahkan masalah serta
keterampilan belajar mandiri untuk mendapatkan solusi terhadap masalah yang
diberikan.

16

Tujuan pembelajaran berdasarkan masalah ada tiga, yaitu membantu siswa


mengembangkan keterampilan penyelidikan dalam memecahkan masalah, memberikan
kesempatan siswa untuk mempelajari pengalaman-pengalaman dengan pengetahuan
yang telah ada, memungkinkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa
sehingga menjadi mandiri. Rusman (2010) memberikan pandangan tentang tujuan dari
model PBL bahwa penguasaan isi belajar dari disiplin heuristik (tahap mencari dan
menemukan) serta pengembangan keterampilan dalam memecahkan masalah. Trianto
(2010) juga menjelaskan tujuan dari PBL yaitu membantu siswa dalam mengembangkan
keterampilan berpikir dan keterampilan mengatasi masalah sehingga menjadi siswa yang
mandiri.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran PBL
adalah model pembelajaran yang berpusat pada siswa dalam lingkungan belajar secara
berkelompok dalam menyelesaikan masalah kehidupan nyata dengan menggunakan
pengetahuan yang ada serta keterampilan belajar untuk menghasilkan solusi yang tepat
terhadap masalah yang diberikan

2.3.1

Langkah-langkah Problem Based Learning


Trianto (2007) menjelaskan fase-fase dalam penerapan model pembelajaran PBL

sebagai berikut:

17

Tabel 2.1 Langkah-langkah Model Problem Based Learning


Fase

Kegiatan Guru
menjelaskan tujuan pembelajaran,

Fase 1

Guru

Orientasi siswa kepada masalah

menjelaskan

logistik

yang

dibutuhkan,

memotivasi siswa agar terlibat pada pemecahan


Fase 2

masalah yang dipilihnya.


Guru mengorganisasikan tugas belajar yang

Mengorganisir siswa untuk belajar


Fase 3

berhubungan dengan masalah tersebut


Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan

Membimbing penyelidikan individual informasi

yang

sesuai,

melaksanakan

maupun kelompok

eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan

Fase 4

pemecahan masalah
Guru membantu siswa dalam merencanakan

Mengembangkan

dan

menyajikan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti

hasil karya

laporan, video dan model serta membantu

Fase 5

mereka untuk berbagi tugas dengan temannya


Guru membantu siswa untuk melakukan

Menganalisis

dan

mengevaluasi refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan

proses pemecahan masalah

mereka dan proses yang mereka gunakan

Guru mempunyai peranan penting dalam model pembelajaran PBL melalui


penyajian masalah serta memfasilitasi penyelidikan yang dilakukan siswa. Model PBL
tidak dapat terlaksana secara maksimal jika guru tidak mengembangkan lingkungan
belajar sehingga terjadinya ide-ide kreatif yang perlu ditumbuhkan oleh siswa dalam
menyelesaikan masalah.

18

2.3.2

Kelebihan dan Kekurangan Problem Based Learning


Setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan. Sanjaya (2007)

menjelaskan kelebihan dan kekurangan dari model PBL


Kelebihan dari model PBL yaitu
1. Menantang kemampuan siswa serta memberi memberi kepuasan untuk menemukan
pengetahuan baru bagi siswa
2. Meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa
3. Membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami
masalah dalam kehidupan nyata
4. Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi secara tepat
Adapun kekurangan dari model PBL
1. Memerlukan waktu yang panjang dibandingkan dengan model pembelajaran yang
lain
2. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak memiliki kepercayaan bahwa
masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka akan merasa enggan untuk
mencoba
2.3.3 Contoh Penerapan Model Problem Based Learning dalam Pembelajaran
Matematika
1. Orientasi siswa kepada masalah
Pada fase ini, guru menjelaskan tujuan pembelajaran yaitu siswa dapat
menyelesaikan volume bangun ruang dengan tepat. Selanjutnya guru memotivasi siswa
dengan mengamati bangun-bangun ruang yang ada dalam kehidupan sehari-hari
sehingga mereka terlibat pada pemecahan masalah. Setelah proses pengamatan siswa

19

diminta membuat daftar pertanyaan berdasarkan informasi tentang volume bangun


ruang.
2. Mengorganisir siswa untuk belajar
Pada fase ini siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok yang beranggotakan 4-5
siswa. Masing-masing kelompok diberikan LKS yang disertai dengan masalah tentang
volume bangun ruang. Dalam kelompok siswa mendiskusikan masalah serta bertukar
pikiran sehingga mencari solusi apa yang tepat untuk digunakan dalam menyelesaikan
volume bangun ruang.
3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Pada fase ini, guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang
dibutuhkan, melakukan percobaan untuk mendapatkan penjelasan yang berkaitan dengan
volume bangun ruang.
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada fase ini, guru membimbing siswa dalam merencanakan dan menyampaikan
hasil kerja masing-masing kelompok. Setiap kelompok mendapat giliran menyampaikan
hasil kerja kelompok di depan kelas. Adapun hal yang disampaikan oleh masing-masing
kelompok adalah menunjukkan volume bangun ruang yang mereka dapatkan beserta
dengan soal yang telah dijawab
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Pada fase ini, guru meluruskan setiap kesalahan yang dilakukan oleh siswa dalam
diskusi kelompok agar tidak terjadi miskonsepsi mengenai volume bangun ruang
2.4 Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati (2012) bahwa secara keseluruhan
pembelajaran yang diterapkan oleh guru di kelas sudah mengakomodasi kemampuan
berpikir kreatif matematis, walaupun dalam proses pembelajaran bangun datar
kemampuan berpikir kreatifnya tidak muncul tetapi dari hasil evaluasi siswa muncul.

20

Selanjutnya semua indikator kemampuan berpikir kreatif matematis muncul pada saat
proses kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dengan menggunakan
pendekatan CTL.
Penelitian yang dilakukan oleh Reviandari (2015) terhadap disposisi kreatif
matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional, diperoleh kesimpulan bahwa disposisi
berpikir kreatif siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih baik
daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Lebih lanjut dijelaskan
tidak terdapat perbedaan yang signifikan disposisi berpikir kreatif matematis siswa
KAM atas dan KAM tengah antara siswa yang memperoleh pembelajaran matematika
dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional. Tetapi siswa KAM bawah yang memperoleh pembelajaran
matematika dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah memiliki disposisi
berpikir kreatif matematis lebih baik dari siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional.

2.5 Hipotesis Penelitian


Dalam penelitian ini, penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut
1. Peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yang menggunakan model problem
based learning lebih baik daripada pembelajaran konvensional.
2. Peningkatan disposisi matematis siswa yang menggunakan model problem based
learning lebih baik daripada pembelajaran konvensional.

21

3. Terdapat interaksi antara kemampuan model problem based learning dengan level

siswa terhadap kemampuan berpikir kreatif.

Anda mungkin juga menyukai