Proposal Tesis (Baru) Bab2
Proposal Tesis (Baru) Bab2
LANDASAN TEORITIS
10
dan solusi dalam menyelesaikan masalah. Munandar (1999) juga mengatakan bahwa
berpikir kreatif (berpikir divergen) ialah memberikan macam-macam kemungkinan
jawaban berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada keragaman
jumlah dan kesesuaian. Dengan demikian, berpikir secara divergen dapat merangsang
pikiran siswa untuk mengajukan pertanyaan yang sifatnya terbuka, sehingga siswa dapat
terbiasa dengan berpikir kreatif. Selain itu juga dapat memperluas pikiran serta siswa
terlihat lebih siap jika dihadapkan pada masalah matematika yang agak rumit. Oleh
karena itu, kemampuan berpikir kreatif perlu dikembangkan dalam setiap pembelajaran,
terutama pada pelajaran matematika. Guru maupun pihak sekolah lainnya mempunyai
peranan penting dalam mengembangkan kreativitas siswa.
Siswa yang berpikir kreatif biasanya selalui ingin tahu, fleksibel dan sensitif
terhadap permasalahan yang keliru, serta mengemukakan pendapat dengan keyakinan
dan percaya diri, sehingga tidak tergantung pada pendapat orang lain. Oleh karena itu,
siswa yang kreatif tidak hanya cerdas dan berbakat, akan tetapi mempunyai tingkat
intelegensi yang tinggi.
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Berpikir Kreatif
Kreativitas seseorang bukanlah sifat bawaan, melainkan bisa dimiliki oleh setiap
individu. Oleh karena itu, apa yang dipikirkan oleh siswa tentang lingkungan belajar,
hendaklah orang tua dan guru memberikan dukungan kepada siswa tersebut. Adapun
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kreativitas seseorang menurut Satiadarma
(2003) adalah
1. Waktu untuk menjadi kreatif, kegiatan anak seharusnya jangan diatur sedemikian
rupa sehingga hanya sedikit waktu bebas bagi mereka untuk bermain-main.
11
12
4. Membatasi khayalan, orang tua yang yakin bahwa semua khayalan hanya
memboroskan waktu dan menjadi sumber gagasan yang tidak realistis, berupaya
keras untuk menjadikan anaknya realistis.
5. Peralatan bermain yang sangat terstruktur, anak yang diberi peralatan bermain yang
sangat terstruktur seperti boneka yang berpakaian lengkap atau buku berwarna
dengan gambar yang harus diwarnai.
6. Orang tua yang konservatif, yang takut menyimpang dari pola yang direstui sering
bersikeras agar anaknya mengikuti langkah-langkah mereka.
7. Orang tua yang terlalu melindungi, jika orang tua terlalu melindungi anaknya,
mereka mengurangi kesempatan untuk mencari cara mengerjakan sesuatu yang baru
atau berbeda.
8. Disiplin yang otoriter, membuat sulit atau tidak mungkin ada penyimpangan dari
prilaku yang disetuji orang tua.
2.1.4 Indikator Berpikir Kreatif
Baer (1993) mengemukakan, berpikir kreatif merupakan sinonim dari berpikir
divergen. Ada 4 indikator berpikir kreatif, yaitu (1) fluence (kemampuan menghasilkan
banyak ide), (2) flexibility (kemampuan menghasilkan ide-ide yang bervariasi), (3)
originality (kemapuan menghasilkan ide baru atau ide yang sebelumnya tidak ada), dan
(4) elaboration (kemampuan mengembangkan atau menambahkan ide-ide sehingga
dihasilkan ide yang rinci atau detail).
Silver (1997) juga mengemukakan bahwa untuk menilai kemampuan berpikir
kreatif siswa dapat terlihat pada kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan melalui pemecahan
masalah. Lebih lanjut Silver menegaskan bahwa:
13
1. Siswa dikatakan fasih dalam memecahkan masalah matematika, jika siswa tersebut
mampu menyelesaikan masalah dengan bermacam-macam interpretasi, metode
penyelesaian,atau jawaban masalah,
2. Siswa dikatakan fleksibilitas dalam memecahkan masalah matematika, jika siswa
tersebut mampu menyelesaikan masalah dalam satu cara, kemudian dengan
menggunakan cara lain siswa mendiskusikan berbagai metode penyelesaian,
3. Siswa dikatakan menemukan kebaruan dalam memecahkan masalah matematika,
jika siswa tersebut mampu memeriksa beberapa metode penyelesaian atau jawaban,
kemudian membuat cara penyelesaian yang berbeda.
Berdasarkan ulasan yang dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa kemampuan
berpikir kreatif adalah kemampuan yang dimiliki oleh setiap siswa dengan cara
memberikan kebebasan untuk mengungkapkan ide dan gagasan, sehingga dapat
terciptanya sesuatu hal baru bagi siswa tersebut. Adapan indikator dalam penelitian ini
berupa fluence, flexibility, originality, dan elaboration.
2.2 Disposisi Matematis
Dalam proses pembelajaran, guru tidak hanya mengembangkan ranah kognitif
siswa, namun perlu adanya ranah afektif. Pada hakikatnya, ranah kognitif dan ranah
afektif tidak dapat dipisahkan dari dalam diri siswa. Ketika siswa mendapatkan suatu
tugas dari guru dan siswa dituntut untuk menyelesaikan tugas tersebut, apakah siswa
merasa senang dalam menyelesaikan soal tersebut. Siswa yang mempunyai sikap positif
terhadap matematika, akan merasa menikmati dalam mengerjakan tugas tersebut. Dalam
hal ini, sikap positif tersebut berupa disposisi matematis.
Disposisi matematis merupakan ketertarikan siswa serta mempunyai kepercayaan
diri yang tinggi dalam menyelesaikan masalah matematika, sehingga ada kemauan untuk
14
15
dalam
menyelesaikan
masalah,
yang lain
7. Mengapresiasi matematika sebagai alat dan bahasa
Indikator-indikator di atas menjelaskan tujuan pendidikan matematika dalam ranah
afektif yang mempunyai sikap menghargai manfaatnya matematika dalam kehidupan
sehari-hari dengan memiliki rasa ingin tahu, serta giat dalam menyelesaikan masalah
matematika.
2.3 Problem Based Learning
Sanjaya (2007) mengartikan PBL sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang
menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Hung,
Jonassen dan Liu (2008) mendefinisikan PBl sebagai sebuah model pembelajaran yang
berpusat pada siswa dengan menciptakan kebutuhan yang diperlukan untuk
memecahkan masalah yang otentik. Dalam hal ini, siswa mengkonstruksi pengetahuan
yang ada dan mengembangkan kemampuan dalam memecahkan masalah serta
keterampilan belajar mandiri untuk mendapatkan solusi terhadap masalah yang
diberikan.
16
2.3.1
sebagai berikut:
17
Kegiatan Guru
menjelaskan tujuan pembelajaran,
Fase 1
Guru
menjelaskan
logistik
yang
dibutuhkan,
yang
sesuai,
melaksanakan
maupun kelompok
Fase 4
pemecahan masalah
Guru membantu siswa dalam merencanakan
Mengembangkan
dan
hasil karya
Fase 5
Menganalisis
dan
18
2.3.2
19
20
Selanjutnya semua indikator kemampuan berpikir kreatif matematis muncul pada saat
proses kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dengan menggunakan
pendekatan CTL.
Penelitian yang dilakukan oleh Reviandari (2015) terhadap disposisi kreatif
matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional, diperoleh kesimpulan bahwa disposisi
berpikir kreatif siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih baik
daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Lebih lanjut dijelaskan
tidak terdapat perbedaan yang signifikan disposisi berpikir kreatif matematis siswa
KAM atas dan KAM tengah antara siswa yang memperoleh pembelajaran matematika
dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional. Tetapi siswa KAM bawah yang memperoleh pembelajaran
matematika dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah memiliki disposisi
berpikir kreatif matematis lebih baik dari siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
21
3. Terdapat interaksi antara kemampuan model problem based learning dengan level