Anda di halaman 1dari 90

PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA

PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN JAKARTA SELATAN


Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)

Oleh
MARLIANITA
NIM: 207044100664

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUDI AKHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/1435 H

PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA


PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)

Oleh
MARLIANITA
NIM: 207044100664

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Hj. Mesraini M. Ag


NIP. 19760213 200312 2001

Kamarusdiana S. Ag. MH
NIP. 1972 0224 1998 031 003

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUDI AKHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/1435 H

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA PASCA


PERCERAIAN DI PENGADILAN JAKARTA SELATAN telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universita Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 April 2014. Skripsi ini telah ditrima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. Sy).

Jakarta, 10 April 2014


Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.DR. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM


NIP. 1955050519822031012
PANITIA UJIAN

1. Ketua

: Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A


NIP. 195703121985031003

(.........................)

2. Sekretaris

: Mufidah, S.H.I

(.........................)

3. Pembimbing I

: Dr. Hj. Mesraini M. Ag


NIP. 19760213 200312 2001

(.........................)

4. Pembimbing II : Kamarusdiana S. Ag. MH


NIP. 1972 0224 1998 031 003

(.........................)

5. Penguji I

: Nur Rohim, LLM


NIP. 1979 0416 2011 01 1 004

(.........................)

6. Penguji II

: Sri Hidayati. M. Ag
NIP. 1971 0215 1997 03 2 002

(.........................)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Jakarta, 06 Mare 2014

MARLIANITA
NIM: 207044100664

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
berkah dan inayah-Nya dalam memberikan kesehatan, kekuatan dan ketabahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan merampungkan skripsi ini. Dengan
berbagai rasa yang menjadi satu lelah, kesal, dan sedih bahkan rasa sedikit putus asa
yang muncul dibeberapa waktu, namun semuanya berakhir dengan kelegaan dan
keharuan sehingga timbul semangat luar biasa. Tidak lupa salam serta shalawat
dihaturkan atas baginda besar Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga para sahabat
dan para umatnya yang senantiasa istiqomah dijalan-Nya.
Penulis menyadari bahwasanya manusia tidaklah mungkin hidup tanpa bantuan
orang lain dan tidaklah mungkin terwujud semua usaha tanpa bantuan orang lain.
Dengan ini penulis dalam rangka menyelesaikan tugas, dalam kerendahan hati ini,
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., sebagai Ketua Jurusan Peradilan Agama dan
Ibu Rosdiana, M.Ag., sebagai Sekretaris Jurusan Peradilan Agama.
3. Dr. Ahmad Yani, M.Ag., sebagai Ketua Koordinator Teknis Program Non
Reguler dan Mufidah, S.Hi., sebagai Sekretaris Koordinator Teknis Program Non
Reguler.

4. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M. Ag, sebagai Dosen Pembimbing I dan Bapak
Kamarusdiana, S.Ag, MH, sebagai Dosen Pembimbing II.
5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah sabar membimbing dan
mengajar penulis selama masa perkuliahan.
6. Pimpinan Perpustakaan beserta seluruh Staff Fakultas Syariah dan Hukum,
yang selalu memberikan penulis fasilitas dalam keperluan perkuliahan.
7. Pimpinan Perpustakaan Utama beserta seluruh Staff yang sudah membantu
memberikan penulis fasilitas dalam keperluan perkuliahan.
8. Seluruh Staff Pengadilan Agama Jakarta Selatan tempat penulis mengadakan
penelitian serta mendapatkan data dan informasi serta wawancara.
9. Yang tercinta dan terkasih kedua orangtua, keluarga, Suami Agus Setia
Mulyana, dan anak tercinta Ismail Setia Dirgantara, yang senantiasa selalu
ada dalam memberikan doa dan semangatnya, serta seluruh sahabat
seperjuanganku yakni Peradilan Agama angkatan 2007 khususnya sdri
Nurmilah Sari, sdri Syarifah Ummi Hanni, sdra Deni. K, Deni. H, Arifin,
Muhiddin, Achmad Charis, Rahman Hakim, Syarifudin, Royhan, Indro
Wibowo, Bapak Tamim yang selalu ada waktunya bersama-sama menitih
masa perkuliahan dari nol sampai wisuda ini.
10. Yang terhebat saudara-saudaraku KPA. Arkadia khususnya Ahmad Buchori
dan Keluargaku di Wonosari khususnya Cahyana Tri Raharja yang selalu
mengingatkan dan membantu secara moril maupun materil.

ii

Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam


penyelesaian skripsi ini, saya menghanturkan terimakasih banyak atas bantuan
semuanya baik yang berupa doa maupun materill yang tidak dapat penulis balas
dengan baik, semoga Allah SWT yang akan membalas kebaikan kalian semuanya.
Amin

Jakarta, Maret 2014

Penulis

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv


BAB I:

PENDAHULUAN ..............................................................................

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1


B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................. 4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 6
E. Metode Penelitian ........................................................................... 6
F. Review Penelitian ........................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 13
BAB II:

TINJAUAN TEORITIS TENTANG HARTA BERSAMA ......... 14


A. Pengertian Harta Bersama .............................................................. 14
B. Pengurusan (Bestuur) Harta Kekayaan dalam Perkawinan
Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia .................. 16
C. Dasar Hukum Pembagian Harta Bersama Pasca Perceraian .......... 21
D. Konsep Harta Bersama Dalam Pandangan Hukum Islam .............. 24

BAB III :

PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA PASCA


PERCERAIAN

DI

PENGADILAN

AGAMA

JAKARTA

SELATAN ........................................................................................... 37
A. Deskripsi Pengadilan Agama Jakarta Selatan ................................ 37

iv

B. Proses Pemeriksaan Penyelesaian Harta Bersama


Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ........................................... 42
C. Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang
Harta Bersama ................................................................................ 44
D. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam
Memutuskan Gugatan Harta Bersama ........................................... 53
E. Analisa Penulis ................................................................................ 54
BAB IV:

PENUTUP .......................................................................................... 62
A. Kesimpulan .................................................................................... 62
B. Saran- Saran ................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 67


LAMPIRAN ............................................................................................................ 69

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Berbicara tentang perkawinan erat hubungannya dengan kehidupan
manusia itu sendiri, karena perkawinan itu merupakan proses untuk menjalani
hidup berkeluarga bagi setiap orang yang menghendaki adanya keseimbangan
lahir dan bathin selaras antara rohani dan jasmani. Demikian juga kebutuhan
hidup dalam perkawinan itu memerlukan harta benda (kekayaan) untuk
dipergunakan baik oleh suami maupun istri untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari bagi keluarga. Kekayaan inilah yang disebut: Harta Perkawinan,
Benda Perkawinan, Harta Keluarga, ataupun Harta Benda Keluarga. 1
Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya harta benda baik
yangdiperoleh

sebelum

perkawinan,

pada

saat

perkawinan

berlangsung

maupunyang diperoleh selama suami dan istri dalam ikatan perkawinan. Menurut
perundang-undangan di Indonesia, ketentuan harta sudah diatur dalam Undangundang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Dalam Undang-undang tersebut
dijelaskan bahwa harta dalam perkawinan di bagi kepada 2 jenis, yaitu: harta
bersama dan harta bawaan. Yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta
pencaharian yang diperoleh selama suami dan istri diikat dalam perkawinan dan

Surojo Wignodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, (Jakarta : Gunung Agung,
1982), hal.149

harta tersebut tidak diperoleh melalui warisan, hadiah dan hibah.Suami dan istri
dapat berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta tersebut berdasarkan
persetujuan kedua belah pihak. Mulai perkawinan dilangsungkan, secara hukum
berlaku kesatuan bulat antara harta kekayaan suami istri. Adapun terkait dengan
status harta yang sudah dimiliki sebelum menikah, mahar, warisan, hadiah dan
hibah disebut sebagai harta bawaan dari masing-masing suami istri. Harta bawaan
tersebut berada dibawah penguasaan masing-masing suami istri sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.
Persatuan kekayaan melalui konsep harta bersama itu berlaku sepanjang
perkawinan dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu
persetujuan antara suami dan istri.

Jika bermaksud mengadakan penyimpangan

dari ketentuan harta bersama sebagaimana diatur dalam Undang-undang


Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, suami istri harus menempuh jalan dengan
perjanjian kawin (Prenuptial Agreement). Perjanjian tesebut diatas, haruslah
dilaksanakan sebelum perkawinan dilangsungkan, dan dibuat dalam bentuk akta
autentik dihadapan Pejabat yang berwenang, yaituPegawai Pencatat Nikah. Hal ini
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 47 ayat 1. Akta autentik tersebut
sangat penting, karena dapat dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan
apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan masing-masing suami istri.

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2008), Ed. 1, cet.2, hal. 104

Di dalam kehidupan berumah tangga tidak selamanya orang hidup


harmonis dan bahagia, dikarenakan kedua belah pihak kurang memahami antara
hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami istri sebagaimana yang telah
diuraikan dalam Undang-undang yang telah ada, sehingga seringkali dalam
praktiknya terjadi percekcokan yang mengakibatkan perceraian.
Apabila perkawinan putus karena perceraian dan tidak adanya perjanjian
perkawinan (Prenuptial Agreement) yang dibuat sebelum perkawinan, maka harta
bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing.3 Dalam Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), dan sejalan dengan putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 9 Desember 1959 Nomor
424.K/SIP/1959, yang mengemukakan bahwa harta bersama suami istri apabila
terjadi putusnya perkawinan baik karena kematian atau perceraian maka kepada
suami istri tersebut masing-masing mendapat setengah bagian dari harta yang
mereka peroleh selama perkawinan berlangsung.
Dalam praktik peradilannya, hal tersebut tidaklah mudah dan sederhana.
Beberapa hal tidak sejalan dengan perkembangan hukum dan kondisi sosial yang
telah berubah dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman.
Perubahan dalam kehidupan masyarakat terjadi dalam berbagai bentuk, baik
dalam bidang komunikasi, informasi dan hal-hal yang menyangkut dengan sosial

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2008), Ed. 1, cet.2, hal. 105

budaya, seperti pihak istri bekerja tidak hanya sebatas menjadi ibu rumah tangga,
dengan kata lain pihak suami tidak berpartisipasi dalam membangun ekonomi
rumah tangga atau suami istri yang sama-sama berpartisipasi dalam membangun
ekonomi rumah tangga. Yang kesemuanya itu sangat mempengaruhi tentang
perolehan harta bersama dan juga pembagian harta bersama apabila terjadi
perceraian.
Oleh karena itu perlu adanya pertimbangan khusus tentang partisipasi dari
pihak istri atau partisipasi dari kedua belah pihak dalam mewujudkan harta
bersama keluarga, sehingga bagian yang menetapkan setengah dari harta bersama
untuk istri dan untuk suami perlu dilenturkan lagi.
Berdasarkan hal-hal tersebut penulis ingin meninjau lebih jauh bagaimana
hakim Pengadilan Agama menerapkan pembagian harta bersama tersebut. Apakah
hakim Pengadilan Agama memang menerapkan ketentuan bahwa setengah dari
harta bersama untuk istri dan untuk suami?. Ataukah hakim Pengadilan Agama
telah melenturkan aturan tersebut?. Dalam hal ini Peneliti akan memfokuskan
penelitian pada putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dengan judul:
PENYELESAIAN

GUGATAN

HARTA

BERSAMA

PASCA

PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan, fokus
penelitian ini adalah tentang pemeriksaan gugatan harta bersama di Pengadilan

Agama Jakarta Selatan, Bagaimana perhitungan dan putusan Hakim tentang harta
bersama.
Untuk lebih fokusnya penelitian ini, maka peneliti hanya membatasi pada
putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang gugatan harta bersama dalam
kasus apabila suami bekerja sedangkan istri tidak bekerja, suami tidak bekerja
sedangkan isatri bekerja, dan suami istri sama-sama bekerja.
Berdasarkan masalah-masalah yang muncul terkait dengan penyelesaian
gugatan harta bersama pasca perceraian yang diputus oleh pihak Pengadilan, maka
rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pemeriksaan gugatan harta bersama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan?
2. Apakah pertimbangan hakim dalam memutuskan gugatan harta bersama Di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
3. Apakah putusan Majelis Hakim dalam pembagian harta bersama sudah sesuai
dengan Undang-undang yang berlaku di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah, yaitu
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses pemeriksaan gugatan harta bersama pasca
perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim tentang pembagian porsi harta
bersama;

3. Untuk mengetahui putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan


dalam pembagian harta bersama pasca perceraian, apabila:
a. Pihak suami bekerja, pihak istri tidak bekerja;
b. Pihak suami tidak bekerja, pihak istri bekerja;
c. Pihak suami dan pihak istri sama-sama bekerja.

D. Manfaat Penelitian
1. Ingin memberikan gambaran kepada pembaca mengenai porsi pembagian
harta bersama pasca perceraian apabila pihak suami bekerja sedangkan pihak
istri tidak bekerja, pihak suami tidak bekerja sedangkan pihak istri bekerja,
pihak suami dan pihak istri sama-sama bekerja serta implementasinya dalam
putusan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Untuk lebih mengembangkan penalaran, pembentukan pola pikir dinamis
sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang
diperoleh. Sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian gugatan harta
bersama pasca perceraian.
3. Penelitian ini diharapkan dapat merumuskan cara yang tepat dalam hal
penerapan hukum penyelesaian gugatan harta bersama pasca perceraian oleh
Pengadilan Agama.

E. Metode Penelitian
Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Obyek Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, obyek penelitiannya adalah putusan
Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang penyelesaian
gugatan harta bersama yang mana putusan tersebut penulis ambil secara acak,
dengan kriteria yang bisa mewakilkan pembagian harta bersama apabila:
a. Pihak suami bekerja, pihak istri tidak bekerja;
b. Pihak suami tidak bekerja, pihak istri bekerja;
c. Pihak suami dan pihak istri sama-sama bekerja.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu jenis penelitian yang
menggambarkan dan memberikan analisa terhadap peraturan Perundangundangan yang bertkaitan dengan harta bersama dan juga mengungkap
bagaimana kenyataan yang ada di lapangan, terkait dengan penerapan
peraturan tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
3. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu jenis
data yang digunakan bersifat naratif dalam bentuk pernyataan-pernyataan
yang menggunakan penalaran.4 Sedangkan metode pendekatan masalah yang
digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan empiris normatif yaitu
mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam Peraturan

Yayan Sopyan, Metode Penelitian, (Jakarta: t.p., 2009), h. 21.

Perundang-undangan dan putusan Pengadilan serta norma-norma yang hidup


dan berkembang dalam masyarakat.5
4. Sumber Data dan Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisa
data-data yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) sumber yaitu :
a. Data Primer, yaitu data-data pokok, terdiri dari
1) Putusan Pengadilan
Dalam hal ini penulis mengumpulkan data dengan cara
mengumpulkan

putusan-putusan

Pengadilan

Agama

Jakarta

Selatanyang diambil secara acak yang sesuai dengan permasalahan


yang penulis, yaitu:
a) Putusan Nomor 45/Pdt.G/2005/PAJS, mewakili pihak suami tidak
bekerja, pihak isteri bekerja;
b) Putusan Nomor 0356/Pdt.G/2008/PAJS, mewakili pihak suami
bekerja, pihak isteri tidak bekerja;
c) Putusan Nomor 0180/Pdt.G/2011/PAJS, mewakili pihak suami
bekerja dan pihak isteri sama-sama bekerja.
2) Wawancara
Penulis
wawancara

mengumpulkan

secara

langsung

data

dengan

cara

denganvinforman

mengadakan
yang

banyak

mengetahui tentang masalah yang diteliti. Dengan ini penulis


5

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 105

mengadakan wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta


Selatan, yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
yaitu: Ibu Tama, SH.
b. Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka yang
bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari buku
literature dan karya ilmiah yang ada hubungannya dengan materi yang
dibahas, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan;
2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan

Undang-undang

Nomor

tahun

Perkawinan;
3) Kompilasi Hukum Islam (KHI);
4) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer);
5) Yurisprudensi;
6) Literature-literatur Hukum:
a) Buku-buku;
b) Jurnal;
c) Website;
d) Artikel.

1974

tentang

10

c. Data Tersier
Merupakan data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap data primer dan data sekunder yaitu kamus hukum.
5. Metode Analisa Data
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian
deskriptif analitis, analisa data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif
terhadap data primer dan data sekunder dengan menggunakan analisa isi
(content analisis), yaitu menganalisis isi putusan dengan cara membandingkan
teori yang ada dengan praktek di lapangan, yansg kemudian dideskripsikan
sehinggamendapatkan suatu kesimpulan yang objektif dan konkret sesuai
dengan masalah yang ada.

F. Review Penelitian
Terdapat sejumlah penelitian terdahulu terkait dengan harta bersama,
diantaranya:
1. Judul

: Penyelesaian

Pembagian

Harta

Bersama

Setelah

Perceraian DiNegara Bagian Sarawak (Malaysia).


Peneliti

: Muhammad Harmila Bin Anuar

Identitas Penelitian : Skripsi, tahun 2010, Prodi SAS UIN Jakarta Syarif
Hidayatullah.
Isi

: Putusan Majelis Hakim Pengadilan di Negara Bagian


Sarawak (Malaysia) adalah sesuai dengan kaidah-

11

kaidah atau ketentuan yang berlaku. Sebagaimana yang


telah disebutkan dalam pasal 58 Ordinan Undangundang Keluarga Islam (Sarawak).
Metode penelitian

: Penelitian

Kualitatif

dengan

teknik

penelitian

deskriptif.
Penelitian ini lazim disebut sebagai studi dogmatik atau
Doctrinal Reseace.
2. Judul

: Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia


Nomor : 193 K/AG/2004, tentang Pembagian Harta
Bersama

Peneliti

: Hernasari

Identitas Penelitian : Skripsi, tahun 2009, Prodi SAS UIN Jakarta

Syarif

Hidayatullah.
Isi

: Memperbaiki amar putusan PA dan PTA yang mana


hukum atas kasus pembagian harta gono-gini yang
diteliti cenderung kurang adil karena berdasarkan
analisis deret waktu, lebih banyak harta yang diperoleh
atas hasil jerih payah penggugat, baik sebelum maupun
selama pernikahan.

Metode penelitian

: Penelitian Deskriftif

12

3. Judul

: Penyelesaian

Harta

Bersama

Akibat

Perceraian

Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Nomor :


393/PDT.G/2007/PA. TNG
Peneliti

: Hamzah Ikat

Identitas Penelitian : Skripsi, tahun 2009, Prodi SAS UIN Jakarta

Syarif

Hidayatullah.
Isi

: Pertimbangan Majelis Hakim pada putusan perkara


Nomor 393/Pdt. G/2007/PA. Tng, Hakim hanya
menerapkan apa yang terdapat dalam Kompilasi
Hukum

Islam

sepanjang

sudah

dijelaskan

atau

disesuaikan dengan kasus baru hakim menafsirkan


pasal tersebut.
Metode penelitian

: Penelitiannya menggunakan Pendekatan Normatif.


Menggabungkan antara jenis penelitian yang bersifat
penelitian

lapangan

(field

research)

dan

studi

kepustakaan (library research).


Dari ketiga penelitian terdahulu, tampak bahwa penelitian tersebut berbeda
dengan penelitian yang peneliti lakukan. Meski topik penelitiannya masih samasama terkait harta bersama, namun obyek dan fokus penelitiannya berbeda.
Karena obyek dan fokus penelitian dalam skripsi ini adalah putusan Majelis
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang penyelesaian gugatan harta

13

bersama, yang mana putusan tersebut terfokus kepada porsi pembagian harta
bersama apabila:
1. Pihak suami bekerja, pihak istri tidak bekerja;
2. Pihak suami tidak bekerja, pihak istri bekerja;
3. Pihak suami dan pihak istri sama-sama bekerja.

G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab pertama berisi pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, review penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua menjelaskan mengenai ketentuan harta bersama secara teoritis
yang meliputi, definisi harta bersama, dasar hukum harta bersama, pengurusan
(bestuur) harta bersama menurut Perundang-undang di Indonesia, dasar hukum
pembagian harta bersama dan konsep harta bersama dalam pandangan fiqih.
Bab ketiga merupakan pembahasan perihal

penerapan ketentuan

pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang meliputi:


deskripsi Pengadilan Agama Jakarta Selatan, proses pemeriksaan penyelesaian
harta bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, pertimbangan putusan hakim
tentang harta bersama tersebut dan analisis penulis.
Bab keempat berisi penutup yang meliputi kesimpulan yang dapat penulis
ambil dari keseluruhan skripsi ini, dan diakhiri dengan saran dan rekomendasi.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG HARTA BERSAMA

A. Pengertian Harta Bersama


Dari segi bahasa harta yaitu barang-barang (uang dan sebagainya) yang
menjadi kekayaan.1 Sedangkan harta bersama adalah harta yang diperoleh suami
istri secara bersama di dalam perkawinan.2
Para ahli hukum di Indonesia telah menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan harta bersama adalah semua harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung, tanpa mempersoalkan siapa diantara suami istri yang mencarinya
dan juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta kekayaan itu terdaftar.3
Walaupun demikian telah dibatasi oleh ahli hukum di Indonesia bahwa
yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta kekayaan yang dihasilkan
melalui jerih payah atau usaha suami dan/atau istri selama mereka diikat oleh tali
perkawinan.
Dengan demikian harta bawaan pribadi yang berasal dari pencaharian
sendiri sebelum perkawinan tidak bisa dikategorikan sebagai harta bersama.
Begitu juga, tidak termasuk harta bersama harta yang berasal dari harta warisan,

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), cet.2, h.199.

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), cet.6, h.160.

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2008), cet.2, h.108.

14

15

harta hibah dan barang-barang hadiah, meskipun harta tersebut diperoleh disaat
mereka terikat tali perkawinan.
Dalam hukum positif di Indonesia, masalah harta bersama diatur dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (UUP), Kompilasi
Hukum Islam (KHI), dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 35 ayat (1) berbunyi : Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Cakupan atau
batasan dari harta bersama diatur pada ayat (2) yaitu: Harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, harta besama diatur lebih rinci. Pasal 1
huruf

F Kompilasi Hukum Islam menyatakan: Harta kekayaan dalam

perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya
disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 119
menyatakan: Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum
terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh hal itu tidak
diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa harta benda dalam perkawinan
berdasarkan hukum positif di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

16

1. Harta Bersama, yaitu harta kekayaan yang dihasilkan melalui jerih payah
suami dan/atau istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, bukan harta
yang berasal dari harta perorangan atau pribadi yang berasal dari pencaharian
sendiri sebelum perkawinan, dan bukan pula harta yang diperoleh pada saat
perkawinan melalui warisan, hibah dan hadiah;
2. Harta Pribadi, yaitu harta kekayaan perorangan baik itu harta perorangan
suami atau harta perorangan istri yang berasal dari pencaharian masingmasing sebelum perkawinan, dan harta yang diperoleh ketika terikat tali
perkawinan melalui warisan, hibah, dan barang-barang hadiah.

B. Pengurusan (Bestuur)

Harta Kekayaan dalam Perkawinan Menurut

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia


Pada prinsipnya dalam pengurusan harta kekayaan dalam perkawinan baik
suami maupun istri dapat menggunakan sesuai dengan kehendaknya masingmasing seperti menjual, memperbaikinya, memberikan kepada orang lain dan
sebagainya, selama itu tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
umum lainnya. Dan juga tidak diperkenankan mengganggu hak orang lain, yang
menjadi masalah mengenai harta kekayaan suami istri ini ialah mana yang dapat
dimasukkan ke dalam harta persatuan suami istri dan yang merupakan harta
kekayaan pribadi dari masing-masing pihak (suami istri).4Dalam peraturan

Husni Syawali, Pengurusan (Bestuur) Atas Harta Kekayaan Perkawinan Menurut KUH
Perdata, Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Islam, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2009), cet.1, h.72.

17

Perundang-undangan di Indonesia, Pengelolaan harta kekayaan dalam perkawinan


diatur sebagai berikut:
1. Harta Bawaan
Harta Bawaan, yaitu harta benda atau barang-barang tertentu yang dibawa
baik oleh suami atau istri pada waktu kawin. Apabila suami yang memperoleh
barang itu, maka ia sendiri menjadi pemiliknya dan istri tidak ikut
memilikinya, tetapi dapat turut menikmati manfaat dari hasil barang-barang
itu. Demikian juga sebaliknya, dengan harta bawaan istri. Apabila melakukan
perbuatan hukum dengan barang-barang tersebut maka tidak diperlukan
persetujuan terlebih dahulu dari salah satu pihak karena masing-masing suami
istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
harta bawaan tersebut. Sesuai dengan isi Pasal 36 ayat (2)Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan: Mengenai harta bawaan masingmasing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
2. Harta Bersama
Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh suami atau istri secara
bersama di dalam perkawinan melalui pencaharian bersama bukan berasal dari
harta perorangan yaitu harta pencaharian sebelum perkawinan, warisan, hibah,
dan barang-barang hadiah. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan: Harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dalam hal

18

pengurusan harta bersama ini menjadi hak dan kewajiban suami istri secara
bersama. Baik suami atau istri dapat mempergunakannya dengan persetujuan
salah satu pihak. Sesuai dengan isi Pasal 36 ayat (1)Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan: Mengenai harta bersama, suami atau istri
dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
3. Hadiah atau Warisan
Hadiah yaitu harta yang diperoleh dari suatu pemberian yang timbul karena
rasa simpatik terhadap seseorang yang berprestasi atau menghargai seseorang
yang disebabkan hal-hal tertentu.5 Hadiah dalam hal ini dapat diartikan juga
harta yang didapat oleh pengantin pada waktu pernikahan dilaksanakan.
Sedangkan harta yang berasal dari warisan yaitu harta pengoperan yang
berbentuk materil dan imateril dari satu generasi ke generasi selanjutnya. 6
Untuk pengurusan harta kekayaan perkawinan yang berasal dari hadiah atau
warisan adalah menjadi hak dan kewajiban masing-masing suami atau istri
pemilik harta tersebut. Pasangan dari suami atau istri tidak perlu persetujuan
dari pasangannya masing-masing apabila melakukan perbuatan hukum
terhadap harta tersebut.
Selanjutnya, dengan adanya ikatan perkawinan antara seorang pria dan
seorang wanita, berakibat timbulnya hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban

Ibid., h.51.

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2009), h.248.

19

suami istri ini diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Suami istri dalam membina kehidupan berumah tangga dan dalam
pergaulan masyarakat mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang sama.
Dalam lingkungan masyarakat terkecil, suami istri tidak dapat menghindari
kewajibannya dalam hal membina rumah tangga. Hal ini disebutkan dalam Pasal
31 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan: Hak dan
kewajiban suami istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Meskipun hak dan kwajiban suami istri itu sama, akan tetapi dalam hal pemegang
pimpinan keluarga tetap berada pada pihak suami dan istri sebagai ibu rumah
tangga.
Sehubung dengan hak dan kewajiban dalam kehidupan berumah tangga
seperti tersebut diatas, ada lagi yang tidak kalah pentingnya yaitu yang berkaitan
dengan harta kekayaan dalam rumah tangga. Hak dan kewajiban dalam
pengurusan harta kekayaan dalam rumah tangga(bestuur) meliputi 3 (tiga) macam
harta, yaitu harta bawaan, harta bersama dan harta yang berasal dari hadiah atau
warisan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 35 berbunyi:
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;

20

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36 berbunyi:
1. Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak;
2. Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Adapun hutang piutang suami istri selama perkawinan, suami istri tersebut
bertanggung jawab dengan harta bersama mereka, maupun dengan harta bawaan
mereka. Apabila hutang tersebut adalah hutang suami, maka suami yang
bertanggung jawab dengan harta bawaannya dan dengan harta bersama. Harta
bawaan istri tidak ikut dipertanggung jawabkan untuk hutang suami apabila tidak
mencukupi untuk menutupi pembayaran hutang tersebut begitupun sebaliknya
dengan hutang istri. Yang menyangkut hutang suami istri setelah perceraian
suami istri bertanggung jawab sendiri dengan hartanya.7
Dalam hal kelebihan suami atas istri tidak boleh dijadikan alasan untuk
bertindak sekehendak hatinya bahkan tidak boleh merampas hak dan martabat
istri, juga tidak dapat dibenarkan menggunakan harta kekayaan milik istri untuk
kepentingan dirinya sendiri apalagi digunakan untuk membelanjai kebutuhan atau

Syawali, Pengurusan (Bestuur) Atas Harta Kekayaan Perkawinan Menurut KUH Perdata
Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Islam, hal. 97.

21

keperluan rumah tangga yang menjadi tanggung jawab suami. Namun demikian
Islam tetap memberikan kesempatan kepada suami untuk menggunakan dan
menikmati harta kekayaan istri dengan syarat ada persetujuan dari istri. Hal ini
ditegaskan dalam surat An-Nisa (4): 4, berbunyi:



Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. AnNisa (4): 4)

C. Dasar Hukum Pembagian Harta Bersama Pasca Perceraian


Mulai perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlaku kesatuan bulat
antara harta kekayaan suami istri. Akan tetapi dalam kehidupan berumah tangga
tidak selamanya orang hidup harmonis dan bahagia, dikarenakan kedua belah
pihak kurang memahami antara hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami
istri sebagaimana yang telah diuraikan dalam undang-undang yang telah ada,
sehingga seringkali dalam praktiknya terjadi percekcokan yang mengakibatkan
perceraian.
Sebagaimana perbuatan hukum lainya, perceraian juga akan menimbulkan
akibat baik bagi suami maupun bagi istri, juga terhadap anak-anaknya dan harta
benda yang mereka miliki. Sehingga sering terjadi sengketa masalah pembagian
harta bersama pasca perceraian.

22

Dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia, dasar hukum


pembagian harta bersama berdasarkan:
1. Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
berbunyi:
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing,
adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainya. Contohnya dahulu di
Bali azas suami mendapat 2/3 bagian dan istri mendapat 1/3 bagian dari harta
bersama apabila terjadi perceraian, azas ini disebut sasuhun-sarembat.
Sedangkan di Jawa Tengah disebut sagendong sapikul.8
2. Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi:
Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi

hak

pasangan yang hidup terlama.


Yang dimaksud dengan separuh harta bersama, berarti apabila
salah satu pasangan meninggal dunia, maka setengah dari harta yang
diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi hak pasangan yang hidup
terlama sedangkan yang separuhnya lagi dibagikan kepada para ahli waris
sehingga menjadi harta waris dari salah satu pasangan yang meninggal.

h.185.

Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, (Bandung:Alumni, 1973),

23

3. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi:


Janda atau Duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan,
maksudnya adalah setiap pasangan yang telah bercerai baik secara cerai talak
atau cerai mati masing-masing berhak mendapatkan separuh bagian dari harta
bersama sepanjang mereka tidak membuat perjanjian pranikah atau prenuptial
agreement. Henry Lee A Weng mengutip pendapat Gatot Supramono dalam
bukunya Beberapa Segi Hukum dalam Perjanjian Perkawinan, : Perjanjian
perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon
isteri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana
dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan isinya
juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan. Perjanjian
pranikah bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan,
melainkan juga meliputi syarat-syarat/keinginan-keinginan yang harus
dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.9 Perjanjian pra nikah tidak diperbolehkan bila
perjanjian tersebut menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal,
contoh: Perjanjian pra nikah yang isinya, jika suami meninggal dan mereka
tidak dikaruniai anak, maka warisan mutlak jatuh pada istri. Padahal dalam

Henry Lee A weng, Beberapa Segi Hukum dalam Perjanjian Perkawinan, (Medan,
Rimbow,1990), h.5.

24

Islam, harta suami yang meninggal tanpa dikarunia seorang anak tidak seluruh
hartanya jatuh kepada istri, masih ada saudara kandung dari pihak suami
ataupun orang tua suami yang masih hidup. Contoh diatas adalah
Menghalalkan yang haram. Contoh lainnya : Perjanjian yang isinya,
perkawinan dibatasi waktu atau nikah mutah (kawin kontrak), sedangkan
pernikahan tidak boleh diperjanjikan untuk bercerai.
Berdasarkan dari beberapa pasal diatas maka dapat dikemukakan
bahwa harta bersama suami istri apabila putus dikarenakan perceraian ataupun
kematian maka kepada suami istri masing-masing mendapat setengah bagian
dari harta bersama.

D. Konsep Harta Bersama dalam Pandangan Hukum Islam


Dalam kitab-kitab fiqih Imam Mahzab, hanya ditemui pembahasan bahwa
masing-masing harta suami istri terpisah tidak ada penggabungan harta setelah
pernikahan terjadi, suami hanya berkewajiban menafkahi istri. Dasar hukumnya
adalah Al-Quran surat An-Nisa (4): 32, berbunyi:







Artinya: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena)
bagi orang laki-laki ada sebahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan
bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan

25

mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha


Mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa (4): 32)
Dengan demikian harta yang dimiliki istri dalam perkawinan hanya
sebatas nafkah yang dia terima dari suaminya dan ditambah mahar yang dia
peroleh pada saat awal perkawinan serta hadiah, hibah dan warisan. Berkaitan
dengan harta kekayaan perkawinan dalam kitab fiqih imam mahzab ditemukan
tentang pembahasan Mataul Bait (Perabot Rumah Tangga).
Dalam buku Abdul Manan Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, Hazairin, Anwar Harjono dan Andoerraoef serta diikuti oleh muridmuridnya mengemukakan pendapat pula bahwa agama Islam tidak mengatur
tentang harta bersama dalam Al-Quran. Oleh karena itu diserahkan sepenuhnya
kepada mereka (suami istri) untuk mengaturnya.10
Pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan menurut hukum Islam
meliputi:
1. Warisan
Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada
ahli waris. Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima harta
peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena hubungan
keluarga, pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya (wala).
Kepemilikan warisan dan juga pengurusan warisan tersebut menjadi hak dan
kewajiban ahli waris.

10

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2008), Ed. 1, cet.2, h.109

26

2. Maskawin atau Mahar


Maskawin adalah harta yang diperoleh dari pemberian mempelai lakilaki kepada mempelai perempuan, disebut juga mahar. 11
Kepemilikan mahar dan juga pengurusan mahar tersebut menjadi hak
dan kewajiban sepenuhnya pihak istri.
3. Nafkah
Perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian
nafkah terhadap istri. Firman Allah SWT, dalam surat An-Baqorah : 233,
berbunyi:






Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
11

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), cet. 6, h.268.

27

dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan. (QS. Al-Baqarah (2) : 233)
4. Perabot Rumah Tangga (Mataul Bait)
Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya perabot rumah tangga,
karena merupakan salah satu faktor penunjang suatu rumah tangga. Perabot
rumah tangga ini dapat dipergunakan oleh semua anggota keluarga untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Perabot rumah tangga merupakan
kewajiban suami untuk menyediakannya, adapun istri tidak berkewajiban
untuk menyediakan apapun dalam hal perabot rumah tangga.
Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang sesuatu
perabotan rumah tangga, maka persoalannya harus diteliti terlebih dahulu.
Perabotan rumah tangga itu diteliti terlebih dahulu apakah perabotan itu
khusus untuk laki-laki, khusus untuk wanita atau dapat dipergunakan secara
bersama. Apabila telah diteliti maka penyelesaian perselisihan antara suami
istri mengenai perabot rumah tangga dapat diselesaikan dengan 3 (tiga)
penyelesaian, yaitu:
a. Menurut Imamiyah dan Imam Hanafi:
1) Barang-barang perabot rumah tangga khusus untuk laki-laki,
contohnya pakaian pria, perangkat teknik atau kedokteran (manakala
suami seorang insinyur atau dokter). Barang-barang seperti ini
pemiliknya ditentukan berdasarkan pernyataan (klaim) suami disertai

28

sumpah, kecuali bila terdapat bukti yang menyatakan bahwa barangbarang tersebut betul-betul milik istri;
2) Barang-barang

perabot

rumah

tangga

khusus

untuk

wanita,

contohnyapakaian wanita, perhiasan, mesin jahit, alat-alat kecantikan.


Barang-barang

seperti

ini

pemiliknya

ditentukan

berdasarkan

pernyataan (klaim) istri disertai sumpah, kecuali bila terdapat bukti


yang menyatakan bahwa barang-barang tersebut betul-betul milik
suami;
3) Bila barang-barang tersebut dapat dipegunakan secara bersama,
contohnya selimut, kasur, furniture dan lain-lain.

Barang-barang

seperti ini pemiliknya ditentukan berdasarkan pihak yang dapat


menunjukkan bukti. Apabila kedua belah pihak tidak dapat
menunjukkan bukti kepemilikannya, maka masing-masing pihak
diminta bersumpah bahwa barang-barang itu memang miliknya.
Sesudah keduanya diminta bersumpah, barang-barang itu dibagi dua.
Apabila salah seorang bersedia bersumpah sedang seorang lagi tidak,
maka barang-barang itu diberikan kepada pihak yang bersumpah.
b. Menurut Imam Syafii bahwa barang-barang yang bisa dipakai bersama,
ataupun barang-barang yang hanya dipakai oleh salah satu pihak adalah
milik bersama.12

12

Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h.381

29

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam hal harta bersama, hukum Islam


paling sederhana mengaturnya, tidak rumit, dan mudah untuk dipraktikkannya.
Hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta milik suami dengan
harta milik istri, masing-masing pihak bebas mengatur harta milik masing-masing
dan tidak diperkenankan adanya campur tangan salah satu pihak dalam
pengaturannya. Ikut campur salah satu pihak hanya bersifat nasihat saja, bukan
penentu dalam pengelolaan harta milik pribadi suami atau istri tersebut.13
Meskipun hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta pribadi
masing-masing ke dalam harta bersama suami istri tetapi dianjurkan adanya saling
pengertian antara suami istri dalam mengelola harta pribadi tersebut. Apabila
dikhawatirkan akan timbul hal-hal yang tidak diharapkan, maka hukum Islam
memperbolehkan diadakan perjanjian perkawinan (prenuptial agreement)
sebelum pernikahan dilaksanakan.
Apa yang disebut harta bersama dalam rumah tangga, pada mulanya
didasarkan atas urf atau adat istiadat dalam sebuah negeri yang tidak
memisahkan antara hak milik suami dan istri. Harta bersama tidak ditemukan
dalam masyarakat Islam yang adat istiadatnya memisahkan antara harta suami dan
harta istri dalam sebuah rumah tangga. Dalam masyarakat Islam seperti ini, hak
dan kewajiban dalam rumah tangga, terutama hal-hal yang berhubungan dengan
pembelanjaan, diatur secara ketat.14

13

14

Ibid, h.111.

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis


Yurisprudensi Dengan Pendekatan ushuliyah, (Jakarta: Kencana, 2004), h.59.

30

Masyarakat Islam di Indonesia memiliki adat istiadat yang tidak


memisahkan harta suami dan harta istri dalam sebuah rumah tangga. Dengan
demikian, seluruh harta yang diperoleh setelah terjadinya akad nikah, dianggap
harta bersama suami istri tanpa mempersoalkan jerih payah siapa yang lebih
banyak dalam usaha memperoleh harta itu. Dalam rumah tangga seperti ini, rasa
kebersamaan lebih menonjol, dan menganggap akad nikah mengandung
persetujuan kongsi dalam membina kehidupan rumah tangga. Maka apabila
terjadi perceraian, terjadilah persoalan pembagian harta bersama.
Sayuti

Thalib

menulis

dalam

bukunya

yang

berjudul

Hukum

Kekeluargaan Indonesia, menyebutkan bahwa:15


Walaupun demikian telah dibuka kemungkinan syirkah atas hartakekayaan
suami istri itu secara resmi dan menurut cara-cara tertentu. Suami istri dapat
mengadakan syirkah yaitu percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami dan
atau istri selama adanya perkawinan atas usaha suami atau istri sendiri-sendiri,
atau atas usaha mereka bersama-sama. Begitupun mengenai harta kekayaan usaha
sendiri-sendiri, sebelum perkawinan dan harta-harta yang berasal bukan dari
usaha salah seorang mereka atau bukan dari usaha mereka berdua, tetapi berasal
dari pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus teruntuk mereka masingmasing, dapat tetap menjadi milik masing-masing. Baik yang diperolehnya
sesudah mereka berada dalam ikatan suami istri tetapi dapat pula mereka
syirkahkan.
Menurut M. Yahya Harahap dalam buku Abdul Manan Aneka Masalah
Hukum Perdata Islam Di Indonesia, bahwa sudut pandang hukum Islam
terhadap harta bersama ini adalah pencaharian suami istri semestinya masuk
dalam rubul muamalah, tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan. Oleh
15

h.86.

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Hecca Pub, 2005), ed. 1, cet.2,

31

karena itu masalah pencarian bersama suami istri adalah termasuk perkongsian
atau syirkah.16
Secara etimilogi, asy-syirkah berarti pencampuran, yaitu pencampuran
antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan. Secara terminologi,
pada dasarnya definisi yang dikemukakan oleh para ulama fiqih hanya berbeda
secara redaksional sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya sama, yaitu
ikatan kerja sama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan
keuntungan.17
Syirkah secara umum terbagi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:
1. Syirkah Ibahah, yaitu : Persekutuan hak semua oranguntuk dibolehkan
menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaan seseorang;
2. Syirkah Amlak (Milik), yaitu : Persekutuan antara dua orang atau lebih untuk
memiliki suatu benda. Syirkah Amlak (Milik) terbagi dua yaitu:
a. Syirkah Milik Jabriyah, Persekutuan antara dua orang atau lebih untuk
memiliki suatu benda yang terjadi tanpa keinginan yang bersangkutan,
seperti persekutuan ahli waris;
b. Syirkah Milik Ikhtiyariyah, Persekutuan antara dua orang atau lebih untuk
memiliki suatu benda yang terjadi atas keinginan para pihak yang
bersangkutan.
16

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2008), ed. 1, cet.2, h.111.
17

Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), cet.3, h.115.

32

3. Syirkah Akad, yaitu : Persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul
karena adanya perjanjian. Syirkah akad terbagi menjadi 4 (empat), yaitu :
4. Syirkah Amwal, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam
modal/harta. Syirkah ini terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Syirkah alInan, adalah persetujuan antara dua orang atau lebih untuk
memasukkan bagian tertentu dari modal yang akan diperdagangkan
dengan ketentuan keuntungan dibagi diantara para anggota sesuai dengan
kesepakatan bersama, sedangkan modal masing-masing tidak harus sama;
b. Syirkah al Mufawadhah, adalah persekutuan antara dua orang atau lebih
dalam modal dan keuntungannya dengan syarat besar modal masingmasing yang disertakan harus sama, hak melakukan tindakan hukum
terhadap harta syirkah harus sama dan setiap anggota adalah penanggung
dan wakil dari anggota lainnya.
5. Syirkah Amal/Abdan (Persekutuan Kerja/Fisik), yaitu Perjanjian persekutuan
antara dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan dari pihak ketiga yang
akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi diantara para
anggotanya sesuai dengan kesepakatan mereka;
6. Syirkah Wujuh, yaitu Persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal
harta dari pihak luar untuk mengelola modal bersama-sama tersebut dengan
membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan bersama. Syirkah ini
berdasarkan kepercayaan yang bersifat kredibilitas.18
18

Tayaquddin An Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,


(Surabaya: risalah Gusti, 1996), h.163.

33

7. Syirkah Mudharabah (Qirah), yaitu berupa kemitraan terbatas adalah


perseroan antara tenaga dan harta seseorang (pihak pertama/supplier/pemilik
modal/mudharib)

memberikan

haratnya

kepada

pihak

lain

(pihak

kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk berbisnis, dengan


ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masingmasing pihak sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian maka
ketentuannya berdasarkan syara bahwa kerugian dalam mudharabah
dibebankan kepada harta, dan tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola,
yang bekerja.19
Secara

logika

perkongsian

itu

boleh

karena

merupakan

jalan

untukmendapatkan karunia Allah, seperti dalam firman Allah surat Al-Jumah


ayat 10. Adapun bunyi ayat tersebut yaitu :




Artinya: "Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebarlah kamu di muka
bumi, dan carilah karunia Allah". (QS. Al-Jumuah (62) : 10)
Mengingat perkongsian itu banyak macamnya terjadilah selisih pendapat
tentang kebolehannya. Perkongsian yang menurut ulama tidak diperbolehkan
yaitu yang mengandung penipuan. Dalam kaitannya dengan harta kekayaan
disyariatkan peraturan mengenai muamalat. Karena harta bersama hanya
19

h.380.

Afzalur Rahman, Dokrin Ekonomi Islam jilid 4, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996),

34

dikenaldalam masyarakat yang adat istiadatnya mengenal percampuran harta


kekayaan, maka untuk menggali hukum mengenai harta bersama digunakan
qaidah kulliyah yang berbunyi :

Artinya: Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum


Menurut Muhammad al-Zarqa (w.1357 H), adat dapat dibagi menjadi ke
dalam dua kelompok, yaitu: ammah dan khassah. Adat ammah (adat umum)
maksudnya adalah suatu perbuatan atau prilaku yang berlaku umum di seluruh
negara, sedangkan adat khassah (adat khusus) maksudnya adalah suatu
perbuatan atau prilaku yang berlaku umum di sebuah negara. Dengan demikian,
berlaku umum merupakan syarat diperhitungkannya adat, baik adat yang umum
maupun yang khusus. Menurutnya, apabila tidak ada nash (al-Quran dan Sunnah)
yang menentangnya, maka tidak perlu diperbincangkan lagi untuk diperhitungkan,
sehingga adat tersebut dapat dijadikan hujjah.20
Qaidah Al-Adatu Muhakkamah dapat digunakan dengan syarat-syarat
tertentu, yaitu:21
1. Tidak bertentangan dengan syariat;
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemaslahatan;
3. Telah berlaku pada umumnya umat muslim;

20

Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2008), h.218.
21

Burhanudin, Fiqih Ibadah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h. 263.

35

4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah;


5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya;
6. Tidak bertenntangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.
Dalam hal ini, harta bersama dalam perkawinan itu digolongkan dalam
bentuk syirkah abdan dan syirkah mufawadlah. Adanya syirkah antara suami istri
sejauh mengenai harta yang akan diperoleh atas usaha selama dalam ikatan
perkawinan itu, berdasarkan keadaan masyarakat itu sendiri seperti adanya
kenyataan:22
1. Kesempatan istri mencari kekayaan dan berusaha sendiri sangat terbatas
dibandingkan dengan kesempatan seorang suami;
2. Terselenggaranya dengan baik bagian pekerjaan yang dipegang oleh istri
dalam suatu rumah tangga yang merupakan pekerjaan yang cukup berat,
merupakan sebab langsung bagi suami untuk dapat menguruskan pekerjaan
dan usahanya jauh dari rumah mereka dengan perasaan tenang dan sungguhsungguh.
Dari penjelasan diatas, syirkah dalam hal pembagian harta bersama
merupakan bentuk kerjasama antara suami dan istri untuk membangun sebuah
keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah termasuk didalamnya harta dalam
perkawinan.
Dalam kitab-kitab fiqih disebutkan hanya secara garis besar saja, sehingga
menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap suatu masalah yang dihadapi
dalam kenyataan. Namun demikian para pakar hukum Islam di Indonesia
22

Herlini Amran, Fiqih Wanita Harta Istri = Harta Bersama?, Ummi, No. 8/XV, JanuariPebruari 2004/1424 H, hlm. 44

36

merumuskan kaidah-kaidah harta bersama suami istri dalam perkawinan dengan


melakukan pendekatan melalui jalur syirkah abdandan juga dengan menjadikan
hukum adat (urf) yang berkembang dimasyarakat Indonesia sebagai sumber
hukum,yang didukung dengan kaidah Al-Adatu Muhakkamah, sebagaimana
dijelaskan terdahulu.

BAB III
PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA PASCA PERCERIAN DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

A. Deskripsi Pengadilan Agama Jakarta Selatan


1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan1
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi
yangmelaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja
sebagai berikut:
a. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24;Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970; Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ;
b. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 ;
c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 ;
d.

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 ;

e. Peraturan/instruksi/Edaran Mahkamah Agung RI ;


f. Intruksi Dirjen Bimas Islam/ Bimbingan Islam ;
g. Keputusan Menetri Agama Agama RI. Nomor 69 Tahun 1963, tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan ;
h. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan tata Kerja dan
Wewenang Pengadilan Agama.

website www.pa-jakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/sejarah.html

37

38

2. Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan2


Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya
Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang
dinamakan Kantor Cabang, yaitu:
a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara.
b. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah.
c. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai Induk.
d. Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk Wilayah Hukum Cabang
Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya Cabang
Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan Menteri
Agama Nomor 71 tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976. Semua Pengadilan
Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di
Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam Wilayah Hukum Mahkamah
Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya istilah
Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
61 tahun 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindah di Jakarta, akan
tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara
otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta adalah
menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
2

website www.pa-jakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/sejarah.html

39

3. Perkembangan dari masa ke masa3


Pada tahun 1967, terbentuklah kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan
yang merupakan cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang
berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur. Terbentuknya kantor Pengadilan
Agama Jakarta Selatan ini dikarenakan tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang
wilayahnya cukup luas sehingga keadaan kantor ketika itu masih dalam keadaan
darurat yaitu menempati gedung bekas kantor Kecamatan Pasar Minggu, saat ini
dikenal dengan gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan dan
pimpinan kantor dipegang olehH. Polana.Penanganan kasus-kasus hanya berkisar
perceraian kalaupun ada tentang warisan masuk kepada Komparisi itu pun
dimulai tahun 1969 kerjasama dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin
oleh Bapak Bismar Siregar, S.H.
Sebelum tahun 1969 pernah pula membuat fatwa waris akan tetapi hal itu
ditentang oleh pihak keamanan karena bertepatan dengan bertentangan dengan
kewenangannya sehingga sempat beberapa orang termasuk Pak Hasan Mughni
ditahan karena Penetapan Fatwa Waris sehingga sejak itu Fatwa Waris ditambah
dengan kalimat Jika ada harta peninggalan.
Pada tahun 1976 gedung Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati
serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan Kantor Cabang pun dihilangkan
menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan pada masa itu diangkat pula
beberapa Hakim honorer yang di antaranya adalah Bapak H. Ichtijanto, S.A., S.H.
3

website www.pa-jakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/sejarah.html

40

Pada bulan September 1979 Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan


pindah ke gedung baru di Jl. Ciputat Raya Pondok Pinang dengan menempati
gedung baru dengan tanah yang masih menumpang pada areal tanah PGAN
Pondok Pinang.
Pada tahun 1979 pada saat Pengadilan Agama Jakarta Selatan dipimpin
oleh Bapak H. Alim BA diangkat pula Hakim-Hakim honorer untuk menangani
perkara-perkara yang masuk, mereka diantaranya: KH. Yakub, KH. Muhdats
Yusuf, Hamim Qarib, Rasyid Abdullah, Ali Imran, Drs.H. Noer Chazin.
Pada perkembangan selanjutnya yaitu semasa berkepimpinan Drs. H.
Djabir Manshur, S.H., Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke Jalan
Rambutan VII No. 48 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatandengan
menempati gedung baru. Di gedung baru ini meskipun tidak memenuhi syarat
untuk sebuah Kantor Pemerintah setingkat Walikota, karena gedungnya berada di
tengah-tengah penduduk dan jalan masuk dengan kelas jalan III C. Namun sudah
lebih baik ketimbang masih di Pondok Pinang, pembenahanpembenahan fisik
terus dilakukan terutama pada masa kepemimpinan Bapak Drs. H. Jayusman, S.H.
Begitu pula pembenahanpembenahan administrasi terutama pada masa
kepemimpinan Bapak Drs. H. Ahmad Kamil, S.H. pada masa ini pula Pengadilan
Agama Jakarta Selatan mulai mengenal komputer walaupun hanya sebatas
pengetikan dan ini terus ditingkatkan pada masa kepemimpinan Bapak Drs. Rifat
Yusuf.

41

Pada

masa

perkembangannya

selanjutnya

tahun

2000

ketika

kepemimpinan dijabat oleh Bapak Drs. H. Zainuddin Fajari, S.H. pembenahanpembenahan semua bidang, baik fisik maupun non fisik diadakan sistem
komputerisasi dengan online komputer, dan ini terus dibenahi sampai sekarang
oleh Ketua Pengadilan Agama Bapak Drs. H. Syed Usman, S.H. Yang tujuannya
adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan dan
menciptakan peradilan yang mandiri dan berwibawa.
Perkembangannya selanjutnya tahun 2007-2008 ketika kepemimpinan
dijabat oleh Bapak Drs. H. A. Choiri, S.H., M.H. pembenahan-pembenahan
semua bidang, baik fisik maupun non fisik sudah terintegrasi dengan online
komputer, pada periode ini juga Pengadilan Agama Jakarta Selatan berhasil
pengadaan tanah untuk bangunan gedung baru seluas + 6000 m2 yang terletak di
Jl. Harsono RM, Ragunan, Jakarta Selatan.
Selanjutnya sejak tahun 2008 telah dibangun gedung baru yang sesuai
dengan purwarupa Mahkamah Agung RI. Pembangunan dilaksanakan 2 tahap,
tahap pertama tahun 2008 dan tahap kedua tahun 2009 pada saat itu Pengadilan
Agama Jakarta Selatan diketuai oleh Bapak Drs. H. Pahlawan Harahap, S.H.,
M.A.
Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru Pengadilan Agama
Jakarta Selatan diresmikan bersama-sama dengan gedung-gedung baru lainnya di
Pontianak (Kalimantan Barat) oleh Ketua Mahkamah Agung RI. Kemudian pada
awal Mei 2010 diadakan tasyakuran dan sekaligus dimulainya aktifitas

42

perkantoran di gedung baru tersebut, pada saat itu Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dijabat olehDRS. H. Ahsin A.Hamid,S.H.
Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif
tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam
segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam hal
peningkatkan T.I. (Teknologi Informasi) yang sudah semakin canggih disertai
dengan program-program yang menunjang pelaksanaan tugas pokok, seperti
program SIADPA(Sistem Informasi Administrasi Perkara Pengadilan Agama)
yang sudah berjalan dan terintegrasi dengan TV Media Center, Touch Screen
(KIOS-K) serta beberapa fitur tambahan dari Situs Web http://www.pajakartaselatan.go.id

B. Proses Pemeriksaan Penyelesaian Harta Bersama di Pengadilan Agama


Jakarta Selatan
Proses pemeriksaan penyelesaian Harta Bersama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan sama halnya dengan proses pemeriksaan perkara perdata tertentu
khususnya untuk yang beragama Islam diberbagai Pengadilan Agama di
Indonesia.4
Sebelum proses pemeriksaan penyelesaian perkara harta bersama berjalan
hakim memeriksa surat permohonan atau surat gugatan terlebih dahulu. Hakim
memeriksa apakah isi surat permohonan atau surat gugatan itu sudah memenuhi
4

Tama, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Wawancara Pribadi, Jakarta, 04 Oktober

2011.

43

beberapa hal, yaitu identitas para pihak, posita dan fundamentum petendi, petitum
atau tuntutan, serta memeriksa yuridiksi relatif surat gugatan atau surat
permohonan yang diajukan apakah telah sesuai dengan kekuasaan dan
kewenangan Peradilan.
Apabila telah melewati tahap diatas hakim tetap berkewajiban
mendamaikan kedua belah pihak walaupun perkara tersebut perihal harta
bersama.Apabila

terjadi

kemufakatan

antara

keduanya

maka

proses

pemeriksaannya dihentikan dan gugatan tersebut dicabut. Apabila hakim berhasil


mendamaikan, gugatan tersebut umumnya dicabut maka dibuatlah akta
perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk menaati perdamaian tersebut,
kekuatannya sama dengan putusan, mengikat dan dapat dieksekusi.5
Sedangkan apabila hakim tidak berhasil mendamaikan maka proses
persidangan tetap berjalan yang berlanjut keperihal jawaban tergugat, replik,
duplik serta pembuktian. Hakim wajib untuk memeriksa satu demi satu bendabenda yang disebutkan dalam dasar tuntutan/petitum apakah benar-benar ada
hubungan hukumnya sehingga dapat dinyatakan menjadi harta bersama dan
berusaha menemukan peristiwa (feitvender, fact finding), sehingga diharapkan
dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya. Pemeriksaan pembuktian ini
adalah berdasarkan bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
Dalam perihal perkara harta bersama hakim juga melakukan pemeriksaan

Tama, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Wawancara Pribadi, Jakarta, 04 Oktober

2011.

44

setempat (descente), yaitu pemeriksan mengenai perkara-perkara oleh hakim


karena jabatannya yang dilakukan diluar gedung atau tempat kedudukan
pengadilan agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau
keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi
sengketa.6
Dalam perkara harta bersama ini, pemeriksaan setempat yang dilakukan
oleh hakim ketua persidangan adalah berkenaan dengan letak gedung atau rumah
serta batas-batas tanah yang dinyatakan oleh penggugat atau pemohon sebagai
harta bersama dalam isi petitum. Setelah melakukan pemeriksaan setempat, hakim
pun meminta keterangan ahli (expertise) /saksi ahli yang bertujuan untuk
membantu hakim dalam pemeriksaan dan guna menambah pengetahuan hakim
sendiri. Pada umumnya hakim menggunakan keterangan seorang ahli yang
memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu yang berkenaan
dengan perkara yang sedang diperiksa. Setelah semua proses pemeriksaan
pembuktian selesai, maka majelis hakim dapat mengadakan musyawarah majelis
hakim untuk mengambil keputusan akhir guna

menyelesaikan perkara yang

diajukan.

C. Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tentang Harta Bersama


Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang dijadikan sample dalam
penelitian ini ada 3 putusan, yaitu putusan pembagian harta bersama pasca

Kamarusdiana dan Nahrowi, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Daras, 2006), h. 107.

45

perceraian dalam kasus pihak suami bekerja dan pihak istri tidak bekerja, pihak
suami tidak bekerja dan pihak istri bekerja, serta pihak suami dan pihak istri
sama-sama

bekerja.

Demi

menjaga

nama

pemohon/penggugat

maupun

termohon/tergugat, maka identitas kedua belah pihak yang bersengketa, penulis


samarkan.
1. Pihak isteri bekerja dan Pihak suami tidak bekerja dalam Putusan
Nomor Perkara : 45/Pdt.G/2005/PAJS:
a. Pemohon/Penggugat, umur 33 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta,
tempat tinggal

Jl. Kemang Utara 31, Rt.001/03, Kelurahan Bangka,

Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Dalam hal ini


didampingi/diwakili oleh kuasa hukumnya yang terakhir Hj. Elza Syarief,
SH. MH, dan Rahmi Gustika, SH, Advokat yang beralamat Jl. Kramat
Sentiong, No. 38.A, Jakarta Pusat, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal
1 April 2005. selanjutnya disebut Penggugat.
b. Termohon/Tergugat, umur 34 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta,
tempat tinggal Jl. Kemang Utara 31, Rt.001/03, Kelurahan Bangka,
Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Dalam hal ini
didampingi/diwakili oleh kuasa hukumnya H.M. Efran Helmi Juni, SH.
MH, R. Wawan Darmawan SH, Gribaldi Jaya Dilaga, SH. Advokat yang
beralamat Jl. Petogongan I/35, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 24 Januari 2005. selanjutnya
disebut Tergugat.

46

Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah mempelajari berkas perkara,


memeriksa dan mendengar keterangan penggugat, tergugat dan saksi-saksi serta
memeriksa bukti-bukti yang dikemukakan di persidangan.
Tentang Duduk Perkaranya, penggugat telah mengajukan surat gugatan
tanggal 11 Januari 2005 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dengan nomor perkara : 45/Pdt.G/2005/PAJS.
Penggugat dan tergugat telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 17
Juni 2001 dihadapan Pejabat Kantor Urusan Agama Kecamatan Cipayung,
Jakarta Timur, sebagaimana tertera dalam Kutipan Akta Nikah Nomor:
593/64/64/2001, tertanggal 18 Juni 2001. Dalam perkawinan belum dikaruniai
anak.
Sejak 17 Juni 2001, penggugat tidak pernah merasakan kebahagiaan
sebagaimana layaknya suami isteri, terlebih sejak tahun 2002, kehidupan rumah
tangga antara Penggugat dengan Tergugat semakin tidak harmonis karena
terjadinya pertengkaran terus menerus. Pertengkaran disesabkan karena tidak
adanya kesamaan visi dan misi (pandangan) antara Penggugat dengan Tergugat
dalam membentuk dan membina keluarga (rumah tangga) yang bahagia, ini
ditandai dengan sikap dan prilaku Tergugat yang kasar sehingga sejak awal-awal
perkawinan, Penggugat telah mengalami depresi yang serius.
Menurut penggugat selama perkawinan, tergugat berprilaku sangat egois
dan selalu ingin menang sendiri dan tidak pernah menghargai Penggugat sebagai
istri dalam segala hal, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam

47

pergaulan hidup bermasyarakat. Bahkan penggugat telah berulang kali meminta


izin kepada Tergugat untuk kembali kerumah orang tuanya, tetapi Tergugat tidak
mengizinkannya dan bahkan mengancam akan melakukan tindakan kekerasan
jika itu dilakukan Penggugat. Tergugat sebagai suami dan kepala rumah tangga
tidak pernah memberikan dan memenuhi kebutuhan baik lahir maupun bathin dan
bahkan selama perkawinan, Penggugatlah yang berusaha dan bekerja keras untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga sedangkan tergugat hanya berusaha untuk
menguasai seluruh harta dan kekayaan yang semuanya berasal dari penghasilan
Penggugat, bahkan lebih cenderung tindakan tergugat mengarah kepada
mengeksploitasi Penggugat sebagaimesin pencari uang. Selama perkawinan
antara Pengugat dengan Tergugat, juga telah diperoleh harta bersama (gono-gini).
Oleh karena penggugat sudah tidak sanggup lagi menanggung derita lahir
dan bathin akibat perlakuan dan pertengkaran yang sering terjadi dengan
Tergugat, penggugat mengajukan pengajuan gugatan perceraian, dan permohonan
Sita Marital atas seluruh harta bersama (gono-gini)
Dalam Perkara ini, Majelis Hakim menjatuhkan putusan yang berbunyi:
a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
b. Menjatuhkan talak satu bain sugra dari Tergugat terhadap Penggugat;
c. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk mengirim
salinan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ke PPN
KUA Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur;

48

d. Memerintahkan kepada Penggugat dan Tergugat agar membagi dua harta


bersama dan hutang bersama;
e. Menyatakan tidak dapat diterima gugatan Penggugat yang selain dan
selebihnya;
f. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar
Rp.365.000,- (Tigaratus enampuluh limaribu Rupiah).
2. Pihak suami bekerja dan pihak isteri tidak bekerja dalam Putusan Nomor
Perkara : 0356/Pdt.G/2008/PAJS:
a. Pemohon/Penggugat, umur 57 tahun, agama Islam, pendidikan D.III,
pekerjaan pensiunan PNS, tempat tinggal Villa Permata Santi, Blok A.4,
Nomor 1, Rt.005/004, Kelurahan Rangkapan Jaya, Kecamatan Pancoran Mas,
Depok. Selanjutnya disebut Penggugat.
b. Termohon/Tergugat, umur 49 tahun, agama Islam, pendidikan SLTP,
pekerjaan Ibu Rumah Tangga, tempat tinggal di Jl. AUP Barat III, Rt.009/06,
Kelurahan Jati Padang, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dalam hal
ini didampingi/diwakili oleh kuasa hukumnya Edwin. S, SH., dan Rekan,
Advokat dan Konsultan Hukum yang beralamat di Perumahan Puri Santosa,
Blok. E.22, Serpong, Tangerang, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 26
Maret 2008, yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
dengan Nomor: 155/Pdt.G/III/2008, tanggal 28 Maret 2008. Selanjutnya
disebut Tergugat.

49

Pada hari Jumat, tanggal 16 Januari 1975, telah dilangsungkan


perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat tercatat di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, dengan Akta Nikah Nomor:65/60/1975,
tanggal 16 Januari 1991, dari perkawinan tersebut antara Penggugat dengan
Tergugat telah dikaruniai 4 (empat) orang anak dan telah telah dihasilkan
beberapa macam barang milik bersama.
Antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perceraian pada tanggal
21 Januari 2008, berdasarkan Putusan Nomor : 1366/Pdt.G/2007/PAJS dan Akta
Cerai Nomor : 142/AC/2008/PAJS, tanggal 18 Februari 2008. Dari perceraian
tersebut timbul akibat perceraian yakni pembagian harta bersama penggugat
mengajukan gugatan pembagian harta bersamaPenggugat. Penggugat telah
mengajukan surat gugatan tanggal 04 Maret 2008 yang didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada register nomor :
0356/Pdt.G/2008/PAJS, tanggal 05 Maret 2008.
Mengingat segala peraturan-peraturan perundangan yang berlaku dan
hukum Syara / Hukum Islam yang berkaitan dengan perkara ini, maka majelis
Hakim memutuskan:
a. Mengabulkan gugatan Pengugat untuk sebagian;
b. Menghukum Tergugat untuk membagi dan menyerahkan setengah bagian
darihartabersamakepada Penggugat. Dan menyatakan apabila tidak dapat
dibagi in natura maka harus dilakukan penjualan melalui Kantor Lelang, dan

50

hasilnya diserahkan setengah bagian kepada Penggugat dan setengah bagian


kepada Tergugat;
c. Menolak dan menyatakan tidak dapat diterima gugatan Penggugat selebihnya;
d. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.
331.000,- (tigaratus tigapuluh satu ribu rupiah).;
3. Pihak suami bekerja dan pihak isteri bekerja dalam Putusan Nomor
Perkara : 0180/Pdt.G/2011/PAJS:
a. Pemohon/Penggugat, umur 45 tahun, agama Islam, pekerjaan sawsta, tempat
tinggal

Jl. Ciawi I, Nomor 15, Rt.007/002, Kelurahan Rawa Barat,

Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam hal ini diwakili oleh
Kuasa Hukumnya Moh. Agus Riza H, SH., Advokat pada kantor Riza Hufaida
& Partners Law Firm, beralamat di The Limo Residence, Blok A, Nomor 4,
Depok, kodepos 16515, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 17 Januari
2011 yang terdaftar pada Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Nomor : 066/Pdt.G/1/2011. Selanjutnya disebut Pemohon.
b. Termohon/Tergugat, umur 50 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, tempat
tinggal di Jl. Ciawi I, Nomor 15, Rt.007/002, Kelurahan Rawa Barat,
Kecamatan

Kebayoran

Baru,

Jakarta

Selatan.

Dalam

hal

ini

didampingi/diwakili oleh kuasa hukumnya Fifiek N. Woelandara, SH., dan


Fauzul Abrar, SH., Advokat pada Kantor Mulyana Safina Abrar Advocates,
yang beralamat di H. R. Rasuna Said, Blok X-2, Kavling 6, Kuningan, Jakarta
Selatan, kodepos 12950, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 18 Februari

51

2011, yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan


dengan Nomor: 100/Pdt.G/II/2011, tanggal 23 Februari 2011. Selanjutnya
disebut Termohon.
Pemohon dan termohon telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 18
Nopember 1992, dihadapan Pejabat Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan, sebagaimana tertera dalam Kutipan Akta Nikah Nomor:
770.56/XI/1992, tertanggal 18 Nopember 1992. Selama dalam perkawinan
Pemohon dan Termohon telah dikarunia 1 (satu) orang anak laki-laki, yang lahir
pada tanggal 17 Oktober 1993, sebagaimana tercatat dalam Kutipan Akta
Kelahiran Nomor : 24526/U/JS/1993, tertanggal 09 Nopember 1993.
Tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa antara pemohon dan termohon tidak
dapat dipertahankan lagi dikarenakan sudah tidak ada lagi kecocokan dan
keharmonisan dalam berumah tangga yang disebabkan adanya perselisihan dan
pertengkaran yang terus menerus yang terjadi sejak tahun 2008 antara Pemohon
dengan Termohon sehingga tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
berumah tangga sejak bulan Januari 2007 sampai Pemohon dan Termohon telah
sepakat bahwa perceraian adalah jalan keluar terbaik atas permasalahan yang
Pemohon dan Termohon.Penggugat telah mengajukan surat gugatan tanggal 24
Januari 2011 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pada register nomor : 0180/Pdt.G/2011/PAJS, tanggal 24 Januari 2011.Sehubung
dengan hal tersebut di atas, Pemohon dan Termohon juga telah menuangkan

52

kesepakatan akibat dari perceraiannya dimaksud yakni perihal hak asuh anak
(Hadhanah) dan pembagian harta bersama dalam suatu Akta Notaris, Nomor 3,
tanggal 13 Januari 2011 tentang Perjanjian Hak Asuh atas Anak dan Pembagian
Harta Bersama yang dibuat oleh dan di hadapan Seruni Saerang Lissari, SH.,
MKn., Notaris di Kabupaten Tangerang.
Atau bilamana Pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat lain mohon
putusan yang sesuai dengan kebenaran hukum dan keadilan.
Dalam perkara ini, Majelis Hakim menjatuhkan putusan yang berbunyi:
a. Mengabulkan gugatan Pemohon;
b. Memberi izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raji terhadap
Termohon didepan sidang Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
c. Menyatakan antara Pemohon dan Termohon telah terjadi Perjanjian Hak Asuh
atas Anak dan Pembagian Harta Bersama akibat perceraian yang dibuat oleh
dan di hadapan Seruni Saerang Lissari, SH., MKn., Notaris di Kabupaten
Tangerang, Nomor 3, tanggal 13 Januari 2011;
d. Menghukum kedua belah pihak untuk mentaati dan melaksanakan isi dari
surat perjanjian tersebut pada poin 3;
e. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara seluruhnya
sejumlah Rp.366.000,- (Tigaratus enampuluh enamribu Rupiah).

53

D. Pertimbangan

Hakim

Pengadilan

Agama

Jakarta

Selatan

dalam

Memutuskan Gugatan Harta Bersama


Dari 3 putusan gugatan harta bersama yang diteliti, ternyata Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan menerapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, secara utuh. Meski kasus yang diambil sebagai sample berbeda-beda, yaitu
istri bekerja sedangkan suami tidak bekerja, suami bekerja sedangkan istri tidak
bekerja dan suami istri sama-sama bekerja. Namun, Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan tetap memutuskan 50:50 untuk masing-masing suami istri.
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan memberikan putusan yang
demikian dengan alasan atau pertimbangan sebagai berikut:7
1. Sering kali istri tidak tahu bahwa pembuktian merupakan hal penting dalam
berperkara untuk dapat memperoleh hak atas harta bersama. Pembuktian
mengenai penggugatlah yang berusaha dan bekerja keras untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga sulit untuk dibuktikan karena pada perkara Nomor:
45/Pdt.G/2005/PAJS, tergugat merasa menjadi manajer penggugat yang
membantu penggugat untuk menyelesaikan jadual kontraknya dengan
baik.Sehingga satu sama lain saling berperan dalam memenuhi kebutuhan
rumah tangga.
2. Pembuktian bahwa selama perkawinan antara penggugat dan tergugat telah
memiliki harta bersama, telah terbukti kebenarannya.Meskipun harta bersama

Tama, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Wawancara Pribadi, Jakarta, 26 Februari

2014.

54

tersebut hanya suami yang bekerja dengan berbagai usahanya sedangkan isteri
berada di rumah dengan tidak mencari nafkah melainkan hanya mengurus
rumah tangga. Jadi seluruh harta yang diperoleh selama dalam ikatan
perkawinan yang sah, dianggap harta bersama suami istri. Tidak dipersoalkan
jerih payah siapa yang terbanyak dalam usaha memperoleh harta bersama
tersebut.
3. Telah terjadi kesepakatan bersama antara pemohon dan termohon dalam
bentuk surat perjanjian akibat perceraian yakni perihal hak asuh anak
(hadhanah) dan perihal pembagian harta bersama. Perjanjian tersebut terbukti
sah karena dibuat dihadapan notaris dan isi perjanjian tidak melanggar batasbatas hukum dan kesusilaan.Sehingga perjanjian inidapat dijadikan sebagai
hukum oleh Majelis Hakim berdasarkan ketentuan Pasal 105 huruf a dan c. Jo.
Pasal 149 huruf ddan menghukum para pihak untuk mentaatinya.

E. Analisa Penulis
1. Pihak isteri bekerja dan Pihak suami tidak bekerja dalam Putusan
Nomor Perkara : 45/Pdt.G/2005/PAJS
Pada perkara ini, terjadi penggabungan gugatan yakni gugatan
permohonan perceraian dan permohonan pembagian harta bersama. Hal ini,
dikarenakan apabila pada satu pengadilan ada 2 perkara yang satu sama lain
saling berhubungan, lebih-lebih apabila kedua perkara tersebut berlangsung
antara penggugat dan tergugat yang sama, maka salah satu pihak atau

55

keduanya dapat mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim agar kedua


perkara tersebut digabungkan.
Mengenai proses pemeriksaan perkara perceraian bersamaan dengan
penyelesaian perkara pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, pada dasarnya tidak berbeda dengan proses pemeriksaan perkara
perdata lainnya, khususnya untuk yang beragama Islam di berbagai
Pengadilan Agama di Indonesia. Apabila tidak terjadi perdamaian, Hakim
wajib untuk memeriksa satu demi satu benda-benda yang disebutkan dalam
dasar tuntutan/petitum apakah benar-benar ada hubungan hukumnya sehingga
dapat dinyatakan menjadi harta bersama dan berusaha menemukan peristiwa
(feitvender, fact finding), sehingga diharapkan dapat menjatuhkan putusan
yang seadil-adilnya berdasarkan bukti surat, bukti saksi, persangkaan,
pengakuan dan sumpah dalam perihal perkara harta bersama hakim juga
melakukan pemeriksaan setempat (descente).
Mengamati kasus dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
ini, ada beberapa hal yang menarik perhatian peneliti untuk dianalisis yaitu
ketika penggugat merasa bahwa penggugatlah yang berusaha dan bekerja
keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sedangkan tergugat hanya
berusaha untuk menguasai seluruh harta dan kekayaan yang semuanya berasal
dari penghasilan penggugat, bahkan penggugat merasa dijadikan mesin
pencari uang serta tergugat melakukan tindakan kekerasandalam rumah
tangga terhadap pengugat. Sedangkan tergugat membantah bahwa sejak

56

pernikahan tanggal 17 Juni 2001, Tergugat masih bekerja di PT. Freeport


Indonesia Tembagapura di Irian Jaya, seketika itu Tergugat mengajak
Penggugat untuk tinggal bersama di Irian Jaya. Namun dikarenakan
penggugat berkarir sebagai artis dan beranggapan tidak bisa berkembang
maka ada kesepakatan dan kesamaan pandangan (visi dan misi), dimana
tergugat mendukung karir tergugat dengan mengundurkan diri dari PT.
Freeport Indonesia Tembagapura dan pindah ke Jakarta. Setelah pindah ke
Jakarta tergugat sangat mendukung karir penggugat dengan menjadi manajer
penggugat. Tergugat selalu menghargai penggugat dan tergugat merasa telah
melaksanakan tugasnya sebagai suami yang baik dengan memenuhi
kebutuhan penggugat baik lahir maupun batin. Oleh karena itu, dalam hal ini
yang amat dibutuhkan adalah pembuktian mengenai penggugatlah yang
berusaha dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga itu
sungguh-sungguh kebenarannya ataukah satu kesatuan belaka.
Penilaian Majelis Hakim bukan pada alasan yang telah dikemukakan
para pihak. Majelis Hakim melihat bahwa apa yang dikemukakan oleh para
pihak tidak akan mengurangi hak mereka untuk mendapatkan bagian akan
harta bersama.
Hakim melihat fakta yang terjadi bahwa tergugat bekerja walaupun
hanya menjadi manajer penggugat sehingga seluruh pekerjaan penggugat
dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan jadual kontrak kerjanya dan
apa yang dituduhkan oleh penggugat bahwa penggugatlah yang berusaha dan

57

bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga adalah tidak benar.
Hal inilah yang menjadi pertimbangan mengapa Majelis Hakim akhirnya
menerapkan apa yang terdapat dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, yakni
masing-masing penggugat dan tergugat mendapat seperdua bagian dari harta
bersama walaupun harta bersama tersebut semuanya berasal dari penghasilan
Penggugat memenuhi jadual kontrak kerjanya.
Menurut penulis, putusan hakim dengan membagi harta bersama untuk
masing-masing penggugat dan tergugat mendapat seperdua bagian dalam
perkara ini adalah tidak adil dikarenakan lebih banyak harta yang diperoleh
atas hasil jerih payah penggugat, ditambah penggugat mendapatkan tindakan
kekerasan dalam rumah tangga dan penggugat ikut membantu tergugat dalam
mencari nafkah yang seharusnya hanya menjadi tanggung jawab tergugat serta
mengurus rumah tangga.
2. Pihak suami bekerja dan pihak isteri tidak bekerja dalam Putusan
Nomor Perkara : 0356/Pdt.G/2008/PAJS
Pada perkara ini, tidak adanya penggabungan gugatan karena antara
Penggugat dengan tergugat telah terjadi perceraian terlebih dahulu pada
tanggal 21 Januari 2008 berdasarkan Putusan Nomor 1366/Pdt.G/2007/PAJS,
dan Akta Cerai Nomor : 142/AC/2008/PAJS, tanggal 18 Februari 2008,
sedangkan gugatan pembagian harta bersama pengajuannya terdaftar di
Kepaniteraan Perkara Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada Register
Nomor : 0356/Pdt. G/2008/PAJS, tanggal 5 Maret 2008, yang secara yuridis

58

formil telah terbukti kebenarannya. Sehingga dengan demikian Penggugat


mempunyai kapasitas untuk menjadi subyek hukum (Legal Standing) untuk
mengajukan gugatan pembagian harta bersama terhadap Penggugat.
Mengenai proses pemeriksaan perkara ini melalui beberapa tahap yaitu
tahap perdamaian, pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik penggugat,
duplik penggugat, pembuktian, kesimpulan dan tahap putusan hakim. Pada
dasarnya tidak berbeda dengan proses pemeriksaan perkara perdata lainnya.
Pertimbangan hakim pada putusan ini hakim menerapkan apa yang
terdapat dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, yakni masing-masing
penggugat

dan

tergugat

mendapat

seperdua

bagian

dari

harta

bersamawalaupun harta bersama tersebut semuanya berasal dari penghasilan


Penggugat/Suami. Akan tetapi sebelum menerapkan Pasal 97 Kompilasi
Hukum Islam Majelis Hakim menguraikan terlebih dahulu harta bersama aquo menjadi beberapa bagian :
a. Harta Bersama yang diakui keberadaannya oleh Tergugat dan merupakan
barang yang tidak terkait dengan kewajiban Penggugat.
b. Barang yang dibantah keberadaanya atau statusnya oleh Tergugat atau
Penggugat.
c. Harta Bersama dan Harta Bawaan yang dapat habis karena kewajiban
Penggugat.
Hal ini terjadi dikarenakan Pengugat mendalilkan memiliki harta
bawaan.

59

Dalam perkara ini, putusan hakim dengan membagi harta bersama


untuk masing-masing penggugat dan tergugat mendapat seperdua bagian
dalam perkara ini adalah adil, karena walaupun tergugat tidak pernah
menyalurkan bantuan berupa keuangan untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga, tergugat hanya mengurus rumah, memelihara harta kekayaan dalam
rumah tangga dan menjaga anak-anak akan tetapi dengan demikian membuat
penggugat ketika bekerja bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan
bersungguh-sungguh.
3. Pihak suami bekerja dan pihak isteri bekerja dalam Putusan Nomor
Perkara : 0180/Pdt.G/2011/PAJS
Setelah adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang
Peradilan Agama pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) maka diperbolehkan
gugatan perceraian dan gugatan harta bersama diajukan bersama-sama.
Dengan adanya pasal-pasal tersebut memberikan pilihan bagi penggugat
apakah akan menggabungkan gugatan perceraian dengan gugatan harta
bersama atau mengajukannya secara tersendiri setelah gugatan perceraian
memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengabungan gugatan perceraian dengan
gugatan harta bersama bertujuan agar peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat dan biaya ringan sehingga dapat lebih cepat menikmati harta bersama.
Proses pemeriksaannya sama dengan proses pemeriksaan perkara perdata
lainya yaitu melalui tahap perdamaian, pembacaan gugatan, jawaban tergugat,

60

replik penggugat, duplik tergugat, tahap pembuktian, kesimpulan dan putusan


hakim.
Pertimbangan hakim pada putusan ini hakim menerapkan apa yang
terdapat dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35
ayat (1), yang dimaksud Harta Bersama adalah harta benda yang diperoleh
selama perkawinan berlangsung, Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, yakni
masing-masing penggugat dan tergugat mendapat seperdua bagian dari harta
bersama walaupun harta bersama tersebut semuanya berasal dari penghasilan
bersama antara Pemohon dan Termohon, baik benda itu tertulis atas nama
suami atau isteri, kecuali ditentukan lain dalam suatu perjanjian perkawinan,
Pasal 105 huruf a dan c Kompilasi Hukum Islam tentang Hak Asuh Anak
(Hadhanah)serta Pasal 149 huruf d Kompilasi Hukum Islam tentang Biaya
Hak Asuh Anak (Hadhanah). Akan tetapi sebelum Pemohon mengajukan
permohonan perceraian yang menimbulkan akibat hak asuh anak (hadhanah)
dan pembagian harta bersama, telah terjadi kesepakatan bersama antara
Pemohon dan Termohon dalam bentuk surat perjanjian yang tertuang dalam
suatu Akta Notaris No. 3, tanggal 13 Januari 2011 tentang Perjanjian Hak
Asuh Atas Anak dan Pembagian Harta Bersama yang dibuat oleh dan
dihadapan Seruni Lissari Saerang, S.H., M. Kn, Notaris di Kabupaten
Tangerang. Oleh karena itu Majelis Hakim menghukum kedua belah pihak
untuk mentaati dan melaksanakan isi dari surat perjanjian tersebut, apabila
putusan tersebut tidak ditaati dan dilaksanakan, maka dapat dimintakan

61

eksekusi kepada Pengadilan. Kekuatan hukum akta perdamaian ini disamakan


kekuatannya dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan putusan akta
perdamaian ini tidak dapat diajukan banding dan kasasi.Hal ini berdasarkan
ketentuan Pasal 130 HIR.Presentasi pembagian harta bersama untukmasingmasing pihak sesuai dengan isi dari akta perdamaian.
Setiap barang yang dibeli selama perkawinan maka harta tersebut
menjadi obyek harta bersama suami istri tanpa mempersoalkan:8
a. Apakah istri atau suami yang membeli;
b. Apakah harta terdaftar atas nama istri atau suami;
c. Apakah harta itu terletak dimana.
Menurut penulis,dari 3 putusan diatas sebaiknya putusan Majelis
Hakim dalam pembagian harta bersama tidak selalu harus membagi sama rata
antara pihak suami dan istri kecuali ada perjanjian kesepakatan antara
keduanya, karena keputusan hakim menjadi tidak adil apabila harta atau hasil
usaha istri yang lebih banyak dari suami sebagai kepala rumah tangga dan
terbukti suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Hakim seharusnya melihat kasusnya, hakim berkewajiban untuk
memutuskan perkara walaupun tidak ada dalam perundangan. Hakim harus
kreatif, dan hakim harus menegakkan keadilan sehingga terjadi perkembangan
peradilan.

M. Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, cet. I, (T.tp.,


PustakaKartini, 1990), h. 303.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah menguraikan mengenai pembagian harta bersama pasca perceraian
serta implementasinya dalam beberapa putusan di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan . Penulis memperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses pemeriksaan penyelesaian harta bersama di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, pada dasarnya sama dengan proses pemeriksaan perkara perdata
tertentu khususnya untuk yang beragama Islam disetiap Pengadilan Agama,
tahap awal adalah perdamaian sesuai PERMA Nomor 1 Tahun 2008, berlanjut
dengan yaitu :
a. Pembacaan gugatan;
b. Jawaban Tergugat;
c. Replik Penggugat;
d. Duplik Tergugat;
e. Pembuktian;
f. Kesimpulan;
g. Putusan Hakim
2. Putusan Majelis Hakim dalam putusan No. 45/Pdt.G/2005/PAJS, No.
0356/Pdt.G/2008/PAJS, dan No. 0180/Pdt.G/2011/PAJS, sudah sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku khususnya Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum

62

63

Islam atau Pasal 97Kompilasi Hukum Islam, yaitu membagi sama rata harta
bersama antara bekas suami istri karena bahwa setiap harta yang diperoleh
selama perkawinan, harta tersebut menjadi obyek harta bersama suami istri
tanpa mempersoalkan apakah istri atau suami yang membeli atau yang
mengusahakannya, apakah harta terdaftar atas nama istri atau suami serta
letak harta itu.Maka dalam hal setiap gugatan permohonan pembagian harta
bersama putusan akhirnya hampir selalu membagi rata harta bersama antara
bekas suami istri tanpa mempertimbangankan pihak suami atau istri yang
paling berkontribusi dalam hal pencaharian harta kekayaan selama
perkawinan itu berlangsung sepanjang mereka tidak membuat perjanjian
pranikah atau prenuptial agreement, yakni perjanjian yang dibuat calon suami
atau sebelum perkawinan dilangsungkan atau adanya kesepakatan bersama
atau perdamaian antara bekas suami dan bekas istri setelah perceraian yang
mengatur tentang akibat perceraian. Perjanjian mana dilakukan secara tertulis
dan disahkan oleh Pejabat yang berwenang. Hal ini sesuai dengan Perundangundangan di Negara kita.
3. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memutuskan
perkara pembagian harta bersama yang peneliti analisis, yaitu:
a. Sering kali istri tidak tahu bahwa pembuktian merupakan hal penting
dalam berperkara untuk dapat memperoleh hak atas harta bersama.
Pembuktianmengenai penggugatlah yang berusaha dan bekerja keras
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sulit untuk dibuktikan karena

64

pada perkara Nomor: 45/Pdt.G/2005/PAJS, tergugat merasa menjadi


manajer penggugat yang membantu penggugat untuk menyelesaikan
jadual kontraknya dengan baik. Sehingga satu sama lain saling berperan
dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga.
b. Pembuktian bahwa selama perkawinan antara penggugat dan tergugat
telah memiliki harta bersama, telah terbukti kebenarannya.Meskipun harta
bersama tersebut hanya suami yang bekerja dengan berbagai usahanya
sedangkan isteri berada di rumah dengan tidak mencari nafkah melainkan
hanya mengurus rumah tangga. Jadi seluruh harta yang diperoleh selama
dalam ikatan perkawinan yang sah, dianggap harta bersama suami istri.
Tidak dipersoalkan jerih payah siapa yang terbanyak dalam usaha
memperoleh harta bersama tersebut.
c. Telah terjadi kesepakatan bersama antara pemohon dan termohon dalam
bentuk surat perjanjian akibat perceraian yakni perihal hak asuh anak
(hadhanah) dan perihal pembagian harta bersama. Perjanjian tersebut
terbukti sah karena dibuat dihadapan notaris dan isi perjanjian tidak
melanggar batas-batas hukum dan kesusilaan. Sehingga perjanjian ini
dapat dijadikan sebagai hukum oleh Majelis Hakim berdasarkan ketentuan
Pasal 105 huruf a dan c. Jo. Pasal 149 huruf d dan menghukum para pihak
untuk mentaatinya.

65

B. Saran-saran
1. Bagi pasangan suami-isteri:
a. Mengetahui dan memahami makna perkawinan serta akibat hukum yang
terjadi apabila perkawinan itu berlangsung tidak sebagaimana mestinya
sehingga terjadi perceraian;
b. Jika bermaksud mengadakan penyimpangan dari ketentuan pasal 97
Kompilasi Hukum Islam, yakni Janda atau Duda cerai hidup masingmasing berhak seperdua dari harta bersama. Maka diharapkan suami istri
harus membuat perjanjian kawin (Prenuptial Agreement) yang mana
perjanjian ini dilaksanakan sebelum perkawinan berlangsung, dibuat
dihadapan Notaris dalam bentuk akta autentik atau cukup dibuat di Kantor
Urusan Agama yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, yang diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 47 ayat 1, isinya mengenai masalah
pembagian harta kekayaan diantara suami istri yang meliputi apa yang
menjadi milik suami atau isteri dan apa saja yang menjadi tanggung jawab
suami dan isteri, ataupun berkaitan dengan harta bawaan masing-masing
pihak agar bisa membedakan yang mana harta calon istri dan yang mana
harta calon suami, jika terjadi perceraian atau kematian disalah satu
pasangan.
2. Bagi Majelis Hakim, diharapkan putusan yang diberikan berdasarkan
pertimbangan yang bijaksana tetapi tidak bertentangan dengan Undangundang yang berlaku sehingga para pihak merasa puas akan putusan yang
dijatuhkan. Putusan Majelis Hakim dalam pembagian harta bersama tidak

66

selalu harus membagi sama rata antara pihak suami dan istri kecuali ada
perjanjian kesepakatan antara keduanya, karena keputusan hakim menjadi
tidak adil apabila harta atau hasil usaha istri yang lebih banyak dari suami
sebagai kepala rumah tangga dan terbukti suami melakukan kekerasan dalam
rumah tangga.Hakim seharusnya melihat kasusnya, hakim berkewajiban untuk
memutuskan perkara walaupun tidak ada dalam perundangan. Hakim harus
kreatif, dan hakim harus menegakkan keadilan sehingga terjadi perkembangan
peradilan.
3. Bagi Pejabat yang berwenang dalam hal pelaksanaan perkawinan agar
sebelum perkawinan itu berlangsung calon pasangan suami-isteri diberikan
penyuluhan hukum mengenai harta bersama dan pembagian harta bersama itu
pasca perceraian yang ditunjukkan kepada calon suami istri apabila terjadi
perceraian sehingga dapat memudahkan proses pembagian harta bersama ini
tanpa adanya persengketaan terlebih dahulu dan akibat hukum lainya pasca
perceraian terjadi;
4. Bagi Para Ulama diharapkan dapat menyesuaikan akibat hukum pasca
perceraian sesuai dengan Undang-undang dengan syariat Islam sehingga para
jamaah mengetahui akibat hukum dari perceraian secara Undang-undang yang
berlaku dan secara syariat Islam.
5. Bagi Para Akademisi diharapkan dapat lebih banyak mengkaji lebih dalam
tentang Hukum Harta Bersama Pasca Perceraian sehingga menghasilkan
literature-literatur yang khusus mengatur mengenai Hukum Harta Bersama
Pasca Perceraian.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademik Presindo,


1995.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, , cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Gani, Abdullah Abdul, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dan Tata Hukum
Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1994.
Gemala, Dewi dkk. Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, cet. 2. Jakarta: Kencana,
2005.
Husni, Syawali, Pengurusan (Bestuur) Atas Harta Kekayaan Perkawinan Menurut
KUH Perdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dan Hukum Islam, cet. 1, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Manan, Abdul, Aneka Masalahan Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2006.
Pugung, Solahudin, Prosedur Perceraian Di Pengadilan Agama (Panduan Praktek
Mengenai Perkara), cet. 1, Jakarta: Djambatan, 2010.
Retnowulan, Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2009.
Sopyan, Yayan, Metode Penelitian, Jakarta: t.p., 2009.
Sutantio, Ny. Retno, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2009.
Tresna. R, Komentar: atas reglemen hukum acara di dalam pemeriksaan di muka
Pengadilan Negeri atau HIR dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan dari
Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951 diubah dengan Undang-Undang
No. 11 tahun 1995, cet. 18, Jakarta: Pradnya Paramita, 2005.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 1994 tentang Perkawinan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama

67

68

Yahya, Harahap M, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. VII, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008.
Kompilasi Hukum Islam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan
http://ptamakassarkota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=356:
macam-macam-sita-dalam-hukum-perdata&catid=1:berita&Itemid=180
http://www.kpcmelaticenter.com/id/perjanjian-pranikah/perjanjian-pra-nikah.html

LAPORAN HASIL WAWANCARA

Pewawancara : Marlianita
Narasumber

: Ny. Tama, S.H.,

Hari/tanggal

: Selasa/04 Oktober 2011

Tempat/pukul : Pengadilan Agama Jakarta Selatan / 10:30 WIB

A. Daftar pertanyaan
1. Bagaimana prosedur pengajuan gugatan pembagian harta bersama di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
2. Apakah sebaiknya gugatan pembagian harta bersama dilakukan setelah
perceraian atau pengajuannya diajukan bersamaan dengan pengajuan gugatan
cerai dan bagaimana proses pemeriksaannya di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan?
3. Apa alasan yang sering timbul dalam beberapa permohonan yang mengajukan
permohonan gugatan pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan?
4. Dari 3 Putusan Gugatan Cerai dan Pembagian Harta Bersama yang saya teliti
ternyata Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan menerapkan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 secara utuh. Meski kasus yang saya ambil
sebagai sample berbeda, yaitu :

a. Istri bekerja suami tidak bekerja;


b. Suami bekerja istri tidak bekerja;
c. Keduanya sama-sama bekerja.
Namun, Hakim Pengadilan Jakarta Selatan tetap memutuskan pembagian
harta bersama 50 : 50 untuk masing-masing suami istri. Apa pendapat ibu
tentang putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang membagi
sama rata harta bersama kepada pihak istri dan pihak suami, apabila istri yang
bekerja dan suami tidak bekerja serta suami melakukan kekerasan dalam
rumah tangga terhadap istri?. Dan apa pendapat ibu tentang putusan Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang selalu membagi sama banyak 50 : 50
untuk masing-masing suami istri dalam kasus istri bekerja suami tidak bekerja
memang hakim memutuskan berdasarkan aturan Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-undang. Tapi apakah hakim tidak berhak menegakkan keadilan disaat
Undang-undang dan Kompilasi Hukum Islam tidak adil?. Kenapa saya
katakan tidak adil karena disaat istri bekerja, suami tidak mau menggantikan
peran istri mengurus rumah. Jadi istri akan berperan ganda sebagai pencari
nafkah dan sebagai pengurus rumah tangga. Beda jika suami bekerja dan istri
tidak bekerja.
5. Apa dasar hukum Hakim dalam memutuskan permohonan gugatan pembagian
harta bersama?
6. Bagaimanakah putusan Hakim mengenai pembagian harta bersama apabila
sebelumnya ada perjanjian pranikah yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris?

7. Bagaimana perhitungan hakim dalam memutuskan ketetapan sebuah perkara


pembagian harta bersama?

B. Laporan hasil wawancara


1. Pewawancara

: Bagaimana prosedur pengajuan gugatan pembagian harta


bersama di Pengadilan Jakarta Selatan, apakah sama
dengan pengajuan cerai gugat atau cerai talak?

Narasumber

: Tidak sama, karena cerai talak kan pengajuan ada


ditempat tinggal termohon. Pengajuan gugatan harta
bersama itu bisa sama dan bisa juga tidak sama. Kenapa
saya katakan sama, bisa sama itu jika diajukan komulasi
dengan cerai talak atau cerai gugat sama prosedurnya
seperti itu, atau bisa juga diajukan dalam rekonpensi, si
suami

misalnya

mengajukan

cerai

talak

si

istri

mengajukan gugat rekonpensi berupa harta bersama atau


si istri mengajukan cerai gugat si suami mengajukan
gugat

rekonpensi

berupa

harta

bersama,

kalau

prosedurnya, biasanya apabila bersama-sama dengan


komulasi itu maka pengajuan gugatannya sama ditempat
tinggal termohon, cuma apabila gugatan itu tersendiri kita
kan tidak ada peraturan yang secara khusus yang
mengatur itu, kita biasanya memakai Hukum Acara

Peradilan Umum. Hukum Acara Peradilan Umum adalah


ditempat tinggal tergugat. Pasal 118 HIR, tapi apabila
pengajuan gugatan bersama-sama dengan cerai talak atau
cerai gugat diajukan ditempat tinggal istri. Bisa cerai
gugat diajukan ditempat tergugat, apabila cerai talak
diajukan ditempat tinggal termohon kecuali jika istri
meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa ijin.
2. Pewawancara

: Menurut ibu apakah sebaiknya gugatan pembagian harta


bersama dilakukan setelah perceraian atau pengajuannya
diajukan bersamaan dengan pengajuan gugatan cerai dan
bagaimana proses pemeriksaannya di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan?

Narasumber

: Kalau pendapat itu relatif, tergantung kasuisis ya, apabila


kita pakai prinsip sederhana, cepat, biaya ringan, maka
komulatif. Hanya saja persoalannya relatifitasnya tadi
menjadi agak rumit kalau yang pengen cepat-cepat nikah
lagi karena dia terbentur dengan akibat cerai yang
kadang-kadang memakan prosedur yang agak lama, tapi
apabila misalnya diajukan tersendiri ya bisa saja, tapikan
biasanya harta itu sudah pergi dan salah satunya agak
sungkan untuk memohon lagi sama mantan, atau harta
bersama tersebut sudah dihilangkan. Jadi ada segi positif

ada segi negatifnya maksud saya. Jadi pendapat saya


secara umum kalau dilihat dari prinsip sederhana, biaya
ringan, sebaiknya komulasi jadi mempermudah dan
biayanya murah serta cepat walaupun akhirnya bisa lama
juga.
3. Pewawancara

: Menurut ibu apa alasan yang sering timbul dalam


beberapa permohonan yang mengajukan permohonan
gugatan pembagian harta bersama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan?

Narasumber

: Alasan permohonan gugatan pembagian harta bersama


pada umumnya yang kami temukan karena dia merasa
bahwa selama perkawinan dia sudah memperoleh harta
bersama itu dan berhak atas harta itu. Sementara pihak
suami atau pihak istri sudah mengupayakan diluar
pengadilan tidak berhasil, mungkin salah satu pihak tidak
mau membagi secara sukarela, maka biasanya mereka
baru mengajukan ke Pengadilan.

4. Pewawancara

: Dari 3 Putusan Gugatan Cerai dan Pembagian Harta


Bersama yang saya teliti ternyata Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Selatan menerapkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 secara utuh. Meski kasus yang saya
ambil sebagai sample berbeda, yaitu :

a. Istri bekerja suami tidak bekerja;


b. Suami bekerja istri tidak bekerja;
c. Keduanya sama-sama bekerja.
Namun,

Hakim

Pengadilan

Jakarta

Selatan

tetap

memutuskan pembagian harta bersama 50 : 50 untuk


masing-masing suami istri. Apa pendapat ibu tentang
putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang
membagi sama rata harta bersama kepada pihak istri dan
pihak suami, apabila istri yang bekerja dan suami tidak
bekerja serta suami melakukan kekerasan dalam rumah
tangga terhadap istri?. Dan apa pendapat ibu tentang
putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang
selalu membagi sama banyak 50 : 50 untuk masingmasing suami istri dalam kasus istri bekerja suami tidak
bekerja memang hakim memutuskan berdasarkan aturan
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang. Tapi
apakah hakim tidak berhak menegakkan keadilan disaat
Undang-undang dan Kompilasi Hukum Islam tidak adil?.
Kenapa saya katakan tidak adil karena disaat istri bekerja,
suami tidak mau menggantikan peran istri mengurus
rumah. Jadi istri akan berperan ganda sebagai pencari

nafkah dan sebagai pengurus rumah tangga. Beda jika


suami bekerja dan istri tidak bekerja.
Menurut ibu apa alasan atau pertimbangan Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan memberikan putusan
yang demikian?
Narasumber

:
a. Sering kali istri tidak tahu bahwa pembuktian
merupakan hal penting dalam berperkara untuk dapat
memperoleh hak atas harta bersama. Pembuktian
mengenai penggugatlah yang berusaha dan bekerja
keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sulit
untuk dibuktikan karena pada perkara Nomor:
45/Pdt.G/2005/PAJS,

tergugat

merasa

menjadi

manajer penggugat yang membantu penggugat untuk


menyelesaikan

jadual

kontraknya

dengan

baik.Sehingga satu sama lain saling berperan dalam


memenuhi kebutuhan rumah tangga.
b. Pembuktian

bahwa

selama

perkawinan

antara

penggugat dan tergugat telah memiliki harta bersama,


telah terbukti kebenarannya. Meskipun harta bersama
tersebut hanya suami yang bekerja dengan berbagai
usahanya sedangkan isteri berada di rumah dengan

tidak mencari nafkah melainkan hanya mengurus


rumah tangga. Jadi seluruh harta yang diperoleh
selama dalam ikatan perkawinan yang sah, dianggap
harta bersama suami istri. Tidak dipersoalkan jerih
payah siapa yang terbanyak dalam usaha memperoleh
harta bersama tersebut.
c. Telah terjadi kesepakatan bersama antara pemohon dan
termohon dalam bentuk surat perjanjian akibat
perceraian yakni perihal hak asuh anak (hadhanah)
dan perihal pembagian harta bersama. Perjanjian
tersebut terbukti sah karena dibuat dihadapan notaris
dan isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum
dan kesusilaan. Sehingga perjanjian ini dapat dijadikan
sebagai hukum oleh Majelis Hakim berdasarkan
ketentuan Pasal 105 huruf a dan c. Jo. Pasal 149 huruf
d dan menghukum para pihak untuk mentaatinya.
5. Pewawancara

: Apa

dasar

hukum

Hakim

dalam

memutuskan

permohonan gugatan pembagian harta bersama?


Narasumber

: Mayoritas
Kompilasi

Para

Hakim

Hukum

tetap

Islam

berpedoman

dan

pada

Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu harta bersama


dibagi dua antara Penggugat dan Tergugat sehingga

masing-masing

mendapat

dari

harta

bersama.

Sedangkan harta bawaan dari masing-masing harus


kembali kepada si pembawa, sehingga Hakim dalam
memutuskan perkara pembagian harta bersama yang
diakibatkan dari terjadinya perceraian tidak memberatkan
salah satu pihak, karena sudah sesuai dengan hukum
formil dan materiilnya.
6. Pewawancara

: Bagaimanakah putusan Hakim mengenai pembagian


harta bersama apabila sebelumnya ada perjanjian
pranikah yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris?

Narasumber

: Biasanya akta perjanjian pranikah hanya dijadikan salah


satu bukti, nanti Hakim melihat bagaimana perjanjian
pranikah itu seperti apa. Apakah Akta perjanjian pranikah
itu memang betul-betul keinginan para pihak atau ada
pemaksaan. Apakah Hakim akan memutus sesuai Akta
pranikah itu tergantung dari bukti yang ada, bukan
langsung memutus sesuai akta tetapi diperiksa dulu kalau
memang mereka terbukti mereka membuat perjanjian
pranikah sudah tentu diputus sesuai akta perjanjian
pranikah itu selama tidak bertentangan dengan norma
hukum yang berlaku.

7. Pewawancara

: Bagaimana perhitungan hakim dalam memutuskan


ketetapan sebuah perkara pembagian harta bersama?

Narasumber

: Hakim hanya menetapkan bahwa harta yang diperoleh


dalam perkawinan adalah harta bersama dan menghukum
penggugat dan tergugat untuk membagi dua harta
bersama itu, jika tidak dapat dibagi secara natural maka
akan dilelang.

Berikut ada beberapa foto penulis bersama Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan

Anda mungkin juga menyukai