Epidemiologi
Sampai saat ini BBLR masih merupakan masalah di seluruh dunia, karena merupakan
penyebab kesakitan dan kematian pada masa neonatal.Prevalensi BBLR masih cukup tinggi
terutama di negara-negara dengan sosio-ekonomi rendah.Secara statistik menunjukkan 90%
0
kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi
dibandingkan pada bayi dengan berat lahir > 2500 gram. Angka kejadian di Indonesia sangat
bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu berkisar antara 9-30%.Secara nasional
berdasarkan analisa lanjut SDKI, angka BBLR sekitar 7,5 %. Angka ini lebih besar dari target
BBLR yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010
yakni maksimal 7%.
Kejadian BBLR yang tinggi menunjukkan bahwa kualitas kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat itu masih rendah. Untuk itu diperlukan upaya untuk menurunkan
angka kejadian BBLR agar kualitas kesehatan dan kesejahteraan menjadi meningkat.
Kejadian BBLR ini bisa dicegah bila kita mengetahui faktor-faktor penyebabnya.
Etiologi
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yang lain
adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan
kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR.
(1) Faktor ibu
a. Penyakit : Seperti malaria, anemia, sipilis, infeksi TORCH, dan lain-lain
b. Komplikasi pada kehamilan : Komplikasi yang tejadi pada kehamilan ibu seperti
perdarahan antepartum, pre-eklamsia berat, eklamsia, dan kelahiran preterm.
c. Usia Ibu dan paritas : Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu-ibu dengan usia (< 20 tahun atau >40 tahun)
d. Faktor kebiasaan ibu : Faktor kebiasaan ibu juga berpengaruh seperti ibu perokok, ibu
pecandu alkohol dan ibu pengguna narkotika.
(2) Faktor Janin
Prematur, hidramion, kehamilan kembar/ganda (gemeli), kelainan kromosom.
(3) Faktor Lingkungan
Yang dapat berpengaruh antara lain; tempat tinggal di daratan tinggi, radiasi, sosioekonomi dan paparan zat-zat racun.
Komplikasi
Komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara lain :
-
Hipotermia
Hipoglikemia
Hiperbilirubinemia
Infeksi
Perdarahan intraventrikuler
Apnea of Prematurity
Anemia
Masalah jangka panjang yang mungkin timbul pada bayi-bayi dengan berat lahir
rendah (BBLR) antara lain :
-
Gangguan perkembangan
Gangguan pertumbuhan
Gangguan pendengaran
Diagnosis
Menegakkan diagnosis BBLR adalah dengan mengukur berat lahir bayi dalam jangka
waktu kurang lebih dapat diketahui dengan dilakukan anamesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk menegakkan mencari
etiologi dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya BBLR:
-
Umur ibu
Aktivitas
2. Pemeriksaan Fisik
Yang dapat dijumpai saat pemeriksaan fisik pada bayi BBLR antara lain :
-
Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk masa kehamilan).
Tidak dijumpai tanda prematuritas.
Kulit keriput.
Kuku lebih panjang
3. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain
- Pemeriksaan skor ballard
- Tes kocok (shake test), dianjur untuk bayi kurang bulan
3
- Darah rutin, glukosa darah, kalau perlu dan tersedia fasilitas diperiksa kadar elektrolit
dan analisa gas darah.
- Foto dada ataupun babygram diperlukan pada bayi baru lahir dengan umur kehamilan
kurang bulan dimulai pada umur 8 jam atau didapat/diperkirakan akan terjadi sindrom
gawat nafas.
- USG kepala terutama pada bayi dengan umur kehamilan kurang lebih
Penatalaksanaan/ terapi
1. Medikamentosa
Pemberian vitamin K1 :
-
Per oral 2 mg sekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10 hari,
dan umur 4-6 minggu)
2. Diatetik
Bayi prematur atau BBLR mempunyai masalah menyusui karena refleks
menghisapnya masih lemah. Untuk bayi demikian sebaiknya ASI dikeluarkan dengan
pompa atau diperas dan diberikan pada bayi dengan pipa lambung atau pipet. Dengan
memegang kepala dan menahan bawah dagu, bayi dapat dilatih untuk menghisap sementara
ASI yang telah dikeluarkan yang diberikan dengan pipet atau selang kecil yang menempel
pada puting. ASI merupakan pilihan utama :
-
Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang cukup dengan cara
apapun, perhatikan cara pemberian ASI dan nilai kemampuan bayi menghisap paling
kurang sehari sekali.
Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20 g/hari selama 3
hari berturut-turut, timbang bayi 2 kali seminggu.
Pemberian minum bayi berat lahir rendah (BBLR) menurut berat badan lahir dan keadaan
bayi adalah sebagai berikut:
a. Berat lahir 1750 2500 gram
Bayi Sehat
-
Biarkan bayi menyusu pada ibu semau bayi. Ingat bahwa bayi kecil lebih mudah
merasa letih dan malas minum, anjurkan bayi menyusu lebih sering (contoh; setiap 2
jam) bila perlu.
Pantau pemberian minum dan kenaikan berat badan untuk menilai efektifitas
menyusui. Apabila bayi kurang dapat menghisap, tambahkan ASI peras dengan
menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.
Bayi Sakit
-
Apabila bayi dapat minum per oral dan tidak memerlukan cairan IV, berikan
minum seperti pada bayi sehat.
Berikan ASI peras dengan cangkir/sendok. Bila jumlah yang dibutuhkan tidak
dapat diberikan menggunakan cangkir/sendok atau ada resiko terjadi aspirasi ke
dalam paru (batuk atau tersedak), berikan minum dengan pipa lambung. Lanjutkan
dengan pemberian menggunakan cangkir/ sendok apabila bayi dapat menelan tanpa
batuk atau tersedak (ini dapat berlangsung setela 1-2 hari namun ada kalanya
memakan waktu lebih dari 1 minggu)
Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan
ASI setiap kali minum.
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.
Bayi Sakit
-
Beri ASI peras dengan pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan
IV secara perlahan.
Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; tiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan
ASI setiap kali minum.
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.
Beri minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; setiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan
ASI setiap kali minum
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.
Bayi Sakit
-
Beri ASI peras melalui pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan
intravena secara perlahan.
Beri minum 8 kali dalam 24 jam (setiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan
minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap
kali minum
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.
Berikan ASI melalui pipa lambung mulai pada hari ke-3 dan kurangi pemberian cairan
intravena secara perlahan.
Berikan minum 12 kali dalam 24 jam (setiap 2 jam). Apabila bayi telah mendapatkan
minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap
kali minum
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.
Suportif
Hal utama yang perlu dilakukan adalah mempertahankan suhu tubuh normal (3):
Gunakan salah satu cara menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi, seperti
kontak kulit ke kulit, kangaroo mother care, pemancar panas, inkubator atau ruangan
hangat yang tersedia di tempat fasilitas kesehatan setempat sesuai petunjuk.
Bila terjadi penyulit, harus dikoreksi dengan segera (contoh; hipotermia, kejang,
gangguan nafas, hiperbilirubinemia)
Anjurkan ibu untuk tetap bersama bayi. Bila tidak memungkinkan, biarkan ibu
berkunjung setiap saat dan siapkan kamar untuk menyusui.
Pemantauan (Monitoring)
1). Pemantauan saat dirawat
a. Terapi
-
b. Tumbuh kembang
-
Bayi akan kehilangan berat badan selama 7-10 hari pertama (sampai 10% untuk
bayi dengan berat lahir 1500 gram dan 15% untuk bayi dengan berat lahir <1500
Bila bayi sudah mendapatkan ASI secara penuh (pada semua kategori berat lahir)
dan telah berusia lebih dari 7 hari :
Tingkatkan jumlah ASI sesuai dengan peningkatan berat badan bayi agar
jumlah pemberian ASI tetap 180 ml/kg/hari
Apabila kenaikan berat badan tidak adekuat, tingkatkan jumlah pemberian ASI
hingga 200 ml/kg/hari
Ukur berat badan setiap hari, panjang badan dan lingkar kepala setiap minggu.
Sesudah pulang hari ke-2, ke-10, ke-20, ke-30, dilanjutkan setiap bulan.
Prognosis BBLR
Kematian perinatal pada bayi BBLR 8 kali lebih besar dari bayi normal.Prognosis
akan lebih buruk bila BB makin rendah, angka kematian sering disebabkan karena
komplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi, pneumonia, perdarahan intrakranial,
hipoglikemia. Bila hidup akan dijumpai kerusakan saraf, gangguan bicara, IQ rendah.
Pencegahan
Pada kasus bayi berat lahir rendah (BBLR) pencegahan/ preventif adalah langkah yang
penting. Hal-hal yang dapat dilakukan :
-
Hendaknya ibu dapat merencanakan persalinannya pada kurun umur reproduksi sehat
(20-34 tahun)
Perlu dukungan sektor lain yang terkait untuk turut berperan dalam meningkatkan
pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga agar mereka dapat meningkatkan akses
terhadap pemanfaatan pelayanan antenatal dan status gizi ibu selama hamil.
Cek saat menyusui, apabila satu payudara dihisap ASI akan menetes dari
payudara yg lain.
Petunjuk penggunaan
KMC
Pemancar panas
Inkubator
Ruangan hangat
Berat (g)
5+
>1500
60
80
100
120
150
<1500
80
100
120
140
150
Pemberian
Jumlah ASI tiap 3 jam (ml/kali)
10
15
18
22
26
28
30
<1000
1000 - <1500
1500 2500
>2500
Hari I
120 cc D5%
100 cc D7,5%
80 cc D10%
80 cc D10%
Hari II
140 cc D5%
120 cc D7,5%
100 cc D10%
90 cc D10%
Hari III
170 cc D5%
130 cc D7,5%
110 cc D10%
100 cc D10%
Hari >IV
200 cc
140-150 cc
130-150 cc
120-150 cc
ASFIKSIA
Definisi
11
Epidemiologi
Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia
disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati yang lebih besar. Laporan
dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003
asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak
diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur.
Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup
dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan
belajar. Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian
perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%),
prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12.0%)
12
Faktor Ibu
Hipoksia ibu, dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau
anastesia dalam sehingga akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
Gangguan aliran darah uterus, berkurangnya aliran darah pada uterus akan
menyebabkan kekurangan pengaliran O2 ke plasenta dan janin. Misalnya : gangguan
kontraksi uterus (hipotermi, tetani uterus akibat penyakit/obat), hipotensi mendadak
pada ibu akibat perdarahan, hipertensi akibat penyakit eklampsi.
2. Faktor Placenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi placenta.
Asfiksia janin terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta misalnya :
solusi placenta, perdarahan placenta dan placenta previa.
3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh
darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan
aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat
melilit, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir.
4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena :
-
Pemakaian obat anastesi/analgetik yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat
menimbulkan depresi pusat pernafasan janin.
5. Faktor Persalinan
-
Partus lama
Klasifikasi
Pembagian klasifikasi asfiksia dibuat berdasarkan nilai apgar score yaitu :
1. Asfiksia berat
Apgar score 0-3, bayi memerlukan resusitasi segera secara aktif dan pemberian O 2
terkendali.
2. Asfiksia sedang
Apgar score 4-6 memerlukan resusitasi dan pemberian O2 sampai bayi dapat bernafas
normal kembali.
3. Bayi normal atau sedikit asfiksia (nilai apgar 7-10). Dalam hal ini bayi dianggap sehat
dan tidak memerlukan tindakan istimewa (Mochtar R, 1998).
Apperance
Score
0
Biru pucat
1
Tubuh
(warna kulit)
Pulse
Tidak ada
ekstremitas biru
100 x/m
kemerahan
100 x/m
(Denyut nadi)
Grimace
Tidak ada
Gerakan sedikit
(refleks)
Activity
Lumpuh
Gerakan lemah
Gerakan aktif
(tonus otot)
Respiratory
Tidak ada
Lambat
Tanda
2
kemerahan, Tubuh
dan
ekstremitas
(usaha bernafas)
14
Diagnosis
Diagnosis hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tandatanda gawat janin antara lain :
1. Denyut jantung janin
Frekuensi normal adalah antara 120 dan 160 x/m, selama his frekuensi ini biasa turun,
tetapi diluar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut
jantung umumnya tidak besar artinya, akan tetapi apabila frekuensi sampai di bawah 100
x/m diluar his dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
2. Mekonium dalam air ketuban
Pada presentase kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan terus
menimbulkan kewaspadaan.Adanya meokinum air ketuban pada presentasi kepala dapat
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan, biasanya hal ini dapat dilakukan dengan
mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin.
Dengan menggunakan amnioskopi yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil
pada kulit kepala janin dan diambil contoh darah janin.Adanya asidosis menyebabkan
turunnya pH. Apabila pH itu sampai turun di bawah 7,2 hal ini dianggap sebagai tanda
bahaya oleh beberapa penulis.
Patogenesis
1. Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbullah rangsangan terhadap
nesovagus sehingga jantung janin menjadi lambat. Bila kekurangan O 2 itu terus
berlangsung, maka nesovagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbullah rangsangan
dari nesosimpatikus. Denyut jantung janin menjadi lebih cepat akhirnya irregular dan
menghilang.
2. Kekurangan O2 juga merangsang usus, sehingga mekonium keluar sebagai tanda janin
dalam hipoksia :
-
Jika DJJ normal dan ada mekonium, maka janin mulai hipoksia.
Jika DJJ >100 x/m dan ada mekonium, maka janin sedang hipoksia.
Jika DJJ <100 x/m dan ada mekonium, maka janin dalam keadaan gawat.
15
Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa, kemudian terdapat
banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat (Mochtar R, 1998).
Penanganan
1. Jangan biarkan bayi kedinginan (balut dengan kain) bersihkan mulut dan jalan nafas.
2. Lakukan resusitas dengan alat yang dimasukkan ke dalam mulut untuk mengalirkan
O2 dengan tekanan 12 mmHg dan dapat juga dilakukan pernafasan dari mulut ke
mulut, masase jantung.
3. Gejala perdarahan otak biasanya timbul pada beberapa hari post partum, jadi kepala
dapat direndahkan, supaya lendir yang menyumbat pernafasan dapat keluar.
4. Kalau ada dugaan perdarahan otak berikan injeksi vit K 1-2 mg.
Tujuan Penanganan
1. Untuk mengurangi angka mortalitas dan angka morbiditas
2. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi
3. Untuk membatasi gejala lain setelah mengalami asfiksia.
Komplikasi
Komplikasi pada bayi baru lahir akibat asfiksia meliputi :
-
Cerebral palsy
Retardasi mental
16
Gangguan belajar
Apabila asfiksia ini tidak ditangani dengan baik, maka akan mengakibatkan kematian.
17
18
ETIOLOGI
Pada bayi premature, respiratory distress syndrome terjadi karena gangguan sintesis
dan sekresi surfaktan yang menyebabkan terjadinya atelektasis, ketidakseimbangannya
ventilasi-perfusi, dan hipoventilasi yang mengakibatkan hipoksemia dan hiperkarbi. Analisis
gas darah menunjukkan asidosis metabolic dan respiratorik yang mengakibatkan
vasokonstriksi pulmonum, kerusakan endotel dan integritas epithelial dan terbentuknya
eksudat protein dan terbentuknya formasi membrane hialin.
Defisiensi relative dari surfaktan menurunkan daya kompliens paru dan kapasitas residu
fungsional, dengan meningkatkan deadspace. Hipoksia, asidosis, hipotermia dan hipotensi
akan merusak produksi dan sekresi surfaktan. Evaluasi makroskopik, menunjukkan bahwa
paru terlihat merah seperti hati dan tidak berudara (seperti gambaran hati). Sedangkan
atelektasis dan distensi difus di bagian distal saluran napas diobservasi secara mikroskopik.
Atelektasis progresif, barotruma atau volutrauma dan toksisitas oksigenasi merusak sel
endotel dan sel epitel mengakibatkan eksudasi matriks fibrin dari darah.
Membrane hialin di alveoli terbentuk dalam waktu setengah jam setelah kelahiran. Pada bayi
premature, epitel mulai menyembuh saat 36-72 jam setelah kelahiran, dan sintesis surfaktan
dimulai. Fase penyembuhan ditandai dengan regenerasi sel alveolar, termasuk sel tipe II,
menghasilkan peningkatan aktivitas surfaktan.
Defisiensi Apoprotein
19
Idrofobik SP-B dan SP-C esensial untuk fungsi paru dan homeostasis pulmo setelah
lahir. Protein ini memperkuat penyebaran, adsorpsi dan stabilitas surfaktan lipid diperlukan
untuk mengurangi tegangan permukaan di alveolus. SP-B dan SP-C berperan dalam regulasi
proses intraselular dan ekstraselular dalam menjaga struktur dan fungsi paru.
Defisiensi SP-B merupakan defisiensi bawaan yang disebabkan oleh mekanisme
pretranslasi yang mengakibatkan ketidakhadiran messenger ribonucleic acid (mRNA).
Defisiensi SP-B menyebabkan kematian pada bayi aterm atau dekat aterm dan secara klinis
bermanifestasi sebagai respiratory distress syndrome dengan hipertensi pulmo, atau
proteinosis alveoli Kongenital. Penyebab defisiensi SP-B paling sering disebabkan oleh
insersi sepasang 2-basa (121 ins 2) yang memproduksi sinyal premature akhir yang akhirnya
menyebabkan absennya SP-B.
Kira-kira 15% bayi lahir cukup bulan yang meninggal karena sindrom yang mirip
RDS mengalami defisiensi SP-B. kekurangan SP-B menyebabkan kekurangan badan lamellar
sel tipe II dan kekurangan SP-C. mutasi SP-B dan SP-C menyebabkan acute respiratory
distress syndrome dan penyakit paru kronis yang berkaitan dengan akumulasi cedera protein
intraseluler, defisiensi ekstraseluler surfaktan bioaktif peptide atau keduanya. Mutasi gen SPC juga merupakan penyebab familial dan sporadic penyakit paru interstisial dan emfisema
saat pasien bertambah usia.
Mutasi ABCA33
Mutasi
adenosine
triphosphate
(ATP)binding
gene
(ABCA3)
pada
bayi
menghasilkan defisiensi surfaktan. ABCA3 sangat penting dalam formasi badan lamellar dan
fungsi surfaktan. Karena sangat berkaitan dengan ABCA1 dan ABCA4 yang mengkode
protein yang mentransportasi fosfolipid di makrofag dan sel fotoreseptor, yang berperan
dalam metabolism fosfolipid surfaktan.
PATOFISIOLOGI
Faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli
masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding
thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan
mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut
20
GEJALA KLINIS
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel
dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga
menghambat fungsi surfaktan.Gejala klinis yang timbul yaitu : adanya sesak napas pada bayi
prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernapasan
cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada,dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96
jam pertama setelah lahir.
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
Stadium 1. Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara,
21
Stadium 2. Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan
jantung dengan penurunan aerasi paru.
Stadium 3. Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat
lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas.
Stadium 4. Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat.
Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
Pada bayi extremely premature ( berat badan lahir sangat rendah) mungkin dapat
berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa komplikasi maka surfaktan akan
tampak kembali dalam paru pada umur 36-48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap
pada 24-36 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi stabil dalam 24 jam maka akan membaik
dalam 60-72 jam. Dan sembuh pada akhir minggu pertama.
Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor SilvermanAnderson dan skor Downes. Skor Silverman-Anderson lebih sesuai digunakan untuk bayi
prematur yang menderita hyaline membrane disease (HMD), sedangkan skor Downes
merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan dapat digunakan pada semua usia
kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk
menilai progresivitasnya.
0
< 60 /menit
Tidak ada retraksi
Tidak ada sianosis
Skor
1
60-80 /menit
Retraksi ringan
Sianosis hilang
dengan 02
2
> 80/menit
Retraksi berat
Sianosis menetap
walaupun diberi O2
22
Air entry
Merintih
Udara masuk
Penurunan ringan
udara masuk
Tidak merintih
Dapat didengar
dengan stetoskop
Skor > 6 : Ancaman gagal nafas
Sumber: Mathai
DIAGNOSIS
Tes Kematangan Paru
Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah Tes
Kematangan Paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang mengancam jiwa untuk
mencegah terjadinya Neonatal Respiratory Distress Syndrome (RDS). Tes tersebut
diklasifikasikan sebagai tes biokimia dan biofisika.
Tes Biokimia (Lesithin - Sfingomyelin rasio)
Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam
cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru,
dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion.
Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan salah satu
test yang sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain.
Rasio Lesithin dibandingkan Sfingomyelin ditentukan dengan thinlayer chromatography
(TLC). Cairan amnion disentrifus dan dipisahkan dengan pelarut organik, ditentukan dengan
chromatography dua dimensi; titik lipid dapat dilihat dengan ditambahkan asam sulfur atau
kontak dengan uap iodine. Kemudian dihitung rasio lesithin dibandingkan sfingomyelin
dengan menentukan fosfor organic dari lesithin dan sfingomyelin.
Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan
komponen non spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk
kehamilan normal adalah < 0,5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap
pada level 1 pada usia gestasi 32 minggu. Rasio L/S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu
dan secara empiris disebutkan bahwa Neonatal RDS sangat tidak mungkin terjadi bila rasio
L/S > 2. Beberapa penulis telah melakukan pemeriksaan rasio L/S dengan hasil yang sama.
Suatu studi yang bertujuan untuk mengevaluasi harga absolut rasio L/S bayi immatur dapat
memprediksi perjalanan klinis dari neonatus tersebut dimana rasio L/S merupakan prediktor
untuk kebutuhan dan lamanya pemberian bantuan pernapasan. Dengan melihat umur gestasi,
23
ada korelasi terbalik yang signifikan antara rasio L/S dan lamanya hari pemberian bantuan
pernapasan.
Adanya mekonium dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini. Pada studi yang
dilakukan telah menemukan bahwa mekonium tidak mengandung lesithin atau sfingomyelin,
tetapi mengandung suatu bahan yang tak teridentifikasi yang susunannya mirip lesithin,
sehingga hasil rasio L/S meningkat palsu.
Test Biofisika :
Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972. Test ini
bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga agar
gelembung tetap stabil . Dengan mengocok cairan amnion yang dicampur ethanol akan
terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion seperti
protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Pengenceran secara serial dari 1 ml cairan
amnion dalam saline dengan 1 ml ethanol 95% dan dikocok dengan keras. Bila didapatkan
ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion : ethanol) merupakan
indikasi maturitas paru janin. Pada kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positip yang
tepat dengan resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS.
Analisis Gas Darah
Gas darah menunjukkan asidosis metabolic dan respiratorik bersamaan dengan
hipoksia, Asidosis muncul karena atelektasis alveolus dan/atau overdistensi jalan napas
terminal. Asidosis metabolik merupakan asidosis laktat primer, yang merupakan akibat dari
perfusi jaringan yang jelek dan metabolism anaerob
Radiografi Thoraks
Radiografi thorak pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular granular atau
gambaran ground-glass bilateral, difus, air bronchograms, dan ekspansi paru yang jelek.
Gambaran air bronchograms yang mencolok menunjukkan bronkioli yang terisi udara
didepan alveoli yang kolap.
Bayangan jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh
asfiksi prenatal, diabetes maternal, patent ductus arteriosus (PDA), kemungkinan kelainan
jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah dengan terapi surfaktan dini dan ventilasi
mekanik yang adekuat.
24
TATALAKSANA
Terapi respiratory distress syndrome ditujukan untuk mencegah komplikasi dan
memburuknya keadaan yang terjadi akibat penyakit paru-paru pada neonatus, seperti
hipoksemia dan asidemia, sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung. Bayi baru lahir
yang mengalami gangguan nafas berat harus dirawat di ruang rawat intensif untuk neonatus
(NICU), bila tidak tersedia bayi harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas
NICU.14Sebelum dirujuk atau dipindahkan ke NICU, penatalaksanaan yang tepat sejak awal
sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan perawatan.
Penatalaksanaan Non Respiratorik
Monitoring temperatur merupakan hal yang penting dalam perawatan neonatus yang
mengalami distress pernafasan. Keadaan hipo maupun hipertermi harus dihindari. 8
Temperatur bayi harus dijaga dalam rentang 36,537,5oC.
Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress nafas yang
berat, dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk mencegah keadaan hipoglikemia.
Keseimbangan cairan, elektrolit dan glukosa harus diperhatikan. Pemberian cairan biasanya
dimulai dengan jumlah yang minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari dengan Dekstrose 10%
atau dari kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan dosis 6-8 ml/kgBB/hari dapat
25
ditambahkan pada infus cairan yang diberikan. Pemberian nutrisi parenteral dapat dimulai
sejak hari pertama. Pemberian protein dapat dimulai dari 3,5 g/kgBB/hari dan lipid mulai dari
3 g/kgBB/hari.
Gejala dan hasil pemeriksaan radiologis pada bayi yang mengalami distress nafas
sering tidak spesifik sehingga penyebab lain terjadinya distress nafas seperti sepsis perlu
dipertimbangkan, dan pemberian antibiotik spektrum luas sedini mungkin harus dimulai
sampai hasil kultur terbukti negatif. Pemilihan antibiotik inisial yang dianjurkan adalah
ampicillin dan gentamicin.
Penatalaksanaan Respiratorik
Penanganan awal adalah dengan membersihkan jalan nafas, jalan nafas dibersihkan
dari lendir atau sekret yang dapat menghalangi jalan nafas selama diperlukan, serta
memastikan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Monitoring saturasi oksigen dapat
dilakukan dengan menggunakan pulse oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan
memulai intubasi dan ventilasi. Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan atau tanpa
sianosis harus mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan sebaiknya oksigen
lembab dan telah dihangatkan.
Tabel 2. Panduan untuk monitoring saturasi oksigen dengan pulse oxymetri
> 95%
Bayi aterm
88-94%
85-92%
< 28 minggu
Sumber: Mathai
26
Berat
(PCH, grunting,
apneu, sianosis
Resusitasi:
Bersihkan jalan nafas, hisap
lendir (suction)
Pemberian oksigen , Disesuaik
pasang
an
OGT
menurut
Pasang akses intra vena :
usia
D10% 60 ml/kgBB
Ca-Gukonas
10%
6-8
ml/kgBB
Monitor
temperatur skor
Evaluasi
menggunakan
MonitorDownes
saturasi
Rontgen
toraks
(Bila
memungkinkan)
Perbaikan klinis
Ampicillin
(inisial)
&
antibiotik
Gentamicin
Pemeriksaan penunjang:
Hipoglikemi
Hasil AGD:
Konsul NICU/rujuk
ke RS yang
Asidosis
bolus
D10%
memiliki NICU
metabolik/respira
2cc/kgBB,
torik
dilanjutkan
infus
Bila pH 7,25
kontinyu kec 6-8
mg/kgBB/mnt
Na-Bikarbonat 1Hiperglikemi
2 mEq/kgBB dlm
30 menit Perawatan dikuranngi
NICU
konsentrasi infus
glukosa (D5%)
Ringan
(Takipneu ringan)
YA
Observasi 30
menit
Membaik
TIDA
K
YA
Pemberian O2
dilanjutkan
Monitoring
saturasi
Rontgen toraks Perawata
Evaluasi
menggunakan
skor Downes
n bayi
rutin
Sumber: Mathai
Penatalaksanaan di ruang NICU
27
Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai efek pada
sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien
dan optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO 2 (fractional concentration of inspired oxygen)
yang minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang minimal. 3 Derajat distress
pernafasan, derajat abnormalitas gas darah, riwayat penyakit paru-paru, dan derajat
instabilitas kardiopulmonal serta keadaan fisiologis penderita harus ikut dipertimbangkan
dalam memutuskan untuk memulai penggunaan ventilator mekanik. Berbagai mode ventilasi
mekanik dapat ditentukan oleh parameter yang diatur oleh klinisi untuk menentukan
karakteristik pernafasan mekanis yang diinginkan.
Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) prolonged apnea, (2)
PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit
jantung bawaan tipe sianotik, (3) PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten, dan
(4) bayi yang menggunakan anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk penggunaan
ventilasi mekanis antara lain: (1) frequent intermittent apnea, (2) bayi yang menunjukkan
tanda-tanda kesulitan nafas, (3) dan pada pemberian surfaktan.
Surfaktan
Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi
mengalami respiratory distress syndrome yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2
28
jam (umumnya 4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan
tambahan oksigen 30% atau lebih.
Dosis surfaktan yang direkomendasikan untuk terapi.
Nama Produk
Dosis Awal
Dosis Tambahan
Galfactant
3 ml/KgBB
Beractant
4 ml/KgBB
Colfosceril
Porcine
2,5 ml/KgBB
Sumber: Kosim
Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan menggunakan
nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT memungkinkan distribusi surfaktan yang
lebih cepat sampai ke bagian perifer paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping
yang dapat ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan
menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan
postural drainage, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian surfaktan dengan
cara ini kurang efektif karena volume surfaktan yang sampai kedalam paru-paru lebih sedikit.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pemberian surfaktan antara lain, bradikardi,
hipoksemia, hipo atau hiperkarbia, dan apnea. Bradikardi, hipoksemia dan sumbatan pada
endotracheal tube (ETT) dapat terjadi pada saat pemberian surfaktan dilakukan. Perubahan
perfusi serebral dapat terjadi pada bayi yang sangat prematur akibat redistribusi yang
mendadak dari aliran darah paru kedalam sirkulasi otak. Seluruh efek samping tersebut dapat
diatasi dengan menghentikan pemberian surfaktan dan meningkatkan aliran oksigen dan
ventilasi.
29
memberikan gas yang adekuat dengan tekanan pada jalan nafas yang lebih rendah sehingga
mengurangi kejadian barotrauma.
High frequency ventilation menggunakan konsep untuk mengurangi trauma volume
dan atelektaruma, yang akan mengurangi PaCO2 dengan resiko barotrauma yang kecil pada
paru-paru. HFV telah digunakan pada bayi dengan respiratory distress syndrome (RDS) yang
memerlukan bantuan nafas lebih lanjut. HVF mengurangi kejadian barotrauma pada bayi
dengan berat badan rendah. Pada saat ini penggunaan HFV lebih direkomendasikan karena
komplikasi yang lebih sedikit.
Penggunaan klinis HFV lebih menguntungkan dibandingkan ventilator biasa. Pada
beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien RDS yang menggunakan ventilator HFV
memperlihatkan penurunan kejadian lung injuries. Penggunaan HFV ini dapat menyediakan
ventilasi yang adekuat dengan airway pressure (tekanan jalan nafas) yang rendah, sehingga
penggunaannya dapat dipertimbangkan pada pneumotoraks, hipoplasia paru, sindroma
aspirasi mekonium, pneumonia dengan atelektasis.
Inhaled Nitric Oxide
Pengunaan Inhaled nitric oxide (iNO) berdasar kepada kemampuannya sebagai vasodilator
di paru-paru tanpa menurunkan tonus vaskuler paru. Penggunaan iNO dipertimbangkan
karena memiliki kemampuan selektif menurunkan pulmonary vascular resistance (PVR).
Nitrat oksida disintesis pada saluran napas atas dan bawah. Nitrat oksida merupakan
salah satu substansi fisiologis yang dilepaskan endotel untuk memelihara tekanan darah
dalam batas normal. Nitrat oksida akan berdifusi dari lapisan endotel ke dalam otot polos
pembuluh darah dimana akan mengaktifkan guanil siklase, dan mengkatalisir formasi dari
cGMP, cGMP kemudian akan mengfosforilasi beberapa protein melalui protein kinase
dependent cGMP, yang secara tidak langsung akan menyebabkan defosforilasi miosin dan
menyebabkan relaksasi otot polos.
Sirkulasi paru janin cenderung mempunyai resistensi yang tinggi. Nitrat oksida
endogen secara fisiologis penting untuk mengatur tonus vaskuler paru janin. Nitrat oksida
menyebabkan angiogenesis, pembentukan alveolar dan pertumbuhan paru normal.
Terapi iNo pada bayi baru lahir telah diteliti pada bayi preterm dan aterm. Nitrat
oksida eksogen yang dihantarkan melalui ventilator akan menyebabkan vasodilatasi paru.
30
Terapi iNO memperbaiki oksigenisasi tanpa efek samping jangka pendek seperti perdarahan
paru, perdarahan intrakranial, pnumotoraks pada bayi prematur dengan gagal napas.
PROGNOSIS
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi:
1.
2.
3.
respirasi.
Perdarahan
intrakranial
dan
leukomalacia
periventrikular
perdarahan
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi
dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ
lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang
disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD
berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu
menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
Retinopathy premature. Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi.
ANALISA KASUS
31
Berat badan lahir merupakan salah satu indikator kesehatan bayi baru lahir. Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 g tanpa
memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah
lahir. Pada kasus ini, berat lahir os adalah 2200 gram, artinya os termasuk bayi BBLR yang
berdasarkan masa gestasinya tergolong bayi BBLR dengan kategori maturitas normal karena
hasil perhitungan Ballard score menunjukkan usia kehamilan atau masa gestasi
sesuai
dengan berat badan pada masa gestasi itu. Pada kasus ini perhitungan Ballard score nya
menunjukkan usia kehamilan 30-32 minggu. Hal ini biasanya disebut dengan sesuai masa
kehamilan. Kelompok BBLR ini sering mendapatkan penyulit dan komplikasi akibat kurang
matangnya organ karena masa gestasi yang kurang.
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yang lain
adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan
kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR. Adapun faktor
risiko BBLR pada kasus ini didapatkan faktor ibu yaitu ibu yang sering mengalami anemia
selama hamil. Anemia akan mengurangi kemampuan metabolisme tubuh sehingga
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Fungsi darah adalah
membawa makanan dan oksigen ke janin. Jika suplai berkuran akibatnya pertumbuhan organ
janin pun akan terhambat dan menyebabkan BBLR.
Pada kasus di atas, pada pasien terjadi asfiksia derajat berat dengan melihat skor apgar
masing-masing pada menit pertama dan kelima sebesar yaitu 4-6. Kemungkinan asfiksia yang
terjadi dikarenakan karena faktor ibu berupa anemia dan gawat janin.
Komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara
lain :hipotermia, hipoglikemia, gangguan cairan dan elektrolit, hiperbilirubinemia, sindroma
32
33
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Gambaran Kasus Bayi Baru Lahir Dengan Asfiksia. Available from :
http://ebookbrowse.com. (Accessed at April, 21th 2012)
Azis, Abdul Latief. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Kesehatan Anak,
edisi III. RSU Dokter Sutomo. Surabaya
Elizawarda. 2003. Studi Kasus Kelola Faktor Resiko Untuk Pencegahan Berat Badan Lahir
Rendah di Rumah Sakit Umum Dr.Pirngadi Kota Medan Tahun 2003. Available from :
http://repository.usu.ac.id.(Accessed at April, 21th 2012)
Kosim, Sholeh. 2008. Buku Ajar Neonatologi, edisi pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta
Suraatmaja, Sudrajat, dr,SpA(K). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
RSUP Sanglah, Denpasar.
Poesponegoro, Hardiono, dr. Sp.A(K). 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
34