Anda di halaman 1dari 35

TINJAUAN PUSTAKA

Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)


Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram
tanpa memandang usia gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu)
jam setelah lahir. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (< 37 minggu) atau pada bayi
cukup bulan (intrauterine growth restriction/IUGR).
Klasifikasi
BBLR dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Prematuritas murni
Adalah masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan
berat badan untuk masa gestasi itu atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai
untuk masa kehamilan.
Kelompok BBLR ini sering mendapatkan penyulit dan komplikasi akibat kurang
matangnya organ karena masa gestasi yang kurang.
b. Dismaturitas
Adalah bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa
gestasi itu. Berarti bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dan merupakan
bayi yang kecil untuk masa kehamilannya.
Hal ini disebabkan oleh terganggunya sirkulasi dan efisiensi plasenta, kurang baiknya
keadaan umum ibu atau gizi ibu, atau hambatan pertumbuhan dari bayinya sendiri.

Epidemiologi
Sampai saat ini BBLR masih merupakan masalah di seluruh dunia, karena merupakan
penyebab kesakitan dan kematian pada masa neonatal.Prevalensi BBLR masih cukup tinggi
terutama di negara-negara dengan sosio-ekonomi rendah.Secara statistik menunjukkan 90%
0

kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi
dibandingkan pada bayi dengan berat lahir > 2500 gram. Angka kejadian di Indonesia sangat
bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu berkisar antara 9-30%.Secara nasional
berdasarkan analisa lanjut SDKI, angka BBLR sekitar 7,5 %. Angka ini lebih besar dari target
BBLR yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010
yakni maksimal 7%.
Kejadian BBLR yang tinggi menunjukkan bahwa kualitas kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat itu masih rendah. Untuk itu diperlukan upaya untuk menurunkan
angka kejadian BBLR agar kualitas kesehatan dan kesejahteraan menjadi meningkat.
Kejadian BBLR ini bisa dicegah bila kita mengetahui faktor-faktor penyebabnya.
Etiologi
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yang lain
adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan
kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR.
(1) Faktor ibu
a. Penyakit : Seperti malaria, anemia, sipilis, infeksi TORCH, dan lain-lain
b. Komplikasi pada kehamilan : Komplikasi yang tejadi pada kehamilan ibu seperti
perdarahan antepartum, pre-eklamsia berat, eklamsia, dan kelahiran preterm.
c. Usia Ibu dan paritas : Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu-ibu dengan usia (< 20 tahun atau >40 tahun)
d. Faktor kebiasaan ibu : Faktor kebiasaan ibu juga berpengaruh seperti ibu perokok, ibu
pecandu alkohol dan ibu pengguna narkotika.
(2) Faktor Janin
Prematur, hidramion, kehamilan kembar/ganda (gemeli), kelainan kromosom.
(3) Faktor Lingkungan
Yang dapat berpengaruh antara lain; tempat tinggal di daratan tinggi, radiasi, sosioekonomi dan paparan zat-zat racun.

Komplikasi
Komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara lain :
-

Hipotermia

Hipoglikemia

Gangguan cairan dan elektrolit

Hiperbilirubinemia

Sindroma gawat nafas

Paten duktus arteriosus

Infeksi

Perdarahan intraventrikuler

Apnea of Prematurity

Anemia

Masalah jangka panjang yang mungkin timbul pada bayi-bayi dengan berat lahir
rendah (BBLR) antara lain :
-

Gangguan perkembangan

Gangguan pertumbuhan

Gangguan penglihatan (Retinopati)

Gangguan pendengaran

Penyakit paru kronis

Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit

Kenaikan frekuensi kelainan bawaan

Diagnosis
Menegakkan diagnosis BBLR adalah dengan mengukur berat lahir bayi dalam jangka
waktu kurang lebih dapat diketahui dengan dilakukan anamesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis
Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk menegakkan mencari
etiologi dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya BBLR:
-

Umur ibu

Riwayat hari pertama haid terakir

Riwayat persalinan sebelumnya

Paritas, jarak kelahiran sebelumnya

Kenaikan berat badan selama hamil

Aktivitas

Penyakit yang diderita selama hamil

Obat-obatan yang diminum selama hamil

2. Pemeriksaan Fisik
Yang dapat dijumpai saat pemeriksaan fisik pada bayi BBLR antara lain :
-

Berat badan <2500 gr

Tanda-tanda prematuritas (pada bayi kurang bulan)


Tulang rawan telinga belum terbentuk.
Masih terdapat lanugo.
Refleks masih lemah.
Alat kelamin luar; perempuan: labium mayus belum menutup labium
minus; laki-laki: belum terjadi penurunan testis & kulit testis rata.

Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk masa kehamilan).
Tidak dijumpai tanda prematuritas.
Kulit keriput.
Kuku lebih panjang

3. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain
- Pemeriksaan skor ballard
- Tes kocok (shake test), dianjur untuk bayi kurang bulan
3

- Darah rutin, glukosa darah, kalau perlu dan tersedia fasilitas diperiksa kadar elektrolit
dan analisa gas darah.
- Foto dada ataupun babygram diperlukan pada bayi baru lahir dengan umur kehamilan

kurang bulan dimulai pada umur 8 jam atau didapat/diperkirakan akan terjadi sindrom
gawat nafas.
- USG kepala terutama pada bayi dengan umur kehamilan kurang lebih

Penatalaksanaan/ terapi
1. Medikamentosa
Pemberian vitamin K1 :
-

Injeksi 1 mg IM sekali pemberian, atau

Per oral 2 mg sekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10 hari,
dan umur 4-6 minggu)

2. Diatetik
Bayi prematur atau BBLR mempunyai masalah menyusui karena refleks
menghisapnya masih lemah. Untuk bayi demikian sebaiknya ASI dikeluarkan dengan
pompa atau diperas dan diberikan pada bayi dengan pipa lambung atau pipet. Dengan
memegang kepala dan menahan bawah dagu, bayi dapat dilatih untuk menghisap sementara
ASI yang telah dikeluarkan yang diberikan dengan pipet atau selang kecil yang menempel
pada puting. ASI merupakan pilihan utama :
-

Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang cukup dengan cara
apapun, perhatikan cara pemberian ASI dan nilai kemampuan bayi menghisap paling
kurang sehari sekali.

Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20 g/hari selama 3
hari berturut-turut, timbang bayi 2 kali seminggu.

Pemberian minum bayi berat lahir rendah (BBLR) menurut berat badan lahir dan keadaan
bayi adalah sebagai berikut:
a. Berat lahir 1750 2500 gram
Bayi Sehat
-

Biarkan bayi menyusu pada ibu semau bayi. Ingat bahwa bayi kecil lebih mudah
merasa letih dan malas minum, anjurkan bayi menyusu lebih sering (contoh; setiap 2
jam) bila perlu.

Pantau pemberian minum dan kenaikan berat badan untuk menilai efektifitas
menyusui. Apabila bayi kurang dapat menghisap, tambahkan ASI peras dengan
menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.

Bayi Sakit
-

Apabila bayi dapat minum per oral dan tidak memerlukan cairan IV, berikan
minum seperti pada bayi sehat.

Apabila bayi memerlukan cairan intravena:


Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
Mulai berikan minum per oral pada hari ke-2 atau segera setelah bayi stabil.
Anjurkan pemberian ASI apabila ibu ada dan bayi menunjukkan tanda-tanda siap
untuk menyusu.
Apabila masalah sakitnya menghalangi proses menyusui (contoh; gangguan nafas,
kejang), berikan ASI peras melalui pipa lambung :

Berikan cairan IV dan ASI menurut umur

Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; 3 jam sekali). Apabila


bayi telah mendapat minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar
berikan tambahan ASI setiap kali minum. Biarkan bayi menyusu apabila
keadaan bayi sudah stabil dan bayi menunjukkan keinginan untuk menyusu
dan dapat menyusu tanpa terbatuk atau tersedak.

b. Berat lahir 1500-1749 gram


Bayi Sehat

Berikan ASI peras dengan cangkir/sendok. Bila jumlah yang dibutuhkan tidak
dapat diberikan menggunakan cangkir/sendok atau ada resiko terjadi aspirasi ke
dalam paru (batuk atau tersedak), berikan minum dengan pipa lambung. Lanjutkan
dengan pemberian menggunakan cangkir/ sendok apabila bayi dapat menelan tanpa
batuk atau tersedak (ini dapat berlangsung setela 1-2 hari namun ada kalanya
memakan waktu lebih dari 1 minggu)

Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan
ASI setiap kali minum.

Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.

Bayi Sakit
-

Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama

Beri ASI peras dengan pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan
IV secara perlahan.

Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; tiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan
ASI setiap kali minum.

Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok apabila kondisi bayi


sudah stabil dan bayi dapat menelan tanpa batuk atau tersedak

Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.

c. Berat lahir 1250-1499 gram


Bayi Sehat
-

Beri ASI peras melalui pipa lambung

Beri minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; setiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan
ASI setiap kali minum

Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.


6

Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.

Bayi Sakit
-

Beri cairan intravena hanya selama 24 jam pertama.

Beri ASI peras melalui pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan
intravena secara perlahan.

Beri minum 8 kali dalam 24 jam (setiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan
minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap
kali minum

Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.

Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.

d. Berat lahir < 1250 gram (tidak tergantung kondisi)


-

Berikan cairan intravena hanya selama 48 jam pertama

Berikan ASI melalui pipa lambung mulai pada hari ke-3 dan kurangi pemberian cairan
intravena secara perlahan.

Berikan minum 12 kali dalam 24 jam (setiap 2 jam). Apabila bayi telah mendapatkan
minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap
kali minum

Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.

Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.

Suportif
Hal utama yang perlu dilakukan adalah mempertahankan suhu tubuh normal (3):

Gunakan salah satu cara menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi, seperti
kontak kulit ke kulit, kangaroo mother care, pemancar panas, inkubator atau ruangan
hangat yang tersedia di tempat fasilitas kesehatan setempat sesuai petunjuk.

Jangan memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan dingin

Ukur suhu tubuh dengan berkala

Yang juga harus diperhatikan untuk penatalaksanaan suportif ini adalah :

Jaga dan pantau patensi jalan nafas

Pantau kecukupan nutrisi, cairan dan elektrolit

Bila terjadi penyulit, harus dikoreksi dengan segera (contoh; hipotermia, kejang,
gangguan nafas, hiperbilirubinemia)

Berikan dukungan emosional pada ibu dan anggota keluarga lainnya

Anjurkan ibu untuk tetap bersama bayi. Bila tidak memungkinkan, biarkan ibu
berkunjung setiap saat dan siapkan kamar untuk menyusui.

Pemantauan (Monitoring)
1). Pemantauan saat dirawat
a. Terapi
-

Bila diperlukan terapi untuk penyulit tetap diberikan

Preparat besi sebagai suplemen mulai diberikan pada usia 2 minggu

b. Tumbuh kembang
-

Pantau berat badan bayi secara periodik

Bayi akan kehilangan berat badan selama 7-10 hari pertama (sampai 10% untuk
bayi dengan berat lahir 1500 gram dan 15% untuk bayi dengan berat lahir <1500

Bila bayi sudah mendapatkan ASI secara penuh (pada semua kategori berat lahir)
dan telah berusia lebih dari 7 hari :

Tingkatkan jumlah ASI dengan 20 ml/kg/hari sampai tercapai jumlah 180


ml/kg/hari

Tingkatkan jumlah ASI sesuai dengan peningkatan berat badan bayi agar
jumlah pemberian ASI tetap 180 ml/kg/hari

Apabila kenaikan berat badan tidak adekuat, tingkatkan jumlah pemberian ASI
hingga 200 ml/kg/hari

Ukur berat badan setiap hari, panjang badan dan lingkar kepala setiap minggu.

2). Pemantauan setelah pulang


Diperlukan pemantauan setelah pulang untuk mengetahui perkembangan bayi dan
mencegah/ mengurangi kemungkinan untuk terjadinya komplikasi setelah pulang sebagai
berikut :
-

Sesudah pulang hari ke-2, ke-10, ke-20, ke-30, dilanjutkan setiap bulan.

Hitung umur koreksi.

Pertumbuhan; berat badan, panjang badan dan lingkar kepala.

Tes perkembangan, Denver development screening test (DDST).

Awasi adanya kelainan bawaan.

Prognosis BBLR
Kematian perinatal pada bayi BBLR 8 kali lebih besar dari bayi normal.Prognosis
akan lebih buruk bila BB makin rendah, angka kematian sering disebabkan karena
komplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi, pneumonia, perdarahan intrakranial,
hipoglikemia. Bila hidup akan dijumpai kerusakan saraf, gangguan bicara, IQ rendah.

Pencegahan
Pada kasus bayi berat lahir rendah (BBLR) pencegahan/ preventif adalah langkah yang
penting. Hal-hal yang dapat dilakukan :
-

Meningkatkan pemeriksaan kehamilan secara berkala minimal 4 kali selama kurun


kehamilan dan dimulai sejak umur kehamilan muda. Ibu hamil yang diduga berisiko,
terutama faktor risiko yang mengarah melahirkan bayi BBLR harus cepat dilaporkan,
dipantau dan dirujuk pada institusi pelayanan kesehatan yang lebih mampu

Penyuluhan kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim,


tanda tanda bahaya selama kehamilan dan perawatan diri selama kehamilan agar
mereka dapat menjaga kesehatannya dan janin yang dikandung dengan baik

Hendaknya ibu dapat merencanakan persalinannya pada kurun umur reproduksi sehat
(20-34 tahun)

Perlu dukungan sektor lain yang terkait untuk turut berperan dalam meningkatkan
pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga agar mereka dapat meningkatkan akses
terhadap pemanfaatan pelayanan antenatal dan status gizi ibu selama hamil.

Tanda kecukupan pemberian ASI:


-

BAK minimal 6 kali/ 24 jam.

Bayi tidur lelap setelah pemberian ASI.

BB naik pd 7 hari pertama sebanyak 20 gram/ hari.

Cek saat menyusui, apabila satu payudara dihisap ASI akan menetes dari
payudara yg lain.

Indikasi bayi BBLR pulang:


-

Suhu bayi stabil.

Toleransi minum oral baik terutama ASI.

Ibu sanggup merawat BBLR di rumah.

Cara menghangatkan bayi


Cara
Kontak kulit

Petunjuk penggunaan

Untuk semua bayi


Untuk menghangatkan bayi dalam waktu singkat atau
menghangatkan bayi hipotermi (32-36,4 oC) apabila cara lain
tidak mungkin dilakukan.
Untuk menstabilkan bayi dgn berat badan <2.500 g, terutama
direkomendasikan untuk perawatan berkelanjutan bayi dengan
berat badan <1.800 g.
Tidak untuk bayi sakit berat (sepsis, gangguan napas berat)
Tidak untuk ibu yang menderita penyakit berat yang tidak dapat
merawat bayinya.
Untuk bayi sakit atau bayi dengan berat 1.500 g atau lebih.
Untuk pemeriksaan awal bayi, selama dilakukan tindakan, atau
menghangatkan kembali bayi hipotermi.
Penghangatan berkelanjutan bayi dengan berat <1.500 g yang tidak
dapat dilakukan KMC.

KMC

Pemancar panas

Inkubator
Ruangan hangat

Untuk merawat bayi dengan berat <2.500 g yang tidak


10

memerlukan tindakan diagnostik atau prosedur pengobatan.


Tidak untuk bayi sakit berat.

Jumlah cairan yang dibutuhkan bayi (ml/Kg)


Umur (hari)

Berat (g)

5+

>1500

60

80

100

120

150

<1500

80

100

120

140

150

Jumlah ASI untuk bayi sehat berat 1250-1499


Umur (hari)

Pemberian
Jumlah ASI tiap 3 jam (ml/kali)

10

15

18

22

26

28

30

Kebutuhan cairan elektrolit bayi (ml/kg)


Berat badan (g)

<1000

1000 - <1500

1500 2500

>2500

Hari I

120 cc D5%

100 cc D7,5%

80 cc D10%

80 cc D10%

Hari II

140 cc D5%

120 cc D7,5%

100 cc D10%

90 cc D10%

Hari III

170 cc D5%

130 cc D7,5%

110 cc D10%

100 cc D10%

Hari >IV

200 cc

140-150 cc

130-150 cc

120-150 cc

Pembuatan cairan D7,5% = 93 cc (D5%) + 7 cc (D40%) = 100 cc D7,5%.

ASFIKSIA
Definisi
11

Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda :


1. Ikatan Dokter Anak Indonesia
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir
atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan
asidosis.
2. WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah
lahir.
3. ACOG dan AAP
Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut:
-

Nilai Apgar menit kelima 0-3

Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0)

Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma)

Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan kardiovaskular,


gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).

Epidemiologi
Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia
disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati yang lebih besar. Laporan
dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003
asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak
diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur.
Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup
dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan
belajar. Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian
perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%),
prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12.0%)

12

Etiologi dan Faktor Resiko


Asfiksia neonatorum terjadi karena adanya gangguan pertukaran gas serta transport
O2dari ibuke janin sehingga terdapat gangguan dalam persdiaan O2 dan dalam menghilangkan
CO2. Gangguan ini dapat disebabkan secara menahun dalam kehamilan dan mendadak dalam
persalinan.Gangguan menahun dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu yang buruk dan
penyakit menahun seperti anemia, hipertensi, jantung.
Towel (1996), menggolongkan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi terdiri dari :
1.
-

Faktor Ibu
Hipoksia ibu, dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau
anastesia dalam sehingga akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.

Gangguan aliran darah uterus, berkurangnya aliran darah pada uterus akan
menyebabkan kekurangan pengaliran O2 ke plasenta dan janin. Misalnya : gangguan
kontraksi uterus (hipotermi, tetani uterus akibat penyakit/obat), hipotensi mendadak
pada ibu akibat perdarahan, hipertensi akibat penyakit eklampsi.

2. Faktor Placenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi placenta.
Asfiksia janin terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta misalnya :
solusi placenta, perdarahan placenta dan placenta previa.
3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh
darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan
aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat
melilit, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir.
4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena :
-

Pemakaian obat anastesi/analgetik yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat
menimbulkan depresi pusat pernafasan janin.

Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial kelainan


kongenital pada bayi misalnya : hernia diafragma atresia, hipoplasia paru.
13

5. Faktor Persalinan
-

Partus lama

Partus dengan tindakan (SC, Vakum Ekstraksi)

Klasifikasi
Pembagian klasifikasi asfiksia dibuat berdasarkan nilai apgar score yaitu :
1. Asfiksia berat
Apgar score 0-3, bayi memerlukan resusitasi segera secara aktif dan pemberian O 2
terkendali.
2. Asfiksia sedang
Apgar score 4-6 memerlukan resusitasi dan pemberian O2 sampai bayi dapat bernafas
normal kembali.
3. Bayi normal atau sedikit asfiksia (nilai apgar 7-10). Dalam hal ini bayi dianggap sehat
dan tidak memerlukan tindakan istimewa (Mochtar R, 1998).

Tabel 1. Penilaian Apgar Score

Apperance

Score
0
Biru pucat

1
Tubuh

(warna kulit)
Pulse

Tidak ada

ekstremitas biru
100 x/m

kemerahan
100 x/m

(Denyut nadi)
Grimace

Tidak ada

Gerakan sedikit

Gerakan kuat dan menagis

(refleks)
Activity

Lumpuh

Gerakan lemah

Gerakan aktif

(tonus otot)
Respiratory

Tidak ada

Lambat

Teratur, menangis kuat

Tanda

2
kemerahan, Tubuh

dan

ekstremitas

(usaha bernafas)

14

Diagnosis
Diagnosis hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tandatanda gawat janin antara lain :
1. Denyut jantung janin
Frekuensi normal adalah antara 120 dan 160 x/m, selama his frekuensi ini biasa turun,
tetapi diluar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut
jantung umumnya tidak besar artinya, akan tetapi apabila frekuensi sampai di bawah 100
x/m diluar his dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
2. Mekonium dalam air ketuban
Pada presentase kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan terus
menimbulkan kewaspadaan.Adanya meokinum air ketuban pada presentasi kepala dapat
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan, biasanya hal ini dapat dilakukan dengan
mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin.
Dengan menggunakan amnioskopi yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil
pada kulit kepala janin dan diambil contoh darah janin.Adanya asidosis menyebabkan
turunnya pH. Apabila pH itu sampai turun di bawah 7,2 hal ini dianggap sebagai tanda
bahaya oleh beberapa penulis.

Patogenesis
1. Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbullah rangsangan terhadap
nesovagus sehingga jantung janin menjadi lambat. Bila kekurangan O 2 itu terus
berlangsung, maka nesovagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbullah rangsangan
dari nesosimpatikus. Denyut jantung janin menjadi lebih cepat akhirnya irregular dan
menghilang.
2. Kekurangan O2 juga merangsang usus, sehingga mekonium keluar sebagai tanda janin
dalam hipoksia :
-

Jika DJJ normal dan ada mekonium, maka janin mulai hipoksia.

Jika DJJ >100 x/m dan ada mekonium, maka janin sedang hipoksia.

Jika DJJ <100 x/m dan ada mekonium, maka janin dalam keadaan gawat.
15

Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa, kemudian terdapat
banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat (Mochtar R, 1998).

Penanganan
1. Jangan biarkan bayi kedinginan (balut dengan kain) bersihkan mulut dan jalan nafas.
2. Lakukan resusitas dengan alat yang dimasukkan ke dalam mulut untuk mengalirkan
O2 dengan tekanan 12 mmHg dan dapat juga dilakukan pernafasan dari mulut ke
mulut, masase jantung.
3. Gejala perdarahan otak biasanya timbul pada beberapa hari post partum, jadi kepala
dapat direndahkan, supaya lendir yang menyumbat pernafasan dapat keluar.
4. Kalau ada dugaan perdarahan otak berikan injeksi vit K 1-2 mg.
Tujuan Penanganan
1. Untuk mengurangi angka mortalitas dan angka morbiditas
2. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi
3. Untuk membatasi gejala lain setelah mengalami asfiksia.

Komplikasi
Komplikasi pada bayi baru lahir akibat asfiksia meliputi :
-

Cerebral palsy

Retardasi mental
16

Gangguan belajar

Apabila asfiksia ini tidak ditangani dengan baik, maka akan mengakibatkan kematian.

17

RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS)


DEFINISI
Definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak napas berat (dyspnea), frekuensi
napas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya
pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan
adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran
pada saat otopsi 1.Sedangkan pendapat lain disebut RDS bila ditemukan adanya kerusakan
paru secara langsung dan tidak langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang atau
kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ non pulmonar 2. Definisi bila onset akut, ada
infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal = 18 mmHg dan tidak ada bukti
secara klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan paru akut dengan PaO2 : FiO2
kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom gawat napas akut yang ditandai PaO2 : FiO2
kurang atau sama dengan 200, menyokong suatu RDS.
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, RDS diperkirakan terjadi pada 20.000-30.000 bayi baru lahir tiap
tahunnya dan merupakan komplikasi dari 1% kehamilan. Kira-kira 50% kelahiran neonates
yang lahir pada usia kehamilan 26-28 minggu mengalami RDS, dan kurang dari 30
%neonatus premature usia kehamilan 30-31 minggu mengalami keadaan ini.
Pada satu laporan, angka kejadian RDS sekitar 42% pada infant 501-1500g, dengan
71% dilaporkan pada berat badan 501-750 gram, 54% yang berat badan 751-1000g, 36%
yang berat badannya 1001-1250g, dan 22% pada 1251-1500g. RDS lebih jarang ditemukan di
Negara berkembang dibanding lainnya, terutama karena kebanyakan infant premature yang
kecil untuk masa kehamilan mengalami stress di dalam rahim karena diinduksi oleh
hipertensi. Tambahan, juga dikarenakan pada wilayah ini kebanyakan persalinan dilakukan
didalam rumah, sehingga pencatatatannya buruk.
FAKTOR RESIKO
Factor risiko terjadinya Respiratory Distress Syndrome:
1. Bayi kurang bulan (BKB). Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara biokimiawi
masih imatur dengan kekurangan surfaktan yang melapisi rongga paru.

18

2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal, aspirasi


mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi,dan hipertensi pulmonal dengan
pirau kanan ke kiri yang membawa darah keluar dari paru.
3. Bayi dari ibu diabetes mellitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetesterjadi
keterlambatn pematangan paru sehingga terjadi distress respirasi
4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi sesar,berapa pun usia
gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru (Transient
Tachypnea of Newborn).
5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini dapat terjadi
pneumonia bakterialis atau sepsis.
6. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium, mungkin mengalami aspirasi
mekonium.

ETIOLOGI
Pada bayi premature, respiratory distress syndrome terjadi karena gangguan sintesis
dan sekresi surfaktan yang menyebabkan terjadinya atelektasis, ketidakseimbangannya
ventilasi-perfusi, dan hipoventilasi yang mengakibatkan hipoksemia dan hiperkarbi. Analisis
gas darah menunjukkan asidosis metabolic dan respiratorik yang mengakibatkan
vasokonstriksi pulmonum, kerusakan endotel dan integritas epithelial dan terbentuknya
eksudat protein dan terbentuknya formasi membrane hialin.
Defisiensi relative dari surfaktan menurunkan daya kompliens paru dan kapasitas residu
fungsional, dengan meningkatkan deadspace. Hipoksia, asidosis, hipotermia dan hipotensi
akan merusak produksi dan sekresi surfaktan. Evaluasi makroskopik, menunjukkan bahwa
paru terlihat merah seperti hati dan tidak berudara (seperti gambaran hati). Sedangkan
atelektasis dan distensi difus di bagian distal saluran napas diobservasi secara mikroskopik.
Atelektasis progresif, barotruma atau volutrauma dan toksisitas oksigenasi merusak sel
endotel dan sel epitel mengakibatkan eksudasi matriks fibrin dari darah.
Membrane hialin di alveoli terbentuk dalam waktu setengah jam setelah kelahiran. Pada bayi
premature, epitel mulai menyembuh saat 36-72 jam setelah kelahiran, dan sintesis surfaktan
dimulai. Fase penyembuhan ditandai dengan regenerasi sel alveolar, termasuk sel tipe II,
menghasilkan peningkatan aktivitas surfaktan.
Defisiensi Apoprotein
19

Idrofobik SP-B dan SP-C esensial untuk fungsi paru dan homeostasis pulmo setelah
lahir. Protein ini memperkuat penyebaran, adsorpsi dan stabilitas surfaktan lipid diperlukan
untuk mengurangi tegangan permukaan di alveolus. SP-B dan SP-C berperan dalam regulasi
proses intraselular dan ekstraselular dalam menjaga struktur dan fungsi paru.
Defisiensi SP-B merupakan defisiensi bawaan yang disebabkan oleh mekanisme
pretranslasi yang mengakibatkan ketidakhadiran messenger ribonucleic acid (mRNA).
Defisiensi SP-B menyebabkan kematian pada bayi aterm atau dekat aterm dan secara klinis
bermanifestasi sebagai respiratory distress syndrome dengan hipertensi pulmo, atau
proteinosis alveoli Kongenital. Penyebab defisiensi SP-B paling sering disebabkan oleh
insersi sepasang 2-basa (121 ins 2) yang memproduksi sinyal premature akhir yang akhirnya
menyebabkan absennya SP-B.
Kira-kira 15% bayi lahir cukup bulan yang meninggal karena sindrom yang mirip
RDS mengalami defisiensi SP-B. kekurangan SP-B menyebabkan kekurangan badan lamellar
sel tipe II dan kekurangan SP-C. mutasi SP-B dan SP-C menyebabkan acute respiratory
distress syndrome dan penyakit paru kronis yang berkaitan dengan akumulasi cedera protein
intraseluler, defisiensi ekstraseluler surfaktan bioaktif peptide atau keduanya. Mutasi gen SPC juga merupakan penyebab familial dan sporadic penyakit paru interstisial dan emfisema
saat pasien bertambah usia.
Mutasi ABCA33
Mutasi

adenosine

triphosphate

(ATP)binding

gene

(ABCA3)

pada

bayi

menghasilkan defisiensi surfaktan. ABCA3 sangat penting dalam formasi badan lamellar dan
fungsi surfaktan. Karena sangat berkaitan dengan ABCA1 dan ABCA4 yang mengkode
protein yang mentransportasi fosfolipid di makrofag dan sel fotoreseptor, yang berperan
dalam metabolism fosfolipid surfaktan.

PATOFISIOLOGI
Faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli
masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding
thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan
mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut
20

menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance)


menurun 25 % dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan
terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap
mengembang. Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak berisi udara dan berwarna
kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang
tinggi untuk mengembang5. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara
bagian distal menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga
menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi
alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis
yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan
kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan napas bagian distal sehingga menyebabkan
eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli
dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan
mulai dibentuk pada 36-72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada
bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).

GEJALA KLINIS
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel
dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga
menghambat fungsi surfaktan.Gejala klinis yang timbul yaitu : adanya sesak napas pada bayi
prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernapasan
cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada,dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96
jam pertama setelah lahir.
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
Stadium 1. Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara,

21

Stadium 2. Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan
jantung dengan penurunan aerasi paru.
Stadium 3. Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat
lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas.
Stadium 4. Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat.
Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah:
a.
b.
c.
d.
e.

Takipnea diatas 60x/menit


Grunting ekspiratoar
Subcostal dan interkostal retraksi
Cyanosis
Nasal flaring

Pada bayi extremely premature ( berat badan lahir sangat rendah) mungkin dapat
berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa komplikasi maka surfaktan akan
tampak kembali dalam paru pada umur 36-48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap
pada 24-36 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi stabil dalam 24 jam maka akan membaik
dalam 60-72 jam. Dan sembuh pada akhir minggu pertama.
Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor SilvermanAnderson dan skor Downes. Skor Silverman-Anderson lebih sesuai digunakan untuk bayi
prematur yang menderita hyaline membrane disease (HMD), sedangkan skor Downes
merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan dapat digunakan pada semua usia
kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk
menilai progresivitasnya.

Tabel 1. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes


Pemeriksaan
Frekuensi napas
Retraksi
Sianosis

0
< 60 /menit
Tidak ada retraksi
Tidak ada sianosis

Skor
1
60-80 /menit
Retraksi ringan
Sianosis hilang
dengan 02

2
> 80/menit
Retraksi berat
Sianosis menetap
walaupun diberi O2
22

Air entry
Merintih

Udara masuk

Penurunan ringan
udara masuk
Tidak merintih
Dapat didengar
dengan stetoskop
Skor > 6 : Ancaman gagal nafas

Tidak ada udara


masuk
Dapat didengar tanpa
alat bantu

Sumber: Mathai

DIAGNOSIS
Tes Kematangan Paru
Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah Tes
Kematangan Paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang mengancam jiwa untuk
mencegah terjadinya Neonatal Respiratory Distress Syndrome (RDS). Tes tersebut
diklasifikasikan sebagai tes biokimia dan biofisika.
Tes Biokimia (Lesithin - Sfingomyelin rasio)
Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam
cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru,
dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion.
Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan salah satu
test yang sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain.
Rasio Lesithin dibandingkan Sfingomyelin ditentukan dengan thinlayer chromatography
(TLC). Cairan amnion disentrifus dan dipisahkan dengan pelarut organik, ditentukan dengan
chromatography dua dimensi; titik lipid dapat dilihat dengan ditambahkan asam sulfur atau
kontak dengan uap iodine. Kemudian dihitung rasio lesithin dibandingkan sfingomyelin
dengan menentukan fosfor organic dari lesithin dan sfingomyelin.
Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan
komponen non spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk
kehamilan normal adalah < 0,5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap
pada level 1 pada usia gestasi 32 minggu. Rasio L/S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu
dan secara empiris disebutkan bahwa Neonatal RDS sangat tidak mungkin terjadi bila rasio
L/S > 2. Beberapa penulis telah melakukan pemeriksaan rasio L/S dengan hasil yang sama.
Suatu studi yang bertujuan untuk mengevaluasi harga absolut rasio L/S bayi immatur dapat
memprediksi perjalanan klinis dari neonatus tersebut dimana rasio L/S merupakan prediktor
untuk kebutuhan dan lamanya pemberian bantuan pernapasan. Dengan melihat umur gestasi,
23

ada korelasi terbalik yang signifikan antara rasio L/S dan lamanya hari pemberian bantuan
pernapasan.
Adanya mekonium dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini. Pada studi yang
dilakukan telah menemukan bahwa mekonium tidak mengandung lesithin atau sfingomyelin,
tetapi mengandung suatu bahan yang tak teridentifikasi yang susunannya mirip lesithin,
sehingga hasil rasio L/S meningkat palsu.
Test Biofisika :
Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972. Test ini
bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga agar
gelembung tetap stabil . Dengan mengocok cairan amnion yang dicampur ethanol akan
terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion seperti
protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Pengenceran secara serial dari 1 ml cairan
amnion dalam saline dengan 1 ml ethanol 95% dan dikocok dengan keras. Bila didapatkan
ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion : ethanol) merupakan
indikasi maturitas paru janin. Pada kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positip yang
tepat dengan resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS.
Analisis Gas Darah
Gas darah menunjukkan asidosis metabolic dan respiratorik bersamaan dengan
hipoksia, Asidosis muncul karena atelektasis alveolus dan/atau overdistensi jalan napas
terminal. Asidosis metabolik merupakan asidosis laktat primer, yang merupakan akibat dari
perfusi jaringan yang jelek dan metabolism anaerob
Radiografi Thoraks
Radiografi thorak pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular granular atau
gambaran ground-glass bilateral, difus, air bronchograms, dan ekspansi paru yang jelek.
Gambaran air bronchograms yang mencolok menunjukkan bronkioli yang terisi udara
didepan alveoli yang kolap.
Bayangan jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh
asfiksi prenatal, diabetes maternal, patent ductus arteriosus (PDA), kemungkinan kelainan
jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah dengan terapi surfaktan dini dan ventilasi
mekanik yang adekuat.
24

Gambar 1. Gambaran radiologi bayi dengan RDS

TATALAKSANA
Terapi respiratory distress syndrome ditujukan untuk mencegah komplikasi dan
memburuknya keadaan yang terjadi akibat penyakit paru-paru pada neonatus, seperti
hipoksemia dan asidemia, sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung. Bayi baru lahir
yang mengalami gangguan nafas berat harus dirawat di ruang rawat intensif untuk neonatus
(NICU), bila tidak tersedia bayi harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas
NICU.14Sebelum dirujuk atau dipindahkan ke NICU, penatalaksanaan yang tepat sejak awal
sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan perawatan.
Penatalaksanaan Non Respiratorik
Monitoring temperatur merupakan hal yang penting dalam perawatan neonatus yang
mengalami distress pernafasan. Keadaan hipo maupun hipertermi harus dihindari. 8
Temperatur bayi harus dijaga dalam rentang 36,537,5oC.
Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress nafas yang
berat, dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk mencegah keadaan hipoglikemia.
Keseimbangan cairan, elektrolit dan glukosa harus diperhatikan. Pemberian cairan biasanya
dimulai dengan jumlah yang minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari dengan Dekstrose 10%
atau dari kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan dosis 6-8 ml/kgBB/hari dapat
25

ditambahkan pada infus cairan yang diberikan. Pemberian nutrisi parenteral dapat dimulai
sejak hari pertama. Pemberian protein dapat dimulai dari 3,5 g/kgBB/hari dan lipid mulai dari
3 g/kgBB/hari.
Gejala dan hasil pemeriksaan radiologis pada bayi yang mengalami distress nafas
sering tidak spesifik sehingga penyebab lain terjadinya distress nafas seperti sepsis perlu
dipertimbangkan, dan pemberian antibiotik spektrum luas sedini mungkin harus dimulai
sampai hasil kultur terbukti negatif. Pemilihan antibiotik inisial yang dianjurkan adalah
ampicillin dan gentamicin.

Penatalaksanaan Respiratorik
Penanganan awal adalah dengan membersihkan jalan nafas, jalan nafas dibersihkan
dari lendir atau sekret yang dapat menghalangi jalan nafas selama diperlukan, serta
memastikan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Monitoring saturasi oksigen dapat
dilakukan dengan menggunakan pulse oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan
memulai intubasi dan ventilasi. Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan atau tanpa
sianosis harus mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan sebaiknya oksigen
lembab dan telah dihangatkan.
Tabel 2. Panduan untuk monitoring saturasi oksigen dengan pulse oxymetri
> 95%

Bayi aterm

88-94%

Bayi pre term (28-34 minggu)

85-92%

< 28 minggu

Sumber: Mathai

Tujuan utama dalam penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin kecukupan


pertukaran gas dan sirkulasi darah dengan komplikasi yang seminimal mungkin. Hal ini dapat
dicapai dengan menangani dan mengatasi etiologi gagal nafas. Indikasi untuk memulai
ventilasi mekanis pada pasien yang mengalami gagal nafas biasanya didasari atas menetap
atau memburuknya keadan klinis akibat proses pertukaran gas di paru-paru yang terganggu.

26

Algoritma diagnosis dan Tatalaksana Gagal nafas pada Neonatus


Neonatus dengan distress
nafas

Berat
(PCH, grunting,
apneu, sianosis

Resusitasi:
Bersihkan jalan nafas, hisap
lendir (suction)
Pemberian oksigen , Disesuaik
pasang
an
OGT
menurut
Pasang akses intra vena :
usia
D10% 60 ml/kgBB
Ca-Gukonas
10%
6-8
ml/kgBB
Monitor
temperatur skor
Evaluasi
menggunakan
MonitorDownes
saturasi
Rontgen
toraks
(Bila
memungkinkan)
Perbaikan klinis

TIDAK ( Ancaman gagal


nafas/DS6)
Intubasi
Pemberian
spektrum luas:

Ampicillin
(inisial)

&

antibiotik

Gentamicin

Pemeriksaan penunjang:

Darah rutin & hitung jenis, AGD,


GDS, elektrolit, rontgen toraks

Hipoglikemi
Hasil AGD:
Konsul NICU/rujuk
ke RS yang
Asidosis
bolus
D10%
memiliki NICU
metabolik/respira
2cc/kgBB,
torik
dilanjutkan
infus
Bila pH 7,25
kontinyu kec 6-8
mg/kgBB/mnt
Na-Bikarbonat 1Hiperglikemi

2 mEq/kgBB dlm
30 menit Perawatan dikuranngi
NICU
konsentrasi infus
glukosa (D5%)

Ringan
(Takipneu ringan)

YA

Observasi 30
menit
Membaik
TIDA
K

YA

Pemberian O2
dilanjutkan
Monitoring
saturasi
Rontgen toraks Perawata
Evaluasi

menggunakan
skor Downes

n bayi
rutin

Sumber: Mathai
Penatalaksanaan di ruang NICU

27

Penatalaksanaan gagal nafas pada neonatus di ruang perawatan intensif neonatus


(NICU) saat ini telah mengalami perkembangan. Penggunaan surfaktan, high frequency
ventilator, inhaled nitric oxide (iNO), telah banyak dilakukan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi gagal nafas pada neonatus (misalnya
dengan pemberian nitrat oksida, extracorporeal membrane oxygenation), 25-30% penderita
yang berhasil bertahan hidup mengalami gangguan kognitif, 6-13% mengalami cerebral
palsy, 6-30% mengalami gangguan pendengaran, dan pada usia sekolah banyak yang
mengalami gangguan perhatian, pendengaran, disfungsi neuromotorik dan perilaku.

Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai efek pada
sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien
dan optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO 2 (fractional concentration of inspired oxygen)
yang minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang minimal. 3 Derajat distress
pernafasan, derajat abnormalitas gas darah, riwayat penyakit paru-paru, dan derajat
instabilitas kardiopulmonal serta keadaan fisiologis penderita harus ikut dipertimbangkan
dalam memutuskan untuk memulai penggunaan ventilator mekanik. Berbagai mode ventilasi
mekanik dapat ditentukan oleh parameter yang diatur oleh klinisi untuk menentukan
karakteristik pernafasan mekanis yang diinginkan.
Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) prolonged apnea, (2)
PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit
jantung bawaan tipe sianotik, (3) PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten, dan
(4) bayi yang menggunakan anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk penggunaan
ventilasi mekanis antara lain: (1) frequent intermittent apnea, (2) bayi yang menunjukkan
tanda-tanda kesulitan nafas, (3) dan pada pemberian surfaktan.

Surfaktan
Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi
mengalami respiratory distress syndrome yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2

28

jam (umumnya 4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan
tambahan oksigen 30% atau lebih.
Dosis surfaktan yang direkomendasikan untuk terapi.
Nama Produk

Dosis Awal

Dosis Tambahan

Galfactant

3 ml/KgBB

Dapat diulang sampai 3 kali pemberian


dengan interval tiap 12 jam

Beractant

4 ml/KgBB

Dapat diulang setelah 6 jam, sampai total


4 dosis dalam 48 jam

Colfosceril

5 ml/KgBB diberikan dalam 4 menit

Dapat diulang setelah 12 dan 24 jam

Porcine

2,5 ml/KgBB

Dosis 1,25 ml/KgBB dapat diberikan tiap


12 jam

Sumber: Kosim

Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan menggunakan
nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT memungkinkan distribusi surfaktan yang
lebih cepat sampai ke bagian perifer paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping
yang dapat ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan
menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan
postural drainage, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian surfaktan dengan
cara ini kurang efektif karena volume surfaktan yang sampai kedalam paru-paru lebih sedikit.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pemberian surfaktan antara lain, bradikardi,
hipoksemia, hipo atau hiperkarbia, dan apnea. Bradikardi, hipoksemia dan sumbatan pada
endotracheal tube (ETT) dapat terjadi pada saat pemberian surfaktan dilakukan. Perubahan
perfusi serebral dapat terjadi pada bayi yang sangat prematur akibat redistribusi yang
mendadak dari aliran darah paru kedalam sirkulasi otak. Seluruh efek samping tersebut dapat
diatasi dengan menghentikan pemberian surfaktan dan meningkatkan aliran oksigen dan
ventilasi.

High Frequency Ventilation


High frequency ventilation (HFV) adalah bentuk ventilasi mekanik yang menggunakan
volume tidal yang kecil, dan laju ventilator yang cepat. Keuntungan HFV adalah dapat

29

memberikan gas yang adekuat dengan tekanan pada jalan nafas yang lebih rendah sehingga
mengurangi kejadian barotrauma.
High frequency ventilation menggunakan konsep untuk mengurangi trauma volume
dan atelektaruma, yang akan mengurangi PaCO2 dengan resiko barotrauma yang kecil pada
paru-paru. HFV telah digunakan pada bayi dengan respiratory distress syndrome (RDS) yang
memerlukan bantuan nafas lebih lanjut. HVF mengurangi kejadian barotrauma pada bayi
dengan berat badan rendah. Pada saat ini penggunaan HFV lebih direkomendasikan karena
komplikasi yang lebih sedikit.
Penggunaan klinis HFV lebih menguntungkan dibandingkan ventilator biasa. Pada
beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien RDS yang menggunakan ventilator HFV
memperlihatkan penurunan kejadian lung injuries. Penggunaan HFV ini dapat menyediakan
ventilasi yang adekuat dengan airway pressure (tekanan jalan nafas) yang rendah, sehingga
penggunaannya dapat dipertimbangkan pada pneumotoraks, hipoplasia paru, sindroma
aspirasi mekonium, pneumonia dengan atelektasis.
Inhaled Nitric Oxide
Pengunaan Inhaled nitric oxide (iNO) berdasar kepada kemampuannya sebagai vasodilator
di paru-paru tanpa menurunkan tonus vaskuler paru. Penggunaan iNO dipertimbangkan
karena memiliki kemampuan selektif menurunkan pulmonary vascular resistance (PVR).
Nitrat oksida disintesis pada saluran napas atas dan bawah. Nitrat oksida merupakan
salah satu substansi fisiologis yang dilepaskan endotel untuk memelihara tekanan darah
dalam batas normal. Nitrat oksida akan berdifusi dari lapisan endotel ke dalam otot polos
pembuluh darah dimana akan mengaktifkan guanil siklase, dan mengkatalisir formasi dari
cGMP, cGMP kemudian akan mengfosforilasi beberapa protein melalui protein kinase
dependent cGMP, yang secara tidak langsung akan menyebabkan defosforilasi miosin dan
menyebabkan relaksasi otot polos.
Sirkulasi paru janin cenderung mempunyai resistensi yang tinggi. Nitrat oksida
endogen secara fisiologis penting untuk mengatur tonus vaskuler paru janin. Nitrat oksida
menyebabkan angiogenesis, pembentukan alveolar dan pertumbuhan paru normal.
Terapi iNo pada bayi baru lahir telah diteliti pada bayi preterm dan aterm. Nitrat
oksida eksogen yang dihantarkan melalui ventilator akan menyebabkan vasodilatasi paru.
30

Terapi iNO memperbaiki oksigenisasi tanpa efek samping jangka pendek seperti perdarahan
paru, perdarahan intrakranial, pnumotoraks pada bayi prematur dengan gagal napas.
PROGNOSIS
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi:
1.

Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,


pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi
dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau

2.

bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.


Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul
karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat2

3.

respirasi.
Perdarahan

intrakranial

dan

leukomalacia

periventrikular

perdarahan

intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak


4.

pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.


PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi
dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.

Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi
dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ
lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang
disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD
berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu
menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
Retinopathy premature. Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi.

ANALISA KASUS
31

Berat badan lahir merupakan salah satu indikator kesehatan bayi baru lahir. Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 g tanpa
memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah
lahir. Pada kasus ini, berat lahir os adalah 2200 gram, artinya os termasuk bayi BBLR yang
berdasarkan masa gestasinya tergolong bayi BBLR dengan kategori maturitas normal karena
hasil perhitungan Ballard score menunjukkan usia kehamilan atau masa gestasi

sesuai

dengan berat badan pada masa gestasi itu. Pada kasus ini perhitungan Ballard score nya
menunjukkan usia kehamilan 30-32 minggu. Hal ini biasanya disebut dengan sesuai masa
kehamilan. Kelompok BBLR ini sering mendapatkan penyulit dan komplikasi akibat kurang
matangnya organ karena masa gestasi yang kurang.
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yang lain
adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan
kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR. Adapun faktor
risiko BBLR pada kasus ini didapatkan faktor ibu yaitu ibu yang sering mengalami anemia
selama hamil. Anemia akan mengurangi kemampuan metabolisme tubuh sehingga
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Fungsi darah adalah
membawa makanan dan oksigen ke janin. Jika suplai berkuran akibatnya pertumbuhan organ
janin pun akan terhambat dan menyebabkan BBLR.
Pada kasus di atas, pada pasien terjadi asfiksia derajat berat dengan melihat skor apgar
masing-masing pada menit pertama dan kelima sebesar yaitu 4-6. Kemungkinan asfiksia yang
terjadi dikarenakan karena faktor ibu berupa anemia dan gawat janin.
Komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara
lain :hipotermia, hipoglikemia, gangguan cairan dan elektrolit, hiperbilirubinemia, sindroma

32

gawat nafas, paten duktus arteriosus, infeksi, perdarahan intraventrikuler, Apnea of


Prematurity, anemia. Pada kasus diatas, kita jumpai kompliksi langsung atau penyulit pada
BBLR yaitu hipotermia.

33

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Gambaran Kasus Bayi Baru Lahir Dengan Asfiksia. Available from :
http://ebookbrowse.com. (Accessed at April, 21th 2012)

Azis, Abdul Latief. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Kesehatan Anak,
edisi III. RSU Dokter Sutomo. Surabaya

Elizawarda. 2003. Studi Kasus Kelola Faktor Resiko Untuk Pencegahan Berat Badan Lahir
Rendah di Rumah Sakit Umum Dr.Pirngadi Kota Medan Tahun 2003. Available from :
http://repository.usu.ac.id.(Accessed at April, 21th 2012)

Kosim, Sholeh. 2008. Buku Ajar Neonatologi, edisi pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta

Suraatmaja, Sudrajat, dr,SpA(K). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
RSUP Sanglah, Denpasar.

Poesponegoro, Hardiono, dr. Sp.A(K). 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.

34

Anda mungkin juga menyukai