Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
American Society of Anesthesiology (ASA) mulai gencar dalam memberikan informasi
yang jelas kepada masyarakat tentang hal-hal yang menjadi pertimbangan sebelum mereka
menghadapi pisau bedah atau operasi. Masyarakat dahulu tidak terlalu peduli akan bahaya
yang dapat menjadi kesulitan tersendiri untuk anestesi, terkait akan masalah kelebihan berat
badan atau obesitas ini. Begitu banyak komplikasi dari obesitas seperti contoh : diabetes tipe
dua, obstructive sleep apnea, hipertensi atau penyakit kardiovaskular yang dapat memberikan
implikasi signifikan pada pasien yang akan menghadapi operasi dan tindakan anestesi.
Hambatan jalan napas akibat obstructive sleep apnea dapat menurunkan aliran udara masuk
saat inspirasi bahkan terjadi reduksi pada inhalasi O 2 ketika seseorang diberikan sedasi
anestesi. Dokter Martin Nitsun, asisten professor sekolah kedokteran Pritzker universitas
Chicago menerangkan bahwa faktor-faktor diatas memang timbul ketika seseorang
mengalami kelebihan berat badan(1). Pada obesitas terjadi perubahan anatomi yang membuat
manajemen jalan napas akan berbeda dengan mereka tanpa keadaan obesitas. Tindakan
intubasi akan lebih sulit dan dibutuhkan peralatan dan teknik khusus. Dokter anestesi harus
siap dan antisipatif terhadap kesulitan-kesulitan yang mungkin terjadi. Maka sebelum pasien
masuk ruang operasi, ASA merekomendasikan dilakukannya preoperative assesment yang
meliputi anamnesis lengkap tentang riwayat pasien, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan
penunjang yang bermakna pada pasien tersebut. Sehingga pada saat pelaksanaan operasi,
dokter anestesi dapat meminimalisir resiko yang mungkin terjadi dan menurunkan tingkat
terjadinya komplikasi. Motivasi akan pentingnya mengubah gaya hidup hingga menurunkan
berat badan secara bertahap juga menjadi tugas dokter yang menangani atau dokter anestesi
sehingga diharapkan dengan penurunan berat badan, komorbiditas dapat ditekan semaksimal
mungkin.
1.1 OBESITAS DAN MASALAH YANG DIHADAPI
Secara spesifik, yang dikatakan obesitas adalah merupakan suatu keadaan kelebihan
jumlah lemak dalam tubuh, sedangkan overweight adalah kelebihan berat badan bukan hanya
dari jumlah lemaknya namun juga termasuk otot, tulang, dan total air dalam tubuh. Para ahli
sepakat bahwa laki-laki dengan jumlah lemak tubuh lebih dari 25 persen dan wanita lebih
dari 30 persen masuk dalam golongan kelebihan berat badan atau obesitas. (2) Body Mass
Index (BMI) menjadi indikator awal yang membantu professional untuk mencari tahu
perkiraan kelebihan berat badan seseorang yang nantinya dihubungkan dengan resiko

terjangkit suatu penyakit. Pada obesitas, seseorang mengkonsumsi kalori lebih dari yang
dapat dibakar secara normal, dalam arti kata mereka makan banyak namun tidak
diseimbangkan dengan aktivitas atau olahraga. Namun ada faktor lain yang juga menjadi
predisposisi seseorang menjadi obesitas. Faktor-faktor tersebut diantaranya :
(3)

a. Genetik.
Genetik memainkan peran sangat besar terhadap kejadian obesitas. Pada suatu studi
didapatkan kesimpulan umum yaitu ketika ibu biologis mengalami obesitas, maka
kira-kira 75 persen anak-anaknya akan mengalami obesitas. Sedangkan jika ibu
biologis memang kurus atau tidak mengalami obesitas, kira-kira 75 persen anakanaknya juga berbadan kurus. Maka mereka yang memang memiliki bakat genetik
seperti ini sudah seharusnya lebih bisa menerima keadaan yang sulit untuk diubah
namun dapat dilakukan manajemen yang baik.(3)
b. Usia.
Ketika seseorang menginjak usia tua, tubuh mengalami penurunan kemampuan untuk
metabolisme makanan atau kalori. Makanan lebih lama diolah, diubah menjadi energi
dan pada akhirnya walaupun jumlah makanan yang dikonsumsi sejak orang tersebut
usia 20 hingga usia tua tidak berubah namun sebenarnya ia tidak memerlukan jumlah
kalori yang sama. Hal ini terlihat jelas ketika mereka yang berusia 20-an
mengkonsumsi banyak kalori namun seimbang dengan aktivitas, pada mereka yang
berusia diatas 40-an dengan jumlah konsumsi kalori yang sama malah bertambah
bobotnya karena aktivitas dan metabolisme tubuh yang sudah menurun secara
alamiah.(3)
c. Gender.
Wanita dikatakan mengalami tendensi lebih sering menjadi overweight dibanding
laki-laki. Laki-laki memiliki kemampuan untuk metabolisme saat istirahat yang
berarti energi juga digunakan saat itu. Sehingga laki-laki membutuhkan jauh lebih
banyak kalori untuk menjaga keseimbangan metabolisme yang menghasilkan energi
itu. Pada wanita, terutama yang sudah mengalami menopause, rasio metabolisme
mereka justru akan menurun, sehingga jelas mereka akan mengalami penambahan
berat badan setelah menopause.(3)
d. Lingkungan.
Walaupun genetik merupakan faktor utama pada obesitas, namun pada beberapa
kasus, lingkungan juga merupakan faktor signifikan. Yang termasuk faktor lingkungan
adalah gaya hidup seperti apa yang dimakan dan seberapa aktif seseorang.(3)
e. Aktivitas fisik.

Seseorang yang aktivitas fisiknya tinggi membutuhkan kalori untuk dibakar jauh lebih
besar untuk menyeimbangkan kebutuhan tubuhnya. Sebagai tambahan, aktivitas fisik
rupanya membantu seseorang dengan obesitas untuk menggunakan lemak sebagai
sumber energinya. Sehingga ketika lemak tersebut dibakar, berkurang pula bobot
tubuhnya. Dalam 20 tahun terakhir diketahui bahwa mereka yang obesitas memang
mengurangi aktivitas fisiknya dan berlebihan dalam urusan konsumsi kalori atau
makanan berlemak.(3)
f. Penyakit.
Ada beberapa penyakit yang juga berhubungan dengan kejadian obesitas. Diantaranya
hipotiroidisme (kerja hormon tiroid yang menurun sehingga metabolisme tubuh ikut
menurun), suatu penyakit pada otak yang meningkatkan nafsu makan (agak jarang
terjadi), dan depresi.(3)
g. Psikologis.
Kebiasaan makan terkait dengan faktor psikis pada seseorang. Banyak orang
melarikan diri dari rasa sedih, bosan, depresi atau marah dengan makan berlebihan.
Rasa bersalah, diskriminasi, malu, atau ditolak dari lingkungan sosial juga banyak
berpengaruh pada kondisi psikis seseorang yang berhubungan dengan perubahan pola
makan. Binge eating adalah sebagai contoh dimana orang tersebut makan berlebihan
tanpa ia sadari dan pada akhirnya ia akan mencari pengobatan serius karena masalah
ini. Hampir 30 persen orang dengan binge eating terkait faktor psikis menyerah
dengan pergi ke dokter untuk mencari bantuan akan masalah ini.(3)
h. Obat-obatan.
Beberapa obat seperti steroid dan anti-depresan memiliki efek samping penambahan
berat badan.(3)
1.2 CARA PENGUKURAN BMI
Pengukuran berat badan seseorang secara tepat agak sulit. Cara yang paling
mendekati akurat adalah mengukur orang tersebut dibawah air atau di dalam chamber atau
ruangan dengan isi air sehingga dapat diukur jumlah air yang terbuang dan air sebelumnya
untuk mengukur berat badan pasti. Dapat juga digunakan alat X-ray untuk tes yang disebut
Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA) namun di Indonesia sendiri belum dilakukan
karena membutuhkan alat, tenaga dan tempat khusus.(2) Secara sederhana, metode untuk
estimasi jumlah lemak atau body fat adalah dengan mengukur ketebalan lapisan lemak yang
berada dibawah lapisan kulit pada beberapa bagian tubuh. Karena dalam mengukur body fat
dan berat badan pasti seseorang itu sulit, maka selama beberapa dekade, para ahli hanya
bergantung pada tabel berat badan dan tinggi yang merupakan ukuran rata-rata pada semua
3

orang. Yang menjadi kendala selain tabel ini tidak menggunakan ukuran pasti adalah
dikeluarkannya berbagai macam versi dengan rentang berat badan dan tinggi yang juga
berbeda-beda. Maka BMI saat ini masih menjadi patokan universal untuk mengetahui status
gizi seseorang (normal, obesitas, atau overweight). Body Mass Index (BMI) sangat sederhana
dan digunakan untuk estimasi massa lemak pada seseorang. Pada abad ke-19, seorang ahli
statistik dan antropometris Adolphe Quetelet mengembangkan pengukuran dengan cara ini.
BMI merupakan refleksi dari persentase body fat mayoritas orang dewasa pada populasi besar
dan universal. Walaupun begitu, tingkat akurasi BMI menurun jika digunakan pada
pengukuran ibu hamil atau orang dengan body builder yang massa atau bobot tubuhnya
terpengaruh dari komposisi tambahan. (4)
BMI = [berat badan (kg)] / [tinggi (dalam meter)]2
BMI
Less than 18.5

Classification
underweight

18.524.9

normal weight

25.029.9

overweight

30.034.9

class I obesity

35.039.9

class II obesity

Over 40.0
class III obesity
Tabel 1 : BMI menurut WHO (1997) (4)
Beberapa modifikasi (WHO) (4) :

BMI 35.0 atau lebih dengan adanya satu atau lebih kormobiditas dimasukkan kedalam

kelas III BMI.


Untuk orang Asia, ukuran overweight adalah antara 23 dan 29.9, obesitas adalah BMI
> 30. Literatur ilmu bedah membagi kelas III obesitas menjadi beberapa kategori4 :
o BMI > 40.0 dimasukan kedalam kategori obesitas berat (severe)
o BMI 40.0 49.9 dimasukkan kedalam kategori obesitas morbid
o BMI > 50.0 dimasukkan kedalam kategori super obesitas.

1.3 MASALAH YANG DIHADAPI


Kelebihan berat badan dihubungkan dengan timbulnya berbagai macam penyakit atau
masalah, bisa berupa penyakit kardiovaskular dan respiratori (obstructive sleep apnea),
diabetes mellitus tipe dua, dislipidemia, stroke, penyakit kandung empedu, berbagai macam

jenis kanker, sampai masalah tulang yaitu osteoartritis. Obesitas akan menurunkan
ekspektansi hidup.(5)

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ANASTESI PADA PASIEN OBESITAS
Dalam berbagai macam literatur, anestesi pada pasien obesitas tidak menjadi bahasan
khusus. Akan tetapi, tata laksana anestesi pada pasien obesitas rupanya memiliki kendala
yang patut diperhatikan. Secara umum, ketika datang pasien obesitas kedalam ruang operasi,
dokter anestesi sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi sebelum,
selama dan sesudah tindakan anestesi. Diantaranya adalah prediksi kesulitan intubasi,
prevensi tromboemboli, prevensi komplikasi pasca operasi seperti atelektasis, penggunaan
obat anestesi seperti analgesik yang dapat diberikan atau obat-obat yang harus dihindari
pemberiannya, manajemen pasien dengan obstructive sleep apnea, kriteria pemindahan ke
ICU dan penanganan mekanisme ventilasi yang harus dilakukan, juga terapi cairan, eletrolit
dan nutrisi.(7) Masalah utama pasien obesitas masih seputar gangguan pada sistem
kardiovaskular, respirasi, dan gastrointestinal. Masalah lain adalah pada ibu hamil dengan
atau tanpa obesitas dan anak-anak yang sedari kecil sudah mengalami obesitas.
2.2 SISTEM KARDIOVASKULAR PADA PENDERITA OBESITAS
Gangguan pada sistem kardiovaskular meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien
obesitas. Manifestasinya berupa penyakit iskemia, hipertensi sampai gagal jantung. Scottish
Health Survey baru-baru ini menemukan prevalensi gangguan pada sistem kardiovaskular 37
persen terjadi pada mereka dengan BMI > 30, 21 persen pada BMI 25 30 dan 10 persen
pada BMI < 25. Semua pasien obesitas yang akan dilakukan anestesi harus diinvestigasi lebih
jauh pada premedikasi akan adanya komplikasi kardiovaskular. Bahkan sudah seharusnya
mereka dirujuk ke ahli jantung untuk monitor kesulitan yang mungkin berpengaruh pada
tindakan anestesi yang akan dilakukan.(8)
Manifestasi gangguan sistem kardiovaskular : (8,9,10)

Hipertensi.
Hipertensi ringan sedang terlihat pada 50 60 persen pasien obesitas dan hipertensi
berat pada 5 10 persen pasien. Terdapat peningkatan tekanan sistolik sebesar 3 4
mmHg dan diastolik 2 mmHg tiap kenaikan berat badan 10 kg. Adanya cairan pada
ekstraseluler akan berakibat terjadinya hipervolemia dan peningkatan cardiac output.
Meskipun mekanisme pasti terjadinya hipertensi pada pasien obesitas masih belum
6

diketahui, diduga ada pengaruh faktor genetik, hormonal, renal dan hemodinamik
yang berperan disini. Hiperinsulinemia sebagai karakteristik pada obesitas juga
memberikan

kontribusi

dengan

mengaktifkan

sistem

saraf

simpatik

yang

menyebabkan retensi sodium. Sebagai tambahan, resistansi insulin bertanggung jawab


terhadap aktivitas norepinefrin dan angiotensin II.

Iskemia jantung.
Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya penyakit iskemia jantung, terutama pada
mereka dengan pusat distribusi lemak pada bagian sentral. Faktor lain seperti
hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia dan rendahnya HDL (High Density
Lipoprotein) menambah beratnya resiko penyakit ini. Hal yang menarik, 40 persen
pasien obesitas dengan angina tidak memperlihatkan adanya penyakit jantung
koroner, namun angina itu sendiri merupakan gejala langsung dari obesitas.

Volume darah.
Total volume darah pada pasien obesitas bertambah akan tetapi bila dibandingkan
dengan pasien non-obese, pertambahannya lebih rendah karena dominasi darah
tersebut terdistibusi ke organ-organ penuh lemak. Aliran darah dari limpa juga
bertambah sekitar 20 persen sedangkan aliran darah dari otak dan ren normal atau

tidak bertambah.
Aritmia jantung.
Ada berbagai macam faktor presipitasi yang menyebabkan aritmia pada pasien
obesitas, diantaranya : hipoksia, hiperkapnia, ketidakseimbangan elektrolit akibat
terapi dengan diuretik, penyakit jantung koroner, bertambahnya konsentrasi
katekolamin dalam sirkulasi, obstructive sleep apnea, hipertrofi miokard dan

penumpukan lemak dalam sistem konduksi.


Fungsi jantung.
Pada pasien obesitas, terjadi disfungsi dari jantung yang dipercayai merupakan
kelanjutan dari penumpukan lemak dalam sistem konduksi. Dalam suatu studi pada
otopsi, ditemukan adanya penumpukan lemak pada epikardium yang tidak disertai
penumpukan lemak pada miokardium, tampaknya keadaan ini mempengaruhi
ventrikel kanan jantung yang pada akhirnya menyebabkan abnormalitas konduksi dan
aritmia. Ada hubungan sejajar antara bertambahnya berat jantung dengan kenaikan
berat badan seseorang. Yang dikatakan penambahan berat jantung merupakan
konsekuensi dari dilatasi dan hipertrofi eksentrik dari ventrikel kiri yang

mempengaruhi ventrikel kanan pula.


Kardiomiopati.
7

Obesitas berhubungan dengan kejadian bertambahnya volume darah dan cardiac


output akibat kenaikan bobot lemak 20 30 ml per kg. Dilatasi ventrikel dan
bertambahnya volume sekuncup menyebabkan peningkatan cardiac output. Dilatasi
ventrikel terjadi akibat bertambahnya stress pada dinding ventrikel kiri yang
menyebabkan hipertrofi. Adanya hipertrofi eksentrik dari ventrikel kiri ini akan
menurunkan compliance dan fungsi diastolik ventrikel kiri. Pada keadaan ini akan
terjadi gangguan pengisian ventrikel, elevasi dari LVEDP dan udem paru. Kapasitas
dilatasi untuk ventrikel memilik batasan, sehingga jika terjadi penebalan dinding
ventrikel kiri maka terjadi kegagalan ventrikel untuk diastolik atau sistolik yang juga
berpengaruh pada ritme jantung.
Gejala klinis (8,9,10)
Pada penderita obesitas, kadang tidak ditemukan gejala akibat gangguan
kardiovaskular, hal ini bisa dikarenakan mereka mengurangi gerakan atau aktivitas fisik
sehingga tertutupi semua gejala yang dapat timbul. Seperti misalnya, gejala angina atau
dispneu mungkin hanya terjadi sesekali ketika mereka bergerak lebih aktif dari biasanya.
Banyak dari penderita obesitas sengaja tidur dengan posisi duduk sehingga menyangkal
adanya orthopneu atau dispnoe paroksismal nokturnal. Tapi penderita obesitas dapat kita
minta untuk berjalan di dalam ruangan maka akan terlihat berkurangnya pergerakan atau
ketika diminta untuk tidur dengan posisi supinasi maka akan timbul orthopneu bahkan bisa
berujung pada henti jantung. Penderita obesitas harus diperiksa lebih mendetail akan adanya
gangguan jantung, hipertensi, atau gagal jantung. Tanda gagal jantung juga dapat dilihat dari
kenaikan tekanan vena jugular, penambahan bunyi jantung, gangguan pada paru,
hepatomegali atau ditemukan udem perifer.
Pemeriksaan
Untuk mengetahui kelainan yg terjadi pada jantung, dapat dilakukan pemeriksaan
preoperatif dengan EKG (elektrogardiogram) atau Echocardiograph. Adanya deviasi axis,
atau aritmia dapat terlihat pada kedua gambaran tersebut. Foto thoraks dapat memberikan
gambaran kardiomegali yang jelas namun kadang tampak normal. Echocardiograph mungkin
sulit dilakukan namun memberikan informasi yang berguna bagi kita. Konsul kepada ahli
jantung dilakukan sebagai tindak awal dan optimalisasi keadaan pasien preoperatif. (9,10)
Implikasi anestesi
8

Pada keadaan dimana terjadi gangguan napas, masalah pada ventrikel mungkin
tertutupi atau lolos dari pengamatan melalui pemeriksaan secara klinis. Namun adanya
penambahan berat badan secara cepat yang ditemukan pada premedikasi dapat
mengindikasikan adanya kegagalan jantung walaupun orang tersebut memang sudah
memiliki bobot yang berat. Durante operasi, kegagalan ventrikel untuk memenuhi kebutuhan
(disfungsi dari diastolik ventrikel) dapat terjadi karena berbagai macam alasan, seperti
pengaruh dari agen anestesi yang sebelumnya diberikan atau hipertensi pulmonal yang
dipresipitasi keadaan hipoksia atau hiperkapnia. Maka seorang dokter anestesi harus bersikap
preventif terhadap hal tersebut dengan mempersiapkan inotropik dan vasodilator untuk
mengembalikan keadaan menjadi normal kembali.(9) Ketika induksi anestesi atau intubasi
dilakukan pada penderita obesitas, performa jantung akan mulai menurun. Dalam suatu
penelitian, ditemukan pada penderita obesitas yang menjalani operasi abdomen, performa
jantung menurun 17 -33 persen setelah induksi dan intubasi dilakukan, keadaan ini menetap
pasca operasi dengan index jantung 13 -23 persen menurun dibandingkan preoperatif. Hal ini
tidak terjadi pada orang normal dimana performa jantung setelah diberikan induksi anestesi
atau intubasi sempat menurun namun kembali normal pascaoperasi. (9) Pengamatan terhadap
tekanan arteri, gas darah dan tekanan vena sentral dapat dilakukan sebagai acuan terhadap
keadaan jantung selama obat anestesi bekerja.
Premedikasi
Opioid dan obat sedatif dapat menyebabkan depresi pernapasan pada orang obesitas. Rute
pemberian obat secara intramuskular dan subkutan dihindari mengingat absorbsinya yang
belum jelas. Semua penderita obesitas diberikan profilaksis terhadap aspirasi asam walaupun
mereka tidak mengeluhkan adanya refluks atau perasaan dada terbakar (heartburn).
Kombinasi H2-bloker (ranitidin 150mg peroral) dan prokinetik (metoklopramid 10mg
peroral) diberikan 12 jam dan 2 jam sebelum operasi untuk menurunkan resiko pneumonitis
akibat aspirasi. Beberapa dokter anestesi bahkan mencoba memberikan 30ml dari 0.3 M sitrat
segera sebelum dilakukan induksi sebagai tambahan. (9) Obat jantung dan steroid tetap
diberikan sampai menjelang operasi, walaupun ada yang merekomendasikan penghentian
angiotensin converting enzyme inhibitors sehari sebelum dilakukan operasi karena efek
hipotensi yang mungkin timbul. Pasien obesitas dengan diabetes diberikan regimen dextrosainsulin dalam prosedur singkat mengingat kebutuhan insulin yang meningkat pascaoperasi. (9)
Karena pasien obesitas seringkali sulit mobilisasi terutama pascaoperasi dan meningkatkan
resiko terjadinya trombosis vena dalam, maka dapat diberikan heparin dosis rendah secara
9

subkutan dan tetap dilanjutkan sampai pasien tersebut dapat mobilisasi total. Cara lain :
penggunaan legging atau stoking kompresi.(9) Pada grup ini juga sering terjadi infeksi luka
pascaoperasi. Maka dapat diberikan antibiotik profilaksis namun pemberiannya juga harus di
diskusikan dengan ahli bedah yang menangani.
Posisi dan pemindahan
Kebanyakan meja operasi dirancang hanya untuk pasien dengan berat badan mencapai
120 140 kg. Berat badan melebihi kapasitas tersebut, membutuhkan meja operasi dengan
rancangan khusus atau menggunakan dua meja operasi ukuran biasa yang disusun
bersebelahan. Pasien dilakukan anestesi setelah ia nyaman berada di meja operasi tersebut.
Kompresi vena cava inferior harus dihindari dengan cara memposisikan pasien secara lateral
ke kiri dari meja operasi atau meletakan sanggahan dibawah pasien. Terkadang pasien juga
dapat diposisikan secara lateral decubitus untuk mengurangi jumlah tekanan pada dada.

(9)

Pasien dipindahkan dari ruangan ke ruang operasi memakai tempat tidur yang mereka
gunakan. Kadang dibutuhkan banyak tenaga dalam proses pemindahan tersebut.
Analgesia regional
Penggunaan anestesi regional pada pasien obesitas memungkinkan tidak perlunya
dilakukan intubasi dan menurunkan resiko aspirasi asam. Pada operasi thorakal dan
abdominal, biasanya dipilih anestesi epidural dengan kombinasi anestesi umum. Hal ini lebih
bermanfaat dibandingkan hanya digunakan anestesi umum, termasuk mengurangi
penggunaan opioid dan obat anestesi inhalasi, komplikasi pulmonal pascaoperasi,
peningkatan efek obat analgesik pascaoperasi, dan manfaat lainnya.

(9,10)

Secara teknik,

anestesi regional pada pasien obesitas menantang karena sulitnya menentukan batasan pasti
tulang, kulit dan lemak. Blok saraf perifer lebih mudah dan aman dilakukan dengan bantuan
stimulator saraf dan jarum insulasi. Anestesi spinal dan epidural lebih mudah dilakukan pada
posisi berdiri dan menggunakan jarum yang panjang. Dengan bantuan ultrasound dapat
diidentifikasi ruang epidural dan menuntun jarum Tuohy dalam posisi yang benar. Ada
beberapa dokter anestesi yang lebih menyukai kateter epidural telah terpasang sehari sebelum
operasi untuk menghemat waktu esok harinya dan memudahkan pemberian profilaksis
heparin pada pagi hari waktu operasi. Anestesi lokal yang dibutuhkan pada saat melakukan
anestesi spinal atau epidural diturunkan hingga 80 persen mengingat terdapatnya infiltrasi
lemak dan meningkatnya volume darah yang disebabkan tekanan intraabdomen
menyempitkan ruang epidural. Hal ini perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan blokade
10

yang lebih tinggi atau menyebarnya anestesi lokal tersebut. Blokade diatas thorakal V akan
menyebabkan gangguan respirasi dan blokade otonom pada sistem kardiovaskular. Dalam
keadaan ini, dibutuhkan penggantian anestesi menjadi anestesi umum dengan peralatan yang
cukup dan bantuan orang lain untuk penanganan adekuat. (9,11)
Analgesia sistemik
Penggunaan analgesia opioid tidak dianjurkan pada pasien obesitas terutama dengan
rute intramuskular. Jika diberlakukan rute intravena, maka dapat diberlakukan PatientControlled Analgesia System (PCAs). Dengan cara ini, efektivitas analgesia bisa tercapai
walaupun pernah terdapat laporan depresi pernapasan. Harus diamati juga saturasi O2 dan
pulse oximetry.(9) Analgesia pasca epidural anastesi dengan opioid atau anestesi lokal
memberikan analgesi yang efektif dan aman pada pasien obesitas. Intravena epidural lebih
disukai karena rendahnya efek mengantuk, mual, depresi napas, bahkan mempercepat
motilitas usus dan cepat kembalinya fungsi pernapasan ke titik normal sehingga mengurangi
waktu rawat di rumah sakit. Namun, penggunaan opioid intravena tidak dianjurkan karena
adanya efek lambat dari analgesia tersebut terhadap fungsi pernapasan, dengan kata lain
depresi pernapasan baru muncul setelah beberapa waktu.(9) Oral analgesik seperti Non-Steroid
Anti Inflammation Drugs (NSAID) atau paracetamol dapat diberikan sebagai tambahan.
2.3 SISTEM RESPIRASI PADA PENDERITA OBESITAS(9,10)
Patofisiologi pernapasan pada penderita obesitas (9,10)

Volume paru-paru
Penurunan kapasitas residu fungsional (Functional Residual Capacity atau FRC),
volume ekspirasi cadangan (Expiratory Reserve Volume atau ERV) dan kapasitas total
dari paru-paru merupakan masalah yang dihadapi penderita obesitas seiring dengan
peningkatan berat badan. Kapasitas residu fungsional menurun akibat penyempitan
saluran napas, ketidakseimbangan perfusi dan ventilasi, shunt dari kanan ke kiri, dan
hipoksemia arteri. Pemberian anestesi dikatakan menurunkan FRC sebesar 50 persen
pada penderita obesitas, sedangkan pada orang normal terjadi penurunan FRC sebesar
20 persen. Sderberg dan kolega dalam suatu studi menemukan adanya shunt
intrapulmonal dari 10 25 persen penderita obesitas yang dilakukan anestesi dan 2
5 persen pada orang normal. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dapat diberikan
oksigen dengan volume tidal yang besar ( 15 20 ml / kg ) walaupun hanya
ditemukan kenaikan saturasi oksigen yang minimal. Namun berbeda halnya dengan
11

tekanan positif pada akhir ekspirasi (Positive End- Expiratory Pressure atau PEEP)
yang meningkat pada FRC dan tekanan oksigen arterial. Defek pada pertukaran gas
dan penambahan shunt preoperatif terlihat ketika dilakukan induksi anestesi dan
intubasi. Penambahan PEEP meningkatkan osigenasi namun menurunkan cardiac
output dan distribusi oksigen. Karena kurangnya FRC, pada penderita obesitas terjadi
kegagalan toleransi ketika terjadi apnoe, selain itu terjadi desaturasi oksigen segera
setelah induksi anestesi. Hal ini karena kecilnya reservoir oksigen dan meningkatnya
pemakaian oksigen. Biasanya FRC berkurang sebagai konsekuensi reduksi dari ERV
dengan tidal volume dalam batas yang normal. Bagaimanapun juga, pada beberapa
penderita obesitas, tidal volume yang tinggi menandai terperangkapnya gas di dalam
paru-paru dan menyertai penyakit saluran napas obstruktif. Volume ekspirasi paksa
dalam satu detik dan kapasitas vital paksa biasanya tidak terpengaruh namun enam
sampai tujuh persen mengalami perbaikan seiring penurunan berat badan. (9,10)

Ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida


Ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida meningkat sebagai hasil dari aktivitas
metabolik pada jumlah lemak yang berlebihan dan bertambahnya simpanan pada
jaringan. Aktivitas metabolik basal (Basal Metabolic Activity atau BMA)
berhubungan dengan luasnya permukaan tubuh. Pemberian ventilasi beberapa menit
akan meningkatkan oksigen hingga terjadi normokapnia. Walaupun pada beberapa
penderita obesitas dapat berlanjut respon normal keadaan hipoksemia dan hiperkapnia
yang terjadi. Pada saat olahraga, penggunaan oksigen ini akan meningkat tajam dan
menandai adanya effisiensi yang buruk dari otot pernapasan dibandingkan pada orang

normal. (9,10)
Pertukaran gas
Preoperatif, penderita obesitas biasanya hanya mengalami sedikit defek pada
pertukaran gas dengan reduksi pada PaO2, meningkatnya perbedaan oksigen alveolar
dengan arterial, dan fraksi shunt. Induksi anestesi akan memperburuk keadaan ini,
maka diperlukan fraksi oksigen jumlah besar untuk memenuhi tahanan oksigen

arterial. (9,10)
Compliance dan resistensi thorak
Kenaikan berat badan sebanding dengan meningkatnya kesulitan bernapas yang pada
kasus berat bisa menurunkan hingga 30 persen dari pernapasan normal. Walaupun
terdapat akumulasi jaringan lemak di dalam dan sekitar dinding dada yang berakibat
tertahannya gerak dinding dada (restriksi), namun pada beberapa penelitian
dikemukakan bahwa hal ini disebabkan peningkatan volume darah dalam paru-paru.
12

Tertahannya gerak dinding dada juga berhubungan dengan penurunan FRC,


terhimpitnya saluran napas dan kegagalan pertukaran gas. Perubahan compliance dan
resistensi thorak terlihat dengan adanya napas cepat dan dangkal, frekuensi yang

meningkat dan berkurangnya kapasitas paru. (9,10)


Efisiensi pernapasan
Kombinasi dari tekanan intraabdomen, reduksi dari compliance, dan meningkatnya
kebutuhan metabolik dengan gerakan otot dada, menghasilkan gerak inefisien dari
otot dada tersebut, sehingga pada orang tersebut terjadi usaha bernapas lebih berat.
Penderita obesitas dengan normokapnia pada waktu istirahat menunjukkan 30 persen
peningkatan usaha bernapas dan terkadang terjadi hipoventilasi. Hipoventilasi ini
menjadi empat kali lebih berat pada waktu istirahat. (9,10)

Kelainan yang terjadi


Gangguan pernapasan yang paling sering terjadi pada penderita obesitas adalah Obstructive
Sleep Apnea (OSA). Predisposisi terjadinya OSA antara lain : laki-laki, usia 30 - 40 tahun,
obesitas dan konsumsi alkohol (saat senja) atau penggunaan sedatif (saat malam). OSA
memiliki karakteristik (12):
a) Episode apnea atau hipopnea yang lebih sering terjadi saat tidur dan yang
membangunkan pasien tiba-tiba. Episode ini digambarkan sebagai obstruktif apnea
selama 10 detik atau lebih yang menyebabkan penutupan total dari saluran bernapas
dan adanya usaha keras untuk tetap bernapas. Hipopnea tergambarkan sebagai reduksi
dari 50 persen aliran udara yang adekuat yang berujung pada penurunan empat persen
saturasi oksigen pada arterial. Frekuensi episode apnea atau hipopnea tercatat lebih
dari lima kali per jam atau lebih dari 30 kali tiap malam. Yang perlu diperhatikan
adalah sekuele dari keadaan ini berupa : hipoksia, hiperkapnia, hipertensi sistemik
atau pulmonal dan aritmia.
b) Apnea terjadi ketika faring mengalami kolaps saat seseorang tidur. Patensi dari faring
tersebut bergantung pada kerja otot dilator yang mencegah penutupan saluran napas
atas. Tonus otot ini akan menghilang ketika tidur, yang menyebabkan pemendekan
dari saluran napas, sehingga terjadi turbulensi aliran udara sehingga terdengarlah
snoring. Mengorok atau snoring biasanya terdengar lebih keras jika obstruksi makin
hebat. Ngorok ini juga diikuti periode sunyi (silence) disaat tidak ada aliran udara
yang masuk dan setelahnya akan terjadi gasping atau choking yang membangunkan

13

pasien dari tidurnya, bernapas beberapa kali, dan tidur kembali (siklus ini berulang
sepanjang waktu tidur).
c) Efek samping : pada pagi hari, penderita OSA akan sering mengantuk, kehilangan
konsentrasi, masalah dalam memori atau ingatan dan bisa terjadi kecelakaan saat
menyetir atau bekerja. Terkadang penderita mengeluhkan pusing di pagi hari akibat
d)

retensi karbondioksida(CO2) malam harinya dan vasodilatasi serebral.


Perubahan fisiologi : hipoksemia, hiperkapnia, vasokonstriksi pulmonal dan sistemik.
Hipoksemia berulang dapat berujung pada polisitemia yang meningkatkan resiko
penyakit jantung iskemia dan penyakit serebrovaskular. Sedangkan vasokonstriksi
pulmonal berujung pada kegagalan ventrikel kanan (right ventricle failure). Bila pada
seseorang diketahui BMI > 30 kg/m2 , ada riwayat hipertensi, apnea selama siklus
tidur, lingkar leher > 16.5 cm, polisitemia, hipoksemia, hiperkapnia, hipertrofi
ventrikel kanan atau abnormalitas EKG, maka perlu dilakukan diagnosis definitif
dengan pemeriksaan polysomnografi untuk memeriksa kemungkinan OSA.(12)

Implikasi anestesi
Premedikasi
Pemeriksaan preoperatif pada penderita obesitas diantaranya memeriksa kemampuan
pasien untuk bernapas dalam dan patensi dari jalan napas. Pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan darah lengkap, foto thoraks, gas darah, fungsi paru dan oximetri. Mereka yang
dicurigai OSA disarankan melakukan tes polysomnografi. Pasien juga harus diingatkan resiko
spesifik dari anestesi, kemungkinan dilakukannya intubasi dalam kesadaran penuh,
pemberian ventilasi pascaoperasi bahkan trakeostomi.(9)
Durante anestesi
Induksi anestesi menjadi saat paling berbahaya pada pasien obesitas. Resiko kesulitan atau
gagal intubasi karena adanya obstruksi saluran napas bagian atas dan menurunnya
compliance pulmonal menjadi kekhususan tersendiri. Insuflasi gaster selama anestesi juga
meningkatkan resiko regurgitasi atau aspirasi isi gaster.(9) Pendekatan awal adalah pemilihan
intubasi dalam kesadaran penuh atau tidur dalam yang merupakan pilihan sulit. Hal itu
banyak dipengaruhi pengalaman dokter anestesi yang akan melakukannya. Beberapa penulis
menyarankan intubasi dengan kesadaran penuh terutama jika berat badan sesungguhnya >
175 persen berat badan ideal. Apabila terdapat gejala OSA, maka sudah terpikirkan morfologi
jalan napas bagian atas yang sedikit berbeda yang membuat pemakaian ballow dan sungkup
menjadi sulit, sehingga intubasi dalam kesadaran penuh lebih disarankan. Pendekatan lain
14

adalah penggunaan laringoskop setelah pemberian lokal anestesi pada faring. Intubasi sadar
dengan fiberoptic dapat dipilih ketika struktur laring tidak terlihat jelas. Tidak disarankan
melakukan intubasi blind melalui hidung mengingat kemungkinan epistaksis atau efek
samping lainnya.

(9)

Teknik teraman dan cepat untuk induksi anestesi menggunakan

succinylcholine dengan diikuti pemberian oksigen yang adekuat sebelumnya. Pasien obesitas
tidak dibolehkan untuk bernapas spontan selama anestesi berlangsung, mencegah terjadinya
hipoventilasi, hipoksia dan hiperkapnia. Posisi litotomi atau Tredelenburg dihindari
mengingat pada posisi ini terjadi reduksi volume paru. Ventilasi kontrol dengan fraksi
oksigen tinggi dibutuhkan untuk mencapai tekanan oksigen arterial yang adekuat, yang
nantinya pemeriksaan serial gas darah diperiksa untuk mengontrol hal ini.(7,9)
Post anestesi
Komplikasi pulmonal sering terjadi pada penderita obesitas. Pemeriksaan fungsi paru
preoperatif tidak dapat memprediksi keadaan yang sama pascaoperatif. Hal ini karena pada
pasien obesitas sensitivitas terhadap obat sedatif, analgesik opioid dan anestesi meningkat.
Pemberian ventilasi pascaoperasi bermanfaat untuk eliminasi efek obat-obat tersebut, selain
dapat diberikan pada mereka dengan penyakit kardio-respiratori yang telah diketahui
sebelumnya, retensi karbondioksida, dan mereka yang baru menjalani operasi dalam waktu
lama atau mengalami pyrexia pasca operasi. (9) Ekstubasi hanya boleh dilakukan ketika pasien
sadar penuh dan dipindahkan ke Recovery Room dengan posisi duduk 45 derajat. Oksigen
tambahan segera diberikan dan dilatih untuk bernapas seperti biasa. (9)
3.4 SISTEM GASTROINTESTINAL PADA PENDERITA OBESITAS
Kombinasi dari tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan rendahnya
pH dalam gaster, lambatnya pengosongan gaster dan tingginya faktor resiko hiatus hernia dan
gastro-esofageal refluks dipercayai menempatkan pasien obesitas pada resiko terjadinya
aspirasi asam lambung diikuti pneumonitis aspirasi. Zacchi melakukan studi yang
menunjukkan bahwa pada penderita obesitas tanpa gejala gastro-esofageal refluks dan
lintasan gastro-esofageal ternyata struktur anatominya tidak berbeda dengan orang normal
(baik pada posisi duduk atau berbaring). Walaupun penderita obesitas memiliki volume
dalam gasternya 75 persen lebih besar dari orang normal, melalui studi tersebut juga
diketahui bahwa pengosongan gaster justru lebih cepat pada penderita obesitas, terutama pada
intake energi tinggi seperti emulsi lemak. Karena adanya resiko aspirasi asam, maka ada
keharusan diberikannya H2-receptor antagonis, antasid dan prokinetik, juga dilakukannya
15

induksi yang cepat dengan tekanan pada krikoid dan ekstubasi trakea ketika pasien sadar
penuh.(9,13) Keadaan pada penderita obesitas yang menjadi perhatian sehubungan dengan
sistem gastrointestinal, diantaranya (9,13) :

Diabetes mellitus.
Setiap penderita obesitas yang akan menjalani operasi, harus diperiksa gula darahnya,
baik gula darah sewaktu atau dapat juga dilakukan tes toleransi glukosa. Respon
katabolik selama operasi mungkin mengindikasikan pemberian insulin pascaoperasi
untuk mengontrol konsentrasi glukosa dalam darah. Kegagalan dalam menjaga
konsentrasi ini akan berakibat tingginya resiko infeksi pada luka operasi dan infark

miokard pada periode iskemia miokard.


Penyakit tromboembolik.
Resiko trombosis vena dalam pada penderita obesitas dapat disebabkan karena
imobilisasi yang lama. Polisitemia, peningkatan tekanan intraabdomen dengan
peningkatan stasis vena terutama pada ekstremitas bawah, gagal jantung dan
berkurangnya aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan tingginya konsentrasi
fibrinogen juga menjadi predisposisi terjadinya keadaan ini. Oleh karena itu pada
penderita obesitas harus ada pengawasan terhadap keadaan-keadaan tersebut.

16

BAB III
KESIMPULAN
Obesitas menjadi kendala tersendiri bagi praktisi medis baik penanganan secara umum
maupun ketika dihadapkan dengan pertimbangan anestesi yang akan dilakukan. Hal ini
karena pada pasien obesitas, tiga masalah utamanya adalah masalah kardiovaskular, respirasi
dan gastrointestinal yang tiap penangannya juga berbeda-beda. Maka bagi seorang dokter,
perlu pemahaman menyeluruh tentang apa yang harus dilakukan untuk keadaan seperti ini.
Dalam kaitan dengan anestesi, yang terpenting adalah setiap pasien yang akan menjalani
operasi atau dilakukan anestesi, perlu dimonitor berat badan, kelainan-kelainan yang
menyertai kondisi pasien atau kemungkinan kendala yang akan dihadapi saat operasi atau
pasca operasi. Pada premedikasi di ruangan atau di OK, pasien dipersiapkan secara baik dan
dilakukan pengamatan akan kelainan metabolik yang mungkin ada. Jika harus diberikan
terapi oral atau lainnya, maka dapat dilakukan konsultasi dengan bagian lain. Proses
pemindahan pasien juga harus diperhatikan. Durante operasi, pemilihan jenis anestesi harus
diperhatikan, apakah nantinya dilakukan intubasi sadar atau tidak, obat-obatan yang boleh
dan tidak boleh diberikan, posisi pasien selama operasi tersebut dan pengamatan akan
metabolik pasien. Pasca operasi tidak boleh dilupakan, mengingat kemungkinan banyaknya
kejadian penurunan keadaan pasien dibanding sebelum operasi. Premedikasi atau durante
operasi atau durante anestesi tidak bisa meramalkan keadaan pasien setelahnya. Bahkan bisa
terjadi efek samping lambat baik dari tindakan yang dilakukan maupun obat-obatan yang
diberikan.(14) Diperlukan kerjasama yang baik, dari dokter dan perawat anestesi, dokter
penyakit dalam maupun dokter bedah sehingga keberhasilan kesemuanya dapat tercapai.

17

DAFTAR PUSTAKA
1.

Obesity

and

Anesthesia,

Yes

There

is

Connection.

Available

from

www.health.am/ab/more/obesity-and-anesthesia-yesthere-is-a-connection.
2.

Understanding

Cholelithiasis.

Available

from

http://win.nidkk.nih.gov/publications/understanding.htm.
3. What is obesity?. Available from : www.webmd.com/diet/what-is-obesity.
4.

Body

Mass

Index.

Available

from:

www.cdc.gov/nccdphp/dnpa/healthyweight/assesing/bmi/adult_BMI/about _adult_BMI.html.
5.

Obesity

and

Consequences.

Available

from

www.cdc.gov/nccdphp/dnpa/obesity/consequences.html
6. Obesity. Available from : http://en.wikipedia.org/wiki/obesity.
7. Henthorn, T K, MD. Anesthetic Consideration in Morbidly Obese Patients. Available
from : http://cucrash.com/Handouts04/MorbObeseHenthorn.pdf.
8. Anesthesia and Morbidly Obesity. Available from : http://anestit.unipa.it/gta/obese.html.
9. Adams, J P and Murphy, P G. Obesity in Anesthesia and Intensive Care (British Journal).
Available from : http://bja.oxfordjournals.org/cgi/content/full/85/1/91. 10.Jr Morgan G E.,
Mikhail M S., Murray M J. Anesthesia For Patient with Endocrine Disease : Obesity. Lange
4th Ed. Mcgraw-Hill Companies ; 2006 ; 813 15 11.Ingrande J., Brodsky J B., Lemmens H
J M. Regional Anesthesia and Obesity. Available from : http://www.csen.com/obesity.pdf.
12.Increase Anesthetic Risk For Patients With Obesity and Obstructive Sleep Apnea.
Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2007481/pdf/anesthprog00
003-0005.pdf.
13.

Anesthesia

and

Obesity.

Available

from

http://www.metrohealthanesthesia.com/edu/endocrine/obesity1.htm.
14.

Anesthesia

in

Obese

Patients.

http://www.medin.ru/netcat_files/360_117.pdf.

18

Available

from

DOSIS OBAT PENUNJANG ANESTESI DAN ANESTESI


a. OBAT INDUKSI :
Parenteral:
a. THIOPENTAL / PENTOTHAL :

Induksi
Onset of action
Durasi

: 3 5 mg/Kg.BB. Intra Vena


: 10-20 detik
: 5-15 menit

b. PROPOFOL :

Induksi
: 1,0 2,5 mg/Kg.BB. Intra Vena
Rumatan Anestesi : 75 200 g/Kg.BB/Menit, lewat infus
Sedasi
: 0,5 1,0 mg/Kg.BB, selanjutnya

75g/Kg.BB/Menit
Onset of action : 30 45 detik
Durasi
: 5-10 menit

12,5

c. KETAMINE :

a.
b.
c.

Induksi
:
Intravena
Intra Muskuler
Rumatan Anestesi :75

mg/Kg.BB/30 Menit/Intravena
Sedasi/Analgesi
: 12,5 50 g/Kg.BB/Menit
Onset of action : 30-60 detik
Durasi : 15-25 menit

: 0,5 2 mg/Kg.BB
: 5 10 mg/Kg.BB
150 g/Kb.BB.

lewat

infus

atau

0,5

Inhalasi :
a.

Dinitrogen oksida (N2O) : Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai


dalam kombinasi N2O:O2 yaitu 60% : 40%, 70% : 30%, dan 50%: 50%. Dosis untuk
mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk

induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%.


b.
Halotan : Dosis induksi 2-4% dan pemeliharaan 0,5-2%.
c.Isofluran : Dosis induksi 3-3,5% dalam O2 atau kombinasi N2-O2. Dosis rumatan 0,53%.
d.

Eter : Dosis induksi 10-20% volume uap eter dalam oksigen atau campuran
oksigen dan N2O. Dosis pemeliharaan stadium III 5-15% volume uap eter.
19

e. PREMEDIKASI :
a. SEDASI
1. DIAZEPAM

Sedasi
Induksi
Onset of action
Durasi

2. MIDAZOLAM

:
:
: 2,5 5 mg. Intravena ( untuk dewasa )
: 10 mg.,Intravena ( untuk dewasa )
: 4-8 menit
: 20 jam

Premedikasi
: 1 3 mg, Intravena ( untuk dewasa )
Sedasi
: 0,25 1,5 g/Kg.BB/Menit
Induksi
: 10 mg., Intravena ( untuk dewasa )
Onset of action
: 2-3 menit
Durasi
: 15 -80 menit

b. NARKOTIKA :
1. MORPHINE

Premedikasi

: 1 3 mg, Intravena atau 2,5 10 mg. IM

( untuk dewasa )
Pain Control
Onset of action
Durasi

: 0,01 0,04 mg/Kg.BB/Jam, lewat infus


: 1-3 menit
: 1-3 jam

2. MEPERIDINE / PETHIDINE :
Premedikasi
onset of action
durasi

3. FENTANYL

Premedikasi
Analgesik
Onset of action
Durasi

: 1mg/Kg.bb IM atau 0.5mg/Kg.bb IV


: 10- 15 menit
: 90-120 menit

:
: 100 mcg IM
: 1 2 mcg/Kg.BB./Intravena
: 30 detik
: 30- 60 menit

c. SULFAT ATROPIN :

ANTISIALOGOGUE
BRADYCARDIA

: 0,25 mg, Intravena ( untuk dewasa )


: 0,5 mg., Intravena ( untuk dewasa ), dapat

diulang
Onset of action

: 1- 2 menit

d. BUTYROPHENON :
Droperidol

: 2.5-5 mg IM atau 1-1.25 mg IV

e. ANTI HISTAMIN :
20

Promethazin

f. OBAT DARURAT :
a. Adrenalin

: 12.5-25mg IM

: 0.3-0.5mg subkutan dalam larutan 1:1000 atau

0.5b. Ephedrin
c. Dopamine
d. Lidokain

e.
f.

Onset of action
Durasi
Dexametason
Forusemide

1mg dalam larutan 1:10000 IV


: 10-50 mg IM atau 10-20 mg IV
: 2-5 mcg/Kg.bb/menit sebagai Inotropik
: 1-1.5 mg/Kg.bb IV atau dosis pemeliharaan
dalam tetesan infus 15-50 mcg/Kg.bb/menit
:10 detik
: 30 menit
: 0.2 mg/Kg.bb IV
: 0.5-2mg/Kg.bb IV

g. PELUMPUH OTOT :
a.

DEPOLARIZING AGENT KERJA SINGKAT :


1. SUCCINYLCHOLINE
: 0,5 1,5 mg/Kg.BB./Intravena
Onset of action
: 1-2 menit
Durasi
: 3-5 menit

b. NON-DEPOLARIZING AGENT KERJA MENENGAH :


1. ATRACURIUM
: 0,3 0,5 mg/Kg.BB./Intravena (Intubasi);
Rumatan : 0,1 mg/Kg.BB./ 25 - 50 menit
Onset Of action
: 3-5 menit
Durasi
: 30-45 menit
2. VECURONIUM
: 0,08 0,1 mg/Kg.BB./Intravena (Intubasi)
Rumatan : 0,02 mg/Kg.BB./ 25 50 menit
Durasi
: 25- 45 menit
3. MIVACURIUM
: 0,15 0,25 mg/Kg.BB./Intravena (Intubasi)
Rumatan : 0,075 0,15 mg/Kg.BB/10 15
menit
Durasi
: 10-15 menit
4. ROCURONIUM
: 0,5 1,0 mg/Kg.BB./Intravena (Intubasi );
Rumatan : 0,1 0,3 mg/Kg.BB/15 30
Menit
Durasi
: 15-30 menit
c. NON-DEPOLARIZING AGENT KERJA PANJANG :
1. PANCURONIM
: 0,06 0,12/Kg.BB./Intravena (Intubasi) ;
Rumatan : 0,01 mg/Kg.BB/30- 60 menit
Durasi
: 30-60 menit

21

Anda mungkin juga menyukai