Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

Acute Kidney Injury

Disusun oleh :
Shirley Patricia 11.2015.239
Pembimbing/ Penguji:
dr. Widodo, Sp. Pd
dr. Suryantini, Sp.Pd

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 1 OKTOBER 17 DESEMBER 2016

RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR ESNAWAN ANTARIKSA


DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN....................................................................................................................2
1.1Epidemiologi.......................................................................................................................3-4
1.2 Patogenesis, Etiologi& Faktor Predisposisi.......................................................................4-11
1.3 Manifestaasi Klinis ............................................................................................................11-14
1.4 Pemeriksaan Penunjang .....................................................................................................14-17
1.5 Kriteria Diagnosis..............................................................................................................17-19
BAB II
TATALAKSANA.....................................................................................................................20-26
2.1. Tatalaksana Farmakoterapi................................................................................................22-24
2.2 Tatalaksana Non Farmakoterapi.........................................................................................24-26
BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSA.........................................................................................27-30
3. 1 Komplikasi........................................................................................................................27-30
3.2 Prognosa ............................................................................................................................30
BAB IV
PENCEGAHAN.......................................................................................................................31
BAB V
PENUTUP................................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................33

BAB I
PENDAHULUAN
Acute Kidney Injury (AKI) dahulunya dikenal dengan gagal ginjal akut merupakan salah satu
masalah kesehatan yang juga membutuhkan biaya medis yang cukup besar dan apabila diketahui
lebih dini maka kemungkinan fungsi ginjal kembali seperti semula reversible menjadi lebih
tinggi. Akan tetapi, jika penanganannya terlambat sedikit saja maka AKI dapat berlanjut menjadi
AKI end stage atau bahkan Gagal Ginjal Kronik (GGK) yang sudah irreversible dengan
konsekuensi harus melakukan hemodialisa berkala yang tentunya memiliki banyak risiko dan
membuat kualitas hidup penderitanya sangat berkurangkarena sebagian waktu dari hidupnya
harus keluar masuk Rumah Sakit serta membutuhkan biaya perawatan yang lebih banyak
dibanding dengan AKI. Oleh karena itu, sangat penting peranan para medis di lini depan untuk
melakukan skrining pada pasien-pasien yang kemungkinan berisiko tinggi untuk menjadi AKI.
Selain skrining, penegakkan diagnosis AKI dan terapi awal yang dini dan tepat diharapkan dapat
memulihkan keadaan pasien sehingga tidak jatuh kepada kondisi yang lebih buruk. Melalui
makalah ini akan dipaparkan mengenai epidemiologi, etiopatogenesis, factor predisposisi,
manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, kriteria diagnosis, tatalaksana farmakologi,
tatalaksana non farmakologi, komplikasi, prognosis dan pencegahan dari AKI.

1.1. Epidemiologi
2

Epidemiologi dari AKI cukup sulit karena perbedaan definisi dan klasifikasi.
Epidemiologi AKI berbeda antara yang muncul di populasi umumnya (Community-acquired
AKI), atau populasi pasien rawat (Hospital-acquired AKI), atau pada pasien dengan penyakit
kritis yang ada di ICU (Intensive Care Unit).1
Pada pasien yang rawat inap, didapatkan bahwa kejadian AKI berdasarkan kriteria
KDIGO, sebanyak 19,4% terjadi di Asia Barat, 7,5% di Asia Selatan, 31% di Asia Tenggara, 9%
di Asia Tengah, dan 16,7% di Asia Timur. Insidensi yang tinggi, mengindikasikan besarnya biaya
medis untuk penanganannya. Akan tetapi, prevalensi pasti AKI di Asia sulit diketahui mengingat
kurangnya penelitian. Kendala lainnya adalah data-data diambil hanya dari Rumah Sakit (RS)
pendidikan besar yang lebih focus pada populasi pasien yang berada dalam kondisi kritis seperti
pasien yang akan operasi jantung, terekspos nefrotoksin, pasien dengan sepsis dan setelah
mengalami trauma. China pernah melakukan skrining pada 2,2 juta pasien dewasa yang dirawat
inap pada 44 RS dan terdeteksi sebanyak 1% mengalami AKI berdasarkan KDIGO kriteria
dengan mortalitas sebesar 12,4%. Sedangkan 30% diantaranya adalah AKI stage 3 dan di rawat
di ICU dengan angka kematian sebesar 27%. Insiden lebih tinggi terjadi di Srilanka dan
Malaysia yaitu 60%-65% sudah sampai AKI stage 3 dengan angka kematian di RS mencapai
30%-52%.1,2
AKI di Asia Barat (Jepang, Korea, China, Taiwan) terjadi pada usia yang lebih tua yaitu
60-70 tahun, sedangkan pada Asia Tenggara dan Asia Selatan rata-rata terjadi pada usia 44-53
tahun dan 55%-75% diantaranya adalah laki-laki dengan penyakit penyerta seperti DM, penyakit
kardiovaskular, chronic kidney disease dan keganasan yang lebih sering terjadi di Asia Barat
dibanding Asia lainnya.1,2
Sedangkan community-acquired AKI (CA-AKI) lebih sering terjadi di Asia Tenggara
dengan. Di China penyebab tersering CA-AKI yaitu obstruksi saluran kemih dan obat-obatan
yang bersifat nefrotoksik (antibiotic, anti inflamasi non steroid, obat-obatan herbal serta
penggunaan ACE inhibitor, ARB yang meningkatkan AKI sekitar 15%) atau penggunaan media
kontras. Sementara di India, CA-AKI banyak terjadi karena komplikasi obstetric (perdarahan
post-partum, hyperemesis gravidarum, eclampsia, preeklampsia, abortus illegal), toksin dari
hewan dan tumbuhan serta penggunaal obat-obatan alami. Di Indonesia, Malaysia, India dan
Srilanka, AKI sering terjadi karena infeksi tropis dari malaria dengan prevalensi 1-4%.
Mortalitas dapat diturunkan dengan penggunaan obat antimalarial secara dini dan inisiasi dialysis
3

jika diperlukan. Selain itu, juga bias karena Leptospira yang dapat merusak ginjal secara
langsung. AKI pada Leptospirosis menyumbang sekitar 10-85%.1,2
1.2Patogenesis, Etiologi& Faktor Predisposisi
Patogenesis
Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai patologi kerusakan ginjal AKI tipe ATN,
tetapi masih ada kontroversi mengenai patogenesis penekanan fungsi ginjal dan oliguria yang
biasa menyertai. Sebagian besar konsep modern megenai faktor-faktor penyebab yang mungkin
didasarkan pada penyelidikan menggunakan model hewan percobaan, dengan menyebabkan
gagal ginjal akut nefrotoksik melalui penyuntikan merkuri klorida, uranil nitrat, atau kromat,
sedangkan kerusakan sistemik ditimbulkan dengan menyuntikkan gliserol atau menjepit arteria
renalis. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan penurunan aliran darah ginjal dan GFR
baik pada percobaan dengan hewan maupun manusia, yaitu (1) obstruksi tubulus; (2) kebocoran
cairan tubulus; (3) penurunan permeabilitas tubulus; (4) disfungsi vasomotor; (5) umpan balik
tubuloglomerulus. Tidak satupun dari mekanisme diatas yang dapat menjelaskan semua aspek
AKI tipe ATN yang bervariasi.2,3
Teori obstruksi tubulus menyatakan bahwa ATN mengakibatkan deskuamasi sel tubulus
nekrotik dan bahan preotein lainya, yang kemudian membentuk silinder-silinder dan enyumbat
lumen tubulus. Pembengkakan seluler akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya
obstruksi dan memperberat iskemia. Tekanan intratubulus meningkat, sehingga tekanan filtrasi
glomerulus menurun. Obstruksi tubulus dapat merupakan faktor penting pada AKI yang
disebabkan oleh logam berat, etilen glikol, atau iskemia berkepanjangan.2,3
Hipotesis kebocoran tubulus menyatakan bahwa filtrasi glomerulus terus berlangsung
normal tetapi cairan tubulus bocor keluar dari lumen melalui sel-sel tubulus yang rusak dan
masuk kedalam sirkulasi peritubuler. Kerusakan membran basalais dapat terlihat pada ATN yang
berat, yang merupakan dasar anatomik mekanisme ini. Meskipun sindrom ATN menyatakan
adanya abnormalitas tubulus ginjal, bukti-bukti terakhir menyatakan bahwa dalam keadaankeadaan tertentu sel-sel endotel kapiler glomerulus dan/atau sel-sel membrana basalis mengalami
perubahan yang mengakibatkan menurunnya permeeabilitas luas permukaan filtrasi. Hal ini
mengakibatkan penurunan ultrafiltrasi glomerulus.2,3
4

Aliran darah ginjal total (RBF) dapat berkurang sampai 30% dari normal pada AKI
oliguria. Tingkat RBF ini cocok dengan GFR yang cukup besar. Pada kenyataanya, RBF pada
gagal ginjal kronik sering sama rendahnya atau lebih rendah daripada bentuk akut, tetapi fungsi
ginjal masih memadai atau berkurang. Selain itu bukti-bukti oercobaan menunjukkan bahwa
RBF harus kurang dari 5% sebelum terjadi kerusakan parenkim ginjal. Dengan demikian,
hipoperfusi ginjal saja tidak menyebabkan penurunan GFR dan lesi-lesi tubulus yang terjadi pada
AKI. Meskipun demikian, terdapat bukti perubahan bermakna pada distribusi aliran darah
intrarenal dari korteks ke medula selama hipotesi akut memanjang. Pada ginjal normal, kira-kira
90% darah didistribusi ke kortek s (letak gromeruli) dan 10% menuju ke medula dengan
demikian ginjal dapat memekatkan urin dan menjalankan fungsinya. Sebalinya, pada AKI,
perbandingan antara distribusi korteks dan medulla ginjal menjadi terbalik, sehingga terjadi
iskemia relative pada korteks ginjal. Konstriksi arteriol aferen merupakan dasar vascular dari
penurunan nyata GFR. Iskemia ginjal akan mengaktivasi sistem rennin angiotensin dan
memperberat iskemia korteks setelah hilangnya rangsangan awal. Kadar rennin tertinggi
ditemukan pada korteks luar ginjal, tempat terjadinya iskemia paling berat selama
berlangsungnya AKI pada hewan maupun manusia. Beberapa penulis mengajukan teori
mengenai prostaglandin dalam disfungsi vasomotor pada AKI. Dalam keadaan normal, hipoksia
ginjal merangsang sintesis prostaglandin E dan prostaglandin A (PGE dan PGA) ginjal
(vasodilator yang kuat), sehingga aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang
mengakibatkan dieresis. Agaknya, iskemia akut yang berat atau berkepanjangan dapat
menghambat sintesis prostaglandin ginjal tersebut. Penghambat prostaglandin seperti aspirin
diketahui dapat menurunkan RBF pada orang normal dan dapat menyebabkan ATN.2-4
Umpan balik tubuloglomerulus merupakan suatu fenomena saat aliran ke nefron distal
diregulasi oleh reseptor dalam macula densa tubulus distal, yang terletak berdekatan dengan
ujung glomerulus. Apabila peningkatan aliran filtrate tubulus ke arah distal tidak mencukupi,
kapasitas reabsorpsi tubulus distal dan duktus koligentes dapat melimpah dan menyebabkan
terjadinya deplesi volume cairan ekstra sel. Oleh karena itu, TGF merupakan mekanisme
protektif. Pada ATN, kerusakan tubulus proksimal sangat menurunkan kapasitas absorpsi
tubulus. TGF diyakini setidaknya berperan dalam menurunnya GFR pada keadaan ATN dengan
menyebabkan konstriksi arteriol aferen atau kontraksi mesangial atau keduanya, yang berturut-

turut menurunkan permeabilitas dan tekanan kapiler intraglomerulus (P gc), oleh karena itu,
penurunan GFR akibat TGF dapat dipertimbangkan sebagai mekanisme adaptif pada ATN.2-4
Kejadian awal umumnya adalah gangguan iskemia atau nefrotoksin yang merusak
tubulus atau glomeruli, atau menurunkan aliran darah ginjal. AKI kemudian menetap melalui
beberapa mekanisme yang dapat terjadi atau tidak, dan merupakan akibat cedera awal. Setiap
mekanisme berbeda kepentingannya dalam pathogenesis, sesuai dengan teori-teori yang telah
dikemukakan diatas. Agaknya kepentingan dari mekanisme-mekanisme ini bervariasi sesuai
keadaan dan bergantung pada evolusi proses penyakit, dan derajat kerusakan patologik. Banyak
hal yang belum diketahui mengenai patofisiologi AKI dan masih harus diteliti lebih jauh untuk
mengetahui hubungan antara beberapa faktor yang mempengaruhinya, dapat dilihat pada
Gambar 1. Dibawah ini.2-4

Gambar 1. Patogenesis AKI.3

Etiologi

Etiologi dari AKI dapat dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis,yakni
(1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim
ginjal (pre-renal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (renal/intrarenal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi
saluran kemih (pascarenal/postrenal,~5%).2-4
AKI pre-renal disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Hipoperfusi dapat disebabkan oleh
hipovolemia atau menurunnya volume sirkulasi yang efektif. Pada AKI pre-renal integritas
jaringan ginjal masih terpelihara sehingga prognosis dapat lebih baik apabila faktor penyebab
dapat dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi ginjal tidak berhasil maka akan timbul AKI
renal berupa Nekrosis Tubular Akut (NTA) karena iskemik. Keadaan ini dapat timbul sebagai
akibat bermacam-macam penyakit. Pada kondisi ini fungsi otoregulasi ginjal akan berupaya
mempertahankan tekanan perfusi, melalui mekanisme vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan
normal, aliran darah ginjal dan LFG relatif konstan, diatur oleh suatu mekanisme yang disebut
otoregulasi. AKI pre-renal disebabkan oleh hipovolemia, penurunan volume efektif intravaskular
seperti pada sepsis dan gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan hemodinamik intra-renal
seperti pada pemakaian anti inflamasi non steroid, obat yang menghambat angiotensin dan pada
tekanan darah, yang akan mengaktivasi sistem saraf simpatis, sistem renin-angiotensin serta
merangsang pelepasan vasopresin dan endothelin-1 (ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh
untuk mempertahankan tekanan dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada keadaan ini
mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi ateriol afferen yang dipengaruhi oleh refleks miogenik
serta prostaglandin dan nitric oxide (NO), serta vasokonstriksi arteriol afferen yang terutama
dipengaruhi oleh angiotensin-II dan ET-1. Mekanisme ini bertujuan untuk mempertahankan
homeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata <70mmHg)
serta berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan
terganggu, dimana arteriol afferen mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial dan
penginkatan reabsorbsi Na+ dan air. Keadaan ini disebut pre-renal atau AKI fungsional, dimana
belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. Penanganan terhadap penyebab hipoperfusi ini
akan memperbaiki homeostasis intra-renal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa
dipengaruhi beberapa obat seperti ACE/ARB, NSAID, terutama pada pasien-pasien berusia di
atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin mg/dL sehingga dapat terjadi AKI pre-renal. Proses
7

ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotesis, penggunaan diuretik, sirosis hati dan
gagal jantung. Perlu di ingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan-keadaan yang
merupakan risiko AKI pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit
renovaskular), penyakit ginjal polikistik dan nerfosklerosis internal.2-4
AKI Renal disebabkan oleh kelainan vaskuler seperti vaskulitis, hipertensi maligna,
glomerulus nefritis akutm nefritis interstitial akut. Nekrosis tubular akut dapat disebabkan oleh
berbagai sebab seperti penyakit tropik. Gigitan ular, trauma (crushing injury/bencana
alam/peperangan), toksin lingkungan dan zat-zat nefrotoksik. Di Rumah Sakit (35-50% di ICU)
NTA terutama disebabkan oleh sepsis. Selain itu pasca operasi dapat terjadi NTA pada 20-25%
hal ini disebabkan adanya penyakit-penyakit seperti hipertensi, penyakit jantung, penyakit
pembuluh darah, diabetes melitus, ikterus dan usia lanjut, jenis operasi yang berat seperti
transplantasi hati, transplantasi jantung. Dari golongan zat-zat nefrotoksik perlu dipikirkan
nefropati karena zat radio kontras, obat-obatan seperti anti jamur, anti virus, anti neoplastik.
Meluasnya pemakaian narkoba juga meningkatkan kemungkinan NTA. Kelainan yang terjadi
pada NTA melibatkan komponen vaskuler dan tubuler.2-4
Kelainan vaskuler, pada NTA terjadi : 1). Peningkatan CA2+ siitosolik pada arteriol
afferen glomerulus yang menyebabkan peningkatan sensitifitas terhadap substansi-substansi
vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi. 2). Terjadi peningkatan stress oksidatif yang
menyebabkan kerusakan selendotel vaskular ginjal, yang mngakibatkan peningkatan A-II dan
ET-1serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan nitric oxide yang bearasal dari endotelial
NO-sintase (eNOS). 3).Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan
interleukin-18, yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion
molecule-1 dan P-selectin dari sel endotel, sehingga peningkatan perlekatan sel radang terutama
sel netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen. Kesuluruhan
proses diatas secara bersama-sama menyebabkan vasokonstriksi intra renal yangakan
menyebabkan penurunan GFR.
Kelainan tubuler terjadi : 1). peningkatan Ca2+, yang menyebabkan peningkatan calpain
sitosolik phospholipase A2 serta kerusakan actin, yang akan menyebabkankerusakan
sitoskeleton. Keadaan ini akan mengakibatkan penurunan basolateral Na+/K +-ATP ase yang
selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi natrium di tubulus proximalis serta terjadi
pelepasan

NaCl

kemaculadensa.

Hal

tersebut

mengakibatkan

peningkatan

umpan
8

tubuloglomeruler. 2). peningkatan NO yang berasal dari inducible NO syntase, caspases dan
metalloproteinase serta defisiensi heat shock protein akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis
sel. 3). obstruksi tubulus, mikrofili tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler akan
membentuk substrat yang menyumbat tubulus, dalam hal ini pada thick assending limb
diproduksi Tamm-Horsfall protein (THP) yang disekresikan ke dalam tubulus dalam bentuk
monomer yang kemudian berubah menjadi polimer yang akan membentuk materi berupa gel
dengan adanya natrium yang konsentrasinya meningkat pada tubulus distalis. Gel polimerik THP
bersama sel epitel tubulus yang terlepas baik sel yang sehat, nekrotik maupun yang apoptopik,
mikrofili dan matriks ekstraseluler seperti fibronektin akan membentuk silinder-silinder yang
menyebabkan obstruksi tubulus ginjal. 4). kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran
kembali dari cairan intratubuler masuk ke dalam sirkulasi peritubuler. Keseluruhan proses
tersebut di atas secara bersama-sama yang akan menyebabkan penurunan GFR. Diduga juga
proses iskemia dan paparan bahan/obat nefrotoksik dapat merusak glomerulus secara langsung.
Pada NTA terdapat kerusakan glomerulus dan juga tubulus. Kerusakan tubulus dikenal juga
dengan nama nekrosis tubular akut (NTA). Tahap-tahap nekrosis tubular akut adalah tahap
inisiasi, tahap kerusakan yang berlanjut (maintenance) dan tahap penyembuhan. Dari tahap
inisiasi ke tahap kerusakan yang berlanjut terdapat hipoksia dan inflamasi sangat nampak pada
kortikomeduler (corticomedulary junction). Proses inflamasi memegang peranan penting pada
patofisiologi dari AKI yang terjadi karena iskemia. Sel endotel, leukosit dan sel-T berperan
penting dari saat awal sampai saat reperfusi (reperfusion injury).2-4
AKI post-renal merupakan 10% dari keseluruhan AKI. AKI post-renal disebabkan oleh
obstruksi intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi intra renal terjadi karena deposisi kristal (urat,
oksalat, sulfonamide) dan protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi
pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik
(keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor,
hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura). AKI post-renal terjadi bila obstruksi akut
terjadi pada uretra, buli buli dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana
ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi
peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan
oleh prostaglandin-E2. pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal
dibawah normalakibat pengaruh tromboxane-A2 dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat
9

tetapi setelah 5 jam mulai menetap. Fase ke-3 atau fase kronik, ditandai oleh aliran ginjal yang
makin menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliran
darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari
normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor-faktor
pertumbuhan yang menyebabkan fibrosis interstisial ginjal. Dapat dilihat pada Gambar 2. Dan
Gambar 3. di bawah ini.2-4

Gambar 2. Penyebab AKI pre-renal.4

10

Gambar 3. Penyebab AKI renal dan pascarenal.4


1.3 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang didapat pada AKI kurang spesifik dan lebih sering tidak dikenali.
Gejala AKI umumnya berkaitan dengan azotemia dan penyebab yang mendasari. Gejala sugestif
meliputi penurunan pengeluaran urin dengan warna gelap atau seperti warna coca cola. Pasien
dengan prerenal azotemia sering mengeluh mual, tidak nafsu makan, malaise, rasa seperti logam
di dalam mulut, gatal, kebingungan, retensi cairan (bengkak di kaki/ edema perifer), sesak nafas,
hipertensi, glukosuria menyebabkan poliuria dan beberapa pengobatan seperti diuretik, OAINS,
inhibitor ACE, dan ARB.4,5
Pemeriksaan fisik dapat menampilkan tanda-tanda hipotensi ortostatik, takikardia,
penurunan tekanan vena jugularis, turgor kulit menurun, dan membran mukosa kering sering
tampak pada prerenal azotemia. Riwayat penyakit prostat, nefrolitiasis, keganasan panggul atau
paraaorta menunjukkan kemungkinan GGA postrenal. Oleh karena itu, pemeriksaan
laboratorium penting pada pasien-pasien yang berisiko tinggi, seperti usia lanjut, diabetes

11

melitus, deplesi volume, operasi vaskular, gagal ginjal kronik, antibiotik multipel. Diagnosis
definitif untuk obstruksi membutuhkan pemeriksaan radiologis.4,5
Perjalanan klinis AKI biasanya dibagi menjadi 3 stadium: oliguria, diuresis, dan
pemulihan. Pembagian ini dipakai pada penjelasan dibawah ini, tetapi harus diiingat bahwa AKI
dan azotemia dapat saja terjadi saat keluaran urine lebih dari 400ml/24 jam. Perjalanan klinis
pada gagal ginjal akut tipe oliguria sama dengan tipe non-oliguria. Akan tetapi, kelainan kimia
darah pada gagal ginjal akut non-oliguria biasanya lebih ringan dan prgonosis lebih baik.3-5
Stadium oliguria
Gambaran klinis sering kali didominasi riwayat komplikasi pembedahan, medis maupun
obstetrik yang dapat menyebabkan gagal ginjal akut. Oliguria biasanya timbul dalam waktu 2448 jam sesudah trauma, meskipun gejala biasanya tidak timbul beberapa hari sesudah kontak
dengann bahan kimia yang nefrotoksik. Oliguria biasanya disertai azotemia. Penting sekali untuk
mengetahui awitan oliguria, menentukan penyebab gagal ginjal, dan mulai mengobati setiap
penyebab yang reversibel. AKI tipe ATN harus dibedakan dari kegagalan orarenal (hipoperfusi)
dan pascarenal (obstruksi saluran kemih) dan kelainan internal lainnya (contohnya
glomerulonefritis pasca streptokokus akut, pielonefritis akut, serangan akut pada gagal ginjal
kronik). Diagnosis gagal ginjal akut ditegakkan setelah penyebab lainnya disingkirkan. Oliguria
karena serangan akut gagal ginjal kronik biasaya jelas diketahui dari riwayat penyakit. Pasien
aggal ginjal kronik biasanya mempunyai kemampuan terbatas untuk menyesuaikan diri terhadap
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga mereka mudah sekali jatuh dalam gagal ginjal akut
hanya karena hal-hal yang sepele. Contohnya adalah pasien glomerulonefritis kronik dengan
gangguan saluran cerna yang disertai muntah atau diare, atau penderita pielonefritis kronik yang
ditunggangi infeksi ginjal akut. Kadang-kadang seorang pasien insufisiensi ginjal kronik yang
tak terdiagnosis, dapat datang dengan manifestasi gagal ginjal akut. Riwayat nokturia yang lama,
hipertensi, penyakit sistemik (seperti lupus eritematous sistemik atau diabetes melitus),
radiografi yang memperlihatkan ginjal yang mengisut, dan tanda-tanda penyakit ginjal yang lama
seperti osteodistrofi ginjal, semuanya menyokong pada insufisiensi ginjal kronik. Pasien
biasanya dapat pulih kembali jika infeksi diobati, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
diperbaiki, jika perlu dilakukan dialisis peritoneal. Obstruksi pascarenal harus disingkirkan,
terutama jika penyebab gagal ginjal tidak jelas. Adanya anuria atau periode anuria yang
12

diseslingi periode berkemih dalam jumlah normal mengarah pada kemungkinan obstruksi.
Obstruksi pada urethra dan leher kandung kemih dapat diketahui dengan melakukan kateterisasi
dan mengukur urin sisa dalam kandung kemih setelah usaha pengeluaran urin sepenuhnya. Jika
obstruksi pada muara telah disingkirkan, tetapi dicurigai adanya obstruksi proksimal bilateral
terhadap kandung kemih, dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi atau scan ginjal dengan
radioisotop dan pielografi retrograd.3-5
Ultrasonograsi dapat mengungkap ukuran ginjal dan dapat menunjukkan adnaya obstrksi batu
pada pelvis ginjal adan ureter.scan radioisotop dapat dipakai untuk menilai keadaan pembuluh darah
utama ginjal dan berguna jika dicurigai terdapat oklusi arteri atau vena oleh trombus atau
embolus.pielografi retrograd dapat dipakai untuk kasus-kasus uropati obstruktif tertentu dan mungkin
dapat dipakai untuk pengobatan maupun diagnostik. Obstruksi yang berkepanjangan dapat menyababkan
gagal ginjal intrinsik yang seringkali ireversibel. Penanganannya dengan segera mengatasi obstruksi.
Yang terakhir oliguria prarenal adalah keadaan yang paling sering menyebabkan ARF dan harus
dibedakan dengan ATN.3-5
Stadium diuresis
Stadium diuresis AKI dimulai bila keluaran urine meningkat sampai lebih dari 400 ml per hari.
Stadium ini biasanya berlangsung 2 sampai 3 minggu. Pengeluaran urin harian jarang melebihi 4 liter,
asalkan pasien itu tak mengalami hidarsi yang berlebihan. Volume urine yang tinggi pada stadium diuresis
ini agaknya karena diuresis osmotik akibat tingginya kadar urea darah, dan mungkin juga disebabkan
masih belum pulihnya kemampuan tubulus yang sedang daladm masa penyembuhan untuk
mempertahankan garam dan air yang difiltrasi. Selama stadium diuresis, pasien mungkin menderita
kekurangan natrium,kalium,dan ar. Jika urin yang hilang tidak diganti, maka diureis ini akan
menimbulkan kematian. Selama stadium dini diuresis, kadar BUN mungkin terus meningkat, terutama
karena bersihan urea tidak dapat mengimbangi produksi urea endogen. Tetapi dengan berlanjutnya
diuresis, azotemia sedikit demi sedikit menghilang dan pasien mengalami kemajuan klinis yang besar.3-5
Stadium penyembuhan
Stadium penyembuhan AKI berlangsung sampai satu thaun, dan selama masa itu, anemia dan
kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Tetapi beberapa pasien tetap menderita
penurunan GFR yang permanen. Sekitar 5% pasien tidak mengalami pemulihan fungsi ginjal dan
membutuhkan dialisis untuk waktu yang lama atau transpalntasi ginjal; sebanyak 5% yang lain mungkin
mengalami penurunan fungsi ginjal yang progresif.3-5
13

Meskipun kerusakan epitel tubulus secara teoritis reversibel, ATN merupakan keadaan
berbahaya dengan prognosis yang serius. Angka kematian masih sekitar 50% (sudah menurun
dibandingkan angka kematian sekitar 90% tiga puluh tahun yang lalu) meskipun penanganan
keseimbangan cairan dan elektrolit dilakukan dengan cermat dengan bantuan dialisis. Sekitar
duapertiga pasien ATN meninggal selama stadium oliguria, dan sekitar sepertiga pada stadium
diuresis. Angka kematian ini berkaitan dengan latar belakang penyebab penyakit yang
menyebabkan keadaan akut tersebut. Mortalitas adalah sekitar 60% pada kasus yang mengalami
pembedahan, cedera remuk, trauma berat lainnya, dan sekitar 25% setelah transfusi darah yang
tidak cocok dan keracunan karbon tetraklorida, dan 10%-15% pada kasus-kasus obstetrik. Angka
mortalitas lebih tinggi pada pasien yang lemah atau mengalami kegagalan organ multipel.
Umumnya, AKI non-oliguria mempunyai prognosis yang lebih baik daripada pasien AKI
oliguria: hanya sekitar 25% pasien AKI non-oliguria yang meninggal.3-5
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Ureum dan Kreatinin
Uji fungsi ginjal yang utama adalah pemeriksaan ureum dan kreatinin. Ureum adalah
produk akhir dari metabolisme protein di dalam tubuh yang diproduksi oleh hati dan dikeluarkan
lewat urin. Pada gangguan ekskresi ginjal, pengeluaran ureum ke dalam urin terhambat sehingga
kadar ureum akan meningkat di dalam darah. Kreatinin merupakan zat yang dihasilkan oleh otot
dan dikeluarkan dari tubuh melalui urin. Oleh karena itu kadar kreatinin dalam serum
dipengaruhi oleh besar otot, jenis kelamin dan fungsi ginjal. Di Laboratorium, pemeriksaan
kadar kreatinin dilaporkan dalam mg/dl dan estimated GFR (eGFR) yaitu nilai yang dipakai
untuk mengetahui perkiraan laju filtrasi glomerulus yang dapat memperkirakan beratnya
kelainan fungsi ginjal. Nilai normal Creatinin pria yaitu 0.5 1.5 (mg/dl), wanita yaitu 0.5 1.5
(mg/dl), sementara nilai normal ureum (Nilai Normal BUN) pada pria berkisar 15 40 (mg/dl),
wanita berkisar 15 40 (mg/dl).4,6
Urinalisis
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagaipenanda inflamasi glomerulus,
tubulus, infeksi saluran kemih,atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan
aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan
14

gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi
intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat
mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmentedmuddy brown granular cast, cast
yang mengandung epiteltubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit padakerusakan
glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; castleukosit dan pigmented muddy brown granular
cast padanefritis interstitial.3-6
Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah ginjal akan
menyebabkanpeningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hinggamencapai 99%. Akibatnya,
ketika sampah nitrogen (ureumdan kreatinin) terakumulasi di dalam darah akibat vasokonstriksi
pembuluh darah ginjal dengan fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium
(FENa = [(Na urin xCr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%. FE Urea
kurang dari 35%, sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang yang
menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan reabsorbsi Na oleh tubulus
dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama juga berlaku untuk pasien dengan PGK
tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi kronik dengan pengurangan LFG. Meskipun
demikian, pada beberapa keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan
mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi
tubulus ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari 1%.3-6
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah pemeriksaan urin
residu pascaberkemih. Kelainan analisis urin dapat dilihat pada Tabel 1. dibawah ini.3
Tabel 1. Kelainan Analisis Urin (Dimodifikasi).3
Indeks diagnosis

AKI prarenal

AKI renal

Urinalisis

Silinder Hialin

Abnormal

Gravitasi spesifik

>1,020

~1,010

Osmolalitas urin (mmol/kgH2O)

>500

~300

Kadar natrium urin (mmol/L)

<10 (<20)

>20 (>40)

Fraksi ekskresi natrium (%)

<1

>1

Fraksi ekskresi urea (%)

<35

>35

Rasio Cr urin/Cr plasma

>40

<20

Rasio urea urin/urea plasma

>8

<3

15

Pemeriksaan Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan seperti foto polos abdomen, CT scan, MRI, dan angiografi ginjal
dapat dilakukan sesuai indikasi. Tujuan pemeriksaan pencitraan yaitu untuk mengetahui struktur
abnormal dari ginjal dan traktus urinarius (CT-scan), menentukan ukuran ginjal, ada tidaknya
obstruksi tekstur, parenkim ginjal yang abnormal (USG).4,6
Biopsi Ginjal
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum
jelas, namun penyebabpra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut
terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana spesifik,
seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain.4,6
Penanda Biologis
Beberapa parameter dasar sebagai penentu kriteria diagnosisAKI (Cr serum, LFG dan
UO) dinilai memiliki beberapa kelemahan. Kadar Cr serum antara lain (1) sangat tergantung dari
usia, jenis kelamin, massa otot, dan latihan fisik yang berat; (2) tidak spesifik dan tidak dapat
membedakan tipekerusakan ginjal (iskemia, nefrotoksik, kerusakan glomerulusatau tubulus); (3)
tidak sensitif karena peningkatan kadar terjadi lebih lambat dibandingkan penurunan LFG dan
tidakbaik dipakai sebagai parameter pemulihan. Penghitungan LFG menggunakan rumus
berdasarkan kadar Cr serum merupakan perhitungan untuk pasien dengan PGK dengan asumsi
kadar Cr serum yang stabil. Perubahan kinetika Cr yang cepat terjadi tidak dapat ditangkap
oleh rumus-rumus yang ada. Penggunaan kriteria UO tidak menyingkirkan pengaruh
faktorprarenal dan sangat dipengaruhi oleh penggunaan diuretik. Keseluruhan keadaan tersebut
menggambarkan kelemahan perangkat diagnosis yang ada saat ini, yang dapat berpengaruh pada
keterlambatan diagnosis dan tata laksana sehingga dapat berpengaruh pada prognosis penderita.
Dibutuhkan penanda biologis ideal yang mudah diperiksa, dapat mendeteksi AKI secara dini
sebelum terjadi peningkatan kadar kreatinin, dapat membedakan penyebab AKI, menentukan
derajat keparahan AKI, dan menentukan prognosis AKI.3-6
Penanda biologis dari spesimen urin yang saat ini dikembangkan pada umumnya terdiri
dari 3 kelompok yakni penanda inflamasi (NGAL, IL-18), protein tubulus (kidneyinjury
molecule [KIM]-1, Na+/H+ exchanger isoform 3) Penanda kerusakan tubulus (cystatin C, a-1
16

mikroglobulin, retinol-binding protein, NAG). Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat
ini, dapat disimpulkan bahwa IL-18 dan KIM-1 merupakan penanda potensial untuk
membedakan penyebab AKI;NGAL, IL-18, GST-p , dan g-GST merupakan penanda potensial
diagnosis dini AKI; NAG, KIM-1 dan IL-18 merupakan penanda potensial prediksi kematian
setelah AKI. Tampaknya untuk mendapatkan penanda biologis yang ideal, dibutuhkan panel
pemeriksaan beberapa penanda biologis. Sampai saat ini belum ada penanda biologis yang
beredar di Indonesia.4,6
1.5 Kriteria Diagnosis
Acute Kidney Injury (AKI) dahulunya dikenal dengan sebutan Acute Renal Failure (ARF).
Istilah ARF kemudian digantikan dengan alasan untuk memudahkan pemahaman masyarakat
(kata Renal diganti jadi Kidney) dan untuk menggambarkan patologi gangguan ginjal (Failure
diganti jadi injury. Definisi AKI adalah penurunan secara tiba-tiba laju filtrasi glomerulus (LFG)
yang umumnya berlangsung reversible, diikuti dengan kegagalan ginjal untuk mengeksresi sisa
metabolism nitrogen, dengan atau tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Penurunan LFG dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI klasik) atau tidak
normal (acute on chronic kidney disease). Kedua hal tersebut masih termasuk dalam AKI tanpa
deifinisi operasional yang jelas sehingga terjadi kerancuan dalam membedakannya untuk
kepentingan diagnosis dini, prognosis pasien dan kepentingan penelitian.3-5,7
Oleh sebab itu, para nefrolog sepakat melengkapi kriteria definisi AKI yaitu 1) kriteria
diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit, 2) sedikit saja perbedaan kadar creatininn (Cr)
serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita, 3) Kriteria diagnosis mengakomodasi
penggunaan penanada yang sensitive yaitu penurunan urine output (UO) yangn seringkali
mendahului peningkatan Cr serum, 4) Penetapan gagal ginjal berdasarkan peningkatan Cr serum,
UO dan LFG, mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal
yang mudah dan dapat dilakukan dimana saja. Klasifikasi AKI berdasarkan kriteria RIFFLE
dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan kriteria AKIN dapat dilihat pada Tabel 3. dibawah ini.3-5,7

17

Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 20075


Kategori

Peningkatan kadar Cr

Penurunan LFG

Kriteria UO

Risk

serum
1,5 kali nilai dasar

>25% nilai dasar

<0,5 mL/kg/jam,

>50% nilai dasar

6 jam
<0,5 L/kg/jam,

>75% nilai dasar

12 jam
<0,3 mL/kg/jam,

Injury

2,0 kali nilai dasar

Failure

3,0 kali nilai dasar


Atau 4mg/dL dengan

24 jam atau

kenaikan akut 0,5 mg/dL

Anuria 12 jam

Loss

Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4

End stage

Minggu
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
Bulan

Kriteria RIFLE sudah diuji dalam berbagai penelitian dan menunjukkan kegunaaan dalam aspek
diagnosis, klasifikasi berat penyakit, pemantauan perjalanan penyakit dan prediksi mortalitas.5

Tabel 3. Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN, 20055


Tahap
1

Peningkatan kadar Cr serum


Kriteria UO
1,5 kali nilai dasar atau peningkatan 0,3 <0,5 mL/kg/jam,

mg/dL
2 kali nilai dasar

12 jam
3 kali nilai dasar atau 4mg/dL dengan <0,3 mL/kg/jam,

6jam
< 0,5mL/kg/jam,

kenaikan akut 0,5 mg/dL atau inisiasi terapi 24jam atau anuria 12 jam
pengganti ginjal
Sebuah penelitian yang bertujuan membandingkan kemanfaatan modifikasi yang
dilakukan oleh AKIN terhadap kriteria RIFLE gagal menunjukkan peningkatan sensitivitas,dan
kemampuan prediksi klasifikasi AKIN dibandingkan dengan kriteria RIFLE. Perjalanan AKI
dapat sembuh sempurna, atau adanya penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK/ Gagal
18

Ginjal Kronik (tahap 1-4), atau eksaserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK(tahap 1-4), atau
dapat juga kerusakan tetap dari ginjal (GGK, tahap 5). Algoritma diagnosis dan terapi dapat dilihat
padaGambar 4. dibawah ini.5,7

Gambar 4. Algoritma diagnosis dan terapi pada AKI.7


BAB II
TATALAKSANA

19

Tujuan pengelolaan adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan


homeostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta
mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip
pengelolaannya dimulai dengan mengidentifikasi pasien berisiko AKI, mengatasi penyakit
penyebab AKI, mempertahankan homeostasis, mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit, mencegah komplikasi metabolik seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia,
mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah infeks dan selalu mengevaluasi obat-obat yang
dipakai.3,4,7,8
Prioritas tatalaksana pasien dengan gagal ginjal akut adalah sebagai berikut:3,8
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Cari dan perbaiki factor pre dan pasca renal


Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan
Optimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal
Perbaiki atau tingkatkan aliran urin
Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan, timbang badan tiap hari
Cari dan obati komplikasi akut (hiperkalemi, hipernatremi, asidosis, hiperfosfatemi, edema

paru)
7. Asupan nutrisi adekuat sejak dini
8. Cari fokus infeksi dan atasi infeksi secara agresif
9. Perawatan menyeluruh yang baik (kateter, kulit, psikologis)
10. Segera memulai terapi dialisis sebelum timbul komplikasi
11. Berikan obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas bersihan ginjal
Terapi spesifik
Berdasarkan definisi, AKI prarenal dapat cepat pulih jika kelainan hemodinamik
primernya dikoreksi, dan AKI pascarenal mereda jika obstruksinya dihilangkan. Sampai saat ini
belum ada terapi spesifik untuk AKI yang sudah terjadi. Penatalaksanaan penyakit-penyakit ini
seyogyanya terfokus pada eliminasi kelainan hemodinamik atau toksin penyebab, menghindari
gangguan tambahan, dan mencegah serta mengobati penyulit. Terapi spesifik AKI intrinsik
lainnya bergantung pada etiologi yang mendasari, dapat dilihat pada Tabel 4. di bawah ini.3,8
Tabel 4. Penatalaksanaan gagal ginjal akut iskemik dan nefrotoksik9
Pemulihan cedera ginjal
NTA iskemik
Pulihkan hemodinamika sistemik dan perfusi ginjal melalui resusitasi
NTA nefrotoksik

volume dan pemakaian vasopressor


Hentikan obat nefrotoksik, pertimbangkan tindakan spesifik toksin
(misalnya,

diuresis

alkali

paksa

untuk

rabdomiolisis,

alopurinol/rasburicase untuk sindrom lisis tumor)


20

Pencegahan dan pengobatan penyulit


Kelebihan cairan Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<1 L/hari), diuretik, ultrafiltrasi atau
intravaskular
Hiponatremia

dialysis
Pembatasan asupan air bebas melalui saluran cerna
Menghindari larutan intravena hipotonik, termasuk larutan yang

Hiperkalemia

mengandung dekstrosa
Pembatasan asupan K+ dari makanan
Hentikan suplemen K+ dan diuretik hemat K+
Loop diuretic untuk mendorong ekskresi K+
Resin penukar ion pengikat kalium (misalnya natrium polistiren sulfonat
atau Kayexalate)
Insulin (10 unit regular) dan glukosa (50 mL dekstrosa 50%) untuk
mendorong mobilisasi intraselular
Pemberian inhalan beta agonis untuk mendorong mobilisasi intrasel
Kalsium glukonat atau kalsium klorida (1 g) untuk menstabilkan
miokardium

Asidosis

Dialisis
Natrium bikarbonat (mempertahankan bikarbonat serum >15 mmol/L

metabolik

atau pH arteri >7.2)


Pemberian basa lain, misalnya THAM

Hiperfosfatemia

Dialisis
Pembatasan asupan fosfat dari makanan
Agen pengikat fosfat (kalsium karbonat, kalsium asetat, sevelamer

Hipokalsemia
Hipermagnesemi

hydrochloride, aluminium hidroksida)


Kalsium karbonat atau glukonat (jika menimbulkan gejala)
Hentikan antasida yang mengandung Mg2+

a
Hiperurisemua

Terapi biasanya tidak diperlukan jika <890 mol/L atau <15 mg/dl

Nutrisi

Alupurinol, diuresis alkali paksa, rasburicase


Asupan kalori dan protein untuk menghindari keseimbangan itrogen

Dialisis
Pemilihan obat

negatif
Untuk mencegah penyulit gagal ginjal akut
Hindari nefrotoksin lain: inhibitor ACE/ARB, aminoglikosida, OAINS,

Dosis obat

radiokontras kecuali jika mutlak diperlukan dan tidak ada alternatif


Sesuaikan dosis dan frekuensi pemberian dengan derajat gangguan ginjal
21

2.1. Tatalaksana Farmakologi


Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama
berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontroversial. Obat-obatan
tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamine. Diuretik yang bekerja menghamba NA +/K+ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb ansa Henle. Selain itu,
berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan
dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah
keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan
ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Namun, penelitian dan metaanalisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk pengobatan AKI (menurunkan
mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis,proporsi pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan
penggunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risikoototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,0015,78). Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan
pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada
penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah memastikan volume sirkulasi
efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan
pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam
15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu. Selain itu juga
harus menentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria
kurang dari 12 jam).8,9
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak terlihat,
dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan
lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum1 gram/hari. Usaha tersebut dapat
dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke
intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus
dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat
menyebabkan toksisitas.8,9
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga
dapat digunakan untuk tatalaksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegunaan
22

manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat
nefrotoksik,menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif
tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain
menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak
memperbaiki prognosis pasien.8,9
Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata
laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis
rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase
dengan efek akhirpeningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis
tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang
diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap
pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan
kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara
umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi,
diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalamdunia
nyata tidak ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada literatur. Dalam penelitian dan
meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait
dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna,
gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba
dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar
menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan
untuk

pengobatan

penyakitdasar

seperti

syok,

sepsis

(sesuai

indikasi)

untuk

memperbaikihemodinamik dan fungsi ginjal. Obat-obatan lain sepertiagonis selektif DA1


(fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis multisenter untuk
penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak terbukti efektif pada tata
laksana AKI.8,9
2.2 Tatalaksana Non Farmakologi
Tatalaksana non farmakologi meliputi terapi nutrisi dan terapi khusus.
Terapi Nutrisi

23

Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi sesuai dengan penyakit dasarnya atau kondisi
komorbidnya, dari kebutuhan yang biasa, sampai dengan kebutuhan yang tinggi seperti pada
pasien dengan sepsis. Rekomendasi nutrisi AKI amat berbeda dengan GGK (Gagal Ginjal
Kronik), dimana pada AKI kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya.
Pada GGK justru dilakukan pembatasan-pembatasan.

2,4

AKI menyebabkan abnormalitas

metabolisme yang amat kompleks, tidak hanya pengaturan air, asam basa, elektrolit, tatapi juga
asam amino/ protein, karbohidrat dan lemak. Heterogenitas AKI yang amat tergantung dari
penyakit dasarnya membuat keadaan ini lebih kompleks. Oleh karena itu nutrisi pada AKI
disesuaikan dengan proses katabolis yang terjadi, sehingga pada suatu saat menjadi normal
kembali. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan
oleh Druml pada tahun 2005, dapat dilihat pada Tabel 5. di bawah ini.3,8-10

24

Tabel 5 . Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI (Dimodifikasi)3


Variabel

Tahap Katabolisme

Keadaan klinis

Ringan
Toksik karena obat

Sedang
Pembedahan +/infeksi

Berat
Injuri berat/sepsis,
ARDS, MODS

Mortalitas

20%

60%

>80%

Dialisis /
hemofiltrasi

Jarang

Apabila perlu / sesuai


kebutuhan

Sering

Rute pemberian
nutrisi

Oral

Enteral +/parenteral

Enteral +/- parenteral

Rekomendasi energi
(kkal/kgBB/hari)

20-25

25-30

25-35

Sumber energy

Glukosa
( 3-5 g/kgBB/hari)

Glukosa
(3-5 g/kgBB/hari) +
lemak
(0,5-1 g/kgBB/hari)

Glukosa
(3-5 g/kgBB/hari) +
lemak
(0,8-1,2 g/kgBB/hari)

Kebutuhan protein /
asam amino
(g/kgBB/hari)

0,6-1 EAA (+NEAA)

0,8-1,2 EAA
(+NEAA)

1,0-1,5 EAA
(+NEAA)

Pemberian nutrisi

Makanan

Formula enteral
Glukosa 50-70%,
Lemak 10-20% ,
AA 6,5-10%,
Mikronutrien

Formula enteral
Glukosa 50-70%,
Lemak 10-20% ,
AA 6,5-10%,
Mikronutrien

Terapi khusus
Bila AKI sudah terjadi diperlukan pengobatan khusus, umumnya dalam ruang lingkup
perawatan intensif sebab beberapa penyakit primernya yang berat seperti sepsis, gagal jantung,
dan usia lanjut, dianjurkan untuk inisiasi dialisis. Dialisis bermanfaat untuk koreksi akibat
metabolik dari AKI. Dengan dialisis dapat diberikan cairan/nutrisi dan obat-obat lain yang
diperlukan seperti antibiotik. AKI post-renal memerlukan tindakan cepat bersama dengan ahli

25

urologi misalnya pembuatan nefrostomi, mengatasi infeksi saluran kemih, dan menghilangkan
sumbatan yang dapat disebabkan oleh batu, striktur uretra atau pembesaran prostat.
Dialisis berfungsi untuk menunjang fungsi ginjal sampai terjadi perbaikan atau
pemulihan ginjal. Indikasi mutlak untuk dialisis mecakup gejala atau tanda sindrom uremik dan
penatalaksanaan hipervolemia, hiperkalemia, atau asidosis yang refrakter. Hemodialisis
tampaknya agak lebih efektif daripada dialisis peritoneal dalam penanganan AKI. Dialisis
peritoneal mungkin bermanfaat jika tidak tersedia hemodialisis atau jika akses vaskular tidak
mungkin diperoleh. Namun dialisis peritoneal berkaitan dengan peningkatan kehilangan protein
dan dikontraindikasikan bagi pasien yang baru menjalani bedah abdomen atau yang sedang
terinfeksi. Akses dialisis peritoneal memerlukan pemasangan suatu kateter bermanset ke dalam
rongga peritoneal. Akses vaskular untuk hemodialisis mengharuskan insersi suatu kateter
hemodialisis lumen ganda temporer ke dalam vena jugularis interna atau femoralis. Insersi ke
dalam vena subklavia umumnya dihindari karena risiko stenosis subklavia. Hemodialisis dapat
dilakukan dalam bentuk intermiten (biasanya dilakukan 3-4 jam per hari, tiga sampai 4 kali
seminggu), dialisis lambat efisiensi rendah (dilakukan selama 6-12 jam per hari, tiga sampai
enam kali seminggu), atau continuous renal replacement therapy (CRRT). CRRT terutama
bermanfaat pada pasien yang gagal berespons dengan terapi intermiten atau tidak dapat
menoleransi hemodialisis intermiten karena instabilitas hemodinamiknya merupakan suatu
pertimbangan utama, hemodialisis lambat efisiensi rendah (slow low-efficiency hemodialysis,
SLED), suatu cara baru dialisis, adalah alternatif yang baik untuk CRRT.3,8,9
Modalitas arteriovena kontinu memerlukan akses arteri dan vena. Tekanan pasien itu
sendiri yang menghasilkan ultrafiltrat plasma menembus membran dialisis biocompatible
berpori. Dengan dikembangkannya pompa peristaltik, modalitas arteriovena kini mulai
ditinggalkan karena penyulit yang berkaitan dengan kanulasi sebuah arteri besar dengan kateter
berkaliber besar. Pada continuous venovenous hemodialysis (CVVHD) dipasang pompa darah
yang menghasilkan tekanan ultrafiltrasi menembus membran dialisis. Pada continuous
venovenous hemofiltration (CVVH), komponen hemodialisis dihilangkan dan ultrafiltrat plasma
dikeluarkan menembus membran dialisis dan diganti oleh larutan kristaloid fisiologis. Pada
continuous venovenous hemodiafiltration (CVVHDF), kedua metode klirens ini digabungkan.
Kebanyakan data hingga saat ini menunjukkan dialisis kontinu dan intermiten sama efektifnya
pada AKI.3,8,9
26

BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSA
3.1 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dapat berupa hyperkalemia, asidosis metabolic, kelebihan
cairan, hyponatremia, anemia, hiperfosfatemia, azotemia, infeksi, komplikasi jantung dan
malnutrisi.3,4,7-9
Hiperkalemia terjadi karena pada pasien dengan AKI, kadar kalium meningkat drastis,
terutama dengan adanya sel lisis seperti yang terjadi pada cedera otot, hemolisis, iskemia
gastointestinal, sindrom lisis tumor, demam tinggi, atau transfusi darah. Adanya asidosis
metabolik menyebabkan eksaserbasi hiperkalemia dengan meningkatkan efluks kalium dari sel.
Konsentrasi kalium serum dapat menurun sementara karena glukosa, insulin, bikarbonat, inhalasi
beta 2 agonis, dan resin pengikat kalium. Pasien dengan AKI lebih rentan terhadap efek samping
kardiotoksik hiperkalemia, tingkat serum kalium harus diturunkan ke tingkat nontoksik segera.3
Asidosis metabolik, tingkat keparahannya biasanya tidak dapat dijelaskan dengan tingkat
produksi normal 1mEq/kg/hari ion hidrogen. Pasien AKI sering dalam keadaan hiperkatabolik (demam,
trauma, sepsis) dan di samping itu asidosis laktat mungkin juga terjadi karena metabolisme anaerobik
(hipoperfusi). Asidosis metabolik dapat menyebabkan asidemia berat (pH <7.1) yang mungkin memiliki
inotropik negatif parah.3,4,7-9

Kelebihan cairan adalah masalah utama dari AKI yaitu oliguria (urin output <400
mL/hari) akibat kurangnya ekskresi garam dan air. Walaupun bentuk yang lebih ringan ditandai
oleh penambahan berat, ronki basah bibasilaris, peningkatan tekanan vena jugularis, dan edema
dependen, ekspansi volume yang berlanjut dengan memicu edema paru yang mengancam nyawa.
Pemberian berlebihan air bebas, baik melalui minum atau selang nasogastrik atau sebagai larutan
salin hipotonik atau dekstrosa isotonik, dapat memicu hipoosmolalitas dan hiponatremia yang,
jika parah, menyebabkan kelainan neurologik, termasuk kejang.3,4,7-9
Hiponatremia biasanya berhubungan dengan kelebihan cairan. Hiponatremia simptomatik harus
diatasi dengan agresif tetapi harus hati-hati karena koreksi cepat pada kadar natrium yang rendah dapat
menyebabkan central pontine myelinolysis jika durasi dari ketidakseimbangan elektrolit telah lebih dari
48 jam. Target perubahan dari natrium harus 1-2 mEq/L/jam sampai simptom teratasi atau sampai kadar
27

natrium 120 mEq/L. Hiperfosfatemia sering terjadi pada AKI, mekanisme utamanya adalah penurunan
ekskresi ginjal, destruksi jaringan, dan perpindahan dari intra ke ekstraselular. Jika pasien dapat
mengingesti makanan, hiperfosfatemia dapat diatasi dengan pengikat fosfat seperti kalsium karbonat,
kalsium asetat, sevelamer HCl atau lanthanum karbonat. Jika kalsium x fosfat produk meningkat (>70)
atau konsentrasi fosfat meningkat 5.5 mEq/L, pengikat non kalsium seperti sevelamer atau lanthanum
dapat diberikan.3,4,7-9
Anemia sering terjadi pada pasien AKI. Penyebab terseringnya berhubungan dengan produksi
yang inadekuat dari eritopoietin dan penurunan respons eritropoietin. Selain itu juga terdapat peningkatan
penghancuran sel darah merah sebagai hasil dari eritrosit yang rapuh. Lebih lanjut lagi pasien dengan AKI
mempunyai tendensi untuk berdarah dari berbagai tempat karena disfungsi platelet. Azotemia yaitu
peningkatan toksin uremik (azotemia) pada AKI menimbulkan berbagai kelainan, antara lain gangguan
saluran pencernaan (anoreksia, mual, muntah), gangguan kesadaran dengan derajat ringan sampai koma,
perikarditis, efusi perikard, tamponade kardiak, dan berbagai kelainan lain yang dapat mengancam
jiwa.3,4,7-9
Infeksi adalah faktor pencetus umum AKI dan juga komplikasi yang ditakuti dari AKI. Belum
jelas apakah pasien dengan AKI mengalami defek klinis signifikan pada respons imun pejamu atau
apakah tingginya insidens infeksi mencerminkan kerusakan berulang sawar mukokutan (misalnya karena
kanula intravena, ventilasi mekanis, kateterisasi kandung kemih). Komplikasi jantung yang utama pada
AKI adalah aritmia, perikarditis, dan efusi perikardial, serta edema paru. Sedangkan malnutrisi terjadi
pada AKI dengan keadaan hiperkatabolik yang parah, dan kekurangan gizi adalah komplikasi

utama. 3,4,7-9
Gagal Ginjal Kronis
Gagal ginjal kronis adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus- menerus.
Selain itu, pada individu yang rentan, nefropati analgesik, destruksi papila ginjal yang terkait
dengan pemakaian harian obat-obatan analgesik selama bertahun-tahun dapat menyebabkan
gagal ginjal kronis. Apa pun sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif yang
ditandai dengan penurunan GFR yang progresif.3,11
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan penimbunan
produk sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Samai fungsi ginjal
turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronis mungkin minimalkarena
nefron-nefron lain yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa
meningkatkan laju filtrasi, reabsopsi dan sekresinya serta mengalami hipertrofi dalam proses
28

tersebut. Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, nefron yang tersisa menghadapi
tugas yang semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati.
Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang
ada untuk meningkatkan reabsopsi protein. Seiring dengan penyusutan nefron, terjadi
pembentukan jaringan parut dan penurunan aliran darah ginjal. Pelepasan renin dapat meningkat
dan bersama dengan kelebihan beban cairan, dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi
mempercepat gagal ginjal, mungkin dengan meningkatkan filtrasi (karena tuntutan untu
reabsopsi protein plasma dan menimbulkan stres oksidatif).3,7-9,11
Kegagalan ginjal membentuk eritropoetin dalam jumlah yang adekuat seringkali
menimbulkan anemia dan keletihan akibat anemia berpengaruh buruk pada kualitasa hidup.
Selain itu, anemia kronis menyebabkan penurunan oksigenasi jaringan diseluruh tubuh dan
mengaktifkan refleks-refleks yang ditujukan untuk meningkatkan curah jantung guna
memperbaiki oksigenasi. Refleks ini mencakup aktivasi susunan saraf simpatis dan peningkatan
curah jantung. Perubahan tersebut merangsang individu yang menderita gagal ginjal mengalami
gagal jantung kongestif sehingga penyakit ginjal kronis menjadi faktor resiko yang terkait
dengan penyakit jantung.3,7-9,11
Stadium penyakit adalah sebagai berikut:3,11

Stadium 1 : kerusakan ginjal (kelainan atau gejala dari patologi kerusakan, mencakup
kelainan dalam pemeriksaan darah atau urine atau dalam pemeriksaan pencitraan) dengan
laju filtrasi glomerulus (GFR) normal atau hampir normal, tepat atau di atas 90 ml/menit

(75% dari nilai normal).


Stadium 2 : laju filtrasi glomerulus antara 60-89ml/menit (kira-kira 50% dari nilai
normal), dengan tanda-tanda kerusakan ginjal. Stadium ini dianggap sebagai salah satu
tanda penurunan cadangan ginjal. Nefron yang tersisa dengan sendirinya sangat rentan
mengalami kegagalan fungsi saat terjadi kelebihan beban. Gangguan ginjal lainnya

mempercepat penurunan ginjal.


Stadium 3 : laju filtrasi glomerulus antara 30-59 ml/menit (25-50% nilai normal).
Insufisiensi ginjal dianggap terjadi pada stadium ini. Nefron terus menerus mengalami

kematian.
Stadium 4 : laju filtrasi glomerulus antara 15-29 ml/menit(12-24% dari nilai normal)
dengan hanya sedikit nefron yang tersisa.
29

Stadium 5 : gagal ginjal stadium lanjut; laju filtrasi glomerulus kurang dari 15 ml/menit
(<12% dari nilai normal). Nefron masih berfungsi hanya beberapa. Terbentuk jaringan
parut dan atrofi tubulus ginjal.

Gambaran klinis :3,11

Pada gagal ginjal stadium 1, tidak tampak gejala klinis.

Seiring dengan perburukan penyakit, penurunan pembentukan eritropoietin menyebabkan


keletihan kronis dan muncul tanda-tanda awal hipoksia jaringan dan gangguan
kardiovaskular.

Dapat timbul poliuria (peningkaan pengeluaran urin) karena ginjal tidak mampu
memekatkan urin seiring perburukan penyakit.

Pada gagal ginjal stadium akhir, pengeluraran urin turun akibat GFR rendah.

3.2Prognosa
Prognosis dari GGA tergantung dari beberapa factor yaitu penyakit dasar, komplikasi,
oliguri lebih dari 24 jam, usia > 50 tahun, diagnosis dan pengobatan terlambat. Prognosis AKI
akan buruk bila adanya infeksi sekunder disertai sepsis, disertai gagal multi organ, usia >50
tahun disertai penyakit kardiovaskular, program dialisis profilaksis terlambat.2,3,5,9
Angka kematian pasien rawat inap pada pasien dengan GGA berkisar dari 20-50% atau
lebih, bergantung pada penyakit yang mendasari, dan baru sedikit berkurang selama 5 tahun
terakhir. Sebagian besar pasien yang bertahan hidup setelah mengalami satu serangan GGA akan
pulih fungsi ginjalnya secara memadai sehingga tidak memerlukan dialisis, meskipun sebagian
(sekitar 10-20%) memerlukan dialisis mainrenance.2,3,5,9
Etiologi umum GGA akan bervariasi, bergantung pada ketersediaan pelayanan kesehatan
di suatu negara. Pada umumnya kausa tersering GGA yang diperoleh di masyarakat adalah
azotemia prerenal. Namun, di negara-negara dengan sistem pelayanan kesehatan yang belum
berkembang, etiologi infeksi masih mendominasi. Di negara maju, GGA iskemik/nefrotoksik
atau paskaoperasi lebih sering ditemukan. Secara ad vitam dubia ad bonam, ad fungsionam dubia
ad malam dan secara sanationam dubia ad malam.2,3,5,9
BAB IV
30

PENCEGAHAN
AKI dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya penggunaan zat kontras yang dapat
menyebabkan nefropati kontras. Pencegahan nefropati akibat zat kontras adalah menjaga hidrasi
yang baik, pemakaian N-asetyl cysteine serta pemakaian furosemide pada penyakit tropic perlu
diwaspadai kemungkinan AKI pada gastroenteritis akut, malaria, dan demam berdarah.
Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan eksresi asam urat yang tinggi sehingga menyebabkan
AKI. Pencegahan dapat mulai dipikirkan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi kemungkinan
terjadinya AKI yaitu pada usia lebih dari 75 tahun, ada riwayat GGK, gagal jantung, adanya
diabetes mellitus, gagal hati, dan yang terpapar kontras atau yang akan menjalani operasi
jantung, yang dapat dilihat pada Tabel 6. di bawah ini.7-9

Tabel 2. Strategi pencegahan pada pasien berisiko tinggi AKI.9

BAB V

31

PENUTUP

Acute kidney injury (AKI) merupakan salah satu sindromdalam bidang nefrologi dengan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. AKI didefinisikan sebagai penurunan cepat laju filtrasi
glomerulus yang terjadi secara mendadak dalam hitungan jam sampai hari atau minggu.
Diagnosis AKI ditegakkan berdasarkan klasifikasi RIFLE/AKIN, dengan bantuan uji fungsi
ginjal melalui ureum dan kreatinin serum yang selain menggambarkan berat penyakit juga dapat
menggambarkan prognosis kematian dan prognosis kebutuhan terapi pengganti ginjal. Diagnosis
diniyang meliputi diagnosis etiologi, tahap penyakit, dankomplikasi AKI mutlak diperlukan.
Etiologi AKI dibagi menjadi pre-renal, renal dan post-renal, pada negara tropis kebanyakan AKI
terjadi karena infeksi terutama malaria. Tata laksana AKI bersifat suportif mencakup upaya tata
laksana etiologi, pencegahan penurunan fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan nutrisi,
sertatata laksana komplikasi. Tujuan tatalaksana AKI adalah mengupayakan fungsi AKI dapat
kembali normal karena AKI masih bersifat reversible dan sedapat mungkin meminimalisir
kemungkinan komplikasi menjadi gagal ginjal kronik.

32

DAFTAR PUSTAKA
1. Yang L. Acute kidney injury in Asia. Kidney disease.2016;2:96-102.
2. Corwin EJ. Sistem genitourinarius. Buku Saku Patofisiologi. Ed.3. Jakarta : EGC; 2009. H.
725-31.
3. Markum HMS. Gangguan ginjal akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Ed.5.
Jakarta : Interna Publishing; 2009. H. 1041-9.
4. Wilson LM. Gagal ginjal akut. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Vol.2.
ed.6. Jakarta : EGC; 2005. H. 992-1004.
5. Gleadle J. Gagal ginjal. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga;
2006. H.18-21,146-7.
6. Swartz MH. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta : EGC; 2004. H. 242-4.
7. Waikar SS, Bonventre JV. Acute kidney injury. In: Kasper D, Hauser S, Fauci A, et all,
editors. Harrisons principles of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw-Hill
Education; 2015.p.1799-810.
8. Sinto R, Nainggolan G. Acute Kidney Injury : Pendekatan Klinis dan Tata Laksana. Maj
Kedokt Indon. Vol.60. no.2. Februari 2010. H. 81-8.
9. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC, 2009.h.35.
10. Liu KD, Chertow GM. Acute Kidney Injury. In: Jameson JL, Loascalzo L, editors. Harrison
nefrology and acid base balance disorders. Jakarta: Erlangga; 2006.p.129-33.
11. Yaqub MS, Molitoris B. Acute renal failure. In:Lerma E, Berns J, Nissenson A, editors.
Current diagnosis and treatment nephrology and hypertension. New York: McGraw-Hill
Education; 2009.p.89-98.

33

Anda mungkin juga menyukai