Isi 18jan2017 (Recovered)
Isi 18jan2017 (Recovered)
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pelajaran matematika selalu diajarkan di jenjang pendidikan dan di setiap tingkat
kelas sesuai Kurikulum 2013 (K-13) yang berlaku dalam Sistem Pendidikan Indonesia
dengan proporsi waktu yang setara dengan pelajaran yang di-UN-kan bahkan jauh lebih
banyak dibandingkan mata pelajaran lainnya (Depdiknas, 2006) yang bertujuan agar
terdapat keserasian antara pembelajaran yang menekankan pada keterampilan
menyelesaikan pemecahan masalah serta komunikasi matematis siswa. Kemampuan
komunikasi matematis siswa yang baik akan berperan membantu siswa untuk mengubah
ide yang abstrak menjadi ide yang nyata dalam upaya mengembangkan dan
mengoptimalkan pemecahan masalah siswa.
Hulukati (dikutip Qohar, 2009) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi
matematis merupakan syarat untuk memecahkan masalah, artinya jika siswa tidak dapat
berkomunikasi dengan baik memaknai permasalahan, memaknai konsep matematika
maka ia tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Berkaitan dengan hal
tersebut, menurut Pugalee (dikutip Qohar, 2009) agar siswa bisa terlatih kemampuan
komunikasi matematisnya, maka dalam pembelajaran siswa perlu dibiasakan untuk
memberikan argumen atas setiap jawabannya serta memberikan tanggapan atas jawaban
yang diberikan oleh orang lain, sehingga apa yang sedang dipelajari menjadi lebih
bermakna baginya. Potensi siswa harus dikembangkan secara optimal melalui
kemampuan komunikasi matematis yang merupakan bagian dari kemampuan berpikir
matematika tingkat tinggi. Oleh karena itu, pembelajaran harus menjadi lingkungan yang
dapat melibatkan siswa secara aktif dalam banyak kegiatan matematika yang bermanfaat.
Komunikasi memiliki peranan penting dalam membina pengetahuan matematika siswa.
Dapat diwujudkan melalui interaksi komunikasi di kalangan sesama siswa baik secara
individu maupun berkelompok, guru dengan siswa, serta guru dan siswa melalui bahan
ajar yang telah dipersiapkan dalam proses pembelajaran matematika. Komunikasi dalam
matematika merupakan suatu cara untuk berbagi gagasan dan memperjelas pemahaman.
Melalui komunikasi, gagasan dapat digambarkan, diperbaiki, didiskusikan, dan
dikembangkan. Baroody (dikutip Prayitno, 2013) menyatakan kemampuan komunikasi
merupakan salah satu aspek penting agar siswa mempunyai kemampuan pemecahan
masalah matematika.
Sebagaimana dinyatakan dalam NCTM (2000) disebutkan bahwa standar kemampuan
yang seharusnya dikuasai oleh siswa adalah sebagai berikut.
1. Mengorganisasi
dan
mengkonsolidasi
pemikiran
matematika
dan
mengilustrasikan
sebuah
konsep
atau
materi
tertentu
sehingga
dapat
matematis siswa. Hal ini didukung oleh penelitian beberapa orang seperti Hendriana
(2009) menyatakan bahwa komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan metaphorical thinking lebih baik daripada yang menggunakan
cara konvensional, dimana kemampuan
pembelajaran
matematika
melalui
penelitian
yang
berjudul
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat
b.
1.3
Pembatasan Masalah
Masalah yang diangkat pada penelitian ini dibatasi pada desain pembelajaran
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi dan pembatasan masalah yang telah
dipaparkan, maka dapat dirumuskan permasalahan yang dipandang perlu dalam penelitian
ini sebagai berikut. Bagaimana desain pembelajaran matematika berpendekatan
metaphorical thinking untuk meningkatkan pemecahan masalah dan komunikasi
matematis siswa?
1.5.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan teori pembelajaran lokal
Manfaat Penelitian
Dari pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat diperoleh beberapa manfaat
sebagai berikut.
1. Bagi Siswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu siswa dalam belajar matematika
pada materi trigonometri dengan menggunakan buku siswa sebagai serangkaian
instrumen trajektori pembelajaran yang dihasilkan diharapkan dapat membantu
siswa untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki siswa, membuat belajar
matematika begitu menyenangkan dari penggunaan metafora-metafora dan
terbentuknya pengkontruksian pengetahuan dari diri siswa.
2. Bagi Guru
Pengembangan pembelajaran berupa RPP dan buku petunjuk guru dapat
digunakan guru sebagai salah satu alternatif
pembelajaran matematika
memberikan
masukan
dan
sumbangan
pengalaman
tentang
pembelajaran berupa RPP, buku petunjuk guru, dan buku siswa, sehingga dapat
diharapkan membelajarkan siswa serta meningkatkan mutu pembelajaran di
sekolah.
4. Bagi LPTK, khususnya Universitas Pendidikan Ganesha
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pengabdian kepada
masyarakat, terutama mengenai Pendekatan Metaphorical Thinking.
1.7
Definisi Operasional
Untuk menghindari adanya kesalahan intepretasi terhadap beberapa istilah yang
digunakan dalam penelitian ini, maka dikemukakan beberapa penjelasan istilah penting
sebagai berikut.
1)
Model Pembelajaran
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang dapat
digunakan untuk mendesain pengajaran tatap muka di kelas atau tutorial,
menyusun perangkat pembelajaran, misalnya buku, film, program komputer, dan
kurikulum. Setiap model memandu guru untuk membantu siswa mencapai tujuan
pembelajaran. Model pembelajaran merupakan petunjuk bagi guru merencanakan
pembelajaran di kelas, mulai dari mempersiapkan perangkat pembelajaran,
memilih media dan alat bantu, sampai alat evaluasi yang mengarah pada usaha
mencapai tujuan pelajaran.
2) Metaphorical Thinking
Metaphorical thinking adalah suatu proses berpikir yang menggunakan
metafora-metafora atau analogi-analogi untuk memahami suatu konsep yang tepat
dalam mengilustrasikan sebuah konsep sehingga dapat mengoptimalkan
pemahaman mengenai konsep tersebut. Empat tahapan yang merupakan tahapan
metaphorical thinking, yaitu connection, discovery, invention, dan application
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir, karena itu matematika
sangat diperlukan baik untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari maupun
untuk menunjang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Offirston, 2014).
James dan James (dikutip Offirston, 2014) menyatakan bahwa matematika adalah
ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang
berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi kedalam
tiga bidang yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Namun dengan pengertian tersebut
pembagian yang jelas akan sangat sukar untuk dibuat, sebab cabang-cabang itu semakin
bercampur.
Menurut Ernest, matematika adalah pengetahuan yang dibangun (mathematical
knowledge is constructed) bukan ditemukan (discovered). Matematika sebagai ilmu
adalah matematika yang utuh dalam sistem maupun strukturnya yang deduktif
aksiomatik. Artinya kebenaran matematika didapatkan dengan menggunakan penalaran
deduktif kemudian disusun rangkaian kebenaran konsistensi yang menuju kepada
kesimpulan akhir. Filsafat matematika Ernest didasarkan pada asumsi bahwa kebenaran
matematika tidak pernah sama sekali pasti. Selanjutnya Ernest dalam Martin (2009)
menyatakan bahwa faktor paling penting dalam penerimaan masalah yang diusulkan dari
pengetahuan matematika adalah buktinya.
Johnson dan Rising (dikutip Offirston, 2014) menyatakan bahwa matematika itu
adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, dan pembuktian yang logis, matematika itu
bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat,
refresentasinya dengan simbol dan padat, lebih daripada bahasa simbol mengenai ide
daripada mengenai bunyi. Dengan demikian jelaslah bahwa matematika merupakan
pelajaran yang membutuhkan kompetensi yang memadai dalam mengajarkannya.
Matematika melatih pola pikir manusia agar senantiasa berpikir logis, sistematis, cermat,
dan cerdas. Seorang guru matematika diharapkan dapat menyampaikan atau menciptakan
pembelajaran yang menarik, penuh dengan inspirasi, inovatif, kreatif, dan bermakna
sehingga matematika dapat dipahami dengan mudah disertai kesan yang positif dari para
siswanya.
Menurut Suherman (dikutip Jihad, 2013) pembelajaran merupakan suatu proses
yang terdiri dari kombinasi dua aspek, yaitu : belajar tertuju pada apa yang harus
dilakukan oleh siswa, mengajar berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru
sebagai pemberi pelajaran. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi
suatu kegiatan saat terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan
siswa disaat pembelajaran sedang berlangsung. Dengan kata lain, pembelajaran pada
hakikatnya merupakan proses komunikasi antara peserta didik dengan pendidik serta
antar peserta didik dalam rangka perubahan sikap.
Dalam proses pembelajaran, baik guru maupun siswa bersama-sama menjadi
pelaku terlaksananya tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran ini akan mencapai hasil
yang maksimal apabila pembelajaran berjalan efektif. Menurut Wragg (dikutip Jihad,
2013), pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang memudahkan siswa untuk
mempelajari sesuatu yang bermanfaat seperti fakta, keterampilan, nilai, konsep, dan
bagaimana hidup serasi dengan sesama, atau suatu hasil belajar yang diinginkan.
Dari uraian di atas terlihat bahwa proses pembelajaran bukan sekedar transfer ilmu
dari guru kepada siswa, melainkan suatu proses kegiatan, yaitu terjadi interaksi antara
guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa. Pembelajaran hendaknya tidak
menganut paradigma transfer of knowledge, yang mengandung makna bahwa siswa
merupakan objek dari belajar. Tapi upaya untuk membelajarkan siswa. Ditandai dengan
kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil
pembelajaran yang diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode ini
didasarkan pada kondisi pembelajaran yang ada. Dalam hal ini istilah pembelajaran
memiliki hakekat perencanaan atau perancangan (disain) sebagai upaya untuk
membelajarkan siswa. Itulah sebabnya dalam belajar, siswa tidak berinteraksi dengan
guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi berinteraksi dengan keseluruhan sumber
belajar yang mungkin dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran agar siswa secara aktif
secara mental mengkonstruksi struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif
yang dimilikinya.
Maka pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang
dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat
meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan
mengkontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik
terhadap materi matematika (Susanto, 2013).
Pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang
mengandung dua jenis kegiatan yang tidak terpisahkan. Kegiatan tersebut adalah belajar
dan mengajar. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan
pada saat terjadi interaksi antara siswa dengan guru, antara siswa dengan siswa, dan
antara siswa dengan lingkungan di saat pembelajaran matematika sedang berlangsung.
Guru menempati posisi kunci dalam menciptakan suasana belajar yang kondusif
dan menyenangkan untuk mengarahkan siswa mencapai tujaun secara optimal, serta guru
harus mampu menempatkan dirinya secara dinamis dan fleksibel sebagai informan,
transformator, organizer, serta evaluator bagi terwujudnya kegiatan belajar siswa yang
dinamis dan inovatif. Sementara siswa memperoleh pengetahuannya tidak menerima
secara pasif, pengetahuan dibangun oleh siswa itu sendiri secara aktif. Sejalan dengan
pendapat Piaget bahwa pengetahuan diperoleh siswa dari suatu kegiatan yang dilakukan
siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Siswa tidak menerima pengetahuan
dari guru atau kurikulum secara pasif. Siswa mengaktifkan struktur kognitif dan
membangun struktur-struktur baru untuk mengakomodasi masukan-masukan pengetahuan
yang baru. Jadi, penyusunan pengetahuan yang terus-menerus menempatkan siswa
sebagai peserta yang aktif.
Dalam proses pembelajaran matematika, baik guru maupun siswa bersama-sama
menjadi pelaku terlaksananya tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran ini akan
mencapai hasil yang maksimal apabila pembelajaran berjalan secara efektif. Pembelajaran
yang efektif adalah pembelajaran yang mampu melibatkan seluruh siswa secara aktif.
Kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan segi hasil. Pertama, dari segi
proses, pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau sebagian
besar peserta didik terlihat secara aktif, baik fisik, mental maupun sosial dalam proses
pembelajaran, di samping menunjukkan semangat belajar yang tinggi, dan percaya diri
sendiri. Kedua, dari segi hasil, pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi perubahan
tingkah laku ke arah positif, dan tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
2.2
Effects). Dampak instruksional adalah hasil belajar yang dicapai atau yang berkaitan
langsung dengan materi pembelajaran, sementara dampak pengiring adalah hasil
belajar sampingan (iringan) yang dicapai sebagai akibat dari penggunaan model
pembelajaran tertentu.
Pada garis besarnya mengembangkan model pembelajaran melalui langkahlangkah sebagai berikut:
1. Menetapkan tujuan yang akan dicapai. Tujuan yang ditetapkan merupakan rincian
umum, baik tujuan individual maupun tujuan kelompok.
2. Menetapkan standar keberhasilan. standar keberhasilan meliputi standar kualitas.
3. Menetapkan sistem evaluasi. sistem evaluasi mencakup evaluasi proses dan evaluasi
hasil.
4. Menganalisis situasi dan kondisi yang terkait dengan tujuan yang akan dicapai.
Analisis
diaksentuasikan
pada
pengungkapan
faktor-faktor
penunjang
dan
nyata, guru dapat menggambarkan ke arah materi pelajaran yang diampunya akan
diarahkan, tujuan apa yang akan dicapai setelah proses koneksi telah dilakukan, dan
ke arah mana siswa diajak untuk berpikir dan memiliki pengalaman untuk merasakan
bahwa suatu pelajaran bermanfaat untuk dirinya.
3. Penciptaan (Invention), adalah produk dari daya pikir kreasi. Hal ini tidak akan
tercipta tanpa adanya suatu usaha. Secara umum, penemuan tumbuh dari suatu
kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan suatu proses dalam melakukan sesuatu
atau melakukan suatu komunikasi yang baru dan lebih efektif. Suatu penemuan
memerlukan suatu proses dari menghubungkan sesuatu dengan yang lain, dan juga
memerlukan pengamatan yang dapat menghasilkan suatu produk.
4. Aplikasi (Application), adalah aktivitas yang mengarah pada produk, yaitu hasil pikir
dan dapat juga dalam bentuk nyata.
Adapun setiap tahap dalam proses metaphorical thinking dihubungkan oleh proses
CREATE yang berarti Connect-Relate-Explore-Analyze-Transform-Experience.
Connect adalah menghubungkan dua atau hal-hal yang berbeda baik benda maupun ide,
relate adalah mengaitkan suatu perbedaan baik benda maupun ide untuk hal-hal yang
sudah kita ketahui atau kenal, dimulai mengamati kesamaannya, explore adalah menjajaki
aktifitas yang kita lakukan. Baik itu keseharian maupun pada kegiatan yang sifatnya
insidental. Penerapan metaphorical thinking di kelas bukan hanya di tingkat sekolah
melainkan tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan perguruan tinggi.
Pada penerapan metaphorical thinking di kelas, tahap-tahap yang harus dilalui
adalah sebagaimana tertera pada sebelumnya yang menjadi acuan saat melakukan
metaphorical thinking. Dimulai dari koneksi (connection), penemuan (discovery),
penciptaan (invention), dan penerapan (application).
Sebelum pelaksanaan metaphorical thinking di dalam kelas, langkah-langkah yang
metaphorical
thinking
dalam
pembelajaran
silabus
dapat
sama lain, temuan baru, penciptaan, dan aplikasim sehingga dapat menemukan atau
menciptakan hal baru.
Dengan pendekatan metaphorical thinking siswa menghubungkan sesuatu yang
tampak tak berkaitan untuk memperkaya pengalaman belajar serta meningkatkan
komunikasi antarteman.
2.4.
Pemecahan Masalah
Menurut Poyla (dalam Budayanti, 2008) definisi pemecahan masalah adalah
sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai tujuan yang tidak
dengan segera dapat dicapai. Poyla mengelompokkan masalah dalam matematika
menjadi dua kelompok. Pertama adalah masalah terkait dengan menemukan sesuatu yang
teoritis atau praktis, abstrak atau kongkrit. Kelompok kedua adalah masalah terkait
dengan membuktikan atau menunjukkan bahwa suatu pernyataan itu benar atau salah atau
tidak kedua-duanya. Masalah yang terkait dengan menemukan sesuatu lebih tepat
digunakan pada matematika yang sifatnya dasar sedangkan masalah yang terkait dengan
membuktikan lebih tepat digunakan pada matematika lanjut.
Pemecahan masalah seringkali merujuk pada pemodelan dan membutuhkan suatu
pemikiran yang produktif tentang situasi masalah (Lesh & Zawojewski dalam Wijaya
2012). Pemecahan masalah menuntut proses interpretasi situasi melalui pemodelan
matematika serta perlu menghubungkan berbagai konsep matematika. Pemecahan
masalah dipandang sebagai suatu keterampilan tingkat tinggi (high-level-skill) yang
merupakan jantung dari matematika (Halmos dalam Wijaya 2012).
Pembahasan tentang pemecahan masalah (problem solving) tidak bisa lepas dari
dua jenis, yaitu masalah rutin (routine problem) dan masalah tidak rutin (non-routine
problem). Masalah rutin (routine problem) adakah masalah yang cenderung melibatkan
hafalan serta pemahaman algoritma dan prosedur sehingga masalah rutin sering dianggap
sebagai level . rendah. Masalah rutin (routine problem) biasanya merujuk pada satu atau
dua tahap (one or two-step problem) yang hanya membutuhkan proses reproduksi (yaitu
mengulang suatu prosedur) dan menerapkan suatu konsep dan prosedur yang sudah pasti.
Sebaliknya, masalah tidak rutin dikategorikan sebagai soal level tinggi karena
membutuhkan penguasaan ide konseptual yang rumit dan tidak menitikberatkan pada
algoritma. Masalah tidak rutin (non-routine problem) membutuhkan pemikiran kreatif
dan produktif serta cara penyelesaian yang kompleks. Jika mengacu pada definisi
pemecahan masalah yang disampaikan oleh Kilpatrick, Swaford, & Findell dan Lesh &
Zawojewski maka bisa kita simpulkan bahwa masalah yang digunakan dalam kegiatan
pemecahan masalah adalah masalah yang tidak rutin. Hal ini juga sesuai dengan pendapat
Schoenfeld (dalam Wijaya 2012) yang mendefinisikan masalah (dalam pemecahan
masalah) sebagai suatu soal atau pertanyaan yang dihadapi oleh seseorang yang tidak
memiliki akses secara langsung ke solusi yang dibutuhkan. Yang dimaksud dengan akses
secara langsung adalah prosedur penyelesaian (atau bisa berupa rumus) yang sudah pasti.
Secara umum strategi pemecahan masalah yang sering digunakan adalah strategi
yang dikemukakan oleh Polya (1973). Menurut Poyla untuk mempermudah memahami
dan menyelesaikan suatu masalah, terlebih dahulu masalah tersebut disusun menjadi
masalah-masalah sederhana, lalu dianalisis (mencari semua kemungkinan langkahlangkah yang akan ditempuh), kemudian dilanjutkan dengan proses sintesis (memeriksa
kebenaran setiap langkah yang dilakukan). Pada tingkatan masalah tertentu, langkahlangkah Polya di atas dapat disederhanakan menjadi empat langkah yaitu memahami
masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana dan melihat kembali.
Berikut ini bagan yang dapat menjelaskan proses pemecahan masalah yang dikemukakan
oleh Poyla.
solusi maka pemecah masalah bisa kembali membuat rencana baru atau kembali ke tahap
memahami masalah. Jika masih mengalami kemacetan, pemecah masalah bisa
mengajukan masalah baru yang mungkin relevan atau menyerupai masalah tersebut.
Selanjutnya kita akan membahas langkah-langkah pemecahan masalah matematika yang
dikemukakan oleh Poyla, satu persatu sebagai berikut.
1. Memahami masalah
Pada langkah pertama ini, pemecah masalah harus dapat menentukan apa yang
diketahui dan apa yang ditanyakan. Untuk mempermudah pemecah masalah memahami
masalah dan memperoleh gambaran umum penyelesaiannya dapat dibuat catatan-catatan
penting dimana catatan-catatan tersebut bisa berupa gambar, diagram, tabel, grafik atau
yang lainnya. Dengan mengetahui apa yang diketahui dan ditanyakan maka proses
pemecahan masalah akan mempunyai arah yang jelas.
2. Merencanakan cara penyelesaian
Untuk dapat menyelesaikan masalah, pemecah masalah harus dapat menemukan
hubungan data dengan yang ditanyakan. Pemilihan teorema-teorema atau konsep-konsep
yang telah dipelajari, dikombinasikan sehingga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi itu. Jadi diperlukan aturan-aturan agar selama proses pemecahan
masalah berlangsung, dapat dipastikan tidak akan ada satupun alternatif yang terabaikan.
Untuk keperluan ini, bila perlu perlu pemecah masalah mengikuti langkah-langkah
berikut.
a. mengumpulkan data/informasi dengan mengaitkan persyaratan yang ditentukan
untuk analisis
b. jika diperlukan analisis informasi yang diperoleh dengan mengunakan analogi
masalah yang pernah diselesaikan
c. apabila ternyata macet, perlu dibantu melihat masalah tersebut dari sudut yang
berbeda.
Jika hubungan data dan yang ditanyakan sulit untuk dilihat secara langsung,
ikutilah langkah-langkah berikut.
a. Membuat sub masalah. Hal ini akan sangat berguna pada masalah yang kompleks.
b. Cobalah untuk mengenali sesuatu yang sudah dikenali, misalnya dengan
mengingat masalah yang mirip atau memiliki prinsip yang sama.
rencana,
penyelesaianpenyelesaian
masalah
yang
sudah
Sementara itu
antara lain :
a. mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan
unsur yang diperlukan.
b. merumuskan masalah matematika atau menyusun model matematika.
c. menerapkan pendekatan untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan
masalah baru) dalam atau luar matematika.
siswa. Oleh karena adanya hubungan antara bahasa dan matematika ini, maka Cooke
dan Buchholz (2005: 265) menyarankan agar guru mampu membuat suatu hubungan
antara matematika dan bahasa. Hubungan ini dapat membantu siswa mampu
mengekspresikan suatu masalah ke dalam masalah matematika, bahasa simbol atau
model matematika. Uraian tersebut memperjelas hubungan kemampuan komunikasi
matematis dengan kemampuan berbahasa. 1
Berdasarkan penjelasan tersebut maka indikator yang digunakan untuk melihat
kemampuan komunikasi matematis siswa antara lain:
1. Memahami gagasan matematis yang disajikan dalam tulisan atau lisan.
2. Mengungkapkan gagasan matematis secara tulisan atau lisan.
3. Menggunakan pendekatan bahasa matematika (notasi,istilah dan lambang)
untuk menyatakan informasi matematis.
4. Menggunakan representasi matematika (rumus, diagram, tabel, grafik, model)
untuk menyatakan informasi matematis.
5. Mengubah dan menafsirkan informasi matematis dalam representasi matematika
yang berbeda.
2.6.
2.6.1
Identitas Trigonometri
Identitas trigonometri adalah sebuah persamaan yang memuat fungsi trigonometri
dan bernilai benar untuk setiap nilai variabel pada daerah asal yang telah ditentukan
(Aksin, 2016). Beberapa identitas trigonometri di antaranya identitas kebalikan, identitas
perbandingan, dan identitas Pythagoras.
Sebelum siswa mempelajari identitas trigonometri, maka konsep perbandingan
trigonometri dapat ditekankan melalui tahapan-tahapan metaphorical thinking sebagai
berikut.
1. Pada tahap koneksi (connection), siswa diajak membandingkan materi perbandingan
trigonometri segitiga siku-siku dengan variabel x, y, dan r dengan proses terjadinya
hujan.
Variabel y dinyatakan sebagai sisi tegak, variabel x sebagai sisi datar, dan
variabel r sebagai sisi miring, sama halnya variabel x dan y pada grafik cartesius
1
Kadir. 2010. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir sebagai Upaya Peningkatan kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis, Komunikasi Matematis, dan Keterampilan Sosial Siswa SMP. Bandung: PPS Universitas
Pendidikan Indonesia, (Online), (http://forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/Artikel%20Kadir-UNHALUOLEO.pdf, diakses
tanggal 11 Oktober 2016)
dimana sumbu tegak diwakilkan oleh variabel y dan sumbu datar sebagai variabel x
sedang kemiringan ditunjukkan sebagai hubungan antar koordinat titik yang terletak
pada sumbu x dan sumbu y. Berikut gambar segitiga siku-siku dengan sudut alpha (
sebagai sudut lancip.
r
y
penemuan
(discovery)
mengajak
siswa
memahami
rumus-rumus
perbandingan trigonometri pada segitiga siku-siku dengan konsep sin suatu sudut
diperoleh dari perbandingan sisi depan dan sisi miring, cos merupakan
perbandingan sisi samping dan sisi miring, dan tangen dari perbandingan sisi
depan dan samping dihubungkan dengan segitiga siku-siku pada tahap koneksi,
dihasilkan rumus
sin =
y
r
cos =
x
r
, dan
tan =
y
x . Selain itu ada
tiga rumus lain sebagai hasil kebalikan dari sin, cos dan tangen dari suatu sudut
seperti
cosec kebalikan dari
kebalikan dari
sin ,
cos ,
cotan
itu, siswa juga diajak mengetahui identitas perbandingan dari trigonometri sebagai
berikut.
y
y r sin
tan = = =
x x cos
r
x
x r cos
, cotan= y = y = sin .
r
cos cos .
pada
suatu
bentuk
trigonometri,
sin
cos
misalnya
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
adalah pada 13 Februari 9 April 2017 sedangkan subjek penelitiannya adalah siswa
kelas X. Pertimbangan pemilihan SMA Negeri 7 Denpasar sebagai subjek penelitian
didasarkan pada dua hal yaitu kelayakan dan keterjangkauan. Dari segi kelayakan,
dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
1. SMA Negeri 7 Denpasar merupakan salah satu SMA unggulan yang berada di
wilayah Kota Denpasar menjadi salah satu sekolah favorit di Denpasar karena
siswa-siswanya merupakan siswa-siswa pilihan baik dari jalur akademis maupun
non akademis berasal dari berbagai tamatan sekolah dasar negeri maupun swasta
dengan
berbeda satu sama lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka siswa-siswi SMA
Negeri 7 Denpasar dapat dikatakan sudah heterogen dari segi kemampuan
siswanya.
2. Jumlah siswa dalam kelas tidak lebih dari 40 yang merupakan jumlah yang cukup
ideal untuk dilakukan penelitian.
3. Guru-guru yang mengajar matematika di SMA Negeri 7 Denpasar bersedia untuk
bekerjasama dalam penelitian ini untuk menjalankan model pembelajaran
metaphorical thinking di kelas.
Sedangkan dari segi keterjangkauan, dipertimbangkan bahwa lokasi SMA Negeri
7 Denpasar masih berada dalam satu wilayah peneliti sehingga mempermudah peneliti
untuk mengadakan penelitian. Dalam penelitian ini, pelibatan siswa sebagai subjek yaitu
untuk mendapatkan data keefektifan pembelajaran yang dikembangkan, meliputi angket
komunikasi matematis, skor tes pemecahan masalah sebagai hasil pengerjaan siswa serta
respons mereka setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut. Sementara pelibatan
guru sebagai subjek yaitu untuk mendapatkan data kepraktisan penggunaan model
pembelajaran matematika melalui lembar pengamatan pelaksanaan pembelajaran yang
dilakukan oleh pengamat.
3.2
Jenis Penelitian
Adadua tipe Penelitian Desain yaitu studi validasi, dan studi pengembangan
(Plomp, 2010; 2013). Studi validasi mempunyai focus pada pendesainan trajektori
(lintasan) pembelajaran dengan tujuan untuk mengembangkan dan memvalidasi teoriteori tentang pembelajaran, serta bagaimana mendesain lingkungan belajar yang sesuai.
Teori yang dihasilkan melalui studi validasi dikenal dengan teori lokal. Menurut
Gravemeijer & Cobb (2006) teori-teori lokal pembelajaran ada 3 yaitu (Suharta, 2016),
1. Teori mikro, yaitu teori di level aktivitas pembelajaran.
2. Teori pembelajaran local, yaitu teori di level urut-urutan pembelajaran
3. Teori pembelajaran domain-spesifik, yaitu teori di level materi
Lebih lanjut dinyatakan bahwa fase-fase studi validasi adalah sebagai berikut.
1. Fase persiapan eksperimen, yaitu kegiatan mengelaborasi desain pembelajaran
awal
berdasarkan kerangka interpretatif ;
2. Fase eksperimen di kelas, yaitu kegiatan pengujian dan peningkatan desain
pembelajaran atau teori pembelajaran lokal
STUDI PENGEMBANGAN
Untuk menjawab masalah masalah pendidikan
Klaim
Teori pembelajaran
pengetahuan/
Output
ilmiah
domain spesifik
Pengembangan iteratif
dengan
evaluasi formatif dalam
setting
bervariasi
Intervensi implementasi
Tujuan
desain
Focus
kualitas
desain
Penegasan
metodologi
Kontribusi
Kepraktisan intervensi
KEEFEKTIFAN
Keefektifan
intervensi
Bukti-bukti
pengaruh
intervensi
pembelajaran
praktis
spesifik untuk kelas
khusus specific
classroom
Neeven at al (2006)
dalam
beberap konteks/ ruang kelas
perubahan
skala besar
Sesuai dengan uraian tersebut maka, studi validasi berorientasi pada teori
sedangkan
studi
pengembangan
berorientasi
pada
produk.
Sehingga
peneliti
Fase
Aktivitas
Preliminary research
Prototyping
(tahap prototipe)
Assessment (tahap
penilaian)
desain
yang
menyertainya.
Dalam
penelitian
desain
biasanya
membutuhkan beberapa siklus atau iterasi sebelum pemecahan untuk masalah yang
kompleks dicapai secara optimal. Setiap siklus penelitian desain atau iterasi memiliki
evaluasi formatif spesifik dengan pertanyaan penelitian yang spesifik.
Untuk membuat proses prototipe lebih sistematis dan efisien, dapat dilakukan
melalui dua hal. Pertama, seseorang dapat memulai dengan mengembangkan sebagian
kecil intervensi .Misalnya, intervensi untuk satu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) saja. Dengan mengevaluasi keterlaksanaan pembelajaran ini oleh guru dan peserta
didik, orang dapat belajar dan mengembangkan bagian berikutnya, akhirnya mengarah ke
versi final dari seluruh yang intervensi.
Kedua,
bisa
memecah
intervensi
ke
beberapa
komponen
dan
untuk
mengembangkan komponen ini secara terpisah. Misalnya, jika intervensi didasarkan pada
pembelajaran berbasis masalah, awalnya fokus pada mendefinisikan pembelajaran
berbasis masalah dan konsekuensinya untuk tujuan, kegiatan pelajar dan guru, dan
strategi penilaian yang perlu dimasukkan dalam kurikulum; dan pada akhirnya baru
mengacu pada format yang menjamin intervensi dapat digunakan untuk kelompok
target. . Sebagai contoh, dalam sebuah proyek matematika bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan memecahkan masalah siswa, dikembangkan kegiatan belajar mengajar yang
inovatif diarahkan untuk memecahkan masalah siswa tersebut. Selama evaluasi formatif
prototipe pertama ini, peneliti desain tertarik pada kualitas pembelajaran. Namun,
menjelang akhir studi, tata letak bahan mendapat perhatian khusus dalam rangka
meningkatkan kepraktisan keseluruhan bahan untuk peserta didik dan guru. Proses
prototiope selesai jika semua kelemahan dapat diminimalkan dan intervensi akhir dapat
disampaikan dan diimplementasikan.
Tahap penilaian, dilaksanakan pada akhir studi. Tahap ini sering kali disebut
evaluasi sumatif. Fungsi evaluasi sumatif adalah membuktikan. Evaluasi sumatif
dilakukan untuk mendapatkan bukti untuk efektivitas intervensi dan menemukan
argument yang mendukung keputusan untuk melanjutkan atau mengakhiri proyek. Tahap
ini bertujuan untuk menentukan efektivitas sebenarnya dari intervensi lengkap (yang
telah dihasilkan dari pengembangan atau fase prototipe). Fokusnya adalah pada sejauh
mana implementasi intervensi mengarah ke hasil yang diinginkan. Hasil-hasil yang
diinginkan terkait dengan hasil yang diharapkan dari penelitian ini. Sebelum masuk ke
tahap penilaian atau evaluasi sumatif, peneliti harus memberikan bukti yang meyakinkan
tentang kualitas intervensi sejauh ini, atas dasar evaluasi formatif yang dilakukan selama
tahap prototype.
Keputusan apakah melaksanakan atau tidak evaluasi sumatif juga tergantung pada
jenis dampak intervensi. Evaluasi sumatif memerlukan biaya, waktu yang relative tinggi.
Sebagai alternatif untuk perencanaan dan melakukan evaluasi sumatif, misalnya dengan
menggabungkan ke suatu program lain dengan beberapa studi kasus mendalam (berfokus
pada praktek mengajar terkait dengan program baru). Meskipun jenis evaluasi sumatif ini
tidak dapat mendeteksi hubungan sebab-akibat tetapi dapat memberikan informasi yang
bermanfaat terhadap efektivitas intervensi dalam cara yang hemat biaya .
3.3
desain
bertujuan
untuk
Selanjutnya, Drijvers (2003) membedakan siklus mikro dan makro dalam suatu iterasi.
Siklus mikro merujuk pada setiap pertemuan pada satu siklus yang dilakukan.
Sementara siklus makro ada satu keseluruhan siklus yang terdiri atas tiga tahapan.
Persiapan implementasi lapangan dan analisis retrospektif (Bakker & van Erde, 2015).
5. Mampu diaplikasi secara general, yang berarti desain yang dihasilkan hendaknya
dapat diimplementasikan pada kelas lain di luar kelas implementasi.
3.4
3.4.1
Desain Awal
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini menganalisis situasi dan permasalahan
yang terjadi pada pembelajaran matematika di sekolah. Hal-hal yang dilakukan dalam
fase ini adalah sebagai berikut.
1. Analisis Awal
Pada bagian ini dilakukan identifikasi masalah yang terdapat di sekolah tempat
tujuan penelitian terkait kesulitan yang dihadapi siswa SMA kelas X belajar
materi trigonometri.
2. Analisis Kurikulum
Pada bagian ini dilakukan telaah terhadap kurikulum yang berlaku disekolah.
Selain itu dilakukan pula wawancara kepada guru siswa untuk mengetahui
kegiatan pembelajaran matematika yang berlangsung di sekolah.
3. Analisis hasil penelitian sejenis yang relevan sebagai bahan pertimbangan dalam
penyusunan aktivitas pembelajaran.
4. Mendesain HLT dan perangkat pembelajaran berupa RPP, buku siswa dan buku
petunjuk guru.
5. Melakukan pengujian validitas dan instrumen yang digunakan, yang berupa buku
siswa dan petunjuk guru kepada ahli. Pengujian ini difokuskan pada validasi isi
dari instrumen yang disusun. Validitas isi merujuk pada kemampuan instrumen
untuk merepresentasi ruang lingkup kepentingan yang ingin dituju untuk
mengukur suatu fenomena (Wynd, Schmidt & Schafer, 2003). Ahli yang
memeriksa akan memberikan penilaian pada lembar validasi instrumen. Lembar
validasi ini terdiri atas beberapa butir pernyataan dan setiap pernyataan akan
diberikan skor dengan skala 1 sampai dengan 4. skor 1 diberikan apabila
deskriptor yang dimaksud dalam pernyataan sangat kurang, skor 2 apabila kurang,
skor 3 apabila baik dan skor 4 sangat baik.
6. Menganalisis hasil pengujian ahli dan mempertimbangkan saran-saran yang
diberikan untuk memperbaiki instrumen yang disusun. Analisis secara kuantitatif
untuk menentukan validitas konten dan reliabilitas instrumen yang disusun
dilakukan dengan tahapan berikut.
Pertama, untuk menentukan indeks validitas kontennya, analisis dilakukan dengan
dua tahap. Pertama, dicari indeks validitas konten untuk setiap item yang
divalidasi (I-CVI) dengan menggunakan perhitungan berikut.
n
I CVI= d
n
(Polit & Beck, 2006).
Keterangan:
nd
: Banyak ahli yang memberikan skor 3 atau 4
n
Lebih lanjut, Polit & Beck (2006) menyatakan sebagaimana yang direkomendasikan
oleh Lynn (1986) apabila ahli yang menilai kurang dari atau sama dengan lima
orang, maka I-CVI haruslah sama dengan 1.
Tahapan kedua adalah dengan mencari indeks validitas konten untuk skalah (I-CVI)
yang dimaksudkan untuk melihat proporsi item yang diberikan rating relevan atau
sangat relevan oleh kedua ahli. S-CVI dihitung dengan perhitungan berikut:
n
SCVI = 1
m
(Polit & Beck, 2006).
Keterangan:
n1
: Banyak item yang disepakati ahli
m
m0
m1
Total
n0
n1
SCVI =
Total
n1
m
(Polit & Beck, 2006)
Kedua, reliabilitas atau tingkat kesepakatan kedua ahli diuji dengan menggunakan
Statistik Kappa. Semakin mendekati 1 maka kesepakatannya semakin kuat dan berarti
simpulan yang nantinya diambil tidak melupakan hasil yang kebetulan (Viera & Garrett,
2005). untuk memudahkan perhitungan nilai Kappa, dapat dibuat Tabel 3.2 seperti
berikut.
Tabel 3.2 Tabel Kerja Perhitungan Nilai Kappa
Penilai II
Hasil
Ya
Tidak
Total
Penilai I
Hasil`
Ya
a
Tidak
b
Total
m1
m0
n1
n2
Kolom
dan
dan
pe =
( n1 m1 )
n
)(
+
( n0 m0 )
n
Nilai Kapaa yang diperoleh kemudian diintepretasikan sesuai dengan Tabel 3 berikut.
Tabel 3.3 Kriteria Klasifikasi Nilai Kappa
Kappa
0
Intepretasi Kesepakatan
Kebetulan
0.010.20
0.210.40
Sedikit
0.410.60
Cukup Sepakat
0.610.80
Sepakat
0.811.00
Sangat Sepakat
(diadaptasi dari Vierra & Garret, 2005)
3.4.2
Implementasi Lapangan
Implementasi lapangan dilakukan dengan pengajaran langsung ke siswa. Pada
tahap ini pengumpulan data dilakukan melalui pekerjaan siswa (LKS, pre- dan post-test),
observasi kegiatan diskusi kelompok/kelas, catatan lapangan dan rekaman video
sepanjang kegiatan pembelajaran maupun ketika mewawancara siswa dan guru. Dalam
penelitian ini dilakukan tiga siklus implementasi lapangan.
a. Siklus I
Siklus pertama dari implementasi lapangan ini dilakukan sebagai bentuk pilot
studi yang bertujuan untuk melihat respons siswa terhadap pembelajaran yang dirancang.
Siklus ini dimulai dengan pre-test yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan awal
yang sudah dimiliki siswa. Hasil dari pre-test ini akan digunakan untuk mengecek apakah
rencana pembelajaran yang disusun sesuai dengan kondisi siswa. Setelah itu barulah
proses belajar mengajar dilakukan. Peneliti akan langsung bertindak sebagai guru dalam
siklus pertama ini. Adapun subjek yang dilibatkan adalah kelompok kecil yang terdiri atas
empat orang siswa. Siklus ini akan ditutup dengan post-test yang bertujuan untuk melihat
perkembangan
siswa
stelah
mengikuti
pembelajaran
yang
dilakukan.
Setelah
tersebut secara detail, (5) mencari konfirmasi maupun kontradiksi yang mendukung
maupun yang menolak penafsiran terhadap momen krusial tersebut pada segmen lainnya,
serta (6) merefleksi hasil penelitian pendahuu untuk melihat kesamaan maupun
perbedaan yang muncul.
Hasil analisis dari implementasi lapangan Siklus I digunakan untuk merevisi HLT
yang akan digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan implementasi lapangan
Siklus II. Adapun hasil analisis dari Siklus II digunakan untuk merevisi HLT yang akan
digunakan untuk merevisi HLT yang kemudian digunakan untuk merumuskan gambaran
tentang bagaimana proses pembelajaran yang terjadi pada siswa dan untuk mengecek
kesesuaian antara prediksi dan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Lebih lanjut, data pre- dan post-test diperiksa berdasarkan argumen yang
diberikan siswa untuk menjawab setiap masalah yang diberikan. Data dari wawancara
dengan siswa digunakan untuk mengkonfirmasi intepretasi peneliti terhadap pekerjaan
tertulis siswa.
Hasil pre-test digunakan untuk melihat apakah awal mula pembelajran yang
dirancang sudah tepat. Adapun hasil pos-test utamanya digunakan untuk merfleksikan
pola pikir siswa terhadap masalah sejenis yang digunakan selama pembelajaran. Hasil
dari pre- dan post-test ini juga dibandingkan secara kualitatif, untuk dapat menjelaskan
bagaimana suatu desain pembelajaran dan perangkatnya dapat digunakan untuk
mendukng perkembangan prestasi belajar siswa.
Analisis kualitatif dipilih sebagai metode dalam penelitian ini karena tujuan dari
studi ini tidak hanya melihat seberapa besar perbedaan skor yang diperoleh siswa dalam
pre dan post-test, tapi juga untuk melihat agaimana siswa belajar pada saat implementasi
lapangan serta bagaimana hasil pembelajaran tersebut apabila diujikan pada soal sejenis
maupun dengan tingkatan lain yang lebih tinggi.
3.1 Validitas dan Reliabilitas
Untuk meningkatkan kualitas penelitian ini, aspek validitas dan reliabilitas selama
proses pengumpulan maupun analisis data sangat diperhatikan. Validitas mengacu pada
keakuratan peneliti dalam mengukur apa yang ingin diukur, sementara reliabilitas fokus
pada tingkat kepercayaan terhadap peneliti (Denscombe, 2010). Untuk menjamin
validitas dan reliabilitas selama proses pengumpulan maupun analisis data, dalam
penelitian ini diberlakukan hal-hal berikut.
3.5.1
data prestasi belajar dan kemandirian belajar siswa. Cara ini digunakan untuk
meningkatkan validitas internal daru penelitian ini. Jenis metode yang digunakan adalah
dengan menggunakan catatan lapangan dan video registrasi pada kelas observasi,
wawancara dengan siswa, serta mengumpulkan lembar pekerjaan siswa. Untuk
meningkatkan reliabilitas internal dari penelitian ini, digunakan perangkat elektronik
seperti halnya alat perekam video maupun audio.
3.5.2
Validitas dan Reliabilitas dalam Analisis Data
Validitas dan reliabilitas bukan hanya isu penting pada pengumpulan data,
melainkan memainkan peran penting pada analisis data. Seperti yang dideskripsikan oleh
Bakker & van Erde (2013), peneliti ingin menganalisis data dengan cara yang reliabel
dan menarik simpulan yang valid.
a. Validitas Internal
Validitas internal mengacu pada tingkat kepercayaan (trustwothiness) dari suatu
hasil (Frambach, van den Vleuten & Durning, 2013). Untuk meningkatkan
valditas internal dari penellitian ini, beberapa strategi dilakukan, yaitu: (1)
menggunakan metode triangulasi, (2) menguji kecocokan data antara HLT dan
kegiatan pembelajaran yang sebenarnya terjadi dan (3) mencari kemungkinan
adanya counterexamples selama tahap penilaian untuk menguji prediksi yang
dibuat.
b. Validitas Eksternal
Validitas eksternalmerupakan kemampuan hasil studi ini digeneralisasi pada
konteks lain (Bakker & van Erde, 2015). Pada penelitian ini, deskripsi yang detail
dan analisis keadaan partisipan dan situasi pembelajaran digunakan untuk
meningkatkan validitas eksternal.
c. Reliabilitas Internal
Reliabilitas internal merupakan tingkat independensi peneliti dalam melakukan
analisis (Bakker & van Erde, 2015). Untuk mewujudkan hal tersebut peneliti
mendiskusikan fragmen-fragmen penting dalam fase penilaian dengan dosen
pembimbing sebelum akhirnya menarik simpulan.
d. Reliabilitas Eksternal
Reliabilitas eksternal merujuk pada tingkat konfirmasi dari hasil studi (Frambach,
van den Vleuten & Durning, 2013), yang berarti simpulan yang diambil haruslah
sesuai dengan kondisi faktual yang terjadi di kelas dan terhindar dari bias peneliti.
Untuk meningkatkan reliablitias eksternal dari penelitian ini, data yang diperoleh
akan disajikan secara setransparan mungkin. Cara yang ditempuh adalah sebagai
berikut: (1) mendokumentasikan seluruh kegiatan pembelajaran, (2) menjelaskan
bagaimana pembelajaran terlaksana dan (3) menjelaskan bagaimana penarikan
simpulan dilakukan.
3.6
Peran HLT
HLT disusun dan berikutnya digunakan sebagai pedoman dalam
Implementasi
Lapangan
Analisis Retrospektif
observasi.
HLT digunakan sebagai pedoman dalam menganalisis dengan
membandingkan prediksi dengan kenyataan di kelas. Setelah
melakukan analisis menyeluruh, HLT akan direvisi dan
direformulasi untuk kemudian digunakan sebagai pedoman
Fase
Peran HLT
pada tahap rancangan berikutnya.
HLT disusun bersumber dari kajian literatur terhadap hasil penelitian pendahulu
pembelajaran
dengan
menggunakan
model
pembelajaran
matematika
Tabel 3.7 Ringkasan Hypothetical Learning Trajectory Berpendekatan Metaphorical Thinking Materi Trigonometri
Pertemuan
1
Tujuan
Aktivitas
Pembelajaran
Siswa
mampu
menjelaskan
Guru
membuka
dengan
bertanya
Dalam
materi
identitas
dasar
siswa
trigonometri
sebagai hubungan
identitas
dasar
antara
rasio
Guru
kepada
menggunakan
tahapan
segitiga
siku-siku,
lalu
guru
trigonometri dan
metaphorical
untuk
perannya
membuktikan
identitas
(connection),
siku-siku
trigonometri
membandingkan materi
lainnya.
dengan
siku-siku
tersebut.
tahap
penemuan,
rumus
siku-siku
dalam
proses
thinking
siswa
terjadinya
perbandingan
diajak
hujan,
trigonometri
untuk
untuk
diperoleh
Kemudian
siswa
memperoleh
Pertemuan
Tujuan
Aktivitas
Pembelajaran
pada
segitiga
siku-siku
dengan
segitiga
tahap
rumus
siku-siku
koneksi,
pada
dihasilkan
y
sin =
r
x
cos =
r
tan =
tahap
y
x , ketiga
penciptaan
(invention)
pythagoras
identitas
yang
merupakan
diturunkan
dari
Pertemuan
Tujuan
Aktivitas
Pembelajaran
teorema
pythagoras,
dan
tahap
nyata
dan
pada
trigonometri
materi
dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
Aksin, N., Astuti, A.Y., & Suparno. (2016). PG PR Matematika Kelas X Semester 2.
Klaten:PT. Intan Pariwara.
BSNP. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta : Depdikbud.
Budhayanti, C.I.K & Simanullang, B.(2008). Pemecahan Masalah Matematika. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Bakker, A., & Van Erde, H. A. (2015). An introduction to design-based research with an
example from statistics education. In A Bikner-Ahsbahs, C. Knipping & N.
Presmeg (Eds), Aprroaches to Qualitative Research in Mathematics Education
(pp. 429-466). New York: Springer. doi10.10007/978-94-017-9181-6_16.
Carreira, S. (2001). Where Theres a Model, Theres a Metaphor: Metaphorical Thinking
in Students Understanding of a Mathematical Model. An International Journal
Mathematical Thinking and Learning. 3(4), 261-287.
Daryanto & Tasrial. (2012). Konsep Pembelajaran Kreatif. Yogyakarta: Gaya Media.
Drijvers, P. (2003). Learning algebra in a computer algebra environment. (Doctoral
Disertation). Utrecht: CD-beta press.
Depdiknas. Standarisasi Sekolah Dasar dan Menengah, Permendiknas No.22 tahun
2006, (Online), (http://sdm.data.kemdikbud.go.id/SNP/dokumen/Permendiknas
%20No%2022%20Tahun%202006.pdf, diakses tanggal 28 Agustus 2016)
George Lakoff and Mark Johnsen (2003). Metaphors we live by. London: The university
of Chicago press.
Gravemeijer, K. (2004). Local instruction theories as means of support for teachers in
reform mathematic education. Mathematical Thinking and Learning, 6, 105128.
Hendriana. (2009). Pembelajaran dengan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi matematis serta
kepercayaan diri siswa. Disertasi, UPI Bandung:tidak diterbitkan, (Online),
(http://repository.upi.edu/8082, diakses tanggal 28 Agustus 2016)
Hidayah, Ika Nurlita.(2016). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika
Model Kooperatif Tipe Stad Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking Untuk
Melatihkan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa. Tesis, UIN Sunan
Ampel Surabaya:tidak diterbitkan, (Online),
(http://digilib.uinsby.ac.id/5111/ , diakses tanggal 28 Agustus 2016)
Hendriana, Heris. (2009). Pembelajaran Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking
Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi
Nuraeni, Yeni. (2013). Tidak Ada Murid Bodoh : Sukses Mengajar Ala Otak Kanan.
Jakarta : Bumen Pustaka Emas.
Nurhikmayati, Iik (2013) . Pembelajaran Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking
Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis
Siswa SMP. S2 thesis, Universitas Pendidikan Indonesia. , (Online),
(http://repository.upi.edu/4503/ ,diakses tanggal 11 Oktober 2016).
Poyla, G. 1973. How to Solve It. Princeton, NJ: Princeton University Press, (Online),
(https://notendur.hi.is/hei2/teaching/Polya_HowToSolveIt.pdf, diakses 23
Desember 2016)
Prayitno, S., Suwarsono, S. & Siswono, T.Y.E. (2013). Indentifikasi Indikator
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal
Sunito, I., Sukardjo, M., Masribi, Syukur, R., Latifah, U., Fakhruddin, M., Chudori, A.,
Komaruddin, U., & Syarif, Irnawati. (2013). Metaphorical Thinking :
Beberapa Strategi Berpikir Kreatif. Jakarta : PT. Indeks.
Sumarmo, U. 2010. Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana
Dikembangkan pada Peserta Didik. Artikel pada FPMIPA UPI bandung.
Tersedia (online) pada http://math.sps.upi.edu/?p=58. (Diakses pada tanggal 2
September 2016).
Suprojono. A. (2009). Model-Model Pembelajaran Emansipatoris. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Van den Akker, J., gravemeijer, K., McKenney, S., & Nieveen, N. (Eds). (2006).
Educational Desaign Research. London: Routledge.