Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Pelajaran matematika selalu diajarkan di jenjang pendidikan dan di setiap tingkat

kelas sesuai Kurikulum 2013 (K-13) yang berlaku dalam Sistem Pendidikan Indonesia
dengan proporsi waktu yang setara dengan pelajaran yang di-UN-kan bahkan jauh lebih
banyak dibandingkan mata pelajaran lainnya (Depdiknas, 2006) yang bertujuan agar
terdapat keserasian antara pembelajaran yang menekankan pada keterampilan
menyelesaikan pemecahan masalah serta komunikasi matematis siswa. Kemampuan
komunikasi matematis siswa yang baik akan berperan membantu siswa untuk mengubah
ide yang abstrak menjadi ide yang nyata dalam upaya mengembangkan dan
mengoptimalkan pemecahan masalah siswa.
Hulukati (dikutip Qohar, 2009) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi
matematis merupakan syarat untuk memecahkan masalah, artinya jika siswa tidak dapat
berkomunikasi dengan baik memaknai permasalahan, memaknai konsep matematika
maka ia tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Berkaitan dengan hal
tersebut, menurut Pugalee (dikutip Qohar, 2009) agar siswa bisa terlatih kemampuan
komunikasi matematisnya, maka dalam pembelajaran siswa perlu dibiasakan untuk
memberikan argumen atas setiap jawabannya serta memberikan tanggapan atas jawaban
yang diberikan oleh orang lain, sehingga apa yang sedang dipelajari menjadi lebih
bermakna baginya. Potensi siswa harus dikembangkan secara optimal melalui
kemampuan komunikasi matematis yang merupakan bagian dari kemampuan berpikir
matematika tingkat tinggi. Oleh karena itu, pembelajaran harus menjadi lingkungan yang
dapat melibatkan siswa secara aktif dalam banyak kegiatan matematika yang bermanfaat.
Komunikasi memiliki peranan penting dalam membina pengetahuan matematika siswa.
Dapat diwujudkan melalui interaksi komunikasi di kalangan sesama siswa baik secara
individu maupun berkelompok, guru dengan siswa, serta guru dan siswa melalui bahan
ajar yang telah dipersiapkan dalam proses pembelajaran matematika. Komunikasi dalam
matematika merupakan suatu cara untuk berbagi gagasan dan memperjelas pemahaman.
Melalui komunikasi, gagasan dapat digambarkan, diperbaiki, didiskusikan, dan
dikembangkan. Baroody (dikutip Prayitno, 2013) menyatakan kemampuan komunikasi

merupakan salah satu aspek penting agar siswa mempunyai kemampuan pemecahan
masalah matematika.
Sebagaimana dinyatakan dalam NCTM (2000) disebutkan bahwa standar kemampuan
yang seharusnya dikuasai oleh siswa adalah sebagai berikut.
1. Mengorganisasi

dan

mengkonsolidasi

pemikiran

matematika

dan

mengkomunikasikan kepada siswa lain


2. Mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren dan jelas kepada siswa lain,
guru, dan lainnya.
3. Meningkatkan atau memperluas pengetahuan matematika siswa dengan cara
memikirkan pemikiran dan strategi siswa lain.
4. Menggunakan bahasa matematika secara tepat dalam berbagai ekspresi
matematika.
Namun pada kenyataannya, hampir sebagian besar siswa mengalami kesulitan
mempelajari matematika sebab proses pembelajaran selama ini masih cenderung
teacher centered learning dengan menggunakan metode chalk and talk (ceramah dan
menulis di papan tulis.
Dalam proses pembelajaran guru cenderung prosedural yang hanya
menekankan pada kemampuan siswa menghafal cara menjawab soal yang diberikan
guru dan belum memberi kesempatan siswa untuk mengomunikasikan ide
matematikanya untuk pemecahan masalah. Terkadang siswa hampir tidak pernah
diberi kesempatan oleh guru untuk memahami secara rasional dibalik rumus-rumus
yang diberikan kepada mereka. Akibatnya, pengetahuan sifatnya hanya hafalan bukan
dengan pemahaman siswa. Akhirnya siswa tidak mengetahui manfaat materi yang
dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan, hasil penelitian menunjukkan
bahwa kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa masih
kurang baik. Menurut Shadiq (dikutip Prayitno, 2013) mendapati bahwa di beberapa
wilayah Indonesia yang berbeda, sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah dan menerjemahkan soal kehidupan
sehari-hari ke dalam model matematika.
Hal yang serupa juga ditemukan oleh Kadir (2010) dari hasil penelitian
pendahuluan menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi
matematika siswa pesisir masih rendah khususnya dalam menterjemahkan masalah ke
dalam model matematika. Demikian pula Izzati (2010) mendapatkan dimana hampir

semua siswa yang berpartisipasi dalam penelitian, belum memahami bagaimana


menyelesaikan masalah dan menggunakan bahasa matematik yang benar. Belum ada
yang menunjukan bahwa mereka memiliki kemampuan komunikasi matematik yang
baik/efektif, misalnya, menggunakan istilah, simbol, tanda, dan/atau representasi yang
tepat dan teliti, untuk menjelaskan operasi, konsep dan proses.
Ternyata dari hasil penelitian tersebut, siswa masih kesulitan memahami konsepkonsep dalam matematika karena konsep matematika masih bersifat abstrak kebanyakan
siswa kesulitan dalam menerima suatu materi pelajaran matematika jika dijelaskan secara
langsung sehingga berdampak pula terhadap rendahnya kemampuan komunikasi
matematisnya. Namun siswa akan mudah mengerti apa yang dipelajari apabila pelajaran
tersebut dekat dengan dunia anak/siswa. Oleh karena sangat bermanfaatnya kompetensi
kemampuan matematis siswa, maka perlu menggunakan salah satu pendekatan dalam
pembelajaran matematika untuk melatihkan kemampuan komunikasi matematis siswa
yaitu dengan menggunakan pendekatan metaphorical thinking yang merupakan suatu
proses berpikir dengan menggunakan metafora-metafora atau analogi-analogi yang tepat
dalam

mengilustrasikan

sebuah

konsep

atau

materi

tertentu

sehingga

dapat

mengoptimalkan pemahaman mengenai konsep atau materi tersebut. Dalam pendekatan


metaphorical thinking, guru memberikan masalah berupa metafora dari suatu konsep,
kemudian siswa mengidentifikasi konsep yang terdapat pada masalah tersebut dan
dijelaskan sesuai dengan pemahaman bahasa siswa sendiri tanpa kehilangan makna dari
konsep yang dimaksud.
Menurut George Lakoff dan Mark Johnson dalam Metaphors We Live By (1980),
metafora adalah pemahaman dan pengalaman mengenai sebuah hal melalui sesuatu hal
yang lain. Jadi seseorang memahami dan merasakan sesuatu yang baru melalui
pemahamannya atas hal lain yang telah ia kenal sebelumnya. Lebih lanjut, Lakoff dan
Johnson juga menyatakan bahwa pengalaman yang dialami setiap individu bersifat
kultural; budaya melatarbelakangi atau hadir pada setiap pengalaman manusia. Sebagai
konsekuensi akan hal itu, Lakoff dan Johnson memberi penekanan pada pernyataannya,
bahwa analisis terhadap metafora tidak hanya menyediakan pengertian/pemahaman
terhadap konstruksi budaya atas suatu realitas, karena pada dasarnya sistem konseptual
yang dimiliki manusia secara fundamental sudah metaforis.
Pendekatan metaphorical thinking telah berhasil meningkatkan kemampuan

matematis siswa. Hal ini didukung oleh penelitian beberapa orang seperti Hendriana
(2009) menyatakan bahwa komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan metaphorical thinking lebih baik daripada yang menggunakan
cara konvensional, dimana kemampuan

komunikasi matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking berada dalam


kualifikasi sedang dan yang memperoleh pembelajaran konvensional berada dalam
kualifikasi kurang. Demikian pula Sudrajat (2013) dengan pendekatan Metaphorical
Thinking BerbantuanKomputer(PMTBK) terjadi peningkatan kemampuan komunikasi
matematis siswa dan peningkatan motivasi belajar yang jauh lebih baik setelah
pembelajaran dengan PMTBK. Begitu pula Nurhikmayati (2013) bahwa terdapat
peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran
dengan pendekatan metaphorical thinking lebih baik daripada siswa yang mendapatkan
pembelajaran konvensional dan siswa menunjukkan sikap positif terhadap pelajaran
matematika dan pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking.
Dengan kata lain, melalui metaphorical thinking, siswa secara tidak langsung
diberi kesempatan berperan serta dalam pembelajaran dengan merangsang ide-ide atau
pemikiran-pemikiran siswa dalam menghubungkan konsep matematika yang abstrak
dengan fenomena nyata yang ada disekitar. Analoginya menggambarkan potensi otak,
dapat digunakan metafora sebagaimana sebuah kipas yang dapat dibentuk kecil
menyusut, namun dapat pula dikembangkan menjadi lebih lebar. Apa yang terjadi dengan
kipas juga terjadi pada otak. Hindari berpikir sempit, dan upayakan berpikir luas dan
dalam. Cara berpikir luas dan dalam terkait dengan kata-kata tertentu yang bermakna.
Ketika berpikir tentang kata tertentu, ada proses mengkaji dengan meningkatkan
pengalaman belajar, komunikasi, mencari hal yang baru berdasarkan hal yang lama
(Sunito, 2013).
Dengan kemampuan komunikasi yang baik merupakan kekuatan sentral bagi
siswa untuk menyelesaikan suatu masalah lebih cepat artinya jika siswa dapat
berkomunikasi dengan baik memaknai permasalahan maupun konsep matematika maka
ia dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan baik apalagi didukung dengan bahan
ajar yang dikembangkan guru yang dikemas secara inovatif dan memudahkan siswa
memahami materi pembelajaran matematika terutama dalam meningkatkan pemecahan
masalah dan komunikasi matematis siswa.

Dengan menggunakan berbagai media akan membantu siswa dalam memahami


konsep-konsep yang abstrak yang dapat disajikan dalam buku penunjang pembelajaran
matematika seperti buku siswa serta buku petunjuk guru yang memiliki peran sangat
penting dalam upaya meningkatkan pemecahan masalah dan komunikasi matematis
siswa. Diharapkan matematika lebih bermakna bagi kehidupan siswa dalam kehidupan
sehari-hari jika dikaitkan dengan konsep-konsep yang berbeda sesuai dengan
pembelajaran matematika.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dirasa sangat perlu
mengembangkan

pembelajaran

matematika

melalui

penelitian

yang

berjudul

Pengembangan Pembelajaran Matematika Berpendekatan Metaphorical Thinking Untuk


Meningkatkan Pemecahan Masalah dan Komunikasi matematis Siswa SMA.
1.2.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat

diketahui beberapa kendala yang mempengaruhi pemecahan masalah dan komunikasi


matematis siswa antara lain:
a.

Rendahnya pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa dalam


memahami konsep-konsep dalam matematika karena konsep matematika masih
bersifat abstrak kebanyakan siswa kesulitan dalam menerima suatu materi
pelajaran matematika jika dijelaskan secara langsung

b.

Belum adanya pembelajaran matematika yang melatih pemecahan masalah dan


komunikasi matematis siswa dengan menggunakan metafora-metafora agar
pembelajaran yang berlangsung lebih menyenangkan karena dibantu oleh analogianalogi yang dapat di sampaikan oleh guru. Semakin menarik analogi yang
disampaikan oleh guru tentunya ini akan berdampak pada perasaan senang siswa
belajar matematika.

1.3

Pembatasan Masalah
Masalah yang diangkat pada penelitian ini dibatasi pada desain pembelajaran

untuk materi trigonometri

sesuai dengan karakteristik pengembangan pembelajaran

matematika berpendekatan metaphorical thinking untuk meningkatkan pemecahan


masalah dan komunikasi matematis siswa SMA yang dalam hal ini dilaksanakan di kelas
X serta pengembangan produk berupa buku siswa dan buku petunjuk guru.
1.4

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi dan pembatasan masalah yang telah

dipaparkan, maka dapat dirumuskan permasalahan yang dipandang perlu dalam penelitian
ini sebagai berikut. Bagaimana desain pembelajaran matematika berpendekatan
metaphorical thinking untuk meningkatkan pemecahan masalah dan komunikasi
matematis siswa?
1.5.

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan teori pembelajaran lokal

berpendekatan metaphorical thinking untuk meningkatkan pemecahan masalah dan


komunikasi matematis siswa SMA serta menghasilkan produk berupa buku siswa dan
buku petunjuk guru.
1.6

Manfaat Penelitian
Dari pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat diperoleh beberapa manfaat

sebagai berikut.
1. Bagi Siswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu siswa dalam belajar matematika
pada materi trigonometri dengan menggunakan buku siswa sebagai serangkaian
instrumen trajektori pembelajaran yang dihasilkan diharapkan dapat membantu
siswa untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki siswa, membuat belajar
matematika begitu menyenangkan dari penggunaan metafora-metafora dan
terbentuknya pengkontruksian pengetahuan dari diri siswa.
2. Bagi Guru
Pengembangan pembelajaran berupa RPP dan buku petunjuk guru dapat
digunakan guru sebagai salah satu alternatif

pembelajaran matematika

berpendekatan metaphorical thinking yang inovatif dan teruji dapat diterapkan


kepada siswa dengan menekankan pada pengembangan kompetensi pemecahan
masalah dan komunikasi matematis.
3. Bagi Sekolah
Pengembangan pembelajaran matematika berpendekatan metaphorical thinking
diharapkan

memberikan

masukan

dan

sumbangan

pengalaman

tentang

pembelajaran berupa RPP, buku petunjuk guru, dan buku siswa, sehingga dapat
diharapkan membelajarkan siswa serta meningkatkan mutu pembelajaran di
sekolah.
4. Bagi LPTK, khususnya Universitas Pendidikan Ganesha
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pengabdian kepada
masyarakat, terutama mengenai Pendekatan Metaphorical Thinking.
1.7

Definisi Operasional
Untuk menghindari adanya kesalahan intepretasi terhadap beberapa istilah yang

digunakan dalam penelitian ini, maka dikemukakan beberapa penjelasan istilah penting
sebagai berikut.
1)

Model Pembelajaran
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang dapat
digunakan untuk mendesain pengajaran tatap muka di kelas atau tutorial,
menyusun perangkat pembelajaran, misalnya buku, film, program komputer, dan
kurikulum. Setiap model memandu guru untuk membantu siswa mencapai tujuan
pembelajaran. Model pembelajaran merupakan petunjuk bagi guru merencanakan
pembelajaran di kelas, mulai dari mempersiapkan perangkat pembelajaran,
memilih media dan alat bantu, sampai alat evaluasi yang mengarah pada usaha
mencapai tujuan pelajaran.

2) Metaphorical Thinking
Metaphorical thinking adalah suatu proses berpikir yang menggunakan
metafora-metafora atau analogi-analogi untuk memahami suatu konsep yang tepat
dalam mengilustrasikan sebuah konsep sehingga dapat mengoptimalkan
pemahaman mengenai konsep tersebut. Empat tahapan yang merupakan tahapan
metaphorical thinking, yaitu connection, discovery, invention, dan application

dengan proses Connect Relate Explore Analyze Transform - Experience


(CREATE) sebagai penghubungnya.
3) Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: (1) memahami masalah, (2) merencanakan cara penyelesaian, (3)
melaksanakan rencana, dan (4) melihat kembali.
4) Komunikasi matematis
Kemampuan komunikasi matematis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut: (1) memahami gagasan matematis yang disajikan dalam
tulisan atau lisan, (2) mengungkapkan gagasan matematis secara tulisan atau
lisan, (3) menggunakan

pendekatan bahasa matematika (notasi,istilah dan

lambang) untuk menyatakan informasi matematis, (4) menggunakan representasi


matematika (rumus, diagram, tabel, grafik, model) untuk menyatakan informasi
matematis.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.

Pengertian Pembelajaran Matematika


Matematika adalah salah satu pelajaran yang sangat penting untuk dikuasai siswa.

Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir, karena itu matematika
sangat diperlukan baik untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari maupun
untuk menunjang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Offirston, 2014).
James dan James (dikutip Offirston, 2014) menyatakan bahwa matematika adalah
ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang
berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi kedalam
tiga bidang yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Namun dengan pengertian tersebut
pembagian yang jelas akan sangat sukar untuk dibuat, sebab cabang-cabang itu semakin
bercampur.
Menurut Ernest, matematika adalah pengetahuan yang dibangun (mathematical
knowledge is constructed) bukan ditemukan (discovered). Matematika sebagai ilmu
adalah matematika yang utuh dalam sistem maupun strukturnya yang deduktif
aksiomatik. Artinya kebenaran matematika didapatkan dengan menggunakan penalaran
deduktif kemudian disusun rangkaian kebenaran konsistensi yang menuju kepada
kesimpulan akhir. Filsafat matematika Ernest didasarkan pada asumsi bahwa kebenaran
matematika tidak pernah sama sekali pasti. Selanjutnya Ernest dalam Martin (2009)
menyatakan bahwa faktor paling penting dalam penerimaan masalah yang diusulkan dari
pengetahuan matematika adalah buktinya.
Johnson dan Rising (dikutip Offirston, 2014) menyatakan bahwa matematika itu
adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, dan pembuktian yang logis, matematika itu
bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat,
refresentasinya dengan simbol dan padat, lebih daripada bahasa simbol mengenai ide
daripada mengenai bunyi. Dengan demikian jelaslah bahwa matematika merupakan
pelajaran yang membutuhkan kompetensi yang memadai dalam mengajarkannya.
Matematika melatih pola pikir manusia agar senantiasa berpikir logis, sistematis, cermat,

dan cerdas. Seorang guru matematika diharapkan dapat menyampaikan atau menciptakan
pembelajaran yang menarik, penuh dengan inspirasi, inovatif, kreatif, dan bermakna
sehingga matematika dapat dipahami dengan mudah disertai kesan yang positif dari para
siswanya.
Menurut Suherman (dikutip Jihad, 2013) pembelajaran merupakan suatu proses
yang terdiri dari kombinasi dua aspek, yaitu : belajar tertuju pada apa yang harus
dilakukan oleh siswa, mengajar berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru
sebagai pemberi pelajaran. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi
suatu kegiatan saat terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan
siswa disaat pembelajaran sedang berlangsung. Dengan kata lain, pembelajaran pada
hakikatnya merupakan proses komunikasi antara peserta didik dengan pendidik serta
antar peserta didik dalam rangka perubahan sikap.
Dalam proses pembelajaran, baik guru maupun siswa bersama-sama menjadi
pelaku terlaksananya tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran ini akan mencapai hasil
yang maksimal apabila pembelajaran berjalan efektif. Menurut Wragg (dikutip Jihad,
2013), pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang memudahkan siswa untuk
mempelajari sesuatu yang bermanfaat seperti fakta, keterampilan, nilai, konsep, dan
bagaimana hidup serasi dengan sesama, atau suatu hasil belajar yang diinginkan.
Dari uraian di atas terlihat bahwa proses pembelajaran bukan sekedar transfer ilmu
dari guru kepada siswa, melainkan suatu proses kegiatan, yaitu terjadi interaksi antara
guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa. Pembelajaran hendaknya tidak
menganut paradigma transfer of knowledge, yang mengandung makna bahwa siswa
merupakan objek dari belajar. Tapi upaya untuk membelajarkan siswa. Ditandai dengan
kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil
pembelajaran yang diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode ini
didasarkan pada kondisi pembelajaran yang ada. Dalam hal ini istilah pembelajaran
memiliki hakekat perencanaan atau perancangan (disain) sebagai upaya untuk
membelajarkan siswa. Itulah sebabnya dalam belajar, siswa tidak berinteraksi dengan
guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi berinteraksi dengan keseluruhan sumber
belajar yang mungkin dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran agar siswa secara aktif
secara mental mengkonstruksi struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif

yang dimilikinya.
Maka pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang
dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat
meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan
mengkontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik
terhadap materi matematika (Susanto, 2013).
Pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang
mengandung dua jenis kegiatan yang tidak terpisahkan. Kegiatan tersebut adalah belajar
dan mengajar. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan
pada saat terjadi interaksi antara siswa dengan guru, antara siswa dengan siswa, dan
antara siswa dengan lingkungan di saat pembelajaran matematika sedang berlangsung.
Guru menempati posisi kunci dalam menciptakan suasana belajar yang kondusif
dan menyenangkan untuk mengarahkan siswa mencapai tujaun secara optimal, serta guru
harus mampu menempatkan dirinya secara dinamis dan fleksibel sebagai informan,
transformator, organizer, serta evaluator bagi terwujudnya kegiatan belajar siswa yang
dinamis dan inovatif. Sementara siswa memperoleh pengetahuannya tidak menerima
secara pasif, pengetahuan dibangun oleh siswa itu sendiri secara aktif. Sejalan dengan
pendapat Piaget bahwa pengetahuan diperoleh siswa dari suatu kegiatan yang dilakukan
siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Siswa tidak menerima pengetahuan
dari guru atau kurikulum secara pasif. Siswa mengaktifkan struktur kognitif dan
membangun struktur-struktur baru untuk mengakomodasi masukan-masukan pengetahuan
yang baru. Jadi, penyusunan pengetahuan yang terus-menerus menempatkan siswa
sebagai peserta yang aktif.
Dalam proses pembelajaran matematika, baik guru maupun siswa bersama-sama
menjadi pelaku terlaksananya tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran ini akan
mencapai hasil yang maksimal apabila pembelajaran berjalan secara efektif. Pembelajaran
yang efektif adalah pembelajaran yang mampu melibatkan seluruh siswa secara aktif.
Kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan segi hasil. Pertama, dari segi
proses, pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau sebagian
besar peserta didik terlihat secara aktif, baik fisik, mental maupun sosial dalam proses
pembelajaran, di samping menunjukkan semangat belajar yang tinggi, dan percaya diri
sendiri. Kedua, dari segi hasil, pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi perubahan

tingkah laku ke arah positif, dan tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

2.2

Definisi Model Pembelajaran


Menurut Suprijono (2016) model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau

suatu pola pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman untuk merencanakan


pembelajaran di kelas. Model pembelajaran dapat menggunakan sejumlah keterampilan
metodologis dan prosedural. Menurut Arends (dalam Suprijono, 2016) model
pembelajaran mempunyai karakteristik yang sama dengan strategi pengajaran dan metode
pengajaran. Namun model pembelajaran mempunyai keistimewaan karena mencakup
pendekatan pembelajaran secara keseluruhan dan bukan strategi atau teknik tertentu.
Model pembelajaran memiliki beberapa atribut yang tidak dimiliki oleh strategi dan
metode pembelajaran spesifik. Atribut-atribut tersebut adalah basis teori yang koheren
tentang apa yang seharusnya dipelajari dan bagaimana peserta didik mempelajarinya.
Model pembelajaran memberi rekomendasi berbagai perilaku mengajar dan susunan
kelas yang dibutuhkan untuk mewujudkan berbagai tipe pembelajaran yang berbeda.
Model pembelajaran adalah an instructional model is a step-by-step procedure that leads
to specific learning outcomes (Model pembelajaran adalah prosedur langkah-demilangkah yang mengarah ke hasil belajar spesifik).
Soekamto (Trianto, 2011) dalam Suprijono mengemukakan maksud dari model
pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis yang
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan
berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pebelajaran dan para pengajar
merencanakan aktivitas belajar dan mengajar. Menurut Joyce, Weil, & Showers (dalam
Suprijono, 2016) mengemukakan pengertian model pembelajaran A model of teaching
is a plan or pattern that we can use to design face-to-face teaching in a class rooms or
tutorial setting and to shape instructional materials-including books, films, tapes,
computer-mediated programs, and curricula (long terms courses of study). Each model
guides us a we design instructional to help students achieve various objectives. Model
pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang dapat digunakan untuk mendesain
pengajaran tatap muka di kelas atau tutorial, menyusun perangkat pembelajaran, misalnya
buku, film, program komputer, dan kurikulum. Setiap model memandu guru untuk

membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran merupakan


petunjuk bagi guru merencanakan pembelajaran di kelas, mulai dari mempersiapkan
perangkat pembelajaran, memilih media dan alat bantu, sampai alat evaluasi yang
mengarah pada usaha mencapai tujuan pelajaran.
Penelitian ini merupakan penelitian lintasan pembelajaran dengan output berupa
buku petunjuk guru dan buku siswa.
a. Buku Petunjuk Guru
Buku petunjuk guru adalah buku yang digunakan guru sebagai pedoman dalam
proses pembelajaran yang berisikan uraian materi, beberapa solusi atau alternatif jawaban
dari soal yang termuat dalam buku siswa. Dimana proses pembelajaran yang berlangsung
diharapkan merupakan cerminan dari belajar meningkatkan pemecahan masalah dan
komunikasi matematis berpendekatan metaphorical thinking.
b. Buku Siswa
Buku siswa yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah buku berisi materi ajar
yang digunakan siswa dalam memperoleh konsep-konsep atau pengertian-pengertian
matematika yang telah dirancang sedemikian rupa agar konsep serta pengertian tersebut
diperoleh oleh siswa dari hasil konstruksinya berdasarkan masalah-masalah yang ada
didalamnya serta disusun sesuai dengan berpendekatan metaphorical thinking.
Menurut Joyce, Weil, & Showers (dalam Suprijono, 2016) mengemukakan lima
unsur model pembelajaran yaitu
1. Sintaks (Syntax) yaitu urutan langkah pengajaran yang menunjuk fase-fase/tahaptahap yang harus dilakukan guru jika guru menggunakan model pembelajaran
tertentu.
2. Prinsip reaksi (Principles of Reaction) berkaitan dengan pola kegiatan yang
menggambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan para siswa
termasuk bagaimana seharusnya guru memberikan respons terhadap siswa. Prinsip
ini memberi petunjuk bagaimana seharusnya guru menggunakan aturan permainan
yang berlaku pada setiap model.
3. Sistem sosial (The Social System) adalah pola hubungan guru dan siswa pada saat
terjadinya proses pembelajaran (situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam
penggunaan model pembelajaran tertentu).
4. Sistem pendukung (Support System) yaitu segala sarana, bahan, dan alat yang
diperlukan untuk menunjang terlaksananya proses pembelajaran secara optimal.
5. Dampak instruksional (Instructional Effect) dan dampak pengiring (Nurturant

Effects). Dampak instruksional adalah hasil belajar yang dicapai atau yang berkaitan
langsung dengan materi pembelajaran, sementara dampak pengiring adalah hasil
belajar sampingan (iringan) yang dicapai sebagai akibat dari penggunaan model
pembelajaran tertentu.
Pada garis besarnya mengembangkan model pembelajaran melalui langkahlangkah sebagai berikut:
1. Menetapkan tujuan yang akan dicapai. Tujuan yang ditetapkan merupakan rincian
umum, baik tujuan individual maupun tujuan kelompok.
2. Menetapkan standar keberhasilan. standar keberhasilan meliputi standar kualitas.
3. Menetapkan sistem evaluasi. sistem evaluasi mencakup evaluasi proses dan evaluasi
hasil.
4. Menganalisis situasi dan kondisi yang terkait dengan tujuan yang akan dicapai.
Analisis

diaksentuasikan

pada

pengungkapan

faktor-faktor

penunjang

dan

penghambat tercapainya tujuan pembelajaran.


5. Menetapkan kegiatan belajar yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Kegiatan belajar yang ditetapkan sudah mempertimbangkan faktorfaktor penunjang dan penghambat tercapainya tujuan pembelajaran melalui analisis
terhadap situasi dan kondisi yang terkait dengan tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai.
6. Menetapkan urutan hirarki dari kegiatan belajar untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
7. Menetapkan alternatif kegiatan belajar lainnya untuk mengantisipasi kemungkinan
tidak efektif dan tidak efisiennya kegiatan belajar yang telah ditetapkan itu.
8. Mengalokasikan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap kegiatan belajar.
2.3.

Pengertian Metaphorical Thinking


Menurut Hendriana (2015) bahwa metaphorical thinking adalah suatu proses

berpikir yang menggunakan metafora-metafora atau analogi-analogi untuk memahami


suatu konsep. yang tepat dalam mengilustrasikan sebuah konsep sehingga dapat
mengoptimalkan pemahaman mengenai konsep tersebut. Sunito (2013) menyatakan
bahwa, metaphorical thinking merupakan aktifitas yang merujuk kepada kegiatan
mengubah sesuatu keadaan materi dan makna yang satu ke keadaan yang lain. Artinya
dimulai dengan memindahkan arti dan asosiasi baru dari satu objek atau gagasan ke objek
atau gagasan yang lain.
Ada empat tahap dalam proses metaphorical thinking yang harus ditempuh, yaitu:

koneksi (connection), penemuan (discovery), penciptaan (invention), dan aplikasi


(application) (Siller:2003 dalam Sunito), yaitu:
1. Koneksi (Connection), adalah menghubungkan dua atau lebih hal yang memiliki
tujuan untuk memahami sesuatu. Terkait dengan metaphorical thinking, pada
peristiwa koneksi ini digunakan berbagai macam bentuk dari perbandingan yaitu:
metafora, matematika, cerita, legenda, simbol, dan hipotesis. Seseorang dapat
menggunakan semua alat tersebut untuk menghubungkan ide, pengetahuan, dan
pengalaman. Secara nyata, guru yang menghubungkan dengan pembelajaran
matematika dengan materi lain menyebabkan siswa memiliki bayangan bahwa apa
yang dipelajarinya adalah berhubungan juga dengan pelajaran lainnya, sehingga baik
guru dan siswa tidak terjebak pada pemikiran yang terkotak-kotak yang membatasi
pikiran mereka. Dengan koneksi, baik guru dan siswa terarahkan menjadi seseorang
yang kreatif.
2. Penemuan (Discovery), adalah proses yang dilakukan seseorang untuk menemukan
sesuatu dengan memanfaatkan lima pancaindera-nya yaitu mengamati, mendengarkan,
merasakan, dan bahkan indra penciuman.

Dalam suatu pembelajaran yang lebih

nyata, guru dapat menggambarkan ke arah materi pelajaran yang diampunya akan
diarahkan, tujuan apa yang akan dicapai setelah proses koneksi telah dilakukan, dan
ke arah mana siswa diajak untuk berpikir dan memiliki pengalaman untuk merasakan
bahwa suatu pelajaran bermanfaat untuk dirinya.
3. Penciptaan (Invention), adalah produk dari daya pikir kreasi. Hal ini tidak akan
tercipta tanpa adanya suatu usaha. Secara umum, penemuan tumbuh dari suatu
kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan suatu proses dalam melakukan sesuatu
atau melakukan suatu komunikasi yang baru dan lebih efektif. Suatu penemuan
memerlukan suatu proses dari menghubungkan sesuatu dengan yang lain, dan juga
memerlukan pengamatan yang dapat menghasilkan suatu produk.
4. Aplikasi (Application), adalah aktivitas yang mengarah pada produk, yaitu hasil pikir
dan dapat juga dalam bentuk nyata.
Adapun setiap tahap dalam proses metaphorical thinking dihubungkan oleh proses
CREATE yang berarti Connect-Relate-Explore-Analyze-Transform-Experience.
Connect adalah menghubungkan dua atau hal-hal yang berbeda baik benda maupun ide,
relate adalah mengaitkan suatu perbedaan baik benda maupun ide untuk hal-hal yang
sudah kita ketahui atau kenal, dimulai mengamati kesamaannya, explore adalah menjajaki

kesamaan : menarik mereka, membangun model, bermain peran, dan menggambarkan


mereka, analyze adalah analisis tentang hal-hal yang telah Anda pikirkan, transform
adalah gambar, model, atau objek yang Anda buat: mengenali atau menemukan sesuatu
yang baru berdasarkan koneksi, eksplorasi, dan analisis Anda, dan experience adalah
menerapkan gambar, model, atau penemuan kita sebagai konteks baru sebanyak
mungkin. Ini artinya, memulai proses kreatif dari awal lagi. Agar lebih memperjelas
hubungan antara proses dan tahap-tahap metaphorical thinking, maka bisa diilustrasikan
sebagai berikut:

Gambar 2.1 Tahapan Metaphorical Thinking


Berdasarkan gambar di atas, dapat diartikan bahwa setiap tahapan harus ada
proses CREATE (Connection, Relate, Explore, Analyze, Transform, dan Experience).
Pada setiap pembelajaran empat tahapan di atas tidak selalu terpenuhi, bisa saja hanya
sampai tahap ke-2 atau tahap ke-3 saja. Sementara pada prosesnya (CREATE), tidak
terlihat secara nyata dalam setiap tahapan tidak mengapa, yang penting tahapan-tahapan
tersebut dapat dirasakan oleh siswa.
2.3.1

Penerapan Metaphorical Thinking di dalam Kelas


Penerapan metaphorical thinking sebenarnya bisa diterapkan pada seluruh aspek

aktifitas yang kita lakukan. Baik itu keseharian maupun pada kegiatan yang sifatnya
insidental. Penerapan metaphorical thinking di kelas bukan hanya di tingkat sekolah
melainkan tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan perguruan tinggi.
Pada penerapan metaphorical thinking di kelas, tahap-tahap yang harus dilalui
adalah sebagaimana tertera pada sebelumnya yang menjadi acuan saat melakukan
metaphorical thinking. Dimulai dari koneksi (connection), penemuan (discovery),
penciptaan (invention), dan penerapan (application).
Sebelum pelaksanaan metaphorical thinking di dalam kelas, langkah-langkah yang

dikerjakan guru adalah membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).


RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar siswa dalam
upaya mencapai KD. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP
secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan
bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa. RPP disusun untuk setiap
KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang
penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan
pendidikan.
Menggunakan

metaphorical

thinking

dalam

pembelajaran

silabus

dapat

dimasukkan dalam pendekatan pembelajaran, sedangkan pada RPP dapat dimasukkan ke


dalam Metode Pembelajaran. Dengan demikian di silabus dan RPP harus memuat empat
tahapan yang merupakan tahapan metaphorical thinking, yaitu connection, discovery,
invention, dan application dengan proses CREATE sebagai penghubungnya.
1.

Pembelajaran Metaphorical Thinking pada Usia Sekolah Dasar dan


Menengah
Penerapan metaphorical thinking pada siswa usia sekolah dasar dan menengah

dapat menggunakan teknik-teknik seperti di bawah ini.


a.
Pengkondisian dengan pertanyaan
Pengkondisian pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking bisa
dimulai dengan pengajuan pertanyaan. Ada beberapa tahap yang harus dilalui dalam
membangun pertanyaan. Cobalah bertanya dari yang sederhana, setelah itu baru beranjak
ke yang unik. Pertanyaan bisa dimulai dari yang paling mudah baru kemudian menuju
yang sulit. Umpamanya, bertanya terkait dengan hal yang tampak serupa secara fungsi.
b.
Pembagian kelompok kerja
Langkah pertama yang dilakukan dalam pengelompokkan siswa dalam kelas
adalah membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil dengan beranggotakan 4-6
siswa.
Teknik pembuatan kelompok dapat dilakukan dengan beragam cara. Apabila guru
hanya berkeinginan membuat kelompok seperti berjumlah 4 atau 6 siswa saja, maka
dapat dilakukan dengan teknik berhitung. Siswa bergiliran diminta menyebutkan urutan
hitungan dari angka 1 sampai dengan 6, kemudian berulang kembali siswa lain menyebut
angka tersebut.

Tindakan berikutnya sangatlah sederhana, yakni meminta mereka bergabung


sesuai angka yang disebutkan, kelompok angka satu dengan sesamanya;kelompok angka
dua, tiga, dan seterusnya. Tetapi, apabila guru menginginkan pembuatan kelompok
berdasarkan keinginannya, maka pembagian itu bisa berdasarkan isu atau tema. Selain
itu, pembagian kelompok pun dapat pula berdasarkan kondisi yang diharapkan guru,
seperti membaurkan siswa dari berbagai tipe, kemampuan, jenis kelamin, atau
keaktifannya. Dalam kondisi-kondisi tertentu, guru sering membagi kelompok
berdasarkan yang terakhir.
Dengan menggunakan teknik apapun, pembagian kelompok kecil sebenarnya
memiliki tujuan yang sangat baik. Pembagian kelompok kecil dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan kepada individu-individu yang biasanya terabaikan atau kurang
berperan dalam kelompok-kelompok besar menjadi terkondisikan untuk menunjukkan
kemampuannya. Pengalaman berperan dengan tekanan atas rasa malu, ragu, dan
kekhawatiran yang sebenarnya tak perlu dipikirkan, menyusut dan akhirnya lambat laun
menjadi kondisi nyaman untuk menunjukkan aktualisasi diri mereka. Dalam kondisi
inilah konsolidasi ide-ide tertuang lambat laun di antara mereka dan curahan ide-ide
terbangun menjadi ide-ide kreatif. Kelompok dalam hal ini menjadi wahana bagi proses
berbagi pengalaman dan pemahaman atau dengan kata lain, kelompok menjadi wahana
yang sistematis yang memudahkan dan mengarahkan peserta didil pada kesempatan
mengakumulasikan ide, konsep, dan bentuk kreativitas yang lebih kaya.
c.
Pemberian tugas
Salah satu indikator kelompok yang kondusif adalah kelompok yang
menunjukkan siap belajar. Kelompok seperti ini merupakan sekumpulan siswa yang
berani menyampaikan ide dan siap menerima kritik atau perbaikan apabila yang
disampaikan oleh dirinya kurang diterima oleh kelompok. Artinya, aspirasi pemikiran
atau arus kreativitas tidak hanya muncul dari satu orang yang mendominasi, tetapi juga
dari seluruh siswa yang ada dalam kelompok tersebut. Untuk menguji, apakah kelompok
menunjukkan siap belajar atau sebaliknya, maka dimulai dengan pemberian tugas.
Menuju pembelajaran yang metaphorical thinking, setiap kelompok diberi tugas
untuk mengembangkan dari satu kata dengan kata yang lain yang berkaitan dengan topik
pembahasan pelajaran yang sedang berlangsung. Setiap siswa dapat dengan bebas
mengembangkan kreativitasnya dengan cara mengaitkan kata yang tampak tidak
berhubungan, tetapi ternyata terkait satu sama lain. Upaya mengaitkan satu kata dengan
kata yang lain memperhatikan unsur-unsur ber- metaphorical thinking yakni terkait satu

sama lain, temuan baru, penciptaan, dan aplikasim sehingga dapat menemukan atau
menciptakan hal baru.
Dengan pendekatan metaphorical thinking siswa menghubungkan sesuatu yang
tampak tak berkaitan untuk memperkaya pengalaman belajar serta meningkatkan
komunikasi antarteman.
2.4.

Pemecahan Masalah
Menurut Poyla (dalam Budayanti, 2008) definisi pemecahan masalah adalah

sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai tujuan yang tidak
dengan segera dapat dicapai. Poyla mengelompokkan masalah dalam matematika
menjadi dua kelompok. Pertama adalah masalah terkait dengan menemukan sesuatu yang
teoritis atau praktis, abstrak atau kongkrit. Kelompok kedua adalah masalah terkait
dengan membuktikan atau menunjukkan bahwa suatu pernyataan itu benar atau salah atau
tidak kedua-duanya. Masalah yang terkait dengan menemukan sesuatu lebih tepat
digunakan pada matematika yang sifatnya dasar sedangkan masalah yang terkait dengan
membuktikan lebih tepat digunakan pada matematika lanjut.
Pemecahan masalah seringkali merujuk pada pemodelan dan membutuhkan suatu
pemikiran yang produktif tentang situasi masalah (Lesh & Zawojewski dalam Wijaya
2012). Pemecahan masalah menuntut proses interpretasi situasi melalui pemodelan
matematika serta perlu menghubungkan berbagai konsep matematika. Pemecahan
masalah dipandang sebagai suatu keterampilan tingkat tinggi (high-level-skill) yang
merupakan jantung dari matematika (Halmos dalam Wijaya 2012).
Pembahasan tentang pemecahan masalah (problem solving) tidak bisa lepas dari
dua jenis, yaitu masalah rutin (routine problem) dan masalah tidak rutin (non-routine
problem). Masalah rutin (routine problem) adakah masalah yang cenderung melibatkan
hafalan serta pemahaman algoritma dan prosedur sehingga masalah rutin sering dianggap
sebagai level . rendah. Masalah rutin (routine problem) biasanya merujuk pada satu atau
dua tahap (one or two-step problem) yang hanya membutuhkan proses reproduksi (yaitu
mengulang suatu prosedur) dan menerapkan suatu konsep dan prosedur yang sudah pasti.
Sebaliknya, masalah tidak rutin dikategorikan sebagai soal level tinggi karena
membutuhkan penguasaan ide konseptual yang rumit dan tidak menitikberatkan pada
algoritma. Masalah tidak rutin (non-routine problem) membutuhkan pemikiran kreatif
dan produktif serta cara penyelesaian yang kompleks. Jika mengacu pada definisi

pemecahan masalah yang disampaikan oleh Kilpatrick, Swaford, & Findell dan Lesh &
Zawojewski maka bisa kita simpulkan bahwa masalah yang digunakan dalam kegiatan
pemecahan masalah adalah masalah yang tidak rutin. Hal ini juga sesuai dengan pendapat
Schoenfeld (dalam Wijaya 2012) yang mendefinisikan masalah (dalam pemecahan
masalah) sebagai suatu soal atau pertanyaan yang dihadapi oleh seseorang yang tidak
memiliki akses secara langsung ke solusi yang dibutuhkan. Yang dimaksud dengan akses
secara langsung adalah prosedur penyelesaian (atau bisa berupa rumus) yang sudah pasti.
Secara umum strategi pemecahan masalah yang sering digunakan adalah strategi
yang dikemukakan oleh Polya (1973). Menurut Poyla untuk mempermudah memahami
dan menyelesaikan suatu masalah, terlebih dahulu masalah tersebut disusun menjadi
masalah-masalah sederhana, lalu dianalisis (mencari semua kemungkinan langkahlangkah yang akan ditempuh), kemudian dilanjutkan dengan proses sintesis (memeriksa
kebenaran setiap langkah yang dilakukan). Pada tingkatan masalah tertentu, langkahlangkah Polya di atas dapat disederhanakan menjadi empat langkah yaitu memahami
masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana dan melihat kembali.
Berikut ini bagan yang dapat menjelaskan proses pemecahan masalah yang dikemukakan
oleh Poyla.

Gambar 2.1 Bagan langkah-langkah pemecahan masalah matematika


Bagan di atas menekankan dinamisme dan sifat siklis dari pemecahan masalah
yang asli. Pemecah masalah mulai dari masalah itu sendiri dan berusaha memahaminya.
Kemudian pemecah masalah membuat rencana dan di dalam proses perencanaan
mungkin akan menemukan sesuatu yang dibutuhkan untuk memahami masalah lebih
baik. Setelah rencana terbentuk, pemecah masalah akan melaksanakan rencana tersebut.
Dalam pelaksanaan bisa jadi diperoleh solusi, tetapi bisa jadi tidak. Jika tidak diperoleh

solusi maka pemecah masalah bisa kembali membuat rencana baru atau kembali ke tahap
memahami masalah. Jika masih mengalami kemacetan, pemecah masalah bisa
mengajukan masalah baru yang mungkin relevan atau menyerupai masalah tersebut.
Selanjutnya kita akan membahas langkah-langkah pemecahan masalah matematika yang
dikemukakan oleh Poyla, satu persatu sebagai berikut.
1. Memahami masalah
Pada langkah pertama ini, pemecah masalah harus dapat menentukan apa yang
diketahui dan apa yang ditanyakan. Untuk mempermudah pemecah masalah memahami
masalah dan memperoleh gambaran umum penyelesaiannya dapat dibuat catatan-catatan
penting dimana catatan-catatan tersebut bisa berupa gambar, diagram, tabel, grafik atau
yang lainnya. Dengan mengetahui apa yang diketahui dan ditanyakan maka proses
pemecahan masalah akan mempunyai arah yang jelas.
2. Merencanakan cara penyelesaian
Untuk dapat menyelesaikan masalah, pemecah masalah harus dapat menemukan
hubungan data dengan yang ditanyakan. Pemilihan teorema-teorema atau konsep-konsep
yang telah dipelajari, dikombinasikan sehingga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi itu. Jadi diperlukan aturan-aturan agar selama proses pemecahan
masalah berlangsung, dapat dipastikan tidak akan ada satupun alternatif yang terabaikan.
Untuk keperluan ini, bila perlu perlu pemecah masalah mengikuti langkah-langkah
berikut.
a. mengumpulkan data/informasi dengan mengaitkan persyaratan yang ditentukan
untuk analisis
b. jika diperlukan analisis informasi yang diperoleh dengan mengunakan analogi
masalah yang pernah diselesaikan
c. apabila ternyata macet, perlu dibantu melihat masalah tersebut dari sudut yang
berbeda.
Jika hubungan data dan yang ditanyakan sulit untuk dilihat secara langsung,
ikutilah langkah-langkah berikut.
a. Membuat sub masalah. Hal ini akan sangat berguna pada masalah yang kompleks.
b. Cobalah untuk mengenali sesuatu yang sudah dikenali, misalnya dengan
mengingat masalah yang mirip atau memiliki prinsip yang sama.

c. Cobalah untuk mengenali pola dengan mencari keteraturan-keteraturan. Pola


tersebut dapat berupa pola geometri atau pola aljabar.
d. Gunakan analogi dari masalah tersebut, yaitu masalah yang mirip, masalah yang
berhubungan, yang lebih sederhana sehingga memberikan Anda petunjuk yang
dibutuhkan dalam memecahkan masalah yang lebih sulit.
e. Masukan sesuatu yang baru untuk membuat hubungan antara data dengan hal
yang tidak diketahui.
f. Buatlah kasus
g. Mulailah dari akhir (Asumsikan Jawabannya) yaitu dengan menganalisis
bagaimana cara mendapatkan tujuan yang hendak dicapai.
3. Melaksanakan rencana
Berdasarkan

rencana,

penyelesaianpenyelesaian

masalah

yang

sudah

direncanakan itu dilaksanakan. Didalam menyelesaikan masalah, setiap langkah dicek,


apakah langkah tersebut sudah benar atau belum. Hasil yang diperoleh harus diuji apakah
hasil tersebut benar-benar hasil yang dicari.
4. Melihat kembali
Tahap melihat kembali hasil pemecahan masalah yang diperoleh mungkin
merupakan bagian terpenting dari proses pemecahan masalah. Setelah hasil penyelesaian
diperoleh, perlu dilihat dan dicek kembali untuk memastikan semua alternatif tidak
diabaikan misalnya dengan cara
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

melihat kembali hasil


melihat kembali alasan-alasan yang digunakan
menemukan hasil lain
menggunakan hasil atau metode yang digunakan untuk masalah lain
menginterpretasikan masalah kembali
menginterpretasikan hasil
memecahkan masalah baru
dan lain sebagainya.

Sementara itu

indikator pemecahan masalah matematika menurut Sumarmo (2010)

antara lain :
a. mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan
unsur yang diperlukan.
b. merumuskan masalah matematika atau menyusun model matematika.
c. menerapkan pendekatan untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan
masalah baru) dalam atau luar matematika.

d. menjelaskan atau menginterpretasikan hasil permasalahan.


e. menggunakan matematika secara bermakna.
2.5.

Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa


Matematika merupakan salah satu bahasa. Suriasumantri (2007) dalam Prayitno

berpendapat bahwa matematika merupakan bahasa yang melambangkan serangkaian


makna dari pernyataan yang ingin disampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat
artifisial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya, tanpa itu
matematika hanya merupakan kumpulan aksioma, definisi, teorema, dan rumus-rumus
yang kurang bermakna. Alisah (2007) dalam Prayitno juga berpendapat bahwa
matematika adalah sebuah bahasa, yaitu sebuah cara mengungkapkan atau menerangkan
dengan cara tertentu. Bahasa matematika berupa istilah, notasi dan simbol-simbol
matematika. Menurut NCTM (1989) dalam Prayitno, komunikasi dalam matematika
merupakan suatu cara untuk berbagi gagasan dan memperjelas pemahaman. Melalui
komunikasi, gagasan dapat digambarkan, diperbaiki, didiskusikan, dan dikembangkan.
Baroody (1993) dalam Prayitno menyatakan kemampuan komunikasi merupakan salah
satu aspek penting agar siswa mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematika.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi matematis adalah
suatu cara siswa untuk menyatakan dan menafsirkan gagasan-gagasan matematika secara
lisan maupun tertulis, baik dalam bentuk gambar, tabel, diagram, rumus, ataupun
demonstrasi.
Melalui komunikasi, siswa dapat menyampaikan ide-idenya kepada guru dan
kepada siswa lainnya. Menurut Lubienski (2000), kemampuan siswa dalam
mengkomunikasikan masalah matematika pada umumnya ditunjang oleh pemahaman
mereka terhadap bahasa (Hulukati, 2005: 18). Bahkan menurut Baroody (1993: 2-99),
ada dua alasan penting mengapa pembelajaran matematika berfokus pada komunikasi,
yaitu: (1) mathematics is essentially a language; matematika lebih hanya sekedar alat
bantu berpikir, alat menemukan pola, menyelesaikan masalah, atau membuat
kesimpulan, matematika juga adalah alat yang tak terhingga nilainya untuk
mengkomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat, dan ringkas, dan (2)
mathematics and mathematics learning are, at heart, social activities; sebagai aktivitas
sosial dalam pembelajaran matematika, interaksi antar siswa, seperti komunikasi
antara guru dan siswa, adalah penting untuk mengembangkan potensi matematika

siswa. Oleh karena adanya hubungan antara bahasa dan matematika ini, maka Cooke
dan Buchholz (2005: 265) menyarankan agar guru mampu membuat suatu hubungan
antara matematika dan bahasa. Hubungan ini dapat membantu siswa mampu
mengekspresikan suatu masalah ke dalam masalah matematika, bahasa simbol atau
model matematika. Uraian tersebut memperjelas hubungan kemampuan komunikasi
matematis dengan kemampuan berbahasa. 1
Berdasarkan penjelasan tersebut maka indikator yang digunakan untuk melihat
kemampuan komunikasi matematis siswa antara lain:
1. Memahami gagasan matematis yang disajikan dalam tulisan atau lisan.
2. Mengungkapkan gagasan matematis secara tulisan atau lisan.
3. Menggunakan pendekatan bahasa matematika (notasi,istilah dan lambang)
untuk menyatakan informasi matematis.
4. Menggunakan representasi matematika (rumus, diagram, tabel, grafik, model)
untuk menyatakan informasi matematis.
5. Mengubah dan menafsirkan informasi matematis dalam representasi matematika
yang berbeda.
2.6.

Penerapan Metaphorical Thinking pada Materi Trigonometri

2.6.1

Identitas Trigonometri
Identitas trigonometri adalah sebuah persamaan yang memuat fungsi trigonometri

dan bernilai benar untuk setiap nilai variabel pada daerah asal yang telah ditentukan
(Aksin, 2016). Beberapa identitas trigonometri di antaranya identitas kebalikan, identitas
perbandingan, dan identitas Pythagoras.
Sebelum siswa mempelajari identitas trigonometri, maka konsep perbandingan
trigonometri dapat ditekankan melalui tahapan-tahapan metaphorical thinking sebagai
berikut.
1. Pada tahap koneksi (connection), siswa diajak membandingkan materi perbandingan
trigonometri segitiga siku-siku dengan variabel x, y, dan r dengan proses terjadinya
hujan.
Variabel y dinyatakan sebagai sisi tegak, variabel x sebagai sisi datar, dan
variabel r sebagai sisi miring, sama halnya variabel x dan y pada grafik cartesius
1

Kadir. 2010. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir sebagai Upaya Peningkatan kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis, Komunikasi Matematis, dan Keterampilan Sosial Siswa SMP. Bandung: PPS Universitas
Pendidikan Indonesia, (Online), (http://forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/Artikel%20Kadir-UNHALUOLEO.pdf, diakses
tanggal 11 Oktober 2016)

dimana sumbu tegak diwakilkan oleh variabel y dan sumbu datar sebagai variabel x
sedang kemiringan ditunjukkan sebagai hubungan antar koordinat titik yang terletak
pada sumbu x dan sumbu y. Berikut gambar segitiga siku-siku dengan sudut alpha (
sebagai sudut lancip.

r
y

Analogi dari segitiga siku-siku yang diwakilkan oleh variabel x, y dan r


bisa dibandingkan dengan analogi terbentuknya hujan. Berikut penjelasan dari
proses terjadinya hujan, semua air di permukaan bumi akan menguap apabila
suhunya cukup tinggi, sering juga dikenal dengan proses penguapan atau
evaporasi. Iya, semua air. Mulai dari air laut, sungai, danau, genangan air di
pinggir jalan, air dari cucian yang dijemur, hingga keringat dari tubuh kita.
Semuanya akan menguap dan naik menjauh dari permukaan bumi karena uap air
memiliki massa yang sangat ringan. Pada ketinggian tertentu uap air ini akan
berhenti dan dengan bantuan angin, bertemu dengan uap-uap air yang lain. Perlu
diingat bahwa semakin jauh jarak dari bumi maka suhu akan semakin rendah,
maka uap air pun kembali ke wujud asalnya, yakni titik air dan kristal es
(kondensasi). Seiring waktu, titik air dan kristal es akan menarik uap-uap air yang
ada di sekitarnya untuk berkumpul, nah perkumpulan inilah yang kita kenal
sebagai awan. Dan apabila jumlahnya sudah cukup banyak dan semakin berat,
gaya gravitasi bumi mengambil alih, dan jatuhlah kristal-kristal es tersebut ke
bumi. Ya, hujan yang kita rasakan setiap hari sebetulnya adalah kristal-kristal es
yang kadang-kadang berukuran cukup besar. Namun karena semakin mendekati
bumi suhu udara semakin hangat maka kristal tersebut mencair dan kembali
berwujud cair.

Jadi pada dasarnya, proses terjadi terjadinya hujan dari penguapan ke


kondensasi diibaratkan sebagai r (sisi miring), terbentuknya hujan sampai teresap
ke tanah sebagai y (sisi tegak), dan air yang berada di dalam tanah di seluruh
permukaan bumi ibaratnya sebagai x (sisi datar). Simpulannya menyatakan bahwa
mutlak semua variabel tersebut berada pada posisi sesuai pada gambar segitiga
siku-siku diatas.
2. Tahap

penemuan

(discovery)

mengajak

siswa

memahami

rumus-rumus

perbandingan trigonometri pada segitiga siku-siku dengan konsep sin suatu sudut
diperoleh dari perbandingan sisi depan dan sisi miring, cos merupakan
perbandingan sisi samping dan sisi miring, dan tangen dari perbandingan sisi
depan dan samping dihubungkan dengan segitiga siku-siku pada tahap koneksi,

dihasilkan rumus

sin =

y
r

cos =

x
r

, dan

tan =

y
x . Selain itu ada

tiga rumus lain sebagai hasil kebalikan dari sin, cos dan tangen dari suatu sudut
seperti
cosec kebalikan dari
kebalikan dari

sin ,

sec kebalikan dari

cos ,

cotan

tan , merupakan identitas kebalikan dari trigonometri. Selain

itu, siswa juga diajak mengetahui identitas perbandingan dari trigonometri sebagai
berikut.
y
y r sin
tan = = =
x x cos
r

x
x r cos
, cotan= y = y = sin .
r

3. Tahap penciptaan (invention) mengajak siswa mengetahui bahwa identitas


pythagoras merupakan identitas yang diturunkan dari teorema pythagoras.
Pada segitiga siku-siku berlaku ketentuan sebagai berikut. Jumlah kuadrat sisi

siku-siku = kuadrat sisi miring


2
2
2
y + x =r , maka dari persamaan tersebut diperoleh identitas trigonometri
berikut.
2

a. Identitas sin +cos =1


2

b. Identitas 1+tan =sec


2

c. Identitas 1+cotan =cosec


4. Tahap aplikasi (application) mengajak siswa mengarah pada produk, yaitu hasil
pikir dan dapat juga dalam bentuk nyata dan pada materi identitas trigonometri
dilakukan pembuktian identitas trigonometri yang memuat bentuk trigonometri
dan menghubungkan dua ekspresi pada kedua ruas persamaan, dapat dibuktikan
dengan salah satu cara berikut.
a. Jika bentuk ruas kiri persamaan lebih kompleks, ubah bentuk ruas kiri
persamaan sehingga tepat sama dengan ruas kanan persamaan.
b. Jika bentuk ruas kanan persamaan lebih kompleks, ubah bentuk ruas kanan
persamaan sehingga tepat sama dengan ruas kiri persamaan.
c. Ruas kiri dan ruas kanan diubah ke bentuk lain sehingga bentuk akhir
kedua ruas tersebut tepat sama.
Langkah-langkah membuktikan identitas trigonometri.
a. Ubahlah semua fungsi trigonometri ke bentuk sinus dan kosinus.
b. Sederhanakan ke bentuk paling sederhananya.
Dalam menyederhanakan, Anda dapat menggunakan strategi sebagai berikut/
1) Samakan penyebut.
2) Kalikan suatu bentuk trigonometri dengan 1, misalkan
3) Tambahkan

cos cos .

pada

suatu

bentuk

trigonometri,

sin
cos
misalnya

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1

Subjek, Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di SMA Negeri 7 Denpasar dan waktu pelaksanaannya

adalah pada 13 Februari 9 April 2017 sedangkan subjek penelitiannya adalah siswa
kelas X. Pertimbangan pemilihan SMA Negeri 7 Denpasar sebagai subjek penelitian
didasarkan pada dua hal yaitu kelayakan dan keterjangkauan. Dari segi kelayakan,
dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
1. SMA Negeri 7 Denpasar merupakan salah satu SMA unggulan yang berada di
wilayah Kota Denpasar menjadi salah satu sekolah favorit di Denpasar karena
siswa-siswanya merupakan siswa-siswa pilihan baik dari jalur akademis maupun
non akademis berasal dari berbagai tamatan sekolah dasar negeri maupun swasta
dengan

latar belakang keluarga yang berbeda, sehingga kemampuan siswa

berbeda satu sama lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka siswa-siswi SMA
Negeri 7 Denpasar dapat dikatakan sudah heterogen dari segi kemampuan
siswanya.

2. Jumlah siswa dalam kelas tidak lebih dari 40 yang merupakan jumlah yang cukup
ideal untuk dilakukan penelitian.
3. Guru-guru yang mengajar matematika di SMA Negeri 7 Denpasar bersedia untuk
bekerjasama dalam penelitian ini untuk menjalankan model pembelajaran
metaphorical thinking di kelas.
Sedangkan dari segi keterjangkauan, dipertimbangkan bahwa lokasi SMA Negeri
7 Denpasar masih berada dalam satu wilayah peneliti sehingga mempermudah peneliti
untuk mengadakan penelitian. Dalam penelitian ini, pelibatan siswa sebagai subjek yaitu
untuk mendapatkan data keefektifan pembelajaran yang dikembangkan, meliputi angket
komunikasi matematis, skor tes pemecahan masalah sebagai hasil pengerjaan siswa serta
respons mereka setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut. Sementara pelibatan
guru sebagai subjek yaitu untuk mendapatkan data kepraktisan penggunaan model
pembelajaran matematika melalui lembar pengamatan pelaksanaan pembelajaran yang
dilakukan oleh pengamat.
3.2

Jenis Penelitian
Adadua tipe Penelitian Desain yaitu studi validasi, dan studi pengembangan

(Plomp, 2010; 2013). Studi validasi mempunyai focus pada pendesainan trajektori
(lintasan) pembelajaran dengan tujuan untuk mengembangkan dan memvalidasi teoriteori tentang pembelajaran, serta bagaimana mendesain lingkungan belajar yang sesuai.
Teori yang dihasilkan melalui studi validasi dikenal dengan teori lokal. Menurut
Gravemeijer & Cobb (2006) teori-teori lokal pembelajaran ada 3 yaitu (Suharta, 2016),
1. Teori mikro, yaitu teori di level aktivitas pembelajaran.
2. Teori pembelajaran local, yaitu teori di level urut-urutan pembelajaran
3. Teori pembelajaran domain-spesifik, yaitu teori di level materi
Lebih lanjut dinyatakan bahwa fase-fase studi validasi adalah sebagai berikut.
1. Fase persiapan eksperimen, yaitu kegiatan mengelaborasi desain pembelajaran
awal
berdasarkan kerangka interpretatif ;
2. Fase eksperimen di kelas, yaitu kegiatan pengujian dan peningkatan desain
pembelajaran atau teori pembelajaran lokal

3. Fase analisis retrospektif , yaitu kegiatan mempelajari seluruh data untuk


mengetahui kontribusi pada pengembangan teori pembelajaran lokal dan
(perbaikan) kerangka interpretatif.
Studi pengembangan bertujuan untuk mengembangkan inovasi intervensi yang
relevan dengan praktek pendidikan. Dalam studi ini peneliti mengintegrasikan
pengetahuan state-of-the-art (mempunyai nilai tambah) dan prinsip-prinsip desain
dimasukkan untuk mendapatkan hasil seperti yang diharapkan. Menurut van den Akker
(1999) ada 2 jenis prinsip desain, yaitu:
1. procedural, yaitu karakteristik dari pendekatan desain;
2. substansi, yaitu karakteristik desain (intervensi).
Menurut Plomp (2010, 2013) fase-fase penelitian desain tipe studi pengembangan
terdiri dari preliminary research, prototyping, dan assessment. Uraian masing-masing
fase ditunjukkan dalam Tabel 3. Sedangkan perbedaan kedua studi ini ditunjukkan dalam
table berikut.

Tabel 5: Perbedaan Studi Validasi dan Pengembangan


PENELITIAN DESAIN
STUDI VALIDASI
Untuk elaborasi
validasi teori-teori
Kualitas teoritis
tentang
desain

STUDI PENGEMBANGAN
Untuk menjawab masalah masalah pendidikan

Klaim

Teori pembelajaran

Prinsip-prinsip disain dapat

pengetahuan/
Output
ilmiah

domain spesifik

diaplikasikan secara luas

Iterasi desain dengan


tes
skala kecil dalam
seting
penelitian
Trajektori

Pengembangan iteratif
dengan
evaluasi formatif dalam
setting
bervariasi
Intervensi implementasi

Tujuan
desain
Focus
kualitas
desain

Penegasan
metodologi
Kontribusi

Kepraktisan intervensi

KEEFEKTIFAN

Keefektifan
intervensi

Bukti-bukti
pengaruh
intervensi

Skala besar, bidangbidang


komparatif
Bukti berbasis

pembelajaran
praktis
spesifik untuk kelas
khusus specific
classroom
Neeven at al (2006)

dalam
beberap konteks/ ruang kelas

perubahan
skala besar

Sesuai dengan uraian tersebut maka, studi validasi berorientasi pada teori
sedangkan

studi

pengembangan

berorientasi

pada

produk.

Sehingga

peneliti

menggunakan kedua tipe penelitian desain, yaitu berorientasi mengenai teori


metaphorical thinking untuk memberikan pembelajaran yang berbeda namun dapat
menarik keinginan siswa belajar matematika dan berorientasi akan pengembangan buku
siswa dan buku petunjuk guru sebagai wujud implementasi teori metaphorical thinking.

3.2.1. Penelitian Desain Tipe Studi Pengembangan

Gambar 1. Proses Pendesaian Secara Sistematis

Beberapa model siklus yang lain seperti ditunjukkan pada gambar


berikut.

Gambar 2. Model McKenny(2001)

Gambar 3. Model Wademan (Plomp, 2013)

Gambar 4. Model Reevers (2006)


`Jika dicermati model-model di atas, proses pengembangan suatu desain melalui
penelitian desain adalah mengawali dengan analisis masalah, manfaat yang relevan, teoriteori state-of-the-art, mendesain dan mengembangkan intervensi (dalam cara iterasi)
dengan tujuan setelah sejumlah siklus memperoleh hasil yang diharapkan.
Menurut Plomp (2010, 2013) fase-fase penelitian desain tipe studi pengembangan
terdiri dari preliminary research, prototyping, dan assessment. Aktifitas masing-masing
fase diberikan dalam table berikut.
Tabel 3. Fase-fase Penelitian Desain Tipe Studi Pengembangan
No.

Fase

Aktivitas

Preliminary research

Analisis kebutuhan dan konteks, mengkaji


literatur

(tahap penelitian awal)


2

Pengembangan kerangka konseptual dan


teori.

Prototyping

Tahap prototype, dilakukan pengembangan

(tahap prototipe)

melalui iterasi (masing-masing menjadi


sebuah)
Microcycle dari research) dengan evaluasi
formatif sebagai kegiatan penelitian yang
paling
penting bertujuan untuk meningkatkan dan
menyempurnakan intervensi.

Assessment (tahap
penilaian)

(semi-) evaluasi sumatif untuk


menyimpulkan
apakah solusi atau intervensi memenuhi
spesifikasi

yang ditentukan. Fase ini sering


menyebabkan
rekomendasi untuk perbaikan intervensi.

Pada tahap penelitian awal, yang dibutuhkan adalah untuk mendapatkan


informasi tentang masalah pendidikan yang menjadi kesenjangan antara situasi saat ini
dan yang diinginkan. Tahap ini akan memberikan kontribusi pada pilihan dan kualitas
intervensi untuk mengatasi masalah. Tujuan dari tahap ini adalah (1) untuk
mendapatkan informasi tentang situasi masalah yang ada; dan (2) untuk menentukan
karakteristik yang diinginkan dari intervensi (prinsip-prinsip desain), serta bagaimana
ini dapat dikembangkan. Intervensi ini dapat berupa program, bahan dan strategi
pembelajaran, produk dan sistem, dll.
Kegiatan penting yang biasanya dilakukan selama tahap penelitian awal
mencakup analisis kebutuhan dan konteks, kajian literatur, dan penilaian ahli
(pengembangan kerangka konseptual dan teori). Analisis kebutuhan dimaksudkan
melihat persepsi para pemangku kepentingan (guru, siswa) tentang apa yang perlu
diperbaiki atau diubah, dan karakteristik situasi yang lebih diinginkan. Analisis konteks
adalah bertujuan untuk mengeksplorasi lingkungan masalah dan memetakan lingkup
untuk melakukan inovasi.
Metode yang sering digunakan dalam analisis kebutuhan dan konteks
meliputi wawancara , focus group discussion (FGD), observasi, analisis dokumen, dan
studi kasus. Penekanan pada tahap awal ini adalah mendapatkan desain yang relevan
(validitas isi).
Pada tahap prototipe atau pengembangan dimulai setelah fase penelitian
pendahuluan telah berakhir. Pada awalnya penekanan tahap ini adalah mendapatkan
desain yang konsisten (validitas konstruk) dan praktis (dalam arti dapat digunakan dalam
konteks tertentu), dilanjutkan sampai menghasilkan desain yang efektif). Selama tahap
prototipe, beberapa prototipe dikembangkan, dievaluasi dan direvisi melalui evaluai
formatif. Fungsi evaluasi formatif adalah untuk meningkatkan. Ini fokusnya pada
mengungkap kekurangan selama proses perkembangannya dengan tujuan menghasilkan
saran untuk melakukan perbaikan. Nienke Nieveen Elvira Folmer (2013) mendefinisikan
evaluasi formatif dalam konteks penelitian desain pendidikan sebagai kegiatan yang
dilakukan secara sistematis (termasuk desain penelitian, pengumpulan data, analisis data,

pelaporan) yang bertujuan peningkatan kualitas prototipikal sebuah intervensi dan


prinsip-prinsip

desain

yang

menyertainya.

Dalam

penelitian

desain

biasanya

membutuhkan beberapa siklus atau iterasi sebelum pemecahan untuk masalah yang
kompleks dicapai secara optimal. Setiap siklus penelitian desain atau iterasi memiliki
evaluasi formatif spesifik dengan pertanyaan penelitian yang spesifik.
Untuk membuat proses prototipe lebih sistematis dan efisien, dapat dilakukan
melalui dua hal. Pertama, seseorang dapat memulai dengan mengembangkan sebagian
kecil intervensi .Misalnya, intervensi untuk satu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) saja. Dengan mengevaluasi keterlaksanaan pembelajaran ini oleh guru dan peserta
didik, orang dapat belajar dan mengembangkan bagian berikutnya, akhirnya mengarah ke
versi final dari seluruh yang intervensi.
Kedua,

bisa

memecah

intervensi

ke

beberapa

komponen

dan

untuk

mengembangkan komponen ini secara terpisah. Misalnya, jika intervensi didasarkan pada
pembelajaran berbasis masalah, awalnya fokus pada mendefinisikan pembelajaran
berbasis masalah dan konsekuensinya untuk tujuan, kegiatan pelajar dan guru, dan
strategi penilaian yang perlu dimasukkan dalam kurikulum; dan pada akhirnya baru
mengacu pada format yang menjamin intervensi dapat digunakan untuk kelompok
target. . Sebagai contoh, dalam sebuah proyek matematika bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan memecahkan masalah siswa, dikembangkan kegiatan belajar mengajar yang
inovatif diarahkan untuk memecahkan masalah siswa tersebut. Selama evaluasi formatif
prototipe pertama ini, peneliti desain tertarik pada kualitas pembelajaran. Namun,
menjelang akhir studi, tata letak bahan mendapat perhatian khusus dalam rangka
meningkatkan kepraktisan keseluruhan bahan untuk peserta didik dan guru. Proses
prototiope selesai jika semua kelemahan dapat diminimalkan dan intervensi akhir dapat
disampaikan dan diimplementasikan.
Tahap penilaian, dilaksanakan pada akhir studi. Tahap ini sering kali disebut
evaluasi sumatif. Fungsi evaluasi sumatif adalah membuktikan. Evaluasi sumatif
dilakukan untuk mendapatkan bukti untuk efektivitas intervensi dan menemukan
argument yang mendukung keputusan untuk melanjutkan atau mengakhiri proyek. Tahap
ini bertujuan untuk menentukan efektivitas sebenarnya dari intervensi lengkap (yang
telah dihasilkan dari pengembangan atau fase prototipe). Fokusnya adalah pada sejauh
mana implementasi intervensi mengarah ke hasil yang diinginkan. Hasil-hasil yang
diinginkan terkait dengan hasil yang diharapkan dari penelitian ini. Sebelum masuk ke

tahap penilaian atau evaluasi sumatif, peneliti harus memberikan bukti yang meyakinkan
tentang kualitas intervensi sejauh ini, atas dasar evaluasi formatif yang dilakukan selama
tahap prototype.
Keputusan apakah melaksanakan atau tidak evaluasi sumatif juga tergantung pada
jenis dampak intervensi. Evaluasi sumatif memerlukan biaya, waktu yang relative tinggi.
Sebagai alternatif untuk perencanaan dan melakukan evaluasi sumatif, misalnya dengan
menggabungkan ke suatu program lain dengan beberapa studi kasus mendalam (berfokus
pada praktek mengajar terkait dengan program baru). Meskipun jenis evaluasi sumatif ini
tidak dapat mendeteksi hubungan sebab-akibat tetapi dapat memberikan informasi yang
bermanfaat terhadap efektivitas intervensi dalam cara yang hemat biaya .
3.3

Karakteristik Penelitian Desain


Terdapat lima karakteristik penelitian desain yang akan diaplikasikan dalam

penelitian ini (dirangkum dari Bakker & van Erde, 2015).


1. Tujuan pengembangan, yang berarti penellitian

desain

bertujuan

untuk

mengembangkan teori pembelajaran. Dalam penelitian ini, teori pada bidang


matematika.
2. Interferensi alami, yang mengandung makna penelitian ini mgambil tempat di kelas
nyata, bukan di laboratorium. Dengan demikian karakteristik sample yang digunakan
pun murni seperti apa adanya dengan situasi siswa di kelas nyata.
3. Komponen prospektif dan reflektif, yang merujuk pada keterkaitan antara hipotesis
yang digunakan dalam penelitian ini (bagian prospektif) dan situasi nyata di kelas
(bagian reflektif).
4. Bersifat siklus, yang berarti proses iterasi digunakan dalam proses pembentukan dan
revisi desain. Karakteristik iterasi ini bertujuan untuk mengembangkan suatu teori
pembelajaran lokal (Gravemeijer, 2004). lebih lanjut Gravemeijer menyatakan bahwa
untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan, aktivitas pembelajaran hendaklah
didesain berdasarkan teori (fase ini disebut thought experiment) dan hendaknya
diujicobakan, direvisi dan dirancang kembali selama implementasi pembelajaran (fase
ini disebut teaching experiment). Proses iterasi pada penelitian desain dapat
diilustrasikan pada Gambar 1 (Gravemeijer, 2004).

Gambar 3.1 Iterasi Pada Penelitian Desain

Selanjutnya, Drijvers (2003) membedakan siklus mikro dan makro dalam suatu iterasi.
Siklus mikro merujuk pada setiap pertemuan pada satu siklus yang dilakukan.
Sementara siklus makro ada satu keseluruhan siklus yang terdiri atas tiga tahapan.
Persiapan implementasi lapangan dan analisis retrospektif (Bakker & van Erde, 2015).
5. Mampu diaplikasi secara general, yang berarti desain yang dihasilkan hendaknya
dapat diimplementasikan pada kelas lain di luar kelas implementasi.

3.4

Prosedur dalam Penelitian Desain

3.4.1

Desain Awal
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini menganalisis situasi dan permasalahan

yang terjadi pada pembelajaran matematika di sekolah. Hal-hal yang dilakukan dalam
fase ini adalah sebagai berikut.
1. Analisis Awal
Pada bagian ini dilakukan identifikasi masalah yang terdapat di sekolah tempat
tujuan penelitian terkait kesulitan yang dihadapi siswa SMA kelas X belajar
materi trigonometri.
2. Analisis Kurikulum
Pada bagian ini dilakukan telaah terhadap kurikulum yang berlaku disekolah.
Selain itu dilakukan pula wawancara kepada guru siswa untuk mengetahui
kegiatan pembelajaran matematika yang berlangsung di sekolah.
3. Analisis hasil penelitian sejenis yang relevan sebagai bahan pertimbangan dalam
penyusunan aktivitas pembelajaran.

4. Mendesain HLT dan perangkat pembelajaran berupa RPP, buku siswa dan buku
petunjuk guru.
5. Melakukan pengujian validitas dan instrumen yang digunakan, yang berupa buku
siswa dan petunjuk guru kepada ahli. Pengujian ini difokuskan pada validasi isi
dari instrumen yang disusun. Validitas isi merujuk pada kemampuan instrumen
untuk merepresentasi ruang lingkup kepentingan yang ingin dituju untuk
mengukur suatu fenomena (Wynd, Schmidt & Schafer, 2003). Ahli yang
memeriksa akan memberikan penilaian pada lembar validasi instrumen. Lembar
validasi ini terdiri atas beberapa butir pernyataan dan setiap pernyataan akan
diberikan skor dengan skala 1 sampai dengan 4. skor 1 diberikan apabila
deskriptor yang dimaksud dalam pernyataan sangat kurang, skor 2 apabila kurang,
skor 3 apabila baik dan skor 4 sangat baik.
6. Menganalisis hasil pengujian ahli dan mempertimbangkan saran-saran yang
diberikan untuk memperbaiki instrumen yang disusun. Analisis secara kuantitatif
untuk menentukan validitas konten dan reliabilitas instrumen yang disusun
dilakukan dengan tahapan berikut.
Pertama, untuk menentukan indeks validitas kontennya, analisis dilakukan dengan
dua tahap. Pertama, dicari indeks validitas konten untuk setiap item yang
divalidasi (I-CVI) dengan menggunakan perhitungan berikut.
n
I CVI= d
n
(Polit & Beck, 2006).
Keterangan:
nd
: Banyak ahli yang memberikan skor 3 atau 4
n

: Banyak semua ahl yang menilai

Lebih lanjut, Polit & Beck (2006) menyatakan sebagaimana yang direkomendasikan
oleh Lynn (1986) apabila ahli yang menilai kurang dari atau sama dengan lima
orang, maka I-CVI haruslah sama dengan 1.
Tahapan kedua adalah dengan mencari indeks validitas konten untuk skalah (I-CVI)
yang dimaksudkan untuk melihat proporsi item yang diberikan rating relevan atau
sangat relevan oleh kedua ahli. S-CVI dihitung dengan perhitungan berikut:
n
SCVI = 1
m
(Polit & Beck, 2006).

Keterangan:
n1
: Banyak item yang disepakati ahli
m

: Total item yang dinilai

Perhitungan ini dapat dibantu dengan membuat Tabel 1 berikut.


Tabel 3.1 Tabel Kerja Perhitungan S-CVI
Penilai I
Item yang Dinilai
(1) atau (2)
Penilai II
Item yang Dinilai (1) atau (2)

Item yang Dinilai


(3) atau (4)
b

m0
m1

Item yang Dinilai (3) atau (4)

Total

n0

n1

SCVI =

Total

n1
m
(Polit & Beck, 2006)

Kedua, reliabilitas atau tingkat kesepakatan kedua ahli diuji dengan menggunakan
Statistik Kappa. Semakin mendekati 1 maka kesepakatannya semakin kuat dan berarti
simpulan yang nantinya diambil tidak melupakan hasil yang kebetulan (Viera & Garrett,
2005). untuk memudahkan perhitungan nilai Kappa, dapat dibuat Tabel 3.2 seperti
berikut.
Tabel 3.2 Tabel Kerja Perhitungan Nilai Kappa

Penilai II
Hasil

Ya
Tidak
Total

Penilai I
Hasil`
Ya
a

Tidak
b

Total

m1

m0

n1

n2

(Vierra & Garret, 2005)

Kolom

dan

menunjukan banyak jawaban yang sepakat antara penilai 1 dan

penilai 2, sementara kolom

dan

menunjukkan banyak jawaban yang tidak

disepakati oleh keduanya. Kemudian nilainya diperoleh dengan formula:


( po p e )
K=
(1 pe )
Keterangan:
a+ d
po=
n

pe =

( n1 m1 )
n

)(
+

( n0 m0 )
n

Nilai Kapaa yang diperoleh kemudian diintepretasikan sesuai dengan Tabel 3 berikut.
Tabel 3.3 Kriteria Klasifikasi Nilai Kappa
Kappa
0

Intepretasi Kesepakatan
Kebetulan

0.010.20

Sangat Sedikit Sepakat

0.210.40

Sedikit

0.410.60

Cukup Sepakat

0.610.80

Sepakat

0.811.00

Sangat Sepakat
(diadaptasi dari Vierra & Garret, 2005)

3.4.2

Implementasi Lapangan
Implementasi lapangan dilakukan dengan pengajaran langsung ke siswa. Pada

tahap ini pengumpulan data dilakukan melalui pekerjaan siswa (LKS, pre- dan post-test),
observasi kegiatan diskusi kelompok/kelas, catatan lapangan dan rekaman video
sepanjang kegiatan pembelajaran maupun ketika mewawancara siswa dan guru. Dalam
penelitian ini dilakukan tiga siklus implementasi lapangan.
a. Siklus I
Siklus pertama dari implementasi lapangan ini dilakukan sebagai bentuk pilot
studi yang bertujuan untuk melihat respons siswa terhadap pembelajaran yang dirancang.

Siklus ini dimulai dengan pre-test yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan awal
yang sudah dimiliki siswa. Hasil dari pre-test ini akan digunakan untuk mengecek apakah
rencana pembelajaran yang disusun sesuai dengan kondisi siswa. Setelah itu barulah
proses belajar mengajar dilakukan. Peneliti akan langsung bertindak sebagai guru dalam
siklus pertama ini. Adapun subjek yang dilibatkan adalah kelompok kecil yang terdiri atas
empat orang siswa. Siklus ini akan ditutup dengan post-test yang bertujuan untuk melihat
perkembangan

siswa

stelah

mengikuti

pembelajaran

yang

dilakukan.

Setelah

mengerjakan tes, siswa akan diwawancara untuk mengkonfirmasi pemahaman peneliti


terhadap data tertulis yang dikerjakan siswa. Data siklus I dikumpulkan melalui pekerjaan
siswa dan video observasi selama pembelajaran. Analisis data yang diperoleh dari siklus I
digunakan sebagai acuan dalam merevisi HLT yang nantinya akan digunakan sebagai
pedoman dalam melakukan pembelajaran pada siklus II.
b. Siklus II
Edisi revisi dari HLT siklus I digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan
Siklus II. Pada siklus ini penelitian dilakukan di kelas nyata, dimana semua sisa di kelas
tersebut terlibat dalam penelitian dan peneliti bertindak sebagai guru dibantu seorang
observer. Sama halnya dengan data yang dikumpulkan pada Siklus I, pada tahapan ini
peneliti akan mengumpulkan pekerjaan tertulis siswa (pre-test, lembar kerja, dan posttest)
serta melalui video observasi selama pembelajaran dan wawancara dengan siswa.
Analisis data yang diperoleh dari siklus II ini digunakan sebagai acuan dalam merevisi
HLT yang nantinya akan digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran
yang pada akhir siklus ini diperoleh sebuah teori pembelajaran lokal yang berisi HLT
yang telah disempurnakan.
3.4.3 Analisis Retrospektif
Data yang diperoleh selama implementasi lapangan kemudian akan dianalisis
secara kualitatif pada fase penilaian, dengan menggunakan metode perbandingan konstan
(Bakker, 2004). Adapun langkah-langkah dalam menganalisisnya dapat dideskripsikan
sebagai berikut: (1) menonton semua rekaman pembelajaran sesuai urutan yang benar, (2)
membuat transkip umum, (3) menandai segmen yang menarik khususnya yang
menunjukkan

momen pembelajaran krusial, (4) melengkapi transkip pada bagian

tersebut secara detail, (5) mencari konfirmasi maupun kontradiksi yang mendukung
maupun yang menolak penafsiran terhadap momen krusial tersebut pada segmen lainnya,

serta (6) merefleksi hasil penelitian pendahuu untuk melihat kesamaan maupun
perbedaan yang muncul.
Hasil analisis dari implementasi lapangan Siklus I digunakan untuk merevisi HLT
yang akan digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan implementasi lapangan
Siklus II. Adapun hasil analisis dari Siklus II digunakan untuk merevisi HLT yang akan
digunakan untuk merevisi HLT yang kemudian digunakan untuk merumuskan gambaran
tentang bagaimana proses pembelajaran yang terjadi pada siswa dan untuk mengecek
kesesuaian antara prediksi dan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Lebih lanjut, data pre- dan post-test diperiksa berdasarkan argumen yang
diberikan siswa untuk menjawab setiap masalah yang diberikan. Data dari wawancara
dengan siswa digunakan untuk mengkonfirmasi intepretasi peneliti terhadap pekerjaan
tertulis siswa.
Hasil pre-test digunakan untuk melihat apakah awal mula pembelajran yang
dirancang sudah tepat. Adapun hasil pos-test utamanya digunakan untuk merfleksikan
pola pikir siswa terhadap masalah sejenis yang digunakan selama pembelajaran. Hasil
dari pre- dan post-test ini juga dibandingkan secara kualitatif, untuk dapat menjelaskan
bagaimana suatu desain pembelajaran dan perangkatnya dapat digunakan untuk
mendukng perkembangan prestasi belajar siswa.
Analisis kualitatif dipilih sebagai metode dalam penelitian ini karena tujuan dari
studi ini tidak hanya melihat seberapa besar perbedaan skor yang diperoleh siswa dalam
pre dan post-test, tapi juga untuk melihat agaimana siswa belajar pada saat implementasi
lapangan serta bagaimana hasil pembelajaran tersebut apabila diujikan pada soal sejenis
maupun dengan tingkatan lain yang lebih tinggi.
3.1 Validitas dan Reliabilitas
Untuk meningkatkan kualitas penelitian ini, aspek validitas dan reliabilitas selama
proses pengumpulan maupun analisis data sangat diperhatikan. Validitas mengacu pada
keakuratan peneliti dalam mengukur apa yang ingin diukur, sementara reliabilitas fokus
pada tingkat kepercayaan terhadap peneliti (Denscombe, 2010). Untuk menjamin
validitas dan reliabilitas selama proses pengumpulan maupun analisis data, dalam
penelitian ini diberlakukan hal-hal berikut.
3.5.1

Validitas dan Reliabilitas dalam Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data, penelitian ini menggunakan data triangulasi


yang mengandung makna lebih dari satu metode akan digunakan untuk mengumpulkan

data prestasi belajar dan kemandirian belajar siswa. Cara ini digunakan untuk
meningkatkan validitas internal daru penelitian ini. Jenis metode yang digunakan adalah
dengan menggunakan catatan lapangan dan video registrasi pada kelas observasi,
wawancara dengan siswa, serta mengumpulkan lembar pekerjaan siswa. Untuk
meningkatkan reliabilitas internal dari penelitian ini, digunakan perangkat elektronik
seperti halnya alat perekam video maupun audio.
3.5.2
Validitas dan Reliabilitas dalam Analisis Data
Validitas dan reliabilitas bukan hanya isu penting pada pengumpulan data,
melainkan memainkan peran penting pada analisis data. Seperti yang dideskripsikan oleh
Bakker & van Erde (2013), peneliti ingin menganalisis data dengan cara yang reliabel
dan menarik simpulan yang valid.
a. Validitas Internal
Validitas internal mengacu pada tingkat kepercayaan (trustwothiness) dari suatu
hasil (Frambach, van den Vleuten & Durning, 2013). Untuk meningkatkan
valditas internal dari penellitian ini, beberapa strategi dilakukan, yaitu: (1)
menggunakan metode triangulasi, (2) menguji kecocokan data antara HLT dan
kegiatan pembelajaran yang sebenarnya terjadi dan (3) mencari kemungkinan
adanya counterexamples selama tahap penilaian untuk menguji prediksi yang
dibuat.
b. Validitas Eksternal
Validitas eksternalmerupakan kemampuan hasil studi ini digeneralisasi pada
konteks lain (Bakker & van Erde, 2015). Pada penelitian ini, deskripsi yang detail
dan analisis keadaan partisipan dan situasi pembelajaran digunakan untuk
meningkatkan validitas eksternal.
c. Reliabilitas Internal
Reliabilitas internal merupakan tingkat independensi peneliti dalam melakukan
analisis (Bakker & van Erde, 2015). Untuk mewujudkan hal tersebut peneliti
mendiskusikan fragmen-fragmen penting dalam fase penilaian dengan dosen
pembimbing sebelum akhirnya menarik simpulan.
d. Reliabilitas Eksternal
Reliabilitas eksternal merujuk pada tingkat konfirmasi dari hasil studi (Frambach,
van den Vleuten & Durning, 2013), yang berarti simpulan yang diambil haruslah
sesuai dengan kondisi faktual yang terjadi di kelas dan terhindar dari bias peneliti.
Untuk meningkatkan reliablitias eksternal dari penelitian ini, data yang diperoleh

akan disajikan secara setransparan mungkin. Cara yang ditempuh adalah sebagai
berikut: (1) mendokumentasikan seluruh kegiatan pembelajaran, (2) menjelaskan
bagaimana pembelajaran terlaksana dan (3) menjelaskan bagaimana penarikan
simpulan dilakukan.
3.6

Hypothetical Learning Trajectory (HLT)


Untuk memperoleh rangkaian aktivitas yang dapat mendukung perkembangan

pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa selama proses kegiatan


pembelajaran menggunakan model Metaphorical Thinking, maka hipotesis dalam
penelitian ini akan diuji secara iteratif pada setiap fase. Hipotesis yang digunakan pada
penelitian desain berbeda dengan yang umum digunakan pada penelitian eksperimen.
Hipotesis pada eksperimen telah ditentukan sebelum data mulai dikumpulkan dan tidak
akan berubah lagi sampai penelitian tersebut selesai (van Erde, 2013). Sementara itu,
hipotesis yang digunakan pada penelitian desain akan diuji secara berkelanjutan dan
setiap hasil dari proses implementasi dapat menyebabkan perubahan hipotesis.
Hipotesis yang digunakan pada penelitian desain disebut sebagai Hypothetical
Learning Trajectory (HLT). Simon (1995) menegaskan bahwa HLT terdiri atas tiga
komponen: tujuan pembelajaran yang akan menentukan arah dari kegiatan belajar,
aktivitas pembelajaran dan hipotesis proses pembelajaran yang berisi prediksi bagaimana
siswa berpikir apabila diberikan akivitas pembelajaran yang dimaksudkan. HLT memiliki
peran yang berbeda disetiap fase penelitian. Tabel 4 berikut merangkum fungsi HLT
sesuai dengan tahapan dalam penelitian desain.
Tabel 3.7 Peran HLT dalam Setiap Fase Penelitian Desain
Fase
Persiapan

Peran HLT
HLT disusun dan berikutnya digunakan sebagai pedoman dalam

Implementasi

mendesain aktivitas pembelajaran.


HLT digunakan sebagai pedoman yang digunakan guru dalam

Lapangan

melaksanakan pembelajaran dan digunakan peneliti untuk


menentukan fokus dalam proses pembelajaran, wawancara dan

Analisis Retrospektif

observasi.
HLT digunakan sebagai pedoman dalam menganalisis dengan
membandingkan prediksi dengan kenyataan di kelas. Setelah
melakukan analisis menyeluruh, HLT akan direvisi dan
direformulasi untuk kemudian digunakan sebagai pedoman

Fase

Peran HLT
pada tahap rancangan berikutnya.
HLT disusun bersumber dari kajian literatur terhadap hasil penelitian pendahulu

yang relevan dengan model pembelajaran matematika berpendekatan metaphorical


thinking dan konsultasi dengan dosen pembimbing agar bisa diperoleh pertimbangan dan
perbaikan selama proses pembelajaran. Dalam penelitian ini HLT disusun untuk
mempersiapkan kegiatan pembelajaran selama delapan pertemuan yang bertujuan untuk
membantu siswa memahami konsep-konsep dan keterampilan matematika serta
mengembangkan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa melalui kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran matematika berpendekatan
metaphorical thinking .
Untuk mewujudkan lintasan pembelajaran yang efektif dalam penelitian ini, maka
sebelum melaksanakan pembelajaran pada pertemuan pertama, peneliti bersama guru
mata pelajaran matematika menyempatkan untuk memberi informasi kepada siswa
mengenai kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan dengan menggunakan model
pembelajaran matematika berpendekatan metaphorical thinking. Mengingat hal ini
merupakan pengalaman pertama bagi siswa dalam belajar dengan cara yang berbeda dari
biasanya. Sehingga waktu yang ada benar-benar dimaksimalkan agar siswa memahami
dengan jelas bagaimana saja aktivitas pembelajaran serta posisi dan peran siswa terhadap
kegiatan

pembelajaran

dengan

menggunakan

model

pembelajaran

matematika

berpendekatan metaphorical thinking.


Adapun fase implementasi dan analisis restrospektif dimuat pada tahap prototipe
penelitian desain tipe studi pengembangan. HLT dalam penelitian ini diintisarikan dalam
Tabel 3.7, adapun penjabaran secara spesifik untuk masing-masing pertemuan akan
dijabarkan setelahnya.

Tabel 3.7 Ringkasan Hypothetical Learning Trajectory Berpendekatan Metaphorical Thinking Materi Trigonometri
Pertemuan
1

Tujuan

Aktivitas

Pembelajaran
Siswa
mampu

menjelaskan

Guru

membuka

dengan

bertanya

Hipotesis Proses Pembelajaran


pembelajaran

Dalam

materi

identitas

dasar

siswa

trigonometri pada tahap koneksi,

mengenai perbandingan trigonometri

siswa akan bertanya kaitan lebih

trigonometri

pada segitiga siku (sin, cos, tan,

spesifik proses terjadinya hujan

sebagai hubungan

cosec, sec, dan cotan)

dengan perbandingan trigonometri

identitas

dasar

antara

rasio

Guru

kepada

menggunakan

tahapan

segitiga

siku-siku,

lalu

guru

trigonometri dan

metaphorical

untuk

meminta siswa mengulangi siklus

perannya

menjelaskan konsep identitas dasar

terjadinya air hujan dan melihat

membuktikan

trigonometri yaitu, pertama koneksi

kembali sisi-sisi pada segitiga

identitas

(connection),

siku-siku

trigonometri

membandingkan materi

simpulan bahwa mutlak semua

lainnya.

perbandingan trigonometri segitiga

variabel tersebut berada pada

siku-siku dengan variabel x, y, dan r

posisi sesuai pada gambar segitiga

dengan

siku-siku

tersebut.

kedua, tahap penemuan (discovery)

tahap

penemuan,

mengajak siswa memahami rumus-

membandingkan sisi-sisi segitiga

rumus

siku-siku

dalam

proses

thinking

siswa

terjadinya

perbandingan

diajak

hujan,

trigonometri

untuk

untuk

diperoleh

Kemudian
siswa

memperoleh

Pertemuan

Tujuan

Aktivitas

Hipotesis Proses Pembelajaran

Pembelajaran
pada

segitiga

siku-siku

dengan

identitas kebalikan dan identitas

konsep sin suatu sudut diperoleh dari

perbandingan. Pada tahap ketiga,

perbandingan sisi depan dan sisi

siswa mengetahui bahwa identitas

miring, cos merupakan perbandingan

pythagoras merupakan identitas

sisi samping dan sisi miring, dan

yang diturunkan dari teorema

tangen dari perbandingan sisi depan

pythagoras, dan tahap keempat

dan samping dihubungkan dengan

sebagai tahap terakhir yaitu siswa

segitiga

tahap

melakukan pembuktian identitas

rumus

trigonometri yang memuat bentuk

siku-siku

koneksi,

pada

dihasilkan

y
sin =
r

x
cos =
r

trigonometri dan menghubungkan


, dan

dua ekspresi pada kedua ruas


persamaan.

tan =
tahap

y
x , ketiga
penciptaan

(invention)

mengajak siswa mengetahui bahwa


identitas

pythagoras

identitas

yang

merupakan

diturunkan

dari

Pertemuan

Tujuan

Aktivitas

Hipotesis Proses Pembelajaran

Pembelajaran
teorema

pythagoras,

dan

tahap

aplikasi (application) yaitu mengajak


siswa mengarah pada produk, yaitu
hasil pikir dan dapat juga dalam
bentuk
identitas

nyata

dan

pada

trigonometri

materi

dilakukan

pembuktian identitas trigonometri


yang memuat bentuk trigonometri
dan menghubungkan dua ekspresi
pada kedua ruas persamaan

DAFTAR PUSTAKA
Aksin, N., Astuti, A.Y., & Suparno. (2016). PG PR Matematika Kelas X Semester 2.
Klaten:PT. Intan Pariwara.
BSNP. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta : Depdikbud.
Budhayanti, C.I.K & Simanullang, B.(2008). Pemecahan Masalah Matematika. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Bakker, A., & Van Erde, H. A. (2015). An introduction to design-based research with an
example from statistics education. In A Bikner-Ahsbahs, C. Knipping & N.
Presmeg (Eds), Aprroaches to Qualitative Research in Mathematics Education
(pp. 429-466). New York: Springer. doi10.10007/978-94-017-9181-6_16.
Carreira, S. (2001). Where Theres a Model, Theres a Metaphor: Metaphorical Thinking
in Students Understanding of a Mathematical Model. An International Journal
Mathematical Thinking and Learning. 3(4), 261-287.
Daryanto & Tasrial. (2012). Konsep Pembelajaran Kreatif. Yogyakarta: Gaya Media.
Drijvers, P. (2003). Learning algebra in a computer algebra environment. (Doctoral
Disertation). Utrecht: CD-beta press.
Depdiknas. Standarisasi Sekolah Dasar dan Menengah, Permendiknas No.22 tahun
2006, (Online), (http://sdm.data.kemdikbud.go.id/SNP/dokumen/Permendiknas
%20No%2022%20Tahun%202006.pdf, diakses tanggal 28 Agustus 2016)
George Lakoff and Mark Johnsen (2003). Metaphors we live by. London: The university
of Chicago press.
Gravemeijer, K. (2004). Local instruction theories as means of support for teachers in
reform mathematic education. Mathematical Thinking and Learning, 6, 105128.
Hendriana. (2009). Pembelajaran dengan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi matematis serta
kepercayaan diri siswa. Disertasi, UPI Bandung:tidak diterbitkan, (Online),
(http://repository.upi.edu/8082, diakses tanggal 28 Agustus 2016)
Hidayah, Ika Nurlita.(2016). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika
Model Kooperatif Tipe Stad Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking Untuk
Melatihkan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa. Tesis, UIN Sunan
Ampel Surabaya:tidak diterbitkan, (Online),
(http://digilib.uinsby.ac.id/5111/ , diakses tanggal 28 Agustus 2016)
Hendriana, Heris. (2009). Pembelajaran Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking
Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi

Matematik dan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. S3


Thesis, Universitas Pendidikan Indonesia, (Online),
(http://repository.upi.edu/8082/, diakses tanggal 28 Agustus 2016)
Izzati, N. & Suryadi, D. 2010. Komunikasi Matematik dan Pendidikan Matematika
Realistik. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasinal di Jurusan Pendidikan
Matematika FMIPA UNY, Yogyakarta pada tanggal 27 November 2010,
(Online),
(https://bundaiza.files.wordpress.com/2012/12/komunikasi_matematik_dan_pmr
-prosiding.pdf, diakses tanggal 11 Oktober 2016)
Kadir. 2010. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir sebagai
Upaya Peningkatan kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, Komunikasi
Matematis, dan Keterampilan Sosial Siswa SMP. Bandung: PPS Universitas
Pendidikan Indonesia, (Online),
(http://forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/Artikel%20KadirUNHALUOLEO.pdf, diakses tanggal 11 Oktober 2016)
Martin, W. 2009. Paul Ernest's Social Constructivist Philosophy of Mathematics
Education. Disertasi University of Illinois at Urbana Champaign.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), Principles and Standards
For School Mathematics, (Reston,Va.: NCTM, 2000), (Online),
(http://www.nctm.org/standards/, diakses tanggal 28 Agustus 2016)
Nugraha, Agi (2013). Pembelajaran Matematika Melalui Metode Personalized System
Of Instruction (Psi) Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis
Siswa Smp. S1 Thesis, Universitas Pendidikan Indonesia, (Online),
(http://repository.upi.edu/9742/ , diakses tanggal 11 Oktober 2016)

Nuraeni, Yeni. (2013). Tidak Ada Murid Bodoh : Sukses Mengajar Ala Otak Kanan.
Jakarta : Bumen Pustaka Emas.
Nurhikmayati, Iik (2013) . Pembelajaran Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking
Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis
Siswa SMP. S2 thesis, Universitas Pendidikan Indonesia. , (Online),
(http://repository.upi.edu/4503/ ,diakses tanggal 11 Oktober 2016).

Poyla, G. 1973. How to Solve It. Princeton, NJ: Princeton University Press, (Online),
(https://notendur.hi.is/hei2/teaching/Polya_HowToSolveIt.pdf, diakses 23
Desember 2016)
Prayitno, S., Suwarsono, S. & Siswono, T.Y.E. (2013). Indentifikasi Indikator
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal

Matematika Berjenjang pada Tiap-Tiap Jenjangnya. KNPM V Himpunan


Matematika Indonesia, Juni 2013, (Online),
( http://fmipa.um.ac.id/index.php/component/attachments/download/158.html,
diakses tanggal 11 Oktober 2016).
Qohar. (2009). Penggunaan Reciprocal Teaching Untuk Mengembangkan Komunikasi
Matematis (Online), (http://eprints.uny.ac.id/12258/1/M_Pend_2_Abd.
%20Qohar.pdf, diakses 23 Desember 2016).

Sudrajat, Ade (2013). Peningkatan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis


Serta Motivasi Belajar Siswa Mts dengan Pendekatan Metaphorical Thinking
Berbantuan Komputer. S2 Thesis, Universitas Pendidikan Indonesia, (Online),
(http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:TDXYr54QkOQJ:repository.upi.edu/571/+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl
=id, diakses 11 Oktober 2016)

Sunito, I., Sukardjo, M., Masribi, Syukur, R., Latifah, U., Fakhruddin, M., Chudori, A.,
Komaruddin, U., & Syarif, Irnawati. (2013). Metaphorical Thinking :
Beberapa Strategi Berpikir Kreatif. Jakarta : PT. Indeks.
Sumarmo, U. 2010. Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana
Dikembangkan pada Peserta Didik. Artikel pada FPMIPA UPI bandung.
Tersedia (online) pada http://math.sps.upi.edu/?p=58. (Diakses pada tanggal 2
September 2016).
Suprojono. A. (2009). Model-Model Pembelajaran Emansipatoris. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.

Schoenfeld, A. H. 1992. Learning to Think Mathematically: Problem Solving,


Metacognition, and Sense Making in Mathematics, dalam Grouws, Douglas. A
(Eds.): Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning, (hlm.
334366). New York: Macmillan Publishing Company.
Wahab, Rohmalina. (2015). Psikologi Belajar. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.
Wijaya, Ariyadi. (2012). Pendidikan Matematika Realistik. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Van den Akker, J., gravemeijer, K., McKenney, S., & Nieveen, N. (Eds). (2006).
Educational Desaign Research. London: Routledge.

Anda mungkin juga menyukai