Preskes Down Syndrome Iqbal
Preskes Down Syndrome Iqbal
Oleh :
Iqbal Imanuddin
G99141001
Pembimbing :
DR. dr. Noer Rachma, Sp.KFR
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. TN
No. RM
: 01132345
Umur
: 3 Tahun 4 bulan
Tanggal Lahir
: 3 November 2011
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Joyotakan, Surakarta
Keluhan Utama
Demam
B.
tua
pasien
juga
mengeluhkan
perkembangan
dan
pertumbuhan anaknya lebih lambat dari anak lain seusianya. Sampai saat
ini pasien belum bisa menirukan kata-kata, hanya bisa mengucap suku kata
seperti pa pa pa. Pasien juga masih belajar berjalan dengan dipapah, serta
mulai belajar menggenggam dan mengenal mainan. Pasien juga sudah bisa
makan menggunakan sendok sendiri. Keterampilan tersebut didapat saat
pasien melakukan terapi rehabilitasi medik, yang baru dijalani selama 4
bulan terakhir. Pasien didiagnosa menderita down syndrome pada saat
pasien berumur 5 bulan. Kemampuan pasien untuk makan baik, dan pasien
juga dapat menggerakkan anggota geraknya secara aktif.
C.
Riwayat mondok
: disangkal
Riwayat epilepsi
: disangkal
D.
Faringitis
(+)
Pneumonia
(+)
Morbili
(+)
Pertusis
(-)
Difteri
(-)
Varicella
(-)
Epilepsi
E.
Polio
(-)
(-)
Cacingan
(-)
Gegar otak
(-)
Fraktur
(-)
Kolera
(-)
TB paru
(-)
: disangkal
: disangkal
F. Pohon Keluarga
Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
: Meninggal
: Menderita sindrom down
G.
terdiri dari ayah, ibu, 4 orang kakak penderita, dan pasien sendiri.
Pekerjaan ibu pasien yaitu memasak dan membantu di rumah tetangga,
sedangkan ayah pasien bekerja sebagai pembuat pot. Biaya pengobatan
pasien ditanggung oleh BPJS.
H.
I.
Frekuensi pemeriksaan pada trimester I dan II 2 kali tiap bulan, dan pada
trimester III 4 kali tiap bulan di bidan. Penyakit kehamilan (-). Riwayat
minum jamu selama hamil (-), obat-obatan yang diminum adalah vitamin
dan tablet penambah darah dari bidan. Umur ibu saat mengalami
kehamilan adalah 40 tahun.
J.
Riwayat Kelahiran
Penderita lahir di Puskesmas, dengan lahir spontan, pada usia
puskesmas.
L.
Jenis
1.
Riwayat Imunisasi
I
BCG
II
1 bulan -
III
-
IV
-
2.
DPT
2 bulan 3 bulan
4 bulan
3.
Polio
0 bulan 2 bulan
3 bulan
4 bulan
4.
Campak
9 bulan -
5.
Hepatitis B
Lahir
3 bulan
4 bulan
2 bulan
: tampak sehat
Derajat Kesadaran
: compos mentis
Status gizi
2. Tanda vital
S
: 38,1 oC
: 126 x/menit
RR
: 31 x/menit
SiO2 : 85 %
BB
: 9 kg
TB
: 80 cm
kelenjar
limfe
13. Thorax: bentuk normochest, retraksi (+) subcostal dan epigastrial, iga
gambang (-), gerakan simetris ka = ki
Cor :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pulmo :
14. Abdomen :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
: tympani
Palpasi
sianosis -
oedem -
TB/U
2.
Hasil
Satuan
Rujukan
12.5
37
18.2
171
4.23
g/dl
%
ribu/l
ribu/l
juta/l
10.8 12.8
35 43
5.5 17.0
150 450
3.90 5.30
mmol/L
mmHg
mmHg
%
mmol/L
mmol/L
%
7.350 - 7.450
-2 - +3
27.0 41.0
83.0 108.0
37 50
21.0 28.0
19 24
94.0 - 98.0
mmol/L
mmol/L
mmol/L
132 145
3.1 5.1
1.17 - 1.29
7.330
-7.9
34.0
46.0
34
19.0
18.7
76.0
Elektrolit
Natrium darah
134
Kalium darah
4.7
Calsium ion
1.20
Foto Thorax (17 Maret 2015)
DAFTAR MASALAH
10
Masalah Medis :
Pneumonia
Down Syndrome
ASSESMENT
1. Pneumonia
2. DE : PJB asianotik
DA : PDA L to R shunt
DF : NYHA I
3. Down Syndrome dengan global developmental delay
4. Diare akut tanpa dehidrasi
5. Gizi baik, underweight, stunted
VIII.
PENATALAKSANAAN
a) Terapi Pediatri
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
O2 2 lpm
Diet Sonde 600 Kkal/hari via NGT + susu 3x100 ml
IVFD D1/4 NS 10 tpm (makro)
Inj. Ceftriaxone (50mg/ kg/ 12 jam) ~ 450 mg/12 jam
Paracetamol syr 3x100 mg po
Furosemid 2 x 10 mg
Aldacton 2 x 6,125 mg
11
8) Digoxin 2 x 0,05 mg
9) Zinc 1 x 20 mg
10) Nebu NACL 0,9% + Pulmocort + berotec 10 tts s/d 5cc/8 jam
11) Oralit 100 cc/diare, 50 cc/muntah
b) Terapi Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi
motorik
latihan
keterampilan
halus,
melakukan
aktivitas
memberi
edukasi
kepada
tidak diberikan
Disabilitas
Handicap
XI. PLANNING
Planning Diagnostik
Planning Terapi
Planning Edukasi
12
XII.GOAL
Jangka Pendek
Perbaikan keadaan umum sehingga mempersingkat lama perawatan
Mencegah
terjadinya
komplikasi
yang
lebih
buruk
yang
dapat
XIII. PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia et bonam
Ad sanam
: dubia et malam
Ad fungsionam
: dubia et bonam
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SINDROM DOWN
14
I.
Definisi
Nama sindrom Down berasal dari nama seorang dokter yang
pertama kali melaporkan kasus hambatan tumbuh kembang psikomotorik
dan berakibat gangguan mental pada tahun 1866. Dokter tersebut adalah
Dr. John Langdon Down dari Inggris. Sebelumnya kelainan genetika ini
disebut sebagai Mongolismus, sebab memang penderitanya memiliki
ciri fisik menyerupai ras Mongoloid. Karena berbau rasialis maka nama ini
diganti menjadi Sindrom Down. Terlebih setelah tahun 1959 diketahui
bahwa kelainan genetika ini dapat terjadi pada ras mana saja tanpa
membedakan jenis kelamin.
Sindroma down merupakan kelainan kromosom yang paling sering
terjadi. Angka kejadian kelainan ini mencapai 1 dalam 1000 kelahiran. Di
Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai 5000 anak dengan
kelainan ini. Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu
jiwa.
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai
trisomi, karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki
kelebihan satu kromosom. Mereka mempunyai tiga kromosom 21 dimana
orang normal hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini akan
mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan
karakteristik fisik dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam
fungsi fisiologi tubuh (Pathol, 2003).
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler,
translokasi dan mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua
sel dalam tubuh akan mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh
empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari tipe ini (Lancet,
2003).
15
Faktor Risiko
Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan
meningkat dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi
wanita yang hamil pada usia di atas 35 tahun. Walau bagaimanapun,
wanita yang hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat
bayi dengan sindrom Down.
Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom
Down adalah lebih tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi
dengan sindrom Down, atau jika adanya anggota keluarga yang terdekat
yang pernah mendapat kondisi yang sama. Walau bagaimanapun
kebanyakan kasus yang ditemukan didapatkan ibu dan bapaknya normal
(Livingstone, 2006).
Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down
berdasarkan umur ibu yang hamil:
- 20 tahun: 1 per 1,500
- 25 tahun: 1 per 1,300
- 30 tahun: 1 per 900
- 35 tahun: 1 per 350
- 40 tahun: 1 per 100
- 45 tahun: 1 per 30
III.
Etiologi
Sindrom Down banyak dilahirkan oleh ibu berumur tua (resiko
tinggi), ibu-ibu di atas 35 tahun harus waspada akan kemungkinan ini.
16
Genetik
Diperkirakan terdapat predisposisi genetic terhadap
non-
Radiasi
Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya nondisjunctional pada sindrom Down ini. Uchida 1981 (dikutip Pueschel
dkk.) menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan
sindrom Down, pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum
terjadinya konsepsi. Sedangkan penelitian lain tidak mendapati hubungan
antara radiasi dengan penyimpangan kromosom.
3.
Infeksi
Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya
sindrom Down. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu
memastikan bahwa virus dapat mengakibatkan terjadinya
disjunctional.
17
non-
4.
Autoimun
Factor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom Down
adalah aotuimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan
dengan tiroid. Penelitian Fialkow 1966 (dikutip Pueschel dkk.) secara
konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu
yang melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang
umurnya sama.
5.
Umur ibu
Apabila umur ibu di atas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan
hormonal yang dapat menyebabkan non-disjunctional pada kromosom.
Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya
kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estriadol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan secara tajam
kadar LH (Lutenizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating
Hormone) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya non-disjunctional.
6.
Umur ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom Down, juga dilaporkan
adanya pengaruh umur ayah. Penelitian sitogenik pada orang tua dari anak
dengan sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra
kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi
dengan umur ibu.
Factor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nucleolus, bahan
Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi
sindrom Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood
test dan atau sonogram. Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat
18
memberi hasil pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom Down
atau tidak (American College of Nurse-Midwives, 2005).
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah
Nuchal Translucency (NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 14
kehamilan. Apa yang diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada
belakang leher janin. Tujuh daripada sepulah bayi dengan sindrom Down
dapat dikenal pasti dengan tehnik ini (American College of NurseMidwives, 2005).
Hasil ujian sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada
darah ibu hamil yang disuspek bayinya sindrom Down, apa yang
diperhatikan adalah plasma protein-A dan hormon human chorionic
gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa
mungkin adanya kelainan pada bayi yang dikandung (Mayo Foundation
for Medical Education and Research (MFMER), 2011).
Terdapat beberapa uji diagnostik yang boleh dilakukan untuk
mendeteksi sindrom Down. Amniocentesis dilakukan dengan mengambil
sampel air ketuban yang kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom
janin. Kaedah ini dilakukan pada kehamilan di atas 15 minggu. Risiko
keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
Chorionic villus sampling (CVS) dilakukan dengan mengambil
sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji untuk melihat
kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan
hingga 14. Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.
Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) adalah tehnik di
mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat kromosom
janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini
dilakukan sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang
jelas. Resiko keguguran adalah lebih tinggi (Mayo Foundation for Medical
V.
19
21
bertanggungjawab
menimbulkan
penyakit
jantung
dengan
sindrom
Down
sering
kali
menderita
20
sindrom
Down
yang
mendapat
leukemia
terjadi
akibat
mutasi
VII.
21
Pemeriksaan Fisik
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang
pendek. Mereka sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas.
Tulang rangka tubuh penderita sindrom Down mempunyai ciri ciri
yang khas. Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi
clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu
lipatan (20%), sendi jari yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki
dengan jari kedua yang terlalu jauh, dan dislokasi tulang pinggul (6%)
(Brunner, 2007).
Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka
didapatkan xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis garis
transversal pada telapak tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima,
22
Brachycephaly,
microcephaly, dahi yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang
besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang lambat, sutura metopik,
tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada
sinus maksilaris (John A. 2000).
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas
(upslanting) karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya
lipatan epicanthal, titik titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga
50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%),
conjunctivitis,
ruptur
kanal
nasolacrimal,
katarak
kongenital,
23
(Lanzkowsky, 2005).
Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita
sindrom Down dengan prevelensi 40-50%. Walau bagaimanapun kasus
lebih sering ditemukan pada penderita yang dirawat di RS (62%) dan
penyebab kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua
tahun pertama kehidupan.
Antara
penyakit
jantung
kongenital
yang
ditemukan
24
Stenosis (9%). Kira - kira 70% dari endocardial cushion defects adalah
terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang
dirawat, kira kira 30% mempunyai beberapa defek sekaligus pada
jantung mereka (Baliff JP, 2003).
Atrioventricular septal defects (AVD)
Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana
terjadinya kelainan anatomis akibat perkembangan endocardial
cushions yang tidak sempurna sewaktu tahap embrio. Kelainan yang
sering di hubungkan dengan AVD adalah patent ductus arteriosus,
coarctation of the aorta, atrial septal defects, absent atrial septum, dan
anomalous pulmonary venous return. Kelainan pada katup mitral juga
sering terjadi. Penderita AVD selalunya berada dalam kondisi
asimtomatik pada dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula
timbul pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula
mengalami pengurangan pulmonary venous return, yang akhirnya akan
menjadi left-to-right shunt pada atrium dan ventrikel. Akhirnya nanti
akan terjadi gagal jantung kongestif yang ditandai dengan antara lain
takipnu dan penurunan berat badan (William 2002).
AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan
pada salah satu, atau kedua dua katup atrioventikuler. Pada
penderitadengan penyakit ini, jaringan jantung pada bagian superior
dan inferior tidak menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi
komunikasi intratrial melalui septum atrial. Kondisi ini kita kenal
sebagai defek ostium primum. Akan terjadi letak katup atrioventikuler
yang abnormal, yaitu lebih rendah dari letak katup aorta. Perfusi
jaringan endokardial yang tidak sempurna juga mangakibatkan
lemahnya struktur pada leaflet katup mitral.
Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting.
Apabila penderita mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering
terjadi melalui ostium primum pada septum. Kalau penderita mendapat
defek yang komplit, maka dapat terjadi defek pada septum ventrikel
25
26
restriksi pada aliran darah akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih
kuat yang akhirnya akan menimbulkan hipertrofi pada ventrikel.
Kedua adalah ventricular septal defect. Pada kondisi ini, adanya
lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan
menyebabkan darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen
bercampur. Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar
ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis.
Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah
pulmonary valve stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis
yang minimal terjadi karena darah masih lagi bisa sampai ke paru.
Tetapi jika stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru
adalah lebih sedikit maka sianosis akan menjadi lebih berat (Amit K,
2008).
Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si
anak gagal menutup dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya
terjadi bising jantung. Simptom yang terjadi antara lain adalah nafas
yang pendek dan aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal
jantung kongestif. Semakin besar PDA, semaki buruk status kesehatan
penderita (Amik K, 2008).
d Imunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi
dibandingkan orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka
mempunyai respons sistem imun yang rendah. Contohnya mereka
e
yang
dapat
ditemukan
adalah
atresia
atau
stenosis,
27
sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik
pada human leukocyte antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga
DQ8.
f
Dilaporkan
juga
terdapat
kaitan
yang
kuat
antara
primer,
autoimun
tiroiditis,
dan
compensated
(Andriolo, 2005).
Perawatan Medis
Walaupun berbagai usaha sudah dijalankan untuk mengatasi
retardasi mental pada penderita sindrom Down, masih belum ada yang
mampu mengatasi kondisi ini. Walau demikian usaha pengobatan terhadap
28
menyebabkan
retardasi
mental,
29
Selain dari aspek medis, harus diperhatikan juga aspek sosial dan
pergaulan. Yaitu dengan memberi perhatian terhadap fase peralihan dari
masa anak ke dewasa. Penting untuk memberi pendidikan dasar juga harus
diberikan perhatian seperti dimana anak itu akan bersekolah dan
sebagainya. Hal hal berkaitan dengan kelangsungan hidup juga perlu
diperhatikan, contohnya bagaimana mereka akan meneruskan kehidupan
IX.
30
pulmonal yang lebih tipis dan fungsi endotelial yang terganggu (Galley R,
2005).
Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat
mencegah terjadinya kerusakan vaskuler pulmonal yang permanen pada
paru - paru. Apalagi dengan pengobatan yang terkini (prostacyclin,
endothelin,
antagonis
reseptor
dan
phosphodiesterase-5-inhibitor)
31
c. Penglihatan
Anak dengan kelainan ini sering mengalami gangguan penglihatan
atau katarak. Sehingga perlu evaluasi secara rutin oleh ahli mata.
d. Nutrisi
Beberapa kasus, terutama yang disertai kelainan congenital yang
berat lainnya, akan terjadi gangguan pertumbuhan pda masa
bayi/prasekolah. Sebaliknya ada juga kasus justru terjadi obesitas pada
masa dewasa atau setelah dewasa. Sehingga diperlukan kerjasama
dengan ahli gizi.
e. Kelainan tulang
Kelainan tulang juga dapat terjadi pada sindrom Down, yang
mencakup
dislokasi
patella,
subluksasio
pangkal
paha,
atau
32
bergau
dengan
lingkungan
di
luar
rumah,
maka
33
terhadap
munculnya
dinonaktifkan.
34
fenotip
sindrom
Down
dapat
35
II. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya penyakit jantung bawaan belum dapat diketahui
secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh
pada peningkatan angka kejadian penyakit jantung bawaan :
A. Faktor Prenatal
1. Ibu menderita penyakit infeksi : Rubella.
2. Ibu alkoholisme.
3. Umur ibu lebih dari 40 tahun.
4. Ibu menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang memerlukan
insulin.
5. Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu.
B. Faktor Genetik
1. Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan.
2. Ayah / Ibu menderita penyakit jantung bawaan.
3. Kelainan kromosom seperti Sindrom Down.
4. Lahir dengan kelainan bawaan yang lain.
Duktus arteriosus adalah suatu pembuluh darah yang dilapisi oleh otot
dan memiliki fungsi khusus. Jika kadar oksigen di dalam darah meningkat
(biasanya terjadi segera setelah bayi lahir), otot ini akan mengkerut sehingga
duktus menutup. Pada saat duktus menutup, darah dari jantung bagian kanan
hanya mengalir ke paru-paru (seperti yang terjadi pada orang dewasa).
Pada beberapa anak, duktus tidak menutup atau hanya menutup
sebagian. Hal ini terjadi karena tidak adanya sensor oksigen yang normal
pada otot duktus atau karena kelemahan pada otot duktus. Adapun faktor
resiko terjadinya PDA adalah prematuritas dan sindroma gawat pernafasan.
PDA mungkin terjadi :
36
III. PREVALENSI
Prevalensi sekitar 5-10% dari semua CHD. Diperkirakan insidens dari
PDA sebesar 1 dari 2000 kelahiran normal, dan insidens pada bayi perempuan
2 x lebih banyak dari bayi laki-laki. Sedangkan pada bayi prematur
diperkirakan sebesar 15 %.
Kelainan ini bisa terjadi baik pada bayi prematur maupun pada bayi
cukup
umur,
Biasanya
dan
gejalanya
ditemukan
ringan,
pada
tetapi
diantara
2500-5000
bayi.
akan
semakin
berat
tidak
jika
37
yang
kecil
dapat
diketahui
jika
bunyi
pada
jantung
pemeriksaan
ekstra
yang
ini
bisa
berakibat
fatal
dan
dapat
menyebabkan
39
(Aortogram)
bayangan
radioopaque
yang
Venous Hum
Ruptur sinus Valsava
Insufisiensi Aorta + VSD
Trunkus Arteriosus
Aortico-pulmonary window
VIII. PENATALAKSANAAN
Manajemen medis juga terdiri dari perbaikan gejala gagal jantung
kongestif (CHF). CHF merupakan indikasi untuk penutupan patent ductus
40
arteriosus (PDA) pada masa bayi. Jika terapi medis tidak efektif, intervensi
mendesak untuk menutup struktur harus dilakukan. Semua patent ductus
arteriosus (PDA) harus ditutup karena risiko endokarditis bakteri yang
berkaitan dengan struktur terbuka. Seiring waktu, peningkatan aliran darah
paru presipitat penyakit obstruktif vaskuler paru, yang akhirnya fatal.
Identifikasi malformasi jantung tambahan, seperti coarctation atau
terputus arkus aorta atau atresia paru, adalah kebutuhan yang paling penting
sebelum farmakologis atau bedah penutupan patent ductus arteriosus (PDA).
Ketika ligasi bedah tidak diindikasikan, inhibitor prostaglandin (misalnya,
obat antiinflamasi nonsteroid [NSAID]) digunakan untuk menutup ductus
arteriosus.
a.
Terapi Pembedahan
Tindakan pembedahan dilakukan secara elektif (sebelum masuk
sekolah). Tindakan pembedahan dilakukan lebih dini bila terjadi :
a.
b.
c.
d.
Gangguan pertumbuhan
Infeksi saluran pernafasan bagian bawah berulang
Pembesaran jantung/payah jantung
Endokarditis bakterial (6 bulan setelah sembuh)
kontraindikasi tindakan pembedahan : Pirau yang berbalik (dari
kanan ke kiri) atau Hipertensi pulmonal. Tindakan pembedahan ditunda
minimal 6 bulan bila terjadi endokarditis
1.
Kateterisasi Jantung
Kateterisasi intervensi, penutupan PDA dengan : Koil
Gianturco pada PDA kecil,diameter < 3 mm dAN Amplatzer Ductal
Occluder (ADO) pada PDA sedang-besar. Penggunaan rute perkutan
untuk menutup patent ductus arteriosus (PDA) menjadi lebih umum.
Transcatheter oklusi adalah alternatif yang efektif untuk intervensi
bedah dan menjadi terapi pilihan untuk sebagian besar kasus patent
ductus
arteriosus
(PDA)
pada
anak-anak
dan
orang
41
Ligasi Bedah
Ligasi bedah atau ligasi bedah dan pembagian tetap
pengobatan standar paten besar ductus arteriosus (PDA) yang
memerlukan perawatan pada masa bayi. Prosedur ini berisiko rendah
di tangan seorang ahli bedah kardiovaskular yang berpengalaman .
Hal ini berlaku bahkan dalam bayi prematur terkecil.
Ligasi (dengan atau tanpa pembagian paten ductus
arteriosus [PDA]) tanpa cardiopulmonary bypass dapat dilakukan
melalui torakotomi posterolateral kiri. Video-dibantu thoracoscopic
pembedahan (tong) ligasi patent ductus arteriosus (PDA) kurang
invasif dibandingkan torakotomi posterolateral dan telah terbukti
aman dan efektif.
b. Terapi medikamentosa
Indikasi terapi :
1) Bayi prematur umur < 1 minggu
2) Terdapat tanda gagal jantung:
takipnu,takikardi,kardiomegali,hepatomegali
3) Ekokardiografi : terdapat PDA, LA/Ao rasio > 1,2
Pemberian indometasin Intravena (IV) (atau persiapan baru
ibuprofen IV) sering efektif dalam menutup patent ductus arteriosus
(PDA) jika diberikan dalam 10-14 hari pertama kehidupan. Pilihan lain
adalah penutupan kateter dan ligasi bedah, yang memerlukan torakotomi.
42
43
Meskipun laporan jarang ada rekanalisasi dan kambuhnya shunt kiri-kekanan setelah patent ductus arteriosus (PDA) ligasi, risikonya sangat rendah.
Jika patent ductus arteriosus (PDA) telah ditutup oleh teknik radiologis
intervensional, mendapatkan tindak lanjut echocardiography Echocardiograms
2-3 minggu setelah prosedur ini sampai penutupan lengkap dikonfirmasi adalah
bijaksana.
C. PNEUMONIA
1. Definisi
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan
terjadinya
proses
infeksi
akut
pada
bronkus
yang
disebut
44
karena infeksi virus (flu). Infeksi virus pada saluran pernapasan dapat
mengakibatkan
pneumonia
karena
mukus
(cairan/lendir)
yang
Cryptococcus
neoformans,
Blastomyces
dermatitides,
45
pernapasan cepat (takipnea), tarikan otot rusuk (retraksi), sesak napas dan
penderita menjadi kebiruan (sianosis). Adakalanya disertai tanda lain
seperti nyeri kepala, nyeri perut dan muntah (pada anak di atas 5 tahun).
Pada bayi (usia di bawah 1 tahun) tanda-tanda pnemonia tidak spesifik,
tidak selalu ditemukan demam dan batuk.
6. Pencegahan
a. Menghindarkan bayi (anak) dari paparan asap rokok, polusi udara dan
tempat keramaian yang berpotensi penularan.
b. Menghindarkan bayi (anak) dari kontak dengan penderita ISPA.
c. Membiasakan pemberian ASI.
d. Segera berobat jika mendapati anak kita mengalami panas, batuk, pilek.
Terlebih jika disertai suara serak, sesak napas dan adanya tarikan pada
otot diantara rusuk (retraksi).
e. Periksakan kembali jika dalam 2 hari
belum menampakkan
8. Penatalaksanaan
a. Antibiotik tergantung penyebab pneumoni
b. Kortikosteroid untuk mengurangi sekret
47
Peningkatan TIK
49
50
51
DAFTAR PUSTAKA
Am J Pathol. 2003. Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
Amin, Muhammad. 2004. Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University
Press.
American College of Nurse-Midwives. 2005. Prenatal Tests for Down Syndrome.
www.ncbi.nlm.nih.gv/pubmed/15895013
Andriolo, R B. 2005. Aerobic Exercise Training Programmes For Improving
Physical And Psychosocial Health in adults with Down Syndrome. www.
biomedsearch.com.
Baliff J B. 2005. New Development in Prenatal Screening for Down Syndrome.
University of Rochester School of Medical.
Galley R. 2005. Medical Management of the Adult Patient with Down Syndrome.
Journal of the American Academy of Physician Assistant: 18(4): 45-52.
Garisson Susan J. 2001. Dasar-Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Departement
of Physical Medicine and Rehabilitation. Texas
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC
Kallen B, Mastroiacovo P, Robert E. 1996. Major Congenital Malformations in
Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8911611
Lancet. 2003. Antenatal Screening for Downs Syndrome. The Lancet volume 362,
issues 9377, p 81.
Livingstone C. 2006. Heart Related Down Syndrome. repository.usu.ac.id
Nelson. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Jakarta : EGC.
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Edisi 6 Volume 1 dan 2. Jakarta: EGC
Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC
Sadler, T.W. 2006. Embriologi Kedokteran Langman Edisi 7. Jakarta : EGC
Tyler, C V, Zyzanski SJ, Runser, L. 2004. Increased Risk of Symptomatic
Gallbladder Disease in Adults with Down Syndrome. American Journal of
Medical Genetics vol 130 A, issue 4, pp 351-3
52