Anda di halaman 1dari 52

Presentasi Kasus

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 3 TAHUN DENGAN DOWN SYNDROME,


PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DAN PNEUMONIA

Oleh :
Iqbal Imanuddin
G99141001

Pembimbing :
DR. dr. Noer Rachma, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD DR. MOEWARDI
2015

BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: An. TN

No. RM

: 01132345

Umur

: 3 Tahun 4 bulan

Tanggal Lahir

: 3 November 2011

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Joyotakan, Surakarta

Tanggal Masuk : 14 Maret 2015


Tanggal Periksa : 18 Maret 2015
II. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara alloanamnesis terhadap ibu pasien
A.

Keluhan Utama

Demam
B.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dibawa ke RSDM oleh keluarga dengan keluhan utama demam.

Demam dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam


dirasakan terus menerus. Demam disertai dengan batuk, pilek, dan sesak
napas. Pada pasien tidak didapatkan muntah, tidak ada mimisan, gusi
berdarah, dan tidak keluar cairan dari telinga. Kemudian 1 hari SMRS
pasien mengalami muntah sebanyak 4 kali yang berisi makanan yang
dimakan, darah (-). Pasien BAB sebanyak 4 kali sejak 1 hari SMRS.
Konsistensi tinja cair, berwarna kuning, ampas (+), tidak didapatkan lendir
dan darah. Pasien masih mau makan dan minum. Tidak ada keluhan buang
air kecil.
Orang

tua

pasien

juga

mengeluhkan

perkembangan

dan

pertumbuhan anaknya lebih lambat dari anak lain seusianya. Sampai saat
ini pasien belum bisa menirukan kata-kata, hanya bisa mengucap suku kata

seperti pa pa pa. Pasien juga masih belajar berjalan dengan dipapah, serta
mulai belajar menggenggam dan mengenal mainan. Pasien juga sudah bisa
makan menggunakan sendok sendiri. Keterampilan tersebut didapat saat
pasien melakukan terapi rehabilitasi medik, yang baru dijalani selama 4
bulan terakhir. Pasien didiagnosa menderita down syndrome pada saat
pasien berumur 5 bulan. Kemampuan pasien untuk makan baik, dan pasien
juga dapat menggerakkan anggota geraknya secara aktif.
C.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Penyakit Kongenital

: (+) Pasien didiagnosis menderita down


syndrome,
Pasien juga merupakan pasien kontrol
rutin poli kardiologi anak RSDM
dengan diagnosa PDA

Riwayat mondok

: 5 kali sejak 2012 karena PDA


Pada tahun 2013 dirawat karena
campak dan pneumonia

Riwayat alergi obat / makanan

: disangkal

Riwayat epilepsi

: disangkal

D.

Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita

Faringitis

(+)

Pneumonia

(+)

Morbili

(+)

Pertusis

(-)

Difteri

(-)

Varicella

(-)

Epilepsi
E.

Polio

(-)

Thypus abdominalis (-)

(-)

Cacingan

(-)

Gegar otak

(-)

Fraktur

(-)

Kolera

(-)

TB paru

(-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat alergi obat / makanan

: disangkal

Riwayat kejang pada keluarga

: disangkal

Riwayat penyakit kongenital

: adik bungsu ibu menderita down


syndrome
3

F. Pohon Keluarga

An. TN, 3th

Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
: Meninggal
: Menderita sindrom down
G.

Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita adalah anak ke-5 dari 5 bersaudara. Anggota keluarganya

terdiri dari ayah, ibu, 4 orang kakak penderita, dan pasien sendiri.
Pekerjaan ibu pasien yaitu memasak dan membantu di rumah tetangga,
sedangkan ayah pasien bekerja sebagai pembuat pot. Biaya pengobatan
pasien ditanggung oleh BPJS.
H.

Riwayat Makan Minum Anak


Anak mendapatkan ASI eksklusif selama 3 bulan, dan pemberian ASI

masih tetap dilanjutkan sampai berumur 2 tahun. MP ASI dan makanan


padat lainnya sudah mulai diberikan sejak anak berumur 3 bulan. Pasien
saat ini makan 3 kali sehari dengan nasi setengah centong setiap makan,
dengan lauk berupa tahu, tempe, telur, atau ayam. Pasien rutin
mengkonsumsi buah dan sayuran.

I.

Riwayat Pemeriksaan Kehamilan dan Prenatal


Pemeriksaan kehamilan dilakukan ibu penderita di Bidan.

Frekuensi pemeriksaan pada trimester I dan II 2 kali tiap bulan, dan pada
trimester III 4 kali tiap bulan di bidan. Penyakit kehamilan (-). Riwayat
minum jamu selama hamil (-), obat-obatan yang diminum adalah vitamin
dan tablet penambah darah dari bidan. Umur ibu saat mengalami
kehamilan adalah 40 tahun.
J.

Riwayat Kelahiran
Penderita lahir di Puskesmas, dengan lahir spontan, pada usia

kehamilan 9 bulan 1 minggu, bayi langsung menangis setelah lahir. Berat


waktu lahir 2900 gram.
K.

Riwayat Pemeriksaan Post Natal


Pemeriksaan bayi setelah lahir dilakukan kontrol rutin di

puskesmas.
L.
Jenis
1.

Riwayat Imunisasi
I
BCG

II
1 bulan -

III
-

IV
-

2.

DPT

2 bulan 3 bulan

4 bulan

3.

Polio

0 bulan 2 bulan

3 bulan

4 bulan

4.

Campak

9 bulan -

5.

Hepatitis B

Lahir

3 bulan

4 bulan

2 bulan

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum

: tampak sehat

Derajat Kesadaran

: compos mentis

Status gizi

: gizi kesan kurang

2. Tanda vital
S

: 38,1 oC

: 126 x/menit

RR

: 31 x/menit

SiO2 : 85 %
BB

: 9 kg

TB

: 80 cm

3. Kulit : warna kuning langsat, kelembaban baik, turgor baik.


4. Kepala: bentuk mesocephal, , rambut hitam tidak mudah rontok dan sukar
dicabut.
5. Muka : sembab (-), wajah orang tua (-), facies dismorfik
6. Mata : cowong (-), bulu mata hitam lurus tidak rontok, conjunctiva
anemis (-/-), strabismus (-), xeroftalmia (-), bercak bitots (-),
oedem palpebra (-/-).
7. Hidung: bentuk normal, napas cuping hidung(-/-), sekret (-/-), darah (-/-),
Low nasal bridge (+).
8. Mulut : sianosis (+), bibir kering (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-),
mukosa basah (+), susunan gigi normal.
9. Tenggorokan : uvula di tengah, tonsil T1 T1, faring hiperemis (-),
pseudomembran (-), post nasal drip (-).
10. Telinga : bentuk aurikula dx et sn normal, kelainan MAE (-), serumen (-/-)
membrana timpani sde, prosesus mastoideus tidak nyeri tekan,
tragus pain (-), sekret (-).
11. Leher : bentuk normal, trachea ditengah, kelenjar thyroid tidak
membesar.
12. Limfonodi

kelenjar

limfe

auricular, submandibuler, servikalis,

suparaklavikularis, aksilaris, dan inguinalis tidak membesar.

13. Thorax: bentuk normochest, retraksi (+) subcostal dan epigastrial, iga
gambang (-), gerakan simetris ka = ki
Cor :

Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: Batas jantung kesan melebar sde

Auskultasi

: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising


(+) continous grade III/ IV di SIC II-III
LMCS

Pulmo :

14. Abdomen :

Inspeksi

: Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi

: Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi

: Sonor / Sonor di semua lapang paru

Auskultasi

: SDV (+/+), ST (+/+), RBK (+/+)

Inspeksi

: dinding dada sejajar dinding perut

Auskultasi

: peristaltik (+) normal

Perkusi

: tympani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba,


lien tidak teraba.

15. Urogenital : dalam batas normal


16. Gluteus : Baggy pants (-)
17. Ekstremitas :
akral dingin -

sianosis -

oedem -

CRT < 2 detik


18. Kuku : keruh (-), spoon nail (-), konkaf (-)
III.STATUS GIZI
BB/U

: 9/11 x 100 % = 81,8 %

(0 SD < z score < 2 SD)

TB/U

: 80/86 x 100 % = 93,0 %

(0 SD < z score < 2 SD)

BB/TB : 9/9x 100% = 100 %

(0 SD < z score < 1 SD)

Kesimpulan status gizi : gizi baik, underweight, stunted

IV. DENVER DEVELOPMENTAL SCREEENING TEST


Hasil tes perkembangan Denver yaitu, personal sosial setara dengan anak
usia 13 bulan, adaptif-motorik halus setara dengan anak usia 12 bulan, dan
perkembangan bahasa setara dengan anak umur 10 bulan. Sedangkan
perkembangan motorik kasar setara dengan anak usia 11 bulan.
Dari hasil tersebut ditemukan adanya keterlambatan pada semua aspek yaitu
personal sosial, motorik halus, bahasa dan motorik kasar. Anak tersangka global
delayed development (GDD).
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.

Laboratorium Darah (14 Maret 2015)


Pemeriksaan
Hematologi rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Analisa Gas Darah
pH
BE
PCO2
PO2
Hematokrit
HCO3
Total CO2
O2 Saturasi

2.

Hasil

Satuan

Rujukan

12.5
37
18.2
171
4.23

g/dl
%
ribu/l
ribu/l
juta/l

10.8 12.8
35 43
5.5 17.0
150 450
3.90 5.30

mmol/L
mmHg
mmHg
%
mmol/L
mmol/L
%

7.350 - 7.450
-2 - +3
27.0 41.0
83.0 108.0
37 50
21.0 28.0
19 24
94.0 - 98.0

mmol/L
mmol/L
mmol/L

132 145
3.1 5.1
1.17 - 1.29

7.330
-7.9
34.0
46.0
34
19.0
18.7
76.0

Elektrolit
Natrium darah
134
Kalium darah
4.7
Calsium ion
1.20
Foto Thorax (17 Maret 2015)

Foto Thoraks AP/Lat:


Cor: CTR tidak valid dinilai, kesan ukuran normal, pinggang jantung
menonjol, apex jantung rounded
Pulmo: Tampak peningkatan pulmonal vascularity
Sinus costophrenicus kanan kiri anterior posterior tajam
Retrostrenal space tertutup opasitas lebih dari 1/3 bagian dan retrocardiac
space dalam batas normal
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan:
Kesan LAH, RVH dengan peningkatan pulmonal vascularity, sesuai
konfigurasi PDA

3. Echocardiography (4 Maret 2015)

Finding: Situs solitus AV VA concordance


Muara Vena Sistemik, Vewna Pulmonalis Normal
Tidak dijumpai ASD dan VSD
Ruang Jantung LA dan LV dilatasi
Dijumpai PDA dengan diameter 0,5 cm L to R shunt
EF 72%, LA/AO 1,14 E/A 1,16
Arkus Aorta dikiri Koar (-)
Kesimpulan : PDA L to R shunt
VI.

DAFTAR MASALAH
10

Masalah Medis :

Pneumonia

Penyakit jantung bawaan

Down Syndrome

Diare akut tanpa dehidrasi

Problem Rehabilitasi Medik


1. Komunikasi: pasien belum bisa menirukan kata-kata, hanya bisa
mengucap suku kata seperti pa pa pa.
2. Aktivitas kehidupan sehari-hari :

Masih bergantung kepada keluarga

Keterbatasan melakukan kegiatan sehari-hari karena sesak nafas

Kesulitan dalam perawatan diri dan toiletting

3. Mobilisasi : pasien masih belum bisa berjalan sendiri


4. Caregiver burden, harus ada seseorang dari keluarga yang mengawasi
dan membantu pasien
VII.

ASSESMENT

1. Pneumonia
2. DE : PJB asianotik
DA : PDA L to R shunt
DF : NYHA I
3. Down Syndrome dengan global developmental delay
4. Diare akut tanpa dehidrasi
5. Gizi baik, underweight, stunted
VIII.

PENATALAKSANAAN

a) Terapi Pediatri
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

O2 2 lpm
Diet Sonde 600 Kkal/hari via NGT + susu 3x100 ml
IVFD D1/4 NS 10 tpm (makro)
Inj. Ceftriaxone (50mg/ kg/ 12 jam) ~ 450 mg/12 jam
Paracetamol syr 3x100 mg po
Furosemid 2 x 10 mg
Aldacton 2 x 6,125 mg

11

8) Digoxin 2 x 0,05 mg
9) Zinc 1 x 20 mg
10) Nebu NACL 0,9% + Pulmocort + berotec 10 tts s/d 5cc/8 jam
11) Oralit 100 cc/diare, 50 cc/muntah
b) Terapi Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi

: Chest physiotherapy, General ROM

Exercise, latihan berjalan dan keseimbangan.


2. Speech Terapi

: Stimulasi bicara dan bahasa


3. Okupasi Terapi
tangan/

motorik

latihan

keterampilan

halus,

melakukan

aktivitas

kehidupan sehari-hari, stimulasi kognisi dengan


terapi bermain.
4. Sosiomedik

memberi

edukasi

kepada

keluarga mengenai penyakit pasien.


5. Ortesa-protesa:
6. Psikologi

tidak diberikan

: evaluasi dan analisa IQ saat

mendekati usia masuk sekolah.


X. IMPAIRMENT, DISABILITAS, dan HANDICAP
Impairment

: PJB, pneumonia, sesak napas, down syndrome

Disabilitas

: kesulitan untuk ambulasi, kesulitan dalam perawatan diri


dan toiletting, kesulitan berkomunikasi

Handicap

: tidak dapat bermain dengan teman sebaya, tidak dapat


sekolah di sekolah formal

XI. PLANNING
Planning Diagnostik

: Kultur sputum (untuk penegakkan diagnosis


pneumonia)

Planning Terapi
Planning Edukasi

: Kateterisasi jantung, terapi rehabilitasi medik.


:

12

1. Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa terjadi


2. Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan
3. Edukasi untuk home exercise dan pelatihan ADL di rumah
4. Mengingatkan pentingnya terapi dan kontrol rutin
5. Informasi pentingnya keterlibatan seluruh anggota keluarga untuk
mendukung perkembangan pasien.
Planning Monitoring

: Evaluasi hasil terapi.

XII.GOAL
Jangka Pendek
Perbaikan keadaan umum sehingga mempersingkat lama perawatan
Mencegah

terjadinya

komplikasi

yang

lebih

buruk

yang

dapat

memperburuk keadaan penderita (seperti gagal jantung, gagal nafas)


Minimalisasi impairment, disabilitas, dan handicap pada pasien
Mengoptimalkan perkembangan yang dapat dicapai pasien dalam
keterampilan motorik, bahasa, kognitif, dan sosial
Jangka Panjang

Melatih kemandirian pasien, sehingga dapat menjalankan peran dan fungsi


di masyarakat sesuai kemampuannya.

XIII. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia et bonam

Ad sanam

: dubia et malam

Ad fungsionam

: dubia et bonam

13

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SINDROM DOWN

14

I.

Definisi
Nama sindrom Down berasal dari nama seorang dokter yang
pertama kali melaporkan kasus hambatan tumbuh kembang psikomotorik
dan berakibat gangguan mental pada tahun 1866. Dokter tersebut adalah
Dr. John Langdon Down dari Inggris. Sebelumnya kelainan genetika ini
disebut sebagai Mongolismus, sebab memang penderitanya memiliki
ciri fisik menyerupai ras Mongoloid. Karena berbau rasialis maka nama ini
diganti menjadi Sindrom Down. Terlebih setelah tahun 1959 diketahui
bahwa kelainan genetika ini dapat terjadi pada ras mana saja tanpa
membedakan jenis kelamin.
Sindroma down merupakan kelainan kromosom yang paling sering
terjadi. Angka kejadian kelainan ini mencapai 1 dalam 1000 kelahiran. Di
Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai 5000 anak dengan
kelainan ini. Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu
jiwa.
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai
trisomi, karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki
kelebihan satu kromosom. Mereka mempunyai tiga kromosom 21 dimana
orang normal hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini akan
mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan
karakteristik fisik dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam
fungsi fisiologi tubuh (Pathol, 2003).
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler,
translokasi dan mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua
sel dalam tubuh akan mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh
empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari tipe ini (Lancet,
2003).

15

Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21


akan berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu
orang tua yang menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini tidak
menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4%
dari total kasus (Lancet, 2003).
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu
saja yang mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah
penderita tipe mosaik ini dan biasanya kondisi si penderita lebih ringan
(Lancet, 2003).
II.

Faktor Risiko
Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan
meningkat dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi
wanita yang hamil pada usia di atas 35 tahun. Walau bagaimanapun,
wanita yang hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat
bayi dengan sindrom Down.
Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom
Down adalah lebih tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi
dengan sindrom Down, atau jika adanya anggota keluarga yang terdekat
yang pernah mendapat kondisi yang sama. Walau bagaimanapun
kebanyakan kasus yang ditemukan didapatkan ibu dan bapaknya normal
(Livingstone, 2006).
Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down
berdasarkan umur ibu yang hamil:
- 20 tahun: 1 per 1,500
- 25 tahun: 1 per 1,300
- 30 tahun: 1 per 900
- 35 tahun: 1 per 350
- 40 tahun: 1 per 100
- 45 tahun: 1 per 30

III.

Etiologi
Sindrom Down banyak dilahirkan oleh ibu berumur tua (resiko
tinggi), ibu-ibu di atas 35 tahun harus waspada akan kemungkinan ini.

16

Angka kejadian Sindrom Down meningkat jelas pada wanita yang


melahirkan anak setelah berusia 35 tahun ke atas. Sel telur wanita telah
dibentuk pada saat wanita tersebut masih dalam kandungan yang akan
dimatangkan satu per satu setiap bulan pada saat wanita tersebut akil balik.
Pada saat wanita menjadi tua, kondisi sel telur tersebut kadangkadang menjadi kurang baik dan pada waktu dibuahi oleh sel telur lakilaki, sel benih ini mengalami pembelahan yang kurang sempurna.
Penyebab timbulnya kelebihan kromosom 21 bisa pula karena bawaan
lahir dari ibu atau bapak yang mempunyai dua buah kromosom 21, tetapi
terletak tidak pada tempat yang sebenarnya, misalnya salah satu
kromosom 21 tersebut menempel pada kromosom lain sehingga pada
waktu pembelahan sel kromosom 21 tersebut tidak membelah dengan
sempurna.
Faktor yang memegang peranan dalam terjadinya kelainan
kromosom adalah:
1.

Genetik
Diperkirakan terdapat predisposisi genetic terhadap

non-

disjunctional. Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan hasil


penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan resiko
berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom Down.
2.

Radiasi
Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya nondisjunctional pada sindrom Down ini. Uchida 1981 (dikutip Pueschel
dkk.) menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan
sindrom Down, pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum
terjadinya konsepsi. Sedangkan penelitian lain tidak mendapati hubungan
antara radiasi dengan penyimpangan kromosom.

3.

Infeksi
Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya
sindrom Down. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu
memastikan bahwa virus dapat mengakibatkan terjadinya
disjunctional.
17

non-

4.

Autoimun
Factor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom Down
adalah aotuimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan
dengan tiroid. Penelitian Fialkow 1966 (dikutip Pueschel dkk.) secara
konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu
yang melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang
umurnya sama.

5.

Umur ibu
Apabila umur ibu di atas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan
hormonal yang dapat menyebabkan non-disjunctional pada kromosom.
Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya
kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estriadol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan secara tajam
kadar LH (Lutenizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating
Hormone) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya non-disjunctional.

6.

Umur ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom Down, juga dilaporkan
adanya pengaruh umur ayah. Penelitian sitogenik pada orang tua dari anak
dengan sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra
kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi
dengan umur ibu.
Factor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nucleolus, bahan

kimia dan frekuensi koitus masih didiskusikan kemungkinan sebagai penyebab


dari sindrom Down.
IV.

Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi
sindrom Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood
test dan atau sonogram. Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat

18

memberi hasil pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom Down
atau tidak (American College of Nurse-Midwives, 2005).
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah
Nuchal Translucency (NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 14
kehamilan. Apa yang diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada
belakang leher janin. Tujuh daripada sepulah bayi dengan sindrom Down
dapat dikenal pasti dengan tehnik ini (American College of NurseMidwives, 2005).
Hasil ujian sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada
darah ibu hamil yang disuspek bayinya sindrom Down, apa yang
diperhatikan adalah plasma protein-A dan hormon human chorionic
gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa
mungkin adanya kelainan pada bayi yang dikandung (Mayo Foundation
for Medical Education and Research (MFMER), 2011).
Terdapat beberapa uji diagnostik yang boleh dilakukan untuk
mendeteksi sindrom Down. Amniocentesis dilakukan dengan mengambil
sampel air ketuban yang kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom
janin. Kaedah ini dilakukan pada kehamilan di atas 15 minggu. Risiko
keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
Chorionic villus sampling (CVS) dilakukan dengan mengambil
sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji untuk melihat
kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan
hingga 14. Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.
Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) adalah tehnik di
mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat kromosom
janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini
dilakukan sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang
jelas. Resiko keguguran adalah lebih tinggi (Mayo Foundation for Medical
V.

Education and Research (MFMER), 2011).


Patofisiologi
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem
organ dan menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini
dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan

19

proses hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan


menurunkan survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan
postnatal. Anak anak yang terkena biasanya mengalami keterlambatan
pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi
yang lambat.
Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan
tampilan fisik yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang
khas, anomali pada ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital.
Hasil analisis molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada
kromosom

21

bertanggungjawab

menimbulkan

penyakit

jantung

kongenital pada penderita sindrom Down. Sementara gen yang baru


dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2,
adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi penyebab
utama retardasi mental dan defek jantung (Mayo Clinic Internal Medicine
Review, 2008).
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme
thiroid dan malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan
akibat dari respons sistem imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi
terjadi kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit
Hashimoto.
Penderita

dengan

sindrom

Down

sering

kali

menderita

hipersensitivitas terhadap proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas


terhadap pilocarpine dan respons lain yang abnormal. Sebagai contoh,
anak anak dengan sindrom Down yang menderita leukemia sangat
sensitif terhadap methotrexate. Menurunnya buffer proses metabolik
menjadi faktor predisposisi terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya
resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus
Diabetes Mellitus pada penderita Sindrom Down (Cincinnati Children's
Hospital Medical Center, 2006).
Anak anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita
leukemia, seperti Transient Myeloproliferative Disorder dan Acute
Megakaryocytic Leukemia. Hampir keseluruhan anak yang menderita

20

sindrom

Down

yang

mendapat

leukemia

terjadi

akibat

mutasi

hematopoietic transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada


anak anak dengan sindrom Down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21,
mutasi GATA1, dan mutasi ketiga yang berupa proses perubahan genetik
VI.

yang belum diketahui pasti (Lange BJ,1998).


Mortalitas dan Morbiditas
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan
bertahan. Sekitar 85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50%
dapat hidup sehingga berusia lebih dari 50 tahun. Penyakit jantung
kongenital sering menjadi faktor yang menentukan usia penderita sindrom
Down. Selain itu, penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa
fistula transesofageal, Hirschsprung disease, atresia duodenal dan
leukemia akan meningkatkan mortalitas (William, 2002).
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas
yang tinggi karena mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi
seperti tonsil yang membesar dan adenoids, lingual tonsils, choanal
stenosis, atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi pada saluran
nafas atas. Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis
Media, Alveolar Hypoventilation, Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia,
dan Hipertensi Arteri Pulmonal yang disertai dengan cor pulmonale dan
gagal jantung (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital
yang tidak stabil dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang
irreversibel. Gangguan pendengaran, visus, retardasi mental dan defek
yang lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak anak dengan
sindrom Down dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan
menghadapi masalah dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya
berbahasa, dan kemampuan interpersonal (Cincinnati Children's Hospital
Medical Center, 2006).

VII.

Efek pada Fisik dan Sistem Tubuh

21

Pemeriksaan Fisik
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang
pendek. Mereka sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas.
Tulang rangka tubuh penderita sindrom Down mempunyai ciri ciri
yang khas. Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi
clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu
lipatan (20%), sendi jari yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki
dengan jari kedua yang terlalu jauh, dan dislokasi tulang pinggul (6%)
(Brunner, 2007).
Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka
didapatkan xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis garis
transversal pada telapak tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima,
22

elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan


infeksi pada kulit yang rekuren (Am J., 2009).
Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent
quatio (IQ) mereka sering berada antara 20 85 dengan rata-rata 50.
Hipotonia yang diderita akan meningkat apabila umur meningkat.
Mereka sering mendapat gangguan artikulasi. (Mao R., 2003).
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang
spontan, sikap ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang
kala mereka akan menunjukkan perlakuan yang nakal dengan rasa
ingin tahu yang tinggi (Nelson, 2003).
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada
anak anak sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering
didapatkan pada yang dewasa. Tonus kulit yang jelek, rambut yang
cepat beruban dan sering gugur, hipogonadism, katarak, kurang
pendengaran, hal yang berhubungan dengan hipothroidism yang
disebabkan faktor usia yang meningkat, kejang, neoplasma, penyakit
vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu,
pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada
penderita sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang sering
terjadi pada orang orang lanjut usia (Am J., 2009).
Penderita sindrom Down sering menderita

Brachycephaly,

microcephaly, dahi yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang
besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang lambat, sutura metopik,
tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada
sinus maksilaris (John A. 2000).
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas
(upslanting) karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya
lipatan epicanthal, titik titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga
50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%),
conjunctivitis,

ruptur

kanal

nasolacrimal,

katarak

kongenital,

pseudopapil edema, spasma nutans dan keratoconus (Schlote, 2006).


Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan
hipoplasi tulang hidung dan jembatan hidung yang rata (Schlote,

23

2006). Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah


yang kecil dan mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai
dengan air liur, bibir bawah yang merekah, angular cheilitis, anodontia
parsial, gigi yang tidak terbentuk dengan sempurna, pertumbuhan gigi
yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan sekunder, maloklusi
gigi serta kerusakan periodontal yang jelas (Selikowitz, Mark., 1997).
Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks
yang berlipat. Otitis media yang kronis dan kehilangan pendengaran
sering ditemukan. Kira kira 6080% anak penderita sindrom Down
mengalami kemerosotan 15 20 dB pada satu telinga (William W. Hay
Jr, 2002).
b Hematologi
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat
Leukemia, termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia
Myeloid. Diperkirakan 10% bayi yang lahir dengan sindrom Down
akan mendapat klon preleukemic, yang berasal dari progenitor myeloid
pada hati yang mempunyai karekter mutasi pada GATA1, yang
terlokalisir pada kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini
dirujuk sebagai Transient Leukemia, Transient Myeloproliferative
Disease (TMD), atau Transient Abnormal Myelopoiesis (TAM)
c

(Lanzkowsky, 2005).
Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita
sindrom Down dengan prevelensi 40-50%. Walau bagaimanapun kasus
lebih sering ditemukan pada penderita yang dirawat di RS (62%) dan
penyebab kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua
tahun pertama kehidupan.
Antara
penyakit
jantung

kongenital

yang

ditemukan

Atrioventricular Septal Defects (AVD) atau dikenal juga sebagai


Endocardial Cushion Defect (43%), Ventricular Septal Defect (32%),
Secundum Atrial Septal Defect (ASD) (10%), Tetralogy of Fallot (6%),
dan Isolated Patent Ductus Arteriosus (4%). Lesi yang paling sering
ditemukan adalah Patent Ductus Arteriosus (16%) dan Pulmonic

24

Stenosis (9%). Kira - kira 70% dari endocardial cushion defects adalah
terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang
dirawat, kira kira 30% mempunyai beberapa defek sekaligus pada
jantung mereka (Baliff JP, 2003).
Atrioventricular septal defects (AVD)
Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana
terjadinya kelainan anatomis akibat perkembangan endocardial
cushions yang tidak sempurna sewaktu tahap embrio. Kelainan yang
sering di hubungkan dengan AVD adalah patent ductus arteriosus,
coarctation of the aorta, atrial septal defects, absent atrial septum, dan
anomalous pulmonary venous return. Kelainan pada katup mitral juga
sering terjadi. Penderita AVD selalunya berada dalam kondisi
asimtomatik pada dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula
timbul pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula
mengalami pengurangan pulmonary venous return, yang akhirnya akan
menjadi left-to-right shunt pada atrium dan ventrikel. Akhirnya nanti
akan terjadi gagal jantung kongestif yang ditandai dengan antara lain
takipnu dan penurunan berat badan (William 2002).
AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan
pada salah satu, atau kedua dua katup atrioventikuler. Pada
penderitadengan penyakit ini, jaringan jantung pada bagian superior
dan inferior tidak menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi
komunikasi intratrial melalui septum atrial. Kondisi ini kita kenal
sebagai defek ostium primum. Akan terjadi letak katup atrioventikuler
yang abnormal, yaitu lebih rendah dari letak katup aorta. Perfusi
jaringan endokardial yang tidak sempurna juga mangakibatkan
lemahnya struktur pada leaflet katup mitral.
Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting.
Apabila penderita mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering
terjadi melalui ostium primum pada septum. Kalau penderita mendapat
defek yang komplit, maka dapat terjadi defek pada septum ventrikel

25

dan juga insufisiensi valvular. Kemudian akan terjadi volume


overloading pada ventrikel kiri dan kanan yang akhirnya diikuti
dengan gagal jantung pada awal usia. Sekiranya terjadi overload
pulmonari, dapat terjadi penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti
dengan gagal jantung kongestif (Kallen B.,1996).
Ventricular Septal defect (VSD)
Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk
kepada kondisi dimana adanya lubang yang menghubungkan dua
ventrikel. Kondisi ini boleh terjadi sebagai anomali primer, dengan
atau tanpa defek kardiak yang lain. Kondisi ini dapat terjadi akibat
kelainan seperti Tetralogy of Fallot (TOF), complete atrioventricular
(AV) canal defects, transposition of great arteries,dan corrected
transpositions (Freeman SB, 1998)
Secundum Atrial Septal Defect (ASD)
Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang
atau jalur yang menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke
atrium kiri, atau sebaliknya, melalui septum interatrial. Apabila
tejadinya defek pada septum ini, darah arterial dan darah venous akan
bercampur, yang bisa atau tidak menimbulkan sebarang gejala klinis.
Percampuran darah ini juga disebut sebagai shunt. Secara medis,
right-to-left-shunt adalah lebih berbahaya (Freeman SB, 1998).

Tetralogy of Fallot (TOF)


Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital
pada anak yang sering ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran
darah yang kaya oksigen dengan darah yang kurang oksigen. Terdapat
empat abnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of fallot.
Pertama adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau
tahanan pada katup pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan
katup terbuka kearah luar dari ventrikel kanan. Ini akan menimbulkan

26

restriksi pada aliran darah akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih
kuat yang akhirnya akan menimbulkan hipertrofi pada ventrikel.
Kedua adalah ventricular septal defect. Pada kondisi ini, adanya
lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan
menyebabkan darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen
bercampur. Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar
ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis.
Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah
pulmonary valve stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis
yang minimal terjadi karena darah masih lagi bisa sampai ke paru.
Tetapi jika stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru
adalah lebih sedikit maka sianosis akan menjadi lebih berat (Amit K,
2008).
Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si
anak gagal menutup dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya
terjadi bising jantung. Simptom yang terjadi antara lain adalah nafas
yang pendek dan aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal
jantung kongestif. Semakin besar PDA, semaki buruk status kesehatan
penderita (Amik K, 2008).
d Imunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi
dibandingkan orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka
mempunyai respons sistem imun yang rendah. Contohnya mereka
e

sangat rentan mendapat pneumonia (William W. Hay Jr. 2002).


Sistem Gastrointestinal
Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom
Down

yang

dapat

ditemukan

adalah

atresia

atau

stenosis,

Hirschsprung disease (<1%), TE fistula, Meckel divertikulum, anus


imperforata dan juga omphalocele.
Selain itu, hasil penelitian di Eropa dan Amerika didapatkan
prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down adalah

27

sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik
pada human leukocyte antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga
DQ8.
f

Dilaporkan

juga

terdapat

kaitan

yang

kuat

antara

hipersensitivitas dan spesifikasi yang jelek (Livingstone, 2006).


Sistem Endokrin
Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah
gangguan pada sistem endokrin yang paling sering ditemukan.
Onsetnya sering pada usia awal sekolah, sekitar 8 hingga 10 tahun.
Insidens ditemukannya Graves disease juga dilaporkan meningkat.
Prevelensi mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis kongenital,
hipertiroid

primer,

autoimun

tiroiditis,

dan

compensated

hypothyroidism atau hyperthyrotropenemia adalah sekitar 3-54% pada


penderita sindrom Down, dengan persentase yang semakin meningkat
g

seiring dengan bertambahnya umur (Merritt's, 2000).


Gangguan Psikologis
Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki
gangguan psikiatri atau prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak
mempunyai risiko mendapat gangguan psikis. Beberapa kelainan yang
bisa didapat adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD),
Oppositional Defiant Disorder, gangguan disruptif yang tidak spesifik
dan gangguan spektrum Autisme (Cincinnati Children's Hospital

Medical Center, 2006).


h Trisomi 21 mosaik
Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala gejala
sindrom Down yang sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi
kriteria diagnosis awal bagi penyakit Alzheimer. Fenotip individu yang
mendapat trisomi 21 mosaik manggambarkan persentase sel sel
trisomik yang terdapat dalam jaringan yang berbeda di dalam tubuh
VIII.

(Andriolo, 2005).
Perawatan Medis
Walaupun berbagai usaha sudah dijalankan untuk mengatasi
retardasi mental pada penderita sindrom Down, masih belum ada yang
mampu mengatasi kondisi ini. Walau demikian usaha pengobatan terhadap

28

kelainan yang didapat oleh penderita sindrom Down akan dapat


memperbaiki kualitas hidup penderita dan dapat memperpanjang usianya.
Beberapa pemeriksaan secara reguler dapat dilakukan untuk
memantau perkembangan tingkat kesehatan penderita sindrom Down, baik
anak ataupun dewasa. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan audiologi, pemeriksaan optalmologi secara berkala sebagai
pencegah keratokonus, opasitas kornea atau katarak. Untuk kelainan kulit
seperti follikulitis, xerosis, dermatitis atopi, dermatitis seboroik, infeksi
jamur, vitiligo dan alopesia perlu dirawat segera. Masalah kegemukan
pada penderita sindrom Down dapat diatasai dengan pengurangan
komsumsi kalori dan meningkatkan aktivitas fisik (Breslow, 2002).
Skrining terhadap penyakit Celiac juga harus dilakukan, yang
ditandai dengan kondisi seperti konstipasi, diare, bloating, tumbuh
kembang yang lambat dan penurunan berat badan. Selain itu, kesulitan
untuk menelan makanan harus juga diperhatikan, dipikirkan kemungkinan
terjadi sumbatan pada jalan nafas.
Perhatian khusus harus diberikan terhadap proses operasi
dikarenakan tidak stabilnya atlantoaxial dan masalah yang mungkin terjadi
pada sistem respirasi. Selain itu, jangan lupa untuk melakukan skrining
untuk kemungkinan tejadinya penyakit Hipothiroidism dan Diabetes
Mellitus. Jangan dilupakan untuk memberi perhatian terhadap kebersihan
yang berkaitan dengan menstrual, seksual, kehamilan dan sindrom
premenstruasi (Tolmie, 2006).
Kelainan neurologis dapat

menyebabkan

retardasi

mental,

hipotonia, kejang dan stroke. Pastikan juga perbaikan kemampuan


berkomunikasi dan terapi bicara diteruskan, dengan memberi perhatian
pada aplikasi bahasa nonverbal dan kecerdasan otak (Merritt's, 2002).
Bagi pasien sindrom Down, baik anak atau dewasa harus sentiasa
dipantau dan dievaluasi gangguan prilaku, seperti fobia, ketidakmampuan
mengatasi masalah, prilaku streotipik, autisme, masalah makanan dan lain
lain. Tatalaksana terhadap kondisi mental yang timbul pada penderita
sindrom Down harus dilakukan (National Down Syndrome Society, 2007).

29

Selain dari aspek medis, harus diperhatikan juga aspek sosial dan
pergaulan. Yaitu dengan memberi perhatian terhadap fase peralihan dari
masa anak ke dewasa. Penting untuk memberi pendidikan dasar juga harus
diberikan perhatian seperti dimana anak itu akan bersekolah dan
sebagainya. Hal hal berkaitan dengan kelangsungan hidup juga perlu
diperhatikan, contohnya bagaimana mereka akan meneruskan kehidupan
IX.

dalam komunitas (National Down Syndrome Society, 2007).


Komplikasi
Walaupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai
murmur, anak penderita sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat
defek pada jantung. Apabila resistensi pada vaskular pulmonari dapat
dideteksi, kemungkinan terjadinya shunt dari kiri ke kanan dapat
dikurangi, sehingga dapat mencegah terjadinya gagal jantung awal.
Apabila tidak dapat dideteksi, keadaan ini akan menyebabkan hipertensi
pulmonal yang persisten dengan perubahan pada vaskular yang ireversibel
(Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada
jantung dilakukan setelah anak cukup besar dan kemampuan bertahan
terhadap operasi yang dilakukan lebih baik. Biasanya tindakan operasi
dilakukan apabila anak sudah berusia 6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi
sudah lebih baik dan anak yang dioperasi mampu hidup lebih lama (Kallen
B, 1996).
Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal
atrioventrikuler, simptom biasanya timbul sewaktu usia kecil, ditandai
dengan shunting sistemik-pulmonari, aliran darah pulmonari yang tinggi,
disertai dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi arteri pulmonal.
Resistensi pulmonal yang meningkat dapat memicu terjadinya kebalikan
dari shunting sistemik-pulmonal yang diikuti dengan sianosis (Baliff JP,
2005).
Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk
menderita hipertensi arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal.
Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah alveolus, dinding arteriol

30

pulmonal yang lebih tipis dan fungsi endotelial yang terganggu (Galley R,
2005).
Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat
mencegah terjadinya kerusakan vaskuler pulmonal yang permanen pada
paru - paru. Apalagi dengan pengobatan yang terkini (prostacyclin,
endothelin,

antagonis

reseptor

dan

phosphodiesterase-5-inhibitor)

didapatkan mampu memperbaiki status klinis dan jangka hidup bagi


penderita hipertensi arteri pulmonal (Livingstone, 2006).
Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah
pada penderita sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan
patologi dimana didapatkan rendahnya kemungkinan terjadi aterosklerosis
pada penderita sindrom Down (Tyler, 2004).
X. PENATALAKSANAAN
Menurut Soetjiningsih (1998), anak dengan sindrom Down memerlukan
penanganan secara multidisiplin yang mencakup hal-hal berikut:
1. Penanganan secara medis
Anak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan
medis yang sama dengan anak yang normal. Mereka memerlukan
pemeliharaan kesehatan, imunisasi, kedaruratan medis, serta dukungan
dan bimbingan dari anggota keluarganya. Tetapi terdapat beberapa
keadaan dimana anak dengan sindrom Down memerlukan perhatian
khusus, yaitu dalam hal :
a. Pendengaran
70-80% anak dengan sindrom Down dilaporkan terdapat gangguan
pendengaran. Oleh karenanya diperlukan pemeriksaan telinga sejak awal
kehidupannya, serta dilakukan tes pendengaran secara berkala oleh ahli
THT.
b. Penyakit jantung bawaan
30-40% anak dengan sindrom Down disertai dengan penyakit
jantung bawaan. Mereka memerlukan penanganan jangka panjang oleh
seorang ahli jantung anak.

31

c. Penglihatan
Anak dengan kelainan ini sering mengalami gangguan penglihatan
atau katarak. Sehingga perlu evaluasi secara rutin oleh ahli mata.
d. Nutrisi
Beberapa kasus, terutama yang disertai kelainan congenital yang
berat lainnya, akan terjadi gangguan pertumbuhan pda masa
bayi/prasekolah. Sebaliknya ada juga kasus justru terjadi obesitas pada
masa dewasa atau setelah dewasa. Sehingga diperlukan kerjasama
dengan ahli gizi.
e. Kelainan tulang
Kelainan tulang juga dapat terjadi pada sindrom Down, yang
mencakup

dislokasi

patella,

subluksasio

pangkal

paha,

atau

ketidakseimbangan atlantoaksial. Bila keadaan yang terakhir ini sampai


menimbulkan depresi medulla spinalis, atau apabila anak memegang
kepalanya dalam posisi seperti kortikolis, maka diperlukan pemeriksaan
radiologist untuk memeriksa spina servikalis dan diperlukan konsultasi
neurologist.
f. Lain-lain
Aspek medis lainnya yang memerlukan konsultasi dengan ahlinya,
meliputi masalah imunologi, gangguan fungsi metabolisme, atau
kekacauan biokoimiawi.
2. Pendidikan
Ternyata anak dengan sindrom Down mampu berpartisipasi dalam
belajar melalui program intervensi dini, taman kanak-kanak, dan melalui
pendidikan kasus yang positif yang akan berpengaruh terhadap tumbuh
kembang anak secara menyeluruh.
a. Intervensi dini
Pada akhir-akhir ini, terdapat sejumlah program intervensi dini
yang dipakai sebagai pedoman bagi orang tua untuk memberikan
lingkungan yang memadai bagi anak dengan sindrom Down makin

32

meningkat. Anak akan mendapat manfaat dari stimulasi sensoris dini,


latihan khusus yang mencakup aktivitas motorik kasar dan halus, dan
petunjuk agar anak mampu berbahasa. Demikian pula dengan mengajari
anak agar mampu menolong diri sendiri, seperti belajar makan, belajar
buang air besar/kecil, mandi, berpakaian, akan memberi kesempatan
anak untuk belajar mandiri.
b. Taman bermain/ Taman Kanak-kanak
Anak akan memperoleh mamfaat berupa peningkatan keterampilan
motorik kasar dan halus melalui bermain dengan temannya. Anak juga
dapat melakukan interaksi social denga temannya. Dengan memberikan
kesempatan

bergau

dengan

lingkungan

di

luar

rumah,

maka

memungkinkan anak berpartisipasi dalam dunia yang lebih luas.


c. Pendidikan Khusus ( SLB-C )
Program pendidikan khusus pada anak dengan sindrom Down akan
membantu anak melihat dunia sebagai suatu tempat yang menarik untuk
mengembangkan diri dan bekerja. Pengalaman yang diperoleh di
sekolah akan membantu mereka memperoleh perasaan tentang identitas
personal, harga diri dan kesenangan. Lingkungan sekolah memberi
kepada anak dasar kehidupan dalam perkembangan keterampilan fisik,
akademis dan kemampuan social.
3. Penyuluhan pada orang tua
Begitu diagnosis sindrom Down ditegakkan, tim kesehatan harus
menyampaikan hal ini secara bijaksana dan jujur. Penjelasan pertama
sangat menentukan adaptasi dan sikap orang tua selanjutnya. Penjelasan
ini sebaiknya singkat, oleh Karena pada waktu itu mungkin orang tua
masih belum mampu berpikir secara nalar. Tim kesehatan harus
menjelaskan bahwa anak dengan sindrom Down adalah individu yang
mempunyai hak yang sama dengan anak yang normal, serta pentingnya
makna kasih sayang dan pengasuhan orang tua.

33

Pertemuan lanjutan diperlukan untuk memberikan penjelasan lebih


lengkap. Walaupun menyampaikan masalah sindrom Down akan
menyakitkan bagi orang tua penderita, tetapi ketidakterbukaan justru
akan dapat meningkatkan isolasi atau harapan yang tidak mungkin dari
orang tuanya.
XI. PENCEGAHAN
Menurut Soetjiningsih (1998), konseling genetik, maupun amniosintesis
pada kehamilan yang dicurigai, akan sangat membantu mengurangi angka
kejadian sindrom Down. Saat ini dengan kemajuan biologi molecular, misalnya
dengan gene targeting

atau yang dikenal juga sebagai homologous

recombination sebuah gene dapat dinonaktifkan. Tidak terkecuali suatu saat


nanti, gen-gen yang terdapat di ujung lengan panjang kromosom 21 yang
bertanggungjawab

terhadap

munculnya

dinonaktifkan.

34

fenotip

sindrom

Down

dapat

B. Patent Ductus Arteriosus


I.
Definisi
Patent Ductus Arteriosus (PDA) adalah duktus arteriosus yang
tetap terbuka. Duktus Arteriosus adalah saluran yang berasal dari arkus
aorta ke VI pada janin yang menghubungkan arteri pulmonalis dengan
aorta desendens. Pada bayi normal duktus tersebut menutup secara
fungsional 10 15 jam setelah lahir dan secara anatomis menjadi
ligamentum arteriosum pada usia 2 3 minggu. Bila tidak menutup
disebut Duktus Arteriosus Persisten (Persistent Ductus Arteriosus : PDA).
(Buku ajar kardiologi FKUI, 2001)
Patent Duktus Arteriosus adalah kegagalan menutupnya ductus
arteriosus (arteri yang menghubungkan aorta dan arteri pulmonal) pada
minggu pertama kehidupan, yang menyebabkan mengalirnya darah dari
aorta tang bertekanan tinggi ke arteri pulmonal yang bertekanan rendah.
(Suriadi, 2001)
Patent Duktus Arteriosus (PDA) adalah tetap terbukanya duktus
arteriosus setelah lahir, yang menyebabkan dialirkannya darah secara
langsung dari aorta (tekanan lebih tinggi) ke dalam arteri pulmoner
(tekanan lebih rendah). (Betz & Sowden, 2002). Duktus arteriosus adalah
suatu pembuluh darah yang menghubungkan aorta (pembuluh arteri besar
yang mengangkut darah ke seluruh tubuh) dengan arteri pulmonalis (arteri
yang membawa darah ke paru-paru), yang merupakan bagian dari
peredaran darah yang normal pada janin.
Duktus arteriosus memungkinkan darah untuk tidak melewati paruparu. Pada janin, fungsi ini penting karena janin tidak menghirup udara
sehingga darah janin tidak perlu beredar melewati paru-paru agar
mengandung banyak oksigen.Janin menerima oksigen dan zat makanan
dari plasenta (ari-ari). Tetapi pada saat lahir, ketika bayi mulai bernafas,
duktus arteriosus akan menutup karena darah harus mengalir ke paru-paru
agar mengandung banyak oksigen. Pada 95% bayi baru lahir, penutupan
duktus terjadi dalam waktu 48-72 jam.

35

II. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya penyakit jantung bawaan belum dapat diketahui
secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh
pada peningkatan angka kejadian penyakit jantung bawaan :
A. Faktor Prenatal
1. Ibu menderita penyakit infeksi : Rubella.
2. Ibu alkoholisme.
3. Umur ibu lebih dari 40 tahun.
4. Ibu menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang memerlukan
insulin.
5. Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu.
B. Faktor Genetik
1. Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan.
2. Ayah / Ibu menderita penyakit jantung bawaan.
3. Kelainan kromosom seperti Sindrom Down.
4. Lahir dengan kelainan bawaan yang lain.
Duktus arteriosus adalah suatu pembuluh darah yang dilapisi oleh otot
dan memiliki fungsi khusus. Jika kadar oksigen di dalam darah meningkat
(biasanya terjadi segera setelah bayi lahir), otot ini akan mengkerut sehingga
duktus menutup. Pada saat duktus menutup, darah dari jantung bagian kanan
hanya mengalir ke paru-paru (seperti yang terjadi pada orang dewasa).
Pada beberapa anak, duktus tidak menutup atau hanya menutup
sebagian. Hal ini terjadi karena tidak adanya sensor oksigen yang normal
pada otot duktus atau karena kelemahan pada otot duktus. Adapun faktor
resiko terjadinya PDA adalah prematuritas dan sindroma gawat pernafasan.
PDA mungkin terjadi :

Herediter- Infeksi rubela pada trimester pertama kehamilan

Rendahnya 02 (asfiksia, RDS, distres janin, di daerah dataran


tinggi).

36

III. PREVALENSI
Prevalensi sekitar 5-10% dari semua CHD. Diperkirakan insidens dari
PDA sebesar 1 dari 2000 kelahiran normal, dan insidens pada bayi perempuan
2 x lebih banyak dari bayi laki-laki. Sedangkan pada bayi prematur
diperkirakan sebesar 15 %.
Kelainan ini bisa terjadi baik pada bayi prematur maupun pada bayi
cukup

umur,

Biasanya

dan

gejalanya

ditemukan
ringan,

pada

tetapi

diantara

2500-5000

bayi.

akan

semakin

berat

tidak

jika

diobati/diperbaiki pada usia 2 tahun.


IV. PATOFISIOLOGI
Duktus arteriosus adalah pembuluh darah yang menghubungkan
aliran darah pulmonal ke aliran darah sistemik dalam masa kehamilan
(fetus). Hubungan ini (shunt) ini diperlukan oleh karena sistem respirasi
fetus yang belum bekerja di dalam masa kehamilan tersebut. Aliran darah
balik fetus akan bercampur dengan aliran darah bersih dari ibu (melalui
vena umbilikalis) kemudian masuk ke dalam atrium kanan dan kemudian
dipompa oleh ventrikel kanan kembali ke aliran sistemik melalui duktus
arteriosus. Normalnya duktus arteriosus berasal dari arteri pulmonalis utama
(atau arteri pulmonalis kiri) dan berakhir pada bagian superior dari aorta
desendens, 2-10 mm distal dari percabangan arteri subklavia kiri.
Dinding duktus arteriosus terutama terdiri dari lapisan otot polos
(tunika media) yang tersusun spiral. Diantara sel-sel otot polos terdapat
serat-serat elastin yang membentuk lapisan yang berfragmen, berbeda
dengan aorta yang memiliki lapisan elastin yang tebal dan tersusun rapat
(unfragmented). Sel-sel otot polos pada duktus arteriosus sensitif terhadap
mediator vasodilator prostaglandin dan vasokonstriktor (pO2).
Setelah persalinan terjadi perubahan sirkulasi dan fisiologis yang
dimulai segera setelah eliminasi plasenta dari neonatus. Adanya perubahan
tekanan, sirkulasi dan meningkatnya pO2 akan menyebabkan penutupan

37

spontan duktus arteriosus dalam waktu 2 minggu. Duktus arteriosus yang


persisten (PDA) akan mengakibatkan pirai (shunt) L-R yang kemudian
dapat menyebabkan hipertensi pulmonal dan sianosis. Besarnya pirai (shunt)
ditentukan oleh diameter, panjang PDA serta tahanan vaskuler paru (PVR).

Gambar 2.1. Jantung normal dan jantung dengan PDA


Gambar A menunjukkan bagian jantung normal dan aliran darah
normal. Gambar B menunjukkan hati dengan patent ductus arteriosus. Cacat
menghubungkan aorta dengan arteri paru-paru. Hal ini memungkinkan
darah yang kaya oksigen dari aorta untuk bercampur dengan darah miskin
oksigen di arteri paru-paru.
V. MANIFESTASI KLINIS
Jika duktus tetap terbuka, darah yang seharusnya mengalir ke
seluruh tubuh akan kembali ke paru-paru sehingga memenuhi pembuluh
38

paru-paru. Jumlah darah tambahan yang sampai ke paru-paru tergantung


kepada ukuran PDA. Jika PDA sangat kecil, maka darah yang melewati
PDA hanya sedikit. Pada keadaan ini, anak tidak memiliki gejala sama
sekali dan tampak baik-baik saja.
PDA

yang

kecil

dapat

diketahui

dengan stetoskopterdengar murmur (suatu

jika

bunyi

pada

jantung

pemeriksaan
ekstra

yang

terderngar jika darah menyembur melalui lubang yang sempit). Semakin


kecil lubangnya, maka semakin sedikit darah yang mengalir dan semakin
halus bunyi murmur yang terdengar.
Jika PDA memiliki lubang yang besar, maka darah dalam jumlah
yang besar akan membanjiri paru-paru. Anak tampak sakit, dengan gejala
berupa:
- tidak mau menyusu
- berat badannya tidak bertambah
- berkeringat
- kesulitan dalam bernafas
- denyut jantung yang cepat.
Timbulnya gejala tersebut menunjukkan telah terjadinya gagal
jantung kongestif, yang seringkali terjadi pada bayi prematur. Anak dengan
PDA yang kecil tidak memiliki resiko menderita gagal jantung kongestif,
tetapi tetap memiliki resiko terjadinya endokarditis. Endokarditis adalah
infeksi pada jantung, katup jantung maupun pembuluh darah jantung.
Infeksi

ini

bisa

berakibat

fatal

dan

dapat

menyebabkan

kematian, stroke serta kelainan fungsi jantung.


Manifestasi klinis PDA pada bayi prematur sering disamarkan oleh
masalah-masalah lain yang berhubungan dengan prematur (misalnya
sindrom gawat nafas). Tanda-tanda kelebihan beban ventrikel tidak terlihat
selama 4 6 jam sesudah lahir. Bayi dengan PDA kecil mungkin
asimptomatik, bayi dengan PDA lebih besar dapat menunjukkan tanda-tanda
gagal jantung kongestif (CHF)
Kadang-kadang terdapat tanda-tanda gagal jantung

39

Machinery mur-mur persisten (sistolik, kemudian menetap, paling nyata


terdengar di tepi sternum kiri atas)
Tekanan nadi besar (water hammer pulses) / Nadi menonjol dan meloncatloncat, Tekanan nadi yang lebar (lebih dari 25 mm Hg)
Takhikardia (denyut apeks lebih dari 170), ujung jari hiperemik
Resiko endokarditis dan obstruksi pembuluh darah pulmonal.
Infeksi saluran nafas berulang, mudah lelah
Apnea
Tachypnea
Nasal flaring
Retraksi dada
Hipoksemia
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis PDA didasarkan atas pemeriksaan klinis, disokong oleh
beberapa pemeriksaan:
1. Foto rontgen dada : jantung membesar, vaskularisasi ke paru-paru
meningkat. PDA kecil tidak ada perubahan gambaran foto dada
2. EKG : hipertrofi ventrikel kiri. PDA kecil tidak ada perubahan EKG
3. Ekokardiografi : dilatasi atrium kiri (perbandingan dengan aorta lebih dari
1,2)
4. Kateterisasi : step-up oxygen di tingkat arteria pulmonalis dan kateter bisa
masuk dari arteria pulmonalis ke aorta desendens (distal dari arteria
subklavia)
5. Angiokardiografi

(Aortogram)

bayangan

radioopaque

yang

menghubungkan arteri pulnonalis dan aorta desendens.


VII. DIAGNOSIS BANDING
1.
2.
3.
4.
5.

Venous Hum
Ruptur sinus Valsava
Insufisiensi Aorta + VSD
Trunkus Arteriosus
Aortico-pulmonary window

VIII. PENATALAKSANAAN
Manajemen medis juga terdiri dari perbaikan gejala gagal jantung
kongestif (CHF). CHF merupakan indikasi untuk penutupan patent ductus
40

arteriosus (PDA) pada masa bayi. Jika terapi medis tidak efektif, intervensi
mendesak untuk menutup struktur harus dilakukan. Semua patent ductus
arteriosus (PDA) harus ditutup karena risiko endokarditis bakteri yang
berkaitan dengan struktur terbuka. Seiring waktu, peningkatan aliran darah
paru presipitat penyakit obstruktif vaskuler paru, yang akhirnya fatal.
Identifikasi malformasi jantung tambahan, seperti coarctation atau
terputus arkus aorta atau atresia paru, adalah kebutuhan yang paling penting
sebelum farmakologis atau bedah penutupan patent ductus arteriosus (PDA).
Ketika ligasi bedah tidak diindikasikan, inhibitor prostaglandin (misalnya,
obat antiinflamasi nonsteroid [NSAID]) digunakan untuk menutup ductus
arteriosus.
a.

Terapi Pembedahan
Tindakan pembedahan dilakukan secara elektif (sebelum masuk
sekolah). Tindakan pembedahan dilakukan lebih dini bila terjadi :
a.
b.
c.
d.

Gangguan pertumbuhan
Infeksi saluran pernafasan bagian bawah berulang
Pembesaran jantung/payah jantung
Endokarditis bakterial (6 bulan setelah sembuh)
kontraindikasi tindakan pembedahan : Pirau yang berbalik (dari
kanan ke kiri) atau Hipertensi pulmonal. Tindakan pembedahan ditunda
minimal 6 bulan bila terjadi endokarditis

1.

Kateterisasi Jantung
Kateterisasi intervensi, penutupan PDA dengan : Koil
Gianturco pada PDA kecil,diameter < 3 mm dAN Amplatzer Ductal
Occluder (ADO) pada PDA sedang-besar. Penggunaan rute perkutan
untuk menutup patent ductus arteriosus (PDA) menjadi lebih umum.
Transcatheter oklusi adalah alternatif yang efektif untuk intervensi
bedah dan menjadi terapi pilihan untuk sebagian besar kasus patent
ductus

arteriosus

(PDA)

pada

anak-anak

dan

orang

dewasa.Kebanyakan pasien dengan paten terisolasi ductus arteriosus


(PDA) dapat memiliki pengobatan yang sukses dengan kateterisasi
setelah beberapa bulan pertama kehidupan. Setelah ulang tahun

41

pertama, pengobatan yang paling umum untuk patent ductus


arteriosus (PDA) adalah oklusi pada kateterisasi jantung. Bahkan,
seperti kateterisasi teknik muka, kemampuan untuk menutup cacat
pada bayi yang lebih kecil juga telah dilaporkan dengan tingkat
keberhasilan yang tinggi. Selama 4 dekade terakhir, banyak teknik
dan perangkat telah digunakan untuk patent ductus arteriosus (PDA)
oklusi, meskipun tingkat penutupan definitif tidak mendekati orangorang dari operasi. Kontraindikasi terhadap penutupan kateter
berbasis melibatkan ukuran pasien.
2.

Ligasi Bedah
Ligasi bedah atau ligasi bedah dan pembagian tetap
pengobatan standar paten besar ductus arteriosus (PDA) yang
memerlukan perawatan pada masa bayi. Prosedur ini berisiko rendah
di tangan seorang ahli bedah kardiovaskular yang berpengalaman .
Hal ini berlaku bahkan dalam bayi prematur terkecil.
Ligasi (dengan atau tanpa pembagian paten ductus
arteriosus [PDA]) tanpa cardiopulmonary bypass dapat dilakukan
melalui torakotomi posterolateral kiri. Video-dibantu thoracoscopic
pembedahan (tong) ligasi patent ductus arteriosus (PDA) kurang
invasif dibandingkan torakotomi posterolateral dan telah terbukti
aman dan efektif.
b. Terapi medikamentosa
Indikasi terapi :
1) Bayi prematur umur < 1 minggu
2) Terdapat tanda gagal jantung:
takipnu,takikardi,kardiomegali,hepatomegali
3) Ekokardiografi : terdapat PDA, LA/Ao rasio > 1,2
Pemberian indometasin Intravena (IV) (atau persiapan baru
ibuprofen IV) sering efektif dalam menutup patent ductus arteriosus
(PDA) jika diberikan dalam 10-14 hari pertama kehidupan. Pilihan lain
adalah penutupan kateter dan ligasi bedah, yang memerlukan torakotomi.

42

Indomethasin 0,2 mg/kg/dosis p.o atau i.v. 1x sehari selama 3 hari


berturut-turut atau Ibuprofen 10 mg/kg/dosis p.o.1 x sehari selama 3 hari
berturut-turut. Syarat pemberian Indomethasin/ibuprofen : trombosit
cukup,tidak ada perdarahan gastrointestinal atau tempat lain, fungsi
ginjal normal.
Penggunaan obat di patent ductus arteriosus (PDA) didasarkan
pada status klinis pasien. Dengan adanya gejala overcirculation paru atau
hipertensi paru berhubungan dengan patent ductus arteriosus (PDA),
menutup lesi biasanya paling dianjurkan, karena itu, terapi anticongestive
tidak diberikan Prostaglandin dimanfaatkan untuk menjaga patensi
duktus arteriosus sampai ligasi bedah dilakukan. Ketika ligasi bedah
tidak diindikasikan, inhibitor prostaglandin (misalnya, obat antiinflamasi
nonsteroid [NSAID]) digunakan untuk menutup ductus arteriosus.
Indometasin IV atau ibuprofen IV digunakan untuk mengobati patent
ductus arteriosus (PDA) pada neonatus dan bayi prematur. Dosis yang
digunakan untuk ibuprofen adalah 10 mg / kg bolus diikuti dengan 5 mg /
kg / hari selama 2 hari tambahan.
IX. KOMPLIKASI
Payah jantung, Endokarditis bakterial, diseksi aneurisma aorta.
X. PEMANTAUAN JANGKA PANJANG
Orangtua anak-anak dengan lesi ini harus menyadari bahwa patent ductus
arteriosus (PDA) tidak memiliki pola warisan yang signifikan. Setelah patent
ductus arteriosus (PDA) ditutup, ada batasan khusus atau perawatan yang
diperlukan. Tidak ada pembatasan latihan diperlukan karena tidak adanya
hipertensi pulmonal.
Kebanyakan dokter merekomendasikan antibiotik profilaksis pada saat
risiko bakteremia selama 6-12 bulan setelah penutupan, apakah dengan kateter
atau operasi. (Rekomendasi khusus untuk antibiotik profilaksis dapat
ditemukan di setiap penyakit menular saat ini atau referensi antibiotik, atau
mengacu pada rekomendasi American Heart Association.

43

Meskipun laporan jarang ada rekanalisasi dan kambuhnya shunt kiri-kekanan setelah patent ductus arteriosus (PDA) ligasi, risikonya sangat rendah.
Jika patent ductus arteriosus (PDA) telah ditutup oleh teknik radiologis
intervensional, mendapatkan tindak lanjut echocardiography Echocardiograms
2-3 minggu setelah prosedur ini sampai penutupan lengkap dikonfirmasi adalah
bijaksana.
C. PNEUMONIA
1. Definisi
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan
terjadinya

proses

infeksi

akut

pada

bronkus

yang

disebut

bronchopneumonia. Gejala penyakit pneumonia ini berupa nafas cepat dan


nafas sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas nafas cepat
adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada
anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali per menit atau
lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun.
2. Klasifikasi
Menurut etiologi
a. Pneumonia Bakterial
Dapat terjadi pada semua usia dan penyebab utamanya adalah
bakteri Pneumokokus. Pneumonia jenis ini bisa menyerang siapa saja, dari
bayi hingga lanjut usia. Biasanya karena system kekebalan tubuh yang
menurun dan malnutrisi sehingga bakteri pneumonia cepat berkembang
dan merusak paru. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paruparu, atau pun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paruparu (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi
cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh
tubuh melalui peredaran darah.
Gejalanya : biasanya pneumonia bakteri itu didahului dengan
infeksi saluran napas yang ringan satu minggu sebelumnya. Misalnya,

44

karena infeksi virus (flu). Infeksi virus pada saluran pernapasan dapat
mengakibatkan

pneumonia

karena

mukus

(cairan/lendir)

yang

mengandung pneumokokus dapat terhisap masuk ke dalam paru-paru.


Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang seseorang yang
peka, misalnya klebsiella pada penderita alkoholik, staphyllococcus pada
penderita pasca infeksi influenza.
Gambaran rontgen : terdapat bayangan kesuraman yang homogen
pada satu lobus atau lebih.
b. Pneumonia Virus
Lebih sering terjadi dibandingkan pneumonia bacterial, terlihat
pada anak dari semua kelompok umur. Sering dikaitkan dengan ISPA
virus. Penyebab utama pneumonia virus adalah virus influenza (bedakan
dengan bakteri hemofilus influenza yang bukan penyebab penyakit
influenza)
Gejala : sama seperti gejala influenza, yaitu demam, batuk kering,
sakit kepala, nyeri otot, dan kelemahan. Dalam 12 hingga 36 jam penderita
menjadi sesak, batuk lebih parah, dan berlendir sedikit. Terdapat panas
tinggi disertai membirunya bibir.
c. Pneumonia Jamur
Sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah. Contoh jamur : Histoplasma
capsulatum,

Cryptococcus

neoformans,

Blastomyces

dermatitides,

Candida albicans, Aspergillus species.


d. Pneumonia Atipikal
Agen etiologinya adalah mycoplasma, legionella, dan chalamydia.
Biasa terjadi di lingkungan dengan tempat hidup padat.
e. Pneumonia aspirasi
Terjadi karena aspirasi cairan, muntahan, makanan, cairan amniotic
dan debris (selama proses kelahiran). Bisa menyebabkan iritasi membrane
mukosa sehingga menjadi area untuk infeksi bakteri sekunder.

45

Gambaran rontgen : menunjukkan infiltrasi kasar di kedua paru


disertai dengan bagian yang mengalami emfisema.
Menurut predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris
Pneumonia yang terjadi pada satu lobus (percabangan besar dari
pohon bronkus) baik kanan maupun kiri. Bila kedua paru terkena disebut
pneumonia bilateral atau ganda.
b. Pneumonia bronkopneumonia (lobularis)
Pneumonia yang ditandai bercak-bercak infeksi pada berbagai
tempat di paru.. Terjadi pada ujung akhir bronkhiolus yang tersumbat oleh
eksudat mukopurulen. Bisa kanan maupun kiri yang disebabkan virus atau
bakteri.
c. Pneumonia bronkiolitis ( interstitialis)
Proses inflamasi yang terjadi di dalam dinding alveolar
(interstitium), peribronkial dan jaringan interlobular.
3. Etiologi
a. Bakteri : streptococus pneumoniae, staphylococus aureus
b. Virus
: Influenza, parainfluenza, adenovirus
c. Jamur
: Candidiasis, histoplasmosis, aspergifosis, coccidioido
mycosis, cryptococosis, pneumocytis carini
d. Aspirasi : Makanan, cairan, lambung
e. Inhalasi : Racun atau bahan kimia, rokok, debu dan gas
4. Faktor Risiko
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Infeksi Saluran Nafas Atas (ISPA)


kekurangan nutrisi
Umur dibawah 2 bulan
Gizi kurang
Berat badan lahir rendah
Tidak mendapat ASI memadai
Polusi udara dan kepadatan tempat tinggal
Imunisasi yang tidak memadai

5. Tanda dan Gejala


Pada umumnya, diawali dengan panas, batuk, pilek, suara serak,
nyeri tenggorokan. Selanjutnya panas makin tinggi, batuk makin hebat,
46

pernapasan cepat (takipnea), tarikan otot rusuk (retraksi), sesak napas dan
penderita menjadi kebiruan (sianosis). Adakalanya disertai tanda lain
seperti nyeri kepala, nyeri perut dan muntah (pada anak di atas 5 tahun).
Pada bayi (usia di bawah 1 tahun) tanda-tanda pnemonia tidak spesifik,
tidak selalu ditemukan demam dan batuk.
6. Pencegahan
a. Menghindarkan bayi (anak) dari paparan asap rokok, polusi udara dan
tempat keramaian yang berpotensi penularan.
b. Menghindarkan bayi (anak) dari kontak dengan penderita ISPA.
c. Membiasakan pemberian ASI.
d. Segera berobat jika mendapati anak kita mengalami panas, batuk, pilek.
Terlebih jika disertai suara serak, sesak napas dan adanya tarikan pada
otot diantara rusuk (retraksi).
e. Periksakan kembali jika dalam 2 hari

belum menampakkan

perbaikan.Dan segera ke RS jika kondisi anak memburuk.


f. Imunisasi Hib (untuk memberikan kekebalan terhadap Haemophilus
influenzae, vaksin Pneumokokal Heptavalen (mencegah IPD= invasive
pneumococcal diseases) dan vaksinasi influenzae pada anak resiko
tinggi, terutama usia 6-23 bulan.
g. Menyediakan rumah sehat bagi bayi yang memenuhi persyaratan :
i. Memiliki luas ventilasi sebesar 12 20% dari luas lantai.
ii. Tempat masuknya cahaya yang berupa jendela, pintu atau kaca
sebesar 20%.
iii. Terletak jauh dari sumber-sumber pencemaran, misalnya pabrik,
tempat pembakaran dan tempat penampungan sampah sementara
maupun akhir (Menkes, 1999).
7. Pemeriksaan Penunjang
a.
b.
c.
a.

Foto thoraks : menunjukkan infiltrasi melebar


LED
: meningkat, tanda ada infeksi
AGD
: untuk mengetahui paO2 dan pCO2
Kultur sputum : untuk mengetahui jenis pneumonia

8. Penatalaksanaan
a. Antibiotik tergantung penyebab pneumoni
b. Kortikosteroid untuk mengurangi sekret
47

c. Cairan infuse Dextrose dan NaCl


d. Pemberian oksigen 1-2 L/mnt
9. Chest Physiotherapy
Mukus merupakan suatu lapisan protektif yang melapisi bagian dalam
paru dan jalan napas yang menangkap debu dan kotoran yang terdapat pada
udara yang kita hirup dan mencegah iritasi pada paru. Ketika terdapat infeksi
dan iritasi, maka tubuh akan memproduksi mukus yang kental untuk membantu
paru-paru melepaskan diri dari infeksi. Bila mukus yang kental ini menyumbat
jalan napas, maka akan terjadi kesulitan bernapas. Sehingga untuk membantu
membuang ekstra mukus ini dilakukanlah Chest Physiotherapy.
Chest Physiotherapy terdiri dari Postural Drainage, perkusi dada, dan
vibrasi dada. Biasanya ketiga metode ini digunakan pada posisi drainase paru
yang berbeda diikuti dengan latihan napas dalam dan batuk.
a. Postural Drainage
Penumpukan sekresi saluran napas bila dibiarkan akan menimbulkan
akibat yang serius. Dapat timbul serangan batuk spasmodik akibat iritasi
lokal, obstruksi bronkus, atelektasis, infeksi paru, dan gangguan ventilasi
perfusi. Postural Drainage merupakan pemberian posisi terapeutik pada
pasien yang memungkinkan sekresi paru mengalir berdasarkan gravitasi ke
dalam bronkus mayor dan trakea dimana selanjutnya dapat dibatukkan.
Indikasi:
1

Kondisi yang berkaitan dengan paru-paru: bronkitis, fibrosis kistik,


pneumonia, asma, abses paru, penyakit paru-paru obstruktif.

Profilaksis post-operatif torakotomi, stasis pneumonia

Profilaksis pada penggunaan ventilasi buatan jangka lama, kelumpuhan,


dan pada pasien dalam kondisi tak sadar
Kontra indikasi:

Peningkatan TIK

Segera setelah makan

Refleks batuk (-)

Penyakit jantung akut


48

Gangguan sistem pembekuan


Postural Drainage juga merupakan suatu rangkaian latihan non invasif

yang digunakan bersamaan dengan humidifikasi dan pengobatan.


Manipulasi ini dibentuk oleh kombinasi mekanis (perkusi dan vibrasi),
gravitasi dan mekanisme batuk. Pasien diletakkan dalam berbagai posisi
sesuai dengan segmen paru yang terlibat. Segmen paru yang akan didrainase
ditempatkan setinggi mungkin dan bronkus utama severtikal mungkin.
Selanjutnya perhatikan gambar-gambar berikut ini untuk membantu
pengaturan posisi drainase paru.
Pasien harus dimonitor dengan cermat pada saat posisi kepala lebih
rendah terhadap adanya aspirasi, dispnea, atau aritmia. Pada pasien abses
paru, hindari posisi pasien dengan lokasi abses di sebelah atas karena akan
menyebabkan pengaliran abses ke sisi paru lainnya.
Waktu yang diperlukan untuk tindakan ini bervariasi tergantung pada
kondisi pasien (sekitar 20-30 menit). Selama pemberian posisi, pasien
dianjurkan napas dalam 5 7 kali diselingi napas biasa selama 1-2 menit.
Tindakan ini dapat dilakukan 4 sampai 6 kali sehari atau setiap 2 jam
pada kasus sputum banyak dan kental dan dilakukan sebelum pemberian
makanan.
Untuk memfasilitasi drainase agar konsistensi sekresi paru yang kental
menjadi lebih encer perlu dipertahankan pemberian cairan yang adekuat
(oral atau intravena) dan pemberian medikasi mukolitik.
b. Perkusi
Perkusi dada meliputi pengetokan dada dengan tangan saat pasien
berada pada posisi drainase. Tujuannya adalah untuk membantu melepaskan
sekret yang melengket pada dinding alveoli sehingga dapat mengalir ke
percabangan bronkus dan trakea.
Gallon (dikutip dalam Hudak & Gallo, 1998) menemukan bahwa
perkusi yang dimasukkan ke dalam program pengobatan secara bermakna
akan meningkatkan kecepatan produksi sekret.

49

Untuk melakukan perkusi dada, tangan dibentuk seperti mangkuk


dengan mem-fleksikan jari dan meletakkan ibu jari bersentuhan dengan
telunjuk, atau posisi telapak tangan seperti saat menampung air atau tepung
kemudian dibalikkan.
Posisi pasien tergantung pada segmen paru yang akan diperkusi.
Selanjutnya pada area yang akan diperkusi dialas dengan handuk atau
biarkan baju pasien tetap terpasang agar tangan tidak menyentuh kulit secara
langsung.
Perkusi dilakukan selama 3 sampai 5 menit untuk setiap posisi. Jangan
melakukan perkusi pada area spinal, sternum, atau di bawah rongga toraks.
Bila perkusi dilakukan dengan benar maka perkusi tidak akan menimbulkan
rasa sakit pada pasien atau membuat kulit menjadi merah. Bunyi tepukan
menimbulkan suara yang khas menunjukkan posisi tangan yang benar.
Kontra indikasi perkusi dada:
1. Fraktur iga
2. Cedera dada traumatik
3. Perdarahan atau emboli paru
4. Mastektomi
5. Pneumotoraks
6. Lesi metastatik pada iga
7. Osteoporosis
8. Trauma medulla servikal
9. Trauma abdomen
c. Vibrasi
Vibrasi meningkatkan kecepatan dan turbulensi udara ekshalasi untuk
mendorong sekret dan merupakan tindakan mekanik kedua setelah perkusi
atau dapat digunakan sebagai ganti perkusi bila dinding dada nyeri sekali.
Tujuan vibrasi adalah untuk membantu mengeluarkan sekret dan
merangsang terjadinya batuk. Getaran pada kulit akan sampai pada paru
akan membantu menghilangkan mukus.

50

Stiller et al (dikutip dalam Hudak & Gallo, 1998) menemukan bahwa


pasien-pasien yang diterapi pemberian posisi, vibrasi, hiperventilasi, dan
penghisapan menunjukkan resolusi dari atelektasis yang lebih berarti dari
pada yang diterapi dengan penghisapan dan hiperventilasi saja.
Teknik vibrasi ini dilakukan dengan cara meletakkan tangan secara
berdampingan dengan jari-jari ekstensi di atas area dada segmen yang akan
didrainase. Selanjutnya pasien diminta untuk melakukan inhalasi dalam dan
ekshalasi secara perlahan. Selama pasien ekshalasi, dada divibrasi dengan
cara kontraksi dan relaksasi cepat pada otot lengan dan bahu. Dapat juga
digunakan electric vibrator jika tersedia. Kontra indikasi vibrasi dada sama
dengan kontraindikasi perkusi dada.

51

DAFTAR PUSTAKA
Am J Pathol. 2003. Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
Amin, Muhammad. 2004. Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University
Press.
American College of Nurse-Midwives. 2005. Prenatal Tests for Down Syndrome.
www.ncbi.nlm.nih.gv/pubmed/15895013
Andriolo, R B. 2005. Aerobic Exercise Training Programmes For Improving
Physical And Psychosocial Health in adults with Down Syndrome. www.
biomedsearch.com.
Baliff J B. 2005. New Development in Prenatal Screening for Down Syndrome.
University of Rochester School of Medical.
Galley R. 2005. Medical Management of the Adult Patient with Down Syndrome.
Journal of the American Academy of Physician Assistant: 18(4): 45-52.
Garisson Susan J. 2001. Dasar-Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Departement
of Physical Medicine and Rehabilitation. Texas
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC
Kallen B, Mastroiacovo P, Robert E. 1996. Major Congenital Malformations in
Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8911611
Lancet. 2003. Antenatal Screening for Downs Syndrome. The Lancet volume 362,
issues 9377, p 81.
Livingstone C. 2006. Heart Related Down Syndrome. repository.usu.ac.id
Nelson. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Jakarta : EGC.
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Edisi 6 Volume 1 dan 2. Jakarta: EGC
Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC
Sadler, T.W. 2006. Embriologi Kedokteran Langman Edisi 7. Jakarta : EGC
Tyler, C V, Zyzanski SJ, Runser, L. 2004. Increased Risk of Symptomatic
Gallbladder Disease in Adults with Down Syndrome. American Journal of
Medical Genetics vol 130 A, issue 4, pp 351-3

52

Anda mungkin juga menyukai