TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Kontraktur
Kontraktur adalah pemendekan jarak 2 titik anatomis tubuh sehingga terjadi
keterbatasan rentang gerak (range of motion). Kontraktur adalah kontraksi yang menetap
dari kulit dan atau jaringan dibawahnya yang menyebabkan deformitas dan keterbatasan
gerak. Kelainan ini disebabkan karena tarikan parut abnormal pasca penyembuhan luka,
kelainan bawaan maupun proses degeneratif. Kontraktur yang banyak dijumpai adalah
akibat luka bakar (Perdanakusuma, 2009).
Kontraktur dapat terjadi pada setiap sendi pada tubuh. Gangguan fungsi persendian
ini mungkin sebagai hasil dari immobolisasi yang disebabkan trauma atau penyakit, cedera
saraf seperti kerusakan pada medulla spinalis dan stroke, atau penyakit otot, tendon ataupun
ligamentum. Keadaan ini tentunya akan sangat merugikan dikemudian hari bagi penderita
kontraktur sendi karena adanya keterbatasan gerakan yang akan mengakibatkan
ketidakmampuan fisik dalam melakukan aktivitas maupun rasa tidak nyaman karena posisi
statis yang terus menerus dirasakan. Dengan kemajuan ilmu kedokteraan sekarang,
penyebab berkurangnya ruang gerak akibat kontraktur dapat dikurangi secara efektif.
Kontraksi merupakan suatu proses yang normal pada proses penyembuhan luka,
sedangkan kontraktur merupakan suatu keadaan patologis tingkat akhir dari suatu kontraksi.
Umumnya kontraktur terjadi apabila pembentukan sikatrik berlebihan dari proses
penyembuhan luka. Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya mobilisasi
sendi akibat suatu keadaan antara lain imbalance kekuatan otot, penyakit neuromuskular,
penyakit degenerasi, luka bakar, luka trauma yang luas, inflamasi, penyakit kongenital,
ankilosis dan nyeri. Banyaknya kasus penderita yang mengalami kontraktur dikarenakan
kurangnya disiplin penderita sendiri untuk sedini mungkin melakukan mobilisasi dan
kurangnya pengetahuan tenaga medis untuk memberikan terapi pengegahan, seperti
perawatan luka, pencegahan infeksi, proper positioning dan mencegah immobilisasi yang
lama. Efek kontraktur menyebabkan terjadinya gangguan fungsional, gangguan mobilisasi
dan gangguan aktifitas kehidupan sehari-hari.
B. Klasifikasi
Klasifikasi kontraktur berdasarkan derajat keparahan (Adu, 2011)
1) I: gejala berupa keketatan namun tanpa penurunan gerakan ruang lingkup gerak
maupun fungsi.
2) II: sedikit penurunan gerakan ruang lingkup gerak atau sedikit penurunan fungsi
namun
tanpa
mengganggu
aktivitas
sehari-hari
secara
signifikan,
tanpa
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Hasil
tes
positif
untuk
kontraktur kapsul sendi jika sendi PIP tidak dapat difleksikan. Tes ini positif untuk
kontraktur otot intrinsik jika MCP sedikit fleksi dan PIP dapat diflexikan
sepenuhnya.
d. Finkelstein test: Sebuah tes yang dirancang untuk menentukan adanya tenosinovitis
tendo abductor pollicis longus dan extensor pollicis brevis. Tes ini biasanya
digunakan untuk menentukan adanya penyakit de Quervains. Pasien membuat
kepalan dengan ibu jari ditekuk di dalam keempat jari lainnya. Pasien kemudian
e. Froments sign: Sebuah tes yang dirancang untuk menentukan adanya kelemahan
otot adduktor policis karena kelumpuhan nervus ulnaris. Pasien diminta untuk
memegang selembar kertas memakai ujung ibu jari dan sisi radial jari telunjuk.
Hasil uji positif jika saat penguji menarik kertas dari pegangan pasien maka phalang
terminal ibu jari pasien akan terfleksikan atau jika sendi MCP di ibu jari menjadi
sangat memanjang (Jeannes sign).
Jika terdapat hambatan dalam memfleksikan jari tersebut maka dianggap sebagai
tanda positif.
g. Tight retinacular ligament test: Sebuah tes yang dirancang untuk menentukan
adanya pemendekan ligamen retinacular atau adanya ikatan pada kapsul sendi
interphalangeal distal (DIP). Pemeriksa memegang sendi PIP pasien dalam posisi
ekstensi penuh sembari memfleksikan sendi DIP. Jika sendi DIP tidak dapat
difleksikan, maka tes dianggap positif (baik disebabkan karena kontraktur
ligamencollateral atau kontraktur kapsul sendi). Untuk membedakannya, sendi PIP
difleksikan dan jika sendi DIP dapat difleksikan dengan mudah maka kapsul sendi
dianggap normal.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Rontgen
Sinar X dapat bermanfaat untuk mendiagnosis kontraktur karena penyempitan ruang
sendi yang terlihat mengindikasikan sendi yang rapat dan kontraksi, dilakukan juga
pemeriksaaan fisik yang melibatkan tes fisik dan manual untuk menguji gerakan
sendi.
b. USG
USG merupakan salah satu pemeriksaan penunjang untuk kontraktur, terutama
kontraktur Dupuytren. USG menghasilkan gambaran posisi antara tulang, arteri, dan
nodul. Selain itu, dari USG juga didapatkan perbedaan echo struktur nodul dan
jaringan sekitar. Early nodule pada kontraktur Dupuytren terlihat lebih hpoechoic
dibanding dengan tendon. Sedangkan nodul yang telah lama terlihat isoechoic atau
hiperechoic.
Penegakan diagnosis kontraktur akibat luka bakar dapat menggunakan bagan sebagai
berikut: (Ogawa & Pribaz, 2010)
Bedakan antara kontraktur jaringan ikat dan kontraktur miogenik atau neurogenik
faktor yang berkontribusi terhadap proses fibroproliferatif kulit tersebut. Paradigma yang
sering
digunakandan
adalah
benihdari
dan sendi
tanah.atau
Komponen
selular
fibroblast,
keratinosit,
Evaluasi secara
fungsional
estetika
jaringan
padaseperti
sebelum
dan sesudah
terapi
sel induk, dan sel inflamasi merupakan benih sedangkan komponen nonseluler seperti
matriks ekstraseluler, kekuatan mekanik, tekanan oksigen, dan cytokine milieu adalah tanah.
(Wong & Gurtner, 2010).
Mekanisme dasar pembentukan kontraktur didapat dari berbagai macam etiologi yaitu
congenital, didapat, atau idiopatik. Proses ini disebabkan oleh aktifnya miofibroblas (sebuah
sel dengan fibroblas dan dengan karakteristik seperti otot polos yang terdistribusinya
granulasi di seluruh jaringan yang ada pada luka). Kontraksi dari miofibroblas menyebabkan
luka menyusut. Hal ini juga diikuti dengan deposisi kolagen dan saling berhubungan untuk
mempertahankan
kontraksi.
Pada
embryogenesis,
kegagalan
diferensiasi
jari-jari
tersier bertujuan untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas terhadap luka bakar (Schwarz,
2007).
Terdapat dua kunci penting dalam pencegahan kontraktur. Hal pertama adalah area
yang terbakar dibidai pada posisi anatomis dan berlatih maksimal lingkup gerak sendi tiap
persendian. Perkembangan bidai selama lima belas tahun terakhir berkontribusi terhadap
penurunan kejadian kontraktur dan hal ini semakin dikembangkan (Schwarz, 2007). Secara
umum terdapat berbagai cara pencegahan kontraktur, yaitu (Procter, 2010):
1. Posisi yang mencegah kontraktur
Posisi yang melindungi dari kontraktur harus dimulai dari hari pertama sampai
beberapa bulan setelah trauma. Posisi ini diaplikasikan terhadap semua pasien baik yang
mendapat terapi cangkok kulit maupun yang tidak. Posisi ini penting karena dapat
mempengaruhi panjang jaringan dengan menurunkan ruang lingkup gerak sebagai akibat
dari parut jaringan. Pasien diistirahatkan dengan posisi yang nyaman, posisi ini biasanya
adalah posisi fleksi dan juga merupakan posisi kontraktur. Tanpa dorongan dan bantuan
dari orang lain, pasien akan meneruskan posisi yang menyebabkan kontraktur. Sekali
kontraktur mulai terbentuk dapat terjadi kesulitan untuk bergerak sempurna seperti
sediakala. Penyesuaian awal memiliki esesnsi untuk memastikan kemungkinan terbaik
hasil terapi, selain itu pula untuk meringankan nyeri.
Pasien harus selalu melakukan kebiasaan posisi pada stadium awal penyembuhan.
Pasien perlu dorongan untuk mempertahankan posisi yang mencegah kontraktur (kecuali
ketika program latihan dan aktivitas fungsional lain), dukungan keluarga sangat penting.
Ketika luka bakar terjadi pada bagian fleksor tubuh, risiko kontraktur akan
semakin meningkat. Posisi yang mencegah terjadinya kontraktur berdasarkan luka bakar
adalah sebagai berikut:
a. Leher depan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi leher, dagu ditarik ke arah
dada, kontur leher menghilang sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur
adalah ekstensi leher, tidak ada bantal di belakang kepala, putar balik leher. Kepala
dimiringkan bila posisi duduk.
e. Punggung tangan
Posisi
yang
dapat
menyebabkan
kontraktur
adalah
hiperekstensi
metacarpalphalangeal (MCP), fleksi interphalangeal (IP), adduksi ibu jari, dan fleksi
pergelangan tangan sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur adalah
pada pergelangan tangan diekstensi 30-40 derajat, fleksi MCP 60-70 derajat, ekstensi
sendi IP, dan abduksi ibu jari.
2. Bidai
Pembidaian sangat efektif untuk membantu mencegah kontraktur dan merupakan
hal yang perlu dilakukan sebagai program rehabilitasi komprehensif. Pembidaian
Pijatan pada parut sangat dianjurkan sebagai bagian dari penatalaksanaan luka parut
meskipun mekanisme efeknya belum begitu diketahui. Hal yang dapat dilakukan adalah:
a. Pemberian moisturiser luka sering kehilangan kelembaban tergantung dari dalamnya
luka dan sejauh kerusakan struktur kulit. Luka tersebut dapat menjadi sangat kering
dan menimbulkan rasa tidak nyaman. Hal ini dapat menimbulkan retak dan pecahnya
parut. Pemijatan dengan moisturizer atau minyak tanpa parfum pada bagian teratas
parut dapat melembutkan sehingga pasien merasa lebih nyaman dan untuk
mengurangi gatal.
b. Jika parut menjadi tebal dan meninggi dapat menggunakan pijatan kuat dan dalam
menggunakan ibujari atau ujung jari untuk mengurangi kelebihan cairan pada tempat
tersebut.
c. Parut akibat luka bakar mengandung kolagen empat kali dibandingkan dengan luka
parut biasa. Pijatan yang dalam dengan pola sedikit memutar dapat meningkatkan
kesegarisan luka parut.
d. Penurunan sensoris dan perubahan sensasi dapat terjadi. Pijatan rutin dan sentuhan
pada parut dapat membantu desensitisasi dari luka yang sebelumnya hipersensitif
e. Faktor psikologis dari seseorang yang memiliki kesulitan dan merasa tidak enak
dipandang dapat dikurangi dengan menyentuh parut dan belajar bagaimana menerima
keadaannya.
Ketika luka bakar telah sembuh, pasien dan keluarganya harus membiasakan untuk
latihan peregangan, pemijatan, moisturizer, dan mandi di air yang hangat. Semua hal ini
dapat membantu mencegah kontraktur. Pasien harus didorong untuk menggunakan tangan
sebisa mungkin untuk aktivitas dan kebutuhan sehari-hari. Jika mungkin digunakan untuk
kembali ke pekerjaan mereka (Pandya, 2001).
G. Penatalaksanaan Kontraktur
Hal utama yang dipertimbangkan untuk terapi kontraktur adalah pengembalian
fungsi dengan cara menganjurkan penggunaan anggota badan untuk ambulasi dan aktifitas
lain. Menyingkirkan kebiasaan yang tidak baik dalam hal ambulasi, posisi dan penggunaan
program pemeliharaan kekuatan dan ketahanan, diperlukan agar pemeliharaan tercapai dan
untuk mencegah kontraktur sendi yang rekuren. Penanganan kontraktur dapat dliakukan
secara konservatif dan operatif.
Seperti yang telah dijelaskan pada klasifikasi kontraktur, terutama kontraktur derajat
III dan IV memerlukan tindakan operasi sedangkan untuk derajat I dan II tidak memerlukan
tindakan operasi. (Adu, 2011). Untuk menentukan terapi dari parut kontraktur maka
klasifikasi tempat terjadinya kontraktur harus dinilai. Bentuk dan kedalaman luka sebelum
atau dalam operasi. Penilaian setelah operasi juga penting untuk mengevaluasi metode
penatalaksanaan (Ogawa & Pribaz, 2010).
Prosedur operasi tidak boleh dilakukan selama fase aktif penyembuhan dan
pembentukan jaringan parut. Selama luka tersebut immature dan banyak baskularisasinya
tidak dilakukan operasi. Biasanya dibutuhkan waktu satu tahun atau lebih. Luka harus
menjadi matur, supel, dan avaskuler sebelum dilakukan operasi (Goel & Shrivastava, 2010).
1. Pembebasan kontraktur
Pembebasan kontraktur yang tuntas harus dilakukan dengan mencegah kerusakan
berbagai struktur penting seperti arteri, saraf, tendon, dan lain-lain. Insisi dimulai di pada
lintasan ketegangan yang maksimal yaitu daerah yang paling kencang. Titik ini biasanya
berlawanan dengan garis persendian. Insisi diperdalam sampai jaringan yang tidak ada
parutnya.
2. Penutupan kulit
Penutupan dengan menggunakan skin grafts atau skin flap. Umumnya area
dibuangnya setelah dibuangnya jaringan kontraktur akan ditutup dengan menggunakan
skin grafts. Penutupan menggunakan flap digunakan pada situasi yang khusus. Lapisan
grafts diusahakan dibuat luas dengan menggunakan tautan. Teknik yang dapat digunakan
adalah Full Thickness Skin Graft (FTSG) merupakan skin graft yang menyertakan
seluruh bagian dari dermis. Karakteristik kulit normal dapt terjada setelah proses graft
selesai karena komponen dermis dipertahankan selama proses graft. Teknik lain yang
dapat digunakan adalah Split Thickness Skin Graft (STSG).
Skin flap digunakan jika pembebasan kontraktur kemungkinan membuka
persendian terutama tangan dan kaki. Teknik yang dapat digunakan adalah Z plasty. Z
plasty adalah tindakan operasi yang bertujuan memperpanjang garis luka sehingga dapat
mencegah kontraktur terutama pada persendian. Tindakan ini dilakukan dengan cara
transposisi flap sehingga didapatkan garis luka yang lebih panjang. Teknik lain yang
dapat digunakan adalah
sebagainya.
3. Perawatan postoperatif
dan lain
Pemeliharaan dan posisi yang terlepas diharuskan sampai kurang lebih 3 minggu atau
sampai garis tepi flap sembuh. Perawatan postoperatif menggunakan bidai statis atau
dinamis dan juga terapi latihan fisik diperlukan untuk menjaga ruang lingkup gerak
persendian, sehingga tendo dapat meluncur lagi dan iritasi hilang.
H. PROGNOSIS
Prognosis kontraktur tergantung dari penyebabnya. Secara umum, semakin awal
kontraktur ditangani, semakin baik prognosisnya. Restorasi integritas anatomis dan gerakan
sendi merupakan hal yang adapat dilakukan pada sebagian besar kontraktur. Prognosis kemajuan
tergantung pada kecepatan intervensi dini saat munculnya gejala awal dari ruang gerak sendi
yang terbatas, sementara penegakan etiologi sangat berkaitan dengan metode penatalaksaan
kontraktur.
DAFTAR PUSTAKA
Adu EJK. (2011). Management of contractures: a five-year experience at komfo anokye
teaching hospital in kumasi. Ghana Medical Journal 45(2):66-72.
Bergquist, Sharon (2010). Dupuytren's Contractures: Causes and Risk Factors.
Converse JM. (1977). Reconstructive plastic surgery. Second ed. WB Saunders, p: 15961635.
Dias J, Bainbridge C, Leclerq C, Gerber RA, Guerin D, Cappelleri JC, Szczypa PP, Dahlin
LB. (2013). Surgical management of Dupuytrens contracture in Europe: regional
analysis if surgeon survey and patient chart review. International Journal of Clinical
Practice, March 2013, 67, 3, 271-281.
Farmer S.E, James M (2001). Contractures in orthopedic and neurological conditions : a
review of causes and treatment.. 23(13),549-558
Fisher SV. Rehabililation management of burns. In : Medical rehabilitation. Baltimore;
Williams and Wilkins 1984; 306-307.
Gulgonen A, Ozer K, (2007). The correction of postburn contractures of the second
through fourth web spaces. J Hand surg; 32A: 556-564.
Goel A & Shrivastava P. (2010). Post-burn scars and scar contractures. Indian Journal of
Plastic Surgery 43(3):63-71.
Hang, Yi-Siong (2008). Abduction Contracture of the Shoulder: A Report of Two Patients.
Ogawa R & Pribaz JJ. (2010). Diagnosis, assessment, and classification of scar
contractures. Color Atlas of Burn Reconstructive Surgery. Springer Heidelberg
Dordrecht London NewYork.
Pandya AN. (2001). Burn injury. Repair & Recontruction 2(2):1-16.
Perdanakusuma, DS. (2009). Surgical management of contracture in head and neck.
Annual Meeting of Indonesian Symposium on Pediatric Anesthesia & Critical care,
JW Marriot Hotel Surabaya.
Powell M, Kershaw R. Principles of treatment of orthopaedic patients. In Orthopaedic
nursing and rehabilitation. 9th ed. Churcill Livingstone : English Language Book
Society. 1986; 34-42.
Procter F. (2010). Rehabilitation of the burn patient. Indian Journal of Plastic Surgery
43(Suppl):S101-S113.
Schneider JC, Holavanahalli R, Helm, P, Goldstein R, & Kowalske K. (2006). Contractures
in burn injury: defining the problem. Journal of Burn Care Research 27(4):508514.
Schwarz RJ. (2007). Management of postburn contractures of the upper extremity.
Journal of Burn Care Research 28:212-219.
Wong VW & Gurtner GC. (2010). Strategies for skin regeneration in burn patients. Color
Atlas of Burn Reconstructive Surgery. Springer Heidelberg Dordrecht London
NewYork.