Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kontraktur
Kontraktur adalah pemendekan jarak 2 titik anatomis tubuh sehingga terjadi
keterbatasan rentang gerak (range of motion). Kontraktur adalah kontraksi yang menetap
dari kulit dan atau jaringan dibawahnya yang menyebabkan deformitas dan keterbatasan
gerak. Kelainan ini disebabkan karena tarikan parut abnormal pasca penyembuhan luka,
kelainan bawaan maupun proses degeneratif. Kontraktur yang banyak dijumpai adalah
akibat luka bakar (Perdanakusuma, 2009).
Kontraktur dapat terjadi pada setiap sendi pada tubuh. Gangguan fungsi persendian
ini mungkin sebagai hasil dari immobolisasi yang disebabkan trauma atau penyakit, cedera
saraf seperti kerusakan pada medulla spinalis dan stroke, atau penyakit otot, tendon ataupun
ligamentum. Keadaan ini tentunya akan sangat merugikan dikemudian hari bagi penderita
kontraktur sendi karena adanya keterbatasan gerakan yang akan mengakibatkan
ketidakmampuan fisik dalam melakukan aktivitas maupun rasa tidak nyaman karena posisi
statis yang terus menerus dirasakan. Dengan kemajuan ilmu kedokteraan sekarang,
penyebab berkurangnya ruang gerak akibat kontraktur dapat dikurangi secara efektif.
Kontraksi merupakan suatu proses yang normal pada proses penyembuhan luka,
sedangkan kontraktur merupakan suatu keadaan patologis tingkat akhir dari suatu kontraksi.
Umumnya kontraktur terjadi apabila pembentukan sikatrik berlebihan dari proses
penyembuhan luka. Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya mobilisasi
sendi akibat suatu keadaan antara lain imbalance kekuatan otot, penyakit neuromuskular,
penyakit degenerasi, luka bakar, luka trauma yang luas, inflamasi, penyakit kongenital,
ankilosis dan nyeri. Banyaknya kasus penderita yang mengalami kontraktur dikarenakan
kurangnya disiplin penderita sendiri untuk sedini mungkin melakukan mobilisasi dan
kurangnya pengetahuan tenaga medis untuk memberikan terapi pengegahan, seperti
perawatan luka, pencegahan infeksi, proper positioning dan mencegah immobilisasi yang
lama. Efek kontraktur menyebabkan terjadinya gangguan fungsional, gangguan mobilisasi
dan gangguan aktifitas kehidupan sehari-hari.

B. Klasifikasi
Klasifikasi kontraktur berdasarkan derajat keparahan (Adu, 2011)
1) I: gejala berupa keketatan namun tanpa penurunan gerakan ruang lingkup gerak
maupun fungsi.
2) II: sedikit penurunan gerakan ruang lingkup gerak atau sedikit penurunan fungsi
namun

tanpa

mengganggu

aktivitas

sehari-hari

secara

signifikan,

tanpa

penyimpangan arsitektur normal daerah yang terkena.


3) III: terdapat penurunan fungsi, dengan perubahan awal arsitektur normal pada
daerah yang terkena..
4) IV: kehilangan fungsi dari daerah yang terkena.
Berdasarkan jaringan yang menyebabkan ketegangan, kontraktur dibagi menjadi :
1. Kontraktur Dermatogen
Kontraktur yang disebabkan karena proses terjadinya di kulit, hal tersebut dapat
terjadi karena kehilangan jaringan kulit yang luas misalnya pada luka bakar yang
dalam dan luas, loss of skin/tissue dalam kecelakaan dan infeksi.
2. Kontraktur Tendogen
Kontraktur yang tejadi karena pemendekan otot dan tendon-tendon. Dapat terjadi oleh
keadaan iskemia yang lama, terjadi jaringan ikat dan atropi, misalnya pada penyakit
neuromuskular, luka bakar yang luas, trauma, penyakit degenerasi dan inflamasi.
3. Kontraktur Arthrogen
Kontraktur yang terjadi karena proses didalam sendi-sendi, proses ini bahkan dapat
sampai terjadi ankylosis. Kontraktur tersebut sebagai akibat immobilisasi yang lama
dan terus menerus, sehingga terjadi gangguan pemendekan kapsul dan ligamen sendi,
misalnya pada bursitis, tendinitis, penyakit kongenital dan nyeri.
C. Penyebab
Kontraktur diakibatkan karena kombinasi berbagai faktor meliputi: posisi anggota
tubuh, durasi imobilisasi, otot, jaringan lunak, dan patologis tulang. Individu dengan luka
bakar sering diimobilisasi, baik secara global maupun fokal karena nyerinya, pembidaian,
dan posisinya. Luka bakar dapat meliputi jaringan lunak, otot, dan tulang. Semua faktor ini
berkontribusi terhadap kejadian kontraktur pada luka bakar (Schneider et al, 2006). Berbagai
hal yang dapat menyebabkan kontraktur adalah sebagai berikut (Adu, 2011):
1. Trauma suhu

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Trauma zat kimia


Trauma elektrik
Post-trauma (Volkmanns)
Infeksi ulkus buruli
Idiopatik (Dupuytrens)
Kongenital (camptodactyly)
Penyakit sendi
Defek Neurologis

D. Penegakan Diagnosis Kontraktur


Diagnosis kontraktur dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
1. Pemeriksaan Fisik
a. Goniometer: Keterbatasan ruang sendi dapat diukur dengan goniometer. Namun
secara klinis, kontraktur sendi dapat berupa trauma yang ditandai dengan kerusakan
otot, kapsul, ligamen, tendong, kulit dan syaraf di sekitar sendi sehingga harus
dilakukan pemerikasaan yang sangat teliti pada setiap komponen tersebut.
b. Allens test: Sebuah tes yang dirancang untuk menentukan patensi dari anastomosis
pembuluh darah di tangan. Pertama-tama pemeriksa mempalpasi dan mengoklusi
(menekan) arteri radialis dan ulnaris. Pasien kemudian diminta untuk membuka dan
menutup jari tiga sampai lima kali dengan cepat sampai kulit telapak tangan
sembab. Tekanan kemudian dilepaskan salah satu bisa arteri radialis atau ulnaris,
kecepatan kembalinya warna normal tangan dicatat. Pengujian diulangi dengan
melepas arteri yang tidak dilepas pada pengujian pertama. Hasil tes positif
menunjukkan bahwa tidak ada atau berkurangnya hubungan antara arcus ulnaris
superficialis dan arcus radialis profunda.

c. Bunnel-Littler test: Sebuah tes yang dirancang untuk mengidentifikasi kontraktur


otot intrinsik atau kontraktur sendi pada sendi PIP (Proximal Inter Phalang).
Pemeriksa memflexikan PIP hingga maksimal sambil sebelumnya sedikit
mengekstensikan

sendi metacarpophalang (MCP).

Hasil

tes

positif

untuk

kontraktur kapsul sendi jika sendi PIP tidak dapat difleksikan. Tes ini positif untuk
kontraktur otot intrinsik jika MCP sedikit fleksi dan PIP dapat diflexikan
sepenuhnya.

d. Finkelstein test: Sebuah tes yang dirancang untuk menentukan adanya tenosinovitis
tendo abductor pollicis longus dan extensor pollicis brevis. Tes ini biasanya
digunakan untuk menentukan adanya penyakit de Quervains. Pasien membuat
kepalan dengan ibu jari ditekuk di dalam keempat jari lainnya. Pasien kemudian

mendeviasikan (tulang) metacarpal pertama ke arah ulnar dan memanjangkan sendi


proksimal ibu jari (yakni dengan menekuk kepalan tangan kearah ulnar) . Jika
pasien mengalami rasa sakit, maka dikatakan sebagai hasil tes positif.

e. Froments sign: Sebuah tes yang dirancang untuk menentukan adanya kelemahan
otot adduktor policis karena kelumpuhan nervus ulnaris. Pasien diminta untuk
memegang selembar kertas memakai ujung ibu jari dan sisi radial jari telunjuk.
Hasil uji positif jika saat penguji menarik kertas dari pegangan pasien maka phalang
terminal ibu jari pasien akan terfleksikan atau jika sendi MCP di ibu jari menjadi
sangat memanjang (Jeannes sign).

f. Intrinsic-plus test: Sebuah tes yang dirancang untuk mengidentifikasi pemendekan


otot-otot intrinsik tangan. Tes ini menjadi spesifik pada tangan pasien dengan
rheumatoid arthritis, terutama pada tahap awal sebelum ada kerusakan atau cacat
pada tangan. Pada tes ini, sendi MCP jari yang sedang diuji di hiperekstensi-kan.
Maka sendi jari di tengah dan distal akan menjadi sedikit fleksi akibat tarikan pasif
jaringan. Pemeriksa kemudian mencoba untuk memflexikan sendi PIP jari tersebut.

Jika terdapat hambatan dalam memfleksikan jari tersebut maka dianggap sebagai
tanda positif.

g. Tight retinacular ligament test: Sebuah tes yang dirancang untuk menentukan
adanya pemendekan ligamen retinacular atau adanya ikatan pada kapsul sendi
interphalangeal distal (DIP). Pemeriksa memegang sendi PIP pasien dalam posisi
ekstensi penuh sembari memfleksikan sendi DIP. Jika sendi DIP tidak dapat
difleksikan, maka tes dianggap positif (baik disebabkan karena kontraktur
ligamencollateral atau kontraktur kapsul sendi). Untuk membedakannya, sendi PIP
difleksikan dan jika sendi DIP dapat difleksikan dengan mudah maka kapsul sendi
dianggap normal.

2. Pemeriksaan penunjang

a. Rontgen
Sinar X dapat bermanfaat untuk mendiagnosis kontraktur karena penyempitan ruang
sendi yang terlihat mengindikasikan sendi yang rapat dan kontraksi, dilakukan juga
pemeriksaaan fisik yang melibatkan tes fisik dan manual untuk menguji gerakan
sendi.
b. USG
USG merupakan salah satu pemeriksaan penunjang untuk kontraktur, terutama
kontraktur Dupuytren. USG menghasilkan gambaran posisi antara tulang, arteri, dan
nodul. Selain itu, dari USG juga didapatkan perbedaan echo struktur nodul dan
jaringan sekitar. Early nodule pada kontraktur Dupuytren terlihat lebih hpoechoic
dibanding dengan tendon. Sedangkan nodul yang telah lama terlihat isoechoic atau
hiperechoic.
Penegakan diagnosis kontraktur akibat luka bakar dapat menggunakan bagan sebagai
berikut: (Ogawa & Pribaz, 2010)

Bedakan antara kontraktur jaringan lunak dan ankilosis persendian

Bedakan antara kontraktur jaringan ikat dan kontraktur miogenik atau neurogenik

Diagnosis banding kontraktur dari struktur anatomi:


Kontraktur kutan, subkutan, atau fasial
Kontraktur tendon
Kontraktur ligament
Kontraktur otot

Nilai dan klasifikasi parut kontraktur untuk memutuskan metode terapi


E. Patofisiologi
Patofisiologi yang jelas terbentuknya parut hipertrofi belum diketahui namun banyak

faktor yang berkontribusi terhadap proses fibroproliferatif kulit tersebut. Paradigma yang
sering
digunakandan
adalah
benihdari
dan sendi
tanah.atau
Komponen
selular
fibroblast,
keratinosit,
Evaluasi secara
fungsional
estetika
jaringan
padaseperti
sebelum
dan sesudah
terapi
sel induk, dan sel inflamasi merupakan benih sedangkan komponen nonseluler seperti

matriks ekstraseluler, kekuatan mekanik, tekanan oksigen, dan cytokine milieu adalah tanah.
(Wong & Gurtner, 2010).
Mekanisme dasar pembentukan kontraktur didapat dari berbagai macam etiologi yaitu
congenital, didapat, atau idiopatik. Proses ini disebabkan oleh aktifnya miofibroblas (sebuah
sel dengan fibroblas dan dengan karakteristik seperti otot polos yang terdistribusinya
granulasi di seluruh jaringan yang ada pada luka). Kontraksi dari miofibroblas menyebabkan
luka menyusut. Hal ini juga diikuti dengan deposisi kolagen dan saling berhubungan untuk
mempertahankan

kontraksi.

Pada

embryogenesis,

kegagalan

diferensiasi

jari-jari

menyebabkan terbentuknya jaringan parut yang menyebakan fleksi proksimal sendi


interfalang yang mengakibatkan camptodactyly (Adu, 2011).
Kontraksi adalah proses aktif biologis untuk menurunkan dimensi area anatomi dan
jaringan yang dapat menyebabkan perlambatan kesembuhan dari luka terbuka. Kontraktur
adalah produk akhir dari proses kontraksi. Kontraktur mengganggu secara fungsional dan
estetik (Pandya, 2001)
Otot dan jaringan ikat berpengaruh terhadap terjadinya kontraktur. Hilangnya sarcomer di
akhir myofibril dan memendek serta hilangnya elasitas jaringan ikat menyebabkan
kontraktur. Apabila jaringan ikat dan otot dipertahankan dalam posisi memendek dalam
jangka waktu yang lama, serabut-serabut otot dan jaringan ikat akan menyesuaikan
memendek dan menyebabkan kontraktur sendi. Otot yang dipertahan memendek dalam 5-7
hari akan mengakibatkan pemendekan perut otot yang menyebabkan kontraksi jaringan
kolagen dan pengurangan jaringan sarkomer otot. Bila posisi ini berlanjut sampai 3 minggu
atau lebih, jaringan ikat sekitar sendi dan otot akan menebal dan menyebabkan kontraktur.
Pada kontraktur sendi, imobilisasi, kelemahan otot dan kekakuan otot merupakan faktor
utama dalam terjadinya kontraktur.
F. Prevensi Kontraktur
Kontraktur dapat dicegah dari penyebab awal mulanya. Kontraktur banyak
disebabkan akibat luka bakar. Pencegahan luka bakar dibagi menjadi pencegahan primer,
sekunder dan tersier. Pencegahan primer bertujuan untuk menurunkan insidensi luka bakar
melalui cara memasak yang aman, pemadam kebakaran, dan edukasi tentang zat yang
menyebabkan trauma panas di sekolah atau komunitas. Pencegahan sekunder bertujuan untuk
menurunkan beratnya luka bakar melalui edukasi terhadap pertolongan pertama. Pencegahan

tersier bertujuan untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas terhadap luka bakar (Schwarz,
2007).
Terdapat dua kunci penting dalam pencegahan kontraktur. Hal pertama adalah area
yang terbakar dibidai pada posisi anatomis dan berlatih maksimal lingkup gerak sendi tiap
persendian. Perkembangan bidai selama lima belas tahun terakhir berkontribusi terhadap
penurunan kejadian kontraktur dan hal ini semakin dikembangkan (Schwarz, 2007). Secara
umum terdapat berbagai cara pencegahan kontraktur, yaitu (Procter, 2010):
1. Posisi yang mencegah kontraktur
Posisi yang melindungi dari kontraktur harus dimulai dari hari pertama sampai
beberapa bulan setelah trauma. Posisi ini diaplikasikan terhadap semua pasien baik yang
mendapat terapi cangkok kulit maupun yang tidak. Posisi ini penting karena dapat
mempengaruhi panjang jaringan dengan menurunkan ruang lingkup gerak sebagai akibat
dari parut jaringan. Pasien diistirahatkan dengan posisi yang nyaman, posisi ini biasanya
adalah posisi fleksi dan juga merupakan posisi kontraktur. Tanpa dorongan dan bantuan
dari orang lain, pasien akan meneruskan posisi yang menyebabkan kontraktur. Sekali
kontraktur mulai terbentuk dapat terjadi kesulitan untuk bergerak sempurna seperti
sediakala. Penyesuaian awal memiliki esesnsi untuk memastikan kemungkinan terbaik
hasil terapi, selain itu pula untuk meringankan nyeri.
Pasien harus selalu melakukan kebiasaan posisi pada stadium awal penyembuhan.
Pasien perlu dorongan untuk mempertahankan posisi yang mencegah kontraktur (kecuali
ketika program latihan dan aktivitas fungsional lain), dukungan keluarga sangat penting.
Ketika luka bakar terjadi pada bagian fleksor tubuh, risiko kontraktur akan
semakin meningkat. Posisi yang mencegah terjadinya kontraktur berdasarkan luka bakar
adalah sebagai berikut:
a. Leher depan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi leher, dagu ditarik ke arah
dada, kontur leher menghilang sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur
adalah ekstensi leher, tidak ada bantal di belakang kepala, putar balik leher. Kepala
dimiringkan bila posisi duduk.

Gambar 2.2. Kontraktur pada Leher Depan

Gambar 2.3. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur


b. Leher belakang
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah ekstensi leher dan pererakan leher
yang lain sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur adalah duduk
dengan posisi leher fleksi, berbaring dengan menggunakan bantal di belakang kepala.

Gambar 2.4. Kontraktur pada Leher Belakang

Gambar 2.5. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur


c. Aksila anterior, aksila posterior, maupun lipatan aksila
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah terbatasnya abduksi dan juga
protraksi ketika luka bakar juga ada di dada sedangkan posisi yang mencegah
terjadinya fraktur adalah berbaring dan duduk lengan abduksi 90 0 ditopang dengan
menggunakan bantal atau alat lain diantara dada dan lengan.

Gambar 2.6. Kontraktur pada Aksila

Gambar 2.7. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur


d. Siku depan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi siku sedangkan posisi yang
mencegah terjadinya fraktur adalah ekstensi siku.

Gambar 2.8. Kontraktur pada Siku

Gambar 2.9. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur

e. Punggung tangan
Posisi
yang
dapat

menyebabkan

kontraktur

adalah

hiperekstensi

metacarpalphalangeal (MCP), fleksi interphalangeal (IP), adduksi ibu jari, dan fleksi
pergelangan tangan sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur adalah
pada pergelangan tangan diekstensi 30-40 derajat, fleksi MCP 60-70 derajat, ekstensi
sendi IP, dan abduksi ibu jari.

Gambar 2.10. Kontraktur pada Punggung Tangan

Gambar 2.11. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur pada Punggung


Tangan
f. Telapak tangan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah adduksi dan fleksi jari-jari tangan,
telapak tangan ditarik ke dalam sedangkan posisi yang mencegah terjadinya
kontraktur adalah ekstensi pergelangan tangan, fleksi minimal MCP, ekstensi dan
abduksi jari-jari tangan.

Gambar 2.12. Kontraktur pada Telapak Tangan

Gambar 2.13. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur pada Telapak


Tangan
g. Groin
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi dan adduksi pangkal paha
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur adalah berbaring tengkurap
dengan ekstensi tungkai, batasi duduk dan berbaring posisi menyamping. Jika dengan
posisi supine, berbaring dengan posisi ekstensi tungkai, tanpa bantal di bawah lutut.

Gambar 2.14. Posisi yang Menyebabkan Kontraktur

Gambar 2.15. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur


h. Belakang lutut
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi lutut sedangkan posisi yang
mencegah terjadinya kontraktur adalah ekstensi tungkai pada saat berbaring dan
duduk.

Gambar 2.16. Kontraktur pada Belakang Lutut

Gambar 2.17. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur


i. Kaki
Kaki adalah struktur komplek yang dapat ditarik dengan arah yang berbeda-beda oleh
jaringan yang telah menyembuh. Hal ini dapat mengakibatkan mobilitas yang tidak
normal. Posisi yang mencegah terjadinya kontraktur adalah pergelangan kaki
diposisikan 90 derajat terhadap telapak kaki dengan menggunakan bantal untuk
mempertahankan posisi. Jika pasien dalam keadaan duduk maka posisi kakinya datar
di lantai (tanpa edem).

Gambar 2.18. Kontraktur pada Kaki

Gambar 2.19. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur


j. Wajah
Kontraktur pada wajah dapat meliputi berbagai hal termasuk ketiakmampuan untuk
membuka maupun menutup mulut dengan sempurna, ketidakmampuan menutup mata
dengan sempurna, dan lain sebagainya.posisi yang mencegah terjadinya kontraktur
adalah secara teratur merubah ekspresi wajah dan peregangan seperlunya. Tabung
empuk dapat dimasukkan ke dalam mulut untuk melawan kontraktur mulut.

Gambar 2.20. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur

2. Bidai
Pembidaian sangat efektif untuk membantu mencegah kontraktur dan merupakan
hal yang perlu dilakukan sebagai program rehabilitasi komprehensif. Pembidaian

membantu mempertahankan posisi yang mencegah kontraktur terutama terhadap pasien


yang mengalami nyeri hebat, kesulitan penyesuaian atau dengan area luka bakar yang
dengan menggunakan posisi pencegahan kontraktur saja tidak cukup.
Pembidaian dilakukan dengan posisi yang diregangkan sehingga memberikan
suatu latihan peregangan awal yang lebih mudah. Parut tidak hanya berkontraksi namun
juga mengambil rute terdekat, parut sering menimbulkan selaput atau anyaman diantara
jari-jari, leher, lutut, aksilda, dan lain-lain. Bidai membantu merenovasi jaringan
parutkarena membentuk dan mempertahankan kontur anatomis. Bidai adalah satusatunya modalitas terapeutik yang tersedia dan berlaku yang dapat mengatur tekanan
pada jaringan lunak sehingga dapat menimbulkan remodeling jaringan.
Bidai dapat dibuat dari berbagai macam bahan. Bahan yang ideal adalah yang
memiliki temperature rendah dan ringan, mudah dibentuk, dan disesuaikan kembali
kemudian juga sesuai dengan kontur.

Gambar 2.21. Contoh Pembidaian


3. Peregangan dan mobilisasi awal
Sendi yang terkena luka bakar harus digerakkan dan diregangkan beberapa kali
setiap harinya. Pasien membutuhkan pendamping baik dari tim medis maupun
keluarganya untuk mencapai pergerakan yang penuh terutama untuk anak-anak yang
memerluka perhatian yang lebih dari orang tua. Pasien perlu mengembangkan kebiasaan
tersebut dari hari ke hari.
4. Melakukan aktivitas sehari-hari
Pasien luka bakar sering merasa kehilangan rasa dan kemampuan untuk
beraktivitas secara normal. Aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi sangat penting
untuk melatih pasien dapat hidup mandiri.
5. Pijat dan pemberian moisturiser

Pijatan pada parut sangat dianjurkan sebagai bagian dari penatalaksanaan luka parut
meskipun mekanisme efeknya belum begitu diketahui. Hal yang dapat dilakukan adalah:
a. Pemberian moisturiser luka sering kehilangan kelembaban tergantung dari dalamnya
luka dan sejauh kerusakan struktur kulit. Luka tersebut dapat menjadi sangat kering
dan menimbulkan rasa tidak nyaman. Hal ini dapat menimbulkan retak dan pecahnya
parut. Pemijatan dengan moisturizer atau minyak tanpa parfum pada bagian teratas
parut dapat melembutkan sehingga pasien merasa lebih nyaman dan untuk
mengurangi gatal.
b. Jika parut menjadi tebal dan meninggi dapat menggunakan pijatan kuat dan dalam
menggunakan ibujari atau ujung jari untuk mengurangi kelebihan cairan pada tempat
tersebut.
c. Parut akibat luka bakar mengandung kolagen empat kali dibandingkan dengan luka
parut biasa. Pijatan yang dalam dengan pola sedikit memutar dapat meningkatkan
kesegarisan luka parut.
d. Penurunan sensoris dan perubahan sensasi dapat terjadi. Pijatan rutin dan sentuhan
pada parut dapat membantu desensitisasi dari luka yang sebelumnya hipersensitif
e. Faktor psikologis dari seseorang yang memiliki kesulitan dan merasa tidak enak
dipandang dapat dikurangi dengan menyentuh parut dan belajar bagaimana menerima
keadaannya.
Ketika luka bakar telah sembuh, pasien dan keluarganya harus membiasakan untuk
latihan peregangan, pemijatan, moisturizer, dan mandi di air yang hangat. Semua hal ini
dapat membantu mencegah kontraktur. Pasien harus didorong untuk menggunakan tangan
sebisa mungkin untuk aktivitas dan kebutuhan sehari-hari. Jika mungkin digunakan untuk
kembali ke pekerjaan mereka (Pandya, 2001).
G. Penatalaksanaan Kontraktur
Hal utama yang dipertimbangkan untuk terapi kontraktur adalah pengembalian
fungsi dengan cara menganjurkan penggunaan anggota badan untuk ambulasi dan aktifitas
lain. Menyingkirkan kebiasaan yang tidak baik dalam hal ambulasi, posisi dan penggunaan
program pemeliharaan kekuatan dan ketahanan, diperlukan agar pemeliharaan tercapai dan
untuk mencegah kontraktur sendi yang rekuren. Penanganan kontraktur dapat dliakukan
secara konservatif dan operatif.

Seperti yang telah dijelaskan pada klasifikasi kontraktur, terutama kontraktur derajat
III dan IV memerlukan tindakan operasi sedangkan untuk derajat I dan II tidak memerlukan
tindakan operasi. (Adu, 2011). Untuk menentukan terapi dari parut kontraktur maka
klasifikasi tempat terjadinya kontraktur harus dinilai. Bentuk dan kedalaman luka sebelum
atau dalam operasi. Penilaian setelah operasi juga penting untuk mengevaluasi metode
penatalaksanaan (Ogawa & Pribaz, 2010).
Prosedur operasi tidak boleh dilakukan selama fase aktif penyembuhan dan
pembentukan jaringan parut. Selama luka tersebut immature dan banyak baskularisasinya
tidak dilakukan operasi. Biasanya dibutuhkan waktu satu tahun atau lebih. Luka harus
menjadi matur, supel, dan avaskuler sebelum dilakukan operasi (Goel & Shrivastava, 2010).
1. Pembebasan kontraktur
Pembebasan kontraktur yang tuntas harus dilakukan dengan mencegah kerusakan
berbagai struktur penting seperti arteri, saraf, tendon, dan lain-lain. Insisi dimulai di pada
lintasan ketegangan yang maksimal yaitu daerah yang paling kencang. Titik ini biasanya
berlawanan dengan garis persendian. Insisi diperdalam sampai jaringan yang tidak ada
parutnya.
2. Penutupan kulit
Penutupan dengan menggunakan skin grafts atau skin flap. Umumnya area
dibuangnya setelah dibuangnya jaringan kontraktur akan ditutup dengan menggunakan
skin grafts. Penutupan menggunakan flap digunakan pada situasi yang khusus. Lapisan
grafts diusahakan dibuat luas dengan menggunakan tautan. Teknik yang dapat digunakan
adalah Full Thickness Skin Graft (FTSG) merupakan skin graft yang menyertakan
seluruh bagian dari dermis. Karakteristik kulit normal dapt terjada setelah proses graft
selesai karena komponen dermis dipertahankan selama proses graft. Teknik lain yang
dapat digunakan adalah Split Thickness Skin Graft (STSG).
Skin flap digunakan jika pembebasan kontraktur kemungkinan membuka
persendian terutama tangan dan kaki. Teknik yang dapat digunakan adalah Z plasty. Z
plasty adalah tindakan operasi yang bertujuan memperpanjang garis luka sehingga dapat
mencegah kontraktur terutama pada persendian. Tindakan ini dilakukan dengan cara
transposisi flap sehingga didapatkan garis luka yang lebih panjang. Teknik lain yang
dapat digunakan adalah
sebagainya.
3. Perawatan postoperatif

V-Y plasty, V-M plasty, split skin fraft (SSG)

dan lain

Pemeliharaan dan posisi yang terlepas diharuskan sampai kurang lebih 3 minggu atau
sampai garis tepi flap sembuh. Perawatan postoperatif menggunakan bidai statis atau
dinamis dan juga terapi latihan fisik diperlukan untuk menjaga ruang lingkup gerak
persendian, sehingga tendo dapat meluncur lagi dan iritasi hilang.

H. PROGNOSIS
Prognosis kontraktur tergantung dari penyebabnya. Secara umum, semakin awal
kontraktur ditangani, semakin baik prognosisnya. Restorasi integritas anatomis dan gerakan
sendi merupakan hal yang adapat dilakukan pada sebagian besar kontraktur. Prognosis kemajuan
tergantung pada kecepatan intervensi dini saat munculnya gejala awal dari ruang gerak sendi
yang terbatas, sementara penegakan etiologi sangat berkaitan dengan metode penatalaksaan
kontraktur.

DAFTAR PUSTAKA
Adu EJK. (2011). Management of contractures: a five-year experience at komfo anokye
teaching hospital in kumasi. Ghana Medical Journal 45(2):66-72.
Bergquist, Sharon (2010). Dupuytren's Contractures: Causes and Risk Factors.
Converse JM. (1977). Reconstructive plastic surgery. Second ed. WB Saunders, p: 15961635.
Dias J, Bainbridge C, Leclerq C, Gerber RA, Guerin D, Cappelleri JC, Szczypa PP, Dahlin
LB. (2013). Surgical management of Dupuytrens contracture in Europe: regional
analysis if surgeon survey and patient chart review. International Journal of Clinical
Practice, March 2013, 67, 3, 271-281.
Farmer S.E, James M (2001). Contractures in orthopedic and neurological conditions : a
review of causes and treatment.. 23(13),549-558
Fisher SV. Rehabililation management of burns. In : Medical rehabilitation. Baltimore;
Williams and Wilkins 1984; 306-307.
Gulgonen A, Ozer K, (2007). The correction of postburn contractures of the second
through fourth web spaces. J Hand surg; 32A: 556-564.

Goel A & Shrivastava P. (2010). Post-burn scars and scar contractures. Indian Journal of
Plastic Surgery 43(3):63-71.
Hang, Yi-Siong (2008). Abduction Contracture of the Shoulder: A Report of Two Patients.
Ogawa R & Pribaz JJ. (2010). Diagnosis, assessment, and classification of scar
contractures. Color Atlas of Burn Reconstructive Surgery. Springer Heidelberg
Dordrecht London NewYork.
Pandya AN. (2001). Burn injury. Repair & Recontruction 2(2):1-16.
Perdanakusuma, DS. (2009). Surgical management of contracture in head and neck.
Annual Meeting of Indonesian Symposium on Pediatric Anesthesia & Critical care,
JW Marriot Hotel Surabaya.
Powell M, Kershaw R. Principles of treatment of orthopaedic patients. In Orthopaedic
nursing and rehabilitation. 9th ed. Churcill Livingstone : English Language Book
Society. 1986; 34-42.
Procter F. (2010). Rehabilitation of the burn patient. Indian Journal of Plastic Surgery
43(Suppl):S101-S113.
Schneider JC, Holavanahalli R, Helm, P, Goldstein R, & Kowalske K. (2006). Contractures
in burn injury: defining the problem. Journal of Burn Care Research 27(4):508514.
Schwarz RJ. (2007). Management of postburn contractures of the upper extremity.
Journal of Burn Care Research 28:212-219.
Wong VW & Gurtner GC. (2010). Strategies for skin regeneration in burn patients. Color
Atlas of Burn Reconstructive Surgery. Springer Heidelberg Dordrecht London
NewYork.

Anda mungkin juga menyukai