Anda di halaman 1dari 7

MEMILIH UNTUK TIDAK MEMILIH: NETRAL DAN PEMBIARAN

Keutamaan dalam Mengambil Sikap dan Tindakan


Oleh: Zulfikar N. Nugraha, S.Hum.

"Neraka tergelap dicadangkan bagi mereka yang memilih netral ketika dunia sedang
mengalami krisis moral. (Dan Brown)
Inilah petikan kalimat pada bagian awal novel Inferno yang ditulis Dan Brown. Kalimat
ini (mungkin) merupakan sebuah teguran terhadap orang-orang yang mengambil sikap netral
ketika masyarakat mengalami krisis moral. Dua katakunci dari kutipannya yang paling penting
yakni, "netral" dan "krisis moral". Dua kata tersebut sangat erat kaitannya dengan manusia dan
kemanusiaan dalam mengambil sikap dan tindakannya. Adalah sangat umum jika seseorang
mengambil sikap netral (tidak menentukan pilihan/ tidak berpihak) dalam menghadapi masalah
dan tidak mau terlibat dalam konflik. Tapi, bagaimana jadinya ketika pilihan tersebut malah
memperburuk konflik yang ada? Padahal bisa saja dia memilih untuk mengusahakan memediasi
pihak yang sedang bertikai tersebut demi mendamaikan mereka.
Netral merupakan salah satu sikap/pendirian seseorang ketika dihadapkan pada suatu
masalah. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), netral memiliki beberapa pengertian
yang berbeda dalam setiap disiplin ilmu. Dalam hal sikap dan pendirian, dijelaskan dalam KBBI
bahwa netral adalah tidak berpihak (tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak), bebas, dan
tidak terikat. Sedangkan dalam kamus Oxford didapatkan bahwa neutral netral adalah not
supporting or helping either side in a conflict, or disagreement tidak mendukung atau
membantu pihak manapun yang terlibat pertikaian, perselisihan. Maka, didapakan kesimpulan
bahwa netral adalah mengambil sikap/pendirian untuk tidak membantu, mendukung, berpihak,
melawan, maupun ikut campur dalam sebuah urusan yang melibatkan pihak-pihak yang sedang
bertikai/berselisih.
Katakunci yang kedua adalah krisis moral. Menurut KBBI, krisis moral adalah
kemerosotan dalam bidang moral. Moral dalam bahasa Inggris berarti principle of right or wrong

prinsip tentang benar dan salah. Artinya, krisis moral adalah merosotnya prinsip mengenai
benar dan salah (baik dan buruk) yang terjadi dalam suatu tatanan masyarakat. Maka, terjadinya
krisis moral bisa terjadi sebagai akibat dari menurunnya kualitas kemanusiaan manusia dalam
masyarakat. Hal itu bisa terjadi karena ada beberapa faktor, baik dari dalam diri manusia sendiri
maupun dari luar diri manusia. Faktor dari dalam di antaranya:

menurunnya kualitas keimanan seseorang (jika beragama)


pudarnya rasa tanggung jawab sebagai manusia dan anggota masyarakat
berkurangnya rasa kepedulian terhadap sesama
kurangnya komunikasi dengan keluarga, teman, dan/atau masyarakat
kepentingan pribadi

Sedangkan faktor dari luar di antaranya:

pengaruh negatif dari teknologi (khususnya TI)


pengaruh lingkungan (teman dan masyarakat)
faktor ekonomi (kekaayaan)
kurangnya pendidikan moral (dari keluarga dan masyarakat)
berkurangnya jiwa gotong royong dalam masyarakat

Hal-hal di atas tentunya bukan sesuatu yang mutlak terjadinya krisis moral, karena anything is
possible segala sesuatu punya kemungkinan. Namun, umumnya faktor-faktor tersebutlah yang
paling lumrah bisa menyebabkan terjadinya krisis moral.
Akhir-akhir ini, di media massa sering diberitakan terjadinya konflik antara ormas
dengan ormas, ormas dengan aparat pemerintahan, public figure dengan masyarakat, dsb..
Konflik ini bahkan meluas bukan hanya melibatkan pihak yang bertikai, namun juga masyarakat
luas yang notabene sebagai pendukungnya. Apalagi jika dilihat di media sosial dan media massa
online, konflik tersebut seolah-olah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka. Dari mulai adu
komentar di medsos, lalu diteruskan dengan adu referensi media massa, hingga beredarnya isu
pemberitaan yang sifatnya fitnah (hoax). Ya, semua itu adalah bagian konflik yang terus menerus
terjadi di era digital ini.
Selain dari mereka yang terlibat pertikaian, ada juga mereka yang memilih untuk take no
sides atau netral. Orang-orang ini tentu memiliki alasan-alasan yang beragam untuk tidak
memilih pihak manapun. Di antaranya adalah:

Orang tersebut merasa tidak ada hubungannya dengan mereka yang bertikai.
Orang tersebut tidak peduli pada mereka yang bertikai.
Orang tersebut merasa tidak memiliki kepentingan dengan pihak yang bertikai.
Orang tersebut merasa tidak akan mendapat keuntungan jika ikut terlibat.
Orang tersebut tidak mau dipusingkan/mendapat masalah oleh mereka yang
bertikai.
Orang tersebut bisa saja memanfaatkan mereka yang bertikai demi sebuah
kepentingan dengan membiarkan mereka.

Itulah di antara alasan-alasan yang memungkinkan mereka untuk memilih untuk tidak berpihak
sama sekali kepada pelaku konflik.
Dalam ranah individu, seseorang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan. Asal
orang tersebut juga berani menerima konsekuensi dari pilihan yang ditentukannya. Termasuk
untuk tidak memilih apapun, tidak memihak siapapun, dan tidak terlibat dalam apapun. Namun
bagaimana jadinya dalam ranah sosial? Bolehkah seseorang memilih untuk tidak memilih, tidak
memihak, dan tidak terlibat? Jika semua pilihan memiliki konsekuensinya, apakah netralitas
dalam bersikap bisa menimbulkan konsekuensi yang buruk? Apa hubungannya sikap netral dan
krisis moral hingga neraka tergelap diperuntukkan bagi mereka yang netral dalam keadaan krisis
moral?
Jika kita meninjau ulang faktor atau alasan-alasan seseorang untuk bersikap netral
sebelumnya,

maka

semua

alasan-alasan

tersebut

merupakan

kondisi-kondisi

yang

memperlihatkan indikasi-indikasi kemerosotan moral seseorang dalam tatanan kehidupan


masyarakat. Mengapa? Karena hal-hal tersebut menunjukan kurangnya rasa simpati, empati, dan
kepedulian terhadap mereka yang bertikai. Ya, hanya memikirkan dirinya sendiri dan tidak mau
membantu atau memediasi pihak-pihak yang bertikai agar bisa didapat solusi yang bisa
disepakati bersama. Akibatnya, konflik berkepanjangan, perpecahan hingga the worst case
terjadinya perang dan tragedi kemanusiaan (semoga saja tidak). Jika dilihat dari sudut pandang
ini, tentu bersikap netral adalah sesuatu yang tidak bijaksana apabila dilihat dari pandangan
kepentingan bersama agar bisa mencapai the greater good keuntungan semua pihak.
Tapi, bagaimana bila pihak yang bertikai tersebut adalah pihak yang dipandang tidak
benar. Bagaimana bila mereka yang bertikai itu adalah pihak yang menyebabkan baik secara

langsung dan tidak langsung menimbulkan gejolak dan krisis moral bahkan kerusakan yang saat
ini terjadi? Bolehkah kita untuk mengambil sikap netral terhadap mereka?
Dalam ranah politik dan pemerintahan, bersikap netral terhadap sebuah masalah adalah
sebuah hal yang lumrah. Hal ini bisa menyangkut kepentingan daerah maupun nasional di sebuah
negara. Biasanya sebuah negara akan bersikap netral apabila negara tersebut merasa tidak perlu
dan berkewajiban untuk ikut andil dalam pertikaian atau bahkan sekedar untuk mengusahakan
jalan damai bagi mereka. Ini bisa disebabkan bila negara tersebut beranggapan bahwa terlibat
dalam sebuah konflik akan membahayakan rakyat dan kepentingan nasionalnya.
Jika melihat bagaimana Amerika Serikat bisa terlibat Perang Dunia I yang melibatkan
negara-negara Eropa, maka hal itu dikarenakan tadinya AS menyatakan impartial in thought as
well as in action (netral dalam berpandangan dan beraksi). Dikarenakan netralnya AS saat itu
tanpa melakukan usaha untuk memediasi negara Eropa khususnya Jerman dan Inggris,
akibatnya, banyak warga AS yang masuki ke zona perang tewas. Salah satunya adalah
ditenggelamkannya kapal Lusitania yang mengangkut ratusan warga AS oleh Jerman. Hingga
akhirnya, Woodrow Wilson (presiden AS saat itu) dengan persetujuan Senat memilih ikut terlibat
dan bergabung dengan pasukan Sekutu (Allied Forces). Inilah contoh bagaimana netralitas
membawa akibat yang tidak menyenangkan bagi sebuah negara. Walaupun AS bersikap netral
terhadap Jerman maupun Inggris, tetap saja AS harus menerima konsekuensinya dengan
terbunuhnya warga AS oleh militer Jerman ketika di wilayah Inggris yang menjadi zona perang.
Walaupun netralitas bukan merupakan sesuatu yang salah, namun netralitas bisa saja
menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Dalam kehidupan bermasyarakat orang yang netral
mungkin akan dianggap orang yang tidak peduli, antisosial, atau orang yang malas. Netral
memang dibolehkan, dan tak ada yang melarangnya. Dalam skala individu, netralitas memang
bukan merupakan suatu permasalahan. Namun, jika dalam skala besar masyarakat (atau bahkan
negara), bersikap netral tentu akan menimbulkan hal yang tidak diinginkan. Ketika kita bersikap
netral baik dalam skala kecil maupun besar, kita telah melakukan pembiaran yang
mengakibatkan masalah yang berkepanjangan dan bahkan tanpa solusi. Jika kita melakukan
pembiaran terhadap mereka yang bertikai tanpa adanya sebuah tindakan, maka akibatnya adalah
konflik yang tak kunjung usai, perpecahan, tragedi, hingga kerusakan yang tidak diinginkan.

Sebagai warga negara Indonesia, tentunya kita tahu dengan istilah politik bebas dan
aktif. Negara Indonesia tidak menganut netralitas dalam pandangan maupun tindakannya dalam
berpolitik luar negeri. Akan tetapi, bebas dan aktif. Mochtar Kusumaatmaja merumuskan
bebas aktif sebagai berikut: bebas berarti Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan
yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam
Pancasila. Aktif berarti di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia tidak
bersifat pasif-reaktif atas kejadian-kejadian intenasionalnya melainkan bersifat aktif. Dan tentu
saja selain politik luar negeri bebas dan aktif, Indonesia memiliki ideologi Pancasila. Ideologi
Pancasila memuat nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Semua
aspek tersebut tentu tidak menganjurkan kita agar bersikap netral dan melakukan pembiaran
terhadap pertikaian.
Sebagai umat muslim, kita tentunya tahu bahwa sesama muslim adalah saudara seiman,
dan sesama manusia adalah saudara kemanusiaan. Ketika hidup di dunia, kita diwajibkan untuk
saling tolong-menolong kepada sesama makhluk Allah dalam hal kebaikan. Dalam Alquran
dinyatakan:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Alquran, 5:2)
Artinya, umat muslim dihadapkan dalam sebuah pertikaian, hendaknya tidak netral. Tetapi, ia
harus mengusahakan semaksimal mungkin agar bisa tercapai perdamaian dan kesepakatan yang
menguntungkan semua pihak. Ketika dihadapkan pada sebuah pertikaian, umat muslim
diwajibkan untuk mendamaikannya, bukan membiarkannya. Seperti yang dinyatakan dalam
Alquran:
Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu.
(Alquran 8:1)
Hubungan sesama manusia (sesama makhluk umumnya) harus tetap dijaga dalam
keadaan damai. Manusia bisa menentukan pilihan sesuai dengan keinginannya. Namun, dalam
kehidupan dengan alam dan masyarakat, berbijaksanalah! Jangan sampai menimbulkan konflik.
Utamakanlah upaya-upaya yang tidak menimbulkan perselisihan. Dan jika ada pihak-pihak yang
berselisih, upayakanlah bagi mereka untuk bisa berunding mencapai solusi agar tercapai

perdamaian di antara mereka. Tingkatkanlah kepedulian walaupun sedikit demi sedikit. Jangan
sampai melakukan pembiaran terhadap sesuatu yang mampu kita ubah menjadi lebih baik. Strive
for the greater good of humanity. Besar kecilnya upaya seseorang akan sangat berpengaruh bagi
yang lainnya.

Banjar, 29 Januari 2017

DAFTAR PUSTAKA

Avivi, Hasnan Adip. 2015. Tolong-menolong (Taawun) dalam Pandangan Alquran. dalam
http://hasnanadip.blogspot.co.id/2015/01/tolong-menolong-taawun-menurut.html.
(diakses pada tanggal 29 Januari 2017)
bin Alwi, Muhammad. 2015. Mendamaikan Orang yang Berselisih (Al Ishlah) dalam Alquran.
dalam http://www.khazanahalquran.com/mendamaikan-orang-yang-berselisih-al-ishlahdalam-al-quran.html. (diakses pada tanggal 29 Januari 2017 20:10 WIB)
Dunia Pendidikan. 2015. Pengertian Politik Luar Negeri Bebas Aktif menurut Para Ahli. dalam
http://www.duniapendidikan.net/2015/09/pengertian-politik-luar-negeri-bebasaktif.html. (diakses pada tanggal 29 Januari 2017 16:00 WIB)
Oxford

University

Press.

2017.

English

Oxford

Living

Dictionaries.

dalam

https://en.oxforddictionaries.com/. (diakses pada tanggal 29 Januari 2017 15:28 WIB)


Setiawan, Ebta. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring (Dalam Jaringan). dalam
http://kbbi.web.id/. (diakses pada tanggal 29 Januari 2017 15:25 WIB)

Anda mungkin juga menyukai