Anda di halaman 1dari 8

DAMPAK PEMBANGUNAN SARANA AKOMODASI WISATA

TERHADAP LINGKUNGAN DI BALI

Sri Lilianti Komariah (95716003)


Sistem Infrastruktur dan Transportasi Pariwisata
Program Studi Terapan Perencanaan Pariwisata, SAPPK ITB
srililianti@gmail.com

ABSTRAK
Untuk memajukan suatu kawasan wisata, dibutuhkan sarana dan pra sarana yang baik. Sarana
penunjang tersebut diantaranya berupa transportasi, sarana akomodasi serta aspek promosi.
Dalam pembangunannya, masyarakat yang tinggal di sekitar destinasi wisata juga akan
diuntungkan. Daerah mereka akan lebih diperhatikan dan diberikan aksesibilitas yang memadai.
Selain itu, sarana akomodasi yang lengkap juga akan menjadi daya tarik wisata tersendiri bagi
wisatawan yang ingin datang dengan tujuan bersantai/bersenang-senang. Akan tetapi pada
pembangunannya, selalu muncul dampak negatif yang ditimbulkan dan berpengaruh pada
lingkungan sekitar. Sebagai contoh, lahan yang dipakai untuk pembangunan infrastruktur
pariwisata menggunakan lahan milik warga sekitar, sedangkan keuntungan yang didapat dari
pembangunan tersebut tidak dialirkan ke warga melainkan menjadi hak milik swasta. Timbulnya
konflik antara kedua pihak tersebut memicu masalah baru yaitu berupa hilangnya identitas asli
dari kawasan atau daerah destinasi wisata tersebut. Banyak pihak yang melihat masalah ini
sebagai hal serius karena memikirkan identitas kebudayaan dari suatu daerah, yang lama
kelamaan kedepannya akan semakin pudar. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui
dampak pembangunan sarana akomodasi pendukung pariwisata secara massive di pulau Bali, baik
itu dampak positif maupun dampak negatif. Tujuan penulisan tersebut dapat dicapai dengan
menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu analisis narasi berdasarkan penilaian dari artikel
artikel terkait mengenai posisi dan peran infrastruktur pendukung dalam pariwisata, dampak
pembangunan infrastruktur pariwisata yang kemudian dibandingkan dengan implementasinya
pada contoh kasus di pulau Bali . Dari hasil analisa artikel artikel tersebut menunjukan bahwa
masih banyak dampak negatif yang timbul akibat pembangunan infrastruktur pariwisata secara
massive di Bali seperti alih fungsi lahan, degradasi, pencemaran lingkungan, penurunan hasil
panen pertanian di provinsi Bali, serta menghilangnya beberapa idensitas asli tanah Bali yang
mengandung nilai budaya dan unsur historis. Pada akhir makalah ini penulis memberikan saran
dan rujukan untuk mengurangi dampak negatif tersebut berupa proses mediasi yang tepat dan
mempertegas tujuan pengembangan pariwisata untuk kepentingangan masyarakat lokal, serta
penerapan konsep ekowisata yang ramah lingkungan. Sehingga kedepannya dalam pembangunan
akomodasi wisata tidak ada lagi pihak yang merasa dirugikan dan identitas asli dari kawasan
destinasi wisata tetap dipertahankan.
Kata kunci : Infrastruktur pariwisata, sarana akomodasi wisata, provinsi Bali

1. Pendahuluan
Untuk memajukan suatu kawasan destinasi wisata, maka diperlukan infrastruktur pendukung
pariwisata yang baik dan memadai. Infrastruktur yang dimaksud bisa berupa aksesibilitas,
akomodasi wisata, sumber daya manusia, jaringan network, dll. Selain menjadi fasilitas
pendukung, infrastruktur yang dibangun juga dapat menjadi daya tarik wisata untuk wisatawan
dari luar. Akses jalan yang bagus, serta transportasi yang mudah dicari, merupakan pertimbangan
tersendiri bagi wisatawan untuk memilih destinasi wisata. Sarana akomodasi wisata yang terdapat
di sekitar destinasi wisata juga merupakan faktor pendukung wisatawan dalam memilih tempat
wisata. Hotel ataupun villa yang nyaman serta bersih menjanjikan kepuasaan terhadap wisatawan
dan memberikan kemungkinan atau peluang wisatawan tersebut untuk kembali lagi.
Indonesia merupakan negara kepulauan, banyak daya tarik wisata bahari yang tersebar luas di
setiap pulaunya. Banyak wisatawan mancanegara yang tertarik dengan keindahan alam Indonesia
yang masih asri dan ekosistemnya masih alami. Kendala utama yang dihadapi industri wisata
bahari adalah semakin alami ekosistem yang mereka miliki (sebagai daya tarik wisata), semakin
susah aksesibilitas dan akomodasi yang dimiliki untuk menuju destinasi wisata tersebut. Upaya
pemerintah Indonesia dalam membangun infrastruktur pendukung pariwisata tersebut dinilai
masih kurang maksimal, hal ini dijadikan beberapa pihak asing atau private sector sebagai
kesempatan mereka untuk menanamkan modal investasi di Indonesia. Pembangunan akses jalan,
hotel serta fasilitas pendukung lainnya banyak dipegang oleh pihak luar, sementara penduduk
lokal hanya ditempatkan sebagai staff atau pegawai biasa. Dari aspek ekonomi dan sosial,
bertambahnya lapangan pekerjaan baru bagi penduduk lokal merupakan dampak yang positif akan
tetapi, dari aspek budaya, identitas dan culture asli dari daerah setempat menjadi berkurang karena
pengaruh dari budaya luar.
Salah satu ikon Indonesia adalah pulau Bali yang memiliki luas kurang lebih 5.632 km2, dengan
penduduk hampir 4 juta orang. Dengan ukuran pulau yang relatif kecil dibanding pulau-pulau lain
di Indonesia, Bali memiliki keterbatasan dalam menampung wisatawan dari luar. Berbanding
terbalik dari fakta tersebut, keindahan alam pulau Bali justru mmpu menarik turis dari dalam
maupun luar negeri sebanyak kurang lebih 15 juta orang. Hal ini tentunya mengakibatkan semakin
banyak permintaan untuk pembangunan sarana akomodasi wisata di bali. Beberapa tahun terakhir,
pembangunan villa semakin meningkat terutama di daerah kuta. Jumlah villa yang ada sekitar 650
dengan total kamar 3.958 unit. Pengembangan villa terbanyak terdapat di kabupaten badung,
dengan persebaran jumlah vila dominan terdapat di Kecamatan Kuta Utara yang mengambil porsi
45,60%, Kecamatan Kuta 18,31%, Kuta Selatan 17,78%, Mengwi 17,61%, dan Abianemal
0,70%. Dari jumlah itu, sebagian besar berlokasi di pedesaan yakni 57,41% dan sisanya di pinggir
pantai. Berdasarkan data statistik diatas, pembangunan villa terbanyak berada di kecamatan Kuta
Utara. (Ismoyo Soemarlan Chairman Bali Villa Association)
2. Konsep
Infrastruktur pendukung pariwisata merupakan komponen dari produk wisata itu sendiri.
Infrastruktur pendukung pariwisata terbagi menjadi dua yaitu: techincal (transportasi,
komunikasi, gas, listrik, jalan, dll) dan social (akomodasi berupa hotel, villa, convention center,
galery, dan sebagainya) (Gaworecki, 2003). Menurut Aleksander Panasiuk (2007) infrasturktur
pariwisata adalah integrasi dari produk pariwisata dimana parameternya diukur dari kapasitas
dalam menampung wisatawan dan standar yang dipakai untuk kepuasan wisatawan. Ia juga
memberikan gambaran mengenai posisi infrastruktur pariwisata dimana kepentingan publik dan
komersil saling bekerja sama untuk mendapatkan sasaran yang telah ditetapkan, yaitu wisatawan.
Berikut adalah bagan posisi infrastruktur pariwisata sebagai produk pariwisata.

Gambar 1.1. The Position of Tourim Infrastructure in the structure of tourist product
(Sumber :Aleksander Panasiuk, 2007)

Dari diagram diatas dapat disimpulkan bahwa infrastruktur pariwisata merupakan suatu jembatan
yang dibangun berdasarkan kepentingan publik dan komersil, untuk menarik wisatawan agar mau
mnegunjungi destinasi wisata di tempat mereka. Disebutkan bahwa fokus pada masing-masing
kepentingan sebenarnya berbeda akan tetapi, umumnya akan terjadi sedikit overlap pada bebrapa
bidang karena faktor ekonomi. Salah satu contohnya sarana olahraga, budaya dan informasi di
komersilkan oleh private sector untuk menjaga kualitas dari sarana tersebut. Namun memang
pada kenyataannya, akomodasi dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
a. Akomodasi Komersil, yaitu akomodasi yang dibangun dan dioperasikan semata-mata untuk
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
b. Akomodasi Semi Komersil, yaitu akomodasi yang dibangun dan dioperasikan bukan sematamata untuk tujuan komersil, tetapi juga untuk tujuan sosial (masyarakat yang kurang mampu)
c. Akomodasi non Komersil, yaitu akomodasi yang dibangun dan dioperasikan semata-mata
untuk tujuan non komersil, yaitu tidak mencari keuntungan atau semata-mata untuk tujuan
sosial atau secara cuma-Cuma, namun khusus untuk golongan/kalangan tertentu dan juga
untuk tujuan tertentu.
Apapun jenis akomodasi yang diberikan di kawasan destinasi wisata, tetap memberikan dampak
yang besar terhadap pembangunan suatu daerah. Akomodasi yang disediakan haruslah memadai
dan nyaman bagi wisatawan.Semakin banyak wisatawan yang berkunjung, maka semakin banyak
pula pendapatan suatu daerah. Besar pendapatan daerah dapat dilihat dari jenis wisatawan (lokal
atau asing), lama mereka tinggal, alasan mereka datang, dan sebagainya. Berikut adalah bagan
mengenai infrastruktur pariwisata sebagai penentu pengembangan suatu daerah menurut
Aleksander Panasiuk (2007).

Gambar 1.2. Tourism Infrastructure as a determinant of regional development


(Sumber : Aleksander Panasiuk, 2007)

Berbeda dengan A.Panasiuk, Adriotis (2000) mengemukakan bahwa terdapat dampak negatif dari
pembangunan infrastruktur pariwisata dan berkonsekuensi pada hilangnya kontrol warga lokal
atas perekonomian dan digantikan oleh dominasi pemodal dari luar. Berikut adalah bagan yang
menunjukan bagaimana pengembangan dari industri melalui pembangunan infrastruktur
berdampak pada tergnggungnya lingkungan ekonomi, maupun kehidupan sosial warga.

Gambar 1.3. Dampak Pengembangan Industri Pariwisata


(Sumber :Andriotis, 2000)

Dalam pengembangan kepariwisataan, ada tiga elemen kunci yang harus diperhatikan menurut
Schouten (1992:35) yaitu Quality of the Experience (Customers), Quality of the Resources
(Culture and Natural Environment) dan Quality of Life (for local people). Ketiga elemen ini perlu
dipertimbangkan jika ingin mencapai pariwisata yang berkelanjutan. Dengan menganut pada
ketiga elemen tersebut diharapkan terciptanya keserasian dan keseimbangan antara masyarakat
lokal, wistawan dan sumber daya lingkungan/budaya.

3. Analisa
Bali merupakan salah satu pulau yang pembangunan infrastruktur pariwisata nya cukup
pesat, terutama fasilitas akomodasi untuk wisatawan. Daya tarik wisata yang dimiliki pulau
dewata ini cukup mengagumkan, fasilitas akomodasi yang dikembangkan di pulau Bali berkelas
internasional. Banyak nya destinasi wisata yang tersebar di Bali mengakibatkan penyebaran
berbagai jenis fasilitas akomodasi di Pulau Bali.

Nusa Dua merupakan wilayah pertama yang mengembangkan fasilitas hotel berstandar
internasional. Pada tahun 1981 sampai dengan 1991 sudah ada 8 hotel terbangun berstandar
internasional dan beberapa diantaranya dikelola oleh perusahaan investasi asal Perancis.
Di daerah Kuta, fasilitas akomodasi tumbuh secara alami sesuai dengan model hunian yang ada
di wilayah ini. Fasilitas penginapan di wilayah ini didominasi oleh jenis keluarga angkat (indekos)
dan dewan dibandingkan dengan hotel dengan standar. Dan daerah Ubud, dimana akomodasi
yang ditandai dengan rumah-rumah penduduk dengan suasana pedesaan (Rossi Evita, 2012).
Selain hotel, villa adalah pilihan alternatif sarana akomodasi lain di Bali. Villa lebih diminati dari
pada hotel karena suasana yang didapatkan lebih nyaman karena memberikan privasi. Villa villa
tersebut memiliki konsep standar seperti hotel berbintang lima. Dengan menjamurnya
pembangunan sarana akomodasi dan fasilitas pendukung lainnya di Bali, menimbulkan dampak
positif seperti meningkatnya perekonomian dan pendapatan asli daerah serta bertambah nya
jumlah lapangan kerja.

Gamar 1.4. Perkembangan pendapatan asli daerah di Bali


(sumber : http://www.dispenda.baliprov.go.id)

Selain dampak positif yang dirasakan, adapula dampak negatif yang ditimbulkan. Mata pencarian
sebagian besar penduduk Bali adalah petani dan banyak pembangunan sarana akomodasi di Bali
menggunakan lahan sawah mereka. Akibatnya, lahan produktif untuk pertanian berkurang dan
hasil produksi pertanian menuruh dari tahun ke tahun.

Gambar 1.5. Grafik rumah tangga usaha pertanian di Bali


(Sumber : http://st2013.bps.go.id/dev/st2013/index.php/site/tabel?tid=30&wid=5100000000)

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa hasil pertanian di provinsi Bali dari tahun 2003 ke tahun
2013 terus menurun. Sektor kehutanan merupakan sektor satu satunya yang meningkat di karena
kan permintaan atau demand dari industru perhotelan yang menjadi tanaman hijau sebagai daya
tarik wisata. Dengan suasana fasilitas akomodasi yang asri dan teduh, wisatan yang menginap
juka akan semakin banyak. Data statistik tahun 2009 di kabupaten Badung menunjukan bahwa
produksi pertanian sebesar 67,36 kwintal/ha dengan luas panen 18.790 ha dengan total produksi
126.575 ton. Hasil ini mengalami penurunan yang cukup banyak jika dibandingkan pada tahun
2008 dimana produksi pertanian sebesar 67,74 kwintal/ha dengan luas panen 19.012 ha dan total
produksi 128.779 ton.
Dalam kenyataannya, lahan sawah yang dikelola oleh penduduk Bali merupakan daya tarik
sendiri bagi wisatawan, terutama wisatawan mancanegara. Tidak sedikit hotel/villa/ restauran
yang menggunakan sawah sebagai view out. Namun dalam pelaksanaannya, banyak fasilitas
akomodasi yang menggunakan sawah yang dimiliki warga sebagai daya tarik tanpa konfirmasi
dan pemberian royalti. Akibatnya para petani marah karena menganggap hotel/villa menikmati
pemandangan gratis, merka menutup dan membatasi hamparan sawah dengan seng sehingga
wisatawan tidak bisa menikmati pemandangan dan merasa kepanasan karena pantulan sinar
matahari. Hal ini merupakan contoh dampak negatif dari sosial yang sebenarnya memiliki
berbagai macam sudut pandang.
Danpak negatif lainnya dari pembangunan fasilitas akomodasi secara massive di Bali adalah
hilangnya identitas tanah asli Bali yang mengandung nilai budaya dan unsur historis. Dalam
proses pembebasan lahan sebelum dibangun villa/hotel, investor industri pariwisata
menggunakan segala cara untuk mendapatkan lahan yang mereka inginkan. Banyaknya
pembangunanan sarana akomodasi di Bali terkadang tidak berjalan beriringan dengan pelestarian
budaya setempatnya. Hotel dan villa dibangun secara modern, meninggalkan identitas dari Pulau
Dewata. Langgam bangunan dan ukiran hanya digunakan sebagai hiasan, sebagai sesuatu yang
unik bagi wisatawan. Krisis identitas yang dialami oleh sebagian penduduk Bali merupakan
masalah yang serius. Tidak sedikit dari mereka yang merasa rugi atas pembangunan sarana
akomodasi di Bali yang memakai tanah leluhur mereka, untuk kepentingan pariwisata.
Bukan hanya mengambil lahan penduduk asli Bali dengan paksa tetapi juga dalam pembangunan
nya mengganggu acara-acara adat di Bali. Pada tahun 2007, PT Bali Unicorn membangun resort
tepi pantai di Pantai Loloan Yeh Poh di Dusun Tegal Gundul, Desa Pakraman Canggu. Daerah
pantai tersebut sering digunakan oleh penduduk setempat untuk ritual keagamaan setelah ritual
ngaben dan lainnya. Pada saat itu izin penataan Loloan ditanda tangaani oleh Bupati Badung dan
tanpa konfirmasi terlebih dahulu kepada warga setempat, beberapa truk datang membawa

material untuk penyenderan dan pengurukan bibir Pantai Loloan Yeh Poh. Meski sudah banyak
keluhan dan protes dari warga, proyek tersebut tetap jalan siang dan malam. Akhirnya warga Desa
Pakraman Canggu marah dan melawan dengan cara menghadang dan memblokir jalan truk-truk
yang membawa material (Bali Post, 12 April 2007).

4. Kesimpulan
Pengembangan atau globalisasi pariwisata, terutama dalam pembangunan sarana akomodasi nya
membawa banyak dampak positif baagi warga sekitar destinasi wisata, beberapa contohnya
adalah meningkatnya perekonomian warga sekitar dan penambahan lapangan kerja baru. Namun
dalam implementasi nya, dampak negatif juga timbul akibat pembangunan yang massive.
Mengekploitasi tanah rakyat dan menghilangkan nilai historis yang terdapat di dalamnya adalah
tindakan yang tidak benar. Komunitas setempat perlu berjuang untuk melestarikan identitasnya
di tengah pembangunan industri pariwisata yang terus-menerus. Identitas warga Bali
berhubungan dengan leluhur mereka dan merupakan sesuatu yang sakral sehingga tidak bisa
ditoleransi dalam pengaplikasinnya. Bagi manusia, memahami kebudayaan juga berarti
memahami pemahaman dirinya (I Ngurah Suryawan, 2011)
Proses mediasi yang tepat dan tujuan pariwisata untuk memberdayakan masyarakat setempat bisa
menjadi rujukan untuk mengatasi masalah sosial yang sedang terjadi. Karena pada dasarnya
pariwisata dikembangkan dengan harapan suatu daerah juga ikut berkembang dan sumber daya
manusia nya semakin berkualitas. Jika maksud dan tujujan semakin melenceng dari rencana awal,
maka industri pariwisata tersebut bisa dianggap gagal dalam mensejahterakan masyarakat
setempat. Masuknya investor-investor asing memang tidak dapat dihindari akan tetapi, sumber
daya manusia setempat juga bisa ditingkatkan sehingga menciptakan win-win solution. Pada
akhirnya keputusan yang paling mendekati untuk tidak merugikan semua pihak adalah keputusan
yang paling tepat. Pemerintah setempat juga diharapkan dapat memaksimalkan implementasi
kebijakan moratorium pembangunan hotel di Bali. Dalam penerapan kebijakan tersebut ada empat
faktor atau variabel yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan suatu kebijakan menurut
Edward III Widodo (2009) yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.
Melihat studi kasus yang terjadi di Bali, kebijakan moratorium di Bali tidak berjalan secara
optimal.
Selain itu, untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan yang terjadi akibat pembangunan
sarana akomodasi yang terus-menerus, penerapan Ekowisata juga bisa dijadikan solusi untuk
melestarikan sumber daya alam. Ekowisata merupakan pariwisata berbasis alam yang tujuannya
mengkonservasi lingkungan dan melestarikaan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat.
Aspek - aspek dari ekowisata antara lain adalah meningkatkan ekonomi lokal, konservasi dan
perlindungan alam, rekreasi outdoor, mengunjungi tempat-tempat yang masih alami, belajar
mengenai bahasa, makanan, acara, olahraga dan sejarah setempat. Dengan menggunakan konsep
Ekowisata maka pembangunan fasilitas pendukung pariwisata akan lebih terkontrol dan
mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan sekitar.

DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad (2013): Overview Infrastruktur Dalam Menunjang Pengembangan
Pariwisata Pedesaan, Paper Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik di
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Badan

pusat
statistik
Provinsi
Bali
http://st2013.bps.go.id/dev/st2013/index.php/site/tabel?tid=30&wid=5100000000
diakses pada 9 November 2016, 00:11 AM

Bali Post, 12 April 2007


Dinas pendapatan daerah Bali, http://www.dispenda.baliprov.go.id/id/PERKEMBANGANPENDAPATAN-ASLI-DAERAH--PAD--, diakses pada 9 November 2016, 00:11 AM
Evita, Rossi., Sirtha, I Nyoman., Sunartha, I Nyoman (2012): Dampak Perkembangan
Pembangunan Sarana Akomodasi Wisata terhadap Pariwisata Berkelanjutan di Bali
Ismoyo, Soemarlan Chairman Bali Villa Association http://izinusahadibali.multiply.com/
journal/ item/38/Asosiasi_Vila_Bali_Keluhkan_Birokrasi_Izin_Yang_Rumit, diakses
pafa 2 November 2016, 5:49 PM
Jenis-jenis Akomodasi Wisata: http://pariwisatadanteknologi.blogspot.com/2010/05/jenis-jenisakomodasi-pariwisata.html diakses pada 2 Novermber 2016, 5:49 PM.
Mastuty, Imma Triana., Noak, Piers Andreas., Supriliyani, Ni Wayan (2015): Implementasi
Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali Dalam Moratorium Pembangunan Infrastruktur
Akomodasi Pariwisata Hotel Di Kabupaten Badung
Panasiuk, Alexander (2007): Tourism Infrastructure as A Determinant of Regional
Development, University of Szczecin, Ekonomika ir vadyba: aktualijos ir
perspektyvos. 2007. 1 (8). 212215
Suryawan, I Ngurah(2011): Teater Globalisme: Pariwisata, Interkoneksi Global, dan
Manusia Bali di Garis Depan

Nasib

Sinaga, Dewi Rupyanti (2015): Strategi Pengembangan Infrastruktur Penunjang Pariwisata di


Kawasan Wisata Pantai Jumiang Kabupaten Pamekasan

Anda mungkin juga menyukai