Jbptitbpp GDL Muhammadar 22676 5 2010ta 4 PDF
Jbptitbpp GDL Muhammadar 22676 5 2010ta 4 PDF
ENDAPAN BATUBARA
41
pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu
dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu
pembentukan, yang disebut maturitas organik. Proses awalnya gambut berubah
menjadi lignit (batubara muda) atau brown coal (batubara coklat), ini adalah
batubara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandinngkan dengan batubara
jenis lainnya, batubara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam
pekat sampai kecoklat-coklatan. Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus
menerus selama jutaan tahun, batubara muda mengalami perubahan yang secara
bertahap.
4.1.1 Pembentukan Batubara dan Lingkungan Pengendapannya
4.1.1.1 Proses Pembentukan Batubara
Ada dua proses utama dalam pembentukan endapan batubara, yaitu:
1. Proses pembentukan gambut dari tumbuhan (peatification)
2. Proses Pembentukan batubara dari gambut (coalification)
42
gambut ini berasal dari lingkungan sekitarnya (sungai dan air tanah), tidak
tergantung pada air hujan. Biasanya tumbuh rumput-rumputan dengan daun
lebar dan tumbuhan perdu dengan pH berkisar antara 4,8 sampai 6,5
2. Highmoor, lapisan gambut ini dapat mencapai ketinggian beberapa meter dari
permukaan tanah dengan bentuk cembung. Jenis moor iini tidak tergantung
pada air tanah atau sungai, karena mempunyai sistem air tersendiri yang
tergantung pada air hujan. Jumlah penguapan yang lebih kecil dari curah hujan
menyebabkan air hujan tersimpan dalam gambut. Bahan makanan untuk
tumbuhan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lowmoor, sehingga jenis
tanaman terbatas pada lumut, rumput dengan daun yang kecil. Untuk daerah
beriklim sedang, highmoor ditumbuhi Sphagnum dan di daerah tropis
ditumbuhi hutan lokal dengan bermacam jenis tumbuhan pH pada highmoor
berkisar antara 3,3 sampai 4,6.
43
5(C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O +6CO2 + CO
cellulose lignit gas metan
Keterangan:
Cellulose (zat organic) yang merupakan zat pembentuk batubara
Semakin tinggi tingkat pembatubaraan maka kadar karbon (C)
akan meningkat sedangkan oksigen dan hidrogen akan berkurang
Semakin banyak CH4, lignit semakin baik kualitasnya
44
oleh Horne (1978). Horne (1978) memberikan criteria cara untuk mengenali
lingkungan pengendapan antara lain barrier, back-barrier, lower delta plain,
transitional lower delta plain, dan upper delta plain fluvial (Gambar 4.2).
Berdasarkan karakteristik endapan batubara, ada empat lingkungan
pengendapan utama batubara di daerah coastal menurut Horne (1978), yaitu:
1. Lingkungan back barrier : lapisan batubaranya tipis, pola sebarannya
memanjang sistem penghalang atau sejajar jurus lapisan, bentuk lapisan
melembar karena dipengaruhi tidal channel setelah pengendapan atau
bersamaan dengan proses pengendapan, kandungan sulfur tinggi, sehingga
tidak dapat ditambang. Urutan stratigrafi pada lingkungan back barrier
dicirikan oleh batulempung dan batulanau berwarna abu-abu gelap yang kaya
akan material organic, kemudian ditutupi oleh lapisan tipis batubara yang
tidak menerus atau zona sideritik dengan burrowing. Semakin kea rah laut
akan ditemukan batupasir kuarsitik sedangkan kea rah daratan terdapat
batupasir greywacke dari lingkungan fluvial deltaic.
2. Lingkungan lower delta plain : lapisan batubaranya tipis, kandungan sulfur
bervariasi, pola sebarannya umumnya sepanjang channel atau jurus
pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh hadirnya splitting oleh endapan
crevasse splay, tersebar meluas cenderung memanjang jurus pengendapan
tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel bentuk lapisan
batubara. Endapan pada daerah ini didominasi oleh urutan butrian mengkasar
ke atas yang tebal. Pada bagian atasnya terdapat batupasir dengan struktur
sedimen ripple mark.
3. Lingkungan transitional lower delta plain : lapisan batubaranya tebal,
kandungan sulfur rendah. Ditandai oleh perkembangan rawa yang ekstensif.
Lapisan batubara tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang
sejajar dengan jurus pengendapan. Splitting juga berkembang akibat channel
kontemporer dan washout oleh aktivitas channel subsekuen. Batuan sedimen
berbutir halus pada bagian bay fill sequences lebih tipis daripada di bagian
lower delta plain. Pada zona ini terdapat fauna air payau sampai laut dan
banyak ditemui burrowing.
45
4. Lingkungan upper delta plain fluvial : lapisan batubaranya tebal,
kandungan sulfur rendah, lapisan batubara terbentuk sebagai tubuh-tubuh pod-
shaped pada bagian bawah dari dataran limpahan banjir yang berbatasan
dengan channel sungai bermeander. Sebarannya meluas cenderung
memanjang sejajar kemiringan pengendapan, tetapi kemenerusan secara
lateral sering terpotong channel atau sedikit yang menerus, bentuk batubara
ditandai dengan hadirnya splitting akibat channel kontemporer dan wash out
oleh channel subsekuen. Urutan stratigrafinya didominasi oleh tubuh batupasir
yang menerus dan untuk lingkungan backswamp, terdiri dari urutan batubara,
batulempung dengan banyak fosil tumbuhan dan sedikit moluska air tawar,
batulanau, batulempung, serta batubara.
Berdasarkan kendali lingkungan pengendapannya, maka lingkungan back-
barrier dan lower delta plain cenderung tipis batubaranya. Sebaliknya pada
lingkungan transitional lower delta plain dan upper delta plain fluvial, lpaisan
batubaranya relatif tebal.
46
kehilangan berat yang terjadi setelah sampel batubara tanpa lengas bebas
dipanaskan dalam tungku pada suhu 105 o 110 oC.
Kadar abu didefiniskan sebagai residu anorganik yang terjadi setelah
batubara dibakar pada suhu 815 oC dan dialirkannya udara secara lambat ke dalam
tungku. Makin banyak mineral, makin tinggi kadar abunya. Zat terbang adalah
bagian dari batubara yang menguap pada saat batubara dipanaskan tanpa udara
(dalam tungku tertutup) pada suhu 900 oC. Karbon tertambat (fixed carbon)
diperoleh dari 100 % dikurangi dengan jumlah kadar lengas, kadar abu, dan zat
terbang.
Analisis ultimat merupakan cara sederhana untuk menunjukkan unsure
pembentuk batubara dengan mengabaikan senyawa kompleks yang ada dan hanya
dengan menentukan unsure kimia pembentuk yang penting. Ada lima unsur utama
yang membentuk batubara yaitu karbon, hydrogen, sulfur, nitrogen, oksigen, dan
fosfor.
Kandungan sulfur sangat umum dijumpai dalam endapan batubara, yaitu:
1. Pirit (FeS2), terjadi dalam bentuk makrodeposit (lensa, vein, joint).
2. Sulfur Organik, jumlahnya 20 % - 80 % dari sulfur total. Secara kimia terikat
dalam batubara.
3. Sulfur Sulfat, umumnya berupa kalsium sulfat dan besi sulfat dengan jumlah
yang kecil.
47
Tabel 4.1 Klasifikasi Rank Batubara (ASTM, 1981 op. cit. Wood et al., 1983)
48
tergolong landai. Pada daerah penelitian ditemukan 11 titik singkapan batubara
dengan ketebalan berkisar antara 50 350 cm dan pola jurus lapisan relatif
berarah Timurlaut Baratdaya dengan kisaran kemiringan lapisan antara 12 0
210. Singkapan batubara terdapat pada sungai-sungai yang berada di bagian
tengah daerah penelitian dan bagian lainnya ditemukan di dalam hutan-hutan
(Lampiran H-1). PT. Geoservices (Ltd.) pada tahun 2008 pernah melakukan
pemboran pada daerah penelitian sebanyak 23 titik bor dengan kedalaman 25 m
42 m. Pemboran tersebut bertujuan untuk mengetahui penyebaran batubara lebih
rinci sehingga dapat memastikan jumlah sumberdaya batubara secara akurat.
49
No. Bor Elevasi (m) Kedalaman (m) Ketebalan (m) Seam
M-01 66,41 25 0,50 5
6,95 2
M-02 51,29 25
0,02
M-02A 48,56 25 3,70 4
0,40
M-02B 46,06 25
0,75 5
7,00 2
M-02C 50,48 25
1,95 1
1,45 3
M-02D 45,90 30
6,70 2
M-02G 45,90 25 - -
M-03 51,30 40 1,24 1
M-03A 41,38 23,5 3,55 4
M-03A-1 42,46 10 3,95 4
0,55
M-03B 40,64 25 0,45 -
0,70 5
M-03C 43,08 25 0,68 1
6,98 2
M-03D 54,67 30
0,05 -
0,05 -
M-04 33,40 20 0,10 -
0,10 -
M-04A 35,45 25 0,20
M-05 34,55 30 - -
M-06 30,46 20
M-13 51,59 16 1,10 4
M-13 RD 51,40 25 3,20 4
M-13B 61,93 15 5,90 2
4,60 2
M-13C 52,62 10
0,05
M-14 59,42 25 1,50 1
0,10
0,32
M-14A 47,44 42
1,80 4
0,55 3
Tabel 4.3 Data pemboran batubara daerah penelitian (PT. Geoservices (Ltd.))
50
Berdasarkan pola penyebaran singkapan batubara dan karakter lapisan
batubara yang diamati di lapangan dan pemboran, disimpulkan bahwa di daerah
penelitian ditemukan lima lapisan (seam) batubara (Lampiran H-5) dengan variasi
ketebalan antara 50 cm 700 cm dengan urutan tua ke muda yaitu Seam 1, Seam
2, Seam 3, Seam 4, dan Seam 5. Semua seam batubara menjanjikan untuk dihitung
jumlah sumberdayanya ditinjau dari segi ketebalan lapisannya (lebih dari 50 cm).
51
4.2.1.2 Seam Batubara 2
Batubara pada seam ini ditemukan pada lima singkapan yaitu lokasi
pengamatan PRGN013, PRGN038, PRGN053, PRGN052, dan PRGN053a serta
pada enam titik bor yaitu M-02, M-02C, M-02D, M-03D, M-13B, M-13C.
Lapisan batubara ini merupakan lapisan yang tebal baik pada singkapan maupun
pada pemboran. Ketebalan batubara pada seam ini mencapai 7 m (Lampiran E)
dengan kontak atas dan bawah lapisan berupa batulempung karbonan.
Secara umum, batubara pada seam ini mempunyai ciri kilap dull dull
banded, berwarna hitam kecoklatan, gores coklat coklat kehitaman, berat
moderate, kekerasan moderate hard, struktur massive blocky banded, belahan
subconchoidal uneven irregular, dan mempunyai pengotor berupa resin, pirit,
mineral lempung, dan sulfur.
52
Ketebalan batubara pada seam ini mencapai 1,45 m (Lampiran E) dengan
ciri kilap dull, berwarna hitam kecoklatan, gores coklat, berat moderate,
kekerasan moderate hard, struktur blocky banded, belahan subconchoidal
uneven, dan mempunyai pengotor berupa pirit dan resin. Seam ini mempunyai
kontak atas berupa batulempung dan bagian bawah lapisan berupa batupasir.
53
4.2.1.5 Seam Batubara 5
Batubara pada seam ini ditemukan pada satu singkapan yaitu PRGN036
dan tiga titik bor yaitu M-01, M-02B dan M-03B. Pola penyebaran pada seam ini
agak sulit dikorelasikan karena jarak antar titik bor yang berjauhan serta hanya
ditemukan satu singkapan.
Secara umum, lapisan batubara pada seam ini relatif tipis dengan ketebalan
mencapai 0,75 m (Lampiran E) dengan ciri kilap dull banded, berwarna hitam
kecoklatan, gores coklat, berat moderate, kekerasan moderate hard, struktur
blocky banded, belahan subconchoidal uneven. Seam ini mempunyai kontak atas
lapisan berupa batulempung dan bagian bawah lapisan berupa batupasir.
54
Gambar 4.2 Posisi seam batubara di daerah penelitian pada Satuan Batupasir
(warna kuning)
55
Gambar 4.3 Model lingkungan batubara (Horne, 1978)
{ 50 x 100}
CV (dmmf) =
[100 1,08 x +0,55 x ]
56
Keterangan:
FC = Fixed Carbon (Karbon tertambat) % (adb)
VM = Volatile Matter (Zat Terbang) % (adb)
M = Moisture (Kadar Lengas) % (adb)
A = Ash (Abu) % (adb)
S = Sulphur (Sulfur) % (adb)
BTU = British Thermal Unit ; per pound = 1,8185 CV (adb)
57
Secara umum, langkah-langkah yang digunakan untuk menghitung
sumberdaya batubara dengan menggunakan metode circular USGS (Wood et. al.,
1983) adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan Peta Sebaran Batubara
2. Pembuatan lingkaran di setiap titik singkapan batubara (Gambar 4.4)
dimana:
a. Daerah yang berada pada jarak datar radius 0 400 m merupakan
sumberdaya terukur (measured resources)
b. Daerah yang berada pada jarak datar radius 400 - 1200 m
merupakan sumberdaya tertunjuk (indicated resources)
c. Daerah yang berada pada jarak datar radius 1200 - 4800 m
merupakan sumberdaya terkira (inferred resources)
3. Berdasarkan radius lingkaran yang telah dibuat berdasarkan metode
circular USGS (Wood et al., 1983) sebelumnya, maka akan didapat titik
perpotongan pada tiap lingkaran, dimana hasil dari titik perpotongan
tersebut akan menghasilkan luas daerah yang akan dihitung jumlah
sumberdayanya.
4. Rumus perhitungan jumlah sumberdaya batubara daerah penelitian
mengacu pada metode circular USGS (Wood et al., 1983) dimana aturan
perhitungan di atas berlaku untuk kemiringan lapisn batubara lebih kecil
atau sama dengan 300, sedangkan untuk batubara dengan kemiringan
lapisan lebih dari 300 aturannya adalah harga proyeksi radius lingkaran
tersebut ke permukaan (Gambar 4.5)
5. Adapun rumus perhitungan adalah:
a. Untuk dip () < 300
Sumberdaya = Luas area (m2) x Tebal (m) x Berat Jenis (Ton/m3)
b. Untuk dip () > 300
Sumberdaya = Luas area (m2) x Tebal (m) x cos x Berat Jenis
(Ton/m3)
58
Gambar 4.4 Pembagian daerah sumberdaya dengan metode circular USGS
(Wood et. al, 1983)
59
Dengan menggunakan metode circular USGS tersebut, perhitungan
sumberdaya dari daerah penelitian hanya dilakukan hingga perhitungan
sumberdaya tertunjuk dikarenakan struktur geologi daerah penelitian yang
meliputi sesar normal dan luas daerah penelitian yang tidak terlalu luas, sehingga
jika dilakukan perhitungan sumberdaya terkira akan menghasilkan jumlah yang
tidak valid. Dari perhitungan yang dilakukan terhadap lima seam yang terdapat di
daerah penelitian (Lampiran G), diperoleh sumberdaya batubara terukur sebesar
10.694.508,49 ton dan sumberdaya batubara tertunjuk sebesar 28.641.787,84 ton.
60
berkisar pada 5000 6000 Cal/gr (adb) yang relatif tidak terlalu tinggi dijadikan
pertimbangan lain karena nilai kalori tersebut tidak memenuhi standar batubara
kualitas ekspor, namun dapat memenuhi kebutuhan batubara domestik. Hal-hal
tersebut dapat dijadikan pertimbangan apabila selanjutnya akan dilakukan
penambangan.
61