Anda di halaman 1dari 21

BAB IV

ENDAPAN BATUBARA

4.1 Pembahasan Umum


Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk
dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak
pengendapannya mengalami proses fisika dan kimia yang mengakibatkan
pengayaan pada kandungan karbon (Wolf, 1984 op. cit. Anggayana, 2002).
Pembentukan batubara diawali dengan proses peatification (penggambutan) dari
sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi pada lingkungan reduksi, yang berlanjut
pada proses coalification (pembatubaraan) secara biologi, fisika, maupun kimia
yang terjadi karena pengaruh beban sedimen yang menutupinya (over burden),
temperatur, tekanan, dan waktu. (Gambar 4.1)

Gambar 4.1 Proses terbentuknya batubara (Anggayana, 2002)

Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan zaman


geologi dan lokasi tempat tumbuh berkembangnya ditambah dengan lingkungan
pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi
serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian akan menyebabkan
terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu,
karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field)
dan lapisannya (coal seam).
Pembentukan batubara dimulai sejak Periode Karbon (periode
pembentukan karbon atau batubara) sehingga dikenal sebagai zaman batubara

41
pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu
dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu
pembentukan, yang disebut maturitas organik. Proses awalnya gambut berubah
menjadi lignit (batubara muda) atau brown coal (batubara coklat), ini adalah
batubara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandinngkan dengan batubara
jenis lainnya, batubara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam
pekat sampai kecoklat-coklatan. Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus
menerus selama jutaan tahun, batubara muda mengalami perubahan yang secara
bertahap.
4.1.1 Pembentukan Batubara dan Lingkungan Pengendapannya
4.1.1.1 Proses Pembentukan Batubara
Ada dua proses utama dalam pembentukan endapan batubara, yaitu:
1. Proses pembentukan gambut dari tumbuhan (peatification)
2. Proses Pembentukan batubara dari gambut (coalification)

4.1.1.1.1 Proses Pembentukan Gambut (Peatification)


Gambut adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari
tumpukan, hancuran, atau bagian tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam
keadaan tertutup dari udara (di bawah air), tidak padat, kandungan air lebih dari
70 % berat dan kandungan mineral lebih kecil dari 50 % dalam kondisi kering
(Wolf, 1984 op. cit. Anggayana, 2002)
Jika ada tumpukan sisa tumbuhan berada pada kondisi basah (di bawah air,
tidak seluruhnya berhubungan dengan udara) dan kandungan oksigennya sangat
rendah, sehingga tidak memungkinkan bakteri aerob hidup, sisa tumbuhan
tersebut tidak akan mengalami proses pembusukkan dan penghancuran sempurna.
Pada kondisi tersebut hanya bakteri anaerob yang melakukan proses dekomposisi
membentuk gambut (peat).
Moor merupakan lapisan gambut dengan ketebalan minimum 30 cm
(Anggayana, 2002). Berdasarkan morfologi permukaannya, moor dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Lowmoor, jenis moor ini terbentuk pada lingkungan yang kaya akan bahan
makanan. Morfologi permukannya datar dan atau cekung. Pasokan air untuk

42
gambut ini berasal dari lingkungan sekitarnya (sungai dan air tanah), tidak
tergantung pada air hujan. Biasanya tumbuh rumput-rumputan dengan daun
lebar dan tumbuhan perdu dengan pH berkisar antara 4,8 sampai 6,5
2. Highmoor, lapisan gambut ini dapat mencapai ketinggian beberapa meter dari
permukaan tanah dengan bentuk cembung. Jenis moor iini tidak tergantung
pada air tanah atau sungai, karena mempunyai sistem air tersendiri yang
tergantung pada air hujan. Jumlah penguapan yang lebih kecil dari curah hujan
menyebabkan air hujan tersimpan dalam gambut. Bahan makanan untuk
tumbuhan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lowmoor, sehingga jenis
tanaman terbatas pada lumut, rumput dengan daun yang kecil. Untuk daerah
beriklim sedang, highmoor ditumbuhi Sphagnum dan di daerah tropis
ditumbuhi hutan lokal dengan bermacam jenis tumbuhan pH pada highmoor
berkisar antara 3,3 sampai 4,6.

4.1.1.1.2 Proses Pembentukan Batubara (Coalification)


Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal
dari tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam yang sejak pengendapannya terkena
proses fisika dan kimia, serta mengakibatkan pengayaan kandungan karbonnya
(Wolf, 1984 op. cit. Anggayana, 2002). Sementara itu proses pembatubaraan
merupakan perkembangan gambut melalui lignit, subbituminous, dan bituminous
menjadi antrasit serta meta antrasit (Anggayana, 2002)
Jika lapisan gambut yang telah terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan
sedimen, bakteri anaerob akan mati, maka lapisan gambut akan mengalami
peningkatan tekanan seiring penambahan beban dan bertambahnya ketebalan
lapisan sedimen. Tekanan yang besar mengakibatkan peningkatan temperatur.
Selain itu, temperature juga dapat meningkat dengan pertambahan kedalaman,
kehadiran intrusi magma, proses vulkanisme, dan proses tektonisme.
Kenaikan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut akan mengubahnya
menjadi batubara, seiring terjadinya proses pengurangan kandungan lengas
(moisture), pelepasan gas (CO2, H2O, CO, CH4) peningkatan kepadatan dan
kekerasan serta peningkatan kadar kalori. Reaksi pembentukan batubara dapat
dijelaskan sebagai berikut:

43
5(C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O +6CO2 + CO
cellulose lignit gas metan

Keterangan:
Cellulose (zat organic) yang merupakan zat pembentuk batubara
Semakin tinggi tingkat pembatubaraan maka kadar karbon (C)
akan meningkat sedangkan oksigen dan hidrogen akan berkurang
Semakin banyak CH4, lignit semakin baik kualitasnya

Berdasarkan asal tumbuhan pembentuk gambut, terdapat dua macam batubara


(Sudarsono, 2000), yaitu:
1. Batubara Autochtone, lapisan gambut terbentuk dari tumbuhan yang tumbang
di tempat tumbuhnya. Dengan demikian maka setelah tumbuhan tersebut mati,
belum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan
mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini
mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar
abunya relatif kecil.
2. Batubara Allochtone, lapisan gambut yang terbentuk berasal dari bagian
tumbuhan yang terbawa aliran sungai, serta terendapkan di daerah hilir sungai.
Dengan demikian tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan
berakumulasi di suatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami
proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini
mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat,
kualitas kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang
terangkut bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke
tempat sedimentasi.

4.1.1.2 Lingkungan Pengendapan Batubara


Batubara terbentuk pada lingkungan pengendapan tertentu, dan sangat
berpengaruh pada penyebaran lateral, ketebalan, komposisi, serta kualitasnya.
Analisa lingkungan pengendapan menggunakan pendekatan yang dikemukakan

44
oleh Horne (1978). Horne (1978) memberikan criteria cara untuk mengenali
lingkungan pengendapan antara lain barrier, back-barrier, lower delta plain,
transitional lower delta plain, dan upper delta plain fluvial (Gambar 4.2).
Berdasarkan karakteristik endapan batubara, ada empat lingkungan
pengendapan utama batubara di daerah coastal menurut Horne (1978), yaitu:
1. Lingkungan back barrier : lapisan batubaranya tipis, pola sebarannya
memanjang sistem penghalang atau sejajar jurus lapisan, bentuk lapisan
melembar karena dipengaruhi tidal channel setelah pengendapan atau
bersamaan dengan proses pengendapan, kandungan sulfur tinggi, sehingga
tidak dapat ditambang. Urutan stratigrafi pada lingkungan back barrier
dicirikan oleh batulempung dan batulanau berwarna abu-abu gelap yang kaya
akan material organic, kemudian ditutupi oleh lapisan tipis batubara yang
tidak menerus atau zona sideritik dengan burrowing. Semakin kea rah laut
akan ditemukan batupasir kuarsitik sedangkan kea rah daratan terdapat
batupasir greywacke dari lingkungan fluvial deltaic.
2. Lingkungan lower delta plain : lapisan batubaranya tipis, kandungan sulfur
bervariasi, pola sebarannya umumnya sepanjang channel atau jurus
pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh hadirnya splitting oleh endapan
crevasse splay, tersebar meluas cenderung memanjang jurus pengendapan
tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel bentuk lapisan
batubara. Endapan pada daerah ini didominasi oleh urutan butrian mengkasar
ke atas yang tebal. Pada bagian atasnya terdapat batupasir dengan struktur
sedimen ripple mark.
3. Lingkungan transitional lower delta plain : lapisan batubaranya tebal,
kandungan sulfur rendah. Ditandai oleh perkembangan rawa yang ekstensif.
Lapisan batubara tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang
sejajar dengan jurus pengendapan. Splitting juga berkembang akibat channel
kontemporer dan washout oleh aktivitas channel subsekuen. Batuan sedimen
berbutir halus pada bagian bay fill sequences lebih tipis daripada di bagian
lower delta plain. Pada zona ini terdapat fauna air payau sampai laut dan
banyak ditemui burrowing.

45
4. Lingkungan upper delta plain fluvial : lapisan batubaranya tebal,
kandungan sulfur rendah, lapisan batubara terbentuk sebagai tubuh-tubuh pod-
shaped pada bagian bawah dari dataran limpahan banjir yang berbatasan
dengan channel sungai bermeander. Sebarannya meluas cenderung
memanjang sejajar kemiringan pengendapan, tetapi kemenerusan secara
lateral sering terpotong channel atau sedikit yang menerus, bentuk batubara
ditandai dengan hadirnya splitting akibat channel kontemporer dan wash out
oleh channel subsekuen. Urutan stratigrafinya didominasi oleh tubuh batupasir
yang menerus dan untuk lingkungan backswamp, terdiri dari urutan batubara,
batulempung dengan banyak fosil tumbuhan dan sedikit moluska air tawar,
batulanau, batulempung, serta batubara.
Berdasarkan kendali lingkungan pengendapannya, maka lingkungan back-
barrier dan lower delta plain cenderung tipis batubaranya. Sebaliknya pada
lingkungan transitional lower delta plain dan upper delta plain fluvial, lpaisan
batubaranya relatif tebal.

4.1.2 Analisis Kualitas dan Klasifikasi Batubara


4.1.2.1 Analisis Kualitas Batubara
Terdapat dua jenis analisis kualitas batubara yang utama, yaitu analisis
proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat umumnya dilakukan oleh
perusahaan pertambangan dan pembeli batubara. Analisis proksimat digunakan
untuk menentukan kelas (rank) batubara. Analisis proksimat terdiri atas empat
parameter utama, yaitu kadar lengas (moisture), kadar abu (ash), zat terbang
(volatile matter), dan karbon tertambat (fixed carbon).
Lengas yang terdapat pada batubara dapat menempel di permukaan
partikel batubara. Ada tiga jenis kadar lengas, yaitu bebas (free moisture), kadar
lengas inheren (inheren moisture) dan kadar lengas total (total moisture).
Kehilangan berat yang terjadi setelah sampel batubara digerus sampai
ukuran 3 mm, lalu dipanaskan dalam tungku dengan suhu 105 o 110 oC disebut
kadar lengas total. Lengas bebas akan terlepas ke udara apabila batubara dibiarkan
di dalam ruangan pada suhu kamar. Kehilangan berat selama sampel berada dalam
ruangan disebut kadar lengas bebas. Kadar lengas inheren diperoleh dari

46
kehilangan berat yang terjadi setelah sampel batubara tanpa lengas bebas
dipanaskan dalam tungku pada suhu 105 o 110 oC.
Kadar abu didefiniskan sebagai residu anorganik yang terjadi setelah
batubara dibakar pada suhu 815 oC dan dialirkannya udara secara lambat ke dalam
tungku. Makin banyak mineral, makin tinggi kadar abunya. Zat terbang adalah
bagian dari batubara yang menguap pada saat batubara dipanaskan tanpa udara
(dalam tungku tertutup) pada suhu 900 oC. Karbon tertambat (fixed carbon)
diperoleh dari 100 % dikurangi dengan jumlah kadar lengas, kadar abu, dan zat
terbang.
Analisis ultimat merupakan cara sederhana untuk menunjukkan unsure
pembentuk batubara dengan mengabaikan senyawa kompleks yang ada dan hanya
dengan menentukan unsure kimia pembentuk yang penting. Ada lima unsur utama
yang membentuk batubara yaitu karbon, hydrogen, sulfur, nitrogen, oksigen, dan
fosfor.
Kandungan sulfur sangat umum dijumpai dalam endapan batubara, yaitu:
1. Pirit (FeS2), terjadi dalam bentuk makrodeposit (lensa, vein, joint).
2. Sulfur Organik, jumlahnya 20 % - 80 % dari sulfur total. Secara kimia terikat
dalam batubara.
3. Sulfur Sulfat, umumnya berupa kalsium sulfat dan besi sulfat dengan jumlah
yang kecil.

4.1.2.2 Klasifikasi Batubara


Rank (peringkat) digunakan untuk menyatakan tahapan yang telah dicapai
oleh batubara dalam urutan proses pembatubaraan. Hamper setiap Negara
penghasil batubara dengan jumlah besar mempunyai istilah sendiri untuk
menyatakan rank.
Sebagai contoh, rank batubara di amerika menggunakan standarisasi dari
ASTM (American Society for Testing Material) dan di Jerman menggunakan
standarisasi dari DIN. Berdasarkan rank yang dicapai, batubara dapat
diklasifikasikan. Di Indonesia, umumnya digunakan klasifikasi ASTM.

47
Tabel 4.1 Klasifikasi Rank Batubara (ASTM, 1981 op. cit. Wood et al., 1983)

4.2 Endapan Batubara Daerah Penelitian


4.2.1 Keberadaan dan Penyebaran Batubara
Berdasarkan hasil pemetaan geologi yang telah dilakukan pada daerah
penelitian, endapan batubara berada pada Satuan Batupasir atau dengan nama lain,
Satuan Batupasir ini merupakan satuan pembawa batubara (coal bearing) yang
merupakan bagian dari Formasi Muara Enim. Batubara ditemukan sebagai sisipan,
berwarna coklat coklat kehitaman, kilap dull dull banded, kekerasan hard
moderate, gores coklat hitam kecoklatan, belahan subconchoidal irregular,
dengan pengotor berupa resin dan pirit.
Penyebaran batubara pada daerah penelitian ini sangat terbatas, cenderung
tidak menerus, dan relatif tidak terlalu tebal dengan kemiringan lapisan yang

48
tergolong landai. Pada daerah penelitian ditemukan 11 titik singkapan batubara
dengan ketebalan berkisar antara 50 350 cm dan pola jurus lapisan relatif
berarah Timurlaut Baratdaya dengan kisaran kemiringan lapisan antara 12 0
210. Singkapan batubara terdapat pada sungai-sungai yang berada di bagian
tengah daerah penelitian dan bagian lainnya ditemukan di dalam hutan-hutan
(Lampiran H-1). PT. Geoservices (Ltd.) pada tahun 2008 pernah melakukan
pemboran pada daerah penelitian sebanyak 23 titik bor dengan kedalaman 25 m
42 m. Pemboran tersebut bertujuan untuk mengetahui penyebaran batubara lebih
rinci sehingga dapat memastikan jumlah sumberdaya batubara secara akurat.

No. Seam Lokasi Pengamatan Kedudukan Lapisan Ketebalan (m)


1 1 PRGN011 N 222 E / 20 1,05 m
2 1 PRGN037 N 260 E / 21 1,30 m
3 1 PRGN041 N 173 E / 14 0,72 m
4 1 PRGN012 N 217 E / 15 0,35 m
5 2 PRGN013 N 210 E / 19 4,20 m
6 2 PRGN014 N 200 E / 18 3,00 m
7 2 PRGN038 N 210 E / 14 2,30 m
8 2 PRGN053 N 217 E / 19 1,80 m
9 2 PRGN052 N 203 E / 14 1,70 m
10 2 PRGN053a N 218 E / 18 3,50 m
11 4 PRGN051 N 197 E / 13 1,20 m
12 5 PRGN036 N 185 E / 14 0,50 m
Tabel 4.2 Data singkapan batubara daerah penelitian

49
No. Bor Elevasi (m) Kedalaman (m) Ketebalan (m) Seam
M-01 66,41 25 0,50 5
6,95 2
M-02 51,29 25
0,02
M-02A 48,56 25 3,70 4
0,40
M-02B 46,06 25
0,75 5
7,00 2
M-02C 50,48 25
1,95 1
1,45 3
M-02D 45,90 30
6,70 2
M-02G 45,90 25 - -
M-03 51,30 40 1,24 1
M-03A 41,38 23,5 3,55 4
M-03A-1 42,46 10 3,95 4
0,55
M-03B 40,64 25 0,45 -
0,70 5
M-03C 43,08 25 0,68 1
6,98 2
M-03D 54,67 30
0,05 -
0,05 -
M-04 33,40 20 0,10 -
0,10 -
M-04A 35,45 25 0,20
M-05 34,55 30 - -
M-06 30,46 20
M-13 51,59 16 1,10 4
M-13 RD 51,40 25 3,20 4
M-13B 61,93 15 5,90 2
4,60 2
M-13C 52,62 10
0,05
M-14 59,42 25 1,50 1
0,10
0,32
M-14A 47,44 42
1,80 4
0,55 3
Tabel 4.3 Data pemboran batubara daerah penelitian (PT. Geoservices (Ltd.))

50
Berdasarkan pola penyebaran singkapan batubara dan karakter lapisan
batubara yang diamati di lapangan dan pemboran, disimpulkan bahwa di daerah
penelitian ditemukan lima lapisan (seam) batubara (Lampiran H-5) dengan variasi
ketebalan antara 50 cm 700 cm dengan urutan tua ke muda yaitu Seam 1, Seam
2, Seam 3, Seam 4, dan Seam 5. Semua seam batubara menjanjikan untuk dihitung
jumlah sumberdayanya ditinjau dari segi ketebalan lapisannya (lebih dari 50 cm).

4.2.1.1 Seam Batubara 1


Batubara pada seam ini ditemukan pada empat singkapan yaitu lokasi
pengamatan PRGN011, PRGN037, PRGN041, dan PRGN012 serta pada empat
titik bor yaitu M-02C, M-03, M-03C, dan M-14. Pola penyebaran pada seam ini
agak sulit dikorelasikan karena jarak yang berjauhan antar singkapan.
Secara umum, ketebalan batubara pada seam ini mencapai 1,80 m dengan
ciri kilap dull, berwarna hitam kecoklatan, gores hitam kecoklatan, berat light
moderate, kekerasan moderate hard, struktur massive blocky banded, belahan
subconchoidal irregular, dan mempunyai pengotor berupa resin dan sulfur.
Seam ini mempunyai kontak atas dan bawah lapisan berupa batulempung
karbonan (Lampiran E).

Foto 4.1 Singkapan batubara pada lokasi PRGN037

51
4.2.1.2 Seam Batubara 2
Batubara pada seam ini ditemukan pada lima singkapan yaitu lokasi
pengamatan PRGN013, PRGN038, PRGN053, PRGN052, dan PRGN053a serta
pada enam titik bor yaitu M-02, M-02C, M-02D, M-03D, M-13B, M-13C.
Lapisan batubara ini merupakan lapisan yang tebal baik pada singkapan maupun
pada pemboran. Ketebalan batubara pada seam ini mencapai 7 m (Lampiran E)
dengan kontak atas dan bawah lapisan berupa batulempung karbonan.
Secara umum, batubara pada seam ini mempunyai ciri kilap dull dull
banded, berwarna hitam kecoklatan, gores coklat coklat kehitaman, berat
moderate, kekerasan moderate hard, struktur massive blocky banded, belahan
subconchoidal uneven irregular, dan mempunyai pengotor berupa resin, pirit,
mineral lempung, dan sulfur.

Foto 4.2 Singkapan batubara pada lokasi PRGN038

4.2.1.3 Seam Batubara 3


Batubara pada seam ini ditemukan pada dua titik bor yaitu M-02D dan M-
014A. Pola penyebaran pada seam ini agak sulit dikorelasikan karena jarak yang
berjauhan serta tidak ditemukannya singkapan pada seam ini, sehingga korelasi
lapisn dilakukan hanya pada data bor.

52
Ketebalan batubara pada seam ini mencapai 1,45 m (Lampiran E) dengan
ciri kilap dull, berwarna hitam kecoklatan, gores coklat, berat moderate,
kekerasan moderate hard, struktur blocky banded, belahan subconchoidal
uneven, dan mempunyai pengotor berupa pirit dan resin. Seam ini mempunyai
kontak atas berupa batulempung dan bagian bawah lapisan berupa batupasir.

4.2.1.4 Seam Batubara 4


Batubara pada seam ini ditemukan pada satu singkapan yaitu lokasi
pengamatan PRGN051 dan pada enam titik bor yaitu M-02A, M-03A, M-03A-1,
M-14A, M-13, M-13RD. Lapisan batubara ini merupakan lapisan yang relatif
tebal pada singkapan maupun pada pemboran. Ketebalan batubara pada seam ini
mencapai 3,80 m (Lampiran E) dengan kontak atas dan bawah lapisan berupa
batulempung karbonan.
Secara umum, batubara pada seam ini mempunyai ciri kilap dull banded,
berwarna hitam kecoklatan, gores coklat, berat moderate, kekerasan moderate
hard, struktur massive blocky banded, belahan subconchoidal uneven.

Foto 4.3 Singkapan batubara pada lokasi PRGN051

53
4.2.1.5 Seam Batubara 5
Batubara pada seam ini ditemukan pada satu singkapan yaitu PRGN036
dan tiga titik bor yaitu M-01, M-02B dan M-03B. Pola penyebaran pada seam ini
agak sulit dikorelasikan karena jarak antar titik bor yang berjauhan serta hanya
ditemukan satu singkapan.
Secara umum, lapisan batubara pada seam ini relatif tipis dengan ketebalan
mencapai 0,75 m (Lampiran E) dengan ciri kilap dull banded, berwarna hitam
kecoklatan, gores coklat, berat moderate, kekerasan moderate hard, struktur
blocky banded, belahan subconchoidal uneven. Seam ini mempunyai kontak atas
lapisan berupa batulempung dan bagian bawah lapisan berupa batupasir.

Foto 4.4 Singkapan batubara pada lokasi PRGN036

Secara ringkas, posisi relatif seam batubara pada Satuan Batupasir di


daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.2 yang menunjukkan urut-urutan
relatif posisi lapisan batubara.

54
Gambar 4.2 Posisi seam batubara di daerah penelitian pada Satuan Batupasir
(warna kuning)

Dari pola penyebaran seam batubara dengan ketebalan bervariasi pada


beberapa singkapan dan ketebalan umum relatif tebal yaitu 0,75 7 m,
lingkungan pengendapan dari endapan batubara daerah penelitian
diinterpretasikan berada di lingkungan transitional lower delta plain lower delta
plain.

55
Gambar 4.3 Model lingkungan batubara (Horne, 1978)

4.2.2 Analisis Kualitas Batubara


Analisis proksimat untuk menentukan kualitas batubara dilakukan pada
seluruh sampel dari masing-masing seam batubara di daerah penelitian. Hasil
analisis yang dilakukan pada laboratorium berada dalam basis pelaporan air dried
basis (adb). Untuk klasifikasi rank ASTM digunakan basis pelaporan dry mineral
matter free (dmmf). Pada basis adb, sampel batubara ditempatkan di udara
terbuka, kadar lengasnya secara perlahan akan mencapai kesetimbangan dengan
kelembaban udara. Analisis basis dmmf dapat memberikan gambaran mengenai
komposisi organik murni.
Rumus untuk mengubah basis adb menjadi basis dmmf yaitu:
{ 0,15 x 100}
FC (dmmf) =
[100 +1,08 x +0,55 x ]

VM (dmmf) = 100 - FC (dmmf)

{ 50 x 100}
CV (dmmf) =
[100 1,08 x +0,55 x ]

56
Keterangan:
FC = Fixed Carbon (Karbon tertambat) % (adb)
VM = Volatile Matter (Zat Terbang) % (adb)
M = Moisture (Kadar Lengas) % (adb)
A = Ash (Abu) % (adb)
S = Sulphur (Sulfur) % (adb)
BTU = British Thermal Unit ; per pound = 1,8185 CV (adb)

Hasil analisis proksimat tercantum dalam Lampiran F, dapat disimpulkan bahwa


rank batubara daerah penelitian menurut klasifikasi ASTM termasuk dalam Lignit
Sub Bituminous B.

4.3 Sumberdaya Batubara Daerah Penelitian


Sumberdaya merupakan kekayaan alam yang diharapkan dapat
dimanfaatkan dan dengan menggunakan parameter geologi tertentu dapat berubah
menjadi cadangan apabila memenuhi kriteria layak tambang. Cadangan batubara
merupakan sumberdaya yang telah diakui bentuk ukuran, penyebarannya,
kuantitas, kualitas, dan ekonomis untuk ditambang.
Dalam menghitung sumberdaya batuabara ada empat metode yang umum
digunakan, yaitu:
1. Metode Penampang
2. Metode Circular USGS
3. Metode Blok
4. Metode Poligon
Pemakaian metode di atas disesuaikan dengan kualitas data, jenis data
yang diperoleh dan kondisi lapangan serta metode penambangan (misalnya sudut
penambangan). Karena minimnya data yang diperoleh pada daerah penelitian,
yakni data yang digunakan dalam perhitungan hanya berupa data singkapan, dan
kemudahan perhitungan maka metode yang digunakan untuk perhitungan
sumberdaya penelitian adalah metode circular USGS. Selain itu digunakan faktor
koreksi 30% sebagai faktor pengontrol hasil perhitungan sumberdaya batubara
sehingga hasil perhitungan menjadi lebih realistis.

57
Secara umum, langkah-langkah yang digunakan untuk menghitung
sumberdaya batubara dengan menggunakan metode circular USGS (Wood et. al.,
1983) adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan Peta Sebaran Batubara
2. Pembuatan lingkaran di setiap titik singkapan batubara (Gambar 4.4)
dimana:
a. Daerah yang berada pada jarak datar radius 0 400 m merupakan
sumberdaya terukur (measured resources)
b. Daerah yang berada pada jarak datar radius 400 - 1200 m
merupakan sumberdaya tertunjuk (indicated resources)
c. Daerah yang berada pada jarak datar radius 1200 - 4800 m
merupakan sumberdaya terkira (inferred resources)
3. Berdasarkan radius lingkaran yang telah dibuat berdasarkan metode
circular USGS (Wood et al., 1983) sebelumnya, maka akan didapat titik
perpotongan pada tiap lingkaran, dimana hasil dari titik perpotongan
tersebut akan menghasilkan luas daerah yang akan dihitung jumlah
sumberdayanya.
4. Rumus perhitungan jumlah sumberdaya batubara daerah penelitian
mengacu pada metode circular USGS (Wood et al., 1983) dimana aturan
perhitungan di atas berlaku untuk kemiringan lapisn batubara lebih kecil
atau sama dengan 300, sedangkan untuk batubara dengan kemiringan
lapisan lebih dari 300 aturannya adalah harga proyeksi radius lingkaran
tersebut ke permukaan (Gambar 4.5)
5. Adapun rumus perhitungan adalah:
a. Untuk dip () < 300
Sumberdaya = Luas area (m2) x Tebal (m) x Berat Jenis (Ton/m3)
b. Untuk dip () > 300
Sumberdaya = Luas area (m2) x Tebal (m) x cos x Berat Jenis
(Ton/m3)

58
Gambar 4.4 Pembagian daerah sumberdaya dengan metode circular USGS
(Wood et. al, 1983)

Gambar 4.5 Pengaruh kemiringan lapisan batubara pada perhitungan sumberdaya


(Wood et. al, 1983)

59
Dengan menggunakan metode circular USGS tersebut, perhitungan
sumberdaya dari daerah penelitian hanya dilakukan hingga perhitungan
sumberdaya tertunjuk dikarenakan struktur geologi daerah penelitian yang
meliputi sesar normal dan luas daerah penelitian yang tidak terlalu luas, sehingga
jika dilakukan perhitungan sumberdaya terkira akan menghasilkan jumlah yang
tidak valid. Dari perhitungan yang dilakukan terhadap lima seam yang terdapat di
daerah penelitian (Lampiran G), diperoleh sumberdaya batubara terukur sebesar
10.694.508,49 ton dan sumberdaya batubara tertunjuk sebesar 28.641.787,84 ton.

4.4 Prospek dan Pengembangan Batubara


Dari hasil penyelidikan pada daerah penelitian, ditemukan 11 singkapan
batubara dan dilakukan pemboran pada 23 titik. Dari data tersebut, lapisan
batubara daerah penelitian dibagi dalam 5 lapisan, yaitu Seam 1, Seam 2, Seam 3,
Seam 4, Seam 5 dengan ketebalan berkisar 50 700 cm. Batubara tersebut hadir
sebagai sisipan pada Satuan Batupasir Formasi Muara Enim. Prospek
pengembangan batubara daerah penelitian masih harus dipertimbangkan,
mengingat ketebalannya relatif tidak terlalu tebal dan sebarannya yang cukup
terbatas.
Selain itu, berdasarkan pertimbangan parameter untuk dapat ditambang
suatu cadangan batubara yang dikenal dengan Stripping Ratio, yaitu perbandingan
antara volume insitu endapan batubara (dalam Ton) dan volume insitu overburden
(dalam m3), nilai Stripping Ratio (SR) daerah penelitian relatif besar.
Vo lume Batubara x BJ (Ton /m 3 )
Stripping Ratio (SR) =
Volume (m 3 )
Hal ini didukung dengan penyebaran batubara yang mempunyai
kemiringan lapisan landai walaupun kenampakan morfologi daerah penelitian
yang berbukit-bukit. Namun hal tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap
besarnya volume overburden yang relatif kecil jika dilakukan penambangan.
Dari segi infrastruktur, pada daerah penelitian telah dirintis jalan logging,
yang sudah menjangkau dan dekat dengan beberapa singkapan batubara. Hal ini
dapat dijadikan pertimbangan bila selanjutnya dilakukan penambangan yang
memudahkan dan menurunkan biaya produksi. Nilai kalori daerah penelitian yang

60
berkisar pada 5000 6000 Cal/gr (adb) yang relatif tidak terlalu tinggi dijadikan
pertimbangan lain karena nilai kalori tersebut tidak memenuhi standar batubara
kualitas ekspor, namun dapat memenuhi kebutuhan batubara domestik. Hal-hal
tersebut dapat dijadikan pertimbangan apabila selanjutnya akan dilakukan
penambangan.

61

Anda mungkin juga menyukai